Jumat, 10 Agustus 2018

-BEAUTIFUL MONSTER (2)-




Author          : N-Annisa [@nniissaa11]
Cast                :
·        Son Chaeyoung
·        Adachi Yuto
·        Kang Hyunggu (Kino)
·        Jung Wooseok
·        Lee Hangyul
·        and other
Genre            : School Life, Romance, Drama

***

            Baru saja sampai di kamarnya, ponsel Yukyung tampak berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Yukyung langsung melepas ransel dan membanting tubuhnya ke atas kasur. Sebuah panggilan dari Wooseok.
            “Aku baru saja sampai, sunbae, eh maksudku oppa,” ujar Yukyung setelah menekan tombol answer pada layar ponselnya.
            Sementara di seberang sana, tampak Wooseok sedang berjalan kaki menuju gedung tinggi di depannya. “Aku tau, makanya aku telepon sekarang. Hahaha.” Tawa Wooseok membuat Yukyung sedikit merona.
            “Apa kau juga baru sampai rumah?” Yukyung balas bertanya sambil memeluk boneka beruang kesayangannya. Pemberian Wooseok.
            Wooseok menekan tombol pada tembok di dekat pintu lift lalu bersandar pada tembok sambil menunggu lift tiba. “Iya, aku sedang menunggu lift. Bagaimana harimu?”
            “Sedikit kesal karena tidak bisa berdekatan denganmu.” Yukyung tampak cemberut meski Wooseok tidak bisa mleihatnya.
            “Ahh iya, aku juga sedikit tersiksa karena hal itu. Tapi, apa aku akan kuat menjalani hubungan seperti ini. Aku tidak bisa mengunjungimu sesuka hati. Rasanya seperti berada di beda dunia denganmu.”
            “Hmm, oppa jangan seperti itu. Sejauh ini aku cukup menikmatinya. Oppa jangan khawatir, aku baik-baik saja di sini.” Yukyung memeluk semakin erat boneka beruang berwarna biru muda itu. Jelas ia seperti mengkhawatirkan sesuatu.
            Saat ini lift yang ditunggu Wooseok sudah tiba. Dan Wooseok segera masuk ke dalam lalu menekan tombol angka 4. “Ya, aku memang khawatir.” Wooseok menyandarkan tubuhnya pada dinding lift. “Oiya, apa terjadi sesuatu pada Chaeyoung hari ini?”
            Yukyung sontak menegakkan tubuhnya. Memikirkan apa yang baiknya ia katakan pada Wooseok. Ini pasti ada kaitannya dengan Yuqi. “Hmm, Chaeyoung baik-baik saja kok, oppa.”
            “Kalau begitu pasti ada sesuatu pada Yuqi?” tebak Wooseok.
            Yukyung nyaris tersedak ludahnya sendiri, namun ia langsung bisa mengendalikannya. Pertanyaan Wooseok begitu mengangetkan untuknya. “Oh itu. Yuqi tampak senang sekali karena bisa pergi kencan dengan Kino sunbae.” Yukyung berusaha membuat suaranya terdengar ceria.
            Kali ini Wooseok sudah keluar lift, dan langsung berjalan lurus. Rumahnya berada di barisan kanan. Setelah menekan password, Wooseok langsung masuk sambil melempar ranselnya ke atas sofa. Sementara dirinya berjalan terus menuju dapur, dan membuat kopi instant. “Ku harap kamu jujur ya, Yukyung.” Wooseok menjauhkan ponselnya, menekan mode speaker lalu meletakan ponselnya di atas meja makan.
            Di kamarnya berada, Yukyung meringis. “Gimana ini?” Yukyung bergumam pelan, bahkan nyaris tidak terdengar. “Oppa. Hmm. Itu.” Sambil menggigit telinga boneka beruangnya yang tidak bersalah.
            Wooseok melirik ke arah ponselnya sekilas, sambil melanjutkan membuat kopinya. Ia menunggu apa yang akan Yukyung katakan.
            Yukyung membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. “Oppa, apa kau tau sesuatu tentang Chaeyoung? Sesuatu yang tidak diketahui banyak orang? Mungkin tentang kekasih Chaeyoung? Apa dia pacaran dengan salah satu pemuda di Camp Muay Thai?”
            Wooseok membatalkan niat untuk menyeruput minumannya. Selama Yukyung melemparinya pertanyaan, Wooseok menatap layar ponselnya. “Apa hal itu yang membuat Yuqi terlihat aneh?” Bukannya menjawab, Wooseok justru balik melempari pertanyaan pada Yukyung.
            “Oppa, aku takut jika kesannya aku mengadukan hal ini padamu.”
            Wooseok buru-buru menyambar ponselnya, dan mengembalikan settingan seperti sebelumnya, lalu menempelkannya pada telinga. “Kau mengerti bagaimana rasanya harus menjauhi seseorang yang kau suka, kan?” Wooseok bicara sambil berjalan menuju balkon apartmentnya.

