Senin, 20 Februari 2012

rosengard fc (part 15) end


15. THIS IS JUST A GAME

Partai final terasa semakin mendebarkan dimana pertandingan harus ditentukan oleh drama adu penalty. Kedua tim sama kuat. Meski awalnya SMA Jakabaring unggul 1-0 dengan gol yang dicetak Bagas, namun SMA Rosengard berhasil menyamakan kedudukan lewat gol dari Danu di menit-menit akhir babak kedua.
        Penendang pertama dari SMA Jakabaring. Christ. Gol. 1-0. Penendang pertama dari SMA Dipokar. Diaz. Gol. 1-1.
        Dua penendang berikutnya dari kedua kesebelasan berhasil menerobos gawang lawan, masing-masing Zagar dan Nicky dari Jakabaring serta Dewa dan Garra dari Dipokar. Skor sama kuat 3-3. Eksekutor berikutnya dari Jakabaring, Bagas yang sukses membuat klubnya unggul 3-4. Penendang ke-empat dari Rosengard, Ilan yang membuat skor kembali sama kuat.
        Beban berat dihadapi Frans yang notabene adalah eksekutor terakhir untuk Jakabaring. Meski akhirnya ia berhasil memberikan jarak kepada Rosengard.
        Tapi beban berat lebih diterima Lingga yang menjadi penentu. Jika tendangannya gagal, berarti ia memberikan kemenangan untuk lawan. Tapi jika ia berhasil, Rosengard bisa sedikit bernafas lebih panjang.
       
@@@

Beberapa jam sebelum pertandingan, Lingga menemui ayahnya di lobby. Bram memberikan amplop coklat untuk Lingga.
“Itu brosur salah satu akademi sepakbola di Inggris. Papa udah pegang tiketnya. Kalo Rosengard menang, besok pagi kita berangkat. Mamamu udah duluan terbang ke sana.” Kata Bram tanpa basa basi kepada anaknya.
“Akademinya Arsenal ya?” tebak Lingga penuh semangat. Karena Arsenal adalah klub sepakbola asal Inggris yang menjadi favoritnya.
“Jangan mengkhayal terlalu tinggi!” dengus ayahnya yang membuat senyum Lingga perlahan memudar. “Tapi papa jamin kamu gak akan kecewa.” Lanjutnya sedikit menghibur.
Lingga tertegun. Hanya ada satu nama yang terlintas dibenaknya. Nalula. Jika Rosengard juara, Lingga berhak atas hadiah taruhannya dari Zagar plus mencicipi training sepakbola di luar negeri. Itu artinya, Lingga harus kembali meninggalkan Nalula untuk kedua kalinya.
“Tapi kalo kamu gagal. Kamu tetep bisa bermain sepakbola, namun hanya klub di Indonesia aja.” Lanjut Bram memperingtakan hasil buruk yang kemungkinan di terima Lingga dan Rosengard.
Ayahnya benar. Jika menang, Lingga bisa mendapatkan semuanya. Tapi jika hasilnya tak sesuai harapan, Lingga harus rela kehilangan segalanya. Masuk akademi sepakbola di luar negeri, dan Nalula tentunya.

@@@

Sesungguhnya Nalula sama sekali gak bisa milih satu dari mereka. Ia rela menunggu hasil akhir dari final hari ini.  Jika ia memilih Zagar, bisa saja ia memporak-porandakan sekuad SMA Rosengard. Tapi jika ia memilih Lingga, Nalula punya strategi khusus untuk melumpuhkan salah satu punggawa andalan SMA Jakabaring, yaitu Zagar.
Tapi segera, ditepiskannya semua pikiran-pikiran licik dibenaknya. Sumpah. Ini murni masalah hati. Nalula sama sekali tak kepikiran dengan Rosengard secara keseluruhan.
Semua semakin berkecamuk di pikirannya kala pertandingan menyentuh ending, drama adu penalty.
Dan kini, ketika Lingga siap mengeksekusi tendangan terakhir, Nalula lebih memilih meninggalkan lapangan sebelum seluruh isi stadion bergemuruh. Cepat-cepat ia melangkah—hampir setengah berlari—menuju locker room. Nalula meraih ranselnya dan mengeluarkan kabel handsfree dan menggantungkannya di telinga. Diputarnya lagu dengan volume keras dari hapenya. Samar-samar Nalula mendengar gemuruh dari arah lapangan ketika ia menutup pintu dibelakangnya dari arah luar.
“Selesai.” Desahnya pelan, lalu segera berjalan berlawanan dengan arah menuju lapangan.

@@@

Nalula jadi orang pertama yang pulang ke apartemen. Dibantingnya tubuhnya ke atas kasur dan menenggelamkan wajahnya ke bantal. Esok pagi, sebuah babak baru dalam hidupnya telah menunggu. Nalula justru berharap hari esok tidak akan pernah terjadi.
Nalula gak siap bertemu Lingga. Nalula gak siap bertemu Zagar. Nalula gak siap bertemu Kharis. Nalula gak siap bertemu nyokapnya. Intinya, Nalula gak siap buat bertemu siapa-siapa dalam hidupnya. Sampai akhirnya ia tersadar setelah seseorang mengguncang-gungcangkan tubuhnya.
“Nal, bangun Nal.” Tegur Riva yang duduk di tepi tempat tidur Nalula.
Nalula mengerjap-ngerjap. Setelah pulang dari stadion, tak ada lagi yang bisa ia ingat. Nalula langsung tertidur sampai pagi.
“Sory ya.” Ucap Riva penuh rasa bersalah. “Sebenernya gue gak tega bangunin. Tapi Dari tadi ada yang nungguin lo diluar, jadi gue terpaksa ngelakuin ini.”
Deg. Seseorang telah menunggu Nalula diluar. Ia pun mulai menerka-nerka. Lingga? Rasanya tak mungkin, karena Riva tak menyebutkan nama seolah-olah ia tak mengenal orang itu. Berarti, Zagar? Dalam sekejap, terfikir untuk Nalula melompat turun dari tempat tidur. Tapi baru ia sadari, kaos yang dipakainya basah kuyup karena keringat. Dan badannya terasa berat untuk digerakkan.
Reva muncul dari balik pintu. “Nih, Nal minum dulu.” Reva menyodorkan segelas teh hangat.
Semula Nalula bingung harus seperti apa menyambut kedatangan Reva. Cukup aneh karena kedua anak kembar dihadapannya ini terlihat khawatir karenanya. Tiba-tiba Riva menempelkan punggung tangannya ke kening Nalula.
Seketika, Riva menoleh ke Reva yang masih memegang gelas. “Feeling tuh anak beneran gak meleset.” Ujarnya cukup kalut. Nalula semakin bingung dibuatnya.
Kepanikan Riva sontak langsung menular ke Reva. “Aduuuhh, Nal.” Keluhnya. “Lo minum ya. Gue gak tau deh gimana lagi ngadepin Diaz kalo tuh anak lagi kalut.”
Nalula siap membuka mulut, tapi langsung ditahannya ketika pintu menjeblak terbuka. Diaz muncul tergesa-gesa. “Diaz lo gak sopan masuk kamar cewek!” bahkan omelan Reva pun tak dihiraukannya. Kini ia telah duduk ditepi tempat tidur Nalula setelah menarik paksa Riva untuk berdiri.
Diaz terlihat tak karuan meski tak ditunjukannya. Wajahnya agak pucat. “Lo sakit?” yang pertama bertanya justru Nalula ketika Diaz menggenggam kedua tanga Nalula.
Diaz tak menjawab, ia menoleh ke Riva dan Reva yang berdiri disampingnya. “Bisa tinggalin kita berdua?” Reva siap memprotes, namun Diaz lebih sigap karena ia tau apa yang ingin dikatakan Reva. “Berarti lo gila kalo mikir bahanya ninggalin gue berdua sama Nalula, apalagi dalam kamar.”
Diaz benar. Reva tak jadi protes. Justru ia menyodorkan gelas yang sejak tadi ditangannya. “Makasih.” Diaz tersenyum menggoda. “Oiya, satu lagi.” Ujar Diaz ketika si kembar telah sampai diambang pintu. “Tolong tutup pintunya ya.” Pinta Diaz dengan sangat lembut membuat kening Reva berkerut. Riva hanya tersenyum menanggapinya. Tapi tetap diturutinya permintaan Diaz meski dengan wajah gak ikhlas.
“Jadi lo yang dari tadi nungguin gue di depan?” tanya Nalula begitu Diaz kembali menatap kearahnya.
Diaz menghela napas. Disodorkannya teh manis hangat yang ada di tangannya. “Lo pasti kepikiran kejadian semalem?”
Nalula tak menjawab. Ia pun sengaja tak melihat ke mata Diaz ketika menyeruput minumannya.
“Semua udah tau tentang taruhan gila yang dilakukan Lingga dan Zagar.” Diaz berujar lembut namun sarat akan kekecewaan. “Sesungguhnya taruhan itu gak adil buat Lingga.”
Nalula mengkerutkan keningnya. Menyalahkan pernyataan Diaz. “Yang seharusnya ngerasa gak adil tuh gue.” Protesnya.
Diaz tersenyum. Ada hal yang belum diketahui Nalula. “Nggak, Nal.” Kata Diaz tegas sambil mengeleng. “Lingga pemenangnya. Tapi Lingga gak bisa mendapatkan seluruh hadiah yang menjadi hak nya.”
Nalula menyipitkan matanya. Semua yang dikatakan Diaz masih mengambang dibenaknya.
“Om Bram menghadiahi Lingga kesempatan berlatih di sebuah akedemi terkenal di Inggris.” Diaz memulai. “Dengan syarat, Lingga harus membawa Dipokar meraih juara.” Terdengar cukup berat Diaz bercerita. Karena ia pun harus ikut merasa kehilangan jika temannya itu benar-benar memilih pergi ke luar negeri.
Nalula menatap Lingga lekat-lekat. Ia mencurigai sesuatu terhadap Diaz yang tia-tiba terdiam. “Kapan Lingga berangkat?” tanya Nalula tegas.
Diaz terlonjak kaget. Tak disangka Nalula langsung menghadiahinya pertanyaan yang tak bisa diterka sebelumnya. “Satu jam lagi pesawatnya terbang.”
Nalula cukup terperangah. Secepat itu kah? Pikir Nalula. Tanpa pikir panjang, diletakkannya gelas itu di atas meja samping tempat tidur. Lalu Nalula bergegas menuju lemari dan mengambil sebuah kaos dan membawanya ke kamar mandi. Gak sampai semenit, Nalula sudah kembali keluar dengan memakai kaos yang baru saja diambilnya.
“Lo temenin gue nemuin Lingga.” Pinta Nalula meski terdengar setengah merintah. Ia menatap Diaz sekilas sebelum meraih ponselnya diatas bantal, lalu segera menuju pintu.
Diaz yang tak bisa menolak, dan segera mengikuti langkah Nalula.

