Rabu, 03 Oktober 2018

-BEAUTIFUL MONSTER (3)-




Author          : N-Annisa [@nniissaa11]
Cast                :
·        Son Chaeyoung
·        Adachi Yuto
·        Kang Hyunggu (Kino)
·        Jung Wooseok
·        Lee Hangyul
·        and other
Genre            : School Life, Romance, Drama

***

            “Kami bahkan masih pelajar, tidak mungkin kami sanggup membeli mobilmu.”
            Yuto hanya mampu menghela napas sambil melirik ke luar jendela balkon depan kelas yang mengarah ke parkiran tempat mobil-mobil berjejer rapih. Karena keadaan yang mendesak, Yuto nekat menjual mobil dan menawarkan ke beberapa orang yang berada sekelas dengannya. Salah satunya adalah Kino.
            “Wooseok-ah!” Teriak Kino saat melihat sosok tinggi di ujung lorong.
            Wooseok menghentikan langkah dan mencari-cari sumber suara yang memanggilknya. Kino sampai melambaikan tangan agar Wooseok menyadari keberadaannya. Begitu sudah melihat sosok Kino, Wooseokpun melangkah mendekat. Wooseok sempat melirik ke tempat Yuto berada. Seseorang yang asing namun ia ingat sempat melihat Yuto pagi tadi.
            Kino menunjuk ke arah parkiran. “Lihat mobil itu. Yang berwarna hitam. Kau mau membelinya tidak?”
            Wooseok sempat mengikuti arah yang dimaksud Kino. Namun sesaat kemudian ia menoleh lagi ke tempat Kino berdiri. “Untuk apa? Aku jarang mengendarai mobil. Lagipula, sejak kapan kau menjual mobil? Sudahlah, aku lapar sekali.” Sambil memegangi perutnya, Wooseokpun balik badan dan pergi setelah sebelumnya berpamitan juga pada Yuto.
            Setelah Wooseok menjauh, Kino kembali menoleh ke tempat Yuto berada sekarang sambil mengangkat bahu seolah menegaskan pada Yuto jika usahanya belum berhasil. Yuto sendiri hanya tertunduk pasrah sambil berpikir keras apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan uang dalam waktu cepat. Terlebih untuk hari ini.
            “Atau kau beli saja ponselku.” Yuto cepat cepat mengeluarkan ponselnya pada saku celana. Salah satu model ponsel keluaran terbaru. “Kau boleh bayar berapapun sekarang dan lunasi sisanya nanti.”
            Kino hanya terperangah. Menatap Yuto dari ujung kaki hingga kepala. Belum lagi mobil yang ditawarkan Yuto juga termasuk mobil mahal. Dan terakhir ponsel. Kino sampai tidak sanggup mengeluarkan sepatah katapun untuk merespon apa yang Yuto bicarakan. Sementara tidak jauh dari sana, dibalik pilar itu sebenarnya Chaeyoung berada. Gadis itu sudah di sana sejak Wooseok pergi beberapa saat tadi. Dan bisa dipastikan Chaeyoung mendengar semua yang Kino dan Yuto bicarakan. Sampai akhirnya Chaeyoung memunculkan diri karena Yuto terlihat terpaksa menjual ponselnya.
            Kino sendiri akhirnya menghela napas. “Kenapa kau…” Ucapan Kino terputus karena kedua pemuda itu sama-sama menoleh karena menyadari jika ada seseorang yang datang dan menghampiri mereka.
            Chaeyoung sempat bertatapan mata dengan Kino selama beberapa detik, namun buru-buru ia alihkan pandangannya karena ia khawatir akan terjadi sesuatu jika ia terlihat berinteraksi dengan Kino di sekolah. “Bisa ikut aku?” Tanpa menunggu respon dari Yuto, Chaeyoung sudah balik badan dan berjalan mendahului.
            Sambil mengikuti Chaeyoung, Yuto sesekali menyapukan pandangan ke sekeliling sekolah yang mulai ramai karena ini sudah masuk jam istirahat makan siang. Tanpa ingin kehilangan jejak, Yuto selalu mengakhiri tatapannya pada sosok Chaeyoung yang berjalan beberapa meter di depannya. Namun saat ini tatapan Yuto justru jatuh pada tas bekal di tangan Chaeyoung. Semakin mengingatkan kalau perutnya belum terisi apapun sejak pagi.
            Mereka tiba di kantin sekolah yang mulai ramai, namun Chaeyoung masih terus melangkah. Yuto yang memang tidak tahu apa yang ingin ia lakukan saat istirahat siang ini tetap setia mengekori Chaeyoung. Sementara tidak jauh di belakang Yuto, tampak Kino menyusul. Tujuan Kino memang ke kantin juga, namun pemuda itu berbelok pada meja tempat Wooseok sudah duduk bersama Eunwoo, Yugyeom dan Junyoung.
            Ditempatnya berada, Wooseok sempat menangkap sosok Chaeyoung bersama Yuto yang berjalan sedikit di belakang. Kemudian Kino duduk dan mengambil tempat tepat di sebelah Wooseok. Wooseok mendekatkan wajahnya pada Kino dan membisikkan sesuatu, “siapa pemuda tadi?”
            “Anak baru dikelasku.” Kino menjawab santai sambil merebut gelas jus milik Wooseok dan meminumnya tanpa meminta ijin terlebih dulu. Teringat sesuatu, Kino mengedarkan pandangannya bahkan sampai memutar badan agar bisa melihat area belakang kursi yang ia duduki.
            “Kau mencari apa?” Wooseok bertanya lagi dengan suara pelan.
            Eunwoo, Junyoung dan Yugyeom yang sebelumnya terlibat dalam sebuah obrolan, kini kompak menoleh melihat Kino dan Wooseok yang sibuk dengan dunia mereka. Jelas saja ketiga pemuda dari kelas 3 itu penasaran dengan apa yang sebenarnya dibicarakan oleh Kino dan Wooseok.
            “Kalo tidak ada cewek gila itu, aku mau menyusul Chaeyoung. Dia sepertinya bawa makanan dari restoran.”
            Brak!
            Hangyul tiba-tiba muncul sambil meletakkan piring makanannya dengan sedikit kasar hingga membuat suara benturan yang sedikit keras. Membuat orang-orang yang berada dalam satu meja terkejut. Junyoung bahkan sampai tersedak. Beruntung Eunwoo yang duduk disebelahnya langsung menyodorkan air minum.
            “Ah, maaf sunbae jika mengejutkan.” Hangyul tidak langsung duduk, ia justru membungkuk dalam pada ke lima seniornya di sekolah itu. Sesaat Hangyul menatap satu persatu—kecuali Kino—pemuda tampan yang menghuni meja tersebut sebelum akhirnya duduk di seberang Kino. “Tapi ini sebenarnya bisa dikatakan tim Surga atau tim Neraka?”
            “Selamat bergabung di sini. Dan sebentar lagi kau akan tahu ini tim seperti apa.” Eunwoo tampak merespon ucapan Hangyul sambil mengangkat satu tangannya. “Aku Eunwoo.”
            “Ah, iya. Tapi jelas aku mengenal kalian semua. Namaku Lee Hangyul.”
            “Kenapa makanmu sedikit sekali?” Wooseok berkomentar karena melihat isi piring makan Hangyul.
            Hangyul hanya menghela napas sambil membandingkan piring makanan seniornya yang lain. Kecuali Kino yang memang belum memesan makanan. “Kino, Hyung.”
            “Hmm?”
            “Bagaimana kalau pulang nanti kita makan lagi di restoran Chaeyoung?”
            “Maksudmu tempat Chaeyoung bekerja?” Junyoung tampak bertanya.
            Hangyul menoleh dengan tatapan bingung. “Chaeyoung tidak be… akh!” Hangyul berteriak meringis karena merasakan kakinya di tendang seseorang. Saat menoleh, ia mendapati Kino seolah memberikan kode. “Kenapa kau, Hyung? Dengar ya.” Hangyul menunjukkan ekspresi wajahnya yang serius. Ia bahkan sudah mengamankan posisi kakinya sejauh mungkin dari jangkauan Kino. “Yang selama ini kalian dengar itu tidak benar. Chaeyoung bukan pelayan restoran. Tapi pemilik. Restoran itu milik orang tua Chaeyoung.”
            Yugyeom melepaskan garpu dan sendok dari kedua tangannya. Membiarkan dua alat makan itu membanting diri di atas piringnya yang hampir kosong. Yugyeom mendongak karena bisa dipastikan kini semua mata tertuju padanya. “Ayo cari cara untuk akhiri ini semua.”
            Tidak ada yang langsung menjawab. Eunwoo hanya menatap berkeliling, khawatir mereka sedang diawasi. Sementara Kino langsung memainkan jari di atas keyboard smart phone-nya. Hangyul yang sudah ingin membuka mulut langsung ia batalkan karena merasakan ponselnya bergetar. Ternyata ia diundang ke dalam sebuah grup chat bersamaan dengan sebuah pesan dari Kino untuk semua penghuni grup tersebut. Hangyul langsung mendongak bahkan sebelum ia sempat membuka isi pesan tersebut.
            “Aku tidak bisa berfikir jernih ketika perutku lapar.” Kino berdiri dan segera beranjak pergi seakan menghindari tatapan teman-temannya perihal pesan yang ia kirimkan pada mereka yang berad satu meja dengannya.

Kino : Ayo bertemu di restoran Chaeyoung sepulang sekolah. Cari jalan berbeda agar tidak dicurigai.

***

            Lantai dua kantin termasuk tempat yang sedikit lebih sepi. Hanya beberapa siswa laki-laki yang berminat menempati meja kursi di sana karena suasana kantin yang lebih out door, hanya dengan atap penutup dan pagar pembatas. Berbeda dengan lantai bawah yang full AC. Belum lagi mereka harus membawa makanan pesanan mereka sendiri jika ingin menempati area atas kantin.
            Chaeyoung sudah duduk di salah satu meja kosong. Menunggu Yuto sampai pemuda itu puas melihat-lihat sekelilingnya. Chaeyoung tau Yuto salah satu siswa baru di sekolahnya. Menyadari Chaeyoung sudah menunggunya, Yuto langsung menyusulnya dan duduk di depan Chaeyoung. Tepat ketika gadis itu menyodorkan bekal makan siangnya ke arah Yuto. Yuto hanya mendongak dengan tatapan bingung.
            “Gara-gara aku dompetmu hilang. Dan kalau kau sampai ingin menjual mobil, itu berarti kondisi keuanganmu benar-benar kacau.”
            “Tidak perlu merasa bersalah. Itu kecelakaan. Lagipula aku hanya perlu ke Bank untuk mengurus semuanya.” Perlahan Yuto mendorong kembali bekal makan siang ke arah Chaeyoung kembali.
            Melihat itu, Chaeyoung buru-buru mengulurkan tangannya. Menahan kotak bekalnya agar tetap lebih dekat dengan Yuto. “Aku khawatir kau tidak bisa makan siang. Itu bekalku dari rumah, ku harap kau menerimanya sebagai permohonan maaf dariku.”
            “Benar ini untukku?” Raut wajah Yuto berubah ceria. Seakan baru saja memenangkan undian. Yuto sudah mulai membuka penutup wadahnya, namun kemudian ia terdiam seketika. “Lalu kau?”
            “Ah, tidak usah dipikirkan.” Chaeyoung sudah berdiri dan siap melangkah. Namun ia teringat ternyata tangannya masih memegang botol air minum. “Ini juga untukmu saja.” Buru-buru Chaeyoung meletakkan botolnya di hadapan Yuto lalu melanjutkan langkahnya.
            Yuto hanya bisa memutar badan untuk melihat punggung Chaeyoung yang semakin menjauh. Ingin berteriak, namun tidak tau harus memanggil apa pada Chaeyoung karena Yuto tidak mengetahui nama gadis itu.  Seketika Yuto merutuki kebodohannya yang tidak menanyakan nama. Bahkan ia tidak sempat melihat name tag pada seragam sekolah Chaeyoung.
            Di saat yang bersamaan, Chaeyoung bertemu seseorang. Langkahnya dihalangi orang tersebut yang ternyata adalah Dokyeom. Chaeyoung yang sempat melihat name tag Dokyeom langsung mendongak dan mendapati pemuda dihadapannya juga tak kalah terkejut saat bertatap mata dengan Chaeyoung.
            “Kau yang…”
            Buru-buru Dokyeom membekap mulut Chaeyoung menggunakan tangan dan memberikan tatapan mengancam. Tidak peduli dengan tatapan orang-orang disekitar mereka. Salah satu diantara orang-orang yang melihat kejadian itu adalah Jihyo.
            “Anggap kejadian semalam bukan apa-apa. Dan jangan coba-coba membocorkan hal ini pada siapapun.” Masih dengan kilatan mata penuh ancaman. Sementara tangannya sudah terlepas dari mulut Chaeyoung.
Namun Chaeyoung juga tidak ingin kalah begitu saja, meski tatapannya hanya datar pada Dokyeom. “Kembalikan dompet temanku.”
            “Tidak bisa,” Dokyeom berucap cepat tanpa berfikir panjang. Ia lalu bergeser sedikit disamping Chaeyoung dan bersiap meninggalkan gadis itu. Belum sempat melangkah, Dokyeom meraskan Chaeyoung menahan tangannya. “Benda itu tidak ada padaku.” Dengan satu kali hentakan, Dokyeom menyingkirkan tangan Chaeyoung dari lengannya.

***

            Bel tanda pelajaran berakhir sudah berdentang. Seluruh siswa yang berada satu kelas dengan Chaeyoung sontak bergegas merapihkan perlengkapan sekolah mereka. Kecuali gadis itu yang justru langsung mengeluarkan ponselnya dan sebuah buku catatan dari dalam tas.
            Hangyul yang menyadari gerak-gerik Chaeyoung langsung menegur gadis itu. “Kau tidak pulang?”
            “Sebentar lagi. Aku harus mengurus gaji para karyawanku dulu.” Chayoung berujar tanpa melirik sedikitpun ke tempat Hangyul berada. “Kau duluan saja.”
            Hangyul berdiri, lengkap dengan ransel yang sudahh bertengger di punggungnya. Sesaat ia melirik ke tempat Hwiyoung dan Taeeun yang kebetulan duduk dibelakangnya. Dua pemuda itu masih merapihkan perlengkapan sekolah mereka namun belum juga selesai karena keduanya sibuk bercanda. Hangyul yang malas menegur mereka lebih memilih untuk terus berjalan meninggalkan kelas.
            Yuqi menjadi salah satu yang masih tersisa di kelas karena ia memang belum selesai membereskan perlengkapan sekolahnya. Sementara Yukyung yang masih duduk menunggu Yuqi, duduk menyamping di kursinya dengan arah pandangan lurus ke belakang. Ke tempat Chaeyoung yang masih sibuk dengan dunianya sendiri.
            Tanpa harus memastikan apa yang dilihat Yukyung, Yuqi sudah bisa menebaknya. “Mau pulang bersamaku atau Chaeyoung?”
            Saat Yukyung menoleh, Yuqi sudah dalam posisi berdiri. Lengkap dengan ransel dipunggunggungnya sambil menunggu Yukyung meneresponnya. Yukyung sendiri hanya menghela napas agak berat kemudian lebih memilih untuk berdiri sambil melirik ke tempat Chaeyoung berada dengan tatapan sedikit merasa bersalah sebelum akhirnya benar-benar menyusul Yuqi meninggalkan ruangan kelas.
            Beberapa saat setelah Chaeyoung menjadi orang terakhir yang berada di ruang kelasnya, ponsel gadis itu menerima sebuah panggilan dari nomor milik Dongju. Chaeyoung menyangkutkan handsfree ke telinganya dan meninggalkan sesaat pekerjaannya untuk menerima panggilan dari adiknya.
            “Ya, Dongju.” Chaeyoung terdengar menyapa lalu tidak lama gadis itu terdiam beberapa saat hanya untuk mendengarkan suara Dongju yang memberitahukan hal penting. “Benarkah?” Chaeyoung kembali bertanya untuk memastikan sesuatu. Seketika senyum tipisnya mengembang. Tanpa pikir panjang, Chaeyoung langsung memutuskan kontaknya dengan Dongju dan bergegas membereskan beberapa barangnya yang masih berceceran di meja. Setelah di rasa semua barangnya sudah masuk ke dalam tas, Chaeyoung menutup resleting ranselnya sambil berdiri dan segera melangkah pergi meninggalkan kursinya. Gadis itu bahkan tidak menyadari jika masih ada satu barangnya yang terjatuh dan tertinggal di bawah kursinya.
            Dengan langkah cepat, Chaeyoung menyeberangi lapangan sekolah menuju gerbang. Berkejaran dengan siswa yang lain. Di waktu yang bersamaan, dan berada tidak jauh dari gerbang sekolah, tampak mobil sport milik Yuto terparkir. Tepat disamping mobil tersebut terlihat Yuto menyerahkan sebuah kamera pada salah satu siswa di sana. Sementara pemuda itu menyerahkan uang tunai pada Yuto yang jumlahnya tidak sedikit.
            “Kalau ada yang ingin kau jual lagi, bilang saja padaku.”
            Yuto terkejut saat pemuda tadi menepuk pundaknya karena saat itu mata Yuto menangkap sosok Chaeyoung yang melintasi gerbang sekolah menuju halte bus. “Oke, thanks. Nanti ku kabari lagi.” Setelah berpamitan, Yuto bergegas masuk ke dalam mobil dan berniat mengejar Chaeyoung. Namun gadis itu sudah lebih dulu melesat masuk ke dalam bus yang tiba bersamaan.
            Yuto mengendarai mobilnya tepat di belakang bus. Benar-benar membuntuti bus yang ditumpangi Chaeyoung. Chaeyoung sendiri sudah turun dari bus dan sudah sedang berjalan keluar dari halte. Yuto tetap membuntuti pelan-pelan sebelum akhirnya berkendara dengan mensejajarkan langkahnya dengan Chaeyoung sambil membuka jendela mobil.
            “Kau mau ke mana? Biar ku antar.”
            Chaeyoung menoleh sambil sedikit menundukkan kepalanya untuk melihat seseorang yang berada di dalam mobil tersebut. “Ah, tidak perlu. Aku juga sudah sampai.” Chaeyoung menunjuk gedung restorannya yang berada di belakangnya. Tanpa menunggu respon dari Yuto, Chaeyoung sudah berdiri tegak kembali dan melangkah masuk ke dalam restorannya.
            Yuto masih berada di dalam mobil, sedikit menundukkan kepala untuk memastikan mereka memang benar sudah berada di depan restoran milik keluarga Chaeyoung. Teringat ia sudah berhasil menjual kameranya, Yuto langsung membelokkan mobilnya ke dalam area parkiran restoran. Bergerak secepat mungkin, Yuto sampai setengah berlari mengejar Chaeyoung yang sudah menghilang ke dalam restoran. Tidak lupa Yuto juga membawa kotak bekal milik Chaeyoung. Yuto memilih untuk menuju ke meja kasir yang dijaga oleh salah satu karyawan restoran.