***

            Sebuah taksi berhenti di depan gerbang bangunan tinggi, sebuah apartmen mewah. Dari dalam taksi tersebut, muncul seorang pemuda tinggi dengan pakaian serba hitam dan sebuah ransel besar di punggungnya. Pemuda yang sama yang mengunjungi makam seseorang bernama Minatozaki Sana saat berada di Tokyo, Jepang. Sebelum memasuki area apartement, pemuda itu mengambil koper besarnya, lalu menariknya menuju gerbang yang sudah disambut oleh seorang security.
            Kombanwa.” Pemuda tadi menyapa dengan menggunakan bahasa Jepang membuat security yang menghampirinya memasang ekspresi bingung. “Ah maaf. Apa benar alamat ini di sini?” Pemuda itu langsung berbicara dengan bahasa Korea dengan aksen Jepangnya.
            Security tadi menerima selembar kertas yang diberikan oleh pemuda itu. “Oh, iya benar. Anda ingin menemui seseorang di sini?”
            “Ah, bukan.” Pemuda tinggi itu menggeleng tegas. “Perkenalkan, saya Adachi Yuto. Saya berasal dari Jepang, dan baru pindah ke sini.” Pemuda yang mengaku bernama Yuto itu bahkan sampai mengajak sang security  untuk berjabat tangan. Meski memiliki raut wajah yang dingin, pemuda itu cukup ramah kepada seseorang yang bahkan baru ia kenal.
            “Silahkan, semoga anda betah tinggal di sini.”
            Yuto mengangguk sekali lagi sebelum akhirnya melangkah masuk menelusuri jalan menuju gedung apartment yang akan ia huni selama berada di Korea. Yuto berbincang sedikit pada petugas di meja information. Sebelum ini juga Yuto sudah memiliki kunci rumahnya sendiri. Setelah itu Yuto lebih memilih untuk membawa sendiri kopernya menuju lantai 8 setelah menolak secara halus petugas yang berniat membantunya.
            Saat keluar dari lift, Yuto berpapasan dengan seorang laki-laki berusia 23 tahunan. Yuto lagi-lagi mengangguk sopan. Kali ini dibalas anggukan pula dengan pemuda yang ditemuinya itu. Pemuda tinggi dengan wajah tampan layaknya model.
            “Wah, apa dia artis?” Yuto menebak-nebak sendiri dengan menggunakan bahasa Jepang ketika pemuda tadi sudah masuk ke dalam lift. Kemudian Yuto melanjutkan berjalan lurus di koridor yang tampak sepi malam itu. Setelah menemukan apa yang ia cari, Yuto langsung menempelkan kartu pada pintu yang berguna sebagai kunci. Setelah pintu terbuka, Yuto melangkah masuk dan langsung menyalakan lampu hingga membuat ruangan yang tadi gelap menjadi terang dan memperlihatkan perabotan rumah yang tampak elegan dan mewah.
            Yuto masuk dengan tatapan kagum menatap tiap inchi bagian rumah yang bisa tertangkap dengan matanya. Terlihat di bagian kanan ada sebuah ruangan. Saat membuka pintunya, Yuto mendapati sebuah kamar tidur lengkap dengan perabotannya dan sebuah kamar mandi di ujung sana. Yuto yang masih menarik kopernya langsung membawa masuk dan membiarkannya di tengah ruangan.
Onii-chan bilang seragam sekolahku..” Yuto tidak menyelesaikan kalimatnya dan berjalan menuju lemari besar di kamarnya. Membuka lemari gantung yang masih cukup kosong dan hanya ada beberapa potong seragam sekolah. Yuto meraih salah satunya, mencoba mengepaskan ke tubuhnya sambil berkaca melalui cermin di balik pintu lemari. “Nice!” Setelahnya, ia kembali ke luar dan berjalan menuju balkon. Terlihat pemandangan malam kota yang indah meski gedung-gedung pencakar langit terlihat cukup jauh dari sana.
            “Takuya onii-chan ternyata memiliki ini semua di Korea.”
            Yuto bersandar di tepi balkon. Membiarkan dinginnya angin malam menerpa tubuhnya. Saat menengok ke samping, terlihat gerbang apartmen yang ia lewati tadi. Sementara itu di seberang sana terdapat banyak bangunan. Salah satu diantaranya tampak memiliki dua lantai dan cukup ramai dikunjungi orang-orang.
            “Bukankah itu restorant yang aku lihat di taksi tadi? Perutku mendadak lapar.”
            Tanpa pikir panjang lagi, Yuto langsung kembali ke dalam rumah sambil memeriksa saku celananya. Setelah yakin ponsel dan dompetnya masih aman, Yuto tidak buang waktu untuk melesat pergi ke luar apartmennya. Ketika melalui gerbang, Yuto kembali menyapa security tadi.
            “Apakah makanan di sana enak?” Yuto bertanya sambil menunjuk restoran di seberang jalan sana.
Security tadi mengangguk membenarkan. “Kau harus coba makanan di sana.”
            Tanpa buang waktu, Yuto berjalan menyeberang. Beruntung malam itu jalan raya tidak terlalu ramai kendaraan.

