Jumat, 20 Desember 2019

SKY AND EARTH (8. Cewek Misterius)




//from : unknow number//
No name : “Doyoung?”
No name : “Di mana?”
No name : “Sibuk, nggak?”
No name : “Jalan, yuk!”
Doyoung : “Maaf, ini siapa?”
No name : “Gue tunangan lu, Doy!”
Doyoung : “Nggak ngerasa pernah tunangan.”
No name : “Nggak usah bercanda. Lu di mana? Ayo jalan.”

            Doyoung menghela napas sambil mengunci layar ponsel dan meletakkan ponselnya di atas meja yang sudah penuh dengan beberapa dokumen, laptop dan ada buku catatan juga. Bahkan layar LCD TV yang berada di ruangan itu menampilkan sebuah slide yang terhubung dari laptop. Cowok itu sedang bersama Siwon—papanya Wonwoo—untuk belajar tentang bisnis secara ‘real time’. Dan hanya Doyoung sendiri di sana.
Seusai sarapan sebenarnya Taeyong merengek untuk diajak jalan-jalan keliling Bandung. Namun Wonwoo menolak dengan alasan kasian Doyoung. Tujuan awal mereka ke sana adalah karena permintaan Doyoung, tidak ada sama sekali niatan untuk liburan. Wonwoo juga sebenarnya hanya memberi tahu tentang perjalanannya ke Bandung, namun Taeyong memaksa untuk ikut. Beruntung di sana ada Hoshi yang berinisiatif mengajak Taeyong dan yang lain untuk bermain. Setengah jam lalu mereka—tanpa Doyoung—hanya ke luar untuk membeli permainan dan beberapa snack untuk cemilan.
            Hoshi membongkar plastik belanjaannya bersama Taeyong yang tampak antusias. “Lu udah pernah main ini sebelumnya?”
          Taeyong menggeleng. “Lebih tepatnya gue nggak punya temen untuk diajak main ginian.” Cowok itu sudah sibuk membagi-bagikan uang mainan pada Hoshi, Wonwoo dan untuk Jiwoo yang sebenarnya sedang ke dapur untuk mengambilkan gelas kosong.
            Tidak lupa Jiwoo juga membawakan minuman dan snack untuk diberikan pada Doyoung dan Siwon yang sibuk ‘meeting’. Konsentrasi Doyoung pada layar LCD TV sedikit terpecah karena kedatangan Jiwoo. Gadis itu tersenyum saat tatapan mereka bertemu.
            “Jiwoo!”
            Jiwoo baru saja duduk di sebelah Siwon, langsung kembali berdiri karena mendengar Hoshi meneriaki Namanya. “Iya iya.” Jiwoo mengangkat tangannya sekilas ke arah Doyoung sebagai tanda ia berpamitan untuk meninggalkan Doyoung bersama papanya, Siwon.

***

            Wonwoo menahan tangan Jiwoo yang hendak masuk ke dalam mobil. “Lu di depan aja.”
            “Emang kenapa, sih?” protes Hoshi yang sudah ikut masuk dari pintu satunya.
            Wonwoo tidak menjawab pertanyaan Hoshi. Wonwoo tetap menarik Jiwoo dan menorong cewek itu untuk duduk di kursi penumpang depan, bersebelahan dengan Doyoung yang akan menyetir. Mereka akan kembali ke Jakarta siang itu. Tidak ada pembicaraan selama perjalanan pulang. Hoshi sibuk bermain games melalui ponselnya. Wonwoo dan Taeyong nyaris tertidur. Sementara Jiwoo hanya menatap ke luar jendela sambil memeluk jaketnya.
            “Rumah lu daerah mana, Woo?” tanya Doyoung membuka pembicaraan.
            Merasa diajak bicara, Jiwoo menoleh. “Kalo nggak keberatan anter ke café Rowoon aja. Atau di halte terdekat juga boleh.”
            Doyoung balas menoleh sesaat sebelum akhirnya kembali fokus menyetir. “Loh, lu masuk? Kenapa nggak ijin libur aja? Emang nggak capek? Atau nanti gue yang bantu ngomong ke Rowoon.”
            “Jangan, Doy. Gue nggak mau. Biar gimanapun Rowoon tetep bos gue, bukan temen.” Jiwoo menolak.
            Doyoung tidak membalas lagi karena ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari nomor yang belum ia simpan. Itu nomor yang tadi. Dengan satu tangan, Doyoung menyodorkan ponselnya ke belakang sambil meliirk sekilas. “Bang, tolong balesin ini, dong.”
            Taeyong yang baru saja terbangun, mengulurkan tangan. “Dari siapa?” tanyanya sambil menerima ponsel Doyoung. Doyoung sendiri tidak ingin menjawab. Taeyong membuka lock screen pada layar ponsel Doyoung. “Sejeong?” tanyanya lagi. Namun Doyoung sama sekali tidak berniat menjawab. Dari histori percakapan mereka beberapa jam lalu juga Sudah membuktikan bahwa itu adalah Sejeong. Melihat nomor cewek itu yang masih belum disimpan, tangan Taeyong gatal untuk tidak berbuat jahil.

//from : Tunanganku//
Sejong : “Doy. Di mana, sih?”
Doyoung : *Mengirim foto bagian belakang Doyoung dan Jiwoo di dalam mobil.*
Doyoung : “Lagi nyetir.”
Sejeong : “Sama cewek? Siapa?”
Doyoung : “Masa depan gue sih kayaknya.”
Sejeong : “Apa-apaan, sih?”
Sejeong : “Kamu dari mana?”
Doyoung : “Dari rumah mertua.”
Sejeong : “Nggak lucu, Doy.”
Doyoung : “Gue emang nggak lucu, tapi ganteng.”
Doyoung : *Taeyong mengirim foto dirinya melakukan self camera.*
Sejeong : “Lu siapa? Mana Doyoung?”

