Minggu, 24 Februari 2013

(TRIO) KIM KIBUM



Apa yang ada di benak kalian jika mendengar nama KIM KIBUM?? Salah satu member boyband ngetop di Korea…

Apakah kalian akan terbayang Kim Kibum super junior??


Si cowok ganteng pemilik julukan ‘killer smile’. Meski keberadaannya semakin menghilang di daftar member super junior, salah satu pemeran dalam film ‘Jumunjin’ ini pasti tetap memiliki tempat tersendiri di hati para ELF (terutama ‘snowers’)…


@@@

Atau malah kamu langsung terbayang wajah Kim Kibum Shinee??


Siapa sih yang gak tau pria imut penyuka warna pink dan lebih terkenal dengan nama Key Shinee ini? Untuk kamu kamu para ‘Shawol’ terutama ‘lockets’, tentu saja akan langsung membayangkan member Shinee satu ini yang selalu membawa keceriaan di mana pun ia berada…



@@@

Tapi bisa jadi, kalian malah teringat Kim Kibum ex personil U-Kiss??



Kim Kibum yang satu ini pernah menjadi bagian dari boyband U-Kiss kurang lebih selama periode 2008-2011. Kalian para Kiss-me pasti tau kalo cowok ganteng ini adalah adik kandung dari salah satu member SS501, Kim Hyung Joon…


Jadi, Kim Kibum mana yang ada di hati mu???

BLACK ORCHID (part 3)



        Jung Woon, Siwon, Ryeowook dan Sun Woo mulai mengatur strategi untuk menolong Hyukjae. Ketika mobil van pergi dan hanya meninggalkan satu orang saja yang berjaga di sana, mereka pun beraksi.
        Yang pertama maju adalah Sun Woo. Ia menyamar menanyakan alamat. Kebetulan di daeran tersebut memang sangat sepi oleh warga. “Maaf paman, saya sedang mencari alamat, dan tidak ada siapapu di sekitar sini.” Berhasil. Sun Woo berhasil membawa pria tersebut hingga keluar gang. Sementara Jung Woon dan Siwon mengikuti dari belakang. Setelah mendapatkan sedikit celah, mereka pun tak menyia-nyiakan untuk menyelinap ke dalam gang tersebut.
        Hanya beberapa meter dari sana, mereka menemukan bangunan yang berdiri di tengah-tengah dan dikelilingi tembok yang cukup tinggi. Beruntung di sana tidak ada orang lain lagi yang menjaga. Siwon dan Jung Woon dapat segera masuk dengan mudah, karena pintu juga tidak terkunci. Bangunan hanya terdiri dari satu ruangan. Dan di sanalah tubuh lemah Hyukjae terbaring. Pria itu masih sadar sepenuhnya, namun ia tak bisa menggerakan bagian tubuhnya.
        “Tuan, jangan khawatir. Kami teman-teman Joon. Kami akan segera menyelamatkan mu.” Kata Siwon ketika di hadapan Hyukjae.
        Meski tak bisa melakukan apa-apa, namun terlihat dari mata Hyukjae bahwa pria itu sangat berterima kasih dengan dua pemuda di hadapannya.
        “Hei…! Siapa kalian!” Siwon dan Jong Woon sontak menegang.
‘Sial. Kami tertangkap.’ Rutuk Siwon dalam hati. Perlahan ia pun bangkit dan berbalik. Seorang pria berpakaian sama dengan pria yang bersama Sun Woo di luar menodongkan pistol bergantian tepat ke wajahnya dan Jong Woon.
“Ayolah tuan. Jangan menggangu waktu santai kita.” Kata Jung Woon seolah meremehkan bodyguard itu.

@@@

        “Siwon dan Jung Woon tertangkap. Segera habisi pria itu.” Kata Ryeowook kepada Sun Woo melalui monitor yang dihubungkan melalui alat yang digunakan Sun Woo untuk bisa mendengarkan kata-kata dari Ryeowook.
        Sun Woo melirik pria tersebut yang masih menjelaskan sesuatu padanya. “Terima kasih telah membantu, paman.” Kata Sun Woo setelah pria itu menyelesaikan kata-katanya. “Kalau begitu saya permisi.” Lanjut Sun Woo.
Ketika berbalik, Sun Woo sambil mengambil selembar sapu tangan dari balik saku jaketnya. Ia pun kembali berbalik dengan cepat dan mendekap pria tadi dari belakang menggunakan sapu tangan tadi. Seketika, tubuh pria itu melemah hingga akhirnya kehilangan kesadarannya. Tentu saja karena Sun Woo telah memberikan obat bius di sapu tangan tersebut.
        Sun Woo menekan sebuah tombol kecil pada benda semacam handsfree yang tergantung pada daun telinganya. “Cepat ke lokasi.” Perintah Sun Woo kepada Ryeowook. Lalu ia pun segera melesat menelusuri gang kecil tadi.

@@@

        Joon berkeliling di tengah gelapnya malam untuk mencari keberadaan Haesa. Ia merasa seolah memiliki tanggung jawab terhadap gadis itu. Pemuda ini pun menajamkan penglihatannya sambil mengedarkan pandangan melalui kaca mobil. Dengan spontan, kakinya menginjak pedal rem karena melihat gang sempit di seberang sana, tempat ia pertama kali bertemu Haesa.
        Joon pun segera menepikan mobil lalu menyeberang. Entah dengan alasan apa ia merasa Haesa berada di sana. Ketika beberapa meter sebelum Joon sampai, ia pun melihat seorang pemuda berbelok dan masuk ke dalam gang tersebut juga.
        “Sung Sandeul?” pekik Joon pelan membuatnya tiba-tiba saja teringat dengan pekerjaan kotornya yang harus ia selesaikan sekarang. Perlahan Joon mengikuti dan menjaga jarak agar tidak mencurigakan. Ia juga telah menyiapkan pistol dalam genggamannya. Jika waktunya telah tepat, ia akan segera menghabisi nyawa Sandeul.
        Joon melihat Sandeul kembali berbelok. “Sandeul?” terdengar suara seorang gadis dari arah tempat Sandeul berbelok. Joon pun menahan diri untuk tidak menyerang sekarang, karena saat itu Sandeul tidak sedang sendiri.
        “Aku hanya jalan-jalan. Dan ku dengar Haesa sering menemui Cheondung di sini. Jadilah aku ke sini.” Kata Sandeul menjawab kebingungan Haesa. Sandeul menatap Haesa dengan menyiratkan pertanyaan tentang siapa pemuda yang berdiri di samping Haesa itu.
        “Kenalkan, dia Choi Minho.” Minho dan Sandeul saling berjabat tangan. “Sandeul teman ku semasa pelatihan mua thai.” Jelas Haesa sambil menatap Minho. “Dan Minho…”
        “Kekasihmu, kan?” potong Sandeul.
        Sementara di ujung gang tempat Sandeul muncul, Joon dapat dengan jelas mendengar ucapan orang-orang di sana. Ia pun juga bisa melihat jelas ke arah Sandeul, Haesa dan Minho karena tempat itu dilengkapi penerangan.
        “Sandeul teman Fleur?” Tanya Joon seorang diri tak mempercayai begitu saja dengan apa yang dilihatnya.

