Author :
@nniissaa11
Cast :
Yoo Heedo, Im Soo Eun (NC.a), Chahee , Jang Sebin
Genre :
romance
Lenght : one
shoot
***
“Sejak kapan kamu menjadi budak cinta
seperti ini. Lagi pula sejak awal aku sudah bilang kalau Chahee tidak sebaik
yang kau pikirkan.” Rayoon hanya geleng-geleng menatap frustasi temannya yang
terus saja menenggak alcohol. Entah sudah gelas keberapa.
“Mereka
berpelukan bahkan aku melihat mereka berciuman.”
Rayoon
menepuk-nepuk punggung Heedo yang merengek seperti anak kecil. “Hentikan!”
Rayoon menahan tangan Heedo yang sudah ingin meraih gelasnya lagi. “Ini sudah
hampir pagi. Ayo pulang.” Kini Rayoon menarik paksa tangan Heedo dan bersusah
payah mengajak pemuda yang lebih tinggi darinya itu untuk meninggalkan bar.
“Lagi
pula, Chahee hanya mau karena hartamu saja. Akh, kenapa kau berat sekali.”
Rayoon membopong Heedo sampai ke dalam mobil. Setelah masuk ke dalam mobil,
Rayoon segera bergerak meninggalkan area parkir. Mereka akan menuju rumah
Heedo. Sesekali Rayoon melirik, memastikan temannya masih dalam keadaan
baik-baik saja. Hanya sedikit mulai hilang kesadaran.
“Kau
itu tampan dan kaya. Masih banyak gadis yang lebih baik dari Chahee yang mau
denganmu,” lanjut Rayoon. Namun Heedo tidak merespon ucapannya. Lalu tidak lama
kemudian, Rayoon mengendarai mobilnya masuk ke dalam area parkir sebuah rumah
besar.
Rayoon
sudah turun dari mobil untuk membantu Heedo lagi. Namun Heedo bersikeras
menolak. Sambil sempoyongan Heedo memasuki rumah. Membiarkan Rayoon pergi dari
sana.
***
Gadis
berambut sebahu itu melangkah riang sambil membawa 2 buah bucket bunga mawar
putih. Soo Eun menyeberang jalan sambil memeluk erat bunganya. Gadis itu
berbelok ke jalan yang mengarah ke pemakaman. Namun tidak jauh di depan sana
tampak ada sedikit keributan. Terlihat 3 preman seperti menggeledah seseorang.
Tanpa sadar Soo Eun justru melangkah mendekat.
“Hentikan!”
jerit Soo Eun sebelum salah satu preman melayangkan pukulan terhadap pemuda
tidak berdaya itu yang ternyata adalah Heedo.
Malam
tadi, setelah diantar pulang oleh Rayoon, ternyata Heedo justru kembali
meninggalkan rumahnya. Berjalan tanpa arah. Hingga akhirnya dia tertidur di
area pemakaman. Dan pagi ini kesialan kembali menghampiri Heedo. Ia diganggu
preman yang ingin merampok dompet serta ponselnya.
“Tampangnya
saja yang tampan, tapi ternyata dia nggak punya apa-apa.” Salah satu preman
berkata.
“Waah,
lihat. Kenapa ada gadis cantik di sini. Atau dia saja yang kita bawa pulang?”
sahut preman yang lain dengan tatapan menggoda.
Soo
Eun menggenggam erat bunganya dan berusaha untuk tidak takut. “Untuk apa
membawaku pergi? Tapi kalian tidak bisa mencicipi makanan enak.”
Tiga
preman tersebut saling tatap karena tidak mengerti maksud ucapan Soo Eun. “Apa
maksudmu?”
“Lepaskan
pemuda itu, dan aku akan mentraktir kalian makanan enak di restoran.” Soo Eun
mengeluarkan selembar kertas kecil dari dalam tas kecilnya. “Datang saja nanti
malam ke restoran itu. Aku akan mentraktir kalian.”
Tanpa
harus berfikir dua kali, para preman itu menyetujui perjanjiannya dengan Soo
Eun dan pergi dari sana. Meninggalan Soo Eun bersama Heedo yang tampak seperti
setengah pingsan. Setelah preman itu sudah menjauh, Soo Eun berjongkok di
samping Heedo memastikan keadaan pemuda itu.
“Pemuda
ini…”
***
Dibantu oleh supir
taksi, Soo Eun membawa Heedo ke rumah kecilnya di pinggir kota. Heedo
sebenarnya tidak pingsan, namun pemuda itu masih belum bisa diajak bicara. Soo
Eun juga sampai membatalkan mengunjungi makam seseorang tadi.
Soo Eun menyalakan
televisi dan meletakkan remotenya di atas meja. Lalu ia beranjak ke dapur,
membiarkan Heedo seorang diri di ruang tamu. Karena sudah hampir siang pula,
Soo Eun membuatkan makanan. Di sela-sela memasak, Soo Eun melihat Heedo masuk
ke dalam toilet. Tidak lama kemudian, setelah selesai memasak, Soo Eun
membawakan masakannya ke ruang tamu dan meletakkannya di atas meja.
Mencium bau aroma
sedap dari masakan Soo Eun, Heedo melirik sekilas. Namun Soo Eun masih terus
sibuk menyiapkan hal lainnya. Heedo sendiri tampak sedikit segar karena ia tadi
membasuh wajahnya. Darah diwajahnya juga telah menghilang karena sudah ia
bersihkan.
“Kau makan duluan
saja. Aku ingin mengganti pakaian sebentar.” Setelah selesai menuangkan air ke
dalam gelas Heedo, Soo Eunpun menuju kamarnya.
Heedo sempat
mengikuti langkah Soo Eun dengan tatapan sampai gadis itu menghilang di balik pintu.
Merasakan perutnya sudah sangat lapar, Heedo tidak ingin berfikir dua kali
untuk segera menyantap masakan Soo Eun. Lagi pula gadis itu juga sudah
mempersilahkannya.
“Waaah, enak juga.”
Heedo terus makan
dengan lahap. Sampai akhirnya Soo Eunpun kembali dan duduk di samping Heedo. Gadis
itu sudah berganti pakaian.
“Kau akan pergi?”
“Iya aku harus
bekerja.” Soo Eun kemudian mulai menyantap masakannya sendiri. “Ah, ternyata
kurang garam sedikit.”
“Kalau begitu aku
akan menunggu di sini.” Heedo berujar santai sambil meneruskan makannya.
“Tidak bisa. Kau juga
sudah terlihat sehat. Lagipula tidak mungkin aku berkata pada ibumu kalau kau
berada di rumahku.”
Heedo mentatap Soo
Eun tidak percaya. “Dari mana kau mengenal ibuku?”
“Aku ini bekerja di
restoran milik keluargamu.”
“Tapi aku tidak
pernah melihatmu.”
Soo Eun menatap
Heedo, jengkel. “Aku sudah berkerja di sana hampir 2 tahun.”
Heedo terus
memikirkan tentang Soo Eun. Walau jarang berada di sana, tapi bagaimana mungkin
ia tidak mengenal karyawan restorannya yang satu ini. “Siapa namamu?”
“Im Soo Eun.”
Kali ini Heedo
menatap Soo Eun lekat-lekat hingga gadis itu merasa sedikit tidak nyaman.