***
            Hangyul dan Kino menyeruput kuah jjampong langsung dari mangkuknya. Chaeyoung yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala.
            “Apa itu untuk meringankan pekerjaan kalian saat mencuci piring nanti?” goda Chaeyoung sambil meneruskan makannya.
            Hangyul menyandarkan punggungnya pada kursi. “Ah, aku rela mencuci piring di sini agar bisa menikmati masakan bibi Hana.”
            “Ini alasan kenapa aku… ah maksudnnya aku dan Hangyul ke sini. Kami kehilangan nafsu makan jika di sekolah.” Kino ikut angkat bicara.
            “Aku tidak bisa membayangkan kalian hidup seperti ini setiap hari. Selalu di awasi.” Hanya sesaat untuk bisa melupakan masalah itu. Hangyul kembali teringat namanya terpajang di madding sekolah.
            Kino terkekeh melihat ekspresi frustasi Hangyul. “Eunwoo sunbae sudah merasakan hal ini lebih lama.”
            Hangyul semakin terlihat frustasi.
            “Tapi aneh, kenapa nama Dokyeom sunbae bisa tergantikan? Padahal selama ini mereka mungkin bisa untuk menambah nama orang baru. Dan sampai sekarang aku tidak mengerti kenapa mereka melakukan ini.”
            Kino dan Hangyul memperhatikan Chaeyoung berbicara.
            “Yang ku dengar, ini berawal dari Eunwoo sunbae menolak cinta Mina sunbae. Dan jika namamu masuk daftar tersebut, bisa dipastikan memang ada yang menyukaimu.”
            “Tidak mungkin.” Hangyul langsung menolak pernyataan Kino.
            “Sudah jadi rahasia umum.”
            “Tapi siapa?”
            Chaeyoung mengangkat bahunya ketika Hangyul bertanya sambil menatapnya. “Entahlah. Mungkin saja yang sekelas denganmu.”
            “Waaah, berarti itu kau.”
            Kino semakin terkekeh melihat wajah kesal Chaeyoung menanggapi ucapan Hangyul yang penuh dengan percaya diri. Belum sempat Chaeyoung merespon ucapan Hangyul, tampak Dongmyung mendekati mereka. Lengkap dengan kotak makanan yang terbungkus rapih.
            “Noona, aku mau mengantarkan ini pada Hyung.”
            Chaeyoung langsung mendongak ke arah Dongmyung. “Ah, oppa sudah pulang. Baiklah, hati-hati di jalan.”
            Chaeyoung, Kino dan Hangyul kompak menatap Dongmyung yang melangkah menjauh.
            “Sebenarnya, aku penasaran tentang oppamu.”
            “Dia sangat tinggi dan tampan.” Hangyul berkata dengan penuh semangat. “Dia artis terkenal, dan dia sangat sibuk.”
            Kino melirik ke tempat Chaeyoung dengan ekspresi kagum. “Benarkah?”
            “Tapi ku harap sunbae bisa tutup mulut. Tidak seperti Hangyul.” Chaeyoung melempar tatapan sinis pada Hangyul. “Lagipula, tidak ada yang akan percaya jika oppaku adalah seorang idol.”
            Lagi, Kino terkekeh melihat kekesalah Chaeyoung pada Hangyul yang sama sekali tidak merasa bersalah.

***

            Begitu sampai restoran, Yuto langsung mencari meja kosong dan duduk di sana sambil melihat-lihat menu makanan. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Yuto menetapkan pilihan setelah pelayan datang. Yuto menatap berkeliling. Suasana restoran malam itu tidak terlalu ramai. Terlebih karena ini bukan akhir pekan. Di kejauhan, Yuto melihat 3 orang siswa, seorang siswa perempuan yang duduk membelakanginya, dan 2 orang siswa laki-laki di depan siswi perempuan itu.
            “Mirip dengan seragam sekolahku.”
            Yuto merasakan ponselnya bergetar, menandakan sebuah pesan masuk. Dari kakaknya di Jepang yang menanyakan kondisi terakhir Yuto setelah sampai Korea. Sambil membalas pesan kakaknya, seorang pelayan tampak membawakan pesanannya. Yuto hanya mendongak sebentar sambil mengucapkan terima kasih.
            Karena suasana restoran yang tidak terlalu ramai, pembicaraan 3 orang yang Yuto lihat sampai terdengar di tempatnya. Yuto sempat melirik sesaat. Tersenyum tipis melihat keseruan 3 orang itu yang sebenarnya adalah Kino, Hangyul dan Chaeyoung.
            “Hmm, wanginya saja sudah tercium enak.”
            Mengalihkan kembali fokus pada makanan di depannya, Yuto yang sudah merasa lapar langsung mencicipi pesanannya. Ponsel di sebelah piring Yuto masih tampak menyala. Ternyata sambil menikmati makanan, Yuto mencoba mencari tahu tentang sekolahnya nanti. Sebenarnya Takuya menyuruh Yuto untuk datang ke sekolah, lusa. Namun Yuto bertekad jika besok akan menjadi hari pertamanya bersekolah di Korea.
            “Ternyata benar makanan di sini enak. Seenak masakan ibu.” Sesaat Yuto tenggelam dalam kesedihannya. Tujuan ia datang ke Korea adalah memang untuk mencari ibunya yang orang Korea, dan satu orang kakak laki-lakinya lagi yang ikut bersama ibunya.
            Tidak sampai setengah jam, Yuto sudah menyelesaikan makan malamnya dan langsung membayar pesanannya di kasir. Kebetulan yang menunggu di sana adalah Dongju.
            “Dongmyung-ah.” Dongju memanggil Dongmyung yang lewat di depannya. Sambil melihat Dongju melakukan transaksi dengan Yuto, Dongmyung tampak berjalan mendekat.
            “Apa?”
            “Setelah kau mengantar makanan, aku minta tolong belikan cemilan di minimarket. Jangan lupa ramyun juga.” Dongju tampak sudah menyodorkan selembar uang.
            Yuto sendiri tampak masih di sana, merapihkan uangnya ke dalam dompet sambil melihat dua anak yang memiliki kemiripan ini.
            Noona akan marah kalau kau makan ramyun.” Dongmyun menyambar uang pemberian Dongju sambil bicara dengan nada memperingatkan.
            “Tidak apa, dia pasti akan memakan ramyunku juga.”
            “Baiklah.” Tanpa memprotes lagi, Dongmyung langsung balik badan dan berjalan ke luar, meninggalkan Dongjun bersama Yuto yang masih di sana.
            “Boleh aku tanya sesuatu?”
            Dongju mendongak karena merasa Yuto tampak berbicara padanya. “Iya?”
            “Di mana minimarket terdekat dari sini?” Tanya Yuto dalam bahasa Korea dengan aksen Jepangnya yang kental.
            “Oh. Di ujung jalan sana, dekat dengan halte bus. Hyung hanya cukup berjalan kaki.” Dongju tampak menjelaskan sambil memperagakan arah dengan menggunakan tangannya.
            Arigatau!”
            “Ah, iya.” Dongju terlihat bingung harus membalas ucapan Yuto seperti apa, karena ia sendiri tidak terlalu mengerti bahas Jepang.
            Setelah itu, tampak Yuto meninggalkan restoran. Menelusuri jalan seperti apa yang dikatakan Dongju tadi. Di ujung sana memang terlihat jalan yang jauh lebih ramai. Yuto ingat ia juga melalui jalan itu tadi saat berada di dalam taksi.

