Author :
N-Annisa [@nniissaa11]
Cast :
·
Son Chaeyoung
·
Adachi Yuto
·
Kang Hyunggu (Kino)
·
Jung Wooseok
·
Lee Hangyul
·
and other
Genre :
School Life, Romance, Drama
***
Baru saja sampai di kamarnya, ponsel
Yukyung tampak berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Yukyung langsung
melepas ransel dan membanting tubuhnya ke atas kasur. Sebuah panggilan dari
Wooseok.
“Aku baru saja sampai, sunbae, eh
maksudku oppa,” ujar Yukyung setelah menekan tombol answer pada layar
ponselnya.
Sementara di seberang sana, tampak
Wooseok sedang berjalan kaki menuju gedung tinggi di depannya. “Aku tau,
makanya aku telepon sekarang. Hahaha.” Tawa Wooseok membuat Yukyung sedikit
merona.
“Apa kau juga baru sampai rumah?”
Yukyung balas bertanya sambil memeluk boneka beruang kesayangannya. Pemberian
Wooseok.
Wooseok menekan tombol pada tembok
di dekat pintu lift lalu bersandar pada tembok sambil menunggu lift tiba. “Iya,
aku sedang menunggu lift. Bagaimana harimu?”
“Sedikit kesal karena tidak bisa
berdekatan denganmu.” Yukyung tampak cemberut meski Wooseok tidak bisa
mleihatnya.
“Ahh iya, aku juga sedikit tersiksa
karena hal itu. Tapi, apa aku akan kuat menjalani hubungan seperti ini. Aku
tidak bisa mengunjungimu sesuka hati. Rasanya seperti berada di beda dunia
denganmu.”
“Hmm, oppa jangan seperti itu.
Sejauh ini aku cukup menikmatinya. Oppa jangan khawatir, aku baik-baik saja di
sini.” Yukyung memeluk semakin erat boneka beruang berwarna biru muda itu.
Jelas ia seperti mengkhawatirkan sesuatu.
Saat ini lift yang ditunggu Wooseok
sudah tiba. Dan Wooseok segera masuk ke dalam lalu menekan tombol angka 4. “Ya,
aku memang khawatir.” Wooseok menyandarkan tubuhnya pada dinding lift. “Oiya,
apa terjadi sesuatu pada Chaeyoung hari ini?”
Yukyung sontak menegakkan tubuhnya.
Memikirkan apa yang baiknya ia katakan pada Wooseok. Ini pasti ada kaitannya
dengan Yuqi. “Hmm, Chaeyoung baik-baik saja kok, oppa.”
“Kalau begitu pasti ada sesuatu pada
Yuqi?” tebak Wooseok.
Yukyung nyaris tersedak ludahnya
sendiri, namun ia langsung bisa mengendalikannya. Pertanyaan Wooseok begitu
mengangetkan untuknya. “Oh itu. Yuqi tampak senang sekali karena bisa pergi
kencan dengan Kino sunbae.” Yukyung berusaha membuat suaranya terdengar ceria.
Kali ini Wooseok sudah keluar lift,
dan langsung berjalan lurus. Rumahnya berada di barisan kanan. Setelah menekan password, Wooseok langsung masuk sambil
melempar ranselnya ke atas sofa. Sementara dirinya berjalan terus menuju dapur,
dan membuat kopi instant. “Ku harap
kamu jujur ya, Yukyung.” Wooseok menjauhkan ponselnya, menekan mode speaker lalu meletakan ponselnya di
atas meja makan.
Di kamarnya berada, Yukyung
meringis. “Gimana ini?” Yukyung bergumam pelan, bahkan nyaris tidak terdengar.
“Oppa. Hmm. Itu.” Sambil menggigit telinga boneka beruangnya yang tidak
bersalah.
Wooseok melirik ke arah ponselnya
sekilas, sambil melanjutkan membuat kopinya. Ia menunggu apa yang akan Yukyung
katakan.
Yukyung membenarkan posisi duduknya
agar lebih nyaman. “Oppa, apa kau tau sesuatu tentang Chaeyoung? Sesuatu yang
tidak diketahui banyak orang? Mungkin tentang kekasih Chaeyoung? Apa dia
pacaran dengan salah satu pemuda di Camp
Muay Thai?”
Wooseok membatalkan niat untuk
menyeruput minumannya. Selama Yukyung melemparinya pertanyaan, Wooseok menatap
layar ponselnya. “Apa hal itu yang membuat Yuqi terlihat aneh?” Bukannya
menjawab, Wooseok justru balik melempari pertanyaan pada Yukyung.
“Oppa, aku takut jika kesannya aku
mengadukan hal ini padamu.”
Wooseok buru-buru menyambar
ponselnya, dan mengembalikan settingan seperti sebelumnya, lalu menempelkannya
pada telinga. “Kau mengerti bagaimana rasanya harus menjauhi seseorang yang kau
suka, kan?” Wooseok bicara sambil berjalan menuju balkon apartmentnya.
***
Sebuah taksi berhenti di depan
gerbang bangunan tinggi, sebuah apartmen mewah. Dari dalam taksi tersebut,
muncul seorang pemuda tinggi dengan pakaian serba hitam dan sebuah ransel besar
di punggungnya. Pemuda yang sama yang mengunjungi makam seseorang bernama Minatozaki
Sana saat berada di Tokyo, Jepang. Sebelum memasuki area apartement, pemuda itu
mengambil koper besarnya, lalu menariknya menuju gerbang yang sudah disambut
oleh seorang security.
“Kombanwa.”
Pemuda tadi menyapa dengan menggunakan bahasa Jepang membuat security yang menghampirinya memasang
ekspresi bingung. “Ah maaf. Apa benar alamat ini di sini?” Pemuda itu langsung
berbicara dengan bahasa Korea dengan aksen Jepangnya.