            “Kau tahu seorang gadis yang memakai seragam sekolah yang sama denganku? Tadi dia masuk ke dalam sini tapi…” Yuto sengaja menggantung ucapannya karena ia tidak melihat sosok Chaeyoung di sana meski ia sudah mengedarkan pandangan berkeliling.
            “Ada apa mencari Noona-ku?”
            Yuto membalikkan badan dan mendapati sosok pemuda kembar berdiri tidak jauh dibelakangnya. Dongju dan Dongmyung tampak muncul bersamaan meski dari arah yang berbeda.
            Noona sedang ada tamu. Nanti saja kalau ingin bertemu.” Dongju bicara dengan nada cuek sambil berjalan dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Dongju berjalan mengitari meja tinggi lalu mengambil tempat tepat di belakang alat kasir.
            Sementara ditempatnya berdiri, Dongmyung memperhatikan sosok Yuto dari ujung kepala hingga kaki. Dibagian hidung Yuto sendiri masih tampak sebuah plester tertempel di sana.
            “Aku ingin mengembalikan ini.” Yuto mengangkat kotak bekal milik Chaeyoung yang masih berada ditangannya.
            “Berikan saja pada…”
            Yuto menarik kembali kotak bekal ditangannya sebelum Dongju lebih dulu merebutnya. “Aku ingin mengembalikan langsung pada Noona mu itu.”
            “Ah, Hyung. Kau yang malam itu, bukan?” Dongmyung baru teringat tentang Yuto yang malam itu dompetnya dicuri seseorang. Yuto hanya merespon dengan anggukan karena ia masih merasa kagum dengan dua anak kembar yang kini dihadapannya. “Ijinkan aku mentraktirmu malam ini, Hyung.
            “Ah, tidak perlu. Lagipula…”
            “Ini dia yang aku ceritakan tadi.” Suara keras Kino membuat Yuto tidak melanjutkan ucapannya. Kino datang bersama Wooseok, Yugyeom, Junyoung dan Eunwoo yang menyusul tidak jauh dibelakangnya. “Kau. Hmm, siapa namamu? Yuto? Kau tadi mau menjual ponsel? Apa masih berlaku? Temanku ada yang bersedia membantu.”
            Tidak jauh dibelakang Kino, tampak Eunwoo sempat melirik ke tempat Wooseok berada. Keduanya tidak sengaja saling melempar tatapan sambil mengangguk. Seolah membenarkan ucapan Kino.
            Yuto tertawa canggung mengingat tidak mungkin ia menyerahkan ponsel satu-satunya yang ia miliki. Terlebih tadi ia sudah mendapatkan sejumlah uang dari hasil menjual kamera. “Bagaimana kalau aku tawarkan barang lain. Mobil, jam tangan, atau mungkin televisi?”
            Wooseok melirik sebuah jam tangan yang melingkar di pergelangan Yuto. Hanya melihat sekilas saja sudah jelas pemuda itu tidak memakai barang sembarangan. Sementara di tempatnya berdiri sekarang, Dongmyung tampak melempar tatapan pada Dongju sambil mengisyaratkan sesuatu melalui ekspresi wajah. Dongju hanya memasang ekspresi kesal karena ia tidak mengerti maksud Dongmyung. Lebih tepatnya tidak ingin mengerti apalagi menyetujui maksud Dongmyung padanya.
            Hyung. Dongju akan membeli tivimu. Kebetulan tivi di rumah kami rusak karena Dongju bermain sepakbola di dalam rumah.” Dongmyung berusaha melawan serangan Dongju yang tentu saja ingin menghentikan Dongmyung. Beruntung mereka terhalang sebuah meja hingga tidak terjadi sesuatu yang lebih dari itu.
            “Kalian berikan alamat kalian. Nanti akan aku antar ke rumah kalian.”
            “Setuju.” Dongmyung mengulurkan salah satu tangannya yang terkepal sebagai tanda kesepakatan, tepat sesaat setelah Dongju sudah berhenti menyerangnya.
            Yuto membalas kepalan tangan Dongmyung dengan membenturkan kepalan tangannya, pelan. “Berikan aku kertas dan pulpen. Aku tunggu di sana.” Yuto menunjuk ke arah samping. Ia juga sempat berpamitan lewat gerakan mata pada Kino dan yang lain sebelum berjalan menuju salah satu meja kosong.
            Hyung, kalian ingin makan?” tegur Dongmyung pada Kino dan yang lainnya.
            Kino sedikit memajukan wajahnya hingga sejajar dengan telinga Dongmyung untuk membisikkan sesuatu. “Sebenarnya kami butuh ruang VIP, bisa?”
            Dongmyung tertawa mendengar ucapan Kino yang kini juga ikut terkekeh, membuat orang-orang disekitar mereka saling tatap dengan ekspresi wajah bingung. “Mau sambil main billiard?”
            Mendengar Dongmyung menyebut kata billiard, sontak Wooseok menyeruak hingga kini berdiri tepat di dekat Dongmyung. “Kalian menyediakan tempat seperti itu?”
            Dongmyung hanya merespon dengan anggukan.
            “Waah, itu terdengar keren.” Junyoung terdengar berkomentar. “Yugyeom bisa membayarkannya untuk kita.” Junyoung melakukan hi-five dengan Eunwoo ketika Yugyeom hanya bisa menunjukkan ekspresi bingung setelah berhasil dikerjai oleh Junyoung. Yugyeom memang salah satu pemuda yang cukup pendiam diantara mereka.
            “Tenang semua. Wooseok yang akan membayarkan karena…hmp!” Ucapan Kino terhenti karena Wooseok sudah lebih dulu membekap mulutnya. Membuat Kino justru semakin keras tertawa setelah berhasil melepaskan tangan Wooseok dari mulutnya.

***
            “Jadi, sebenarnya siapa Chaeyoung?”
            Yuqi dan Yukyung yang tampak baru keluar dari sebuah kedai minuman, terkejut dengan pemandangan di depan mereka. Sudah ada Mina dan Dayoung menunggu mereka, kecuali Jihyo yang berdiri sedikit dibelakang dan terlihat tidak ingin ikut campur dengan apa yang mereka bicarakan.
            Yuqi sempat melirik ke tempat Yukyung berada dan Yukyung hanya menunjukkan ekspresi bingung. “Apa maksud kalian?”
            “Aku menemukan ini.” Dayoung mengeluarkan sesuatu dari dalam jas sekolahnya. Sebuah buku tabungan salah saru Bank swasta di Korea. Dayoung sampai membuka halaman pertama yang berisi identitas pemilik buku tersebut. “Hebat sekali teman kalian memiliki uang sebanyak ini. Bukankah dia hanya pelayan…” Dayoung tidak melanjutkan kalimatnya karena Yuqi lebih dulu menyambar buku tabungan tersebut.
            Terlihat Yuqi dikuasai sedikit emosi sambil membuka lembar demi lembar hingga sampai di halaman terakhir yang tertera sebuah nominal angka yang tidak bisa dikatakan sedikit. Sampai di angka ratusan juta.
            “Tapi itu bisa saja pemberian pacarnya. Bukannya pacarnya itu tinggal di apartment yang sama denganmu kan, Eonnie? Berarti pacarnya adalah seseorang yang sangat kaya.”
            Mina melipat kedua tangannya di depan dada sambil mengangguk, membenarkan ucapan Dayoung. Jelas saja ia akan memihak pada Dayoung. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, Yuqi melempar buku ditangannya tepat ke badan Dayoung. Yukyung yang ikut terkejut ingin merebut kembali, namun kalah cepat dari Dayoung yang langsung menyelamatkan benda itu. Beruntung Yukyung tidak bisa memaksanya karena Yuqi menarik tangannya untuk membawa Yukyung pergi dari sana.
             “Sudahlah, hentikan semuanya.” Suara Jihyo menginterupsi kedua temannya yang seakan sedang melakukan selebrasi karena memenangkan sesuatu. Berbeda dengan Jihyo yang justru tidak ingin melakukan hal serupa. “Aku bahkan semakin tidak bisa dekat dengan Yugyeom.” Jihyo menegakkan badannya dan mulai melangkah ke arah yang berlawanan dengan Yuqi dan Yukyung.
            “Paling tidak sudah tidak ada yang bisa mendekati Yugyeom. Ya! Jihyo!” Mina berteriak agar Jihyo berhenti karena ia sendiri tidak berniat menyusul Jihyo. Mina bahkan menahan Dayoung untuk tidak mengejar Jihyo. “Biarkan saja.”

