Aku tergesa-gesa keluar kamar dan menuruni anak
tangga sambil menenteng sebuah bola sepak. Ada janji bermain sepak bola sore
ini. Aku menemukan kakak ku yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Ia
sodara tiriku . kami seumuran. Namanya Revan.
Aku
tau ia menyadari kehadiranku, tapi aku sama sekali tak peduli. Karena ku rasa
ia sama seperti diriku dan yang lain.
“Lingga.” Panggilnya.
Aku
meresponnya dengan berhenti tepat dibekakang sofanya.
“Udah
sholat?” Tanya Revan lagi tanpa menoleh kea rah ku.
Aku
meliriknya sinis. “Lakukan apa yang menurutmu benar.” Ucapku sebelum pergi, dan
sebelum ia merespon ucapanku lagi.
@@@
Jam 3
pagi aku terbangun. Memang disengaja olehku. Karena aku berniat menonton
pertandingan sepakbola. Aku melalui depan kamar Revan. Pintunya sedikit
terbuka. Aku tergelitik untuk sedikit meliriknya. Ku dapati Revan sedang
sholat.
“Sholat
apaan jam segini?” gumamku penasaran. “Tumben!” celetukku. Aku berfikir
demikian karena menurutku ia tak setaat itu.
Aku
melanjutkan langkahku menuju ruang tengah. Ku raih remote tivi dan
menghidupkannya. Tak berapa lama, Revan datang dan duduk di sampingku.
Aku
menatapnya masih dengan pandangan sinis.
“Kau
tak sholat?” tegurnya.
Aku
hanya menanggapinya dengan senyuman kecut dan tak mempedulikan kata-katanya.
Dua
jam kami lalui dalam diam. Aku tak tertarik untuk bicara dengannya. Karena
bicara dengannya sama seperti bicara dengan ayahku.
Aku
siap kembali ke kamar. Tapi Revan menegurku sekali lagi.
“Udah
waktunya sholat Subuh.” Revan memperingatkan.
“Tak
usah mengajariku.” Ujarku tanpa ingin menatapnya.
Revan
tak kembali tidur. Ia memilih untuk langsung melaksanakan sholat Subuh, lalu
bergegas untuk bersiap ke sekolah.
Tak
ada yang berbeda dari dirinya dengan kehidupan remaja lain seumurnya. Kesekolah
mengendarai sepeda motor. Di kelaspun Revan memilih tempat duduk sedikit di
belakang. Ketika jam istirahatpun Revan berkumpul dengan teman-temannya di
kantin. Dan terkadang menyibukkan diri dengan bermain sepakbola.
Apa
yang dilakukannya terekam olehku. “Apa yang berbeda denganku?” ujar ku pelan.
“Bedanya,
dia rajin sholat sedangkan kau tidak.”
Lingga
menoleh. Aku sedikit terperenjat mendapati seorang cewek yang tiba-tiba berada
di sampingku. Cewek itu menatapku dengan sorot mata sedikit meledek.
“Kau
menguping?” hardikku.
“Tidak.”
Ucapnya sedikit bersemangat sambil menggeleng, membuat jilbabnya seolah
bergerak kesana-kemari.
Aku
lega mendengarnya. Tapi itu hanya berlangsung sesaat.
“Tidak
sengaja maksudku.” Cewek itu tertawa.
“Riva?”
aku terdengar mengeram dan tak kusadari mataku melebar menatpnya kesal.
“Apa?”
tantangnya.
Aku
tak meresponnya lagi dan langsung pergi.
“Lingga.”
Ku
dengar Riva menyebut namaku. Tapi aku tak serta-merta menghentikan langkah. Aku
sadar Riva mensejajarkan langkahnya denganku.
“Kau
tau kalau Revan itu…”
“Stop.”
Aku membuat kata-katanya menggangtung tanpa sedikitpun menghentikan langkah.
“Jangan katakana itu lagi.” Pintaku.
“Aku
tak kan mengatakannya.”
Ucapannya
kembali membuatku lega. Tapi tatapannya tidak.
“Karena
kau sudah mengetahuinya.”
Kata-katanya
yang terakhir membuatku benar-benar menghentikan langkah. Tapi tidak untuknya.
Riva terus melangkah menjauhiku.
“Hei.
Mau kemana kau?” teriakku.
“Menemui
kakak iparmu.” Balasnya sambil melambaikan tangan dan terus berjalan tanpa
berpaling.
Sikapnya
membuatku tak ingin mengejarnya lagi. Karena menurutku ia akan menemui Revan.
Aku sama sekali tak tertarik.
@@@
Apa
yang ku temukan begitu sampai di kelas? Ku lihat Riva bersama Karina. Dan
Revan, duduk sendiri di kursinya sambil membaca buku. Aku pun duduk di kursiku.