@@@

        “Cepat pergi, atau aku akan membunuh kalian.” Ancam Soohyun.
        “Sebelum kau membunuh kami, kami lah yang akan membunuh mu terlebih dahulu.” Balas Sun Woo yang ternyata juga telah medodongkan sebuah pistol di belakang kepala Soohyun.
        Jung Woon tak menyia-nyiakan kesempatan ketika Soohyun lengah. Ia pun merebut pistol tersebut dari tangan Soohyun lalu balas menyodorkan pistol ke depan wajah Soohyun.
        Siwon sendiri langsung bertindak dengan menggotong tubuh Hyukjae seorang diri. Soohyun pun digiring meninggalkan bangunan tersebut. sementara Sun Woo tak lepas menatap lekat wajah Soohyun. Ia merasa seperti mengenal orang itu.
        Di luar sana, Ryeowook berdiri di samping pria yang tergeletak tak sadarkan diri akibat obat bius yang diberikan Sun Woo. Ia pun tersenyum lega melihat Siwon muncul sambil menggotong tubuh Hyukjae. Namun ekspresinye berubah seketika saat melihat wajah pria yang digiring oleh Sun Woo dan Jung Woon.
        “Kak Soohyun?” tebaknya dengan mata terbelalak.
        “Akh… ternyata benar?” Tanya Sun Woo memastikan kebenaran apa yang ia pikirkan sejak tadi. “Pantas saja aku seperti pernah mengenalnya.”
        “Kalian mengenalnya?” Tanya Jung Woon kepada dua adiknya dengan tatapan menyelidik.
        “Dia seniorku dan Sun Woo ketika kami belajar ilmu bela diri.” Jelas Ryeowook.
        “Kalian bereskan orang itu, dan aku akan membawanya ke mobil.” Perintah Jung Woon dan langsung disetujui dua adiknya.
        Namun ketika baru beberapa langkah, Soohyun memberontak dan berhasil merebut pistol dari tangan Jung Woon. Sun Woo yang sadar dengan kejadian itu langsung menyodorkan kembali pistolnya ke arah Soohyun. Namun Soohyun lebih dulu menodongkan pistol ke wajah Jung Woon.
        “Letakkan senjatamu atau kau mau dia mati?” ancam Soohyun. Tidak ingin mengambil resiko, Sun Woo pun menuruti dengan melepaskan pistolnya ke aspal lalu mengangkat ke dua tangannya. Namun di saat yang bersamaan, terdengar satu kali suara tembakan.
        Jong Woon memejamkan matanya, namun ia tak merasakan sakit di bagian tubuhnya yang manapun. Justru Soohyun lah yang menjerit karena peluru yang melesat keluar dari pistol yang digenggam Siwon menembus kakinya. Perlahan pria itu pun tersungkur namun masih dapat sadarkan diri.
        “Ayo cepat.” Jong Woon mengingatkan kembali untuk Ryeowook dan Sun Woo kembali menjalankan tugas mereka. Sementara ia akan membawa Soohyun ke dalam mobil.
        Sun Woo memungut pistolnya lalu dimasukkan ke dalam saku jaketnya sebelum ikut membantu Ryeowook membawa pria yang masih pingsan tadi ke dalam gang.

@@@

        Beberapa kali Minho terlihat melirik arlojinya dengan gusar.
“Kau kenapa?” Tanya Cheondung yang curiga dengan perubahan sikap Minho.
“Aku tak bisa berada di sini lebih lama lagi.”
Haesa menatap Minho khawatir. “Kenapa? Apa besok kau akan bertanding?”
“Iya. Besok kami akan bertanding melawan timnas Indonesia.” Kata Minho berusaha terlihat semangat.
“Waah…” gumam Sandeul kagum. “Kau pemain sepakbola?”
Minho menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. “Doakan kami menang ya? Dan kalau sempat, datanglah ke stadion.” Katanya untuk menutupi kegugupannya.
“Akan ku usahakan.”
Setelah Sandeul berkata, Minho pun berdiri. Meski sebenarnya ia sangat tak ingin meninggalkan tempat itu. Terlebih di sana ada Haesa, kekasihnya. Saat Minho bangkit, tangan Haesa ikut terangkat. Ternyata gelang yang dipakainya tersangkut ke ujung jaket Minho.
“Sepertinya aku memang tak diizinkan untuk pergi.” Kata Minho sedih sambil melepaskan gelang Haesa dari jaketnya. Haesa pun hanya tertawa menanggapinya. Minho membimbing tangan Haesa untuk gadis itu berdiri.
Sandeul dan Cheondung terbelalak dengan pemandangan di hadapan mereka. Sontak saja merek pura-pura sibuk sendiri dan seolah tak melihat bahwa Minho hendak mencium Haesa.
“Nitip salam buat Baekhyun, katakan juga kalau aku ingin berfoto dengannya.” Perkataan Haesa seketika membuat Minho mengurungkan niat. Padahan bibir mereka hanya berjarak beberapa centi lagi sebelum akhirnya bertemu.
“Tak akan ku biarkan.” Cibir Minho kesal. Namun sedetik kemudian ia kembali tersenyum. “Jaga diri mu.” Ujar Minho sambil mengacak rambut Haesa. Lalu beralih melirik Cheondung dan Sandeul. “Kalian tolong jaga Haesa untuk ku.” Pesan Minho sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.

@@@

        Joon masih setia menunggu di sana. Ia juga melihat ketika Minho mulai melangkah ke arah tempat ia berada. Joon pun bergerak mencari tempat aman untuk bersembunyi dari Minho.
        Tak lama Minho pun melintas dan pemuda itu bisa dipastikan tak menyadari kehadiran Joon. Setelah Minho menghilang dari pandangannya, Joon hendak kembali ke persembunyian yang sebelumnya. Namun tiba-tiba ada sebuah tangan menggapai pundaknya.
        “Kau tak akan bisa lolos lagi, Joon.” Ancam sebuah suara di belakangnya.
        Joon digiring keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka adalah orang-orang yang memang tengah mengincar Joon. Kyung Jae, Sunghyun dan Jaeseop. Namun bukan Joon namanya kalau ia hanya diam saja. Joon pun berontak membuat Kyung Jae mengeluarkan pistol miliknya.
Adu jotos pun tak bisa dihindari karena Sunghyun dan Jaeseop tak mau melepaskan Joon begitu saja. Kyung Jae sudah mengarahkan pistolnya ke tubuh Joon. Namun karena Joon terus bergerak menghindar, memukul bahkan menendang membuat tubuhnya sesekali dihalangi tubuh Sunghyun dan Jaeseop sehingga Kyung Jae tak juga mengambil keputusan menembak. Ia takut mengenai satu dari dua temannya.
Sesekali Joon meraba-raba jaketnya tapi ia tak dapat menemukan pistolnya yang entah jatuh di mana. Kesempatan. Kyung Jae menarik pelatuk, dan… DOR! Peluru pun lepas landas. Namun sayang, yang menjadi korban bukanlah Joon, melainkan Jaeseop yang tanpa sepengetahuan Kyung Jae mendekat untuk kembali menyerang Joon.
Joon pun segera melarikan diri dari sana.