***

            “Jangan lupa kunci semua pintu.” Pemuda itu merangkul Dongmyung sambil mengantarnya ke luar pintu apartment. Itu pemuda yang sama yang ditemui Yuto saat baru saja tiba di apartmentnya. Bahkan apartment mereka berseberangan.
            “Tidak perlu khawatirkan hal itu, Hyung.”
            Pemuda bernama Dongwoon itu mengacak gemas rambut Dongmyung. “Sampaikan rinduku pada Chaeng dan Dongju.”
            “Baiknya Hyung saja yang pulang.” Dongmyung berkata dengan raut wajah cemberut. “Padahal tempat tinggal kita bersebelahan, Hyung.”
            “Kalau begitu kalian saja yang menginap di sini.”
            “Ah, pasti pagi-pagi buta Hyung sudah akan pergi lagi.”
            Dongwoon hanya tertawa melihat ekspresi kesal yang ditunjukkan Dongmyung. Dongwoon kembali mengacak rambut adiknya tersebut. Namun kali ini dengan ekspresi sedikit kecewa. Kesibukannya membuat tidak ada waktu luang lebih banyak untuk ia habiskan bersama ketiga adiknya.
            “Hahaha sudahlah, Hyung. Tidak perlu terlalu khawatir. Kami baik-baik saja.” Dongmyung menunjukkan senyumannya agar Dongwoon tidak mengkhawatirkannya. “Aku harus kembali ke restoran.” Dongmyung memeluk singkat tubuh tinggi Dongwoon sebelum akhirnya melesat pergi menuju lift.
            Dongwoon menatap bagian belakang tubuh Dongmyung yang semakin terlihat menjauh. Dongwoon hanya mengangkat salah satu tangannya saat Dongmyung menaiki lift dan melakukan hal yang sama.
            “Maafkan Hyung.” Dongwoon berujar lirih seiring pintu lift yang menutup dan menyembunyikan tubuh Dongmyung di dalamnya.
            Sementara di dalam lift, setelah pintu tertutup, Dongmyung langsung kehilangan senyumannya. Tangannya pun langsung jatuh menjuntai ke bawah. “Mungkin Hyung memang lebih nyaman untuk hidup seperti ini.”
            Dongmyung berjalan meninggalkan gerbang apartment tempat Dongwoon tinggal setelah sebelumnya sedikit menyapa security yang berjaga di sana. Dongmyung memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia berjalan ke arah yang berlawanan dengan restoran karena ia hendak menuju minimarket di dekat jalan raya. Sambil berjalan, Dongmyung merogoh saku celananya. “Waah, ponselku ternyata tertinggal.”
            Tanpa berniat kembali ke restoran, Dongmyung meneruskan langkah sampai akhirnya ia tiba di sebuah minimarket. Tampak seseorang sedang membayar tagihan belanjanya saat Dongmyung masuk. Orang itu—yang ternyata adalah Yuto—sempat menoleh sesaat, namun Dongmyung asik tenggelam dengan pikirannya sendiri sambil menyambar keranjang belanja, Dongmyung langsung menelusuri rak-rak tempat barang-barang terpajang.

***

            “Sampai bertemu besok.”
            Chaeyoung balas melambaikan tangan pada Kino dan Hangyul yang berjalan meninggalkan restoran miliknya. Setelah dua pemuda itu sudah mulai menghilang dikejauhan, Chaeyoung memutuskan untuk kembali masuk ke dalam restoran. Di sana ia menangkap sosok Dongju yang masih sibuk di balik meja kasir. Chaeyoung memutuskan untuk menghampiri adiknya itu.
            “Apa Dongmyung sudah kembali?”
            Dongju hanya mendongak sesaat lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya mencatat sesuatu. “Belum. Tadi aku minta tolong padanya untuk ke minimarket.”
            “Ah, harusnya aku juga menitip sesuatu.” Chaeyoung kemudian melirik jam di tangannya, sementara tangannya yang lain memegang ponsel dan mencari kontak telepon Dongmyung.
            Dongju menoleh ketika merasakan sesuatu berbunyi di dekatnya. Itu ponsel Dongmyung yang tertinggal. Menampilkan nama Chaeyoung di layarnya. “Noona, sepertinya Dongmyung meninggalkan ponselnya.”
            Chaeyoung menoleh tepat ketika Dongju menunjukkan layar ponsel milik Dongmyung yang masih tertera kontak milik Chaeyoung. Menyadari hal itu, Chaeyoung langsung mematikan sambungannya. “Baiklah. Aku menyusul ke sana saja kalau begitu.”
            Dongju mengangguk sekilas, lalu kembali menyelesaikan pekerjaannya. “Selamat malam,” sapa Dongju ramah begitu ada pelanggan yang datang.
            Chaeyoung sendiri langsung berjalan meninggalkan restorannya. Sambil merapatkan jaketnya, Chaeyoung terus berjalan. Hanya tinggal beberapa langkah lagi ia akan tiba di ujung jalan yang lebih ramai dengan kendaraan. Di kejauhan Chaeyoung mendengar suara keributan dan langkah kaki orang-orang yang berlari. Chaeyoung sempat menoleh ke belakang. Namun hanya sepi yang ia temui. Tapi derap langkah tersebut semakin terdengar jelas.
            Chaeyoung kembali berbalik dengan gerakan cepat. Secepat orang itu yang kini menabrak tubuh mungil Chaeyoung hingga gadis itu tidak sempat menghindar. Belum lagi pencahayaan di sana sedikit minim. Chaeyoung sempat menjerit karena badannya tertimpa badan seseorang yang bisa dipastikan itu adalah seorang pemuda.
            “Maaf.” Orang itu sempat berujar sedikit sebelum akhirnya bangkit dan kabur tanpa mempedulikan Chaeyoung.
            “Berhenti!” teriak Chaeyoung sambil secepat mungkin berdiri dan langsung mengejar gerombolan orang yang berjumlah sekitar 5 orang.
            Noona! Mereka mengambil dompetku!”
            Teriakan Dongmyung membuat Chaeyoung berlari semakin kencang. Sudah ada satu orang terdekat di depannya. Chaeyoung mengulurkan tangan, berusaha meraih pundak pemuda tinggi itu. Setelah berhasil, Chaeyoung berusaha menahannya. Namun pemuda itu berhasil menepis tangan Chaeyoung. Tidak ingin menyerah begitu saja, Chaeyoung mendorong tubuh tinggi pemuda itu sampai tersungkur namun berusaha untuk mengimbari badannya agar tidak benar-benar terjerembab ke aspal.
            “Kembalikan dompet adikku!”
            Buk!
            Chaeyoung melayangkan tinjunya tepat ke hidung pemuda itu sebelum pemuda itu berhasil melepaskan diri. Chaeyoung mencengkeram bagian kerah pemuda itu, sementara tangannya yang lain sudah terangkat dan mengepal erat. Pemuda itu adalah Yuto.
            “Berhenti kalian!” Dongmyung masih berteriak sambil terus berlari.
            Chaeyoung menoleh tanpa mengubah posisinya sedikitpun. Perlahan Yuto menyingkirkan tangan Chaeyoung sambil berdiri. Dirasa tawanannya hampir terlepas, Chaeyoung sontak menggerakkan tangannya, namun berhasil di tahan oleh Yuto.
            Dikejauhan tampak Dongmyung sudah berjalan kembali ke tempat Chaeyoung berada dengan napas tersengal-sengal. Dongmyung berhenti sambil membungkuk karena lelah. “Hyung dompetmu…” Dongmyung tidak melanjutkan ucapannya karena terlalu lelah berlari dan karena di hadapannya ia melihat tangan Yuto seperti menggandeng tangan Chaeyoung.
            “Sudahlah tidak apa-apa. Yang penting ponselku masih aman. Aku bisa menelepon orang Bank untuk memblokir kartuku.” Yuto menyentuh ujung hidungnya yang sedikit mengeluarkan darah.
            Mendengar semua obrolan Dongmyung dan Yuto, membuat Chaeyoung berhasil menyimpulkan sesuatu. “Jadi… kau…” Buru-buru Chaeyoung melempar pandangan ke arah lain karena menyadari Yuto pasti akan menoleh padanya. “Myung-ah, ajak dia ke resto. Aku akan mengobati lukanya.”
            Chaeyoung sudah bergerak lebih dulu meninggalkan dua pemuda itu sekaligus membuat genggaman Yuto padanya terlepas. Sambil mengibas-ngibaskan rok sekolahnya, Chaeyoung menemukan sesuatu menyangkut di sana. Sebuah nametag dengan nama Lee Dokyeom. Nametag dengan warna dasar putih itu menandakan jika pemiliknya adalah siswa kelas 3. Chaeyoung kemudian menyimpan benda itu ke dalam saku seragam sekolahnya. Gadis it uterus berjalan di depan, meninggalkan Dongmyung dan Yuto. Chaeyoung ke dalam restoran hanya untuk mengambil perlengkapan p3k. Saat kembali lagi ke luar, ia berpapasan dengan Dongmyung yang berjalan menuju restoran.
            Noona, kau urusi sendiri bisa, kan? Ada yang harus aku kerjakan.”
            Tanpa menunggu respon dari Chaeyoung, Dongmyung sudah lebih dulu melesat masuk ke dalam restoran. Sambil menggenggap barang-barang yang berada di dalam tangannya, Chaeyoung meyakinkan diri untuk menghampiri Yuto yang terlihat sedang menelepon seseorang. Tanpa ingin mengganggu, Chaeyoung menunggu Yuto sambil duduk di kursi yang terletak di bagian teras restoran.
            Chaeyoung melirik ketika menydari Yuto sudah mengakhiri obrolannya di telepon. “Duduklah. Aku akan mengobati lukamu.” Tangan Chaeyoung mulai mempersiapkan beberapa hal. Ia membasahi kapas dengan air bersih yang ia bawa menggunakan botol minum.
            Cheyoung menggeleng. Entah kenapa ia mendadak tidak bisa berkonsentrasi ketika melihat ada bercak darah pada pakaian Yuto. Buru-buru Chaeyoung menyodorkan beberapa lembar tissue pada Yuto. Dengan lembut Chaeyoung membimbing Yuto untuk menundukkan kepalanya dan membiarkan Yuto memegang sendiri tissuenya. Selagi itu, Chaeyoung membersihkan darah serta kotoran pada salah satu tangan Yuto. Ada luka kecil juga di sana. Chaeyoung meneteskan obat, lalu menutupnya dengan plester.
            “Pusing?” Chaeyoung menatap Yuto penuh kekhawatiran.
            Yuto menggeleng pelan. Yuto sendiri sejak tadi tidak melepaskan pandangannya pada Chaeyoung ketika gadis itu membersihkan lukanya.
            “Maaf ya. Bernafas dari mulut untuk sementara.”
            Belum sempat Yuto merespon, kini Chaeyoung sudah berdiri menggunakan lutut di hadapan Yuto. Mengganti lembaran-lembaran tissue yang sudah kotor dengan yang baru. Yuto hanya bisa meletakkan kedua tangannya ke atas paha saat menerima perlakukan Chaeyoung padanya. Kini kedua tangan Chaeyoung sudah berada di pipi Yuto sambil menekan-nekan pelan bagian hidung Yuto yang mengeluarkan darah.