Tidak jauh dari tempat Revan.
Aku menyaksikan
Riva bicara dengan Revan dari kursi mereka masing-masing.
“Revan.
Kau mau ikut belajar bersama dengan kami siang ini di rumahku?” itu suara Riva.
Akupun
dengan jelas menangkap respon Revan.
“Kami?”
ulangnya.
“Iya.
Aku, kau, dan Karina.” Jawab Riva.
Revan
terlihat ragu. Aku mengawasinya.
“Maksudku,
kita bertiga dan aku juga berencana mengajak Nurul, Mega, Adit dan Bima nanti.”
Cepat-cepat Riva menambahkan ucapannya.
Keraguan
Revan terlihat memudar. “Insya Allah.” Jawabnya. Membuat Riva dan Karina
terlihat tersenyum.
Aku
menatap Revan heran. Apa maksudnya dengan bilang ‘insya Allah’? jadi dia akan
datang atau tidak?
“Lingga.”
Ku dengar Riva memanggilku.
Aku mendongak kearahnya.
“Apa
kau mau bergabung bersama kami?”
Ku
dengar suaranya sungguh-sungguh. Ia menungguku. Lalu aku menggeleng.
“Kau
yakin?” Riva memastikan.
Aku
tak menjawab. Hanya mengangguk.
“Tapi
kita rame-rame kok.” Riva masih berusaha membujukku.
Apa
bedanya rame-rame atau hanya beberapa orang saja? Sekali lagi. Aku menggeleng.
Kali ini terlihat lebih meyakinkan.
Ku
lihat mulut Riva kembali terbuka. Aku yakin ia iangin bersuara lagi. Tapi ku
lihat Karina menahan tangannya dan berkata.”Riva, udah ya? Jangan dipaksa kalau
Lingga gak mau.” Suaranya terdengar lembut. Dan seketika Riva luluh.
Aku
kembali melirik ke tempat Revan berada. Revan memang terlihat tak memperhatikan
kami. Tapi aku lihat ia tersenyum di balik bukunya.
Ketika
pulang sekolah, Revan mendekati mejaku. Tanpa harus bertanya, aku yakin ia akan
mengatakan sesuatu.
“Katakan
pada ibu, hari ini aku pulang telat.”
“Ya.
Aku mengetahuinya.” Kataku cuek. “Ada lagi?”
Revan
diam. “Ada.” ucapnya.
Aku
menunggu.
Ia
menepuk pundakku pelan. “Jangan lupa sholat.” Kata Revan sesaat sebelum ia
meninggalkanku.
@@@
Revan
akan pulang telat. Itu benar. Dan baru saja ibu berpamitan untuk menghadiri
acara pengajian. Alhasil, di rumah aku sendiri. Mencoba mencerna apa yang
terjadi hari ini.
Aku
teringat semua ucapan Riva sebelum ia bilang ingin menemui Revan. Tapi kurasa
mereka tidak benar-benar mempertemukan diri. Aku berfikir lagi. Dan kali ini
aku yakin. Aku telah salah menangkap. Riva tak mengatakan ingin menemui Revan.
Tapi siapa? Aku mencoba mengingat.
Aku
mendengar suara pintu menjeblak. Kurasa itu Revan. Dan ternyata benar.
“Assalamualaikum.”
Revan selalu begitu.
“Waalaikumsalam.”
Jawabku.
Tapi
tampaknya ia sedkit terkejut mendengar aku menjawab salamnya.
“Kau
ada di situ?” ucapnya heran. “Sudah sholat ashar?” ia bertanya sambil tetap
melangkah melaluiku. Ia tak menunggu. Mungkin karna ia tau aku tak kan
menjawabnya.
“Mengapa
kau selalu bertanya seperti itu?” suaraku membuat Revan berhenti dan berbalik.
Kami saling berhadapan dalam jarak beberapa meter.
“Apa
lagi yang bisa ku tanyakan padamu?” Revan balik bertanya. Suaranya tenang namun
menantang.
“Kalau
begitu, aku yang bertanya.” Aku tak mau kalah.
“Apa?”
ia menungguku.
“Aku
tau kau. Aku sadar apa yang kau lakukan. Aku mungkin tak sepertimu. Tapi ada
satu sikapmu yang janggal.”
Ucapanku
membuat Revan seolah harus berfikir keras. Aku sadar, perkataanku cukup sulit
untuk dicernanya.
“Aku
tak mengerti.” Kata Revan akhirnya.
Kali
ini aku ingat. Sungguh, ini benar. Riva bilang ingin menemui kakak iparku.
Siapa yang di maksudnya dengan ‘kakak ipar’ ku? Riva membuatku berfikir kalau
Revan…
“Lingga.”
Suara Revan membuyarkanku. Mungkin karena aku terlalu lama diam.