Sampai akhirnya Heedo teringat sosok gadis mungil bersamanya itu. “Kenapa kau
memotong rambutmu? Kau lebih cantik dengan rambut panjang.”
Soo Eun sontak
memegang ujung rambutnya yang sebahu. “Rambut baru sama artinya dengan memulai
hidup baru.” Mendadak nafsu makannya menghilang karena harus kembali mengingat
kejadian itu. “Kekasihku, Harin oppa meninggal karena sakit. Oppa pasti tidak
ingin melihatku sedih. Maka dari itu aku memotong rambutku dengan harapan aku
bisa memulai hidupku tanpa Harin oppa.”
Heedo ikut juga
merasakan nafsu makannya mendadak hilang. Padahal nasi dimangkuknya tersisa
sedikit lagi. “Berarti aku harus mulai melupakan Chahee juga?”
“Apa?”
“Ah, tidak. Kalau begitu
aku akan menumpang dulu di sini sampai malam saat kau kembali. Setelah itu aku
akan pergi.” Dengan santainya Heedo bersandar ke sandaran sofa sampai
punggungnya sedikit merosot. Menandakan ia tidak ingin beranjak dari sana.
“Lagipula kalau menolong orang jangan setengah-setengah. Belum lagi kepalaku
juga masih pusing.”
“Baiklah.” Soo Eun
terpaksa mengalah. Ia juga tidak ingin mencari masalah dengan anak dari
boss-nya itu. “Kalau begitu aku pergi dulu.”
Beberapa menit
setelah Soo Eun pergi, Heedo menyapu pandangannya ke sekitar. Ada 2 buah bucket
bunga di salah satu sofa. Sementara di sudut ruangan ia menemukan telepon
rumah. Segera saja ia menyambar gagang telepon dan menekan sederetan nomor yang
tidak lama tersambung dengan seseorang.
“Halo Rayoon.”
***
Sementara di tempat
berbeda, pagi itu Rayoon sudah tiba di depan rumah Heedo yang sepi. Rayoonpun
dengan mudah melewati penjaga karena memang ia sudah sangat sering ke rumah
besar itu. Rayoon menghentikan mobil di depan pintu rumah. Sama seperti saat
terakhir ia meninggalkan Heedo semalam. Setelah turun, Rayoon menemukan ponsel
dan dompet milik Heedo tergeletak di depan pintu.
“Apa anak itu sudah
gila meninggalkan dompet dan ponsel di sini?” Rayoon bergumam sendiri sambil
memungut kedua benda tersebut. Saat ingin melangkah masuk, Rayoon merasakan
ponsel Heedo berbunyi. Ada sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal. Tanpa
pikit panjang, Rayoon menjawab panggilan tersebut.
“Halo!”
“Halo Rayoon.”
“Halo Rayoon.”
“Di mana kau! Kenapa
kau meninggalkan ponselmu di..”
Heedo memotong ucapan
Rayoon. “Temui karyawan restoranku yang bernama.. sebentar..” Heedo
mencari-cari sesuatu di dalam laci sampai akhirnya ia menemukan sebuah buku
yang terdapat nama Soo Eun. “Oh, Im Soo Eun. Tanyakan di mana alamat rumahnya.
Aku berada di sana. Temui aku sekarang. Aku tidak tahu ini daerah mana.”
***
Soo Eun melakukan
perjalanan dari rumah ke restoran selama setengah jam menggunakan bus. Begitu
sampai, langkahnya dihalangi oleh seseorang yang tidak ia kenal.
“Maaf, permisi.” Soo
Eun mengambil jalan lain, namun Rayoon tetap tidak membiarkannya pergi.
“Di mana rumahmu?”
“Apa?” Mata Soo Eun
terbelalak karena ada orang asing yang menanyakan rumahnya.
“Temanku sedang di
rumahmu kan? Beri tahu aku di mana alamatnya. Aku harus ke sana.”
Soo Eun menggeleng
dan hendak menghindari Rayoon. Namun pemuda itu tidak menyerah. Ia mengeluarkan
ponsel Heedo dan menunjukkan log panggilan terakhir. “Ini nomor rumahmu kan?”
“Tunggu sebentar, aku
akan mengambil kertas dulu di dalam.”
Kali ini Rayoon
melepaskan Soo Eun untuk pergi dan menunggunya di luar restoran. Kemudian tidak
lama Soo Eun kembali sambil membawa secarik kertas. Dengan sedikit tidak sabar,
Soo Eun memberikan kertas itu pada Rayoon.
“Jangan lupa bawa
pergi temanmu itu.” Tanpa menunggu Rayoon merespon, Soo Eun melangkah masuk
kembali ke dalam restoran.
Rayoon menatap kertas
yang ditangannya dan Soo Eun bergantian. “Waah, gadis yang cantik.”
***
Tidak
terlalu sulit untuk Rayoon dapat menemukan rumah Soo Eun. Heeedo langsung
membukakan pintu setelah mendengar teriakan Rayoon dari luar. Mereka kemudian
duduk di sofa ruang tamu.
“Kenapa
kau bisa ada di sini? Dan kenapa kau meninggalkan ini semua.” Rayoon
menyodorkan dompet dan ponsel milik Heedo.
“Entahlah,
aku hampir mati semalam.”
“Kenapa
kau tidak mati saja.”
Heedo
melempar bantal kecil sofa pada Rayoon dengan raut wajah kesal. “Kau
mendoakanku mati?”
“Tapi
ini serius. Kau harus merelakan Chahee saja. Ku dengar kekasih barunya itu
lebih kaya darimu. Dan dugaanku benar. Dia hanya mengincar hartamu. Sejak kecil
hidup Chahee sangat sulit. Namun dia memanfaatkan kecantikannya untuk menggoda
laki-laki bodoh sepertimu dan Sebin itu.”
“Kau
mengataiku bodoh?”
“Ya
memang benar. Kau dan si Sebin itu sama-sama bodoh. Lihat saja bagaimana Chahee
meninggalkanmu kemarin itu? Hanya karena kau bilang ingin hidup dengan kerja
kerasmu sendiri? Itu artinya sama saja kau meninggalkan harta orang tuamu, kan?
Tapi dia memilih meninggalkanmu. Dan kini dia mengemis pada Sebin.”
Tidak
ada rasa marah sedikitpun dari Heedo saat Rayoon berkata Chahee mengemis pada
Sebin. “Tapi, mereka sebenarnya berteman sejak lama.”
“Ah,
terserah kau saja.” Rayoon menenggelamkan punggungnya ke sandaran sofa. “Tapi,
gadis bernama Im Soo Eun itu, imut juga.” Mata Rayoon menerawang, mengingat
pertemuan pertamanya pada Soo Eun.
Heedo
melirik dengan tatapan kesal.
“Ah,
tapi aku lupa menanyakan nomor ponselnya tadi. Berikan aku nomor Soo Eun.”
Rayoon mengulurkan tangan hendak menyambar ponsel Heedo, namun Heedo lebih
cepat untuk menyambarnya lebih dahulu.
“Tidak
punya.”
“Ah
kau berbohong. Kalo tidak punya, bagaimana bisa kau berada di sini? Ini rumah
Soo Eun kan?”
“Lagi
pula, kau tak cocok dengannya?”