            Doyoung mengawasi Taeyong dari kaca spion dalam. “Jangan chat aneh-aneh ya lu, Bang!” seru Doyoung mengingatkan. Karena dilihatnya Taeyong begitu menikmati berbalas pesan dengan Sejeong.
            “Nggak, Doy. Beneran deh ini tapi lucu.” Taeyong sesekali masih tertawa.

***

~Rowon’s café
            “Gila, gue ngerasa tersanjung nih dianterin langsung sama Pak bos,” ledek Ten saat tahu Rowoon yang datang membawakan dua gelas minuman untuk dirinya dan salah satu antara Sejun dan Yujin.
            Rowoon hanya terkekeh sambil meletakkan dua gelas minuman ke atas meja. “Yaelah lebay amat lu,” protesnya sambil duduk bersebelahan dengan Sejun yang sedang menikmati rokoknya. “Yujin, punya lu masih di bikin ya.”
            “Oke, Woon.” Cewek bernama Yujin itu hanya mengangguk di sela-sela kesibukannya dengan ponsel.
            “Oiya, lu kenapa sih kayanya nggak suka banget Doyoung tunangan?” tanya Sejun sambil menekan sisa rokoknya pada permukaan asbak. Kemudian cowok itu menyambar gelas ice americano-nya.
           “Ya karena Sejeong bukan cewek yang Doyoung cinta.” Rowoon menjawab sedikit malas.
            “Nanti juga lama-lama bakal suka,” kata Sejun, cuek.
            Ten yang sejak tadi diam, menggeleng karena tidak sependapat dengan Sejun. “Nggak, Jun. Doyoung gitu-gitu harga dirinya tinggi.” Ucapan Ten membuat tiga temannya sontak menoleh padanya, terutama Sejun dan Yujin. Menaruh harapan besar untuk Ten membeberkan apa yang sebenarnya. “Dia nggak mau ceweknya lebih kaya dari dia. Prinsip dia sama kayak gue, cewek tuh semakin tinggi derajatnya semakin sombong.”
            “Setuju sih gue,” sahut Rowoon yang tampak memihak pada Ten. “Lagian juga kalo masalah harta, Doyoung udah punya segalanya. Sama sih gue juga nggak butuh cewek yang kaya, lebih bangga kalo gue nafkahin dia.”
            Sejun tersenyum sambil mengangguk, mengalah. Kemudian cowok itu menyeruput minumannya sambil menatap ke arah tembok kaca yang membatasi ruangan. “Siapa yang ajak Sejeong ke sini?”
            Rowoon dan Ten sontak menoleh ke arah yang sama seperti Sejun. Mereka melihat cewek itu, Sejeong, sudah membuka pintu kaca dan menerobosnya masuk. Tidak jauh di belakang Sejeong terlihat Yuta menyusul bersama dua orang cewek lagi, teman Sejeong—Jenny dan Yerin. Tanpa sadar, Rowoon berdiri untuk menyambut Yuta dan melakukan hi five dengan cowok itu. Membiarkan Sejeong berdiri sambil melipat tangannya di depan dada. Salah satu tangan cewek itu sibuk dengan ponselnya.
            “Tolong jawab ini Doyoung sama siapa?”
            Rowoon dan yang lain sontak menatap layar ponsel yang ditunjukkan Sejeong. Mereka mengenali sosok Doyoung, namun tidak dengan cewek yang juga duduk di kursi depan. Hanya terlihat di bagian rambut saja.
            “Somin bukan, sih?” Yujin berujar namun langsung dibalas gelengan kepala oleh Ten.
            “Model rambutnya beda,” ujar Ten.
            “Adeknya Doyoung,” jawab Sejun asal yang langsung disambut pukulan pelan dilengannya oleh Yujin.
            “Jungwoo nggak gondrong ya!”
            Sejun melirik tajam ke arah Yujin. “ Ya siapa tau dia pake wig,” protesnya.
            “Terus, Doyoung mana?” tanya Sejeong lagi, masih mempertahankan sikap sombongnya. “Gue perlu ketemu sama dia.”
            Yuta menarik kursi dengan kasar hingga menarik perhatian orang-orang di sana. “Ya tanya sendiri lah. Punya kontaknya Doyoung, kan?” balasnya sambil duduk.
            Rowoon juga menyusul duduk. Berusaha mengabaikan Sejeong. “Ya kalau Doyoung nggak mau ketemu, jangan dipaksa.”
            “Ya tapi gue tunangannya, gue berhak atas Doyoung,” ujar Sejeong dengan reaksi tidak suka dengan perkataan Rowoon.
            “Baru tunangan kan, belum nikah?” balas Rowoon dengan tatapan sama tidak Sukanya terhadap Sejeong.
            “Woon…” Yujin tidak melanjutkan ucapannya karena Sejun mencengkeram lengannya seakan tidak membiarkan Yujin mengatakan apapun pada Rowoon. Sejak di mana Yujin mengatakan kecocokan antara Doyoung dan Sejeong, sementara beberapa lagi menolak pernyataan Yujin, mereka seperti berada di beda kubu. Sejun juga tanpa sadar berada di pihak Rowoon yang menolak pertunangan Doyoung dan Sejeong.
            “Won?”
            Sejeong berbalik badan karena mendengar Yerin berujar dibelakangnya, dan karena melihat reaksi Yuta yang seperti melihat kedatangan seseorang. Seorang pemuda terlihat baru saja menutup pintu kaca di belakangnya. Itu Wonwoo dan Taeyong. Namun tatapan Sejeong bukan untuk dua pemuda itu. Melainkan jatuh pada sosok tinggi yang bisa ia lihat dari balik tembok kaca, namun berdiri membelakanginya. Seseorang yang perawakannya sudah cukup ia kenal, Doyoung.