Security
tadi menerima selembar kertas yang diberikan oleh pemuda itu. “Oh, iya
benar. Anda ingin menemui seseorang di sini?”
“Ah, bukan.” Pemuda tinggi itu
menggeleng tegas. “Perkenalkan, saya Adachi Yuto. Saya berasal dari Jepang, dan
baru pindah ke sini.” Pemuda yang mengaku bernama Yuto itu bahkan sampai
mengajak sang security untuk berjabat tangan. Meski memiliki raut
wajah yang dingin, pemuda itu cukup ramah kepada seseorang yang bahkan baru ia
kenal.
“Silahkan, semoga anda betah tinggal
di sini.”
Yuto mengangguk sekali lagi sebelum
akhirnya melangkah masuk menelusuri jalan menuju gedung apartment yang akan ia
huni selama berada di Korea. Yuto berbincang sedikit pada petugas di meja
information. Sebelum ini juga Yuto sudah memiliki kunci rumahnya sendiri. Setelah
itu Yuto lebih memilih untuk membawa sendiri kopernya menuju lantai 8 setelah
menolak secara halus petugas yang berniat membantunya.
Saat keluar dari lift, Yuto
berpapasan dengan seorang laki-laki berusia 23 tahunan. Yuto lagi-lagi
mengangguk sopan. Kali ini dibalas anggukan pula dengan pemuda yang ditemuinya
itu. Pemuda tinggi dengan wajah tampan layaknya model.
“Wah, apa dia artis?” Yuto
menebak-nebak sendiri dengan menggunakan bahasa Jepang ketika pemuda tadi sudah
masuk ke dalam lift. Kemudian Yuto melanjutkan berjalan lurus di koridor yang
tampak sepi malam itu. Setelah menemukan apa yang ia cari, Yuto langsung
menempelkan kartu pada pintu yang berguna sebagai kunci. Setelah pintu terbuka,
Yuto melangkah masuk dan langsung menyalakan lampu hingga membuat ruangan yang
tadi gelap menjadi terang dan memperlihatkan perabotan rumah yang tampak elegan
dan mewah.
Yuto masuk dengan tatapan kagum
menatap tiap inchi bagian rumah yang bisa tertangkap dengan matanya. Terlihat
di bagian kanan ada sebuah ruangan. Saat membuka pintunya, Yuto mendapati
sebuah kamar tidur lengkap dengan perabotannya dan sebuah kamar mandi di ujung
sana. Yuto yang masih menarik kopernya langsung membawa masuk dan membiarkannya
di tengah ruangan.
“Onii-chan bilang seragam
sekolahku..” Yuto tidak menyelesaikan kalimatnya dan berjalan menuju lemari
besar di kamarnya. Membuka lemari gantung yang masih cukup kosong dan hanya ada
beberapa potong seragam sekolah. Yuto meraih salah satunya, mencoba mengepaskan
ke tubuhnya sambil berkaca melalui cermin di balik pintu lemari. “Nice!” Setelahnya, ia kembali ke luar
dan berjalan menuju balkon. Terlihat pemandangan malam kota yang indah meski
gedung-gedung pencakar langit terlihat cukup jauh dari sana.
“Takuya onii-chan ternyata memiliki ini semua di Korea.”
Yuto bersandar di tepi balkon.
Membiarkan dinginnya angin malam menerpa tubuhnya. Saat menengok ke samping,
terlihat gerbang apartmen yang ia lewati tadi. Sementara itu di seberang sana
terdapat banyak bangunan. Salah satu diantaranya tampak memiliki dua lantai dan
cukup ramai dikunjungi orang-orang.
“Bukankah itu restorant yang aku
lihat di taksi tadi? Perutku mendadak lapar.”
Tanpa pikir panjang lagi, Yuto
langsung kembali ke dalam rumah sambil memeriksa saku celananya. Setelah yakin
ponsel dan dompetnya masih aman, Yuto tidak buang waktu untuk melesat pergi ke
luar apartmennya. Ketika melalui gerbang, Yuto kembali menyapa security tadi.
“Apakah makanan di sana enak?” Yuto
bertanya sambil menunjuk restoran di seberang jalan sana.
Security tadi mengangguk membenarkan. “Kau harus coba makanan di sana.”
Tanpa buang waktu, Yuto berjalan
menyeberang. Beruntung malam itu jalan raya tidak terlalu ramai kendaraan.
***
Hangyul dan Kino menyeruput kuah
jjampong langsung dari mangkuknya. Chaeyoung yang melihat itu hanya
geleng-geleng kepala.
“Apa itu untuk meringankan pekerjaan
kalian saat mencuci piring nanti?” goda Chaeyoung sambil meneruskan makannya.
Hangyul menyandarkan punggungnya
pada kursi. “Ah, aku rela mencuci piring di sini agar bisa menikmati masakan
bibi Hana.”
“Ini alasan kenapa aku… ah
maksudnnya aku dan Hangyul ke sini. Kami kehilangan nafsu makan jika di
sekolah.” Kino ikut angkat bicara.
“Aku tidak bisa membayangkan kalian
hidup seperti ini setiap hari. Selalu di awasi.” Hanya sesaat untuk bisa
melupakan masalah itu. Hangyul kembali teringat namanya terpajang di madding
sekolah.
Kino terkekeh melihat ekspresi
frustasi Hangyul. “Eunwoo sunbae sudah merasakan hal ini lebih lama.”
Hangyul semakin terlihat frustasi.
“Tapi aneh, kenapa nama Dokyeom
sunbae bisa tergantikan? Padahal selama ini mereka mungkin bisa untuk menambah
nama orang baru. Dan sampai sekarang aku tidak mengerti kenapa mereka melakukan
ini.”