“Tidak
cocok bagaimana? Tubuh Soo Eun yang mungil itu sangat serasi dengan diriku.
Tidak sepertimu. Kau terlalu tinggi untuknya.”
Baru
saja Heedo hendak membuka mulut, suaranya tertahan karena mereka mendengar
seseorang menekan bel. “Kau mengajak orang lain?”
Rayoon
dengan tegas menggeleng. Mereka berdua kemudian beranjak menuju pintu. Heedo
yang berjalan lebih depan membukakan pintu. Ada seorang pemuda yang tidak asing
bagi Heedo. Itu Sebin. Pemuda yang terakhir kali ia lihat bersama kekasihnya,
Chahee.
“Mau
apa kau ke sini?” Tanya Heedo dengan nada tidak suka. “Chahee tidak di sini.
Sana pergi!”
Heedo
sudah akan menutup pintu, namun Sebin menghalanginya. “Aku mencari Soo Eun.
Bukan Chahee.”
“Tidak
ada yang namanya Soo Eun di sini.”
Sebin
melirik ke bawah. Terdapat sepasang sepatu sandal milik wanita. Heedo dan
Rayoon juga mengikuti arah pandangan Sebin. “Soo Eun kan perempuan, kalu dia
tidak ada, lalu ini milik siapa? Miliknya?”
Rayoon
sudah akan menyerang Sebin karena pemuda itu menunjuknya. Namun beruntung Heedo
menghalanginya. “Itu punya kekasihku. Sudah ku bilang di sini tidak ada yang
namanya Im Soo Eun.”
“Kau
bilang apa? Im Soo Eun? Bagaimana bisa kau tahu, aku tidak menyebut marga
keluarga Soo Eun sejak tadi. Dan satu hal lagi. Sepertinya aku pernah
mengenalmu.” Sebin tampak berfikir.
“Kita
tidak pernah saling kenal. Dan aku pastikan tidak akan pernah sampai kapanpun.”
“Waah..
ucapanmu cukup tidak sopan untuk dua orang asing yang bahkan belum saling
mengenal.”
“Siapa
juga yang ingin berkenalan denganmu?”
Bruk!
Heedo menutup pintu
dengan kasar. Membuat Sebin bahkan tidak sempat menghalanginya lagi. Dan dengan
terpaksa, Sebin balik badan dan berjalan menjauh. Selama melangkah, ia
memainkan ponselnya. Menghubungi seseorang.
“Aku sudah menemukan
alamatnya, eomma. Tapi maaf aku belum berhasil bertemu Soo Eun. Lain waktu aku
akan mencarinya lagi. Aku akan mencari adikku sampai ketemu.” Sebin berhenti
sesaat. “Tapi aku yakin pernah melihat pemuda itu.” Namun ia tidak mengingat
apapun.
Sementara di dalam
rumah, Heedo dan Rayoon kembali duduk di sofa. “Untuk apa dia mencari Soo Eun?”
Heedo tampak berujar dengan bingung.
“Aku tidak tahu.
Sebaiknya kita pergi dari sini.”
Rayoon menyambar
kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. Namun Heedo justru berbaring di
atas sofa panjang. Bukannya bersiap-siap untuk ikut Rayoon pergi.
“Aku tidak ingin
pulang. Tidak ingin bertemu siapa-siapa. Kepalaku masih sakit. Dan lagi, aku
harus menunggu Soo Eun. Memastikan Sebin tidak muncul lagi di sini.” Heedo
meletakkan salah satu tangannya untuk menutupi mata. “Oiya satu lagi, jangan
lupa tutup pintunya.”
***
Sampai
malam hari ketika Soo Eun pulang, Heedo masih di sana. Soo Eun yang curiga
karena seperti ada seseorang di dalam rumahnya, bergegas masuk dan mendapati
televisi masih menyala sedangkan Heedo tertidur pulas di sofa.
“Bukankah
sudah ku bilang kau harus...” ucapan Soo Eun terhenti setelah tangannya
menyentuh lengan Heedo. Terasa sangat hangat. “Kau sakit?” Dengan dibalut rasa
khawatir, Soo Eun menyentuh kening Heedo. Panas. Wajah pemuda itu juga tampak
sedikit pucat. Soo Eun kemudian berdiri, mencari kotak P3K yang ada di rumahnya
dan mengambil termoter untuk memeriksa suhu badan Heedo.
“Kau
sudah makan?” Soo Eun bertanya lagi dengan nada khawatir.
Heedo
hanya menggeleng lemah dengan mata masih terpejam rapat.
Soo
Eun kembali bangkit menuju dapur. Memeriksa kulkasnya. Ternyata sisa makanan
tadi siang dimasukan Heedo ke dalam kulkas. Sementara wastafelnya terlihat
kosong. Sudah tidak ada peralatan makan yang kotor di sana. Soo Eun menoleh ke
arah ruang tamu sesaat. Soo Eun kemudian melanjutkan kegiatannya menghangatkan
makanan untuk Heedo.
***
Sepulang
bekerja, Sebin kembali berkeliling dengan mobil sportnya. Namun entah kenapa ia
kembali melaju ke arah perumahan Soo Eun. Pemuda itu tidak serta merta
mempercayai semua perkataan Heedo begitu saja. Sebin memarkirkan mobilnya di
salah satu mini market untuk sekedar istirahat sebentar dan menikmati semangkuk
ramen. Tepat di depan mini market terdapat halte bus. Setelah salah satu bus
sempat berhenti dan kemudian pergi lagi, ada salah seorang gadis berambut
sebahu terlihat menyeberang ke arah mini market. Itu Soo Eun. Namun Soo Eun
tidak benar-benar mengarah ke mini market, tapi sedikit berbelok.
Tidak
buang kesempatan, Sebin langsung berdiri dan mengejar Soo Eun. Selama ini
keluarganya sudah mencari tahu tentang Soo Eun yang sudah terpisah dengannya
belasan tahun. Namun kali ini, setelah kembali dari studinya di luar negeri,
Sebin yang turun tangan untuk menemuinya langsung. Sebin tetap menjaga jarak
agar Soo Eun tidak curiga. Ia tidak ingin menimpulkan keributan jika ia
menghadang Soo Eun di jalanan seperti ini. Karena Soo Eun pasti menganggap
Sebin orang asing.
Soo
Eun sudah tiba di depan rumahnya dan langsung masuk ke dalam dengan langkah
sedikit terburu-buru. Sebin tidak buang waktu mengejar dengan setengah berlari.
Senyumannya mengembang. Itu adalah rumah yang tadi siang ia datangi. Namun
dering ponselnya menghentikan langkah Sebin. Sebuah panggilan masuk dari Jiwon.
“Ya,
Jiwon.”
“Oppa, Chahee pingsan. Oppa segera
menyusulku ke rumah sakit ya.”
“Bagaimana
bisa?”
Sebin
mengacak rambutnya, frustasi. Selangkah lagi ia akan berhasil bertemu dengan
Soo Eun. Namun ada hal lain yang menghalanginya. Dengan berat hati, Sebin
berbalik meninggalkan rumah Soo Eun. Sambil setengah berlari Sebin kembali ke
mini market untuk mengambil mobilnya.
***
“Hei,
tuan muda. Ayo makan dulu.” Soo Eun baru saja selesai menyiapkan makan malamnya
untuk Heedo.