@@@

        Sun Woo sibuk dengan laptopnya. Sementara Ryeowook membersihkan luka di kaki Soohyun yang ternyata hanya terserempet peluru yang dilepaskan Siwon. Lalu Jung Woon menemani sang ayah, Kang Hangeng yang seorang dokter untuk memeriksa kondisi Hyukjae. Namun Siwon hanya duduk di sudut ruangan memperhatikan aktifitas orang-orang yang berada satu ruangan dengannya.
        “Sepertinya selama diculik, Hyukjae diberikan obat pemati saraf. Dia masih mendengar dan melihat apapun. Namun tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali. Ia juga tak bisa berbicara. Tapi aku telah memberikan obat untuk menghilangkan pengaruh obatnya.” Analisis Hangeng setelah memeriksa kondisi Hyukjae.
        “Apa Tuan Hyukjae masih bisa sembuh?” Tanya Sun Woo setelah aktifitasnya selesai.
        Hangeng menoleh ke anak bungsunya. “Tentu saja.” Katanya cerah. “Namun butuh waktu yang tidak sebentar karena aku yakin pasti Hyukjae mengalami ini dalam jangka waktu yang cukup lama.” Ujarnya kemudian.
        Suasana pun hening seketika. Ryewook bangkit karena tugasnya telah selesai. Beberapa kali sejak membawa Hyukjae dan Soohyun, Jung Woon memang terlihat sering memperhatikan Soohyun. Lalu ia pun mendekati Soohyun yang duduk di sofa dengan tatapan menyelidik.
        “Sekarang aku ingat kalau aku juga pernah mengenalmu.”
        Soohyun mendongak dan menatap Jung Woon bingung. “Maksudmu?”
        “Kau Shin Soohyun, kakak kelas ku di SMA.” Ujar Jong Woon yakin. “Kenapa kau menjadi seperti ini? Bukan kah kau termsuk siswa berprestasi?”
        “Seperti apa maksudmu?” Tanya Soohyun lagi yang masih kurang mengerti dengan maksud ucapan Jung Woon.
        “Kenapa kau malah membantu Shin Donghee? Kau tau kan siapa dia?” Jung Woon langsung ke maksud pertanyaannya.
        “Aku tidak membantu. Bahkan dia tidak tau bahwa aku menjadi anak buahnya.” Semua mata menatap Soohyun yang tengah bercerita. “Posisiku sebenarnya tidak resmi di sana. Aku hanya ingin membalas dendam ku pada orang itu…” Soohyun menuding tajam ke arah Hyukjae. “…yang telah membunuh kekasih ku dua tahun lalu.”
        “Bohong!” tegas Siwon namun matanya telah tertuju ke Hyukjae.
        Sun Woo sangat terlihat tertarik dengan pemandangan di hadapannya namun ia tak berniat untuk terlibat.
        Saat Soohyun bercerita dan menuduh Hyukjae membunuh kekasihnya, Siwon sontak melirik Hyukjae dan melihat mata pria itu yang seperti menyiratkan sesuatu bahwa bukan dia yang melakukan itu.
        Siwon ganti menatap tajam Soohyun. “Hyukjae telah berhenti dari pekerjaan kotor itu hampir 20 tahun, bahkan ia pun menghilang sejak 5 tahun lalu. Dan kemungkinan terbesar adalah Shin Donghee yang melakukannya bahkan Shin Donghee telah mengambil alih agensi itu dari tangan Hyukjae.” Jelas Siwon.
        “Kau salah besar jika ingin membalaskan dendam kepada Hyukjae dan keluarganya.” Lanjut Jung Woon membuat Soohyun tenggelam dalam pikirannya seorang diri.

@@@

        Cheondung menatap Haesa dalam. “Sekarang kau katakan padaku, kau tinggal di mana?” Tanya Cheondung ketika Minho sudah tidak ada di sekitar mereka.
        “Dengar.” Haesa berusaha setenang mungkin menghadapi Cheondung. “Semalam aku bertemu seorang pemuda yang dikejar oleh 3 pria. Aku tak kenal satu pun dari mereka. Namun anehnya, pria yang mengejar itu justru malah menginginkan ku dan akan melepas kan pemuda itu.” Jelas Haesa.
        Sandeul dan Cheondung dengan seksama mendengarkan tiap kata yang keluar dari mulut Haesa.
        “Tapi pemuda itu tak menurutinya. Dia malah membawaku lari.” Lanjut Haesa. Lalu ia menghela napas sejenak. “Maaf aku tak jujur dengan kalian bahwa aku telah menjual apartmen ku. Dan semalam aku tidur di apartmen pemuda itu.”
        “Kau tidur dengannya?” cetus Cheondung dengan kagetnya.
        “Jangan asal bicara, kau!” kesal Haesa sambil memukul kepala Cheondung. “Dia menyuruhku menggunakan kamarnya. Dan aku malah diingatkan untuk mengunci pintu. Sementara dia menempati kamar seperti ruang kerjanya.”
        “Kau masih tinggal di sana?” Tanya Sandeul penuh minat.
        “Ku bilang aku ingin mencari pekerjaan, namun ia tak mengizinkan ku pergi dan malah menyuruhku bekerja di sana.”
        Cheondung terlihat sesekali masih memegangi puncak kepalanya. “Apa pekerjaan orang itu?”
        “Entahlah. Aku belum tau banyak. Tapi kemarin ia banyak menghabiskan waktu di ruangan itu.”
        “Kalau begitu, cepat keluar dari rumah itu. Dan aku akan mencarikan mu kamar.” Perintah Cheondung.
        “Tidak.” Tolak Haesa. “Kalian cukup mengawasi ku dari jauh. Karena sepertinya orang itu menyimpan sesuatu.”
        “Sesuatu?” Sandeul mengulangi perkataan Haesa. “Apa dia terlihat mencurigakan? Mungkin saja dia termasuk anak buah dari orang yang kita cari.” Tebaknya.
        “Aku akan mencari tau tentang itu. Dan menurutku, dia juga seperti mencurigai sesuatu terhadapku. Aku akan tetap di sana dan mengikuti permainannya.”
        “Kau akan tetap sering datang, kan?” Tanya Cheondung khawatir.
        “Tentu saja.” Jawab Haesa pasti. “Oiya, gimana keadaan kakak dan ibu ku? Sepertinya aku kesulitan untuk ke sana.”
        “Masih seperti yang terakhir kali kau tau. Tapi kau jangan khawatir, Seungho sering menjenguk ibu mu dan Yong Hwa serta Jonghyun bergantian menjaga Kibum.” Jelas Cheondung lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Haesa. “Kau tau? Mereka punya misi mengungkap rahasia anak yang hilang 19 tahun yang lalu.” Bisiknya.
        Suara Cheondung sebenarnya cukup keras untuk ukuran sebuah bisikan hingga membuat Sandeul tertawa kecil karena membayangkan apa saja yang dilakukan Jonghyun dan Yong Hwa.

@@@

        Joon kembali ke mobil. Lalu ada sebuah pesan masuk di ponselnya yang ia tinggal di dalam mobil. Dari Mourice (Kang Sun Woo)…

        Aku mengirim sesuatu melalui e-mail. Tapi ku peringatkan kau untuk jangan gegabah mengambil tindakan. Besok aku dan Siwon akan datang ke sana.

        Setelah membaca isi pesan tersebut, Joon segera melesat kembali menuju apartmennya. Begitu sampai, ia pun segera ke ruangan yang ia gunakan sebagai kamarnya juga setelah Haesa berada di sana. Joon duduk di kursi lalu membuka laptopnya.
        Beberapa jam yang lalu, saat keluarga Kang menemukan serta berhasil membawa pergi Hyukjae, pria yang pingsan akibat obat bius yang diberikan Sun Woo, dibawa masuk oleh Ryeowook dan Sun Woo ke dalam bangunan tempat Siwon dan Jung Woon menemukan tubuh Hyukjae.
        Setelah itu, Sun Woo dan Ryeowook membakar bangunan tersebut beserta pria yang masih pingsan tadi. Secara tidak langsung mereka membunuh pria itu.
        Tentu saja berita yang di dapat Joon tidak seperti kenyataannya. Ia hanya tau bahwa ayahnya ditemukan mati terbakar di dalam bangunan tersebut dan mayatnya sudah tak bisa dikenali lagi.
        Joon hanya sanggup mendekap mulutnya untuk menahan tangis. Tak lama ponselnya bergetar tanda panggilan masuk. Dari Jong Woon. Dengan berat, Joon menjawab panggilan tersebut.
        “Hallo…” kata Joon dengan suara bergetar.
        “Joon, kami tau kau sangat terpukul. Ku ingatkan sekali lagi, kau jangan gegabah melakukan tindakan. Kami di sini akan tetap mencari tau keberadaan ibu mu. Besok Siwon dan Sun Woo akan membantu mu di sana.” Kata Jung Woon panjang lebar. “Kau dengar aku?” tegur Jung Woon karena Joon tak merespon apa pun.
        Klik! Joon sudah tak sanggup lagi. Ia lantas memutuskan sambungan telponnya.