Kino dan Hangyul memperhatikan
Chaeyoung berbicara.
“Yang ku dengar, ini berawal dari
Eunwoo sunbae menolak cinta Mina sunbae. Dan jika namamu masuk daftar tersebut,
bisa dipastikan memang ada yang menyukaimu.”
“Tidak mungkin.” Hangyul langsung
menolak pernyataan Kino.
“Sudah jadi rahasia umum.”
“Tapi siapa?”
Chaeyoung mengangkat bahunya ketika
Hangyul bertanya sambil menatapnya. “Entahlah. Mungkin saja yang sekelas
denganmu.”
“Waaah, berarti itu kau.”
Kino semakin terkekeh melihat wajah
kesal Chaeyoung menanggapi ucapan Hangyul yang penuh dengan percaya diri. Belum
sempat Chaeyoung merespon ucapan Hangyul, tampak Dongmyung mendekati mereka.
Lengkap dengan kotak makanan yang terbungkus rapih.
“Noona, aku mau mengantarkan ini
pada Hyung.”
Chaeyoung langsung mendongak ke arah
Dongmyung. “Ah, oppa sudah pulang. Baiklah, hati-hati di jalan.”
Chaeyoung, Kino dan Hangyul kompak
menatap Dongmyung yang melangkah menjauh.
“Sebenarnya, aku penasaran tentang
oppamu.”
“Dia sangat tinggi dan tampan.”
Hangyul berkata dengan penuh semangat. “Dia artis terkenal, dan dia sangat
sibuk.”
Kino melirik ke tempat Chaeyoung
dengan ekspresi kagum. “Benarkah?”
“Tapi ku harap sunbae bisa tutup
mulut. Tidak seperti Hangyul.” Chaeyoung melempar tatapan sinis pada Hangyul.
“Lagipula, tidak ada yang akan percaya jika oppaku adalah seorang idol.”
Lagi, Kino terkekeh melihat
kekesalah Chaeyoung pada Hangyul yang sama sekali tidak merasa bersalah.
***
Begitu sampai restoran, Yuto
langsung mencari meja kosong dan duduk di sana sambil melihat-lihat menu makanan.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk Yuto menetapkan pilihan setelah pelayan
datang. Yuto menatap berkeliling. Suasana restoran malam itu tidak terlalu
ramai. Terlebih karena ini bukan akhir pekan. Di kejauhan, Yuto melihat 3 orang
siswa, seorang siswa perempuan yang duduk membelakanginya, dan 2 orang siswa
laki-laki di depan siswi perempuan itu.
“Mirip dengan seragam sekolahku.”
Yuto merasakan ponselnya bergetar,
menandakan sebuah pesan masuk. Dari kakaknya di Jepang yang menanyakan kondisi
terakhir Yuto setelah sampai Korea. Sambil membalas pesan kakaknya, seorang
pelayan tampak membawakan pesanannya. Yuto hanya mendongak sebentar sambil
mengucapkan terima kasih.
Karena suasana restoran yang tidak
terlalu ramai, pembicaraan 3 orang yang Yuto lihat sampai terdengar di
tempatnya. Yuto sempat melirik sesaat. Tersenyum tipis melihat keseruan 3 orang
itu yang sebenarnya adalah Kino, Hangyul dan Chaeyoung.
“Hmm, wanginya saja sudah tercium
enak.”
Mengalihkan kembali fokus pada
makanan di depannya, Yuto yang sudah merasa lapar langsung mencicipi
pesanannya. Ponsel di sebelah piring Yuto masih tampak menyala. Ternyata sambil
menikmati makanan, Yuto mencoba mencari tahu tentang sekolahnya nanti.
Sebenarnya Takuya menyuruh Yuto untuk datang ke sekolah, lusa. Namun Yuto
bertekad jika besok akan menjadi hari pertamanya bersekolah di Korea.
“Ternyata benar makanan di sini
enak. Seenak masakan ibu.” Sesaat Yuto tenggelam dalam kesedihannya. Tujuan ia
datang ke Korea adalah memang untuk mencari ibunya yang orang Korea, dan satu
orang kakak laki-lakinya lagi yang ikut bersama ibunya.
Tidak sampai setengah jam, Yuto
sudah menyelesaikan makan malamnya dan langsung membayar pesanannya di kasir.
Kebetulan yang menunggu di sana adalah Dongju.
“Dongmyung-ah.” Dongju memanggil
Dongmyung yang lewat di depannya. Sambil melihat Dongju melakukan transaksi
dengan Yuto, Dongmyung tampak berjalan mendekat.
“Apa?”
“Setelah kau mengantar makanan, aku
minta tolong belikan cemilan di minimarket. Jangan lupa ramyun juga.” Dongju
tampak sudah menyodorkan selembar uang.
Yuto sendiri tampak masih di sana,
merapihkan uangnya ke dalam dompet sambil melihat dua anak yang memiliki
kemiripan ini.
“Noona
akan marah kalau kau makan ramyun.” Dongmyun menyambar uang pemberian
Dongju sambil bicara dengan nada memperingatkan.
“Tidak apa, dia pasti akan memakan
ramyunku juga.”
“Baiklah.” Tanpa memprotes lagi,
Dongmyung langsung balik badan dan berjalan ke luar, meninggalkan Dongjun
bersama Yuto yang masih di sana.
“Boleh aku tanya sesuatu?”
Dongju mendongak karena merasa Yuto
tampak berbicara padanya. “Iya?”
“Di mana minimarket terdekat dari
sini?” Tanya Yuto dalam bahasa Korea dengan aksen Jepangnya yang kental.
“Oh. Di ujung jalan sana, dekat
dengan halte bus. Hyung hanya cukup berjalan
kaki.” Dongju tampak menjelaskan sambil memperagakan arah dengan menggunakan
tangannya.
“Arigatau!”
“Ah, iya.” Dongju terlihat bingung
harus membalas ucapan Yuto seperti apa, karena ia sendiri tidak terlalu
mengerti bahas Jepang.
Setelah itu, tampak Yuto
meninggalkan restoran. Menelusuri jalan seperti apa yang dikatakan Dongju tadi.
Di ujung sana memang terlihat jalan yang jauh lebih ramai. Yuto ingat ia juga
melalui jalan itu tadi saat berada di dalam taksi.
***
“Jangan lupa kunci semua pintu.”
Pemuda itu merangkul Dongmyung sambil mengantarnya ke luar pintu apartment. Itu
pemuda yang sama yang ditemui Yuto saat baru saja tiba di apartmentnya. Bahkan
apartment mereka berseberangan.
“Tidak perlu khawatirkan hal itu, Hyung.”
Pemuda bernama Dongwoon itu mengacak
gemas rambut Dongmyung. “Sampaikan rinduku pada Chaeng dan Dongju.”
“Baiknya Hyung saja yang pulang.” Dongmyung berkata dengan raut wajah cemberut.
“Padahal tempat tinggal kita bersebelahan, Hyung.”
“Kalau begitu kalian saja yang
menginap di sini.”
“Ah, pasti pagi-pagi buta Hyung sudah akan pergi lagi.”
Dongwoon hanya tertawa melihat
ekspresi kesal yang ditunjukkan Dongmyung. Dongwoon kembali mengacak rambut
adiknya tersebut. Namun kali ini dengan ekspresi sedikit kecewa. Kesibukannya
membuat tidak ada waktu luang lebih banyak untuk ia habiskan bersama ketiga
adiknya.
“Hahaha sudahlah, Hyung. Tidak perlu terlalu khawatir.
Kami baik-baik saja.” Dongmyung menunjukkan senyumannya agar Dongwoon tidak
mengkhawatirkannya. “Aku harus kembali ke restoran.” Dongmyung memeluk singkat
tubuh tinggi Dongwoon sebelum akhirnya melesat pergi menuju lift.
Dongwoon menatap bagian belakang
tubuh Dongmyung yang semakin terlihat menjauh. Dongwoon hanya mengangkat salah
satu tangannya saat Dongmyung menaiki lift dan melakukan hal yang sama.
“Maafkan Hyung.” Dongwoon berujar lirih seiring pintu lift yang menutup dan
menyembunyikan tubuh Dongmyung di dalamnya.
Sementara di dalam lift, setelah
pintu tertutup, Dongmyung langsung kehilangan senyumannya. Tangannya pun
langsung jatuh menjuntai ke bawah. “Mungkin Hyung
memang lebih nyaman untuk hidup seperti ini.”
Dongmyung berjalan meninggalkan
gerbang apartment tempat Dongwoon tinggal setelah sebelumnya sedikit menyapa security yang berjaga di sana. Dongmyung
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia berjalan ke arah yang
berlawanan dengan restoran karena ia hendak menuju minimarket di dekat jalan
raya. Sambil berjalan, Dongmyung merogoh saku celananya. “Waah, ponselku ternyata
tertinggal.”
Tanpa berniat kembali ke restoran,
Dongmyung meneruskan langkah sampai akhirnya ia tiba di sebuah minimarket.
Tampak seseorang sedang membayar tagihan belanjanya saat Dongmyung masuk. Orang
itu—yang ternyata adalah Yuto—sempat menoleh sesaat, namun Dongmyung asik
tenggelam dengan pikirannya sendiri sambil menyambar keranjang belanja,
Dongmyung langsung menelusuri rak-rak tempat barang-barang terpajang.
***
“Sampai bertemu besok.”
Chaeyoung balas melambaikan tangan
pada Kino dan Hangyul yang berjalan meninggalkan restoran miliknya. Setelah dua
pemuda itu sudah mulai menghilang dikejauhan, Chaeyoung memutuskan untuk
kembali masuk ke dalam restoran. Di sana ia menangkap sosok Dongju yang masih
sibuk di balik meja kasir. Chaeyoung memutuskan untuk menghampiri adiknya itu.
“Apa Dongmyung sudah kembali?”
Dongju hanya mendongak sesaat lalu
kembali sibuk dengan pekerjaannya mencatat sesuatu. “Belum. Tadi aku minta
tolong padanya untuk ke minimarket.”
“Ah, harusnya aku juga menitip
sesuatu.” Chaeyoung kemudian melirik jam di tangannya, sementara tangannya yang
lain memegang ponsel dan mencari kontak telepon Dongmyung.
Dongju menoleh ketika merasakan
sesuatu berbunyi di dekatnya. Itu ponsel Dongmyung yang tertinggal. Menampilkan
nama Chaeyoung di layarnya. “Noona,
sepertinya Dongmyung meninggalkan ponselnya.”
Chaeyoung menoleh tepat ketika
Dongju menunjukkan layar ponsel milik Dongmyung yang masih tertera kontak milik
Chaeyoung. Menyadari hal itu, Chaeyoung langsung mematikan sambungannya.
“Baiklah. Aku menyusul ke sana saja kalau begitu.”
Dongju mengangguk sekilas, lalu
kembali menyelesaikan pekerjaannya. “Selamat malam,” sapa Dongju ramah begitu
ada pelanggan yang datang.
Chaeyoung sendiri langsung berjalan
meninggalkan restorannya. Sambil merapatkan jaketnya, Chaeyoung terus berjalan.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi ia akan tiba di ujung jalan yang lebih
ramai dengan kendaraan. Di kejauhan Chaeyoung mendengar suara keributan dan
langkah kaki orang-orang yang berlari. Chaeyoung sempat menoleh ke belakang.
Namun hanya sepi yang ia temui. Tapi derap langkah tersebut semakin terdengar
jelas.
Chaeyoung kembali berbalik dengan
gerakan cepat. Secepat orang itu yang kini menabrak tubuh mungil Chaeyoung
hingga gadis itu tidak sempat menghindar. Belum lagi pencahayaan di sana
sedikit minim. Chaeyoung sempat menjerit karena badannya tertimpa badan
seseorang yang bisa dipastikan itu adalah seorang pemuda.
“Maaf.” Orang itu sempat berujar
sedikit sebelum akhirnya bangkit dan kabur tanpa mempedulikan Chaeyoung.
“Berhenti!” teriak Chaeyoung sambil
secepat mungkin berdiri dan langsung mengejar gerombolan orang yang berjumlah
sekitar 5 orang.
“Noona!
Mereka mengambil dompetku!”
Teriakan Dongmyung membuat Chaeyoung
berlari semakin kencang. Sudah ada satu orang terdekat di depannya. Chaeyoung
mengulurkan tangan, berusaha meraih pundak pemuda tinggi itu. Setelah berhasil,
Chaeyoung berusaha menahannya. Namun pemuda itu berhasil menepis tangan
Chaeyoung. Tidak ingin menyerah begitu saja, Chaeyoung mendorong tubuh tinggi
pemuda itu sampai tersungkur namun berusaha untuk mengimbari badannya agar
tidak benar-benar terjerembab ke aspal.
“Kembalikan dompet adikku!”
Buk!
Chaeyoung melayangkan tinjunya tepat
ke hidung pemuda itu sebelum pemuda itu berhasil melepaskan diri. Chaeyoung
mencengkeram bagian kerah pemuda itu, sementara tangannya yang lain sudah
terangkat dan mengepal erat. Pemuda itu adalah Yuto.
“Berhenti kalian!” Dongmyung masih
berteriak sambil terus berlari.
Chaeyoung menoleh tanpa mengubah
posisinya sedikitpun. Perlahan Yuto menyingkirkan tangan Chaeyoung sambil
berdiri. Dirasa tawanannya hampir terlepas, Chaeyoung sontak menggerakkan
tangannya, namun berhasil di tahan oleh Yuto.
Dikejauhan tampak Dongmyung sudah
berjalan kembali ke tempat Chaeyoung berada dengan napas tersengal-sengal.
Dongmyung berhenti sambil membungkuk karena lelah. “Hyung dompetmu…” Dongmyung tidak melanjutkan ucapannya karena
terlalu lelah berlari dan karena di hadapannya ia melihat tangan Yuto seperti
menggandeng tangan Chaeyoung.
“Sudahlah tidak apa-apa. Yang
penting ponselku masih aman. Aku bisa menelepon orang Bank untuk memblokir
kartuku.” Yuto menyentuh ujung hidungnya yang sedikit mengeluarkan darah.
Mendengar semua obrolan Dongmyung
dan Yuto, membuat Chaeyoung berhasil menyimpulkan sesuatu. “Jadi… kau…” Buru-buru
Chaeyoung melempar pandangan ke arah lain karena menyadari Yuto pasti akan
menoleh padanya. “Myung-ah, ajak dia ke resto. Aku akan mengobati lukanya.”
Chaeyoung sudah bergerak lebih dulu
meninggalkan dua pemuda itu sekaligus membuat genggaman Yuto padanya terlepas.
Sambil mengibas-ngibaskan rok sekolahnya, Chaeyoung menemukan sesuatu
menyangkut di sana. Sebuah nametag
dengan nama Lee Dokyeom. Nametag
dengan warna dasar putih itu menandakan jika pemiliknya adalah siswa kelas 3. Chaeyoung
kemudian menyimpan benda itu ke dalam saku seragam sekolahnya. Gadis it uterus
berjalan di depan, meninggalkan Dongmyung dan Yuto. Chaeyoung ke dalam restoran
hanya untuk mengambil perlengkapan p3k. Saat kembali lagi ke luar, ia
berpapasan dengan Dongmyung yang berjalan menuju restoran.
“Noona,
kau urusi sendiri bisa, kan? Ada yang harus aku kerjakan.”
Tanpa menunggu respon dari
Chaeyoung, Dongmyung sudah lebih dulu melesat masuk ke dalam restoran. Sambil
menggenggap barang-barang yang berada di dalam tangannya, Chaeyoung meyakinkan
diri untuk menghampiri Yuto yang terlihat sedang menelepon seseorang. Tanpa
ingin mengganggu, Chaeyoung menunggu Yuto sambil duduk di kursi yang terletak
di bagian teras restoran.
Chaeyoung melirik ketika menydari
Yuto sudah mengakhiri obrolannya di telepon. “Duduklah. Aku akan mengobati
lukamu.” Tangan Chaeyoung mulai mempersiapkan beberapa hal. Ia membasahi kapas
dengan air bersih yang ia bawa menggunakan botol minum.
Cheyoung menggeleng. Entah kenapa ia
mendadak tidak bisa berkonsentrasi ketika melihat ada bercak darah pada pakaian
Yuto. Buru-buru Chaeyoung menyodorkan beberapa lembar tissue pada Yuto. Dengan
lembut Chaeyoung membimbing Yuto untuk menundukkan kepalanya dan membiarkan
Yuto memegang sendiri tissuenya. Selagi itu, Chaeyoung membersihkan darah serta
kotoran pada salah satu tangan Yuto. Ada luka kecil juga di sana. Chaeyoung
meneteskan obat, lalu menutupnya dengan plester.
“Pusing?” Chaeyoung menatap Yuto
penuh kekhawatiran.
Yuto menggeleng pelan. Yuto sendiri
sejak tadi tidak melepaskan pandangannya pada Chaeyoung ketika gadis itu
membersihkan lukanya.
“Maaf ya. Bernafas dari mulut untuk
sementara.”
Belum sempat Yuto merespon, kini
Chaeyoung sudah berdiri menggunakan lutut di hadapan Yuto. Mengganti
lembaran-lembaran tissue yang sudah kotor dengan yang baru. Yuto hanya bisa
meletakkan kedua tangannya ke atas paha saat menerima perlakukan Chaeyoung
padanya. Kini kedua tangan Chaeyoung sudah berada di pipi Yuto sambil
menekan-nekan pelan bagian hidung Yuto yang mengeluarkan darah.
***
Pemuda itu membersihkan tangannya
yang sedikit kotor dan ada sedikit luka gores di sana. Ia juga sambil menatap
pantulan wajahnya pada cermin besar di hadapannya. Pemuda itu adalah Dokyeom.
Masih menggunakan seragam sekolahnya, pemuda itu baru menyadari sesuatu. Tangan
kanannya menyentuh bagian dada sebelah kiri. Nametag-nya hilang.
Bruk!
Ada sedikit keributan di luar sana.
Dokyeom sempat menoleh ke arah pintu sambil mematikan keran air. Ia kemudian
balik badan dan meninggalkan toilet tersebut. Di ruangan sebuah apartment kecil
itu, Dokyeom mendapati seorang pemuda tinggi tampak berdiri sambil mengunci
seseorang dalam cengkeramannya. Pemuda itu tidak termasuk dalam kejadian tadi
saat mereka mencuri dompet Yuto.
“Kau hanya terkena cinta buta.
Makanya kau menjadi seperti ini.” Pemuda dalam kekuasaan Kogyeol itu terdengar
berujar. “Akh!” jeritnya setelah Kogyeol semakin mengeratkan cengkeramannya.
Empat orang lainnya hanya melihat tanpa ada yang bisa membantu.
“Sudahlah, Gyeol.” Salah satu pemuda
bertubuh tinggi tampak berdiri sambil menyodorkan sebuah dompet yang biasa
digunakan laki-laki.
Dengan tatapan tegas, Kogyeol
menyambar dompet tersebut setelah melepaskan pemuda bernama Kuhn. Kogyeol
langsung memeriksa isinya. Sontak ia melemparkan tatapan tajam pada Sungjoon,
pemuda yang memberikan dompet tersebut.
“Aku hanya mengambil uang cash. Kita juga butuh untuk bayar uang
sewa tempat ini.”
Tangan Kogyeol yang masih memegang
dompet, tampak mengarah pada Dokyeom yang berdiri di depan pintu toilet. “Uang
sewa katamu? Tempat ini bahkan sudah dilunasi Dokyeom sampai akhir tahun.”
Kogyeol berujar dengan nada kecewa.
Sungjoon menunjukkan ekspresi
terkejut. Kemudian tatapannya jatuh pada pemuda di sudut ruangan yang sejak
tadi sibuk dengan ponselnya seorang diri. “Ya! Bitto!”
“Iya iya, uang itu aku gunakan untuk
kencan dan membelikan kalian makanan juga.” Tanpa mengalihkan tatapannya
sedikitpun pada layar ponsel, pemuda yang tadi dipanggil Bitto itu terdengar
membela diri.
Kuhn bahkan sudah seperti ingin
memakannya saat menatap Bitto.
Kogyeol menghela napas, berat. Lalu
tatapannya kembali jatuh pada Sungjoon. “Berapa uang yang kau ambil dari dompet
ini?”
Sungjoon hanya mengangkat bahu
sambil melirik satu orang lagi diantara mereka yang sejak tadi hanya diam
memperhatikan. Namun kali ini pemuda tersebut tampak sibuk menghabiskan makanan
yang ada di sebuah meja pendek.
“Mungkin lebih dari lima ratus
ribu.”
“Aku pergi.” Kogyeol balik badan dan
bersiap meninggalkan tempat itu.
“Kapan kalian akan menikah?”
Pertanyaan yang keluar dari mulut Dokyeom sontak langsung membuatnya menjadi
pusat perhatian.
Kogyeol membatalkan langkahnya tanpa
sedikitpun berbalik. “Secepatnya. Aku ingin menjadi ayah yang baik untuk
anakku.”
“Apa? Kau…” Kuhn sudah berdiri dan
siap mengejar Kogyeol yang sudah melanjutkan langkahnya.
Dokyeom lebih cepat untuk menghalangi pemuda itu. “Baiknya biarkan dia
pergi.”
Kuhn mengalah untuk tetap di sana.
Ia lalu mendongak, menatap Dokyeom. “Kau tahu semuanya?”
Dokyeom hanya menepuk pelan pundak
Kuhn sambil berlalu. “Biarkan aku istirahat sekarang, besok aku harus sekolah.”
***
Pintu lift itu terbuka dan
memunculkan Yuto dari baliknya. Yuto berjalan sedikit sempoyongan. Kepalanya
mulai sedikit sakit. Sementara tangannya tidak lepas dari tissue yang ia
pegangi di bawah hidung. Darah yang tersisa hanya sedikit, namun itu bekas
sebelumnya.
“Begitu
sampai rumah, jangan lupa kompres dengan air dingin.”
Yuto membuka pintu apartmennya
setelah memasukan password kunci.
Melangkah lurus namun dengan tatapan yang tidak focus. Tujuannya sekarang adalah
langsung menuju kamarnya, membaringkan tubuhnya di sana. Perlahan ingatannya
melayang pada kejadian hampir setengah tahun lalu. Saat ia mengalami sedikit
insiden ketika bermain sepakbola. Hidungnya berdarah, sama seperti yang terjadi
hari ini. Ketika itu Yuto dibantu oleh seorang gadis yang selalu setia
menemaninya.
Flashback on~
“Yuto!” Gadis itu berteriak sambil
berlari menghampiri tepi lapangan. Jelas kekhawatiran menghiasi wajahnya kala
itu, melihat Yuto terluka. Gadis bernama Sana itu langsung berjongkok dihadapan
Yuto. Mengambil berlembar-lembar tissue yang ia bawa untuk menghentikan darar
Yuto.
“Akh, pelan sedikit.” Yuto meringis
sambil memegangi kedua pergelangan Sana.
“Ahh, iya iya maaf.” Sana
memijit-mijit pelan hidung Yuto. Namun Yuto justru semakin mengencangkan
cengkeramannya. Membuat Sana tanpa sadar ikut menekan hidung Yuto makin kuat.
“Lepas.” Kali ini Yuto menyingkirkan
tangan Sana dari hidungnya. “Sudahlah, kau memang tidak bisa lembut padaku.”
Sana hanya menatap Yuto dengan
ekspresi kesal. Sama sekali tidak merasa bersalah, Yuto justru tertawa melihat
wajah lucu Sana, membuat Yuto mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepala Sana
sambil tersenyum.
“Terima kasih sudah khawatir
padaku.”
Perlahan sosok gadis bernama Sana
tersebut tergantikan dengan seorang gadis mungil bernama Chaeyoung yang sangat
lembut mengobati lukanya. Yuto sama sekali tidak melepaskan pandangannya pada
Chaeyoung yang fokus membersihkan hingga membersihkan luka. Padahal Yuto tahu
jika Chaeyoung sendiri sebenernya mendapatkan sedikit luka ketika ditabrak oleh
seorang pemuda tidak dikenal.
Flashback off~
Yuto bangkit dengan gerakan sedikit
kasar. Mukanya terasa panas, dan tenggorokannya terasa gatal. Terdengar pemuda
itu berdeham beberapa kali sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil air
minum. Ruang makan yang menjadi satu dengan ruang utama membuat Yuto menoleh
dan mendapati sepasang seragam sekolah tergeletak di atas sofa. Seragam yang
sama dengan yang dikenakan Chaeyoung tadi. Tanpa sadar bibir Yuto tertarik ke
samping membentuk seulas senyum sambil kemudian menghabiskan sisa air dalam
gelasnya.
“Aku ke sini untuk sekolah dan
mencari ibu.” Yuto menegur dirinya sendiri ketika menyadari jika ia tengah
tersenyum seorang diri. “Bukan untuk mencari pengganti Sana.” Yuto sontak
meletakkan gelas kosongnya ke atas meja dengan gerakan sedikit kasar hingga
menghasilkan suara dentuman keras. “Mungkin aku masih jet lag.”
***
Dongmyung membagi-bagikan kotak
makan yang sudah ia siapkan untuk Chaeyoung dan Dongju. Baik Chaeyoung dan
Dongju sendiri langsung mengambil milik mereka lalu berdiri dari kursi makan.
Pagi itu mereka sudah bersiap untuk berangkat sekolah. Setelah Chaeyoung
mengunci pintu, mereka bertiga berjalan bersama. Rumah sederhana milik mereka
terletak di dalam gang tepat bersebelahan dengan gerbang apartment tempat Yuto
tinggal. Mereka kembali melewati jalan semalam. Membuat Chaeyoung teringat
kembali ketika gadis itu ditabrak oleh seseorang yang tidak ia kenal dan
menemukan sebuah nametag milik
Dokyeom.
Saat ketiga bersaudara itu berjalan
bersama menikmati pagi, tepat sebuah sedan mewah yang dikendarai Yuto melintas.
Yuto sendiri tidak terlalu menyadari keberadaan Chaeyoung dan dua adiknya
karena kala itu ia sibuk membagi fokusnya antara mengemudi dan membaca peta
pada ponselnya. Masih dengan sebuah plester menghiasi hidungnya, Yuto tampak
siap dengan seragam sekolah barunya.
“Hati-hati Noona.” Dongmyung melambaikan tangan dengan riang ketika bus yang
akan Chaeyoung tumpangi sudah tiba. Berbeda dengan Dongju yang seakan tidak
terlalu peduli dan sibuk dengan ponselnya. Toh nanti sore juga mereka akan
bertemu lagi.
Tidak terlalu lama untuk bus yang
ditumpangi Chaeyoung sudah tiba di halte depan sekolahnya. Saat berjalan
melintasi gerbang, ada seseorang yang tiba-tiba merangkulnya dari belakang.
“Chae-ah,” ujar Yukyung dengan nada
ceria.
Chaeyoung sontak menoleh dan
tersenyum mendapati salah satu temannya di sana. “Oh, Yuqi. Selamat pagi.”
Dengan senyum yang tidak kalah cerianya, Chaeyoung menyapa satu orang lagi yang
tadi berjalan tidak jauh dibelakang Yukyung. Namun yang Chaeyoung dapatkan
adalah sebaliknya. Yuqi hanya menoleh dan tersenyum tipis lalu sedikit
mempercepat langkahnya mendahului Yukyung dan Chaeyoung. Dua gadis itupun
sontak saling melempar tatapan bingung.
Tidak ingin terlalu ambil pusing,
Yukyung mengajak Chaeyoung untuk melanjutkan langkah. Suasana sekolah tampak
mulai ramai dengan para siswa yang mulai berdatangan.
“Apa aku berbuat salah?”
Yukyung tidak langsung menjawab
pertanyaan Chaeyoung. Karena bisa dipastikan yang Chaeyoung maksud adalah tentang
Yuqi. Yukyung hanya sempat menghela napas sesaat. Bukan hanya Chaeyoung yang
menyadari perubahan sikap yang terjadi pada Yuqi. Tapi semalam Wooseokpun
menanyakan hal serupa. Namun masalahnya, Yukyung sendiri juga tidak tahu apa
yang dipikirkan Yuqi. Semalam ia tidak sempat menanyakan hal apapun pada Yuqi.