Tidak lama Heedo
membuka matanya yang terasa berat. Susah payah Heedo mengangkat badannya hingga
duduk. Saat matanya sudah sepenuhnya terbuka, Heedo mendapati Soo Eun sudah
menyodorkan semangkuk nasi di hadapannnya.
“Aku biasa di suapi
ibuku jika sedang sakit seperti ini.” Heedo berkata lemah dengan nada manja.
“Yasudah, telepon
saja ibumu, suruh bawa kau pergi dari sini.”
“Aku hanya bercanda.”
Dengan senyum tipis yang sedikit lemah, Heedo menyambar mangkuk nasi pemberian
Soo Eun.
“Kau harus makan ini
ya.” Soo Eun mengambilkan beberapa lauk dan sayuran untuk Heedo. “Setelah ini
aku akan memberikanmu obat. Dan kalau mau kau boleh tidur di kamarku, biar aku
di sofa.”
“Aku saja yang di
sofa. Terima kasih untuk semuanya ya. Aku sudah ingin pergi tadi sore, tapi
badanku lemas.”
“Rasa terima kasihnya
cukup dengan kau habiskan semua masakanku ya.” Soo Eun balas tersenyum, membuat
Heedo yang melihatnya membeku sesaat sebelum akhirnya mereka sibuk menghabiskan
makanan masing-masing sambil menonton acara musik di televisi.
***
“Tumben
sekali Heedo sakit. Sakit apa memangnya?” Rayoon terdengar mengeluh sambil
menghentikan mobilnya di depan sebuah supermarket. “Aku bawakan apa ya?” sambil
memasukkan kunci mobilnya ke saku celana, Rayoon akan melangkah masuk. Namun seseorang
justru menabraknya. Seorang gadis cantik dengan raut wajah panic.
“Oppa
tolong aku, temanku tiba-tiba pingsan. Antar kami ke rumah sakit.” Gadis itu
hampir menangis sambil mengguncang-guncang lengan Rayoon. “Oppa, ku mohon.”
“Aku
akan menolongmu. Di mana temanmu?” kata Rayoon tanpa pikir panjang. Namun dalam
hati Rayoon berujar, ‘gadis ini cantik juga’.
“Di
sana.” Gadis bernama Jiwon itu menunjuk ke salah satu arah. Lalu tanpa sadar
Jiwon menarik tangan Rayoon menuju kerumunan orang. Sambil dibantu beberapa
orang, mereka membawa gadis yang pingsan itu menuju mobil Rayoon.
Rayoon
sendiri yang membukakan pintu bagian belakang. Dan betapa terkejutnya Rayoon
ketika mengetahui gadis yang pingsan itu adalah Chahee. Mantan kekasih Heedo.
“Kenapa harus…” Rayoon tidak bisa menyelesaikan ucapannya. Kini ia harus segera
membawa Chahee ke rumah sakit. Setelah itu ia akan memberitahu pada Heedo.
Saat
dalam perjalanan, terdengar Jiwon sibuk menghubungi seseorang. Sementara Rayoon
sibuk menyetir. Beruntung mereka menemukan rumah sakit terdekat dengan lokasi
kejadian. Setelah Chahee di bawa ke UGD, Rayoon berkeliling mencari lahan untuk
memarkirkan mobilnya. Kemudian ia menyusul Jiwon yang menunggu di UGD. Ketika
sampai, kembali Rayoon dikejutkan dengan hadirnya Sebin di sana. Sebin bahkan
memeluk Jiwon untuk menenangkan gadis itu.
“Kenapa
harus…” dengan perasaan campur aduk, Rayoon memilih untuk meninggalkan UGD dan
kembali ke parkiran. Harusnya ia tidak menyusul ke sana. Selama perjalanan
pulang, Rayoon berusaha menghubungi Heedo, namun tidak ada satupun panggilannya
yang dijawab.
***
Esok paginya saat
terbangun, lagi-lagi Heedo sudah disuguhkan beberapa macam makanan di meja. Soo
Eun masih terlihat bolak-balik dapur menyiapkan sesuatu. Heedo sendiri langsung
memeriksa ponselnya. Betapa terkejutnya ia saat menemukan banyak panggilan
tidak terjawab dari Rayoon. Malam tadi Heedo tertidur sangat pulas karena
terpengaruh obat demamnya. Ada satu pesan yang masuk ke dalam ponsel Heedo
juga. Dengan cepat Heedo membuka pesan yang ternyata dari Rayoon.
Di mana kau? Masih di rumah Soo Eun? Semalam aku tidak sengaja
membawa Chahee ke rumah sakit karena dia pingsan. Tapi aku tidak tahu bagaimana
keadaannya sekarang.
-Rayoon
“Selamat
pagi.” Soo Eun menyapa dengan senyum sangat manis. Ia meletakkan dua gelas di
meja, lalu duduk di samping Heedo.
Heedo
sendiri sempat tidak biasa menguasai dirinya sesaat. Terlalu terpesona dengan
wajah manis Soo Eun. Rasanya seperti, bangun pagi dan sudah disiapkan sarapan
oleh istri. Heedo malu sendiri memikirkan hal itu. Tapi tiba-tiba saja ia
teringat kembali dengan Sebin.
“Kau
kerja jam berapa hari ini?”
Soo
Eun menuangkan gelas minuman untuk Heedo sambil menggeleng. “Aku libur hari
ini. Ada apa?”
“Sebenarnya
kemarin ada orang asing mencarimu. Tidak jelas tujuannya apa. Lebih baik hari
ini kau ikut denganku saja.” Heedo bicara, namun sambil membalas pesan dari
Rayoon.
Tolong cari tahu bagaimana kondisi Chahee. Tapi aku tidak bisa ke
sana. Aku takut Sebin datang lagi. Jadi aku tidak bisa meninggalkan Soo Eun.
-Heedo
“Orang
asing? Mungkin temanku. Kau kan tidak mengenalnya. Sudahlah tidak apa-apa. Aku
di sini saja.” Acara makan mereka dimulai ketika Soo Eun mengambilkan semangkuk
nasi untuk Heedo.
***
Selama
beberapa hari, Heedo sering menemui Soo Eun di restoran atau terkadang ia ke
rumah Soo Eun untuk sekedar mengajak gadis itu keluar. Termasuk hari ini, siang
nanti Heedo akan menemui Soo Eun lagi seperti biasa. Sementara di tempat
berbeda, Rayoon mengawasi Sebin dan Jiwon yang menjaga Chahee di rumah sakit.
Tugas Rayoon tidak hanya mencari tahu tentang kondisi Chahee, namun ia juga
mengawasi Sebin yang sering datang ke sana. Jadi bisa di pastikan Sebin tidak
mendatangi rumah Soo Eun.
Dan
sore itu, Rayoon mengikuti Sebin yang pergi menggunakan mobilnya. Tepat dugaan
Rayoon, pemuda itu pergi ke rumah Soo Eun. Namun Rayoon tidak terlalu khawatir
mereka akan bertemu karena Heedo sudah memastikan jika Soo Eun sedang bekerja.
Rayoon
sedang mengawasi Sebin dari dalam mobil ketika Heedo menghubunginya. “Tunggu.”