@@@

        Jonghyun masuk ke dalam ruangan serba putih itu, tempat Kibum di rawat pasca kecelakaan beberapa waktu lalu. Ternyata Kibum telah sadar, namun kondisinya masih lemah dan belum diizinkan banyak bicara.
        “Kibum? Syukurlah kau telah sadar.” Kata Jonghyun lega dan Kibum terlihat berusaha menunjukan senyumnya meski sedikit. “Mana Yong Hwa?” Tanya Jonghyun tak berperasaan. Jelas saja Kibum hanya memberi tau lewat lirikan ketika Yong Hwa berada di kamar kecil.
        “Kau sudah di sini?” ujar Yong Hwa ketika baru keluar dan tengah menutup pintu.
        Jonghyun pun berbalik menatap Yong Hwa. “Aku sudah menemukan tanggal lahir Changsun, bulan Februari.”
        Yong Hwa diam memikirkan sesuatu sambil menatap Jonghyun penuh arti. Jonghyun pun tersenyum tanda ia mengerti maksud tatapan Yong Hwa.
        “Malam ini kita beraksi.” Cetus Jonghyun.
        Jonghyun dan Yong Hwa sama-sama menyadari bahwa Kibum mengawasi mereka. “Kau tak perlu tau apa yang akan kita lakukan malam nanti.” Kata Yong Hwa sambil nyengir.

@@@

        Haesa menepati janjinya untuk kembali ke apartmen Joon. Ia melangkah sambil menenteng sebuah kantong plastic berisi makanan yang sengaja ia bawakan untuk Joon. Begitu sampai, Haesa langsung menekan bel di depan pintu apartmen Joon. Setelah beberapa kali, belum ada yang merespon dari dalam.
        “Apa Joon belum pulang?” tebak Haesa namun tangannya iseng membuka knop pintu dan akhirnya pintu terbuka. “Kenapa tak di kunci?” ucapnya heran. Tapi ia tak memepedulikan dan tetap bergegas masuk ke dalam ruangan yang masih gelap.
        Selagi melangkah, tangan Haesa yang bebas meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Setelah ruangan terang, Haesa mengedarkan pandangan. Tak ada yang aneh di sana. Lalu tatapan Haesa tertuju ke ruangan yang biasa di tempati Joon. Haesa pun melesat ke sana sambil meletakkan makanan yang ia bawa di meja manapun yang terjangkau oleh tangannya.
        Pintu itu terbuka sedikit. Haesa memutuskan mengintip terlebih dahulu. Dari dalam terdengar seperti suara orang tengah menangis. “Joon?” teriak Haesa yang khawatir sambil menerobos masuk.
        Tubuh Joon meringkuk di bawah meja. Ia menangis sambil memeluk lutut dan menenggelamkan wajahnya di sana.
        “Joon kau kenapa?” Tanya Haesa ketika ikut berjongkok di hadapan Joon. Namun tak ada respon dari orang yang bersangkutan. “Joon! Ceritakan padaku apa yang terjadi padamu?” Haesa mulai tak sabar mengguncang-guncangkan tubuh pemuda dihadapannya. Sementara Joon masih saja enggan untuk mengangkat wajahnya.
        “Joon!” Haesa memaksa Joon menunjukkan wajahnya. Air mata Joon telah membasahi jeans dan ujung lengan kaosnya. Dan wajah Joon pun terlihat mulai sembap karena telah lama ia menangis. “Kenapa tak jawab? Kau tak menganggap ku ada?”
        Bukannya menjawab, Joon malah semakin keras menangis. “Joon… aku sekarang teman mu. Kau bisa menceritakan apapun padaku mulai hari ini.” Kata Haesa lembut sambil mengusap kedua belah pipi Joon dengan telapak tangannya.
        Haesa menatap Joon yang masih terisak. Ia juga berusaha menahan air matanya agar tak pecah. Namun sebelum semuanya terjadi, Haesa cepat-cepat menarik tubuh Joon ke dalam pelukannya. Dan akhirnya, air mata yang sudah payah Haesa tahan pun jatuh juga.
        “Ayah ku meninggal.” Ujar Joon dengan suara samar membuat Haesa semakin erat memeluknya.

@@@

        Ini adalah kedua kalinya Jonghyun dan Yong Hwa menyamar dan masuk ke ruang arsip. Namun nampaknya malam ini mereka tak terlalu mendapatkan hambatan yang berarti.
        Mereka mencari sesuatu di rak arsip yang sama. Setelah beberapa lama, mereka pun akhirnya menemukan data kelahiran seorang anak laki-laki bernama Park Changsun. Anak dari pasangan Park Jung Soo dengan Kang Soo Ra.
        Jonghyun mengembalikan data-data yang dipegangnya pada tempat semula dengan sangat tak bersemangat. “Pantas saja pihak kepolisian sudah angkat tangan. Karena memang tak ada petunjuk lebih spesifik untuk menemukan anak itu. Apa lagi Changsung kini pasti sudah dewasa.” Ujarnya putus asa.
        “Ayolah… kenapa kau malah seperti ini. Aku yakin misteri ini pasti akan dapat terpecahkan.” Yong Hwa berusaha menyemangati. “Kita tinggal cari petunjuk lain dan menajamkan insting kalau-kalau ada yang mencurigakan yang kita temui di luar sana.”
        “Baiklah…” ujar Jonghyun pasrah.
        Yong Hwa kembali melanjutkan kegiatannya mengembalikan ke tempat semula. “Apa kau sudah selesai?” Tanya Yong Hwa setelah meletakkan kembali map terakhir dalam tangannya.
        Jonghyun pun berbalik dan mengangguk menunjukkan bahwa ia juga telah selesai.
        “Ayo kita pergi dari sini.” Ajak Yong Hwa untuk keluar dari ruangan tersebut.

@@@

        Setelah beberapa saat memeluk tubuh Joon, Haesa pun melepaskan tubuh pemuda dalam dekapannya. “Maaf karena tadi aku meninggalkan mu sendiri…” ujar Haesa merasa bersalah sambil menyeka air mata yang sempat sedikit membasahi pipinya.
        “Tak apa.” Joon mengangguk dan tangisnya pun telah berhenti. “Tapi kau kembali ke sini?”
        “Apa kau tak tau bahwa mencari pekerjaan itu tidak mudah? Aku sudah mendapatkannya, jadi aku akan berusaha untuk mempertahankan pekerjaanku. Apa lagi aku mendapat majikan baik hati seperti mu.” Kata Haesa ceria dan berusaha agar keceriaannya menular ke Joon.
        Joon pun tersenyum samar. ‘Tapi kau tak tau apa pekerjaan ku yang sebenarnya.’ Gumam Joon dalam hati.
        “Aku tau kau pasti belum makan?” tebaknya penuh perhatian membuat Joon mengangguk seperti anak kecil. Haesa semakin merasa bersalah dengan perlakuannya tadi. “Kalau begitu, ayo ikut aku.” Ajak Haesa yang tak sungkan menarik tangan Joon. Pemuda itu pun pasrah mengikuti langkah kaki Haesa.

@@@

        

Lee Joon Mblaq : Idola K-Pop berwajah fleksibel (?)



Kenal Lee Changsun? Bukan Chansung membernya 2pm ya, tapi Lee Changsun member MBlaq yang lebih di kenal dengan nama Lee Joon. Kalau kamu A+, pasti tau. Author pengen sedikit sharing nih tentang salah satu actor yang bermain di film ‘Ninja Asassin’.

Gak tau kenapa, beberapa kali liat Joon, author berfikir ia mirip dengan beberapa Idola K-Pop lain juga. Bukan niat nyama-nyamain, tapi ini hanya menurut pandangan author aja kok…

Pertama : author sempet searching di ‘Google’ tentang beberapa artis Korea yang memiliki wajah mirip dengan artis Korea lain. Ternyata ada yang memposting kalau Joon sering kali dibilang mirip dengan Jung Yong Hwa leadernya C.N Blue.


Hmm… kalo menurut author sih, lumayan mirip. Meski tak semirip Mir Mblaq dengan Hongki FT Island… hihihi


Kedua : ini nih yang bikin author sedikit ‘berantem’ dengan salah satu temen author di akun twitter.



Awalnya author posting foto di atas dan bilang kalau itu adalah Lee Joon Mblaq… tapi temen author malah nuduh author bohong dan dia bilang itu adalah Jinyoung b1a4…


Lalu author upload foto lagi dan bilang : sumpah itu Lee Joon, ini baru Jinyoung… kata temen author : Kok mirip Jinyoung???


Oke readers… apakah menurut kalian mereka mirip???

Terakhir : ini waktu Lee Joon main di acara ‘Running Man eps 104’… entah kenapa, menurut sudut pandang author, ekspresi wajah Joon ketika tertangkap oleh Jongkook tim ‘Running Man’ mirip dengan Leeteuk Super Junior… kalo pada gak percaya, coba liat ini…



Oiya, 1 lagi… kalo kata temen author (yang tadi ‘berantem’ di twitter) terkadang Joon terlihat mirip dengan sesama member MBlaq, yaitu Mir. Kalo untuk versi kartun sih, agak sulit untuk dibedakan…



Tapi, gimana kalo versi aslinya…??


Ini Mir dan Joon dalam MV ‘Oh Yeah’…




Maaf ya kalo author agak maksa… mirip atau nggaknya, author serahkan ke readers… Cuma untuk have fun aja kok… hehehe

Sabtu, 23 Februari 2013

MBLAQ dan B1A4



Kaget pas liat salah satu MV milik b1a4 yang berjudul ‘Tried To Walk’. Ada satu adegan pas Baro ketemuan dengan model video clip. Mereka bertemu di depan sebuah gerbang besar. Langsung tiba-tiba keingetan Mblaq. Mereka juga pernah syuting untuk lagu berjudul ‘One Better Day’ di lokasi yang sama.


Perform MBLAQ dalam lagu ‘One Better Day’



Salah satu adegan yang dilakukan Baro b1a4 dalam MV ‘Tried To Walk’

Author bukan ingin membanding-bandingkan. Itu hanya kebetulan yang unik. Cuma ingin share dan berbagi info aja. Mblaq dan b1a4 sama-sama keren kok *author juga suka mereka*. Mereka punya cirri khas dan keunikan masing-masing. So, buat para A+ dan BANA, keep support bias kalian… ^_^

rosengard fc 2 (part 1)


1.UDAH SETAHUN AJA

1 TAHUN KEMUDIAN…
        Sudah selama itu pula Nalula berpacaran dengan Zagar. Pacaran jarak jauh memang. Karena Zagar memilih untuk tetap tinggal di Palembang. Meski demikian, tiap dua minggu sampai sebulan sekali, Zagar nekat bolak balik Jakarta-Palembang hanya untuk menemui Nalula. Namanya juga Zagar Pamungkas. Gak heran kalo dia begitu. Tapi bukan berarti Zagar meninggalkan sepakbola. Meski status mereka rival, punggawa Rosengard sama sekali tak merasa keberatan jika Zagar ikut berlatih bersama.
        Dan dalam rentang waktu yang sama pula, Lingga berada di negeri orang. Nalula yang benar-benar hilang kontak dengan orang yang satu ini. Sempet nyesel juga gak bisa deket sebelum Lingga ke Inggris.
        Sempat terbesit untuk bertanya perihal Lingga ke anak-anak bola di Rosengard. Tapi percuma. Gak ada satu pun dari mereka yang tau. Bukan karena tidak tau. Justru lebih tepatnya, gak ada yang mau ngasih tau. Anak-anak Rosengard jahat. Pikir Nalula.
        Termasuk Diaz yang berada di daftar orang yang tak ingin memberitahunya. Minta dihajar tuh si Diaz! Tiap kali ditanya, Diaz selalu menggunakan alibi yang sama. Karena Nalula sekarang pacaran sama Zagar. So, Lingga udah gak begitu penting di hidup Nalula. Kata siapa? Nalula gak bisa terima semua alasan Diaz. Bener-bener minta dihajar rupanya!

@@@

        “Mama…” Sapa Nalula pagi itu sambil mengecum pipi mamanya. Nalula duduk dikursi yang selalu ditempatinya tiap makan. Kursi diseberangnya masih kosong. “Pasti telat bangun deh tuh orang?” tebaknya perihal kebiasaan buruk Diaz.
        Sang mama hanya tersenyum menanggapinya.
        “Ma…!” Terdengar suara teriakan Diaz. “Jam yang kemaren mama beliin kok gak ada sih?” Tanya Diaz setengah berlari saking terburu-burunya. Dasinya masih berkibar kemana-mana. Bahkan sepatu ketsnya masih ditenteng.
        “Emang kemaren terakhir kamu taro mana?” tanya mamanya sambil membantu mengikatkan dasi di kerah kemeja Diaz.
        “Nal, itu pasti jam gue kan?” Tuduh Diaz sambil menunjuk jam yang melilit tangan Nalula.
        Nalula menurunkan novel yang tengah dibacanya. “Enak aja! Jangan asal tuduh donk! Emang lo pikir yang punya jam kayak gini Cuma lo seorang?” Nalula tak mau kalah membela diri.
        “Trus siapa lagi?” Diaz balik nanya. “Lagian kan lo biasanya pake jam yang dikasih Zagar.” Kata Diaz lagi sambil mengikat tali sepatunya.
        “Gue kan pake jam itu Cuma kalo lagi sama Zagar aja.” Nalula menunjuk ke atas kulkas yang tak jauh dari meja makan. “Tuh. Siapa yang naro di atas kulkas?”
        Diaz dan mamanya menoleh ke arah yang ditunjuk Nalula. Sang mama langsung menatap tajam ke arah Diaz. Dan si anak malah cengengesan sambil ngeloyor untuk mengambil jam itu.
        “Makanya Diaz, jangan asal uduh orang.” Mamanya memperingatkan.
        “Bukannya asal tuduh, ma.” Kata Diaz setelah kembali ke meja makan. “Aku Cuma salah tebak.” Diaz membela diri. “Lagian, mama juga, beliin kita barang yang model sama warnanya samaan.” Kali ini Diaz malah menyalahkan mamanya.
        “Iya, ma. Lain kali warnanya kek yang beda. Atau bentuknya yang beda.” Nalula malah mendukung Diaz. “Jadi kan mama gak perlu pusing kalo aku sama Diaz berantem.”
        Diaz pura-pura tak mengetahui kalau mamanya lagi ngeliatin dia. Dan Nalula juga kembali pura-pura sibuk dengan novelnya ketika sang mama beralih kepadanya. Begitu ibu mereka beranjak dari sana, Diaz dan Nalula saling pandang sambil menarik napas bersamaan. Sedetik kemudian, mereka tertawa bersama menanggapi kenakalan mereka.
        “Ehm…”
        Seketika, suara sang mama langsung menghentikan tawa si kembar. Nalula buru-buru memasukan bukunya ke ransel lalu berdiri dan mendekati ibunya. Diikuti Diaz.
        “Nal berangkat ya, ma.” Nalula berpamitan sambil mencium punggung tangan lalu pipi mamanya.
        Diaz pun melakukan hal yang sama. Yang membuat mamanya hanya bisa geleng-geleng kepala.