***

            Kino berjalan memimpin teman-temannya menuju area lantai 2 restoran. Dengan ruangan terbuka di sebelah kiri yang langsung berbatasan dengan pagar pembatas yang berada di dalam dan bisa melihat ruang makan lantai 1 dari sana. Di ujung ruangan juga terdapat sebuah pintu yang mengarah ke area balkon luar dengan jendela kaca besar yang membatasi, dan satu ruangan lagi dengan jendela yang tertutup tirai dari dalam. Sementara ruangan tersebut tersedia dua meja billiard.
            Wooseok berjalan mendahului Kino hanya untuk melemparkan ranselnya ke atas sofa panjang di dekat pagar pembatas tangga sebelum menuju dekat jendela untuk mengambil stick billiard. “Mau satu lawan satu atau main tim?”
            Yugyeom menyentuh pundak Eunwoo yang sedikit menghalanginya. “Kalian saja yang main. Nanti aku yang pesankan makanan.” Ketika Eunwoo menyingkir, Yugyeom menyeruak ke depan dan mengambil tempat untuk duduk di sofa sambil mengambil sebuah majalah olahraga yang tergeletak di atas meja panjang di depan sofa. Kino, Junyoung dan Eunwoo masing-masing ikut meletakkan ransel mereka ke atas sofa di dekat Yugyeom.
            Kino berjalan menuju meja billiard yang berbeda dengan tempat Wooseok berdiri saat itu. “Aku ingin menantang Junyoung Hyung. Kalau kau kalah, ceritakan sebuah rahasia padaku, oke?”
            Junyoung hanya mendengus kesal. Tentu ia akan menerima tantangan Kino yang terkenal jahil itu. “Dasar anak licik.” Ucapan Junyoung justru membuat Kino semakin terkekeh geli, terlebih pemuda itu menyusul Kino menuju meja billiard dan mengambil salah satu stick billiard.
            “Sepertinya seru juga jika aku mengetahui satu hal tentangmu.” Eunwoo yang masih berdiri di dekat sofa, menenggelamkan kedua tangannya ke saku celana. Sementara tatapannya tidak lepas dari tubuh tinggi Wooseok yang tampak sudah bersiap untuk menghancurkan sususan rapih bola-bola billiard yang berada di tengah meja.
            Junyoung sudah terlihat memulai pertandingannya dengan Kino saat tubuh tingginya sedikit membungkuk untuk menghantam bola menggunakan stick billiard di tangannya. Kino yang memahami arah bicara Eunwoo untuk Wooseok, kembali terkekeh. Wooseok dan Kino memang kerap kali berbagi cerita tentang hal apapun.
            “Padahal aku ingin aku yang membongkar hal itu.”
            Wooseok menoleh dengan menunjukkan death glare-nya untuk Kino. Membuat Kino semakin tidak kuasa menahan tawanya.

***
Takuya Onni-chan : aku sudah kirimkan melalui e-mail. Jangan lupa kau lihat.

            Yuto mengacak rambutnya, frustasi. “Aku hanya ingin mencari ibu dan Yasuo Onni-chan. Kenapa harus berurusan dengan wanita iblis itu juga?”
            Sepintas tampak seorang wanita paruh baya dengan seragam koki melintas dan berjalan cukup cepat lalu menghilang di balik pintu yang mengarah ke dapur. Yuto nyaris berdiri karena entah mengapa tiba-tiba ada hal yang membuatnya penasaran. Padahal Yuto bahkan tidak melihat wajah wanita itu. Namun sudah lebih dulu seorang pelayan datang membawakan pesanannya. Yuto langsung meneguk air mineralnya.
            Belum sempat Yuto kembali berdiri, kali ini ponselnya berdering dengan sebuah panggilan dari Takuya. “Yaa, Hyung.”
            “Hahahaha.” Terdengar suara tawa seseorang dari seberang sana.
            Yuto mengerutkan keningnya, lalu menatap layar ponsel. Ada yang aneh dengan kakak tertuanya. Yuto tidak menyadari jika ia memanggil Takuya dengan embel-embel ‘Hyung’, bukan ‘Onni-chan’ seperti yang selama ini ia ucapknya untuk Takuya. Menyadari itu, Yuto hanya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
            “Kau sudah benar-benar menjadi orang Korea sekarang.”
            “Aku hanya harus membiasakan panggilan itu. Maaf aku tidak sengaja.”
            Takuya tidak berhenti tertawa. “Tidak apa-apa. Hmm, apa sudah kau lihat e-mail­ ku?”
            Yuto sampai membatalkan niatnya untuk menyuap makanan karena pertanyaan Takuya. “Aku bahkan belum sampai rumah.”
            “Lalu kau di mana? Bukankah seharusnya kau sudah pulang sekolah.”
            “Iya aku sedang makan malam sebentar. Setelah itu aku pulang. Restorannya tepat di seberang apartmen.”
            “Rumah yang ditempati iblis betina itu seharusnya milik ibu. Bukan seharusnya, tapi memang milik ibu.”
            Yuto sontak tertegun. Mendadak nada bicara Takuya berubah serius. Yuto melepas sendok makan ditangannya. Mendadak nafsu makannya hilang. Yuto menghela napas sambil memijat pelan keningnya. “Lalu aku harus apa? Aku baru dua hari di sini. Dan bahkan jalanku untuk menemukan ibu masih sangat panjang.” Tanya Yuto dengan nada frustasi.
            “Aku tidak menyuruhmu melakukan apa-apa. Ibu juga tidak akan suka kalau kita merebut rumah itu lagi. Tapi, kau bolah lakukan apapun yang kau mau pada mereka.”
            Yuto mengepalkan tangannya yang berada di atas meja. Mencerna sekaligus cukup terpengaruh dengan nada bicara Takuya.
            “Kau pasti tidak akan membiarkan mereka hidup tenang sementara kau tidak tahu bagaimana nasib ibu dan kakakmu, Yasuo.”
            “Baiklah aku pulang sekarang.” Yuto berdiri sambil memutuskan sambungan secara sepihak. “Maaf, aku minta tolong makanan ini dibungkus,” ujarnya pada salah satu pelayan yang kebetulan melintas. Yuto kemudian berjalan menuju meja kasir untuk membayar semua pesanannya. “Aku titip ini untuk Noona-mu.” Yuto meletakkan kotak bekal yang siang tadi diberikan Chaeyoung padanya. “Sekalian aku ingin membayar pesananku.”
            Dongju yang menjaga meja kasir langsung memeriksa total tagihan milik Yuto. “Bukankah kau baru datang?” Tanya Dongju heran karena ia pikir Yuto menghabiskan seluruh makanannya dalam sekali suapan.
            Yuto mengangguk sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku celananya. “Aku ada sedikit urusan. Jadi terpaksa aku bawa pulang makanannya.”
            “Ini makananmu, Hyung.”
            Dongju dan Yuto menengok bersamaan ketika Dongmyung datang membawa bungkusan berisi makanan milik Yuto. Setelah Yuto menerima bungkusan tersebut, Dongmyung memberikan sesuatu lagi padanya. Sebuah kertas yang terlipat.
            “Ini alamat rumah kami.”
            Yuto dan Dongmyung saling tersenyum penuh rahasia. Dibalik itu semua, Dongju menjadi satu-satunya orang yang tidak senang melihat senyum keduanya. Bagaimana tidak, jika Yuto benar-benar datang membawa televisi miliknya, tentu Dongju harus mengeluarkan sejumlah uang seperti apa yang dikatakan Dongmyung kalau dirinya merusak televisi.
            Tidak lama setelah Yuto meninggalkan restoran, Dongmyung berniat kembali kea rah dapur, namun di sana ia bertemu dengan Chaeyoung bersama seorang pemuda, Kogyeol. Mereka baru saja memunculkan diri dari dalam sebuah ruangan, bersebelahan dengan pintu dapur.
            “Dongmyung!” Suara Chaeyoung menghentikan langkah Dongmyung tepat di depan mereka. “Besok Kogyeol Oppa akan mulai bekerja di sini, kamu tolong bantu dia ya.”
            “Siap, Noona.” Dongmyung melakukan pose hormat sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur.
            “Chaeyoung-ah, terima kasih banyak atas semuanya. Maaf aku terlibat mencelakaimu waktu itu.”
            Chaeyoung meninju pelan lengan Kogyeol. “Aku sudah melupakan kejadian itu. Jangan bahas lagi, oke.”
            Kogyeol tertawa canggung. “Kalau begitu aku pamit.”
            Chaeyoung mengangguk sebelum Kogyeol balik badan dan bersiap meninggalkan restoran. “Ah, Oppa. Di hari Sabtu aku akan datang siang. Kalau butuh sesuatu cari saja Dongmyung atau Dongju.”
            Kogyeol kembali mengangguk sebelum akhirnya benar-benar berjalan meninggalkan restoran. Chaeyoung sendiri memililih kembali ke ruangan yang bisa dikatakan seperti kantor. Sebuah ruangan dengan meja kursi selayaknya ruangan pimpinan di sebuah perusahaan, lengkap dengan lemari tanpa pintu yang berisi penuh dengan deretan dokumen. Sementara itu di sisi lain ruangan terdapat dua buah sofa panjang yang diletakkan membentuk sudut dengan meja berbentuk oval di tengah-tengahnya. Diatas sofa tampak penuh dengan bantalan sofa yang bertumpuk dengan ransel dan seragam sekolah milik Dongmyung dan Dongju.
            Chaeyoung menutup pintu dibelakangnya, sedikit melakukan peregangan sampai akhirnya ia menemukan sesuatu di kolong kursi. Chaeyoung mendekat dan berjongkok untuk mengambil benda tersebut yang ternyata adalah sebuah dompet laki-laki.
“Apa ini milik Kogyeol Oppa?”
Untuk memastikan siapa pemilik dompet tersebut, Chaeyoung memberanikan diri membukanya. Yang ia temukan justru sebuah foto. Laki-laki dan perempuan berseragam SMA. Yuto bersama seorang gadis bernama Sana. Chaeyoung bergegas melesat meninggalkan ruangan tersebut. Ia teringat bertemu Yuto tepat ketika ia baru saja sampai di restoran. Chaeyoung hanya bertemu dengan Dongmyung yang duduk di belakang meja kasir.
“Pemua yang dompetnya dicuri kemarin itu, apa dia datang ke sini?”
            “Dia hanya membeli makanan dan mengembalikan kotak bekalmu, Noona.” Dongmyung bicara tanpa mengalihkan tatapannya pada layar monitor. Tidak lama Dongju kembali dan memaksa Dongmyung berdiri dan pergi dari kursi yang biasa ia tempati. Dongmyung terpaksa berdiri dengan menujukkan ekspresi kesalnya.
            Chaeyoung memberikan dompet milik Yuto ditangannya kepada Dongmyung. “Tolong cari identitas pemilik dompet ini. Aku tidak berani membukanya.”
            Ditempatnya berada, Dongju hanya melirik sekilas interaksi antara Chaeyoung dengan Dongmyung tanpa ada minat sedikitpun untuk tahu lebih. Banyak hal yang lebih penting untuk ia kerjakan.
            “Hahahaha.”
            Chaeyoung mendongak dengan ekspresi bingung karena tibat-tiba mendengar suara orang tertawa. “Ada siapa di atas?” Gadis itu hanya melihat bagian punggung seseorang yang bersandar pada pagar pembatas.
            “Kino Hyung dan teman-temannya.” Dongju yang tampak menjawab sambil berdiri dan meninggalkan tempatnya lagi.
            “Apa Hangyul juga ada?” Chaeyoung bertanya.
            Dongmyung menggeleng. “Tidak ada.” Pemuda itu masih sibuk membongkar isi dompet milik Yuto. “Nama pemilik dompet ini Adachi Yuto. Dan semua identitasnya beralamat di Jepang. Tapi sudah tidak ada uang cash.” Dongmyung sudah membereskan kembali isi dompet Yuto ke tempatnya semula. “Noona kau dapat ini dari mana?”
            “Sepertinya itu ada pada Kogyeol Oppa.”
            Chaeyoung mengeluarkan ponselnya dari saku rok dan mengetikkan sebuah pesan untuk kontak milik Kogyeol.