Rayoon menajamkan penglihatannya. Tampak Sebin juga sedang menerima sebuah
panggilan sebelum pemuda itu sempat masuk ke dalam mobilnya. Ada rasa
kekhawatiran dan kesedihan pada raut wajah Sebin. “Sepertinya aku tidak bisa ke
apartmen mu. Perasaanku tidak enak melihat ekspresi wajah Sebin.”
“Sejak
kapan kau peduli dengan ekspresi wajah orang lain?” Omel Heedo dari dalam
kamarnya. Ia sendiri belum lama tiba sepulangnya dari apartmen.
“Nanti
kuhubungi lagi, aku harus menyusul Sebin.”
Tanpa
menunggu persetujuan Heedo, Rayoon memutuskan komunikasi mereka dan segera
menyalakan mesin mobil karena dilihatnya Sebin tampak terburu-buru. Jelas saja,
Sebinpun melajutkan kendaraannya dengan kecepatan cukup tinggi.
“Apa
terjadi sesuatu pada Chahee?”
Heedo
memutar-mutarkan ponselnya menggunakan satu tangan sambil berfikir. Apa yang
harus ia lakukan setelah ini. Dan satu-satunya orang yang ingin ia temui adalah
Soo Eun. Buru-buru Heedo bangkit dan menyambar jaket serta kunci motornya.
Heedo langsung melesat menuju restoran.
***
Rayoon
telah sampai di rumah sakit. Setelah memarkirkan mobilnya, ia bergegas
menelusuri koridor rumah sakit yang ia ketahui mengarah ke tempat Chahee
berada. Dari kejauhan sudah terlihat Jiwon bersama Sebin. Jiwon bahkan tengah
menangis di dalam pelukan Sebin. Jiwon sendiri terdengar menyebut-nyebut nama
Chahee. Perasaan Rayoon semakin tidak enak.
Teriakan Jiwon
mengejutkan Rayoon yang sempat melamun sesaat. Terlihat beberapa perawat
mendorong tempat tidur roda yang membawa seorang pasien. Namun pasien tersebut
telah diselimuti kain putih hingga bagian kepala. Rayoon sontak mendekat,
membantu Sebin menenangkan Jiwon yang tampak memberontak dan tidak henti
menyebut nama Chahee. Sebin sendiri tampak sudah menangis.
“Ada apa dengan
Chahee?”
“Chahee meninggal
tadi pagi.”
“Kenapa?”
“Sebenarnya selama
ini Chahee sakit.”
***
Heedo
sudah berdiri diambang pintu dapur restoran milik keluarganya sambil memainkan
ponsel. “Yaah, ponselku mati.” Heedo mengeluh kemudian memasukan ponselnya ke
dalam saku celana. Hampir seluruh karyawan yang lewat pasti menyapa Heedo.
Namun pandangan Heedo justru tertuju pada sosok mungil yang sedang sibuk itu.
Tidak lama Soo Eun terlihat berjalan dan menyadari adanya sosok Heedo di sana.
“Hai.”
Sapa Heedo saat Soo Eun sudah berdiri dihadapannya.
“Kau
di sini?” Soo Eun tersenyum malu merespon ucapan Heedo. Karena banyak mata kini
mengawasi mereka secara diam-diam.
“Bisa
buatkan sesuatu? Aku lapar.” Heedo memasang ekspresi memohon seperti anak
kecil.
“Tapi
jam kerjaku sudah selesai. Aku akan minta tolong pada yang lain.” Soo Eun sudah
akan balik badan namun Heedo menarik tangan Soo Eun.
“Kalau
begitu, ayo kerumahmu. Tidak ada terikat jam kerja kan di sana?” Heedo tidak
menyerah. “Aku ingin makan masakanmu lagi seperti kemarin saat aku menginap di
sana.” Kali ini tidak ada tatapan secara diam-diam. Seluruh pandangan
jelas-jelas tertuju pada Heedo dan Soo Eun.
Soo
Eun sendiri membulatkan matanya. Terkejut dengan ucapan Heedo yang seenaknya.
Walau yang dikatakan Heedo memang benar. Tapi bagaimana jika terdengar sampai
ke telinga orang tua Heedo. “Kau gila? Kenapa kau…” Soo Eun segera balik badan
kembali ke dapur. “Tuan muda tidak pernah menginap di rumahku. Kalian jangan
salah sangka.” Dengan tatapan jengkal untuk Heedo, Soo Eun mulai menyiapkan
sesuatu untuk ia masak.
Heedo
sendiri meninggalkan dapur dengan tawa penuh kemenangan. Saat menuju meja, ia
bertemu pandangan dengan seorang wanita paruh baya. Itu ibunya yang hanya
geleng-geleng kepala melihat kelakuan putra satu-satunya.
“Jadi,
kapan kamu berangkat?” tegur nyonya Yoo sampai menghentikan langkah Heedo.
Heedo
langsung menghela napas, berat. “Iya ibu, tiga hari lagi. Aku sedang
mempersiapkan segala kebutuhanku selama di sana.”
Nyonya
Yoo memperhatikan perubahan ekspresi putranya. “Kau memberatkan sesuatu? Siapa?
Chahee?”
“Bukan
itu. Hubunganku dengan Chahee sudah berakhir. Lagipula ini semua keinginanku.”
“Kau
tidak bisa membohongi ibumu. Pasti terjadi sesuatu. Kalau kau masih
mencintainya, kau kejar kembali gadis itu.”
Heedo
menatap ibunya penuh arti. Namun sedetik kemudian ia menggeleng. “Tidak bisa,
bu. Chahee sudah bahagia dengan yang lain.” Heedo memegang kedua pundak ibunya
dan menatap lembut. “Ibu tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja.”
Nyonya
Yoo tidak bisa tenang begitu saja. Nalurinya sebagai seorang ibu tidak bisa
berbohong. Tidak lama tercium wangi aroma masakah yang sangat enak. Membuat
nyonya Yoo tidak sempat berkata apa-apa lagi. Saat menoleh merekeka menemukan
Soo Eun yang membawa baki berisi makanan.
“Kenapa
kau yang mengantar?” tegur nyonya Yoo karena sebenarnya mengantar makanan bukan
tugas koki seperti Soo Eun.
“Sebenarnya
jam kerjaku sudah selesai.”
“Aku
yang memintanya.” Heedo bersuara membuat nyonya Yoo melotot tajam. “Masakan Soo
Eun sangat enak. Ayo makan bersamaku, bu.”
“Kau
tidak bisa seenaknya memerintah..”
“Maaf,
bu.” Soo Eun menunduk sopan. “Aku senang melakukan ini. Terlebih ini permintaan
tuan muda.”
Mendengar
ucapan Soo Eun, raut wajah Heedo kembali berubah ceria. Membuat ibunya kembali
mencurigai sesuatu. “Apa jika aku memintanya setiap hari, kau akan melakukannya
dengan senang hati untukku?” Heedo mengedipkan sebelah mata dan menatap Soo Eun
dengan tatapan menggoda.
“Apa?”
Soo Eun justru membalas Heedo dengan tapapan bingung. “Setiap hari.”
“Ahh,
sudah tidak perlu dipikirkan, lebih baik kita makan bersama.” Heedo
mempersilahkan kedua wanita itu untuk duduk.
“Kalian
saja ya, ibu masih ada urusan.” Nyonya Yoo sudah siap untuk berbalik.
“Tapi
nyonya…” Soo Eun sudah tidak sempat menghentikan langkah nyonya Yoo.
“Ayo
cepat, aku lapar.” Dengan tidak sabar Heedo merebut baki di tangan Soo Eun dan
meletakkannya di meja lalu menarik pelan lengan Soo Eun untuk duduk
disampingnya.
Beberapa
saat keduanya masih saling diam. Terutama Soo Eun yang duduk tegak sambil
menautkan kedua tangannya. Dan dalam beberapa saat itu, Heedo memanfaatkannya
untuk memandang wajah Soo Eun dari deket.
“Tidak
mengambilkan makanan untukku?”
“Iya?”
Soo Eun menoleh dengan tatapan polos.
Heedo
menahan senyuman untuk tidak menertawakan Soo Eun. Namun tangannya menyodorkan
sebuah piring kosong.
***
Malam
itu Heedo mengantar Soo Eun pulang kerumah setelah ia mengajak gadis itu pergi
sejak sore. Saat menghentikan motor di depan rumah Soo Eun, ada Rayoon yang
duduk di depan pintu menunggu keduanya datang. Saat melihat motor milik Heedo,
Rayoon langsung bangkit dan menghampiri Heedo bersama Soo Eun.
“Kau
sengaja mematikan ponsel agar kencan kalian tidak diganggu?”
Tanpa
merasa bersalah Heedo menjawab, “ponselku memang mati sejak siang.” Heedo
menatap Rayoon. “Ada apa? Kenapa kau di sini?”
Sementara
Soo Eun menatap Rayoon dan Heedo bergantian dengan tatapan bingung. “Mau ke
dalam?” tawarnya.
Rayoon
menggeleng tegas. “Terima kasih Soo Eun. Aku hanya ingin bertemu Heedo dan
memberitahu kalau…” Rayoon mengehela napas sesaat. “Chahee ternyata selama ini
sakit parah.”
Heedo
tampak tidak terlalu terkejut. Tapi ekspresinya tampak bingung. “Aku tidak
pernah tahu tentang itu.”
Rayoon
mengangguk. “Aku mengerti. Chahee tidak ingin kau tahu tentang penyakitnya. Dan
dia meninggalkanmu bukan karena dia selingkuh dengan Sebin. Tapi karena Chahee
tidak ingin kau bersedih jika terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya.”
Heedo
menghela napas, berat. “Gadis bodoh. Aku juga sudah merasa ada yang janggal.”
Heedo menyentuh pundak Rayoon yang kini mulai tertunduk. “Dia baik-baik saja,
kan?”
Sekuat
tenaga Rayoon menahan tangisan sambil mengepalkan tangannya. “Beberapa hari
lalu Chahee dilarikan ke rumah sakit.”
“Lalu,
bagaimana keadaannya?” Heedo mencengkeram pundak Rayoon karena Rayoon tidak
juga mengeluarkan kata-kata. “Rayoon jawab! Bagaimana Chahee? Di rumah sakit
mana dia di rawat?” Karena terbawa sedikit emosi, Heedo sampai mencengkeram
kerah baju Rayoon.
Sontak
Soo Eun menahan tangan Heedo yang besar itu. “Heedo hentikan! Aku yakin gadis
itu baik-baik saja.”
“Tidak.
Chahee tidak baik-baik saja. Nyawanya tidak tertolong.” Kata Rayoon akhirnya.
Perlahan
cengkeraman Heedo pada Rayoon melemah, bahkan kini sampai terlepas. Melihat
Heedo yang nyaris hilang keseimbangan, Soo Eun berniat membantu. Beruntung
Heedo sendiri masih sempat berpegangan dengan motornya.
***
Malam itu juga Heedo menuju rumah
duka diantar Rayoon. Heedo hanya terduduk menatap foto Chahee yang terpajang.
Hanya penyesalan yang terjadi pada Heedo. Di saat-saat terakhir gadis itu,
Heedo justru tengah menjauh. Menjauh karena keingin Chahee yang tidak ingin
Heedo terbebani dengan dirinya. Namun itu justru membuat Heedo menjadi
seseorang yang tidak berguna.
Hari sudah lewat tengah malam saat
Heedo masih berada di tempat dengan posisi yang sama. Heedo bahkan menolak
ajakan Rayoon untuk pulang. Heedo hanya ingin menemani Chahee untuk terakhir
kalinya. Heedo bahkan tidak sanggup untuk menangisi Chahee. Dan dengan terpaksa
Rayoon meninggalkan Heedo di sana.
Saat pagi, Rayoon sengaja
menjemput Soo Eun untuk menemaninya ke pemakaman Chahee. Dan Soo Eunpun
menyetujuinya.
“Heedo di mana?” Tanya Soo Eun
ketika mereka sedang dalam perjalanan. Sedikit banyak Rayoon juga sudah menceritakan
apa yang terjadi antara Heedo dan mantan kekasihnya, Chahee.
“Mungkin sekarang Heedo sudah di
pemakaman. Aku tidak tahu pasti. Ponselnya juga mati sejak kemarin.” Rayoon
menjawab sambil focus menyetir.
Soo Eun hanya bisa menunggu dalam
diam. Ia sendiri tidak bisa memastikannya karena tidak memiliki nomor ponsel
Heedo. Begitu tiba, ternyata acara pemakaman belum lama selesai. Beberapa
keluarga dan orang-orang terdekat Chahee tampak meninggalkan area pemakaman.
Tersisa satu orang di sana. Itu Heedo. Rayoon langsung mengajak Soo Eun untuk
mendekat. Heedo duduk sambil memandangi nisan Chahee dengan tatapan kosong.
Penampilannya bahkan sedikit kacau dan masih mengenakan pakaian kemarin.
“Heedo.” Rayoon menyentuh pelan
pundak Heedo.
Heedo pun menoleh dengan raut
wajah tidak kalah kacaunya. Namun saat melihat keberadaan Soo Eun di sana,
pemuda itu tersenyum tipis. Membuat Soo Eun langsung berjongkok dan memeluk
Heedo. Pancaran kesedihan Heedo lebih jelas terlihat ketika pemuda itu
tersenyum. Pelukan Soo Eun begitu kuat seakan ia ikut merasakan apa yang
dirasakan Heedo. Karena memang jauh sebelum ini, Soo Eun juga pernah berada di
posisi Heedo.
Dikejauhan, Heedo melihat dua
orang yang melangkah mendekat. Buru-buru ia menyeka air mata yang membuat pandangannya
sedikit kabur. Semakin lama sosok itu semakin dekat. Itu Sebin bersama Jiwon.
Tatapan Heedo perlahan berubah. Ia masih menganggap Sebin terlibat dalam
kandasnya hubungan Heedo dan Chahee.
Melihat ekspresi Heedo yang
berubah, Rayoon mencoba mencari tahu apa penyebabnya. Ia ikut menoleh ke arah
yang menjadi pusat perhatian Heedo. Dan dalam waktu yang hampir bersamaan,
Heedo melepaskan pelukannya dan membimbing Soo Eun yang kini bingung untuk
berlindung di balik punggungnya.
“Untuk apa kalian ke sini?” suara
Heedo terdengar sinis saat Sebin dan Jiwon sudah benar-benar berada di
hadapannya.
“Kami hanya…” Sebin menggantungkan
kalimatnya karena menyadari gadis yang mengintip dari balik badan Heedo yang
sanggup menyembunyikan tubuh mungil Soo Eun. “Soo Eun?”
Heedo semakin bersikap waspada dan
semakin ketat menjaga Soo Eun dari jangkauan Sebin. Sebin sendiri sudah
mengangkat tangannya. Namun buru-buru Heedo menepis tangannya dengan sedikit
kasar. “Jangan pernah menyentuh gadisku.”
Sebin tersenyum penuh arti karena
ia mengerti kondisi yang sebenarnya. Sementara salah satu tangannya kini
menggenggam tangan Jiwon seakan ia juga ingin semua orang tahu bahwa Jiwon
miliknya. “Tapi seharusnya aku yang berkata, ‘jangan menyentuh adikku
sembarangan’.”
Soo Eun menatap Sebin dengan
ekspresi bingung dan tanpa berkedip sedikitpun. Namun hatinya sama sekali tidak
bisa menolak pernyataan Sebin.
“Maaf oppa baru mencarimu
sekarang.”
Tanpa sadar Soo Eun bergerak. Kali
ini Sebinpun ikut mendekat seakan tidak ingin kehilangan moment berharganya
untuk bertemu sang adik yang selama ini ia rindukan. Saat Sebin sudah berhasil
meraih tangan Soo Eun, di sisi lain Heedo juga menahan salah satu tangan Soo
Eun. Tatapan Heedo lurus menatap Sebin.
“Tolong jangan rebut apapun yang
kumiliki sekarang.” Nada suara Heedo terdengar sudah sangat frustasi.
“Tapi ibuku sudah merindukan Soo
Eun juga.”
“Apa tidak cukup kau merebut
Chahee…”
Sebin memeluk Soo Eun sesaat
sebelum akhirnya ia membawa adiknya itu meninggalkan Heedo bersama Rayoon.
Heedo sudah akan melangkah, namun Rayoon menahannya.
“Sebin tidak pernah merebut Chahee
darimu.” Kata Rayoon yang membuat Heedo semakin tidak ada kekuatan untuk
mengejar Sebin yang membawa Soo Eun. Padahal Soo Eun sendiri beberapa kali
tampak menolah ke belakang. Ke arah Heedo berada.
“Tapi…”
“Untuk apa kau menahan Soo Eun
jika akhirnya kau akan meninggalkannya juga?”
Rayoon benar. Besok Heedo akan ke
luar Negeri untuk melanjutkan studinya. Hal itu juga yang membuat Heedo tidak
bisa menahan Soo Eun seperti keinginan hatinya.
“Sebin benar kakak kandung Soo
Eun. Dia sudah membuktikan semuanya. Chahee meninggalkanmu karena penyakitnya.
Bukan karena ia berselingkuh dengan Sebin. Mereka hanya berpura-pura.”
Mendengar semua penuturan Rayoon,
Heedo merasakan kakinya lemas. Ia jatuh berlutut dengan tapapan kosong yang
lurus ke depan. Tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang. Kenapa Chahee
meninggalkannya dengan situasi seperti ini. Kenapa harus ada Sebin di
tengah-tengah mereka. Dan kenapa dia jatuh cinta pada Soo Eun. Entah sejak
kapan itu terjadi. Yang Heedo tahu, ia hanya ingin selalu berada di dekat Soo
Eun meski nantinya mereka akan berjauhan hingga Heedo kembali setelah kuliahnya
selesai.
***
Siang itu juga Sebin membawa Soo
Eun bertemu dengan ibu mereka di rumah yang ditempati Sebin. Keyakinan Soo Eun
bertambah ketika melihat sang ibu yang memang mirip dengannya. Kalaupun
ternyata Sebin berbohong, nampaknya Soo Eun tidak peduli. Sudah sangat lama ia
merindukan sosok seorang ibu. Soo Eun memeluk ibunya sambil menangis meluapkan
perasaannya. Sebin menatap keduanya dengan perasaan lega karena akhirnya ia
bisa menemukan Soo Eun yang berpisah dengannya belasan tahun lalu karena orang
tua mereka bercerai. Sebelumnya ayah Sebin meninggal, kemudian ibunya menikah
lagi dengan seseorang dan mereka memiliki Soo Eun. Sampai akhirnya keluarga
mereka harus kembali terpecah dan ayah Soo Eun membawa pergi anak perempuannya
tersebut.
Soo Eun menghabiskan sisa hari ini
di rumah Sebin. Bercengkerama dengan ibunya sepuas mungkin dan mengalihkan
pikirannya dari Heedo sementara. Tapi hanya sementara. Saat dipemakaman tadi
sebenarnya Soo Eun ingin tetap bersama Heedo. Mendampingi pemuda itu yang dalam
kondisi terpuruk. Namun keinginan bertemu ibu kandungnya jauh lebih besar. Soo
Eun tidak tahu jika itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Heedo. Selama
beberapa hari berikutnya ia tidak menemukan Heedo di restorant. Soo Eun tidak
berani menanyakan keadaan Heedo pada ibunya. Karena Soo Eun sampai detik ini
tidak memiliki nomor ponsel Heedo.
Beberapa bulan berlalu. Dan selama
itu harapan Soo Eun hanya pada ibunya Heedo. Ia akan merasa tenang jika ibunya
Heedo terlihat tersenyum dan cerita. Itu berarti, di sana Heedo dalam keadaan
baik-baik saja. Selain itu Sebin juga selalu mengantar dan menjemput Soo Eun
jika ada kesempatan. Termasuk malam ini. Namun seperti biasa, Soo Eun sengaja
memberitahu Sebin untuk menjemputnya sedikit lebih lama. Selama menunggu Sebin,
ia berharap Heedo tiba-tiba pulang.
Soo Eun berdiri saat melihat mobil
Sebin berbelok ke parkiran. “Kenapa aku sebodoh ini?” Soo Eun merutuki dirinya.
***
Sore itu, tepat ketika jam kerja
Soo Eun selesai. Gadis itu baru saja mengganti pakaiannya dan bersiap untuk
pulang. Soo Eun hanya berusaha tersenyum ramah ketika berpapasan dengan
beberapa rekan kerjanya. Namun tidak menutupi bahwa seperti ada sesuatu yang
hilang darinya.
“Apakah aku harus berhenti dari
sini?” Soo Eun menutup pintu dibelakangnya. Membayangkan kalau dirinya
benar-benar akan meninggalkan tempat itu. Entah sejak kapan rasanya Heedo
membawa pergi setengah hatinya.
Tidak lama berselang, tampak
sebuah mobil memasuki area parkiran. Soo Eun menunggu siapa orang yang
mengendarai mobil itu karena jelas itu bukan mobil milik Sebin. Tapi itu
Rayoon. Tanpa harus berfikir dua kali, Soo Eun berlari mendekati Rayoon dan
sukses membuat pemuda itu terkejut.
“Waaah kalian berdua ini
benar-benar…”
“Beritahu aku nomor ponsel Heedo.
Dia mana dia selama ini? Apa dia baik-baik saja?”
Rayoon menatap Soo Eun dengan
tatapan yang sulit diartikan. “Ini benar-benar pertanda.” Rayoon mengeluarkan
ponselnya dari saku celana dan menyodorkannya pada Soo Eun. “Berikan saja nomor
ponselmu padaku.”
Tanpa pikir panjang, Soo Eun mengetikkan
sederat angka pada ponsel Rayoon. Begitu dikembalikan, Rayoon langsung berbalik
dan membuka pintu mobilnya.
“Hei!” Soo Eun menahan pintu mobil
Rayoon, membuat pemuda itu membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam mobil. “Kau
mau ke mana? Katakana dulu Heedo di mana?”
Rayoon tersenyum penuh misteri
sambil menyingkirkan pelan tangan Soo Eun dari pintu mobilnya. “Kau akan tahu
sebentar lagi, oke?”
Soo Eun hanya menatap kehilangan
pada mobil Rayoon yang semakin menjauh. Soo Eun lagi memeriksa ponselnya dan
membuka kalender. Terhitung sudah hampir setengah tahun ia tidak melihat atau
bahkan sekedar tahu tentang keadaan Heedo.
“Apa aku melupakannya saja?”
Baru saja akan memasukan kembali
ponsel ke dalam tasnya, Soo Eun merasakan ponselnya bergetar. Ada sebuah chat
masuk. Dengan setengah hati Soo Eun memeriksanya. Orang tersebut mengiriminya
sebuah video. Soo Eun menunggu beberapa saat sampai videonya dapat ia lihat.
Saat ini Soo Eun sedang menatap ke arah pintu masuk restoran, menunggu Sebin
menjemputnya sampai tidak menyadari bahwa video di tangannya sudah terputar.
“Soo Eun-ah. Apa kau akan langsung mematikan videoku?”
Mendengar seseorang menyebut
namanya, Soo Eun justru mengedarkan pandangan ke sekitar. Memastikan dari mana
asal suara itu. Suara yang sudah lama ia rindukan. Itu suara Heedo. Namun Soo
Eun tidak bisa menemukan sosok Heedo disekitarnya.
“Ah, tapi ku harap kau tidak membenciku. Hahaha. Ahh, dingin.” Dalam
video, Heedo sedikit meringis karena terpaan angin musim semi yang terasa
dingin. “Aku hanya ingin bilang.”
Akhirnya Soo Eun menyadari bahwa suara Heedo berasal dari ponsel
dalam genggamannya. Soo Eun membekap mulutnya menggunakan satu tangan. Pemuda yang
ia rindukan. Di mata Soo Eun, Heedo kini terlihat lebih tampan dan dewasa
dengan rambut yang sedikit lebih pendek dari sebelumnya dan berwarna sedikit
kecoklatan.
“Sesungguhnya aku bukan ingin kabur karena kepergian Chahee. Tapi memang
aku sudah mendaftarkan kuliahku di luar Negeri. Aku bingung harus
memberitahukanmu dengan cara bagaimana karena sebelum ini kita belum terlalu
dekat. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, selama setengah tahun ini aku
merindukanmu. Sangat merindukanmu.”
Soo Eun tidak terlalu mendnegar
apa yang dikatakan Heedo. Fokusnya adalah pada sekeliling Heedo saat pemuda itu
bergerak. Itu adalah taman yang tidak jauh dari restoran. Dan, dingin. Ya, Soo
Eun juga merasakan udara sore itu sangat dingin. Soo Eun segera menyeret
kakinya meninggalkan restoran. Ia merasa Heedo masih berada di sana. Di taman
itu. Dan keyakinannya bertambah saat melihat Rayoon di kejauhan, berjalan
mendekati Heedo dengan pakaian yang terakhir ia temui beberapa menit lalu. Soo
Eun semakin mempercepat langkah kakinya.
“Maaf aku baru menghubungimu sekarang. Karena Rayoon tidak bisa
diandalkan untuk mencari tahu nomor ponselmu.” Satu jitakan mendarat mulus
di kepala Heedo bagian belakang.
“Ya! Aku mendengarnya!”
Heedo tertawa keras sambil
mengusap belakang kepalanya. “Hahaha. Tapi
kau sahabat terbaikku.” Heedo merangkul pundak Rayoon. “Ah, kau bertemu dengan Soo Eun tadi? Bagaimana dia? Apa dia baik-baik
saja?”
Rayoon mengangguk. “Ya,
gadis pujaanmu itu baik-baik saja dan terlihat semakin cantik.”
***
Heedo dan Rayoon duduk di salah
satu bangku taman. Sambil merapatkan jaketnya, Heedo memutar badannya ke
samping dan kini berhadapan dengan Rayoon.
“Aku hanya takut tidak bisa pergi
lagi jika bertemu dengan Soo Eun.”
Rayoon ikut memutar badannya
menghadap Heedo. Dan dikejauhan, dari belakang Heedo, ia menangkap sosok wanita
yang berjalan semakin mendekat ke arahnya. “Kalau kau mengatakan yang semuanya,
ku yakin Soo Eun akan mengerti. Aku pergi dulu.” Rayoon segera bangkit.
“Ya! Mau ke mana?”
Rayoon tidak menghiraukan teriakan
Heedo dan terus berjalan menjauh. Ditinggal seorang diri, Heedo juga memilih
untuk pergi dari sana. Namun langkahnya terhenti ketika saat berbalik, Soo Eun
sudah berada di hadapannya. Heedo berkedip beberapa kali untuk memastikan jika
Soo Eun bukan delusinya karena terlalu merindukan gadis itu.
Soo Eun menatap Heedo lekat-lekat.
Merekam setiap sudut wajah pemuda di hadapannya. Belum merasa cukup, kini Soo
Eun menghempaskan tubuhnya memeluk Heedo. Merasakan hangat tubuh pemuda itu.
“Maaf aku pergi begitu saja.”
Heedo kini sudah balas memeluk Soo Eun dengan tidak kalah erat. Mendekap tubuh
mungil gadis itu seakan tidak ingin ia lepaskan.
“Kalau kau pergi dengan memberikan
alasan, aku akan menunggumu.”
Heedo sedikit melonggarkan
pelukannya. Menangkup wajah mungil Soo Eun menggunakan kedua tangannya. “Kau
janji? Tolong tunggu aku sedikit lagi. Setelah aku kembali, aku janji kita akan
bersama-sama. Aku mencintaimu, Soo Eun.”
Soo Eun menggangguk dan tersenyum
tipis. “Aku mengerti kemarin kau terpuruk atas kepergian Chahee.”
“Entah bagaimana jadinya jika aku
tidak bertemu denganmu. Kau juga pernah kehilangan orang yang kau saying. Terima
kasih telah hadir di hidupku, Soo Eun.”
“Tapi di sini dingin.”
Heedo kembali memeluk Soo Eun. “Ayo
kita ke resto.” Heedo melepaskan pelukan dan ganti menggenggam tangan lembut
Soo Eun lalu mengajak gadis itu meninggalkan taman.
“Kenapa ke restoran? Aku sudah
selesai bekerja.”
“Aku ingin bertemu ibu dan
mengenalkanmu.”
“Tapi kami sudah saling mengenal.”
“Mengenalkanmu sebagai calon
menantunya.”
“Tapi di sana ada Sebin.”
Heedo menghela napas sesaat. “Aku
harus berbaikan dengan Sebin agar dia meresui kita.”
Soo Eun justru menertawai ekspresi
lucu Heedo saat merespon tentang kakaknya, Sebin.
---end---