@@@

        Ini hari pertama SMA Rosengard masuk sekolah. Karena masih masa orientasi, belajar efektif pun belum bisa berjalan lancar. Bahkan sebelum jam istirahatpun, kantin sudah dipenuhi siswa dan siswi. Tapi Nalula lebih milih untuk menyendiri di ruang secretariat sepakbola SMA Rosengard. Di sana ia hanya memandangi album kenangan selama mereka mengikuti turnamen.
        Pintu pun menjeblak terbuka, dan seseorang melangkah ke dalam. Namun Nalula tak mempedulikannya. Sampai akhirnya orang itu duduk di depan Nalula dan meletakkan kedua tangannya di atas album, seolah bisa menutupi semua bagian gambarnya.
        Nalula mendongak. “Danu?”
        Danu tersenyum. “Kenapa sih? Udah kangen buat turnamen lagi ya?” Ledek Danu. “Tenang aja. Bentar lagi juga mulai kok.”
        Nalula tak menjawab. Perlahan ia menyingkirkan tangan Danu yang menghalangi foto-foto di album itu. “Beneran kalian gak ada yang tau kabar tentang Lingga?” Nalula bertanya, namun pandangannya sama sekali tak beralih ke Danu.
        “Sebenernya…”
        Nalula menyelak perkataan Danu. “Atau kalian sengaja gak mau kasih tau gue?” Nalula mendesak. Ia menutup album foto itu, lalu menatap tajam tepat di mata Danu.
        Danu diam, namun masih bisa bersikap santai.
        “Berarti selama ini lo terpaksa jadian sama Zagar?” Ada seseorang lagi di antara mereka. Karena Danu bukan tipe orang yang berani ikut campur masalah orang lain. Apalagi yang menyangkut urusan pribadi.
        Danu dan Nalula sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Orang itu tepat berdiri di ambang pintu. Siapa lagi yang berani ngusik kisah cinta Nalula kalo bukan Ilan?
        “Lan, apa salah kalo gue nanya kabar Lingga?” Tanya Nalula dengan posisi tersudutkan. “Biar gimana pun juga, Lingga telah menjadi bagian dari hidup gue. Bagian dari Rosengard juga.”
        Ilan menghela napas. Ia kini sudah berada di antara Nalula dan Danu. “Sory, Nal. Kita Cuma jaga perasaan lo sama Zagar.”
        Nalula berdiri. Rasanya pengen banget buat ngehajar Ilan. Untung aja Nalula gak lupa kalo Ilan adalah temannya. “Lo pikir Zagar gak nanya-nanya tentang Lingga?”
        “Iya gue tau. Zagar juga sempet nanya ke gue.” Ilan membela diri. Tapi Nalula terlanjur tak peduli dan meninggalkannya dengan Danu. “Tapi satu yang perlu lo tau.” Teriak Ilan.
        Nalula berhenti tepat diambang pintu.
        “Segera, lo bakal ketemu sama dia.” Lanjut Ilan membuat Nalula kembali melangkah.
        “Serius, Lingga mau pulang?”
        Ilan menoleh dan dikejutkan karena Danu tengah menatap penuh harap padanya.

@@@

        Sepulang sekolah, seperti kebiasaannya setahun terakhir, Nalula selalu menunggu Diaz di depan pintu gerbang. Namun seseorang yang menghentikan motornya tepat di samping Nalula bukan Diaz. Melainkan itu Ilan yang menyodorkan helm pada Nalula. Nalula meraihnya penuh tanda tanya.
        Ilan membuka kaca helmnya. “Diaz udah pulang tepat pas bel bunyi. Dia buru-buru, makanya dia nyuruh gue buat nganterin lo pulang dan naro helm lo di motor gue.”
        Nalula mengangguk dan tanpa bertanya apapun lagi, langsung naik ke boncengan motor Ilan. Begitu motor melintasi depan halte, Nalula melihat Riva yang ia yakin pasti melihatnya pula, namun langsung saja menoleh ke arah lain. Nalula yang berniat untuk menyapapun hanya bisa menelan ludah. Pasti ada sesuatu. Pikirnya.
        Ilan tak langsung membawa Nalula pulang, karena ia memarkirkan motornya di depan toko donat langganannya.
        “Lo pasti gak bilang ke Riva kalo lo nganterin gue pulang?” Nalula menghujani Ilan dengan pertanyaan seperti itu setelah turun dari motor.
        Ilan menatap Nalula heran. “Maksudnya?” Ia malah balik bertanya.
        Nalula memutar bola matanya. Ekspresi dari kekesalannya terhadap Ilan yang menurutnya terlalu cuek menanggapi hal yang bisa dibilang hanya masalah kecil tapi sebenernya gak bisa disepelekan juga. “Lo tau gak sih pas kita lewat depan halte, di sana ada Riva?”
        “Emang?”
        Nalula tak bisa menahan emosi lagi. Satu jitakan mendarat tepat dikepala Ilan yang langsung meringis.
        “Lo gak pernah ngerasain yang namanya cemburu apa?” Nalula membuat Ilan berfikir. Tapi Nalula gak bisa nunggu lebih lama lagi. “Lo tau kan Riva cemburu banget kalo lo lagi sama gue? Dan begonya, kenapa juga gue mau lo ajak pulang bareng?” Nalula menyalahkan dirinya sendiri.
        “Gue lebih dulu kenal sama lo.” Ujar Ilan enteng dan segera masuk ke dalam toko sebelum Nalula kembali menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan ajaibnya.
        Nalula lebih memilih menunggu di luar.
        Tak berapa lama, Ilan kembali sambil menenteng dua tas kardus dan langsung menyerahkannya pada Nalula. Setelah itu, Ilan membawa Nalula pulang.
        Begitu sampai, ternyata motor Diaz sudah terparkir di sana. Nalula menyodorkan kembali barang belanjaan Ilan.
“Kok dibalikin?”
        “Terus? Gue lagi gak kepengen donat.”
        “Yaudah. Bawa masuk dulu. Zagar mau kesini kan?”
        Astaga. Nalula menepuk jidatnya. Ini hari Jum’at. Dan Zagar memang sudah mengabarinya akan ke Jakarta. Tapi kenapa dirinya justru melupakan hal itu? Nalula menghela napas dan langsung mengajak Ilan untuk masuk. Ia meletakkan tas berisi donat-donat tadi di atas meja makan. Dari arah dapur Diaz muncul sambil membawa dua buah gelas berisi minuman dingin.
        Baik Nalula ataupun Ilan meyakini minuman yang dibawakan Diaz bukan untuk salah satu dari mereka. Nalula tersenyum mengerti dan langsung berlari dari sana menuju kamar Diaz. Ia membuka pintu dan langsung terfokus ke tempat tidur Diaz yang selimutnya seolah menyembunyikan sesuatu.
        Nalula menyeruak masuk dengan semangat ’45. Ia mendekap benda dibalik bedcover itu. “Heh! Bangun lo! Mau ngerjain gue ya dateng cepet?” Kata Nalula sambil menariknya. Tak disangka, Nalula justru tak bisa menahan keseimbangan badannya dan membuat dirinya dan benda yang dipeluknya berguling ke lantai beserta bedcover yang kini melilit mereka.
        Nalula meraih ujung bedcover dan menariknya. Memastikan apa yang berada di dalamnya. Dan betapa terkejutnya Nalula bahwa itu bukanlah seperti yang ia bayangkan. “LINGGA…!!”
        “Nal…!”
        Nalula dan Lingga yang masih berada dalam posisi sama, bersamaan menoleh ke arah sumber suara.
        “Zagar…!” Teriak Nalula. Bersama Lingga, mereka berusaha membebaskan diri.
        Zagar yang semula telah berada di ambang pintu langsung memaksa keluar meski harus menabrak tubuh Ilan dan Diaz yang berada dibelakang dan menghalangi langkahnya.
        Ilan dan Diaz siap mengejar Zagar.
        “Lan.” Teriakkan Nalula mengurungkan niat Ilan, diikuti Diaz. “Bantuin gue.” Kata Nalula lagi dengan susah payah sambil berusaha melepaskan diri, namun hasilnya nihil. Baik Nalula ataupun Lingga, sama sekali tak bisa berbuat banyak.
        Mau tak mau, Ilan dan Diaz berbalik. Tak lama, Nalula yang terlebih dulu terbebas dan sesegera mungkin berlari keluar. Di luar pagar, sosok Zagar terlihat sudah cukup jauh meninggalkan rumah. Nalula kembali ke dalam rumah untuk mengambil sesuatu. Namun tampaknya ia beruntung, kala melihat kunci motor Ilan masih menyangkut di sana. Tanpa pikir panjang, Nalula langsung membawa kaburnya bersamaan dengan Diaz, Ilan dan Lingga yang muncul dari balik pintu dan bersamaan langsung mengejar Nalula.
        Nalula menghentikan motornya tepat di persimpangan jalan. Ia menoleh ke kanan dan kiri mencari-cari sesuatu. Tak jauh dari sana, ada sebuah bangunan yang terlihat sebagai kantor secretariat. Dibagian terasnya terdapat kursi-kursi panjang. Dan seseorang yang dikenal Nalula berada di sana. Zagar. Tanpa buang waktu, Nalula segara menghampiri.
        Nalula duduk di samping Zagar yang terdiam dan hanya memandang lurus ke depan. Sekilas, Nalula melirik Zagar dari arah samping. Matanya terfokus pada bulu mata Zagar yang baru ia sadari begitu lentik untuk ukuran seorang cowok. Mungkin karena selama ini Zagar mengenakan kacamata. Tapi tidak untuk hari ini.
        Zagar menghela napas. Sama sekali tak merespon tatapan Nalula meski ia telah menyadarinya. “Udah setahun aja.” Zagar kembali diam. “Lingga udah balik. Dan gue muncul di saat yang gak tepat.” Kemudian berdiri.
        Nalula tak ikut berdiri, namun ia berhasil menggenggam tangan Zagar sebelum sempat melangkah.
        “First love bisa ngalahin semua rasa.” Kata Zagar lagi yang sebenernya belum bisa diterka maksud dan tujuannya. “Tapi nggak untuk persahabatan.” Lanjutnya sambil menoleh ke Nalula yang masih duduk dan sedikit tertunduk.
        “Gue sayang lo.” Ucap Nalula pelan.