Sampai mereka menaiki anak tanggapun, tidak ada satu katapun yang meluncur dari
bibir Yukyung.
“Kalau kau diam saja, aku anggap kau
memang mengetahui sesuatu.”
Saat menyadari pernyataan Chaeyoung,
Yukyung mendapati Chaeyoung sudah berjalan sedikit didepannya. Yukyung segera
mengejar. Saat tiba di koridor utama, Chaeyoung berbelok.
“Chaeyoung!” Yukyung memekik ketika
mendapati Chaeyoung menabrak seseorang di depannya. Kejadian yang terlalu
cepat, mengingat tepat di balik tembok tersebut adalah pintu ruang guru. Dan
Chaeyoung sendiri tidak memperkirakan jika ada seseorang yang memunculkan diri
dari sana.
Tabrakan tersebut tidak terlalu
keras, namun memang membuat Chaeyoung sedikit kehilangan keseimbangan.
Beruntung pemuda yang ditabrak Chaeyoung lebih sigap dan berhasil menahan
pinggang Chaeyoung sebelum gadis itu sempat terjatuh ke lantai.
Yukyung menyentuh kedua pundak
Chaeyoung. “Kau baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja.” Chaeyoung
merespon kekhawatiran Yukyung, namun tatapannya tidak lepas dari pemuda
dihadapannya. Yuto.
“Kau baik-baik saja?” Barulah ketika
Yuto mengulangi pertanyaan Yukyung, Chaeyoung langsung menegakkan badannya dan
mendapati sudah banyak pasang mata yang melihat kejadian tersebut.
Chaeyoung sempat mundur selahkah
hingga kini posisinya sejajar dengan Yukyung. “Ah, maaf.” Chaeyoung membungkuk
beberapa kali. “Aku tidak sengaja.”
“Ah sudahlah, jangan begitu.” Yuto tertawa
canggung. Lebih tepatnya bingung harus bereaksi seperti apa pada Chaeyoung.
Beberapa saat Yuto tampak tidak melepaskan pandangannya pada wajah manis
Chaeyoung. Lalu saat menoleh kesamping, ada beberapa orang yang masih tidak
melepas pandangan padanya. Gadis itu adalah Mina bersama dua temannya, Jihyo
dan Dayoung yang sama sekali tidak melepaskan tatapan mereka pada sosok Yuto.
Yuto sedikit menunduk, menyamakan
tinggi badannya dengan Chaeyoung dan Yukyung. “Aku anak baru di sini. Bisa
bantu antarkan ke kelasku?”
Yukyung langsung menunjukkan
ekspresi kagum. “Waah, pantas saja aku baru melihatmu. Ayo kami antar.”
Yuto kembali menegakkan badan ketika
Yukyung menarik tangan Chaeyoung dan berjalan mendahului Yuto. Yuto sendiri
hanya tersenyum tipis dan berniat membalikan badan. Namun tatapannya kembali jatuh
pada 3 gadis tadi. Melihat itu, seketika senyum Yuto melenyap. Berusaha untuk
tidak peduli, Yuto menyusul Yukyung dan Chaeyoung yang sudah melangkah menjauh.
“Ayo ikuti!” seru Mina pada dua
temannya untuk menyusul Yuto bersama dua gadis tadi.
Tepat di saat yang bersamaan, tampak
Kino baru saja menapaki anak tangga terakhir ketika Mina bersama dua temannya
melintas. “Selamat pagi.” Kino menyapa dengan nada sangat ramah dan sukses
membuat tiga gadis tadi menghentikan langkah dan menoleh. Tentu mereka tidak
akan membuang kesempatan untuk bisa bertegur sapa dengan seorang Kino.
“Waaah, kalian cantik-cantik sekali
hari ini.”
Sementara tidak jauh dari sana,
tampak Wooseok sempat berpapasan dengan Yukyung dan Chaeyoung. Tentu mereka
tidak saling tegur sapa karena sesuatu. Wooseok sampai menoleh ketika melihat
sosok Yuto yang bisa dipastikan sedang mengekori Yukyung dan Chaeyoung. Wooseok
sampai melihat dari ujung kaki hingga kepala bagian belakang Yuto.
“Siapa itu? Kenapa mengikuti Yukyung
dan Chaeyoung.” Sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya, Wooseok
bergumam sendiri. Tidak ada seseorang yang bisa ia ajak bicara saat itu. Belum
lagi langkah Yukyung dan Chaeyoung membawa Yuto ke wilayah ruang kelas untuk
kelas 2.
Wooseok meneruskan langkahnya yang
sempat terganggu sesaat. Namun di depan sana justru ia menemukan Kino sedang
merayu Mina dan dua temannya. Namun Jihyo tampak tidak terlalu menanggapi
celotehan Kino.
“Eh ini serius, aura kalian tampak
beda pagi ini. Seperti ada bunga-bunga bermekaran.”
Mendengar gombalan Kino tersebut,
Wooseok memasang ekspresi wajah seperti seorang yang ingin muntah. Kino yang
melihatnya hanya melempar tatapan membunuh. Wooseok sendiri memilih meneruskan
langkah. Tidak mempedulikan Mina, Jihyo dan Dayoung yang begitu menyadari
keberadaan Wooseok langsung menoleh dengan penuh minat.
“Ah, sudahlah jangan pedulikan si
tiang listrik itu.” Kino mencoba mencari perhatian lagi pada tiga siswi
tersebut. Namun mendadak mood-nya
berubah. “Mendadak perutku sakit. Aku pergi dulu ya.”
“Yak! Kang Kino!” teriakan Mina
tidak membuat Kino menghentikan langkah. Pemuda itu bahkan semakin menambah
kecepatan larinya.
***