***

            Pemuda itu membersihkan tangannya yang sedikit kotor dan ada sedikit luka gores di sana. Ia juga sambil menatap pantulan wajahnya pada cermin besar di hadapannya. Pemuda itu adalah Dokyeom. Masih menggunakan seragam sekolahnya, pemuda itu baru menyadari sesuatu. Tangan kanannya menyentuh bagian dada sebelah kiri. Nametag-nya hilang.
            Bruk!
            Ada sedikit keributan di luar sana. Dokyeom sempat menoleh ke arah pintu sambil mematikan keran air. Ia kemudian balik badan dan meninggalkan toilet tersebut. Di ruangan sebuah apartment kecil itu, Dokyeom mendapati seorang pemuda tinggi tampak berdiri sambil mengunci seseorang dalam cengkeramannya. Pemuda itu tidak termasuk dalam kejadian tadi saat mereka mencuri dompet Yuto.
            “Kau hanya terkena cinta buta. Makanya kau menjadi seperti ini.” Pemuda dalam kekuasaan Kogyeol itu terdengar berujar. “Akh!” jeritnya setelah Kogyeol semakin mengeratkan cengkeramannya. Empat orang lainnya hanya melihat tanpa ada yang bisa membantu.
            “Sudahlah, Gyeol.” Salah satu pemuda bertubuh tinggi tampak berdiri sambil menyodorkan sebuah dompet yang biasa digunakan laki-laki.
            Dengan tatapan tegas, Kogyeol menyambar dompet tersebut setelah melepaskan pemuda bernama Kuhn. Kogyeol langsung memeriksa isinya. Sontak ia melemparkan tatapan tajam pada Sungjoon, pemuda yang memberikan dompet tersebut.
            “Aku hanya mengambil uang cash. Kita juga butuh untuk bayar uang sewa tempat ini.”
            Tangan Kogyeol yang masih memegang dompet, tampak mengarah pada Dokyeom yang berdiri di depan pintu toilet. “Uang sewa katamu? Tempat ini bahkan sudah dilunasi Dokyeom sampai akhir tahun.” Kogyeol berujar dengan nada kecewa.
            Sungjoon menunjukkan ekspresi terkejut. Kemudian tatapannya jatuh pada pemuda di sudut ruangan yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya seorang diri. “Ya! Bitto!”
            “Iya iya, uang itu aku gunakan untuk kencan dan membelikan kalian makanan juga.” Tanpa mengalihkan tatapannya sedikitpun pada layar ponsel, pemuda yang tadi dipanggil Bitto itu terdengar membela diri.
            Kuhn bahkan sudah seperti ingin memakannya saat menatap Bitto.
            Kogyeol menghela napas, berat. Lalu tatapannya kembali jatuh pada Sungjoon. “Berapa uang yang kau ambil dari dompet ini?”
            Sungjoon hanya mengangkat bahu sambil melirik satu orang lagi diantara mereka yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. Namun kali ini pemuda tersebut tampak sibuk menghabiskan makanan yang ada di sebuah meja pendek.
            “Mungkin lebih dari lima ratus ribu.”
            “Aku pergi.” Kogyeol balik badan dan bersiap meninggalkan tempat itu.
            “Kapan kalian akan menikah?” Pertanyaan yang keluar dari mulut Dokyeom sontak langsung membuatnya menjadi pusat perhatian.
            Kogyeol membatalkan langkahnya tanpa sedikitpun berbalik. “Secepatnya. Aku ingin menjadi ayah yang baik untuk anakku.”
            “Apa? Kau…” Kuhn sudah berdiri dan siap mengejar Kogyeol yang sudah melanjutkan langkahnya.
Dokyeom lebih cepat untuk menghalangi pemuda itu. “Baiknya biarkan dia pergi.”
            Kuhn mengalah untuk tetap di sana. Ia lalu mendongak, menatap Dokyeom. “Kau tahu semuanya?”
            Dokyeom hanya menepuk pelan pundak Kuhn sambil berlalu. “Biarkan aku istirahat sekarang, besok aku harus sekolah.”

***

            Pintu lift itu terbuka dan memunculkan Yuto dari baliknya. Yuto berjalan sedikit sempoyongan. Kepalanya mulai sedikit sakit. Sementara tangannya tidak lepas dari tissue yang ia pegangi di bawah hidung. Darah yang tersisa hanya sedikit, namun itu bekas sebelumnya.
            “Begitu sampai rumah, jangan lupa kompres dengan air dingin.”
            Yuto membuka pintu apartmennya setelah memasukan password kunci. Melangkah lurus namun dengan tatapan yang tidak focus. Tujuannya sekarang adalah langsung menuju kamarnya, membaringkan tubuhnya di sana. Perlahan ingatannya melayang pada kejadian hampir setengah tahun lalu. Saat ia mengalami sedikit insiden ketika bermain sepakbola. Hidungnya berdarah, sama seperti yang terjadi hari ini. Ketika itu Yuto dibantu oleh seorang gadis yang selalu setia menemaninya.

Flashback on~
            “Yuto!” Gadis itu berteriak sambil berlari menghampiri tepi lapangan. Jelas kekhawatiran menghiasi wajahnya kala itu, melihat Yuto terluka. Gadis bernama Sana itu langsung berjongkok dihadapan Yuto. Mengambil berlembar-lembar tissue yang ia bawa untuk menghentikan darar Yuto.
            “Akh, pelan sedikit.” Yuto meringis sambil memegangi kedua pergelangan Sana.
            “Ahh, iya iya maaf.” Sana memijit-mijit pelan hidung Yuto. Namun Yuto justru semakin mengencangkan cengkeramannya. Membuat Sana tanpa sadar ikut menekan hidung Yuto makin kuat.
            “Lepas.” Kali ini Yuto menyingkirkan tangan Sana dari hidungnya. “Sudahlah, kau memang tidak bisa lembut padaku.”
            Sana hanya menatap Yuto dengan ekspresi kesal. Sama sekali tidak merasa bersalah, Yuto justru tertawa melihat wajah lucu Sana, membuat Yuto mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepala Sana sambil tersenyum.
            “Terima kasih sudah khawatir padaku.”
            Perlahan sosok gadis bernama Sana tersebut tergantikan dengan seorang gadis mungil bernama Chaeyoung yang sangat lembut mengobati lukanya. Yuto sama sekali tidak melepaskan pandangannya pada Chaeyoung yang fokus membersihkan hingga membersihkan luka. Padahal Yuto tahu jika Chaeyoung sendiri sebenernya mendapatkan sedikit luka ketika ditabrak oleh seorang pemuda tidak dikenal.
Flashback off~

            Yuto bangkit dengan gerakan sedikit kasar. Mukanya terasa panas, dan tenggorokannya terasa gatal. Terdengar pemuda itu berdeham beberapa kali sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Ruang makan yang menjadi satu dengan ruang utama membuat Yuto menoleh dan mendapati sepasang seragam sekolah tergeletak di atas sofa. Seragam yang sama dengan yang dikenakan Chaeyoung tadi. Tanpa sadar bibir Yuto tertarik ke samping membentuk seulas senyum sambil kemudian menghabiskan sisa air dalam gelasnya.
            “Aku ke sini untuk sekolah dan mencari ibu.” Yuto menegur dirinya sendiri ketika menyadari jika ia tengah tersenyum seorang diri. “Bukan untuk mencari pengganti Sana.” Yuto sontak meletakkan gelas kosongnya ke atas meja dengan gerakan sedikit kasar hingga menghasilkan suara dentuman keras. “Mungkin aku masih jet lag.”

***

            Dongmyung membagi-bagikan kotak makan yang sudah ia siapkan untuk Chaeyoung dan Dongju. Baik Chaeyoung dan Dongju sendiri langsung mengambil milik mereka lalu berdiri dari kursi makan. Pagi itu mereka sudah bersiap untuk berangkat sekolah. Setelah Chaeyoung mengunci pintu, mereka bertiga berjalan bersama. Rumah sederhana milik mereka terletak di dalam gang tepat bersebelahan dengan gerbang apartment tempat Yuto tinggal. Mereka kembali melewati jalan semalam. Membuat Chaeyoung teringat kembali ketika gadis itu ditabrak oleh seseorang yang tidak ia kenal dan menemukan sebuah nametag milik Dokyeom.
            Saat ketiga bersaudara itu berjalan bersama menikmati pagi, tepat sebuah sedan mewah yang dikendarai Yuto melintas. Yuto sendiri tidak terlalu menyadari keberadaan Chaeyoung dan dua adiknya karena kala itu ia sibuk membagi fokusnya antara mengemudi dan membaca peta pada ponselnya. Masih dengan sebuah plester menghiasi hidungnya, Yuto tampak siap dengan seragam sekolah barunya.
            “Hati-hati Noona.” Dongmyung melambaikan tangan dengan riang ketika bus yang akan Chaeyoung tumpangi sudah tiba. Berbeda dengan Dongju yang seakan tidak terlalu peduli dan sibuk dengan ponselnya. Toh nanti sore juga mereka akan bertemu lagi.
            Tidak terlalu lama untuk bus yang ditumpangi Chaeyoung sudah tiba di halte depan sekolahnya. Saat berjalan melintasi gerbang, ada seseorang yang tiba-tiba merangkulnya dari belakang.
            “Chae-ah,” ujar Yukyung dengan nada ceria.
            Chaeyoung sontak menoleh dan tersenyum mendapati salah satu temannya di sana. “Oh, Yuqi. Selamat pagi.” Dengan senyum yang tidak kalah cerianya, Chaeyoung menyapa satu orang lagi yang tadi berjalan tidak jauh dibelakang Yukyung. Namun yang Chaeyoung dapatkan adalah sebaliknya. Yuqi hanya menoleh dan tersenyum tipis lalu sedikit mempercepat langkahnya mendahului Yukyung dan Chaeyoung. Dua gadis itupun sontak saling melempar tatapan bingung.
            Tidak ingin terlalu ambil pusing, Yukyung mengajak Chaeyoung untuk melanjutkan langkah. Suasana sekolah tampak mulai ramai dengan para siswa yang mulai berdatangan.
            “Apa aku berbuat salah?”
            Yukyung tidak langsung menjawab pertanyaan Chaeyoung. Karena bisa dipastikan yang Chaeyoung maksud adalah tentang Yuqi. Yukyung hanya sempat menghela napas sesaat. Bukan hanya Chaeyoung yang menyadari perubahan sikap yang terjadi pada Yuqi. Tapi semalam Wooseokpun menanyakan hal serupa. Namun masalahnya, Yukyung sendiri juga tidak tahu apa yang dipikirkan Yuqi. Semalam ia tidak sempat menanyakan hal apapun pada Yuqi. Sampai mereka menaiki anak tanggapun, tidak ada satu katapun yang meluncur dari bibir Yukyung.
            “Kalau kau diam saja, aku anggap kau memang mengetahui sesuatu.”
            Saat menyadari pernyataan Chaeyoung, Yukyung mendapati Chaeyoung sudah berjalan sedikit didepannya. Yukyung segera mengejar. Saat tiba di koridor utama, Chaeyoung berbelok.
            “Chaeyoung!” Yukyung memekik ketika mendapati Chaeyoung menabrak seseorang di depannya. Kejadian yang terlalu cepat, mengingat tepat di balik tembok tersebut adalah pintu ruang guru. Dan Chaeyoung sendiri tidak memperkirakan jika ada seseorang yang memunculkan diri dari sana.
            Tabrakan tersebut tidak terlalu keras, namun memang membuat Chaeyoung sedikit kehilangan keseimbangan. Beruntung pemuda yang ditabrak Chaeyoung lebih sigap dan berhasil menahan pinggang Chaeyoung sebelum gadis itu sempat terjatuh ke lantai.
            Yukyung menyentuh kedua pundak Chaeyoung. “Kau baik-baik saja?”
            “Aku baik-baik saja.” Chaeyoung merespon kekhawatiran Yukyung, namun tatapannya tidak lepas dari pemuda dihadapannya. Yuto.
            “Kau baik-baik saja?” Barulah ketika Yuto mengulangi pertanyaan Yukyung, Chaeyoung langsung menegakkan badannya dan mendapati sudah banyak pasang mata yang melihat kejadian tersebut.
            Chaeyoung sempat mundur selahkah hingga kini posisinya sejajar dengan Yukyung. “Ah, maaf.” Chaeyoung membungkuk beberapa kali. “Aku tidak sengaja.”
            “Ah sudahlah, jangan begitu.” Yuto tertawa canggung. Lebih tepatnya bingung harus bereaksi seperti apa pada Chaeyoung. Beberapa saat Yuto tampak tidak melepaskan pandangannya pada wajah manis Chaeyoung. Lalu saat menoleh kesamping, ada beberapa orang yang masih tidak melepas pandangan padanya. Gadis itu adalah Mina bersama dua temannya, Jihyo dan Dayoung yang sama sekali tidak melepaskan tatapan mereka pada sosok Yuto.
            Yuto sedikit menunduk, menyamakan tinggi badannya dengan Chaeyoung dan Yukyung. “Aku anak baru di sini. Bisa bantu antarkan ke kelasku?”
            Yukyung langsung menunjukkan ekspresi kagum. “Waah, pantas saja aku baru melihatmu. Ayo kami antar.”
            Yuto kembali menegakkan badan ketika Yukyung menarik tangan Chaeyoung dan berjalan mendahului Yuto. Yuto sendiri hanya tersenyum tipis dan berniat membalikan badan. Namun tatapannya kembali jatuh pada 3 gadis tadi. Melihat itu, seketika senyum Yuto melenyap. Berusaha untuk tidak peduli, Yuto menyusul Yukyung dan Chaeyoung yang sudah melangkah menjauh.
            “Ayo ikuti!” seru Mina pada dua temannya untuk menyusul Yuto bersama dua gadis tadi.
            Tepat di saat yang bersamaan, tampak Kino baru saja menapaki anak tangga terakhir ketika Mina bersama dua temannya melintas. “Selamat pagi.” Kino menyapa dengan nada sangat ramah dan sukses membuat tiga gadis tadi menghentikan langkah dan menoleh. Tentu mereka tidak akan membuang kesempatan untuk bisa bertegur sapa dengan seorang Kino.
            “Waaah, kalian cantik-cantik sekali hari ini.”
            Sementara tidak jauh dari sana, tampak Wooseok sempat berpapasan dengan Yukyung dan Chaeyoung. Tentu mereka tidak saling tegur sapa karena sesuatu. Wooseok sampai menoleh ketika melihat sosok Yuto yang bisa dipastikan sedang mengekori Yukyung dan Chaeyoung. Wooseok sampai melihat dari ujung kaki hingga kepala bagian belakang Yuto.
            “Siapa itu? Kenapa mengikuti Yukyung dan Chaeyoung.” Sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya, Wooseok bergumam sendiri. Tidak ada seseorang yang bisa ia ajak bicara saat itu. Belum lagi langkah Yukyung dan Chaeyoung membawa Yuto ke wilayah ruang kelas untuk kelas 2.
            Wooseok meneruskan langkahnya yang sempat terganggu sesaat. Namun di depan sana justru ia menemukan Kino sedang merayu Mina dan dua temannya. Namun Jihyo tampak tidak terlalu menanggapi celotehan Kino.
            “Eh ini serius, aura kalian tampak beda pagi ini. Seperti ada bunga-bunga bermekaran.”
            Mendengar gombalan Kino tersebut, Wooseok memasang ekspresi wajah seperti seorang yang ingin muntah. Kino yang melihatnya hanya melempar tatapan membunuh. Wooseok sendiri memilih meneruskan langkah. Tidak mempedulikan Mina, Jihyo dan Dayoung yang begitu menyadari keberadaan Wooseok langsung menoleh dengan penuh minat.
            “Ah, sudahlah jangan pedulikan si tiang listrik itu.” Kino mencoba mencari perhatian lagi pada tiga siswi tersebut. Namun mendadak mood-nya berubah. “Mendadak perutku sakit. Aku pergi dulu ya.”
            “Yak! Kang Kino!” teriakan Mina tidak membuat Kino menghentikan langkah. Pemuda itu bahkan semakin menambah kecepatan larinya.

***