***

            Doyoung memarkirkan mobilnya di area parkir café milik Rowoon. Taeyong mengembalikan ponsel Doyoung yang tadi masih ditangannya sebelum ke luar dari mobil. Taeyong dan Wonwoo sudah lebih dulu meninggalkan mobil, melesat masuk ke dalam café. Niat awalnya hanya mengantar Jiwoo, namun akhirnya mereka semua ikut mampir ke sana.
            “Gue langsung ya, Woo. Nunggu Wooshin di depan aja,” kata Hoshi setelah mengambil tasnya di bagasi mobil. “Ntar malem gue jemput.”
            “Yaudah, hati-hati ya,” kata Jiwoo sambil melambaikan tangan mengiringi kepergian Hoshi.
            “Makasih ya, Doy.” Tidak lupa Hoshi juga melambaikan tangan pada Doyoung.
            Setelah sosok Hoshi semakin jauh, Jiwoo membalikkan badan dan melangkah masuk menuju pintu utama café. Doyoung ternyata menunggunya untuk berjalan bersama. Doyoung bahkan membukakan pintu untuk Jiwoo. Namun cowok itu dikejutkan dengan keberadaan Ten yang kebetulan berjalan ke arahnya.
            “Loh, lu di sini juga?” tanya Doyoung, heran. Sebelumnya tidak ada yang saling mengabari jika mereka ada niatan ke sana. Grup chat mereka juga sepi.
            Ten hanya mengangkat tangan sebagai tanda ia menyapa Jiwoo dan hanya dibalas senyuman tipis dari cewek itu. “Ada Sejeong di dalem. Lu janjian sama dia?” tanya Ten dengan tatapan menyelidik.
            Doyoung melebarkan mata dan tidak langsung memberikan jawaban dari rasa penasaran Ten. Cowok itu justru langsung membuka ponselnya. Memeriksa chat dari Sejong yang tadi dibalas oleh Taeyong. Cowok itu terbelalak melihat isi chat perbuatan Taeyong. Doyoung hanya menghela napas, sama sekali tidak bisa marah atas perbuatan Taeyong. Lagipula Taeyong mengatakan ‘Masa depan gue sih kayaknya’, sontak membuat cowok itu bersusah payah menyembunyikan senyumannya. Namun senyuman itu hanya bertahan sesaat karena Doyoung melihat seseorang berjalan ke arahnya. Semakin dekat, dan semakin jelas siapa sosok cewek itu. Sejeong.
            “Doy, gue balik kerja dulu, ya. Sekali lagi makasih udah..” Jiwoo menghentikan kalimatnya karena merasakan tubuhnya ditarik oleh seseorang. Pelakunya adalah Doyoung. Tubuh Jiwoo oleng ke arah Doyoung yang seperti sudah siap menangkapnya. Pemandangan itu membuat Sejeong terbelalak.
            “Lepasin tunangan gue!” ujar Sejeong sambil menarik lengan Jiwoo agar menjauh dari Doyoung.
            Doyoung tidak menahan sama sekali. Cowok itu hanya tersenyum melihat kebingungan di wajah Jiwoo. “Selamat kerja ya. Sampe ketemu lagi.” Doyoung mengacak pelan rambut Jiwoo kemudian melambaikan tangan dan sedikit menggerakan tangannya sebagai tanda menyuruh Jiwoo pergi.
            Jiwoo yang tidak mengerti apa-apa hanya mengangguk dan pergi dari sana. Cewek itu sempat beradu tatap dengan Sejeong, namun Jiwoo hanya menatap dengan ekspresi datar. Berbeda dengan Sejeong yang menatap Jiwoo dari ujung kepala hingga kaki.
            “Gue duluan ya.” Kata Doyoung sambil menepuk pundak Ten sebelum berbalik.
            Sejeong yang menyadari Doyoung ingin pergi, langsung melepaskan tatapan pada Jiwoo dan beralih ke Doyoung. “Lu mau ke mana?” tanya Sejeong sambil meraih tangan cowok itu, namun langsung dihempaskan oleh Doyoung yang sama sekali tidak mempedulikan keberadaan cewek itu. Doyoung melesat cepat meninggalkan café.

***

            Rowoon kembali ke teras belakang café sambil membawa setumpuk undangan. Cowok itu muncul hampir bersamaan dengan Ten. “Doyoung mana?”
            “Balik dia. Males kayanya abis ketemu Sejeong,” jawab Ten.
            Rowoon hanya ber-oh ria, kemudian duduk di kursi yang tadi ia tinggali. Wonwoo dan Taeyong juga sudah bergabung di sana. Juga seorang cewek yang duduk di sebelah Wonwoo, Yerin. “Oiya, gue mau ngasih undangan nih.”
            Sejun yang duduk si sebelah Rowoon, menatap penasaran undangan apa yang dimaksud Rowoon. Cowok itu mencuri pandang untuk membaca inisial nama yang tertera pada sampul undangan. “Kim Ro… Lu ma nikah, Won?”
            Rowoon menoleh cepat, secepat tangannya memukul tangan Sejun menggunakan selembar undangan ditangannya. “Anjir, lu. Ini Kim Rockhyun, abang gue yang mau nikah.”
            Sejun hanya tertawa sambil menerima undangan yang disodorkan Rowoon. “Hahaha, thanks ya, Won.” Sejun ikut membantu Rowoon dengan mengoper beberapa undangan untuk teman-temannya yang lain, sesuai nama tamu undangan yang tertera pada undangan.
            “Yer, dateng aja bareng Wonwoo,” kata Rowoon yang membuat Yerin dan Wonwoo saling melempar tatap, kemudian Yerin menggangguk pada Rowoon.
            “Somin sama Seunghee nitip lu, ya.” Rowoon menyodorkan undangan yang dibantu Sejun untuk memberikannya pada Yujin.
            “Sini buat Johnny sama gue aja,” kata Taeyong menawarkan diri. Rowoon setengan berdiri menyodorkan benda itu pada Taeyong. “Itu sisa saiapa? Doyoung?” tanya Taeyong karena melihat Rowoon masih memegang satu lembar undangan.
            “Iya,” jawab Rowoon sambil mengangguk. “Nanti malem gue aja yang anterin.”
            Mereka kemudian mengobrol santai. Yujin juga tidak membahas perihal kepergian Doyoung setelah tadi Sejeong juga ke sana. Menyisakan Yerin, tentu saja karena ada Wonwoo. Taeyong yang memperingatkan Yujin tadi untuk diam saja. Hubungan mereka dengan Sejeong dan teman-temannya juga tidak dikatakan cukup baik. Kecuali Yerin, karena memang berpacaran dengan Wonwoo. Mereka menghargai status Yerin.

***

            Sejeong menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah. Cewek itu turun dan berjalan menuju pagar. Ada seorang cowok yang mengejarnya. Hanbin. Sejeong tau, cowok itu memang sudah menyusulnya sejak mobil Sejeong meninggalkan café Rowoon.
            “Sejeong!”
            Sejeong memutar badan sambil menghempaskan tangan Hanbin yang memegang pergelangan tangannya. “Apaan sih, Bin?”
            “Lu yang apaan? Nggak peduli, gue nggak ngerasa udah putus sama lu!” Balas cowok itu.
            Sejeong melipat tangan di depan dada sambil memutar bola matanya, kesal. “Ya karna kan gue dijodohin.”
            Ada seorang cewek lagi yang ke luar dari mobil Sejeong. Jenny menghampiri keduanya. Awalnya cewek itu ingin diam saja dan tidak ingin ikut campur. Namun melihat keduanya saling ngotot, membuat cewek itu mau tidak mau harus ikut turun tangan.
            “Itu alasan doang, kan?” Hanbin masih tidak terima.
            “Kalian tuh apaan, sih?” Jenny menyeruak di tengah-tengah Hanbin dan Sejeong.
            “Gue masuk dulu,” kata Sejeong sambil balik badan tanpa lebih dulu merespon ucapan Jenny.
            Hanbin juga balik badan dan berniat pergi, namun Jenny ikut menyusulnya. Jenny bahkan ikut masuk ke dalam mobil Hanbin. “Gue salah ya, Jen?” tanya Hanbin sesaat setelah Jenny menutup pintu.
            “Kalian juga yang salah. Ngapain backstreet? Orang tua Sejeong mikir anaknya nggak punya pacar.”
            “Terus mereka bakal nikah? Kalo beneran gitu, gue mesti gimana, Jen? Sejeong juga kayaknya suka sama cowok itu.”
            Jenny mengangkat bahunya. “Tapi cowok itu kayanya nggak suka.”
            “Siapa sih dia? Beraninya nolak Sejeong gue. Sejeong tunangan juga kenapa harus diem-diem?”
            Jenny menjitak kepala Hanbin hingga membuat cowok itu meringis. “Harusnya lu seneng cowok itu nggak suka sama Sejeong. Pinter dikit kek jadi cowok.”
            Hanbin hanya nyengir, menunjukkan deretan giginya yang putih. “Yak an gue emosi. Di sini gue ngejar-ngejar Sejeong. Dia seenaknya nolak cewek gue. Sebagus apa itu cowok?”
            “Ya gue kalo jadi Sejeong juga mending milih Doyoung dibanding elu.”
            Hanbin melirik dengan ekspresi kesal. “Turun lu!”

***

Senin, 16 Desember 2019

FC LOVE (chapter 15)





Author              : Annisa Pamungkas (@nniissaa11)
Main Cast          :
·        B2ST/Beast Lee Gikwang
·        Infinite Lee Howon (Hoya)
·        SNSD Im Yoona
Support cast     :
·        Other member B2ST/Beast, Infinite and SNSD
·        Yong Hwa CN Blue
·        Siwan Ze:a
·        Jonghyun, Minho and other member Shinee
·        Member Super Junior, A-Pink, F(X)
Genre                : romance, family, friendship
Length              : chapter

***

        Howon dan Gikwang masih berada di meja makan. Saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Gikwang dengan segala ketidakpercayaannya terhadap keadaan tersebut. Sementara Howon teringat semua ucapan Siwon saat di rumah sakit.

Flashback…
        “Kamu nggak pengen tau ayah kandung kamu?”
        Howon menatap Siwon dengan tatapan yang sulit di artikan. “Aku punya orang tua sebaik ayah. Dan nggak sedetikpun aku ingat kalau aku masih punya ayah kandung yang lain.”
        Siwon menatap Howon nanar. Hatinya mencelos mendengar betapa besar rasa sayang Howon padanya. Bahkan mungkin bisa lebih besar dari Minho, anak kandungnya sendiri. Tapi biar bagaimanapun, Howon tetap harus mengetahui semuanya, meski Ga In sebenarnya tak ingin Howon tau.
        “Aku dan ibumu dulunya sepasang kekasih. Tapi kita di jodohkan dengan orang lain oleh orang tua kita masing-masing. Dan sebelum Ga In tau dia hamil dirimu, Ga In sudah lebih dulu bercerai dengan mantan suaminya itu. Lalu setahun kemudian kami kembali bertemu. Tak lama setelah ibu Minho meninggal. Kami segera memutuskan untuk menikah setelah itu,” jelas Siwon tentang perjalanan hidupnya dan Ga In.
        Bibir Howon terasa kelu. Ia tak tau harus berbuat apa selain bertanyaa, “ayah mengenal ayah kandungku?”
        Siwon mengangguk samar. “Aku dan Sungmin berteman dekat sejak SMA.”
        “Jadi nama ayahku Sungmin?” seru Howon memastikan.
“Iya. Lee Sungmin.”
“Ayah tau dia tinggal di mana?” Entah perasaan dari mana Howon justru penasaran dengan ayah kandungnya itu.
        Kali ini Siwon menggeleng. “Tapi kamu juga perlu tau. Nama ‘Hoya’ adalah pemberian Sungmin yang tadinya ingin diberikan pada anak pertama Sungmin dan Ga In. Tapi Ga In nggak setuju. Aku memutuskan memberikan nama itu untuk nama panggilanmu agar kamu nggak ngelupain ayah kandung kamu.”
        “Aku juga punya kakak? Cewek apa cowok, yah?” Tanya Howon lagi, bersemangat.
        “Cowok. Dan kalo nggak salah namanya Lee Gi…” kalimat Siwon terputus karena pintu kamar rawatnya terbuka. Minho dan Sulli muncul dari baliknya. Setelah itu, obrolan Howon dan Siwon tentang Sungmin harus terhenti.
Flashback end…

        “Udah ngerasa lebih baik?” Gikwang membuka suara. Memecah keheningan yang sejak tadi terjadi.
        Howon mendongak menatap Gikwang. Namun belum ada sepatah katapun yang meluncur dari bibirnya. “Bokap lo bernama Lee Sungmin?” Howon balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Gikwang sebelumnya.
        Gikwang menatap Howon, heran. “Lo udah tahu tentang itu?”
        Howon yang juga sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya, memilih untuk menceritakan semua pembicaraannya dengan Siwon saat pria itu masih dirawah di rumah sakit. Cepat atau lambat, semua pasti akan terbongkar. Dan Howon lebih memilih untuk mencoba mencari tahu semuanya mulai sekarang. Bekerja sama dengan Gikwang, mungkin. Meski rasa tidak sukanya pada Gikwang juga masih mendominasi.
        Sesaat mereka kembali saling diam. Sampai akhirnya pintu rumah keluarga Howon terbuka. Memunculkan Sulli di sana Bersama Eunji. Sulli terlihat pucat dengan Eunji membantu memapahnya. Mereka berjalan melintasi ruang makan hingga membuat dua pemuda di sana menoleh. Melihat Sulli yang pucat, Howon langsung berdiri, Gikwang menyusul kemudian. Howon mengambil alih Sulli dan menggendong adiknya untuk di bawa ke kamar.
        Eunji dan Gikwang saling melempar tatapan. Namun tidak ada yang mereka lakukan lagi kecuali Eunji yang menyusul Howon. Gikwang sendiri lebih memilih berbalik, kembali menuju ruang makan untuk mengambil ranselnya. Pemuda itu pun meninggalkan rumah keluarga Howon. Eunji berdiri diambang pintu kamar Sulli. Bertepatan dengan Howon yang berniat meninggalkan kamar adiknya itu. Mereka saling berpapasan namun tidak ada yang Howon ucapkan. Pemuda itu hanya melewati Eunji. Eunji langsung nyelonong masuk ke kamar Sulli untuk melihat keadaan gadis itu.
        Howon menghentikan langkah dan berbalik, memastikan Eunji sudah tidak ada di sana. Benar saja gadis itu sudah masuk ke dalam kamar adiknya. Howon kembali mendekat ke kamar Sulli. Namun hanya sampai ambang pintu. Howon menyembunyikan tubuh dibalik tembok, ia mengintip apa yang Eunji lakukan di sana.

***

        Hari ke-2 Gikwang tidak masuk sekolah. Belum lagi memang tidak ada yang mengetahui kabar kenapa cowok itu sampai absen bersekolah. Karena status Gikwang sebagai murid pindahanlah yang membuat cowok itu belum terlalu memiliki banyak teman di sekolah itu. Lalu saat jam istirahat pertama, Yoona mencoba mengirimi Gikwang sebuah pesan singkat untuk menanyai keberadaan cowok itu.
        Sementara di salah satu unit ‘Phoenix’ apartemen, Gikwang sedang meringkuk dibalik selimut tebalnya. Tepat saat Yong Hwa baru saja mengunjunginya beberapa menit lalu hanya untuk memastikan Gikwang meminum obatnya tepat waktu. Sudah sejak kemarin malam Gikwang demam. Saat mendengar ponselnya berbunyi, Gikwang menjulurkan tangan dari balik selimut untuk mengambil ponselnya di meja kecil. Sebuah pesan dari Yoona.

      Kwang, lo di mana? Kenapa nggak ada kabar dari kemaren?
      ~Yoona~

        Melihat isi pesan yang dikirimi Yoona, sontak Gikwang berusaha bangkit. Cewek itu memberikannya sedikit suntikan semangat. Dengan cepat tangan Gikwang mengetikkan sesuatu sebagai balasan pesan Yoona. Namun ternyata Gikwang mendapati informasi jika pesan tersebut gagal terkirim. Hingga beberapa kali mencoba, hal yang sama tetap terjadi.
        “Akh, sial! Pulsa gue habis!” seru Gikwang. Membanting ponselnya dengan murka ke atas kasur. Gikwang yang sudah kesal hanya bisa melempar pandangan ke seluruh sudut kamarnya. Memikirkan apa yang bisa ia lakukan sekarang dengan kondisinya yang seperti ini.
        Di salah satu sudut kamarnya, Gikwang menemukan laptopnya tergeletak dengan posisi layar terbuka. Gikwang menyeret kakinya mendekat ke meja belajar. Ia menyalakan laptopnya, dan mencoba menyambungkan ke jaringan wifi. Namun selalu gagal.
        “Astaga, apa Papa udah segitu miskinnya sekarang sampe nggak sanggup bayar tagihan wifi? Padahal gue udah nggak pernah main game online lagi sekarang.” Gikwang hanya tertunduk lesu.
        “Bang Gikwang!”
        Gikwang sedikit terlonjak saat mendengar teriakan seseorang di luar kamarnya. “Myungsoo?” serunya seakan mendapat pencerahan. Buru-buru Gikwang melangkah ke luar kamar. Benar saja, itu Myungsoo yang tampak sedang meletakkan sebuah bungkusan di atas meja ruang tamu.
        “Bang, kayaknya bel rumah lu rusak deh. Untung gue tau kodenya. Maaf ya gue nyelonong masuk. Oh iya, ini makanan buat lu.”
        Gikwang menghempaskan badan ke samping Myungsoo yang sudah lebi dulu duduk di sofa. “Nggak-papa, Myung. Oh, makasih ya.”
        “Hmm lu sakit dari kapan? Cewek lu nggak nengokin?” goda Myungsoo sambil mengawasi Gikwang yang tampak mulai membuka bungkusan tadi dengan tatapan jahilnya.
        “Dari dua hari lalu. Tapi ini udah mendingan sih.” Gikwang terlihat masih asik dengan makanan yang kini dihadapannya. “Gimana mau ngasih tau dia, pulsa gue keburu habis.”
        Mendengar udapan Gikwang, membuat Myungsoo menoleh cepat dan semakin menatap penuh minat terhadap Gikwang yang belum menyadari reaksi Myungsoo. Gikwang masih sibuk dengan makanannya. Myungsoo sudah menangkap arah ucapan Gikwang tadi. Kemudian pemuda itu tersenyum jahil.
        “Kalo udah sembuh, pajak jadiannya traktir gue pizza ya.”
        Sontak Gikwang tersedak makannya sendiri mendengar pernyataan Myungsoo. Gikwang langsung menyambar air minumnya untuk meredakan sedakan. Tepat ketika ponselnya berdentang karena sebuah pesan masuk.

Sunggyu : “Lo jadian sama siapa? Nggak mungkin Taeyeon.”
     
        Giwang melebarkan matanya melihat sebuah pesan masuk dari Sunggyu. Myungwoo tertawa melihat reaksi Gikwang. Siapa lagi pelakunya jika bukan Myungsoo yang membocorkan pada Sunggyu tentang berita itu. Gikwang menoleh sambil menyambar kerah baju Myungsoo menggunakan satu tangan. Myungsoo masih saja tertawa.
        “Eh, serius deh, bang. Jadian sama siapa? Taeyeon?”
        Dengan perlahan Gikwang melepaskan tangannya dari kerah Myungsoo sambil kembali duduk seperti semula. Menimbang apakah ia ceritakan saja pada Myungsoo meski bisa dipastikan rahasia ini hanya aman dalam hitungan jam ditangan adik sahabatnya itu.
        “Lo bilang Taeyeon juga udah jadian kan sama cowok lain?” tanya Myungsoo yang kemudian menyambar minumannya. “Berarti nggak mungkin sama Taeyeon.”
        Gikwang mengangguk membenarkan. “Tapi sebenernya…” Ucapan Gikwang terputus karena interupsi suara bel. Saat menoleh, ia sudah mendapati Myungwoo berdiri dan berjalan ke arah pintu. Dari balik pintu memunculkan sosok Sunggyu dan Yonghwa. Yonghwa bahkan terlihat seperti baru bangun tidur.
        Yonghwa menghempaskan badan ke samping Gikwang sambil memeluk bantalan sofa. Gikwang hanya memperhatikan yang dilakukan temannya itu. Sementara Sunggyu duduk di sofa seberangnya Bersama Myungsoo. Lalu kali ini tatapan Gikwang jatuh pada Myungsoo sendiri. Pemuda yang sejak tadi bersamanya.
        “Lo yang menyuruh mereka datang?” Tuduh Gikwang pada Myungsoo.
        Myungsoo menggeleng tegas. “Gue Cuma kasih tau Bang Sunggyu, tapi nggak nyuruh dateng kok.”
        “Jonghyun, mana?” tanya Gikwang.
        “Nggak bisa, dia lagi ada acara.” Sunggyu duduk di ujung sofa sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Gikwang. “Lo punya cewek di sekolah baru? Serius? Siapa? Cepet banget move on.”
        Kali ini Gikwang benar-benar melepaskan sendoknya ke atas piring. Membiarkan makanannya menunggu dimakan nanti. Yonghwa juga sudah menegakkan badan di samping Gikwang. Tadi Yonghwa memang diajak paksa oleh Sunggyu untuk ke rumah Gikwang.
        “Jadi, gue cerita dari mana ya. Intinya sih udah lama gue agak ngerasa hopeless ke Taeyeon. Kayak susah dijangkau aja. Atau gue yang nggak tau sebenernya selama ini dia udah punya cowok. Atau mungkin perasaan gue ke dia Cuma sebatas kagum aja. Iya nggak, sih?” Gikwang menatap satu-persatu teman-temannya.
        “Ya gue sih nggak paham kalo kondisi kaya gitu disebutnya apa. Yang penting lo-nya nggak ribet.”
        Gikwang menoleh ke samping, ke tempat Yonghwa duduk. “Kok gue nggak paham ya?” ujarnya sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
        “Tau ah.” Yonghwa kembali menenggelamkan punggungnya ke sandaran kursi, masih sambil memeluk bantal. Seperti tidak peduli dengan apa yang sedah teman-temannya bahas.
        “Kalo gue sih,” ujar Sunggyu kemudian. Kembali mengalihkan tatapan Gikwang padanya. “Nggak peduli dilbilang kecepetan move on atau gimana. Karena kan posisinya nggak sampe pacarana sama Taeyeon, kan? Kalo ternyata nemu yang lebih baik, kenapa nggak.”
        “Tapi masalahnya, doi juga baru putus. Dia bilangnya sih mereka emang udah nggak cocok dan mesti udahin hubungan mereka.”
        “Nah, yaudah sih. Lanjutin aja.”
        “Gitu, ya?”

***

        “Yoon.”
        “Hmm?” Yoona hanya menyahut dengan dengan dehaman. Gadis itu sedang sibuk mengikat tali sepatu saat Doojoon mengajaknya bicara.
        “Pulang yok.”
        Yoona sontak menoleh sambil menghentikan kegiatannya. “Pulang ke mana? Ini kan rumah kita.”
        “Balik ke Surabaya.”
        Yoona menatap Doojoon, namun pemuda itu seperti mengalihkan pandangannya. “Kalo lu mau balik ke sana, yaudah lu aja. Gue tetep di sini.”
        Mereka diam sesaat sampai akhirnya Doojoon menatap kembali adiknya. “Jakarta bisa jadi rumah kita buat pulang, Yoon?”
        “Lo apaan sih, bang?” Yoona sontak berdiri.
        Doojoon menahan tangan Yoona karena gadis itu bersiap pergi. “Kasarnya nih ya, gue kan emang udah nggak punya orang tua kandung, tapi seenggaknya gue punya elu sama ayah ibu juga. Tapi cepat atau lambat, tempat gue bakal jatuh ke tangan Siwan. Jadi, setelah gue nggak punya siapa-siapa lagi, gue boleh pulang ke rumah ini kan, Yoon?”
        Yoona menghela napas dan kembali duduk ke atas sofa. Abangnya yang biasa menyebalkan ini sedang berada dalam kondisi ‘nggak punya apa-apa dan nggak punya siapa-siapa’. Walaupun bukan saudara kandung, mereka masih sepupuan. Seenggaknya bukan dua orang asing yang berbeda asal.
        “Bang,” panggil Yoona.
        Doojoon menoleh.
        “Hidup pisah-pisah kayak gini bikin gue juga mencari ‘rumah’ gue sendiri. Sebenarnya sama aja kalo gue balik ke Surabaya toh gue bakal tetep kayak hidup sendiri. Dan gue memang nggak mau ‘pulang’ ke sana, kecuali mungkin untuk sekedar berkunjung sih oke. Tapi ya gue bakal tetep pulang ke Jakarta. Numpang ke rumah lo sih tetep aja.”
        Doojoon menatap berkeliling ruangan yang tengah ia tempati sekarang ini. Setelah kejadian itu, kejadian terungkap dirinya bukan anak kandung Seulong dan Victoria, fakta tentang rumah yang tinggali beberapa tahun belakangan ini pun juga terungkap. Rumah yang memiliki dua lantai tersebut ternyata peninggalan orang tua kandungnya.
        “Lo bakal tetep di sini kan, beneran? Seenggaknya kalo gue mau pulang, gue tau gue masih punya adek kayak lo.”
        Yoona mengernyitkan keningnya. “Apa, sih? Lo mau ke mana? Udah ngaku aja.”
        “Balik ke Surabaya, Yoon.”
        “Oh, yaudah. Santai aja lah gue di sini sendirian. Toh seenggaknya sekarang udah ada bang Siwan. Udah ya, gue main dulu.”
        Lagi, Doojoon menahan langkah Yoona dengan menangkap tangan gadis itu. Yoona menghela napas. Baru ia akan membuka mulut, Doojoon sudah lebih dulu berbicaara. “Siwan bantuin ayah di Surabaya.” Doojoon mendongak perlahan dan mendapati Yoona terbelalak. “Karena kecelakaan itu, kemungkinan Siwan nggak bisa main bola lagi.”
        Dengan perlahan namun tegas, Yoona melepaskan tangan Doojoon yang masih menahannya. “Oke.” Hanya itu yang diucapkan Yoona sebelum akhirnya benar-benar pergi dari rumah sebelum Doojoon kembali menahannya.

***

        Yoona menuntun sepedanya sejak ia keluar dari gerbang perumahannya. Gadis itu bergerak menuju taman. Melewati anak-anak seumura Yoogeun dan Leo yang asik bermain sepakbola. Tidak mempedulikan keseruan mereka. Yoona bahkan sampai tidak menyadari jika ada Howon di sana. Menjadi salah satu bagian dari anak-anak itu.
        Howon berpamitan pada Yoogeun dan yang lain untuk meninggalkan lapangan. Menyusul Yoona yang masih mendorong sepedanya hingga sampai pada sebuah danau. Di dekat sana ada sebuah bangku taman yang kosong. Yoona meninggalkan sepedanya pada jalan setapak kemudian berjalan seorang diri menuju kursi taman, lalu duduk di sana. Howon yang memang sejak tadi mengikuti Yoona juga ikut duduk di kursi itu, namun sedikit berjauhan dengan Yoona.
        “Yoon, gue mau minta maaf.”
        Yoona tersentak, menoleh dengan tatapan terkejut mendapati Howon di sana. “Sejak kapan lo…” Yoona menggantungkan ucapannya.
        Howon menghela napas, sudah mengantisipasi jika Yoona akan terkejut dengan kehadirannya. “Gue terlalu egois kayanya ke Eunji.” Pemuda itu kemudian tertawa. Lebih tepatnya menertawai diri sendiri. “Bego banget gue ya udah nyia-nyiain cewek sebaik Eunji.” Kembali terlintas kejadian beberapa hari lalu saat Eunji mengantarkan Sulli pulang entah dari mana, dan perilaku Eunji pada Sulli yang sangat perhatian. “Cemburu nggak jelas.” Lanjut Howon yang masih menertawai dirinya sendiri.
        “Sebenernya gue nggak tau masalah lo sama Eunji apa, kenapa lo cemburu, dan apa yang lo cemburuin. Baiknya sih lo ngomong langsung aja. Jangan sampe lo nyesel.”
        Howon tertunduk, menatap ujung sepatunya. “Tadi gue minta ketemu sama Eunji, tapi Eunjinya nggak mau. Apa dia udah segitu kecewanya kali ya sama gue.”
        “Nggak. Kasih dia waktu. Dia bahkan tetep mau bantu gue nganter baju lo waktu itu, padahal hubungan kalian nggak dalam kondisi bagus. Jangan nyerah, lo ajakin aja terus buat ketemu walau Eunji masih nggak mau. Biar seenggaknya dia liat kesungguhan elo.”
        Yoona berdiri perlahan. Tatapannya lurus ke depan. Ke arah jalan setapak yang ia lalui tadi. Ada seseorang berdiri di sana. Namun orang tersebut sudah berbalik badan setelah melihat Yoona Bersama Howon.
        “Nanti kita sambung lagi ya, gue ada urusan penting.”
        Saat Howon menoleh, Yoona sudah melangkah pergi dari sana. Gadis itu menyambar sepedanya untuk ia bawa pergi dari sana dan mengejar gadis tadi. Eunji.