***
            Yugyeom bersandar di pagar pembatas restoran dengan segelas jus jeruk di tangannya. Ia menatap ke bawah dan tepat ketika Chaeyoung melintas dengan langkah sedikit tergesa-gesa. Sambil menikmati minumannya, Yugyeom tidak mengalihkan tatapan pada Chaeyoung. Sementara itu sedikit kehebohan terjadi antara mereka-mereka yang bermain billiard.
            “Hahahaha.” Tawa Junyoung dan Eunwoo terdengar pecah membuat perhatian Yugyeom pada Chaeyoung sedikit teralih.
            Yugyeom menoleh tepat ketika Chaeyoung juga mendongak ke tempatnya berada. Yugyeom mendapati wajah-wajah suram antara Kino dan Wooseok yang kalah dari Junyoung serta Eunwoo.
            “Kalian sama saja bunuh diri kalau mengajak Eunwoo bertanding,” kata Yugyeom.
            Wooseok menendang kaki meja billiard sebagai ekspresi kekesalan. Namun tentu tidak benar-benar ingin ia rusakkan. Kino sendiri yang juga mengalami kekalahan dari Eunwoo tampak menelungkupkan wajahnya diatas meja billiard. Junyoung sampai menepuk-nepuk kepala Kino untuk menghibur pemuda itu.
            “Aah! Aku ingin ke toilet dulu.” Kino menegakkan tubuhnya kembali kemudian berjalan lunglai menuju tangga. “Jangan mulai tanpa aku.”
            Eunwoo mengambil tempat duduk di salah satu sofa dan mulai menyeruput jus jeruk miliknya. Junyoung bergabung kemudian menikmati makanan pesanan mereka yang belum lama diantar.
            “Wooseok, ayo makan duu.” Yugyeom terlihat menepuk pelan pundak Wooseok sambil mengajaknya bergabung.
            “Hangyul tidak ikut ke sini?” Tanya Eunwoo ketika Wooseok sudah duduk di sebelahnya.
            Tidak ada yang menjawab karena Junyoung sudah memenuhi mulutnya dengan makanan. Wooseok dan Yugyeom hanya mengangkat bahu mereka tanda tidak tahu. Sesaat mereka tenggelam dalam kesibukan masing-masing menikmati makanan mereka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki—lebih dari satu orang—menaiki tangga. Kino memunculkan diri bersama Hangyul menyusul di belakangnya.

***

            Yuto membanting pintu di belakangnya, berjalan tergesa-gesa. Ia bahkan sampai melempar ranselnya sembarangan ke atas sofa. Beruntung bukan makan malamnya yang terlempar. Yuto melesat ke kamar, dan hanya mengambil laptop yang kemudian ia bawa ke atas meja makan. Perutnya sudah sangat lapar. Sambil menunggu laptopnya menyala, Yuto menyiapkan makanan yang ia beli dari restoran Chaeyoung.
            Jari-jari tangan Yuto bergerak-gerak diatas keyboard laptopnya. Masuk ke layanan e-mail. Seperti apa yang Takuya katakan, pemuda itu mengirimi semuah file melalui e-mail. Yuto langsung men-download file tersebut dan membuka untuk melihat isinya. Sebuah data diri seorang wanita paruh baya bernama Lee Yura. Data berupa biodata, lengkap dengan nama suami, anak-anak sampai keluarga.
            “Keigo Nishimoto.” Yuto bergumam pelan.
            Jari pemuda itu tidak berhenti bergerak. Kali ini membawanya pada orang berikutnya. Seorang gadis berusia satu tahun diatasnya bernama Myoi Mina. Melihat ada informasi berupa akun social media milik Mina, Yuto mengeluarkan ponselnya dan mencari akun tersebut. Yuto mengangkat ponselnya bersejajar dengan layar monitor laptopnya. Melihat satu demi satu foto yang ia temukan. Mengabaikan hal itu sesaat, Yuto melanjutkan penjelajahannya. Dan terakhir ia menemukan foto seorang pria yang diketahui adalah suami dari Lee Yura. Keigo Nishimoto.
            “Ayah.” Yuto berujar pelan. “Akh!” Yuto membanting ponselnya ke lantai. “Susah payah aku menghindar, ternyata anak itu justru satu sekolah denganku.”
            Yuto berdiri. Tangannya terulur dan berniat untuk menutup layar laptopnya. Namun niatnya terhalang karena mendengar ponselnya berdering. Yuto menunduk dan mendapati benda itu berada di kolong meja dengan kondisi retak di beberapa sudut layarnya. Takuya kembali meneleponnya.
            “Kenapa dia jadi sering meneleponku?”
            Yuto berjongkok untuk memungut ponselnya.
            “Ya, Onni-chan.” Yuto bersuara dengan nada malas. Mood-nya mendadak buruk. “Aku baru saja selesai melihat e-mail darimu. Kau ingin aku melakukan apa? Aku tidak suka menggunakan kekerasan.”
            “Aku tidak menyuruhmu melakukan kekerasan. Kau pasti bisa berfikir, kan? Buat gadis itu menderita. Hanya kau yang bisa ku harapkan. Jika aku belum menikah, mungkin aku sendiri yang akan melakukannya.”
            “Tidak peduli. Kalau perlu akan pindah sekolah agar aku tidak bertemu dengannya dan fokus mencari ibu.”
            “Terserah!” Takuya berseru sakartis. “Jika kau tidak melakukan apapun, ku buat kau jadi gelandangan di Korea.”
            “Aku bahkan sudah jadi pengemis yang tinggal di apartment mewah! Hei! Takuya!” Yuto memaki ponselnya. Ia sadar beberapa detik lalu bahkan Takuya sudah memutuskan sambungan teleponnya. Sukses membuat Yuto mengumpat sampai tidak memanggil Takuya dengan sebutan ‘Onni-chan’.
            Yuto mengangkat tangannya yang memegang ponsel ke udara, bersiap melempar ponselnya untuk kedua kali. Namun mendadak ia batalkan karena matanya menangkap bungkusan makan malamnya yang masih tertunda sampai detik ini. Teringat Chaeyoung jika ia benar-benar melakukan hal itu, pindah ke sekolah lain. Yuto hanya masih ingin bertemu gadis itu. Gadis yang sudah menyisakan luka dihidungnya. Belum lagi kondisi ponselnya yang sudah retak semakin menamparnya jika kini ia sedang tidak punya apa-apa. Untuk makanpun ia harus menjual beberapa barang.
            “Akh, aku lapar.”
            Mengesampingnya urusan tentang Takuya, ayah dan orang lain disekelilingnya. Yuto mengambil makanan miliknya yang seharusnya sudah dicerna didalam lambungnya sejak tadi.

***