@@@

        Ilan, Diaz dan Lingga duduk dalam diam mengitari meja makan. Tak ada satupun yang bersuara. Bahkan, jeritan dering handphone pun tak bisa memecah keheningan. Es batu dalam gelas minuman yang tadi di buat Diaz pun kini sudah melebur jadi satu dan larut dalam air.
        Tak lama, Nalula dan Zagar muncul. Mereka bergabung di meja makan. Tetap tak merubah suasana. Masih hening yang menguasai.
        Lingga melirik Nalula yang duduk di antara Ilan dan Zagar. Rasanya sudah lama sekali ia tak menatap cewek itu. “Nal, apa kabar?”
        Mendengar itu, Nalula rasanya sangat ingin membentak Lingga yang kini seenaknya menanyakan kabar. Selama ini dia kemana? Yang berusaha menghindar tuh siapa? Tapi ditekannya kuat-kuat perasaan itu. Nalula memperhatikan jam di tangan kiri Lingga. Ia hampir sedikit melupakan bentuknya. Karena cukup lama ia tak melihat benda itu. Tapi Nalula yakin, jam itu adalah pemberiannya untuk Lingga sebelum cowok itu berangkat ke luar negeri.
        “Kok gak jawab?” Tanya Lingga lagi yang merasa pertanyaannya tak direspon.
        Nalula berdiri. “Gue ganti baju dulu.”
        Tak lama ketika Nalula pergi, Ilan mengeluarkan ponselnya. Raut wajahnya seketika berubah. “Wah… Kasus nih, gue cabut dulu ya.”
       
@@@

        Turnamen akan kembali bergulir kurang dari satu bulan lagi. Untuk pematangan, pagi ini punggawa SMA Rosengard menggelar sesi latihan. Dan bukan pemandangan asing lagi ketika Zagar terlihat di antara mereka.
        Sesuai kesepakatan bersama, seluruh pemain menyetujui kalau posisi Riva dan Reva dipertahankan. Alhasil, cewek itu kini duduk di kursi yang memang biasa mereka tempati tiap latihan. Tapi ada yang janggal dengan sikap mereka. Bersama Nalula, dua cewek kembar ini duduk manis dalam diam. Terutama Riva. Bukan hanya diam. Justru lebih terlihat sedikit menjaga jarak.
        “Lo berdua kenapa sih?” Tanya Reva kepada dua cewek yang duduk di kanan dan kirinya.
        “Gak ada apa-apa.” Riva yang menjawab dengan ekspresi dingin. Seolah ia begitu konsentrasi terhadap jalannya pertandingan.
        “Nal.” Reva yang tak mendapat jawaban dari Riva, kini beralih ke Nalula dengan tatapan menuntut penjelasan.
        Seolah tak terjadi apa-apa, Nalula hanya tersenyum di depan Reva. Meski sebenarnya Nalula memang telah menyadari ada sesuatu antara dirinya dengan Riva.
        “Kita harus focus, Rev. Sebentar lagi kan turnamen.”
        Tak ada alasan lain lagi yang bisa menggambarkan suasana saat ini. Bukan hanya pemain, tetapi para official pun dituntut untuk focus dalam mengemban tugas.
        Nalula bersyukur Reva tak mendesaknya. Ketika menoleh ke lapangan, ia melihat Zagar berjalan menepi. Dan saat itu pula, Nalula bangkit sambil membawakan sebotol air mineral untuk Zagar.
        “Makasih.” Zagar menerima pemberian Nalula dengan penuh senyum.
        “Sama-sama.” Balas Nalula, tapi pandangannya mengedar hampir keseluruh penjuru lapangan. Nalula menghela napas sesaat. “Untuk sementara, usahain buat gak deket sama Lingga, ya.”
        “Lho? Kenapa?” Zagar melirik Nalula dengan tatapan curiga.
        “Dia pasti akan...”
        “Gak akan…” Zagar menyambar perkataan Nalula, seolah ia mengetahui apa yang akan dikatakan ceweknya itu. Nalula menatapnya penuh harap. “Gue gak akan ngebiarin Lingga ngomong yang aneh-aneh. Dan kalaupun itu terjadi, gue gak akan peduli. Jadi lo tenang aja. Oke?” lanjutnya.
        Zagar memaksa tangan Nalula untuk menerima botol minumannya. “Itu kekhawatiran lo aja.” Ucap Zagar sambil mengacak rambut Nalula sebelum ia kembali ke tengah lapangan.
       
@@@

        Seperti biasa, hari Minggu adalah hari yang menjadi kepulangan Zagar kembali ke Palembang. Di temani Nalula, mereka berdua menuju bandara dengan menumpang bus.
        Selama di sana, Nalula sama sekali tak melepas genggaman tangannya ke Zagar. Tiba saatnya Zagar pergi. Cowok itu berdiri. Tapi Nalula tidak. Cewek itu semakit mengetatkan pegangan tangannya yang membuat Zagar semakin enggan untuk pergi.
        Zagar kembali duduk. Dengan cukup keras, ia menghela napas. “Lo masih mau ketemu gue di turnamen, kan?”
        Nalula tak menjawab pertanyaan Zagar. Ia justru langsung melepaskan tangannya begitu saja membuat Zagar hanya mampu menggelengkan kepala karena tak tau harus bersikap seperti apa terhadap cewek di sebelahnya ini.
        Zagar berlutut di hadapan Nalula sambi menggenggam kedua tangan cewek itu. “Walau kita gak bisa ketemu lagi sebelum turnamen, lo jangan khawatir. Gak akan ada yang bisa ngubah perasaan gue terhadap lo. Meski itu Lingga sekalipun.”
        Tiap kali ia mengantar Zagar ke Bandara, Nalula memang kerap kali tak berkomentar apa-apa. Jadi, sebisa mungkin Zagarlah yang selalu berceloteh.
        Zagar menarik tangan Nalula hingga cewek itu berdiri bersamanya. “Pokoknya turnamen tahun ini gue janji gak akan ada lagi yang namanya taruhan sama Lingga. Enak aja dia mau ngerebut lo lagi dari gue.”
        Perkataan Zagar seperti itu lah yang hampir selalu membuat Nalula tertawa.

@@@

        Nalula melangkah masuk ke dalam bus yang akan membawanya pulang. Ia memilih bangku yang masih kosong. Selang beberapa saat setelah ia duduk, muncul seorang pemuda mengenakan sweater hitam yang kupluknya menutupi kepala serta kecamata berlensa hitam. Tak diduga, cowok itu memilih tempat duduk di samping Nalula.
        Awalnya Nalula tak keberatan ketika cowok itu duduk, tapi setelah cowok disampingnya membuka kupluk dan kacamata…
        “Lingga? Ngapain lo di sini?” protes Nalula dengan ketusnya.
        “Ikh… suka-suka gue lah.” Lingga tak mau ambil pusing.
        Tampang Nalula berubah 180 derajat. Ia bête sejadi-jadinya. Bus pun sudah mulai bergerak dan meninggalkan bandara.
Lingga menarik lengan kiri jaketnya hingga memperlihatkan benda yang sejak tadi tersembunyi dibaliknya. Sebuah jam tangan. Benda itu tak lain adalah pemberian Nalula setahun lalu. Lingga seolah ingin menunjukkan bahwa ia masih menjaga benda itu dengan baik sampai sekarang.
“Masih ada waktu.” Lingga menghela napas. Ia mencondongkan badan agar bisa leluasa melihat langit melalui jendela membuat cewek di sampingnya ini merapatkan badannya ke sandaran kursi. Kala itu sebuah pesawat pun melintas. “Zagar udah bener-bener berangkat, kan?” Ujar Lingga sambil kembali ke posisi semula. Kemudian melirik Nalula. “Gue mau ngajak lo ke suatu tempat.”
Nalula balas melirik tajam. “Kalo gue nggak mau?”
“Harus.”
“Pemaksaan!” Nalula menoleh ke arah lain. Ia enggan berlama-lama menatap wajah orang disampingnya kini.
“Bukan pemaksaan. Tapi…” Lingga merogoh saku belakang celana jeansnya. “Lo pasti gak akan bisa nolak. Karena gue udah beli tiketnya dengan susah payah. Jadi, lo gak boleh nolak.”
Lingga sukses berat membuat Nalula jengkel.

@@@

Diaz mengintip keluar jendela karena ada sebuah motor yang berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Cowok itu memutuskan untuk keluar dan menemui sang tamu. Belum sampai pagar, ia mendapati Nalula yang membuka pintu pagar. Ketika berpapasan dengan Diaz pun, Nalula sama sekali tak menyapa bahkan menoleh. Ternyata Nalula pulang dengan Lingga yang masih menunggu di atas motornya.
“Ade gue kenapa? Kok bisa pulang sama lo? Kalian dari mana? Kenapa jam segini baru pulang?” Diaz menuntut penjelasan karena sore itu sudah hampir menjelang maghrib.
“Kan gue udah bilang mau ngikutin Nalula ke bandara. Pulangnya gue Cuma ngajak nonton timnas doank kok di Senayan. Belum juga selesai pertandingannya, ade lo udah keburu minta pulang. Oiya, siapa yang menang? Berapa-berapa skornya?” ujar Lingga hampir tanpa jeda.
“Indonesia kalah 1-0.”
Lingga berdecak kecewa. “Sayang banget, padahal kita nguasain permainan dari babak awal. Lo liat kan sundulannya Bambang Pa…” kata-kata Lingga menggantung karena Diaz menyuruhnya berhenti.
“Heran deh sama lo. Kuat banget ngomong sih?” keluhnya. “Lagian, ini udah maghrib. Gak denger azan udah berkumandang, apa? Ayo masuk dulu.”
Lingga hanya nyengir menanggapi celotehan Diaz. “Kagak deh, salam aja buat nyokap lo. Gue mau balik dulu.” Ujar Lingga kemudian memakai helm dan meninggalkan rumah Diaz.

@@@

        Malam itu, Diaz tengah bersantai di ruang keluarga. Tak lama, Nalula yang telah berganti pakaian pun duduk di sampingnya.
        “Di.”
        “Apa?” Diaz hanya menyahut, tapi tidak menoleh sedikitpun ke Nalula.
        Cewek itu bersandar manja di pundak kembarannya. “Gue salah gak sih jadian sama Zagar?”
        Diaz balas merangkul Nalula. “Apa selama ini lo terpaksa nerima Zagar?” Diaz balik bertanya.
        Nalula menggeleng. “Kenapa Lingga jadi nggak beda jauh sama Zagar sih?” keluhnya. “Apapun yang dia lakuin, gue gak bisa nolak.”
        Diaz tersenyum. “Kalo gue pikir-pikir, mereka emang punya banyak persamaan. Dan yang paling jelas terlihat adalah, mereka sama-sama punya perasaan ke lo.”
        Nalula melepaskan diri dari pundak Diaz. “Lo kenapa malah bikin gue makin dilemma sih?” Omelnya. “Gue gak bakal bisa ketemu Zagar sampai turnamen. Dan itu pasti bakal dimanfaatin Lingga. Lo tau sendiri tuh orang selalu bisa bikin gue gak nolak.”
        “Apa yang lo takutin?” Tanya Diaz lembut sambil menarik Nalula untuk kembali bersandarr dipundaknya.
        “Gue takut terjebak dengan Lingga tanpa kehadiran Zagar. Karena gue gak mau nyakitin siapapun. Terutama Zagar.”
        Saking seriusnya dengan masalah yang dihadapi Nalula, dua anak kembar ini sampai tidak menyadari kehadiran ibu mereka yang menatap aneh melihat keakraban anak-anaknya.
        “Tumben akur?”
        Diaz dan Nalula terlonjak sambil membalikkan badan.
        “Yaelah si mama. Anaknya berantem, dimarahin. Giliran lagi akur, malah komentar. Maunya apa sih?” kata Diaz membela dan di dukung oleh Nalula.
        Ibu mereka jadi salah tingkah dan sedikit merasa bersalah. “Yaudah deh, lanjutin aja. Mama gak mau ganggu.” Kata sang mama yang sedetik kemudian sudah tak berada di sana.

@@@