@@@

Tak sampai setengah jam, Nalula sampai di bandara. Ia bergegas turun dati taksi yang ditumpanginya. Dibelakangnya Diaz mengikuti. Ia menatap berkeliling.
Disampingnya, Diaz mencoba menelepon seseorang. “Sial!” gerutunya. “Nomornya Lingga gak aktiv.” Ucapnya pada Nalula yang langsung beranjak dari tempat itu. Diaz masih terus mencoba menghubungi Lingga, sambil harus terus mengimbangi langkah Nalula yang setengah berlari.
Sampai akhirnya Nalula berhenti dengan tiba-tiba dan membuat Diaz sekuat tenaga menghentikan langkahnya agar tidak menabrak tubuh Nalula. Namun usahanya sia-sia. Meski tidak terlalu keras, namun tubuhnya tetap sedikit membentur tubuh Nalula yang berdiri didepannya.
“Sorry, Nal.” Ujar Diaz peruh rasa bersalah. Nalula yang diam membuat Diaz mencari tau apa yang sedang ditatap Nalula dengan lekat. Beberapa meter di depan mereka, Lingga berdiri juga menatap terpaku, terutama kepada sosok Nalula.
Perlahan Nalula melangkah mendekat. Lingga terlihat mempersipakan diri. Kini jarak mereka tidak sampai dari satu meter. PRAAKK… Sebuah hadiah tamparan mendarat empuk di pipi kiri Lingga.
“Kenapa lo gak nemuin gue?” pertanyaan Nalula memaksa Lingga menatapnya. “Masih kurang kalian mempermainkan gue dengan taruhan tolol itu.” Suara Nalula penuh dengan kekecewaan.
Sesaat Lingga memalingkan wajahnya ka arah lain. “Gue kalah, Nal.” Ujar Lingga pelan. Ada kesungguhan dalam matanya.
Nalula siap kembali membuka mulut, namun Lingga mematahkannya sebelum Nalula sempat berucap. “Gue kalah buat ngedapetin lo lagi.”
Nalula tak habis pikir dengan apa yang terucap dari bibir Lingga. “Ga.” Nalula memanggil ditengah keterpurukan hati Lingga. Namun yang bersangkutan tak memberi respon. Nalula yang terlihat gemas, langsung memeluk Lingga dengan cukup keras sehingga tubuh Lingga sedikit bergerak mundur. “Kasih gue alasan kenapa lo ngelakuin ini ke gue.”
Jantung Lingga berdegup dengan kencangnya. Ia mulai panic dan tak membalas pelukan Nalula karena beberapa pasang mata mulai memperhatikan mereka, namun Nalula tampak tak peduli dengan tatapan orang-orang disekitarnya. “Nal.” Bisiknya pelan. Ia menatap berkeliling mencari Diaz yang tiba-tiba aja menghilang. “Diaz gak ada.”
“Gue gak peduli.” Balas Nalula enteng, masih dalam pelukan Lingga.
Terdengar suara diudara menyebutkan pesawat yang akan ditumpangi Lingga akan segera berangkat.
Nalula dapat merasakan gerakan yang dilakukan Lingga. “Gue gak akan ngelepasin pelukan sebelum gue ngedapetin alasan yang gue cari dari lo.” Ancamnya. “Gak peduli kalo lo harus ketinggalan pesawat.” Lanjutnya tanpa rasa berdosa.
Lingga tersenyum lega. Barulah ia balas memeluk Nalula, bahkan lebih erat. “Sejujurnya gue gak rela lo jatuh dipelukan siapapun. Termasuk Zagar. Tapi gue kasih pertimbangan buat dia.” Ujar Lingga berusaha terdengar tanpa beban. “Gue bisa sedikit tenang kalo lo sama Zagar.”
“Gimana perasaan lo ke gue?” nampaknya Nalula belum ingin melepaskan Lingga begitu aja.
Lingga terperangah mendapati Nalula mempertanyakan hal itu kepadanya. Lalu ia tersenyum. Satu kebahagiaan terselip di dadanya. “Gue sayang lo. Dulu, sekarang, dan gue mau selamanya perasaan gue tetep sama meski mungkin suatu hari nanti lo gak bisa gue miliki.”
Rasanya cukup meyakinkan dan gak berlebihan juga apa yang dikatakan Lingga. Nalula melepaskan pelukannya.
Akhirnya, Lingga terlepas dari tekanan pertanyaan yang diluncurkan Nalula. “Sekarang lo udah puas sama jawaban gue?” Lingga balik bertanya meski sebenarnya ia kecewa seiring terlepasnya pelukan Nalula.
Nalula melipat tangannya di depan dada. “Kenapa lo segampang itu ngelepas gue ke Zagar?” Ternyata Nalula belum selesai hanya sampai disitu.
Lingga ikut melipat tangannya di depan dada. “Kata siapa?” Lingga cukup tegas bertanya menandakan ia belum sepenuhnya kalah. Nalula menatap Lingga penuh minat. “Sekarang mungkin dia bisa bernapas lega. Tapi setelah gue balik…” Lingga sedikit member jeda di ucapannya. Ia menunduk untuk mendekatkan wajahnya ke telinga Nalula. “Jangan harap kalian bisa pacaran dengan tenang.” Lanjutnya melalui bisikan. Kemudian kembali menegakkan badannya.
Sebenarnya Lingga mengancam, tapi Nalula tak merasakan itu sebagai ancaman. “Berani ngelakuin itu?” Nalula menantang.
“Berani!” Jelas saja Lingga menyambutnya dengan sukarela. “Walau harus ngebunuh Zagar sekalipun.”
Nalula mengangkat bahunya. Ia tak mau mengambil pusing dengan pernyataan terakhir Lingga yang terdengar sedikit ekstrim.
“Jadi…” Lingga memandang Nalula dengan tatapan menggoda. “Apa gue udah boleh pergi?” tanya Lingga kerena cukup lama Nalula diam.
“Nggak!” ucapnya tegas. Nalula menggeleng dengan jelas. “Sebelum lo terima ini.” Ancamnya sambil menyodorkan sebuah jam tangan bermodel sport yang didominasi dengan warna merah.
Lingga tertegun melihatnya.
“Itu hadiah terakhir dari bokap pas gue ulang tahun kemaren.”
Lingga mendongak. “Kenapa malah lo kasih ke gue?” Dipandanginya Nalula dengan tatapan bingung. “Itu pasti berharga banget buat lo.”
“Lo pikir? Gue sempet gitu beliin lo hadiah buat kenang-kenangan? Lo mau pergi aja gak ngasih tau gue.” Nalula sedikit sewot dan menyalahkan Lingga. “Endingnya, gue kesini sama Diaz Cuma bawa diri.”
Lingga tertegun mendengar nada bicara Nalula.
“Sekarang, lo mau terima atau mau gue bunuh sebelum lo sempet bunuh Zagar duluan?” tanya Nalula setengah mengancam. Meski maksudnya sama sekali bukan seperti itu.
Lingga tersenyum. Tersenyum lepas. Samar-samar ia terlihat semabil menggeleng. Rasanya, tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Nalula terhadapnya. Antara beban dan bahagia, Lingga meraih jam itu dari tangan Nalula. Diperhatikannya tiap detail dari jam itu. Namun seketika ia tersadar Nalula belum menarik tangannya dan masih diposisi seperti tadi dengan bagian telapak tangan menghadap ke atas. “Sekarang apa lagi?” tanya Lingga. Ia sangat ingin memberikan apapun yang diminta Nalula.
“Seratus ribu.”
Lingga terperangah. “Hah?” Antara percaya dan tidak. “Buat apa?” Ia kembali bertanya dengan suara hampir terbata-bata.
“Gue udah gak punya duit lagi buat ongkos pulang ke apartemen.” Jawab Nalula dengan polosnya. “Barang-barang gue kan masih di sana.” Lanjutnya dengan ekspresi tanpa rasa berdosa.
Lingga masih terperangah. Membuat Nalula terbahak karenanya. Sesaat Lingga masih terdiam. Tidak lama, kemudian ia ikut tertawa menyadari kebodohannya yang dengan mudah kembali dikerjai Nalula.
“Ternyata, playboy kayak lo bisa juga dikadalin sama cewek.” Celetuk Nalula sambil berusaha meredakan tawanya.
Tepat. Lingga memang terkenal playboy, namun ia tak menapik hal ini. Lingga gak berkutik di depan Nalula. Naluri playboynya runtuh seketika. Tapi justru ia sama sekali tak menyesali. Kebahagiaan yang telah lama dinantinya : melihat Nalula tertawa dan tersenyum untuknya. Ini akan dijadikannya hadiah kemenangan terindah.
Sisa tawa Nalula telah tergantikan dengan senyuman. Tanpa ragu, Lingga meraih kedua tangan Nalula dan digenggamnya erat membuat cewek didepannya terdiam seketika. Perlahan ia mulai mendakatkan wajahnya ke wajah Nalula sambil memejamkan mata. Begitu pula yang dilakukan Nalula. Semakin lama semakin dekat. Lingga berniat mencium kening Nalula. Namun bukan itu yang berhasil diraihnya. Sebuah benda asing berhasil menghalanginya. Sontak Lingga membuka matanya.
        Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah Diaz yang melotot kepadanya sambil membentangkan Koran tepat di depan wajah Lingga. “Kalo ampe lo berani nyium Nalula, sumpah lo bakal gue matiin!” Ancamnya serius.
        Lingga tertawa. Agak malu sih sebenernya ketauan Diaz. Makanya, Lingga Cuma sanggup ngacak-ngacak bagian belakang rambutnya seperti yang sering ia lakukan. Dan Nalula, tersenyum geli menanggapi sikap Lingga yang kelewat salting.
       
@@@

        Zagar terlihat bersandar di tiang depan pintu masuk apartemen sambil memutar-mutarkan ponselnya dengan satu tangan. Tampangnya terlihat cukup jenuh. Sampai akhirnya di kejauhan, ia melihat sosok yang sejak tadi ditunggunya, Nalula yang bersama Diaz. Sontak, Zagar langsung menegakkan posisi badannya. Zagar terlihat sama gugupnya ketika melihat Diaz membisikkan sesuatu pada Nalula sambil sesekali melirik terhadapnya.
“Gue bakal ngawasin lo dari dalam. Karena gue gak mau bener-bener kecolongan sama apa yang nyaris Lingga lakuin ke lo tadi.” Ancam Diaz. Kemudian ia sedikit mmepercepat langkahnya meninggalkan Nalula.
Ketika berhadapan dengan Zagar, Diaz sempat berhenti sesaat untuk menepuk pundak Zagar. Lalu kembali berjalan ke dalam.
Zagar tanpa sadar memandang mengikuti arah langkah kaki Diaz. Ia menghela napas. Kemudian berbalik dan sedikit terkejut mendapati Nalula yang kini berdiri dihadapannya.
Nalula menatap Zagar. Kegugupan jelas tersirat di wajah Zagar. Nalula mengusap-usap kedua telapak tanagnnya. “Rasanya gak adil ya kalo Cuma Lingga yang nerima hadiah dai gue.” Nalula berkata tanpa menatap Zagar. Pandangannya menjelajahi pemandangan sekitar.
“Hmm..!!” Zagar mengangkat salah satu alisnya. “Perasaan gue gak enak nih.” Tebak Zagar, ketika melihat gelagat mencurigakan dari sikap Nalula. Lalu perlahan melepas kacamatanya.
Nalula tersenyum menggoda. “Feeling yang bagus.” Pujinya. Dan… PRAAAKKK…!!! Nalula menampar pipi kiri Zagar sebelum cowok di depannya ini sempat merespon.
Zagar terlihat terkejut sambil memegangi pipi kirinya. Nalula menunggu sambil melipat tangan di depan dada. Ia sama sekali tak meminta maaf atau pun merasa bersalah. “Kayaknya tamparan gue gak sesakit apa yang gue rasain gara-gara taruhan konyol lo sama Lingga!” ucap Nalula tegas.
“Lo boleh tampar gue sepuas lo.” Ujar Zagar sungguh-sungguh. “Dan gue sadar kalo ide gila gue ini pada akhirnya bakal nyakitin lo. Karena itu, gue minta maaf, Nal.” Tanpa di duga, Zagar merendahkan badan sampai akhirnya ia berlutut di depan Nalula.
Nalula mendorong pelan meski sedikit ada pemaksaan hingga Zagar terduduk. “Lo apa-apaan sih!” Nalula langsung mengambil posisi duduk di samping Zagar.
Cukup lama keheningan menguasai mereka.
“Konyol.” Zagar menertawai kebodohannya. “Gue percaya sama Lingga seperti halnya Lingga percaya sama gue kalo gue bisa ngejagain lo.”
Nalula memperhatikan seseorang yang telah sedikit mengacaukan perasaanya. “Tapi posisi lo gak bener-bener aman sekarang.” Ia seolah memperingatkan Zagar atas ancaman yang diberikan Lingga.
“Bukan sekarang.” Zagar membalas tatapan Nalula. “Tapi nanti.”
“This is just a game.” Nalula tersenyum meremehkan. “Kalian gak bisa terpaku sama hasil akhir pertandingan kemaren.”
Zagar menghela napas. Sesaat, ia memalingkan wajahnya ke tempat lain sebelum akhirnya kembali memandang Nalula. “Gimana perasaan lo ke Kharis?” Zagar berusaha sedikit mengalihkan perhatian Nalula.
Nalula menggeleng dengan cukup mantap. “Gak adil tiba-tiba gue ngusik kehidupan Kharis sama kakaknya Danu. Dengan klaim, gue jatuh cinta sama orang yang selama ini menjadi kakak buat gue.”
Mata Zagar tak pernah lepas dari wajah Nalula yang entah kenapa, terlihat berbinar menutupi rasa sakit ketika harus mengikhlaskan Kharis hanya akan menjadi kakaknya.
“Itu gak nyaman.”
“Sangat.” Nalula tersenyum. Ia memandang hamparan langit luas yang seolah ikut tersenyum bersamanya. “Lingga.”
Zagar ikut mendongak bertepatan ketika sebuah pesawat melintas di atas mereka.
“Untuk kedua kalinya, gue ditinggal sama cinta pertama gue.” Pengakuan yang cukup menggelikan dari Nalula. tidak pernah sekalipun Nalula segamblang ini mengutarakan perasaannya.
“Apa itu adil?” Tanya Zagar yang tak ingin sedetikpun kehilangan momen untuk memandang binar senyum di wajah Nalula. Meski Nalula masih menatap langit tempat pesawat tadi menghilang.
“Harusnya nggak. Tapi itu adil buat satu dari sekian banyak mimpi yang ingin diwujudkannya.” Nalula menghela napas. Obrolan serius ini cukup menguras tenaga dan emosinya. “Dan gue, hanya mimpi terpendam dari masa lalunya.”
“Gue perhatiin dari tadi lo selalu ngebahas masalah keadilan.” Langit yang cerah. Membuat Zagar tak punya alasan untuk mengabaikannya terlalu lama. “So, keadilan apa yang udah di dapat Diaz dan keluarganya dari lo?”
“Pertanyaan bagus.” Nalula tersenyum sambil menunggu Zagar kembali mengalihkan pandangan padanya. Ketika Zagar telah menoleh, Nalula masih tersenyum sambil mengeluarkan ponselnya. Ia mencari nama seseorang dikontak. Kemudian menempelkan ponselnya ke telinga.
“Begitu sampai Jakarta, gue mau ikut pulang ke rumah lo.” Ujar Nalula begitu ada respon dari seberang sana. “Udah saatnya gue balik ke pelukan kalian.” Suara Nalula terdengar lirih.
Zagar cukup tercengang dan sedikit bertanya-tanya perihal seseorang yang baru saja di telpon Nalula. Perlahan Zagar membalikkan badan. Tepat dibalik pintu kaca dibelakangnya, Diaz berdiri mengawasinya dengan posisi ponsel ditempelkan di salah satu telinganya.
Seseorang yang baru saja dihubungi Nalula adalah Diaz. Diaz yang berdiri terperangah, sama sekali tak bisa berkata-kata. Ia hanya sanggup membuka mulutnya. Sebuah kebahagiaan yang amat sangat ia nantikan.
Zagar berdiri melihat Diaz yang dengan susah payah melangkahkan kakinya menuju tempat Nalula berada. Nalula yang menyadari perubahan ekspresi Zagar pun ikut berdiri dan cukup tecengang mendapati Diaz yang kini berdiri dihadapannya.
“Lo gak lagi bercanda kan, Nal?”
Nalula hanya menggeleng untuk merespon ucapan Diaz. Ia menggeleng dengan sungguh-sungguh. Tulus dari hatinya untuk bisa berkumpul dengan Diaz dan ibu kandungnya. Diaz yang tak bisa menahan emosi kebahagiaannya, hanya dapat memeluk Nalula dalam diam.
Nalula membalas pelukan Diaz meski hanya dengan satu tangan. Sementara tanagnnya yang lain, berkaitan erat dengan tangan Zagar. “Gue udah kehilangan papa, mama, Lingga.” Ucap Nalula dalam pelukan Diaz. “Dan gue gak rela kalau harus kehilangan nyokap kandung, dan lo.”
Baik Diaz atau pun Nalula, sama-sama berusaha menahan tangis mereka agar tidak jatuh. Perlahan Nalula menarik dirinya mundur seiring kedatangan Kharis, Vindhya, Ilan, Reva, Riva, Danu dan para punggawa Rosengard yang lain. Setelah melepas genggamannya terhadap Zagar, Nalula gantian memeluk Kharis. Hanya sesaat dan tanpa sepatah kata pun. Nalula merasakan tangan seseorang mengusap lembut lengannya. Itu bukan perbuatan Kharis, begitu menoleh ternyata yang melakukan itu adalah Vindhya yang kini tersenyum manis kepadanya.
“Maafin Nal ya kak.” Ucapnya lirih.
Vindhya menggeleng. “Aku juga minta maaf ya, karena…” Vindhya tak ingin melanjutkan. Ia menarik Nalula kepelukannya.
“Nal sebenernya lo tuh pacaran sama siapa sih?” Suara Tegar yang tiba-tiba muncul, mengacaukan suasana haru yang tengah terjadi.
Nalula langsung melepaskan diri dan menoleh ke arah Tegar yang berdiri dibelakangnya.
“Kalo ternyata lo terima cinta Lingga gara-gara Lingga menang taruhan, berarti lo bohong donk waktu bilang udah jadian sama Zagar.”
Nalula tercengang mendengar pertanyaan ajaib yang keluar dari mulut Tegar. Tapi kemudian ia hanya tertawa menanggapinya. Membuat alis Tegar terangkat.
“Iya deh ngaku.” Kata Nalula akhirnya. “Kemaren emang gue bohong, tapi itu bisa jadi beneran kok.” Dengan ekspresi tersirat, Nalula menyindir Zagar dengan lirikkan.
Keberangkatan Lingga yang tiba-tiba sudah diketahui seluruh punggawa SMA Rosengard. Termasuk juga berita pertaruhan antara Lingga  dan Zagar. Dan sekarang, hampir seluruh pasang mata menatap Zagar.
Zagar yang menyadari maksud dari tatapan orang-orang disekitarnya, meju selangkah mendekati Nalula. “Kayaknya semua udah tau ya.” Sesaat, Zagar terlihat menghela napas. “Jadi, gue langsung ke intinya aja.” Kata Zagar sambil melepas jam yang melilit tangannya. Sebuah jam sport berwarna merah yang hampir setema dengan jam yang diberikan Nalula kepada Lingga ketika di Bandara tadi. “Kalo lo terima cinta gue, lo ambil jam ini.” Ujarnya penuh percaya diri sambil menatap Nalula yang berdiri dihadapannya. “Tapi kalo nggak…” Zagar member jeda pada ucapannya. “Terserah lo aja deh mau diapain nih jam.” Kali ini ucapannya terdengar pasrah.
Nalula menoleh ke Diaz dan Kharis yang kini berdiri bersebelahan. Ia seolah meminta pendapat tentang ‘penembakan’ yang dilakukan Zagar di hadapan hampir seluruh punggawa SMA Rosengard.
Beberapa mulai berseru. “Terima… Terima… Terima…” diikuti pula dengan yang lain membuat suasanya sedikit ramai.
Nalula memegang satu sisi tali jam itu. Sementara Zagar belum melepaskan tangannya dari sisi lain jam itu. Ragu-ragu Nalula mulai menariknya. Namun Zagar seperti belum rela atau hanya ingin mengerjai Nalula dengan tidak buru-buru melepaskan jam itu.
        Nalula kembali menoleh kepada kedua kakaknya. Kali ini ia seperti meminta pertolongan. “Kak…”
        Diaz langsung menngerti dan menunjukkan tatapan mengancam supaya Zagar mau melepaskan jam itu. Genggaman Zagar terasa mulai melemah, Nalula langsung berinisiatif untuk merebut dan langsung dipakaikan di lengan kirinya. Sorak sorai kembali membahana setelah sebelumnya tegang sesaat.
        “Akhirnya, gue langsung dapet pengganti jam yang gue kasih ke Lingga.” Ujar Nalula pelan ditengah ramainya suara-suara. Lagi-lagi tersebut nama Lingga. Nalula tersadar dan langsung menoleh ke Zagar yang kini berada di tengah-tengah kerumunan orang yang ingin mengucapkan selamat padanya.
        Vindhya, Reva dan Riva pun tak mau kalah mengekspresikan kegembiraan mereka dengan mengerubungi Nalula yang tiba-tiba saja tak bisa berkata-kata.
        Kembali sebuah pesawat melintas. Dan sontak saja membuat Nalula kembali mendongak. ‘Gue bukan terpaksa menerima Zagar, tapi gue terpaksa kembali membiarkan Lingga membawa pergi cinta pertama gue. Tapi sekarang, udah ada Zagar yang akan siap memberikan cinta yang lain buat gue.’ Nalula berujar dalam hati sambil tersenyum geli.

@@@

LINGGA DI DALAM PESAWAT…
        Ia hanya sanggup memandangi satu-satunya kenangan yang diberikan Nalula. “Gue gak sabar buat cepet-cepet kembali ke Indonesia untuk gangguin kalian.” Kata Lingga sambil menertawai ide nakal dibenaknya. “Jangan harap ya, kalian bisa pacaran dengan tenang.” Ancamnya pada jam seolah-olah ia sedang berbicara pada Nalula. Lalu mencium jam itu. ‘Gue sayang lo, Nal.’ Ujarya dalam hati.

@@@

rosengard fc (part 14)


14. THE REAL FINAL

Seperti biasa, makan malam bersama. Suasana yang ramai mengakibatkan sedikit antrian panjang. Nalula yang sedikit terlambat datang membuatnya harus mengantri di urutan terakhir. Beruntung, piring bersih yang tersisa cukup untuk dirinya seorang. Begitu meraihnya, tanpa sengaja bersamaan dengan seseorang yang juga mengambil piring itu. Alhasil, piring yang tersisa seolah diperebutkan dua orang. Nalula mendongak, ternyata orang itu adalah Lingga.
        “Yaudah, buat lo duluan aja.” Kata Nalula cepat-cepat.
        Tapi Lingga yang lebih dulu melepaskan tangannya dari piring itu. “Gak perlu. Buat lo aja.” Ujar Lingga dingin. “Gue gak begitu lapar.” Lanjutnya tanpa sedikitpun menunjukkan keramahan pada Nalula. Sebelum Nalula mereasponnya, Lingga cepat-cepat pergi meninggalkan Nalula.
        “Dewa.” Nalula langsung menangkap tangan Lingga sebelum Lingga semakin jauh meninggalkannya.
        Lingga pun menoleh. Ia melepaskan tangannya dari tangan Nalula dengan lembut. “Jangan pernah panggil gue dengan nama Dewa.” Pintanya dengan nada suara yang datar namun mengancam. Dan kembali meninggalkan Nalula.
        Nalula yang tak siap dengan perubahan sikap Lingga, hanya bisa pasrah. Tak lama, Nalula sudah membawa piringnya yang terisi serta minumannya. Meja-meja di sana rata-rata telah terisi penuh. Meskipun ada satu yang kosong, tapi Nalula tak mengenal orang-orang di meja itu. Nalula pun harus sedikit berkeliling mencari sisa kursi kosong dengan penghuni yang juga ia kenal. Beruntung baginya yang melihat satu kursi kosong bersama Zagar, Brian dan Ilan. Ia pun cepat-cepat kesana dengan perasaan lega. Begitu sampai, lagi-lagi bersamaan dengan datangnya Lingga yang kini juga telah membawa makanan dan minumannya.
        Begitu tau dirinya harus kembali berebut dengan Nalula, Lingga memilih untuk mengalah. “Buat lo aja, gue bisa cari tempat lain.” Ujarnya ketus.
        Sebelum Lingga benar-benar pergi, Brian berdiri. “Gue udah selesai kok. Lo bisa duduk di sini.” Ucapnya.
        Lingga hanya melirik sedikit. “Gak perlu. Makasih.” Tanpa menunggu respon apa-apa lagi, Lingga pun pergi.
        Nalula yang kembali kesal dengan sikap Lingga, sedikit membanting piring dan gelasnya ke atas meja lalu duduk di samping Zagar yang menatapnya khawatir.
        “Kenapa lagi lo berdua?” Tanya Ilan curiga.
        Nalula malah menatap Ilan yang duduk di seberangnya. “Tumben lo di sini? Gak sama Riva?”
        Ilan melirik Zagar yang masih sok sibuk melanjutkan makannya. “Gak usah sok ngalihin pembicaraan.” Ujarnya, kemudian menenggak minumannya dan menyandarkan badannya ke kursi.
        “Yaudah lah. Gak usah dibahas sekarang.” Kata Brian mencoba menengahi. “Mending lo makan dulu, Nal.”
        Nalula menarik piringnya. Lalu ia menengok ke kanannya. Tak diduga, ia justru dapat melihat dengan jelas, meja yang letaknya cukup jauh dari tempat ia berada. Meja yang sedikit lebih besar itu dihuni Kharis, Vindhya, Reva, Riva, Danu, dan Diaz, serta Lingga yang ternyata juga bergabung di sana.
        Kharis dan Vindhya seolah memperlihatkan kedekatan di antara mereka. Di mana ketika Vindhya pergi mengambilkan minuman untuk Kharis. Dan ketika Kharis membersihkan tepi bibir Vindhya menggunakan tangannya. Sontak membuat Nalula langsung menjauhkan kembali piringnya dan berdiri.
        “Ada yang mau menenin gue makan diluar?” pintanya tanpa basa basi.
        Ilan dan Brian saling melempar pandangan. Mereka sama-sama melihat ke Zagar yang seperti tak mempedulikan sikap yang ditunjukkan Nalula.
        “Lo pergi sama Zagar aja, Nal.” Ujar Brian tanpa meminta persetujuan dari Zagar sebelumnya.
        Zagar yang semula sibuk dengan makannya, langsung tersedak dan buru-buru menenggak minumannya setelah mendengar perkataan dari Brian. Nalula sendiri baru menyadari bahwa Zagar bahkan belum menghabiskan setengah dari isi piringnya. Padahal yang Nalula tau, sejak kedatangannya, Zagar asik sendiri dengan makannya.
        Zagar menatap Nalula yang masih berdiri. “Emangnya…” belum sempat Zagar melanjutkan kata-katanya, ia justru tanpa sadar melihat ke tempat Kharis berada. Semakin jelas ketika Zagar sedikit menggeser badannya. Kharis dan Vindhya masih terlihat mesra meski di depan Danu dan kawan-kawan. Zagar belum benar-benar lepas dari sedakannya. Brian yang menyadari gelas Zagar sudah kosong, langsung menyodorkan minuman miliknya. Zagar meraihnya sambil menatap Nalula yang juga melihat padanya penuh harap.
        “Lo ngerti maksud gue kan?” tanya Nalula.
        Zagar yang belum bisa mengambil sikap melirik bergantian ke Ilan dan Brian. Mereka justru terlihat seolah mendesak Zagar untuk pergi bersama Nalula. Zagar pun akhirnya perlahan berdiri. Sontak Nalula langsung menggenggam tangan Zagar.
        “Lo masih mau nolongin gue kan, Gar?” Nalula kembali bertanya. Kali ini dengan penuh harap.
        Zagar mungkin tak mengatakan ‘iya’ atau pun mengangguk untuk menuruti permintaan Nalula. Tapi raut wajahnya menunjukkan bahwa iya siap melakukan apa saja untuk Nalula. Dan tanpa segan, Nalula menarik tangan Zagar. Meski pelan, namun Zagar seperti merasakan sebuah tarikan kuat yang membuatnya tak bisa menahan laju Nalula.
        Nalula dan Zagar berjalan ke pintu keluar dan untuk bisa sampai ke sana, mereka harus melewati meja yang dihuni Kharis dan yang lain. Nalula sendiri berusaha tak mempedulikan keberadaan penghuni meja itu. Tak sengaja, di sana mereka bertemu Tegar dan membuat Nalula berhenti. Tepat di belakang Lingga berada.
        “Eh, Nal. Lo sama Zagar jadian?” tanya Tegar dengan polosnya dan sedikit terdengar histeris karena melihat tangan Nalula yang terkait erat dengan tangan Zagar.
        Suara Tegar yang cukup keras, membuat beberapa orang di sana menatap ke Nalula dan Zagar yang tidak juga melepaskan tangan mereka. Termasuk Kharis dan sekitar. Kecuali Lingga yang masih pada posisinya, meski rahangnya terlihat mengeras dan tangannya menggenggam sendok dengan cukup kuat mendengar pertanyaan Tegar.
        “Iya, Gar.” Jawab Nalula. Meski sebenernya ia ingin berkata tidak. Tapi posisi di mana dirinya berada dan karena orang-orang disekitarnyalah yang membuat Nalula terpaksa berbohong. Zagar sendiri sebenarnya ingin mengklarifikasi ucapan Nalula, tapi Nalula meremas tangannya supaya Zagar tak mengacaukan apa yang ia lakukan. “Emangnya kenapa?”
        “Owh…” Tegar manggut-manggut. “Ya gapapa lah, Nal. Itu hak kalian.” Katanya santai. “Oke deh. Langgeng ya buat kalian.”
Ujar Tegar lagi dan dengan cueknya langsung pergi dari sana.
        Lingga berdiri dan berbalik. Dan tepat berhadapan dengan Zagar. Tangannya masih mengepal. Tatapannya seolah siap menghajar Zagar dengan bogemannya. Tapi Zagar sama sekali tak begitu peduli dengan kemarahan Lingga terhadapnya. Bahkan ketika Nalula kembali menarik tangannya, Zagar hanya menatap datar ke arah Lingga. Bahkan sampai Nalula dan Zagar tak terlihat lagi dibalik pintu.
        “Jadi mereka benar-benar pacaran?” Tanya Kharis yang membuat kepalan tangan Lingga melemah hingga akhirnya Lingga kembali terduduk di kursinya. Dan pertanyaan Kharis, sama sekali tak ada yang bisa menjawabnya.

@@@

Ketika sarapan, Nalula yang paling dahulu sampai dibandingkan dengan para punggawa Rosengard yang lainnya. Nalula duduk seorang diri. Tak lama, Kharis muncul bersama Vindhya dan meminta izin untuk bergabung dengan Nalula. Nalula sendiri terlihat sedikit mengangguk dengan cukup malas. Kemudian Diaz dan Danu juga muncul dan bergabung dengan mereka. Sesaat mereka disibukkan oleh aktivitas masing-masing.
“Nal, sejak kapan kamu suka sama bola?” tanya Vindhya yang mencoba untuk lebih dekat dengan Nalula.
Pertanyaan itu bertepatan ketika Nalula menyelesaikan sarapannya. Lalu ia berdiri. “Maaf. Bukannya gak mau jawab. Tapi saya buru-buru.” Kata Nalula tampa sedikitpun melirik ke Vindhya lalu pergi dari sana. “Zagar.” Teriak Nalula begitu berbalik dan mendapati sosok Zagar melintas tak jauh dari sana.
Lingga langsung terlihat tak bersemangat dan menyudahi makannya meski isi dalam piringnya hanya berkurang sedikit.

@@@

Pertandingan puncak selama perhelatan turnamen tahun ini diawali dengan perbutan tempat ke-tiga antara SMA Siliwangi melawan SMA Teladan. Dan kemenangan diraih SMA Siliwangi dengan skor akhir 2-1.
Zagar berdiri di salah satu sudut koridor stadion. Lingga, Diaz dan Danu terlihat melintas. Zagar terlihat mempersiapkan diri. Diantara mereka, Lingga lah yang paling tajam menatap Zagar. Ia pun berhenti tepat di depan Zagar. Tanpa berkata-kata, Lingga menjatuhkan tas nya dan melayangkan sebuah tinjuan ke wajah Zagar hingga membuatnya terjungkal.
“ZAGAR…!!!” terdengar suara histeris Nalula dari ujung koridor. Secepat mungkin ia berlari lalu menghampiri Zagar untuk membantunya berdiri. “Lo gapapa?”
“Nal, lo ngapain ngebelain dia?” pertanyaan Diaz membuat Nalula terdiam lalu berbalik dan menatap satu persatu orang-orang dihadapannya.
“Seharusnya gue yang tanya!” ujar Nalula tegas. “Ada masalah apa kalian sama Zagar!”
“Cuma sedikit say hello aja kok sebelum kita tanding.” Lingga yang menjawab dengan entengnya. “Kenapa? Gak terima kalo PACAR LO TERCINTA gue hajar!” ujar Lingga lagi yang terkesan menyindir dengan member penekanan ketika mengucapkan ‘pacar lo tercinta’. “Mau balas?” Lingga seolah menantang dengan mendekatkan wajahnya ke Nalula. “Nih.”
Dan… BBUUKKK…!!! Lingga terlihat terjungkal. Pelakunya bukanlah Nalula, melainkan Zagar. Diaz yang tak terima sahabatnya di pukul, balas memukul Zagar seperti apa yang dilakukannya terhadap Lingga tadi. Zagar beruntung Diaz hanya memukulnya sekali. Itupun karena Danu cepat-cepat menahan tubuh Diaz yang terlihat sedikit kalap.
“Diaz cukup!” teriak Nalula tepat di depan wajah Diaz. Ia pun terlihat seolah melindungi Zagar dibalik punggungnya.
“Lo yang cukup, Nal!” Diaz tak mau kalah. Ia melepaskan diri dari tubuh Danu. Sementara Zagar dan Lingga kini telah terlihat kembali berdiri. “Kenapa sikap lo berubah?”
“Oh ya?” Nalula malah menantang. “Apa yang lo tau dari perubahan sikap gue?”
“Yang gue tau, sikap lo berubah sejak lo makin deket sama cowok ini!” Diaz menunjuk ke arah Zagar yang kini berdiri tepat di belakang Nalula.
Zagar tersenyum pahit dan menatap Diaz. Nalula sendiri berusaha tetap menghalangi Zagar agar tetap berdiri dibelakangnya. “Gue rela dihajar seluruh punggawa Rosengard sekalipun. Tapi satu hal yang gak bisa gue terima.”
“Gue setuju kalo lo rela digebukin anak-anak Rosengard.” Lingga berkomentar yang dihalangi Danu yang berdiri di antara dirinya dan Diaz.
“Tunggu sampe Zagar selesai bicara.” Perintah Danu.
“Apa?” Diaz meminta Zagar meneruskan ucapannya tadi.
“Silahkan lo menganggap gue membawa dampak buruk untuk Nalula. Tapi jangan pernah kalian nyalahin sikap Nalula.” kata Zagar akhirnya.
“Kenapa jadi lo yang ngelarang?”
Zagar kembali tersenyum. “Menurut kalian, siapa yang udah bikin Diaz bisa jadi asistennya Kharis?”
Diaz, Danu dan Lingga saling pandang. “Kita tau, itu semua Nalula yang minta langsung ke nyokapnya Diaz.”
Nalula tercengang mendengar apa yang sebelumnya dikatakan Zagar. Ia menoleh dan menatap mata Zagar yang baru ia sadari pula, bahwa telah lama Zagar tak mengenakan kacamatanya. “Gar, pliss jangan katakan lagi.” Pintanya.
“Dan siapa yang udah minta izin ke nyokapnya Diaz agar Diaz diperbolehkan main bola lagi?” Zagar masih melanjutkan meski Nalula menatapnya penuh permohonan. Zagar akhirnya merespon Nalula. “Mereka harus tau semuanya, Nal.”
“Iya tapi gak sekarang.”
“Gue gak peduli.” Kata Zagar lagi sebelum akhirnya kembali menatap Lingga cs. “Dan apa kalian pikir, semua yang udah dilakukan Nalula itu gratis?”
Masing-masing mereka mencerna tiap kata yang diucapkan Zagar. “Maksudnya?” Tanya Danu yang kurang mengerti.
“Nalula mengajukan syarat.” Zagar kembali meneruskan.
“Gue gak mau denger lagi.” Keluh Nalula yang kemudian pergi dari sana. Namun beruntung bagi Zagar yang berhasil meraih tangan Nalula sebelum Nalula benar-benar telah jauh melangkah.
“Jika Rosengard berhasil menjadi juara, Nalula minta nyokapnya Diaz untuk tak berharap banyak karena Nalula memilih untuk tetap tinggal bersama Kharis.” Zagar terus berujar seolah tak mempedulikan Nalula. Ia pun semakin kuat menahan tangan Nalula ketika Nalula sendiri berusaha untuk melepaskan diri. “Tapi jika Rosengard kalah, Nalula akan rela untuk tinggal bareng lo dan nyokap lo.” Ucapan Zagar yang terakhir ditujukan untuk Diaz. Karena ia mengatakannya sambil menatap sudara kembar Nalula ini.
“Apa semua yang diucapkan Zagar bener, Nal?”
Nalula tak ingin menjawab pertanyaan Diaz. Yang ia inginkan hanyalah pergi dari tempat itu tanpa mendengar semua rahasianya dibongkar oleh Zagar.
“Tapi kenapa lo bersikap gak adil ke kakaknya Danu?” Lingga tak mau ketinggalan.
Untuk masalah yang satu ini, nampaknya cukup berat bagi Zagar untuk mengatakannya. Ia sempat melihat ke Nalula yang tak bergeming. Nalula hanya menatap ke arah lain untuk menghindari kontak langsung ke mata Zagar. Namun tangannya tetap berusaha memberontak.
“Gue rasa, mereka Cuma salah paham aja.” Zagar berbohong.
“Tapi kenapa lo rela ngelakuin ini, Nal?” tanya Diaz.
“Awalnya gue Cuma udah gak mau terlibat di sepakbola. Dan kartu as terakhir Rosengard adalah lo.” Nalula menjawab tanpa menoleh sedikitpun ke Diaz. “Ternyata gue salah. Masih ada hal yang harus gue selesain. Dan satu-satunya cara adalah dengan bergabung sama kalian.”
“Tapi kenapa semuanya harus dipertaruhkan?” Diaz terlihat sedikit kecewa.
Nalula akhirnya menoleh dengan posisi tangan yang masih dalam genggaman Zagar. Cukup lama Nalula menatap hampa ke Diaz. “Apa bokap pernah nemuin lo?” Nalula sedikit menunggu respon Diaz. “Nggak kan? Karena nyokap juga gak pernah nemuin gue sebelumnya.” Tak ada satupun yang benari merespon ucapan Nalula. “Kita dipertemukan dalam kondisi sulit. Setelah bokap gak ada, nyokap tiba-tiba muncul di hidup gue dan minta gue balik.”
“Tapi dia nyokap lo juga.” Danu berujar pelan.
“Sederhana memang.” Nalula member jeda di ucapannya. “Tapi semua gak segampang itu, Dan.” Nalula melihat di mana Danu berada, dan air matanya pun pecah.
Dirasa genggaman tangan Zagar mulai melemah, Nalula tak buang kesempatan untuk melarikan diri. Namun terlambat bagi Zagar atau pun Lingga yang sebelumnya berada tidak jauh dari Nalula untuk menangkap kembali tangannya. Mereka hanya memperhatikan langkah Nalula ke ujung koridor. Di sana terlihat Kharis yang berjalan ke arah berlawanan sehingga Nalula sempat sedikit menabrak bahu Kharis. Tapi Nalula sama sekali tak mempedulikan keadaan Kharis. Ia terus saja berlari hingga sosoknya tak terlihat di belokan ujung koridor.
“Kasih tau sama gue, siapa di antara kalian yang udah bikin Nalula nangis?” tanya Kharis sedikit tersulut amarah.
“Gue.” Jawaban Zagar membuat Diaz, Lingga dan Danu melebarkan mata mereka tanda tak percaya.
“Hebat.” Hanya itu kata yang keluar dari mulut Kharis sebelum akhirnya mendaratkan satu tamparan di pipi kiri Zagar kemudian pergi. Tapi nampaknya sama sekali tak ada sedikitpun kekecewaan Zagar terhadap sikap Kharis terhadapnya. Justru rasa lega lah yang dialami Zagar.

@@@

Pertandingan terakhir yang sudah sangat di nantikan. Partai final antara SMA Jakabaring melawan SMA Rosengard. Nampaknya turnamen tahun ini akan mendapatkan juara baru. Dimana sang juara bertahan—SMA Siliwangi—harus rela hanya menduduki posisi ke-tiga setelah sebelumnya mengalahkan SMA Mandala.
Sebelum memasuki lapangan, kedua punggawa dari masing-masing tim bersiap dangan berbaris di pinggir lapangan sesuai klub. Lingga dan Zagar berdiri bersebelahan di barisan terakhir. Beberapa pemain terlihat sambil melakukan sedikit peregangan.
“Gue mau kita bertaruh.” Tantang Zagar tanpa menoleh di sela-sela aktivitasnya seperti yang lain. Berlari-lari ditempat.
Lingga yang sadar Zagar berbicara kepadanya, langsung menoleh hati-hati. “Apa yang mau lo pertaruhin?” meski feelingnya gak enak, Lingga tetap balas menantang.
“Nalula.” jawab Zagar dengan entengnya, kemudian dengan tatapan yang bisa dibilang cukup meremehkan, Zagar menatap Lingga.
Kecurigaan Lingga benar. Ia pun cukup terbelalak mendengarnya. “Lo gila?”
Zagar malah tersenyum. Ia mengawasi sekitar. “Gila?” balas Zagar. “Tapi gue yakin lo pasti gak nolak.” Zagar terdengar mengecilkan volume suaranya ketika beberapa rekan se-timnya juga beberapa dari Dipokar mengawasi pembicaraannya dengan Lingga.
Belum sempat Lingga kembali menjawab, barisan perlahan maju untuk memasuki lapangan. Layaknya pertandingan resmi, seluruh pemain yang berada di lapangan bersalaman.
Kick off babak pertama pun dimulai. Diawali dengan tendangan operan dari Ilan ke Danu. SMA Rosengard —melalui duet Lingga dan Diaz—menekan barisan pertahanan SMA Jakabaring di awal-awal pertandingan. Zagar yang biasa beroperasi di depan pun harus ikut mundur ke barisan pertahanan. Zagar yang berposisi di sayap kanan seringkali berpapasan dengan Lingga yang berada di sisi kiri lapangan Rosengard. Adanya insiden kecil, membuat wasit harus menghentikan pertandingan untuk sementara waktu.
Zagar tak menyia-nyiakan waktu untuk menghampiri Lingga yang berdiri tak jauh darinya. Lingga sendiri sepertinya langsung mengerti dengan kedatangan Zagar. “Mau taruhan apa dari Nalula?” Sergah Lingga sebelum Zagar benar-benar berada di hadapannya.
Zagar tersenyum menanggapi tebakan Lingga yang sangat tepat. “Kalo Jakabaring menang, gue mau lo ngelepasin Nalula buat gue.” Kata Zagar tanpa basa-basi. “Dan bantu gue ngedapetin Nalula.” tambahnya.
“Maksudnya?” Lingga memandang bingung Zagar. “Bukannya kalian udah jadian?” Tanya Lingga dengan enggannya.
Lagi-lagi Zagar tersenyum mengawali responnya. “Lo boleh percaya atau nggak, tapi gue berani bersumpah demi apapun, semua yang lo denger itu bohong. Gue emang punya perasaan ke Nalula, tapi kita belom jadian.”
Lingga tampak sulit berekspresi. Entah ia harus senang atau malah sebaliknya. Tapi jelas terlihat, meski samar, ada segores senyum di wajahnya. “Kalo Rosengard yang menang?” Balas Lingga penuh percaya diri. Ada sedikit perasaan lega di dalam dirinya.
Pertanyaan Lingga bertepatan dengan kembali bergulirnya pertandingan yang sebelumnya sempat sedikit tertunda. Baik Lingga atau pun Zagar, harus kembali focus ke posisi masing-masing. “Lo boleh minta apa aja dari gue.” Teriak Zagar karena kini ia sudah berlari jauh meninggalkan Lingga.
Di sana Zagar berpapasan dengan Ilan yang langsung memandanginya dengan tatapan curiga. Zagar pun memahami kecurigaan sahabatnya itu dikarenakan oleh sedikit perbincangannya dengan Lingga tadi. “Sorry, Lan. Kali ini gue gak bisa cerita dulu.”
Tampaknya Ilan sangat memahami itu. Ia langsung menoleh ke arah kiri, tepat di mana Nalula berada. Ini memang rencana mereka. Ilan hanya mengangkat bahunya menandakan bahwa ia tak mendapat hasil apapun. Zagar yang menyadarinya hanya memberikan senyuman dan sedikit kedipan mata menggoda untuk Nalula yang menatapnya datar.

@@@

Pertandingan kembali dilanjutkan. Kali ini gantian Rosengard yang diserang oleh dua striker Jakabaring, Bagas dan Christ. Tak luput, Zagar pun ikut membantu penyerangan. Kali ini bola berada di kaki Zagar yang berdiri sedikit diluar area kotak penalty Rosengard. Di sana ia terus dibayang-bayangi Irham dan Hexa. Dalam keadaan terdesak, Zagar justru malah melepaskan umpan lambung ke mulut gawang Rosengard yang hari itu dikawal oleh Windu. Beberapa orangpun melompat. Disana ada Anjar, Khai dan Christ, namun bola dapat dihalau oleh Khai. Namun sayang, bola justru jatuh tepat di kaki Bagas yang berdiri bebas. Kesempatan emas yang tak disia-siakannya untuk merobek gawang Windu di menit ke-10. 1-0 keunggulan untuk SMA Jatidiri.
Seluruh pemain dan official klub SMA Jatidiri pun bersorak menyambut gol yang dicetak oleh Bagas. Beberapa yang berada di dalam lapanganpun berhamburan ke arah Bagas. Kejadian unik pun terjadi. Bagas yang usai mencetak gol langsung berbalik dan berlari. Orang pertama yang dilihatnya adalah Diaz, yang memang berdiri tak jauh dibelakangnya. Dan tanpa sadar, Bagas justru memeluk Diaz yang tampak sangat bingung. Bagas tak begitu mempedulikan sikap janggal yang ditunjukkan Diaz. Ia kini berlari menuju Danu dan Lingga yang berdiri berdampingan. Tak ayal, Bagaspun memeluk mereka bersamaan. “Kok kalian gak keliatan seneng sih?” tanya Bagas dengan polosnya. Ia memang belum menyadari sikap anehnya.
Danu menatap Lingga yang juga balik menatapnya. Lingga hanya mengangguk sedikit. Maksudnya adalah mengajak Danu untuk tak mengecewakan kebahagiaan Bagas. Biar gimanapun, Bagas tetap sahabat mereka. “Iya, Gas. Kita ikut seneng kok.” Kata Danu akhirnya. Meski hanya ingin menghibur sahabatnya. Kemudian, Bagaspun melepaskan pelukannya.
Tak lama, Bagas berlari ke tepi lapangan. Kharispun jadi sasaran pelukan Bagas berikutnya. Kharis hanya berdiri diam tak bereaksi. Hingga sampailah pada sosok Nalula yang berdiri tak jauh dari posisi Kharis berada sambil melipat tangannya. Bagas mendapati tatapan aneh yang ditunjukkan Nalula. Disinilah akhirnya Bagas menyadari atas apa yang dilakukannya. Sontak, pelukannya terhadap Kharispun terlepas.
Bagas langsung memandang berkeliling. Malu rasanya dilihat seluruh pasang mata yang memadati stadion. “Maaf kak.” Ucapnya pada Kharis sebelum akhirnya kembali ke dalam lapangan. Ia hanya bisa tertunduk.
Zagar merangkul Bagas dari belakang. “Kita gak nyalahin sikap lo kok.” Ujar Zagar berusaha menghibur Bagas yang menyesali sikap bodohnya. “Biar gimana pun, mereka adalah sahabat lo.”
Pertandingan pun kembali dilanjutkan.

@@@

LOCKER ROOM SMA ROSENGARD
Suasana cukup hening dalam beberapa saat. Karena ini babak final, jadi tertinggal satu angka saja bukan perkara mudah untuk mengejarnya. Sialnya, semua berimbas ke seluruh punggawa SMA Rosengard.
Nalula terlihat gelisah menunggu Kharis berkomentar. Perasaannya semakin gak nyaman melihat Vindhya semakin tak bisa jauh dari keberadaan Kharis. Beruntung sebuah sms masuk dan menyelamatkan kegelisahannya. Nalula berdiri tepat ketika Kharis akan bicara.
“Ada yang mau kamu omongin, Nal?” tanya Kharis.
Nalula yang tak siap, memandang berkeliling. “Nal, mau permisi keluar sebentar.” Katanya. Dan sebelum mendapat persetujuan dari Kharis, Nalula suda menyeruak keluar locker room.

@@@

Diluar, Brian sudah menunggunya.
“Lingga sama Zagar taruhan buat ngedapetin lo.” Kata Briab tanpa basa basi ketika Nalula baru saja menutup pintu.
“Hah…!” Nalula terbelalak. “Mereka gila apa?”
“Ya.”
Nalula berbalik. Ilan sudah ada dibelakangnya.
“Mereka berdua gila karna cintanya ke lo.” Ujar Ilan lagi. Ilan muncul bukan dari dalam locker room. Tapi dari arah lain. Nalula baru menyadari kalau sejak tadi ia tak melihat Ilan di dalam.
“Ya tapi…” Nalula hampir tak bisa berkata apa-apa. “Gak harus pake taruhan kan?” Nalula gantian memandang Brian dan Ilan.
Brian terlihat mengangkat bahu. “Ini jalan yang mereka pilih.” Ujarnya pasrah.
Beneran. Nalula bener-bener bingung. Ia gak tau harus bersikap seperti apa. “Ini gak adil buat gue.”
“Adil atau nggak, permainan ini akan tetap berjalan.” Ilan memperingkatkan. “Dan salah satu dari mereka harus siap kalah segalanya.” Lanjutnya.
Nalula menatap Ilan penuh curiga. “Berarti lo udah tau semua permainan mereka?”
Ilan sama sekali tak bisa menyangkal tuduhan Nalula. “Gue tepat berada dibelakang mereka ketika mereka membicarahan itu.”
“Tapi kenapa lo malah…”
“Gue sengaja.” Ilan memotong ucapan Nalula, karena ia tau arah tujuan perkataan Nalula. “Sengaja biar Zagar gak curiga. Gue tau gimana posisi lo. Ini bukan sekedar permainan.”
“Kalo gitu, siapa yang lo pilih?” Brian membuat Nalula menatapnya.
Jelas terlihat, mata Nalula tak menjawabkan apa-apa. Tak ada yang benar-benar ia inginkan. Baik Zagar yang selama ini menjadi sahabat terbaiknya ataupun Lingga yang pernah menjadi bagian masa lalunya.
“Lo gak mau perasaan lo ditentukan sama pertandingan hari ini kan?” tanya Brian lagi dengan sedikit mendesak.
Brian benar. Pikir Nalula. Tapi kedua orang itu (Zagar dan Lingga), mereka bukannya orang-orang yang tak diharapkannya, tapi Nalula sama sekali tak bisa menerka perasaannya. Tak ada yang ia harapkan kecuali dua orang itu tetap menjadi bagian di kehidupannya.
“Atau lo lebih milih Kharis dan mengabaikan dua orang yang jelas-jelas punya perasaan ke lo?” desak Ilan.
Butuh waktu buat Nalula untuk benar-benar memahami perasaannya. Lingga. Zagar. Atau bahkan bukan keduanya. Kharis? Nalula tak tau. “Biarin gue sendiri.” Hanya itu yang dikatakannya sebelum meninggalkan Ilan dan Brian ke dalam locker room.

@@@

Pertandingan babak kedua dimulai. Bola dikuasai anak-anak SMA Rosengard, tapi Bagas dapat merebutnya dan langsung mengoper ke Zagar. Satu-satunya cara untuk menghentikan pergerakan Zagar yang bebas adalah dengan menjatuhkannya. Cukup keras pelanggaran yang dilakukan Irham. Zagar tampak meringis sambil memegangi kakinya dan harus ditandu keluar lapangan untuk mendapatkan perawatan. Sedangkan Irham harus diganjar kartu kuning oleh wasit.
Nalula memang kecewa dengan berita pertaruhan antara Zagar dan Lingga. Tapi ia tetap tak bisa tinggal diam melihat sahabatnya menderita. Hanya satu hal yang dipikirkannya. Yaitu ia harus mengecek sendiri kondisi Zagar. Nalula pun menghampiri Zagar yang tengah dalam perawatan.
Samar-samar, Zagar melihat Nalula berlutut di sampingnya. “Nal, lo ngapain ada di sini?” ujarnya sambil menahan rasa sakit.
Cukup lama Nalula diam, ia hanya menatap Zagar antara kecewa dan khawatir. “Cowok bego!” Zagar serius menatap Nalula yang berucap seperti itu. “Lo pikir gue gak tau tentang taruhan konyol kalian!” Suara Nalula terdengar kecewa, namun ia sama sekali tak bisa marah terhdap Zagar.
Zagar tertunduk. Ia sama sekali tak ingin menanyakan dari mana Nalula mengetahui hal ini. Tapi yang ia tau, Nalula bener-bener kecewa. “Gue tau lo bakal marah.” Ujarnya pelan.
“Iya! Jelas gue marah!” Kata Nalula tegas.
“Tapi lo jangan marah ke Lingga karena ini semua ide gue.” Zagar memperingatkan. Tatapan lembutnya mengarah ke mata Nalula. “Dia Cuma korban perasaan gue.”
Entah apa maksudnya Zagar berkata demikian. “Apa lo bakal…”
Seolah mengetahui apa yang akan dikatakan Nalula, Zagar pun menyelaknya. “Gue gak akan ngebatalin taruhan ini.” Sergahnya lalu berdiri karena perawatannya telah selesai.
Nalula perlahan mengikuti Zagar yang telah berdiri. Jauh di dalam lapangan, Nalula bisa melihat jelas seseorang menatap ke arahnya. Siapa lagi kalau bukan Lingga? Sorot matanya tak menunjukkan apa-apa. Tapi Nalula tau kalau Lingga cukup cemburu karena ia pasti menganggap Nalula memberi perhatian lebih ke Zagar.
“Dan terserah kalo lo kecewa sama gue.” Lanjut Zagar sebelum akhirnya mulai melangkah untuk kembali ke lapangan.
“Dan gue bakal lebih kecewa lagi kalo lo gak bisa menangin taruhan itu.” Teriak Nalula dari belakang punggung Zagar. Ia tau Zagar pasti mendengarnya. Karena sontak Zagar langsung menghentikan langkahnya. Nalula melihat Zagar mulai berbalik dengan perlahan. Dan di sinilah Nalula mulai merasakan sesuatu berdesir dalam dadanya. Sumpah! Nalula tiba-tiba gak siap untuk mendapati Zagar menatapnya. Dan semua sebenarnya tanpa sadar keluar dari mulut Nalula.
Zagar pun sama. Rasa sakit yang masih menyelimuti kakinya pun menandakan bahwa ini bukan mimpi. Meski Nalula lebih dulu kembali ke bangku cadangan sebelum sempat ia melihat wajahnya. Tapi itu semua cukup membuatnya bisa sedikit tersenyum. 1-0 untuk dirinya atas Lingga. Kini Zagar berada di atas angin.

@@@