***

        Gikwang menghentikan kegiatannya lari sore karena ponselnya berketar. Pemuda itu langsung memeriksanya. Sebuah pesan masuk dari Yonghwa. Saat sedang mengetikkan balasan untuk temannya itu, tanpa ia sadari ada seseorang yang menabraknya hingga membuat ponsel Gikwang terlepas dari genggamannya dan terlempar ke aspal jalanan. Sialnya, bertepatan dengan sebuah motor yang melaju. Ponsel Gikwang tidak selamat dari ban motor tersebut.
        “Maaf, maaf.” Gadis itu merapatkan kedua telapak tangannya sambil meminta maaf karena merasa bersalah.
        Gikwang masih diam menatap ponselnya yang hancur.
        “Gikwang?”
        Saat mendengar ada yang memanggil, Gikwangpun menoleh. Ia mendapati Yoona di sana—bersama sepeda tercintanya. “Yoon?” Gikwnag menoleh lagi ke arah berbeda. Ternyata gadis yang menabraknya adalah Eunji.
        “Bang, gue…”     
        “Eh, udah sih nggak apa-apa, hape mah masih bisa beli lagi.” Gikwang memotong ucapan Eunji, tentu gadis itu masih merasa bersalah. “Yang penting lo nggak apa-apa, kan?”
        Eunji hanya mengangguk menjawab pertanyaan Gikwang. Melihat Gikwang begitu perhatian dengan Eunji, membuat Yoona berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil memainkan sepedanya—mendorong maju dan mundur dengan pelan.
Menyadari suasanya yang canggung, Gikwang berujar, “gimana kalau kita ngobrol sebentar sambil makan es krim?” tanyanya diiringi dengan senyuman sambil menunjuk ke arah belakangnya, tempat sebuah kedai es krim berada. Gikwang melangkah lebih dulu untuk menyeberang, namun tetap sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan dua gadis tadi masih mengikutinya.
        Saat tiba di sana, Gikwang langsung menuju konter untuk memesan. Dua gadis tadi berinisiatif untuk mencari meja kosong. Membiarkan Gikwang memilihkan pesanan untuk mereka. Tidak terlalu lama sampai Gikwang ikut bergabung.
        “Dia Cuma ngaku kok dia cemburu nggak jelas.” Yoona menoleh dan menghentikan sementara obrolannya dengan Eunji.
        Gikwang meletakkan baki yang berisi tiga gelas es krim di tengah meja. “Kalian pilih gih mau yang mana, gue sisanya,” kata Gikwang lalu menghentikan pandangan pada Yoona. “Yoon, gue boleh pinjem hape lo? Mau ngabarin Yonghwa, tapi melalui Myungsoo aja. Lo punya nomor Myungsoo kan pasti?”
Yoona mengangguk sambil merogok saku jinsnya dan menyerahkan ponsel pada Gikwang yang langsung diterima pemuda itu. Setelah Yoona dan Eunji mengambil gelas pilihan mereka, Gikwang juga mengambil miliknya namun pemuda itu tidak bergabung duduk di sana.
        “Gue duduk di sana dulu, ya.” Gikwang menunjuk salah satu meja kosong tidak jauh dari tempat mereka berada. “Takutnya obrolan kalian penting, nanti kalau udah selesai panggil gue lagi aja.”
        “Eh, jangan.” Suara Eunji membuat Gikwang membatalkan niat untuk balik badan. “Gue udah selesai kok.”
        Yoona menatap Eunji dengan ekspresi penuh tanya. Eunji hanya mengangguk meyakinkan Yoona. Sementara Gikwang masih berdiri menunggu keputusan berikutnya dari dua gadis itu.
        “Gue paham maksud lo. Maaf ya kalau gue juga sempet cemburu sama kalian. Nanti gue juga bakal hubungin Hoya setelah ini,” jelas Eunji yang kemudian menoleh ke tempat Gikwang yang baru saja duduk. “Bang, nanti hape lo gue ganti ya?”
        “Eh, jangan sih.” Gikwang berujar buru-buru. “Gue ada hape cadangan kok. Udahlah, jangan terlalu ambil pusing.”
        “Yaudah kalau gitu, nanti es krimnya gue yang bayar ya.”
        Gikwang tersenyum kikuk sambil mengaruk keningnya dengan jari. “Yaudah kalau yang itu nggak apa-apa deh.”

***

        “Gue duluan ya. Daaah.” Eunji melambaikan tangan sebelum menyeberangi jalan. Meninggalkan Yoona Bersama Gikwang yang masih berdiri di depan café es krim tadi.
        Gikwang berbalik. Dan saat Yoona juga ikut berbalik, gadis itu melihat Gikwang mengeluarkan sepeda Yoona dari tempat parkir. Gikwang bahkan sampai menaiki sepeda itu.
        “Mau jalan dulu sama gue, nggak?”
        “Ke mana?” Yoona balik bertanya. Pertanda ia menyetujui ajakan Gikwang.
        Gikwang berpikir sejenak. “Lapangan tempat gue liat lo pertama kali?”
        Kali ini Yoona tidak langsung merespon ucapan Gikwang. Lapangan itu juga tempat Yoona pertama kali bertemu Gikwang. Dan hal itu mengingatkan Yoona tentang sebuah fakta bahwa Gikwang adalah seorang pemain sepakbola.
        “Gue nggak bakal main kok, Yoon.”
Yoona menatap Gikwang, heran. Ternyata Gikwang masih ingat tentang ketidaknyamannya dengan ‘sepakbola’, meski tidak setiap saat Yoona membenci hal itu. Hanya saja posisinya hanya berselang hitungan jam dari saat Yoona berdebat kecil dengan Doojoon. Karena alasan Doojoon kembali ke Surabaya adalah tentang untuk sepakbola.
“Cuma ada yang pengen gue obrolin sama elu,” lanjut Gikwang karena Yoona belum juga meresponnya lagi.
        “Yaudah ayo, Kwang. Gue juga nggak ada acara abis ini,” ujar Yoona akhirnya sambil mendekat ke tempat Gikwang. Bersiap duduk di besi depan sepedanya.
        Gikwang tersenyum sambil membiarkan Yoona duduk di depannya. “Tapi lo ikut ke rumah gue dulu aja ya. Gue mau mandi sebentar. Soalnya kan hape gue rusak, ribet nggak bisa ngehubungin kalo lo mesti pulang dulu.”
        Mereka akhirnya menuju apartment Gikwang dengan sepeda milik Yoona.

***