“Awalnya
aku fikir kau tak setaat itu. Tapi ternyata aku salah. Aku sadar apa yang kau
lakukan. Pertanyaan yang selalu kau lontarkan untukku. Kita memang baru setahun
menjadi keluarga. Tapi aku tau apa yang selalu ibu ajarkan padamu. Bahkan
padaku juga. Aku juga sadar seperti apa kaluarga baruku. Tapi aku tak bisa me…”
“Katakan
apa yang menurutmu janggal dari ku?” Revan tampak tidak sabar menunggu
ucapanku.
“Oke.”
Aku mengalah. “Kau tau ayah dan ibu melarang kita ‘pacaran’?” aku memberi
tekanan ketika menyebut kata ‘pacaran’.
“Aku
sangat menyadari itu.”
“Tapi
kau punya pacar?”
Kata-kataku
mengejutkannya. Jelas ia, cukup kaget mendengarnya. Tapi aku tak melihat
kemarahan dalam matanya. Revan tersenyum.
“Aku
mengetahuinya.” Ucapku sengit.
“Apa
yang kau ketahui?” revan semakin menantangku.
“Kau
tak begitu peduli dengan ponselmu. Tapi aku pernah memergokimu membaca sebuah
sms, lalu kau pergi. Kau tak sadar aku mengikutimu. Mengikuti sampai kau
berhenti didepan sebuah rumah. Dan aku tau itu rumah Karina.” Tatapanku
mengancam ke Revan.
“Apa
yang kau pikir setelah itu?” Revan masih tenang menungguku.
“Karina
pacarmu.”
Revan
malah tertawa menanggapi suaraku.
“Kau
tau apa yang terjadi setelah itu? Apa yang kulakukan dirumah Karina? Siapa yang
kutemui disana?” Revan balik menyerangku dengan pertanyaannya.
Jawabannya
tidak. Ia tau itu. Aku hanya diam.
“Karina
berasal dari keluarga yang beragama. Kau tau itu. Mungkin kau berfikir aku
munafik. Tapi kau salah. Aku kerumah karina untuk menemui ayahnya. Karina tak
ada disana. Ayahnya mengajariku tentang agama. Aku tak masalah kau
mengabaikanku ketika menyuruhmu sholat. Karna kau berfikir aku sama sepertimu.”
Revan
masih membuatku diam.
“Mungkin salah kalau aku
menyuruhmu mengikutimu. Tapi aku ingin kau tau. Agama tak kan menghalangimu
bermain sepak bola.”
Entah
mengapa suara Revan terdengar semakin samar. Aku mengerti semua yang
dikatakannya. Dan entah mengapa aku membenarkan itu.
“Aku
harap kau ingat. Aku tak pernah meminta Karina menjadi pacarku.” Revan menekan
itu sekali lagi..
“Iya.
Sebenarnya aku tak sungguh-sungguh mengatakan itu.” Oke. Lalu, apa kau
memintanya menjadi istrimu suatu saat nanti?”
Oh,
tidak. Jangan katakana itu lagi. Tapi semua telah terucap. Revan mendengar
pertanyaan ajaibku.
“Iya.”
Mengejutkan.
Revan membenarkan perkataanku.
“Tapi
aku masih 17 tahun?” Aku keheranan
“Tapi
itu tak melanggar ucapan ibu kan?”
“Benar.”
Aku menghela napas.
“Kau
bisa mempraktekan itu ke Riva.” Revan terdengar meledekku.
Mataku
melebar. Mendengar nama itu disebut, aku langsung jengkel. Aku masih sedikit
kesal dengan Riva.
“Maaf.
Aku tak bermaksud.” Cepat-cepat Revan kembali merubah suasana hatiku. ”Lupakan.
Lebih baik kau sholat dulu.”
Kali
ini aku menuruti sarannya. Revan benar. Dan aku bertekad. Setelah ini aku ingin
jadi lebih baik. Begitu sampai depan kamar mandi, aku berhenti dan kembali
melihat Revan menaiki tangga.
“Revan.”
Panggilku.
“Iya?”
Ia menoleh.
“Maafkan
aku mengabaikanmu.” Ucapanku sungguh terdengar tulus.
“Ya.
Aku maafkan.” Kata Revan cepat.
Aku
lega. Dan aku tau Revan akan mengatakan itu.
“Boleh
ku pinta sesuatu darimu?” Aku berkata lagi sebelum Revan kembali melangkah.
“Silakan.”
Ujarnya enteng.
“Tolong
bimbing aku menjadi lebih baik.” Pintaku.
“Pasti.”
Revan langsung menjawab dengan lantang.
“Alhamdulillah.”
Gumamku pelan.
Dan
aku bersyukur dapat membuka mata hatiku sebelum terlambat.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar