15. THIS IS JUST A GAME
Partai
final terasa semakin mendebarkan dimana pertandingan harus ditentukan oleh
drama adu penalty. Kedua tim sama kuat. Meski awalnya SMA Jakabaring unggul 1-0
dengan gol yang dicetak Bagas, namun SMA Rosengard berhasil menyamakan
kedudukan lewat gol dari Danu di menit-menit akhir babak kedua.
Penendang pertama dari SMA Jakabaring.
Christ. Gol. 1-0. Penendang pertama dari SMA Dipokar. Diaz. Gol. 1-1.
Dua penendang berikutnya dari kedua
kesebelasan berhasil menerobos gawang lawan, masing-masing Zagar dan Nicky dari
Jakabaring serta Dewa dan Garra dari Dipokar. Skor sama kuat 3-3. Eksekutor
berikutnya dari Jakabaring, Bagas yang sukses membuat klubnya unggul 3-4.
Penendang ke-empat dari Rosengard, Ilan yang membuat skor kembali sama
kuat.
Beban berat dihadapi Frans yang notabene
adalah eksekutor terakhir untuk Jakabaring. Meski akhirnya ia berhasil
memberikan jarak kepada Rosengard.
Tapi beban berat lebih diterima Lingga
yang menjadi penentu. Jika tendangannya gagal, berarti ia memberikan kemenangan
untuk lawan. Tapi jika ia berhasil, Rosengard bisa sedikit bernafas lebih panjang.
@@@
Beberapa
jam sebelum pertandingan, Lingga menemui ayahnya di lobby. Bram memberikan
amplop coklat untuk Lingga.
“Itu
brosur salah satu akademi sepakbola di Inggris. Papa udah pegang tiketnya. Kalo
Rosengard
menang, besok pagi kita berangkat. Mamamu udah duluan terbang ke sana.” Kata
Bram tanpa basa basi kepada anaknya.
“Akademinya
Arsenal ya?” tebak Lingga penuh semangat. Karena Arsenal adalah klub sepakbola
asal Inggris yang menjadi favoritnya.
“Jangan
mengkhayal terlalu tinggi!” dengus ayahnya yang membuat senyum Lingga perlahan
memudar. “Tapi papa jamin kamu gak akan kecewa.” Lanjutnya sedikit menghibur.
Lingga
tertegun. Hanya ada satu nama yang terlintas dibenaknya. Nalula. Jika Rosengard
juara, Lingga berhak atas hadiah taruhannya dari Zagar plus mencicipi training
sepakbola di luar negeri. Itu artinya, Lingga harus kembali meninggalkan Nalula
untuk kedua kalinya.
“Tapi kalo
kamu gagal. Kamu tetep bisa bermain sepakbola, namun hanya klub di Indonesia
aja.” Lanjut Bram memperingtakan hasil buruk yang kemungkinan di terima Lingga
dan Rosengard.
Ayahnya
benar. Jika menang, Lingga bisa mendapatkan semuanya. Tapi jika hasilnya tak
sesuai harapan, Lingga harus rela kehilangan segalanya. Masuk akademi sepakbola
di luar negeri, dan Nalula tentunya.
@@@
Sesungguhnya
Nalula sama sekali gak bisa milih satu dari mereka. Ia rela menunggu hasil
akhir dari final hari ini. Jika ia
memilih Zagar, bisa saja ia memporak-porandakan sekuad SMA Rosengard.
Tapi jika ia memilih Lingga, Nalula punya strategi khusus untuk melumpuhkan
salah satu punggawa andalan SMA Jakabaring, yaitu Zagar.
Tapi
segera, ditepiskannya semua pikiran-pikiran licik dibenaknya. Sumpah. Ini murni
masalah hati. Nalula sama sekali tak kepikiran dengan Rosengard secara keseluruhan.
Semua
semakin berkecamuk di pikirannya kala pertandingan menyentuh ending, drama adu
penalty.
Dan
kini, ketika Lingga siap mengeksekusi tendangan terakhir, Nalula lebih memilih
meninggalkan lapangan sebelum seluruh isi stadion bergemuruh. Cepat-cepat ia
melangkah—hampir setengah berlari—menuju locker room. Nalula meraih ranselnya
dan mengeluarkan kabel handsfree dan menggantungkannya di telinga. Diputarnya
lagu dengan volume keras dari hapenya. Samar-samar Nalula mendengar gemuruh
dari arah lapangan ketika ia menutup pintu dibelakangnya dari arah luar.
“Selesai.”
Desahnya pelan, lalu segera berjalan berlawanan dengan arah menuju lapangan.
@@@
Nalula
jadi orang pertama yang pulang ke apartemen. Dibantingnya tubuhnya ke atas
kasur dan menenggelamkan wajahnya ke bantal. Esok pagi, sebuah babak baru dalam
hidupnya telah menunggu. Nalula justru berharap hari esok tidak akan pernah
terjadi.
Nalula gak
siap bertemu Lingga. Nalula gak siap bertemu Zagar. Nalula gak siap bertemu
Kharis. Nalula gak siap bertemu nyokapnya. Intinya, Nalula gak siap buat
bertemu siapa-siapa dalam hidupnya. Sampai akhirnya ia tersadar setelah
seseorang mengguncang-gungcangkan tubuhnya.
“Nal,
bangun Nal.” Tegur Riva yang duduk di tepi tempat tidur Nalula.
Nalula
mengerjap-ngerjap. Setelah pulang dari stadion, tak ada lagi yang bisa ia
ingat. Nalula langsung tertidur sampai pagi.
“Sory
ya.” Ucap Riva penuh rasa bersalah. “Sebenernya gue gak tega bangunin. Tapi
Dari tadi ada yang nungguin lo diluar, jadi gue terpaksa ngelakuin ini.”
Deg.
Seseorang telah menunggu Nalula diluar. Ia pun mulai menerka-nerka. Lingga?
Rasanya tak mungkin, karena Riva tak menyebutkan nama seolah-olah ia tak
mengenal orang itu. Berarti, Zagar? Dalam sekejap, terfikir untuk Nalula
melompat turun dari tempat tidur. Tapi baru ia sadari, kaos yang dipakainya
basah kuyup karena keringat. Dan badannya terasa berat untuk digerakkan.
Reva
muncul dari balik pintu. “Nih, Nal minum dulu.” Reva menyodorkan segelas teh
hangat.
Semula
Nalula bingung harus seperti apa menyambut kedatangan Reva. Cukup aneh karena
kedua anak kembar dihadapannya ini terlihat khawatir karenanya. Tiba-tiba Riva
menempelkan punggung tangannya ke kening Nalula.
Seketika,
Riva menoleh ke Reva yang masih memegang gelas. “Feeling tuh anak beneran gak
meleset.” Ujarnya cukup kalut. Nalula semakin bingung dibuatnya.
Kepanikan
Riva sontak langsung menular ke Reva. “Aduuuhh, Nal.” Keluhnya. “Lo minum ya.
Gue gak tau deh gimana lagi ngadepin Diaz kalo tuh anak lagi kalut.”
Nalula
siap membuka mulut, tapi langsung ditahannya ketika pintu menjeblak terbuka.
Diaz muncul tergesa-gesa. “Diaz lo gak sopan masuk kamar cewek!” bahkan omelan
Reva pun tak dihiraukannya. Kini ia telah duduk ditepi tempat tidur Nalula
setelah menarik paksa Riva untuk berdiri.
Diaz
terlihat tak karuan meski tak ditunjukannya. Wajahnya agak pucat. “Lo sakit?”
yang pertama bertanya justru Nalula ketika Diaz menggenggam kedua tanga Nalula.
Diaz
tak menjawab, ia menoleh ke Riva dan Reva yang berdiri disampingnya. “Bisa
tinggalin kita berdua?” Reva siap memprotes, namun Diaz lebih sigap karena ia
tau apa yang ingin dikatakan Reva. “Berarti lo gila kalo mikir bahanya
ninggalin gue berdua sama Nalula, apalagi dalam kamar.”
Diaz
benar. Reva tak jadi protes. Justru ia menyodorkan gelas yang sejak tadi
ditangannya. “Makasih.” Diaz tersenyum menggoda. “Oiya, satu lagi.” Ujar Diaz
ketika si kembar telah sampai diambang pintu. “Tolong tutup pintunya ya.” Pinta
Diaz dengan sangat lembut membuat kening Reva berkerut. Riva hanya tersenyum
menanggapinya. Tapi tetap diturutinya permintaan Diaz meski dengan wajah gak
ikhlas.
“Jadi
lo yang dari tadi nungguin gue di depan?” tanya Nalula begitu Diaz kembali
menatap kearahnya.
Diaz
menghela napas. Disodorkannya teh manis hangat yang ada di tangannya. “Lo pasti
kepikiran kejadian semalem?”
Nalula
tak menjawab. Ia pun sengaja tak melihat ke mata Diaz ketika menyeruput
minumannya.
“Semua
udah tau tentang taruhan gila yang dilakukan Lingga dan Zagar.” Diaz berujar
lembut namun sarat akan kekecewaan. “Sesungguhnya taruhan itu gak adil buat
Lingga.”
Nalula
mengkerutkan keningnya. Menyalahkan pernyataan Diaz. “Yang seharusnya ngerasa
gak adil tuh gue.” Protesnya.
Diaz
tersenyum. Ada hal yang belum diketahui Nalula. “Nggak, Nal.” Kata Diaz tegas
sambil mengeleng. “Lingga pemenangnya. Tapi Lingga gak bisa mendapatkan seluruh
hadiah yang menjadi hak nya.”
Nalula
menyipitkan matanya. Semua yang dikatakan Diaz masih mengambang dibenaknya.
“Om
Bram menghadiahi Lingga kesempatan berlatih di sebuah akedemi terkenal di
Inggris.” Diaz memulai. “Dengan syarat, Lingga harus membawa Dipokar meraih
juara.” Terdengar cukup berat Diaz bercerita. Karena ia pun harus ikut merasa
kehilangan jika temannya itu benar-benar memilih pergi ke luar negeri.
Nalula
menatap Lingga lekat-lekat. Ia mencurigai sesuatu terhadap Diaz yang tia-tiba
terdiam. “Kapan Lingga berangkat?” tanya Nalula tegas.
Diaz
terlonjak kaget. Tak disangka Nalula langsung menghadiahinya pertanyaan yang
tak bisa diterka sebelumnya. “Satu jam lagi pesawatnya terbang.”
Nalula
cukup terperangah. Secepat itu kah? Pikir Nalula. Tanpa pikir panjang,
diletakkannya gelas itu di atas meja samping tempat tidur. Lalu Nalula bergegas
menuju lemari dan mengambil sebuah kaos dan membawanya ke kamar mandi. Gak
sampai semenit, Nalula sudah kembali keluar dengan memakai kaos yang baru saja
diambilnya.
“Lo
temenin gue nemuin Lingga.” Pinta Nalula meski terdengar setengah merintah. Ia
menatap Diaz sekilas sebelum meraih ponselnya diatas bantal, lalu segera menuju
pintu.
Diaz
yang tak bisa menolak, dan segera mengikuti langkah Nalula.
@@@
Tak
sampai setengah jam, Nalula sampai di bandara. Ia bergegas turun dati taksi
yang ditumpanginya. Dibelakangnya Diaz mengikuti. Ia menatap berkeliling.
Disampingnya,
Diaz mencoba menelepon seseorang. “Sial!” gerutunya. “Nomornya Lingga gak
aktiv.” Ucapnya pada Nalula yang langsung beranjak dari tempat itu. Diaz masih
terus mencoba menghubungi Lingga, sambil harus terus mengimbangi langkah Nalula
yang setengah berlari.
Sampai
akhirnya Nalula berhenti dengan tiba-tiba dan membuat Diaz sekuat tenaga
menghentikan langkahnya agar tidak menabrak tubuh Nalula. Namun usahanya
sia-sia. Meski tidak terlalu keras, namun tubuhnya tetap sedikit membentur
tubuh Nalula yang berdiri didepannya.
“Sorry,
Nal.” Ujar Diaz peruh rasa bersalah. Nalula yang diam membuat Diaz mencari tau
apa yang sedang ditatap Nalula dengan lekat. Beberapa meter di depan mereka,
Lingga berdiri juga menatap terpaku, terutama kepada sosok Nalula.
Perlahan
Nalula melangkah mendekat. Lingga terlihat mempersipakan diri. Kini jarak
mereka tidak sampai dari satu meter. PRAAKK… Sebuah hadiah tamparan mendarat
empuk di pipi kiri Lingga.
“Kenapa
lo gak nemuin gue?” pertanyaan Nalula memaksa Lingga menatapnya. “Masih kurang
kalian mempermainkan gue dengan taruhan tolol itu.” Suara Nalula penuh dengan
kekecewaan.
Sesaat
Lingga memalingkan wajahnya ka arah lain. “Gue kalah, Nal.” Ujar Lingga pelan.
Ada kesungguhan dalam matanya.
Nalula
siap kembali membuka mulut, namun Lingga mematahkannya sebelum Nalula sempat
berucap. “Gue kalah buat ngedapetin lo lagi.”
Nalula
tak habis pikir dengan apa yang terucap dari bibir Lingga. “Ga.” Nalula
memanggil ditengah keterpurukan hati Lingga. Namun yang bersangkutan tak
memberi respon. Nalula yang terlihat gemas, langsung memeluk Lingga dengan
cukup keras sehingga tubuh Lingga sedikit bergerak mundur. “Kasih gue alasan kenapa
lo ngelakuin ini ke gue.”
Jantung
Lingga berdegup dengan kencangnya. Ia mulai panic dan tak membalas pelukan
Nalula karena beberapa pasang mata mulai memperhatikan mereka, namun Nalula
tampak tak peduli dengan tatapan orang-orang disekitarnya. “Nal.” Bisiknya
pelan. Ia menatap berkeliling mencari Diaz yang tiba-tiba aja menghilang. “Diaz
gak ada.”
“Gue
gak peduli.” Balas Nalula enteng, masih dalam pelukan Lingga.
Terdengar
suara diudara menyebutkan pesawat yang akan ditumpangi Lingga akan segera berangkat.
Nalula
dapat merasakan gerakan yang dilakukan Lingga. “Gue gak akan ngelepasin pelukan
sebelum gue ngedapetin alasan yang gue cari dari lo.” Ancamnya. “Gak peduli
kalo lo harus ketinggalan pesawat.” Lanjutnya tanpa rasa berdosa.
Lingga
tersenyum lega. Barulah ia balas memeluk Nalula, bahkan lebih erat. “Sejujurnya
gue gak rela lo jatuh dipelukan siapapun. Termasuk Zagar. Tapi gue kasih
pertimbangan buat dia.” Ujar Lingga berusaha terdengar tanpa beban. “Gue bisa
sedikit tenang kalo lo sama Zagar.”
“Gimana
perasaan lo ke gue?” nampaknya Nalula belum ingin melepaskan Lingga begitu aja.
Lingga
terperangah mendapati Nalula mempertanyakan hal itu kepadanya. Lalu ia
tersenyum. Satu kebahagiaan terselip di dadanya. “Gue sayang lo. Dulu,
sekarang, dan gue mau selamanya perasaan gue tetep sama meski mungkin suatu
hari nanti lo gak bisa gue miliki.”
Rasanya
cukup meyakinkan dan gak berlebihan juga apa yang dikatakan Lingga. Nalula
melepaskan pelukannya.
Akhirnya,
Lingga terlepas dari tekanan pertanyaan yang diluncurkan Nalula. “Sekarang lo
udah puas sama jawaban gue?” Lingga balik bertanya meski sebenarnya ia kecewa
seiring terlepasnya pelukan Nalula.
Nalula
melipat tangannya di depan dada. “Kenapa lo segampang itu ngelepas gue ke
Zagar?” Ternyata Nalula belum selesai hanya sampai disitu.
Lingga
ikut melipat tangannya di depan dada. “Kata siapa?” Lingga cukup tegas bertanya
menandakan ia belum sepenuhnya kalah. Nalula menatap Lingga penuh minat.
“Sekarang mungkin dia bisa bernapas lega. Tapi setelah gue balik…” Lingga
sedikit member jeda di ucapannya. Ia menunduk untuk mendekatkan wajahnya ke
telinga Nalula. “Jangan harap kalian bisa pacaran dengan tenang.” Lanjutnya
melalui bisikan. Kemudian kembali menegakkan badannya.
Sebenarnya
Lingga mengancam, tapi Nalula tak merasakan itu sebagai ancaman. “Berani
ngelakuin itu?” Nalula menantang.
“Berani!”
Jelas saja Lingga menyambutnya dengan sukarela. “Walau harus ngebunuh Zagar
sekalipun.”
Nalula
mengangkat bahunya. Ia tak mau mengambil pusing dengan pernyataan terakhir
Lingga yang terdengar sedikit ekstrim.
“Jadi…”
Lingga memandang Nalula dengan tatapan menggoda. “Apa gue udah boleh pergi?”
tanya Lingga kerena cukup lama Nalula diam.
“Nggak!”
ucapnya tegas. Nalula menggeleng dengan jelas. “Sebelum lo terima ini.” Ancamnya
sambil menyodorkan sebuah jam tangan bermodel sport yang didominasi dengan
warna merah.
Lingga
tertegun melihatnya.
“Itu
hadiah terakhir dari bokap pas gue ulang tahun kemaren.”
Lingga
mendongak. “Kenapa malah lo kasih ke gue?” Dipandanginya Nalula dengan tatapan
bingung. “Itu pasti berharga banget buat lo.”
“Lo
pikir? Gue sempet gitu beliin lo hadiah buat kenang-kenangan? Lo mau pergi aja
gak ngasih tau gue.” Nalula sedikit sewot dan menyalahkan Lingga. “Endingnya,
gue kesini sama Diaz Cuma bawa diri.”
Lingga
tertegun mendengar nada bicara Nalula.
“Sekarang,
lo mau terima atau mau gue bunuh sebelum lo sempet bunuh Zagar duluan?” tanya
Nalula setengah mengancam. Meski maksudnya sama sekali bukan seperti itu.
Lingga
tersenyum. Tersenyum lepas. Samar-samar ia terlihat semabil menggeleng.
Rasanya, tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Nalula terhadapnya. Antara
beban dan bahagia, Lingga meraih jam itu dari tangan Nalula. Diperhatikannya
tiap detail dari jam itu. Namun seketika ia tersadar Nalula belum menarik
tangannya dan masih diposisi seperti tadi dengan bagian telapak tangan
menghadap ke atas. “Sekarang apa lagi?” tanya Lingga. Ia sangat ingin
memberikan apapun yang diminta Nalula.
“Seratus
ribu.”
Lingga
terperangah. “Hah?” Antara percaya dan tidak. “Buat apa?” Ia kembali bertanya
dengan suara hampir terbata-bata.
“Gue
udah gak punya duit lagi buat ongkos pulang ke apartemen.” Jawab Nalula dengan
polosnya. “Barang-barang gue kan masih di sana.” Lanjutnya dengan ekspresi
tanpa rasa berdosa.
Lingga
masih terperangah. Membuat Nalula terbahak karenanya. Sesaat Lingga masih
terdiam. Tidak lama, kemudian ia ikut tertawa menyadari kebodohannya yang
dengan mudah kembali dikerjai Nalula.
“Ternyata,
playboy kayak lo bisa juga dikadalin sama cewek.” Celetuk Nalula sambil
berusaha meredakan tawanya.
Tepat.
Lingga memang terkenal playboy, namun ia tak menapik hal ini. Lingga gak
berkutik di depan Nalula. Naluri playboynya runtuh seketika. Tapi justru ia
sama sekali tak menyesali. Kebahagiaan yang telah lama dinantinya : melihat
Nalula tertawa dan tersenyum untuknya. Ini akan dijadikannya hadiah kemenangan
terindah.
Sisa
tawa Nalula telah tergantikan dengan senyuman. Tanpa ragu, Lingga meraih kedua
tangan Nalula dan digenggamnya erat membuat cewek didepannya terdiam seketika.
Perlahan ia mulai mendakatkan wajahnya ke wajah Nalula sambil memejamkan mata.
Begitu pula yang dilakukan Nalula. Semakin lama semakin dekat. Lingga berniat
mencium kening Nalula. Namun bukan itu yang berhasil diraihnya. Sebuah benda
asing berhasil menghalanginya. Sontak Lingga membuka matanya.
Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah
Diaz yang melotot kepadanya sambil membentangkan Koran tepat di depan wajah
Lingga. “Kalo ampe lo berani nyium Nalula, sumpah lo bakal gue matiin!”
Ancamnya serius.
Lingga tertawa. Agak malu sih sebenernya
ketauan Diaz. Makanya, Lingga Cuma sanggup ngacak-ngacak bagian belakang
rambutnya seperti yang sering ia lakukan. Dan Nalula, tersenyum geli menanggapi
sikap Lingga yang kelewat salting.
@@@
Zagar terlihat bersandar di tiang depan
pintu masuk apartemen sambil memutar-mutarkan ponselnya dengan satu tangan.
Tampangnya terlihat cukup jenuh. Sampai akhirnya di kejauhan, ia melihat sosok
yang sejak tadi ditunggunya, Nalula yang bersama Diaz. Sontak, Zagar langsung
menegakkan posisi badannya. Zagar terlihat sama gugupnya ketika melihat Diaz
membisikkan sesuatu pada Nalula sambil sesekali melirik terhadapnya.
“Gue
bakal ngawasin lo dari dalam. Karena gue gak mau bener-bener kecolongan sama
apa yang nyaris Lingga lakuin ke lo tadi.” Ancam Diaz. Kemudian ia sedikit
mmepercepat langkahnya meninggalkan Nalula.
Ketika
berhadapan dengan Zagar, Diaz sempat berhenti sesaat untuk menepuk pundak
Zagar. Lalu kembali berjalan ke dalam.
Zagar
tanpa sadar memandang mengikuti arah langkah kaki Diaz. Ia menghela napas.
Kemudian berbalik dan sedikit terkejut mendapati Nalula yang kini berdiri
dihadapannya.
Nalula
menatap Zagar. Kegugupan jelas tersirat di wajah Zagar. Nalula mengusap-usap
kedua telapak tanagnnya. “Rasanya gak adil ya kalo Cuma Lingga yang nerima
hadiah dai gue.” Nalula berkata tanpa menatap Zagar. Pandangannya menjelajahi
pemandangan sekitar.
“Hmm..!!”
Zagar mengangkat salah satu alisnya. “Perasaan gue gak enak nih.” Tebak Zagar,
ketika melihat gelagat mencurigakan dari sikap Nalula. Lalu perlahan melepas
kacamatanya.
Nalula
tersenyum menggoda. “Feeling yang bagus.” Pujinya. Dan… PRAAAKKK…!!! Nalula
menampar pipi kiri Zagar sebelum cowok di depannya ini sempat merespon.
Zagar
terlihat terkejut sambil memegangi pipi kirinya. Nalula menunggu sambil melipat
tangan di depan dada. Ia sama sekali tak meminta maaf atau pun merasa bersalah.
“Kayaknya tamparan gue gak sesakit apa yang gue rasain gara-gara taruhan konyol
lo sama Lingga!” ucap Nalula tegas.
“Lo
boleh tampar gue sepuas lo.” Ujar Zagar sungguh-sungguh. “Dan gue sadar kalo
ide gila gue ini pada akhirnya bakal nyakitin lo. Karena itu, gue minta maaf,
Nal.” Tanpa di duga, Zagar merendahkan badan sampai akhirnya ia berlutut di
depan Nalula.
Nalula
mendorong pelan meski sedikit ada pemaksaan hingga Zagar terduduk. “Lo
apa-apaan sih!” Nalula langsung mengambil posisi duduk di samping Zagar.
Cukup lama
keheningan menguasai mereka.
“Konyol.”
Zagar menertawai kebodohannya. “Gue percaya sama Lingga seperti halnya Lingga
percaya sama gue kalo gue bisa ngejagain lo.”
Nalula
memperhatikan seseorang yang telah sedikit mengacaukan perasaanya. “Tapi posisi
lo gak bener-bener aman sekarang.” Ia seolah memperingatkan Zagar atas ancaman
yang diberikan Lingga.
“Bukan
sekarang.” Zagar membalas tatapan Nalula. “Tapi nanti.”
“This
is just a game.” Nalula tersenyum meremehkan. “Kalian gak bisa terpaku sama
hasil akhir pertandingan kemaren.”
Zagar
menghela napas. Sesaat, ia memalingkan wajahnya ke tempat lain sebelum akhirnya
kembali memandang Nalula. “Gimana perasaan lo ke Kharis?” Zagar berusaha
sedikit mengalihkan perhatian Nalula.
Nalula
menggeleng dengan cukup mantap. “Gak adil tiba-tiba gue ngusik kehidupan Kharis
sama kakaknya Danu. Dengan klaim, gue jatuh cinta sama orang yang selama ini
menjadi kakak buat gue.”
Mata
Zagar tak pernah lepas dari wajah Nalula yang entah kenapa, terlihat berbinar
menutupi rasa sakit ketika harus mengikhlaskan Kharis hanya akan menjadi
kakaknya.
“Itu
gak nyaman.”
“Sangat.”
Nalula tersenyum. Ia memandang hamparan langit luas yang seolah ikut tersenyum
bersamanya. “Lingga.”
Zagar
ikut mendongak bertepatan ketika sebuah pesawat melintas di atas mereka.
“Untuk
kedua kalinya, gue ditinggal sama cinta pertama gue.” Pengakuan yang cukup
menggelikan dari Nalula. tidak pernah sekalipun Nalula segamblang ini
mengutarakan perasaannya.
“Apa
itu adil?” Tanya Zagar yang tak ingin sedetikpun kehilangan momen untuk
memandang binar senyum di wajah Nalula. Meski Nalula masih menatap langit
tempat pesawat tadi menghilang.
“Harusnya
nggak. Tapi itu adil buat satu dari sekian banyak mimpi yang ingin
diwujudkannya.” Nalula menghela napas. Obrolan serius ini cukup menguras tenaga
dan emosinya. “Dan gue, hanya mimpi terpendam dari masa lalunya.”
“Gue
perhatiin dari tadi lo selalu ngebahas masalah keadilan.” Langit yang cerah.
Membuat Zagar tak punya alasan untuk mengabaikannya terlalu lama. “So, keadilan
apa yang udah di dapat Diaz dan keluarganya dari lo?”
“Pertanyaan
bagus.” Nalula tersenyum sambil menunggu Zagar kembali mengalihkan pandangan
padanya. Ketika Zagar telah menoleh, Nalula masih tersenyum sambil mengeluarkan
ponselnya. Ia mencari nama seseorang dikontak. Kemudian menempelkan ponselnya
ke telinga.
“Begitu
sampai Jakarta, gue mau ikut pulang ke rumah lo.” Ujar Nalula begitu ada respon
dari seberang sana. “Udah saatnya gue balik ke pelukan kalian.” Suara Nalula
terdengar lirih.
Zagar
cukup tercengang dan sedikit bertanya-tanya perihal seseorang yang baru saja di
telpon Nalula. Perlahan Zagar membalikkan badan. Tepat dibalik pintu kaca
dibelakangnya, Diaz berdiri mengawasinya dengan posisi ponsel ditempelkan di
salah satu telinganya.
Seseorang
yang baru saja dihubungi Nalula adalah Diaz. Diaz yang berdiri terperangah,
sama sekali tak bisa berkata-kata. Ia hanya sanggup membuka mulutnya. Sebuah
kebahagiaan yang amat sangat ia nantikan.
Zagar
berdiri melihat Diaz yang dengan susah payah melangkahkan kakinya menuju tempat
Nalula berada. Nalula yang menyadari perubahan ekspresi Zagar pun ikut berdiri
dan cukup tecengang mendapati Diaz yang kini berdiri dihadapannya.
“Lo
gak lagi bercanda kan, Nal?”
Nalula
hanya menggeleng untuk merespon ucapan Diaz. Ia menggeleng dengan
sungguh-sungguh. Tulus dari hatinya untuk bisa berkumpul dengan Diaz dan ibu
kandungnya. Diaz yang tak bisa menahan emosi kebahagiaannya, hanya dapat
memeluk Nalula dalam diam.
Nalula
membalas pelukan Diaz meski hanya dengan satu tangan. Sementara tanagnnya yang
lain, berkaitan erat dengan tangan Zagar. “Gue udah kehilangan papa, mama,
Lingga.” Ucap Nalula dalam pelukan Diaz. “Dan gue gak rela kalau harus
kehilangan nyokap kandung, dan lo.”
Baik
Diaz atau pun Nalula, sama-sama berusaha menahan tangis mereka agar tidak
jatuh. Perlahan Nalula menarik dirinya mundur seiring kedatangan Kharis,
Vindhya, Ilan, Reva, Riva, Danu dan para punggawa Rosengard yang lain. Setelah
melepas genggamannya terhadap Zagar, Nalula gantian memeluk Kharis. Hanya
sesaat dan tanpa sepatah kata pun. Nalula merasakan tangan seseorang mengusap
lembut lengannya. Itu bukan perbuatan Kharis, begitu menoleh ternyata yang
melakukan itu adalah Vindhya yang kini tersenyum manis kepadanya.
“Maafin
Nal ya kak.” Ucapnya lirih.
Vindhya
menggeleng. “Aku juga minta maaf ya, karena…” Vindhya tak ingin melanjutkan. Ia
menarik Nalula kepelukannya.
“Nal
sebenernya lo tuh pacaran sama siapa sih?” Suara Tegar yang tiba-tiba muncul,
mengacaukan suasana haru yang tengah terjadi.
Nalula
langsung melepaskan diri dan menoleh ke arah Tegar yang berdiri dibelakangnya.
“Kalo
ternyata lo terima cinta Lingga gara-gara Lingga menang taruhan, berarti lo
bohong donk waktu bilang udah jadian sama Zagar.”
Nalula
tercengang mendengar pertanyaan ajaib yang keluar dari mulut Tegar. Tapi
kemudian ia hanya tertawa menanggapinya. Membuat alis Tegar terangkat.
“Iya
deh ngaku.” Kata Nalula akhirnya. “Kemaren emang gue bohong, tapi itu bisa jadi
beneran kok.” Dengan ekspresi tersirat, Nalula menyindir Zagar dengan lirikkan.
Keberangkatan
Lingga yang tiba-tiba sudah diketahui seluruh punggawa SMA Rosengard.
Termasuk juga berita pertaruhan antara Lingga
dan Zagar. Dan sekarang, hampir seluruh pasang mata menatap Zagar.
Zagar
yang menyadari maksud dari tatapan orang-orang disekitarnya, meju selangkah
mendekati Nalula. “Kayaknya semua udah tau ya.” Sesaat, Zagar terlihat menghela
napas. “Jadi, gue langsung ke intinya aja.” Kata Zagar sambil melepas jam yang
melilit tangannya. Sebuah jam sport berwarna merah yang hampir setema dengan
jam yang diberikan Nalula kepada Lingga ketika di Bandara tadi. “Kalo lo terima
cinta gue, lo ambil jam ini.” Ujarnya penuh percaya diri sambil menatap Nalula
yang berdiri dihadapannya. “Tapi kalo nggak…” Zagar member jeda pada ucapannya.
“Terserah lo aja deh mau diapain nih jam.” Kali ini ucapannya terdengar pasrah.
Nalula
menoleh ke Diaz dan Kharis yang kini berdiri bersebelahan. Ia seolah meminta
pendapat tentang ‘penembakan’ yang dilakukan Zagar di hadapan hampir seluruh
punggawa SMA Rosengard.
Beberapa
mulai berseru. “Terima… Terima… Terima…” diikuti pula dengan yang lain membuat
suasanya sedikit ramai.
Nalula
memegang satu sisi tali jam itu. Sementara Zagar belum melepaskan tangannya
dari sisi lain jam itu. Ragu-ragu Nalula mulai menariknya. Namun Zagar seperti
belum rela atau hanya ingin mengerjai Nalula dengan tidak buru-buru melepaskan
jam itu.
Nalula kembali menoleh kepada kedua
kakaknya. Kali ini ia seperti meminta pertolongan. “Kak…”
Diaz langsung menngerti dan menunjukkan
tatapan mengancam supaya Zagar mau melepaskan jam itu. Genggaman Zagar terasa
mulai melemah, Nalula langsung berinisiatif untuk merebut dan langsung
dipakaikan di lengan kirinya. Sorak sorai kembali membahana setelah sebelumnya
tegang sesaat.
“Akhirnya, gue langsung dapet pengganti
jam yang gue kasih ke Lingga.” Ujar Nalula pelan ditengah ramainya suara-suara.
Lagi-lagi tersebut nama Lingga. Nalula tersadar dan langsung menoleh ke Zagar
yang kini berada di tengah-tengah kerumunan orang yang ingin mengucapkan
selamat padanya.
Vindhya, Reva dan Riva pun tak mau kalah
mengekspresikan kegembiraan mereka dengan mengerubungi Nalula yang tiba-tiba
saja tak bisa berkata-kata.
Kembali sebuah pesawat melintas. Dan
sontak saja membuat Nalula kembali mendongak. ‘Gue bukan terpaksa menerima
Zagar, tapi gue terpaksa kembali membiarkan Lingga membawa pergi cinta pertama
gue. Tapi sekarang, udah ada Zagar yang akan siap memberikan cinta yang lain
buat gue.’ Nalula berujar dalam hati sambil tersenyum geli.
@@@
LINGGA DI
DALAM PESAWAT…
Ia hanya sanggup memandangi satu-satunya
kenangan yang diberikan Nalula. “Gue gak sabar buat cepet-cepet kembali ke
Indonesia untuk gangguin kalian.” Kata Lingga sambil menertawai ide nakal
dibenaknya. “Jangan harap ya, kalian bisa pacaran dengan tenang.” Ancamnya pada
jam seolah-olah ia sedang berbicara pada Nalula. Lalu mencium jam itu. ‘Gue
sayang lo, Nal.’ Ujarya dalam hati.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar