Author :
N-Annisa [@nniissaa11]
Cast :
·
Son Chaeyoung
·
Adachi Yuto
·
Kang Hyunggu (Kino)
·
Jung Wooseok
·
Lee Hangyul
·
and other
Genre :
School Life, Romance, Drama
***
“Kami bahkan masih pelajar, tidak
mungkin kami sanggup membeli mobilmu.”
Yuto hanya mampu menghela napas
sambil melirik ke luar jendela balkon depan kelas yang mengarah ke parkiran
tempat mobil-mobil berjejer rapih. Karena keadaan yang mendesak, Yuto nekat
menjual mobil dan menawarkan ke beberapa orang yang berada sekelas dengannya.
Salah satunya adalah Kino.
“Wooseok-ah!” Teriak Kino saat
melihat sosok tinggi di ujung lorong.
Wooseok menghentikan langkah dan
mencari-cari sumber suara yang memanggilknya. Kino sampai melambaikan tangan
agar Wooseok menyadari keberadaannya. Begitu sudah melihat sosok Kino,
Wooseokpun melangkah mendekat. Wooseok sempat melirik ke tempat Yuto berada.
Seseorang yang asing namun ia ingat sempat melihat Yuto pagi tadi.
Kino menunjuk ke arah parkiran.
“Lihat mobil itu. Yang berwarna hitam. Kau mau membelinya tidak?”
Wooseok sempat mengikuti arah yang
dimaksud Kino. Namun sesaat kemudian ia menoleh lagi ke tempat Kino berdiri.
“Untuk apa? Aku jarang mengendarai mobil. Lagipula, sejak kapan kau menjual
mobil? Sudahlah, aku lapar sekali.” Sambil memegangi perutnya, Wooseokpun balik
badan dan pergi setelah sebelumnya berpamitan juga pada Yuto.
Setelah Wooseok menjauh, Kino
kembali menoleh ke tempat Yuto berada sekarang sambil mengangkat bahu seolah
menegaskan pada Yuto jika usahanya belum berhasil. Yuto sendiri hanya tertunduk
pasrah sambil berpikir keras apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan uang
dalam waktu cepat. Terlebih untuk hari ini.
“Atau kau beli saja ponselku.” Yuto
cepat cepat mengeluarkan ponselnya pada saku celana. Salah satu model ponsel
keluaran terbaru. “Kau boleh bayar berapapun sekarang dan lunasi sisanya
nanti.”
Kino hanya terperangah. Menatap Yuto
dari ujung kaki hingga kepala. Belum lagi mobil yang ditawarkan Yuto juga
termasuk mobil mahal. Dan terakhir ponsel. Kino sampai tidak sanggup
mengeluarkan sepatah katapun untuk merespon apa yang Yuto bicarakan. Sementara
tidak jauh dari sana, dibalik pilar itu sebenarnya Chaeyoung berada. Gadis itu
sudah di sana sejak Wooseok pergi beberapa saat tadi. Dan bisa dipastikan
Chaeyoung mendengar semua yang Kino dan Yuto bicarakan. Sampai akhirnya
Chaeyoung memunculkan diri karena Yuto terlihat terpaksa menjual ponselnya.
Kino sendiri akhirnya menghela
napas. “Kenapa kau…” Ucapan Kino terputus karena kedua pemuda itu sama-sama
menoleh karena menyadari jika ada seseorang yang datang dan menghampiri mereka.
Chaeyoung sempat bertatapan mata
dengan Kino selama beberapa detik, namun buru-buru ia alihkan pandangannya
karena ia khawatir akan terjadi sesuatu jika ia terlihat berinteraksi dengan
Kino di sekolah. “Bisa ikut aku?” Tanpa menunggu respon dari Yuto, Chaeyoung
sudah balik badan dan berjalan mendahului.
Sambil mengikuti Chaeyoung, Yuto
sesekali menyapukan pandangan ke sekeliling sekolah yang mulai ramai karena ini
sudah masuk jam istirahat makan siang. Tanpa ingin kehilangan jejak, Yuto
selalu mengakhiri tatapannya pada sosok Chaeyoung yang berjalan beberapa meter
di depannya. Namun saat ini tatapan Yuto justru jatuh pada tas bekal di tangan
Chaeyoung. Semakin mengingatkan kalau perutnya belum terisi apapun sejak pagi.
Mereka tiba di kantin sekolah yang
mulai ramai, namun Chaeyoung masih terus melangkah. Yuto yang memang tidak tahu
apa yang ingin ia lakukan saat istirahat siang ini tetap setia mengekori
Chaeyoung. Sementara tidak jauh di belakang Yuto, tampak Kino menyusul. Tujuan
Kino memang ke kantin juga, namun pemuda itu berbelok pada meja tempat Wooseok
sudah duduk bersama Eunwoo, Yugyeom dan Junyoung.
Ditempatnya berada, Wooseok sempat
menangkap sosok Chaeyoung bersama Yuto yang berjalan sedikit di belakang.
Kemudian Kino duduk dan mengambil tempat tepat di sebelah Wooseok. Wooseok
mendekatkan wajahnya pada Kino dan membisikkan sesuatu, “siapa pemuda tadi?”
“Anak baru dikelasku.” Kino menjawab
santai sambil merebut gelas jus milik Wooseok dan meminumnya tanpa meminta ijin
terlebih dulu. Teringat sesuatu, Kino mengedarkan pandangannya bahkan sampai
memutar badan agar bisa melihat area belakang kursi yang ia duduki.
“Kau mencari apa?” Wooseok bertanya
lagi dengan suara pelan.
Eunwoo, Junyoung dan Yugyeom yang
sebelumnya terlibat dalam sebuah obrolan, kini kompak menoleh melihat Kino dan
Wooseok yang sibuk dengan dunia mereka. Jelas saja ketiga pemuda dari kelas 3
itu penasaran dengan apa yang sebenarnya dibicarakan oleh Kino dan Wooseok.
“Kalo tidak ada cewek gila itu, aku
mau menyusul Chaeyoung. Dia sepertinya bawa makanan dari restoran.”
Brak!
Hangyul tiba-tiba muncul sambil meletakkan
piring makanannya dengan sedikit kasar hingga membuat suara benturan yang
sedikit keras. Membuat orang-orang yang berada dalam satu meja terkejut.
Junyoung bahkan sampai tersedak. Beruntung Eunwoo yang duduk disebelahnya
langsung menyodorkan air minum.
“Ah, maaf sunbae jika mengejutkan.”
Hangyul tidak langsung duduk, ia justru membungkuk dalam pada ke lima seniornya
di sekolah itu. Sesaat Hangyul menatap satu persatu—kecuali Kino—pemuda tampan
yang menghuni meja tersebut sebelum akhirnya duduk di seberang Kino. “Tapi ini
sebenarnya bisa dikatakan tim Surga atau tim Neraka?”
“Selamat bergabung di sini. Dan
sebentar lagi kau akan tahu ini tim seperti apa.” Eunwoo tampak merespon ucapan
Hangyul sambil mengangkat satu tangannya. “Aku Eunwoo.”
“Ah, iya. Tapi jelas aku mengenal
kalian semua. Namaku Lee Hangyul.”
“Kenapa makanmu sedikit sekali?”
Wooseok berkomentar karena melihat isi piring makan Hangyul.
Hangyul hanya menghela napas sambil
membandingkan piring makanan seniornya yang lain. Kecuali Kino yang memang
belum memesan makanan. “Kino, Hyung.”
“Hmm?”
“Bagaimana kalau pulang nanti kita
makan lagi di restoran Chaeyoung?”
“Maksudmu tempat Chaeyoung bekerja?”
Junyoung tampak bertanya.
Hangyul menoleh dengan tatapan
bingung. “Chaeyoung tidak be… akh!” Hangyul berteriak meringis karena merasakan
kakinya di tendang seseorang. Saat menoleh, ia mendapati Kino seolah memberikan
kode. “Kenapa kau, Hyung? Dengar ya.”
Hangyul menunjukkan ekspresi wajahnya yang serius. Ia bahkan sudah mengamankan
posisi kakinya sejauh mungkin dari jangkauan Kino. “Yang selama ini kalian
dengar itu tidak benar. Chaeyoung bukan pelayan restoran. Tapi pemilik.
Restoran itu milik orang tua Chaeyoung.”
Yugyeom melepaskan garpu dan sendok
dari kedua tangannya. Membiarkan dua alat makan itu membanting diri di atas
piringnya yang hampir kosong. Yugyeom mendongak karena bisa dipastikan kini
semua mata tertuju padanya. “Ayo cari cara untuk akhiri ini semua.”
Tidak ada yang langsung menjawab.
Eunwoo hanya menatap berkeliling, khawatir mereka sedang diawasi. Sementara
Kino langsung memainkan jari di atas keyboard
smart phone-nya. Hangyul yang sudah
ingin membuka mulut langsung ia batalkan karena merasakan ponselnya bergetar.
Ternyata ia diundang ke dalam sebuah grup chat
bersamaan dengan sebuah pesan dari Kino untuk semua penghuni grup tersebut.
Hangyul langsung mendongak bahkan sebelum ia sempat membuka isi pesan tersebut.
“Aku tidak bisa berfikir jernih
ketika perutku lapar.” Kino berdiri dan segera beranjak pergi seakan
menghindari tatapan teman-temannya perihal pesan yang ia kirimkan pada mereka
yang berad satu meja dengannya.
Kino : Ayo
bertemu di restoran Chaeyoung sepulang sekolah. Cari jalan berbeda agar tidak
dicurigai.
***
Lantai dua kantin termasuk tempat yang
sedikit lebih sepi. Hanya beberapa siswa laki-laki yang berminat menempati meja
kursi di sana karena suasana kantin yang lebih out door, hanya dengan atap penutup dan pagar pembatas. Berbeda
dengan lantai bawah yang full AC.
Belum lagi mereka harus membawa makanan pesanan mereka sendiri jika ingin
menempati area atas kantin.
Chaeyoung sudah duduk di salah satu
meja kosong. Menunggu Yuto sampai pemuda itu puas melihat-lihat sekelilingnya.
Chaeyoung tau Yuto salah satu siswa baru di sekolahnya. Menyadari Chaeyoung
sudah menunggunya, Yuto langsung menyusulnya dan duduk di depan Chaeyoung.
Tepat ketika gadis itu menyodorkan bekal makan siangnya ke arah Yuto. Yuto
hanya mendongak dengan tatapan bingung.
“Gara-gara aku dompetmu hilang. Dan
kalau kau sampai ingin menjual mobil, itu berarti kondisi keuanganmu
benar-benar kacau.”
“Tidak perlu merasa bersalah. Itu
kecelakaan. Lagipula aku hanya perlu ke Bank untuk mengurus semuanya.” Perlahan
Yuto mendorong kembali bekal makan siang ke arah Chaeyoung kembali.
Melihat itu, Chaeyoung buru-buru
mengulurkan tangannya. Menahan kotak bekalnya agar tetap lebih dekat dengan
Yuto. “Aku khawatir kau tidak bisa makan siang. Itu bekalku dari rumah, ku
harap kau menerimanya sebagai permohonan maaf dariku.”
“Benar ini untukku?” Raut wajah Yuto
berubah ceria. Seakan baru saja memenangkan undian. Yuto sudah mulai membuka
penutup wadahnya, namun kemudian ia terdiam seketika. “Lalu kau?”
“Ah, tidak usah dipikirkan.”
Chaeyoung sudah berdiri dan siap melangkah. Namun ia teringat ternyata
tangannya masih memegang botol air minum. “Ini juga untukmu saja.” Buru-buru
Chaeyoung meletakkan botolnya di hadapan Yuto lalu melanjutkan langkahnya.
Yuto hanya bisa memutar badan untuk
melihat punggung Chaeyoung yang semakin menjauh. Ingin berteriak, namun tidak
tau harus memanggil apa pada Chaeyoung karena Yuto tidak mengetahui nama gadis
itu. Seketika Yuto merutuki kebodohannya
yang tidak menanyakan nama. Bahkan ia tidak sempat melihat name tag pada seragam sekolah Chaeyoung.
Di saat yang bersamaan, Chaeyoung
bertemu seseorang. Langkahnya dihalangi orang tersebut yang ternyata adalah
Dokyeom. Chaeyoung yang sempat melihat name
tag Dokyeom langsung mendongak dan mendapati pemuda dihadapannya juga tak
kalah terkejut saat bertatap mata dengan Chaeyoung.
“Kau yang…”
Buru-buru Dokyeom membekap mulut
Chaeyoung menggunakan tangan dan memberikan tatapan mengancam. Tidak peduli
dengan tatapan orang-orang disekitar mereka. Salah satu diantara orang-orang
yang melihat kejadian itu adalah Jihyo.
“Anggap kejadian semalam bukan
apa-apa. Dan jangan coba-coba membocorkan hal ini pada siapapun.” Masih dengan
kilatan mata penuh ancaman. Sementara tangannya sudah terlepas dari mulut
Chaeyoung.
Namun Chaeyoung juga tidak ingin kalah begitu saja, meski tatapannya
hanya datar pada Dokyeom. “Kembalikan dompet temanku.”
“Tidak bisa,” Dokyeom berucap cepat
tanpa berfikir panjang. Ia lalu bergeser sedikit disamping Chaeyoung dan
bersiap meninggalkan gadis itu. Belum sempat melangkah, Dokyeom meraskan Chaeyoung
menahan tangannya. “Benda itu tidak ada padaku.” Dengan satu kali hentakan,
Dokyeom menyingkirkan tangan Chaeyoung dari lengannya.
***
Bel tanda pelajaran berakhir sudah
berdentang. Seluruh siswa yang berada satu kelas dengan Chaeyoung sontak bergegas
merapihkan perlengkapan sekolah mereka. Kecuali gadis itu yang justru langsung
mengeluarkan ponselnya dan sebuah buku catatan dari dalam tas.
Hangyul yang menyadari gerak-gerik
Chaeyoung langsung menegur gadis itu. “Kau tidak pulang?”
“Sebentar lagi. Aku harus mengurus
gaji para karyawanku dulu.” Chayoung berujar tanpa melirik sedikitpun ke tempat
Hangyul berada. “Kau duluan saja.”
Hangyul berdiri, lengkap dengan
ransel yang sudahh bertengger di punggungnya. Sesaat ia melirik ke tempat
Hwiyoung dan Taeeun yang kebetulan duduk dibelakangnya. Dua pemuda itu masih
merapihkan perlengkapan sekolah mereka namun belum juga selesai karena keduanya
sibuk bercanda. Hangyul yang malas menegur mereka lebih memilih untuk terus
berjalan meninggalkan kelas.
Yuqi menjadi salah satu yang masih
tersisa di kelas karena ia memang belum selesai membereskan perlengkapan
sekolahnya. Sementara Yukyung yang masih duduk menunggu Yuqi, duduk menyamping
di kursinya dengan arah pandangan lurus ke belakang. Ke tempat Chaeyoung yang
masih sibuk dengan dunianya sendiri.
Tanpa harus memastikan apa yang
dilihat Yukyung, Yuqi sudah bisa menebaknya. “Mau pulang bersamaku atau
Chaeyoung?”
Saat Yukyung menoleh, Yuqi sudah
dalam posisi berdiri. Lengkap dengan ransel dipunggunggungnya sambil menunggu
Yukyung meneresponnya. Yukyung sendiri hanya menghela napas agak berat kemudian
lebih memilih untuk berdiri sambil melirik ke tempat Chaeyoung berada dengan
tatapan sedikit merasa bersalah sebelum akhirnya benar-benar menyusul Yuqi
meninggalkan ruangan kelas.
Beberapa saat setelah Chaeyoung
menjadi orang terakhir yang berada di ruang kelasnya, ponsel gadis itu menerima
sebuah panggilan dari nomor milik Dongju. Chaeyoung menyangkutkan handsfree ke telinganya dan meninggalkan
sesaat pekerjaannya untuk menerima panggilan dari adiknya.
“Ya, Dongju.” Chaeyoung terdengar
menyapa lalu tidak lama gadis itu terdiam beberapa saat hanya untuk
mendengarkan suara Dongju yang memberitahukan hal penting. “Benarkah?”
Chaeyoung kembali bertanya untuk memastikan sesuatu. Seketika senyum tipisnya
mengembang. Tanpa pikir panjang, Chaeyoung langsung memutuskan kontaknya dengan
Dongju dan bergegas membereskan beberapa barangnya yang masih berceceran di
meja. Setelah di rasa semua barangnya sudah masuk ke dalam tas, Chaeyoung
menutup resleting ranselnya sambil berdiri dan segera melangkah pergi
meninggalkan kursinya. Gadis itu bahkan tidak menyadari jika masih ada satu
barangnya yang terjatuh dan tertinggal di bawah kursinya.
Dengan langkah cepat, Chaeyoung
menyeberangi lapangan sekolah menuju gerbang. Berkejaran dengan siswa yang
lain. Di waktu yang bersamaan, dan berada tidak jauh dari gerbang sekolah,
tampak mobil sport milik Yuto
terparkir. Tepat disamping mobil tersebut terlihat Yuto menyerahkan sebuah
kamera pada salah satu siswa di sana. Sementara pemuda itu menyerahkan uang
tunai pada Yuto yang jumlahnya tidak sedikit.
“Kalau ada yang ingin kau jual lagi,
bilang saja padaku.”
Yuto terkejut saat pemuda tadi
menepuk pundaknya karena saat itu mata Yuto menangkap sosok Chaeyoung yang
melintasi gerbang sekolah menuju halte bus. “Oke, thanks. Nanti ku kabari lagi.” Setelah berpamitan, Yuto bergegas
masuk ke dalam mobil dan berniat mengejar Chaeyoung. Namun gadis itu sudah
lebih dulu melesat masuk ke dalam bus yang tiba bersamaan.
Yuto mengendarai mobilnya tepat di
belakang bus. Benar-benar membuntuti bus yang ditumpangi Chaeyoung. Chaeyoung
sendiri sudah turun dari bus dan sudah sedang berjalan keluar dari halte. Yuto
tetap membuntuti pelan-pelan sebelum akhirnya berkendara dengan mensejajarkan
langkahnya dengan Chaeyoung sambil membuka jendela mobil.
“Kau mau ke mana? Biar ku antar.”
Chaeyoung menoleh sambil sedikit
menundukkan kepalanya untuk melihat seseorang yang berada di dalam mobil
tersebut. “Ah, tidak perlu. Aku juga sudah sampai.” Chaeyoung menunjuk gedung
restorannya yang berada di belakangnya. Tanpa menunggu respon dari Yuto,
Chaeyoung sudah berdiri tegak kembali dan melangkah masuk ke dalam restorannya.
Yuto masih berada di dalam mobil,
sedikit menundukkan kepala untuk memastikan mereka memang benar sudah berada di
depan restoran milik keluarga Chaeyoung. Teringat ia sudah berhasil menjual
kameranya, Yuto langsung membelokkan mobilnya ke dalam area parkiran restoran. Bergerak
secepat mungkin, Yuto sampai setengah berlari mengejar Chaeyoung yang sudah
menghilang ke dalam restoran. Tidak lupa Yuto juga membawa kotak bekal milik
Chaeyoung. Yuto memilih untuk menuju ke meja kasir yang dijaga oleh salah satu
karyawan restoran.
“Kau tahu seorang gadis yang memakai
seragam sekolah yang sama denganku? Tadi dia masuk ke dalam sini tapi…” Yuto
sengaja menggantung ucapannya karena ia tidak melihat sosok Chaeyoung di sana
meski ia sudah mengedarkan pandangan berkeliling.
“Ada apa mencari Noona-ku?”
Yuto membalikkan badan dan mendapati
sosok pemuda kembar berdiri tidak jauh dibelakangnya. Dongju dan Dongmyung
tampak muncul bersamaan meski dari arah yang berbeda.
“Noona
sedang ada tamu. Nanti saja kalau ingin bertemu.” Dongju bicara dengan nada
cuek sambil berjalan dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Dongju berjalan mengitari meja tinggi lalu mengambil tempat tepat di belakang
alat kasir.
Sementara ditempatnya berdiri,
Dongmyung memperhatikan sosok Yuto dari ujung kepala hingga kaki. Dibagian
hidung Yuto sendiri masih tampak sebuah plester tertempel di sana.
“Aku ingin mengembalikan ini.” Yuto
mengangkat kotak bekal milik Chaeyoung yang masih berada ditangannya.
“Berikan saja pada…”
Yuto menarik kembali kotak bekal
ditangannya sebelum Dongju lebih dulu merebutnya. “Aku ingin mengembalikan
langsung pada Noona mu itu.”
“Ah, Hyung. Kau yang malam itu, bukan?” Dongmyung baru teringat tentang
Yuto yang malam itu dompetnya dicuri seseorang. Yuto hanya merespon dengan anggukan
karena ia masih merasa kagum dengan dua anak kembar yang kini dihadapannya.
“Ijinkan aku mentraktirmu malam ini, Hyung.”
“Ah, tidak perlu. Lagipula…”
“Ini dia yang aku ceritakan tadi.”
Suara keras Kino membuat Yuto tidak melanjutkan ucapannya. Kino datang bersama
Wooseok, Yugyeom, Junyoung dan Eunwoo yang menyusul tidak jauh dibelakangnya.
“Kau. Hmm, siapa namamu? Yuto? Kau tadi mau menjual ponsel? Apa masih berlaku?
Temanku ada yang bersedia membantu.”
Tidak jauh dibelakang Kino, tampak
Eunwoo sempat melirik ke tempat Wooseok berada. Keduanya tidak sengaja saling
melempar tatapan sambil mengangguk. Seolah membenarkan ucapan Kino.
Yuto tertawa canggung mengingat
tidak mungkin ia menyerahkan ponsel satu-satunya yang ia miliki. Terlebih tadi
ia sudah mendapatkan sejumlah uang dari hasil menjual kamera. “Bagaimana kalau
aku tawarkan barang lain. Mobil, jam tangan, atau mungkin televisi?”
Wooseok melirik sebuah jam tangan
yang melingkar di pergelangan Yuto. Hanya melihat sekilas saja sudah jelas
pemuda itu tidak memakai barang sembarangan. Sementara di tempatnya berdiri
sekarang, Dongmyung tampak melempar tatapan pada Dongju sambil mengisyaratkan
sesuatu melalui ekspresi wajah. Dongju hanya memasang ekspresi kesal karena ia
tidak mengerti maksud Dongmyung. Lebih tepatnya tidak ingin mengerti apalagi
menyetujui maksud Dongmyung padanya.
“Hyung.
Dongju akan membeli tivimu. Kebetulan tivi di rumah kami rusak karena Dongju
bermain sepakbola di dalam rumah.” Dongmyung berusaha melawan serangan Dongju
yang tentu saja ingin menghentikan Dongmyung. Beruntung mereka terhalang sebuah
meja hingga tidak terjadi sesuatu yang lebih dari itu.
“Kalian berikan alamat kalian. Nanti
akan aku antar ke rumah kalian.”
“Setuju.” Dongmyung mengulurkan
salah satu tangannya yang terkepal sebagai tanda kesepakatan, tepat sesaat
setelah Dongju sudah berhenti menyerangnya.
Yuto membalas kepalan tangan
Dongmyung dengan membenturkan kepalan tangannya, pelan. “Berikan aku kertas dan
pulpen. Aku tunggu di sana.” Yuto menunjuk ke arah samping. Ia juga sempat
berpamitan lewat gerakan mata pada Kino dan yang lain sebelum berjalan menuju
salah satu meja kosong.
“Hyung,
kalian ingin makan?” tegur Dongmyung pada Kino dan yang lainnya.
Kino sedikit memajukan wajahnya
hingga sejajar dengan telinga Dongmyung untuk membisikkan sesuatu. “Sebenarnya
kami butuh ruang VIP, bisa?”
Dongmyung tertawa mendengar ucapan
Kino yang kini juga ikut terkekeh, membuat orang-orang disekitar mereka saling
tatap dengan ekspresi wajah bingung. “Mau sambil main billiard?”
Mendengar Dongmyung menyebut kata
billiard, sontak Wooseok menyeruak hingga kini berdiri tepat di dekat
Dongmyung. “Kalian menyediakan tempat seperti itu?”
Dongmyung hanya merespon dengan
anggukan.
“Waah, itu terdengar keren.”
Junyoung terdengar berkomentar. “Yugyeom bisa membayarkannya untuk kita.”
Junyoung melakukan hi-five dengan
Eunwoo ketika Yugyeom hanya bisa menunjukkan ekspresi bingung setelah berhasil
dikerjai oleh Junyoung. Yugyeom memang salah satu pemuda yang cukup pendiam
diantara mereka.
“Tenang semua. Wooseok yang akan
membayarkan karena…hmp!” Ucapan Kino terhenti karena Wooseok sudah lebih dulu
membekap mulutnya. Membuat Kino justru semakin keras tertawa setelah berhasil
melepaskan tangan Wooseok dari mulutnya.
***
“Jadi, sebenarnya siapa Chaeyoung?”
Yuqi dan Yukyung yang tampak baru
keluar dari sebuah kedai minuman, terkejut dengan pemandangan di depan mereka.
Sudah ada Mina dan Dayoung menunggu mereka, kecuali Jihyo yang berdiri sedikit dibelakang
dan terlihat tidak ingin ikut campur dengan apa yang mereka bicarakan.
Yuqi sempat melirik ke tempat
Yukyung berada dan Yukyung hanya menunjukkan ekspresi bingung. “Apa maksud
kalian?”
“Aku menemukan ini.” Dayoung
mengeluarkan sesuatu dari dalam jas sekolahnya. Sebuah buku tabungan salah saru
Bank swasta di Korea. Dayoung sampai membuka halaman pertama yang berisi
identitas pemilik buku tersebut. “Hebat sekali teman kalian memiliki uang
sebanyak ini. Bukankah dia hanya pelayan…” Dayoung tidak melanjutkan kalimatnya
karena Yuqi lebih dulu menyambar buku tabungan tersebut.
Terlihat Yuqi dikuasai sedikit emosi
sambil membuka lembar demi lembar hingga sampai di halaman terakhir yang
tertera sebuah nominal angka yang tidak bisa dikatakan sedikit. Sampai di angka
ratusan juta.
“Tapi itu bisa saja pemberian
pacarnya. Bukannya pacarnya itu tinggal di apartment yang sama denganmu kan, Eonnie? Berarti pacarnya adalah
seseorang yang sangat kaya.”
Mina melipat kedua tangannya di
depan dada sambil mengangguk, membenarkan ucapan Dayoung. Jelas saja ia akan
memihak pada Dayoung. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, Yuqi melempar buku
ditangannya tepat ke badan Dayoung. Yukyung yang ikut terkejut ingin merebut
kembali, namun kalah cepat dari Dayoung yang langsung menyelamatkan benda itu.
Beruntung Yukyung tidak bisa memaksanya karena Yuqi menarik tangannya untuk
membawa Yukyung pergi dari sana.
“Sudahlah, hentikan semuanya.” Suara Jihyo
menginterupsi kedua temannya yang seakan sedang melakukan selebrasi karena memenangkan
sesuatu. Berbeda dengan Jihyo yang justru tidak ingin melakukan hal serupa.
“Aku bahkan semakin tidak bisa dekat dengan Yugyeom.” Jihyo menegakkan badannya
dan mulai melangkah ke arah yang berlawanan dengan Yuqi dan Yukyung.
“Paling tidak sudah tidak ada yang
bisa mendekati Yugyeom. Ya! Jihyo!” Mina berteriak agar Jihyo berhenti karena
ia sendiri tidak berniat menyusul Jihyo. Mina bahkan menahan Dayoung untuk
tidak mengejar Jihyo. “Biarkan saja.”
***
Kino berjalan memimpin teman-temannya
menuju area lantai 2 restoran. Dengan ruangan terbuka di sebelah kiri yang
langsung berbatasan dengan pagar pembatas yang berada di dalam dan bisa melihat
ruang makan lantai 1 dari sana. Di ujung ruangan juga terdapat sebuah pintu
yang mengarah ke area balkon luar dengan jendela kaca besar yang membatasi, dan
satu ruangan lagi dengan jendela yang tertutup tirai dari dalam. Sementara
ruangan tersebut tersedia dua meja billiard.
Wooseok berjalan mendahului Kino
hanya untuk melemparkan ranselnya ke atas sofa panjang di dekat pagar pembatas
tangga sebelum menuju dekat jendela untuk mengambil stick billiard. “Mau satu lawan satu atau main tim?”
Yugyeom menyentuh pundak Eunwoo yang
sedikit menghalanginya. “Kalian saja yang main. Nanti aku yang pesankan
makanan.” Ketika Eunwoo menyingkir, Yugyeom menyeruak ke depan dan mengambil
tempat untuk duduk di sofa sambil mengambil sebuah majalah olahraga yang
tergeletak di atas meja panjang di depan sofa. Kino, Junyoung dan Eunwoo
masing-masing ikut meletakkan ransel mereka ke atas sofa di dekat Yugyeom.
Kino berjalan menuju meja billiard
yang berbeda dengan tempat Wooseok berdiri saat itu. “Aku ingin menantang
Junyoung Hyung. Kalau kau kalah,
ceritakan sebuah rahasia padaku, oke?”
Junyoung hanya mendengus kesal.
Tentu ia akan menerima tantangan Kino yang terkenal jahil itu. “Dasar anak
licik.” Ucapan Junyoung justru membuat Kino semakin terkekeh geli, terlebih
pemuda itu menyusul Kino menuju meja billiard dan mengambil salah satu stick billiard.
“Sepertinya seru juga jika aku
mengetahui satu hal tentangmu.” Eunwoo yang masih berdiri di dekat sofa,
menenggelamkan kedua tangannya ke saku celana. Sementara tatapannya tidak lepas
dari tubuh tinggi Wooseok yang tampak sudah bersiap untuk menghancurkan sususan
rapih bola-bola billiard yang berada di tengah meja.
Junyoung sudah terlihat memulai
pertandingannya dengan Kino saat tubuh tingginya sedikit membungkuk untuk
menghantam bola menggunakan stick
billiard di tangannya. Kino yang memahami arah bicara Eunwoo untuk Wooseok,
kembali terkekeh. Wooseok dan Kino memang kerap kali berbagi cerita tentang hal
apapun.
“Padahal aku ingin aku yang
membongkar hal itu.”
Wooseok menoleh dengan menunjukkan death glare-nya untuk Kino. Membuat Kino
semakin tidak kuasa menahan tawanya.
***
Takuya Onni-chan
: aku sudah kirimkan melalui e-mail. Jangan lupa kau lihat.
Yuto mengacak rambutnya, frustasi.
“Aku hanya ingin mencari ibu dan Yasuo Onni-chan.
Kenapa harus berurusan dengan wanita iblis itu juga?”
Sepintas tampak seorang wanita paruh
baya dengan seragam koki melintas dan berjalan cukup cepat lalu menghilang di
balik pintu yang mengarah ke dapur. Yuto nyaris berdiri karena entah mengapa
tiba-tiba ada hal yang membuatnya penasaran. Padahal Yuto bahkan tidak melihat
wajah wanita itu. Namun sudah lebih dulu seorang pelayan datang membawakan
pesanannya. Yuto langsung meneguk air mineralnya.
Belum sempat Yuto kembali berdiri,
kali ini ponselnya berdering dengan sebuah panggilan dari Takuya. “Yaa, Hyung.”
“Hahahaha.”
Terdengar suara tawa seseorang dari seberang sana.
Yuto mengerutkan keningnya, lalu
menatap layar ponsel. Ada yang aneh dengan kakak tertuanya. Yuto tidak
menyadari jika ia memanggil Takuya dengan embel-embel ‘Hyung’, bukan ‘Onni-chan’
seperti yang selama ini ia ucapknya untuk Takuya. Menyadari itu, Yuto hanya
menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
“Kau
sudah benar-benar menjadi orang Korea sekarang.”
“Aku hanya harus membiasakan panggilan itu. Maaf aku tidak sengaja.”
Takuya tidak berhenti tertawa.
“Tidak apa-apa. Hmm, apa sudah kau lihat e-mail
ku?”
Yuto sampai membatalkan niatnya
untuk menyuap makanan karena pertanyaan Takuya. “Aku bahkan belum sampai
rumah.”
“Lalu
kau di mana? Bukankah seharusnya kau sudah pulang sekolah.”
“Iya aku sedang makan malam sebentar. Setelah itu aku pulang.
Restorannya tepat di seberang apartmen.”
“Rumah
yang ditempati iblis betina itu seharusnya milik ibu. Bukan seharusnya, tapi
memang milik ibu.”
Yuto sontak tertegun. Mendadak nada
bicara Takuya berubah serius. Yuto melepas sendok makan ditangannya. Mendadak
nafsu makannya hilang. Yuto menghela napas sambil memijat pelan keningnya.
“Lalu aku harus apa? Aku baru dua hari di sini. Dan bahkan jalanku untuk
menemukan ibu masih sangat panjang.” Tanya Yuto dengan nada frustasi.
“Aku
tidak menyuruhmu melakukan apa-apa. Ibu juga tidak akan suka kalau kita merebut
rumah itu lagi. Tapi, kau bolah lakukan apapun yang kau mau pada mereka.”
Yuto mengepalkan tangannya yang
berada di atas meja. Mencerna sekaligus cukup terpengaruh dengan nada bicara
Takuya.
“Kau
pasti tidak akan membiarkan mereka hidup tenang sementara kau tidak tahu
bagaimana nasib ibu dan kakakmu, Yasuo.”
“Baiklah aku pulang sekarang.” Yuto
berdiri sambil memutuskan sambungan secara sepihak. “Maaf, aku minta tolong
makanan ini dibungkus,” ujarnya pada salah satu pelayan yang kebetulan
melintas. Yuto kemudian berjalan menuju meja kasir untuk membayar semua
pesanannya. “Aku titip ini untuk Noona-mu.”
Yuto meletakkan kotak bekal yang siang tadi diberikan Chaeyoung padanya.
“Sekalian aku ingin membayar pesananku.”
Dongju yang menjaga meja kasir
langsung memeriksa total tagihan milik Yuto. “Bukankah kau baru datang?” Tanya
Dongju heran karena ia pikir Yuto menghabiskan seluruh makanannya dalam sekali
suapan.
Yuto mengangguk sambil mengeluarkan
beberapa lembar uang dari saku celananya. “Aku ada sedikit urusan. Jadi
terpaksa aku bawa pulang makanannya.”
“Ini makananmu, Hyung.”
Dongju dan Yuto menengok bersamaan
ketika Dongmyung datang membawa bungkusan berisi makanan milik Yuto. Setelah
Yuto menerima bungkusan tersebut, Dongmyung memberikan sesuatu lagi padanya.
Sebuah kertas yang terlipat.
“Ini alamat rumah kami.”
Yuto dan Dongmyung saling tersenyum
penuh rahasia. Dibalik itu semua, Dongju menjadi satu-satunya orang yang tidak
senang melihat senyum keduanya. Bagaimana tidak, jika Yuto benar-benar datang
membawa televisi miliknya, tentu Dongju harus mengeluarkan sejumlah uang
seperti apa yang dikatakan Dongmyung kalau dirinya merusak televisi.
Tidak lama setelah Yuto meninggalkan
restoran, Dongmyung berniat kembali kea rah dapur, namun di sana ia bertemu
dengan Chaeyoung bersama seorang pemuda, Kogyeol. Mereka baru saja memunculkan
diri dari dalam sebuah ruangan, bersebelahan dengan pintu dapur.
“Dongmyung!” Suara Chaeyoung menghentikan
langkah Dongmyung tepat di depan mereka. “Besok Kogyeol Oppa akan mulai bekerja di sini, kamu tolong bantu dia ya.”
“Siap, Noona.” Dongmyung melakukan pose hormat sebelum akhirnya kembali
melanjutkan langkahnya menuju dapur.
“Chaeyoung-ah, terima kasih banyak
atas semuanya. Maaf aku terlibat mencelakaimu waktu itu.”
Chaeyoung meninju pelan lengan
Kogyeol. “Aku sudah melupakan kejadian itu. Jangan bahas lagi, oke.”
Kogyeol tertawa canggung. “Kalau
begitu aku pamit.”
Chaeyoung mengangguk sebelum Kogyeol
balik badan dan bersiap meninggalkan restoran. “Ah, Oppa. Di hari Sabtu aku akan datang siang. Kalau butuh sesuatu cari
saja Dongmyung atau Dongju.”
Kogyeol kembali mengangguk sebelum
akhirnya benar-benar berjalan meninggalkan restoran. Chaeyoung sendiri
memililih kembali ke ruangan yang bisa dikatakan seperti kantor. Sebuah ruangan
dengan meja kursi selayaknya ruangan pimpinan di sebuah perusahaan, lengkap
dengan lemari tanpa pintu yang berisi penuh dengan deretan dokumen. Sementara
itu di sisi lain ruangan terdapat dua buah sofa panjang yang diletakkan
membentuk sudut dengan meja berbentuk oval di tengah-tengahnya. Diatas sofa
tampak penuh dengan bantalan sofa yang bertumpuk dengan ransel dan seragam
sekolah milik Dongmyung dan Dongju.
Chaeyoung menutup pintu
dibelakangnya, sedikit melakukan peregangan sampai akhirnya ia menemukan
sesuatu di kolong kursi. Chaeyoung mendekat dan berjongkok untuk mengambil
benda tersebut yang ternyata adalah sebuah dompet laki-laki.
“Apa ini milik Kogyeol Oppa?”
Untuk memastikan siapa pemilik dompet tersebut, Chaeyoung memberanikan
diri membukanya. Yang ia temukan justru sebuah foto. Laki-laki dan perempuan
berseragam SMA. Yuto bersama seorang gadis bernama Sana. Chaeyoung bergegas
melesat meninggalkan ruangan tersebut. Ia teringat bertemu Yuto tepat ketika ia
baru saja sampai di restoran. Chaeyoung hanya bertemu dengan Dongmyung yang
duduk di belakang meja kasir.
“Pemua yang dompetnya dicuri kemarin itu, apa dia datang ke sini?”
“Dia hanya membeli makanan dan
mengembalikan kotak bekalmu, Noona.”
Dongmyung bicara tanpa mengalihkan tatapannya pada layar monitor. Tidak lama
Dongju kembali dan memaksa Dongmyung berdiri dan pergi dari kursi yang biasa ia
tempati. Dongmyung terpaksa berdiri dengan menujukkan ekspresi kesalnya.
Chaeyoung memberikan dompet milik
Yuto ditangannya kepada Dongmyung. “Tolong cari identitas pemilik dompet ini.
Aku tidak berani membukanya.”
Ditempatnya berada, Dongju hanya
melirik sekilas interaksi antara Chaeyoung dengan Dongmyung tanpa ada minat
sedikitpun untuk tahu lebih. Banyak hal yang lebih penting untuk ia kerjakan.
“Hahahaha.”
Chaeyoung mendongak dengan ekspresi
bingung karena tibat-tiba mendengar suara orang tertawa. “Ada siapa di atas?”
Gadis itu hanya melihat bagian punggung seseorang yang bersandar pada pagar
pembatas.
“Kino Hyung dan teman-temannya.” Dongju yang tampak menjawab sambil
berdiri dan meninggalkan tempatnya lagi.
“Apa Hangyul juga ada?” Chaeyoung
bertanya.
Dongmyung menggeleng. “Tidak ada.”
Pemuda itu masih sibuk membongkar isi dompet milik Yuto. “Nama pemilik dompet
ini Adachi Yuto. Dan semua identitasnya beralamat di Jepang. Tapi sudah tidak
ada uang cash.” Dongmyung sudah membereskan
kembali isi dompet Yuto ke tempatnya semula. “Noona kau dapat ini dari mana?”
“Sepertinya itu ada pada Kogyeol Oppa.”
Chaeyoung mengeluarkan ponselnya
dari saku rok dan mengetikkan sebuah pesan untuk kontak milik Kogyeol.
***
Yugyeom bersandar di pagar pembatas
restoran dengan segelas jus jeruk di tangannya. Ia menatap ke bawah dan tepat
ketika Chaeyoung melintas dengan langkah sedikit tergesa-gesa. Sambil menikmati
minumannya, Yugyeom tidak mengalihkan tatapan pada Chaeyoung. Sementara itu
sedikit kehebohan terjadi antara mereka-mereka yang bermain billiard.
“Hahahaha.” Tawa Junyoung dan Eunwoo
terdengar pecah membuat perhatian Yugyeom pada Chaeyoung sedikit teralih.
Yugyeom menoleh tepat ketika
Chaeyoung juga mendongak ke tempatnya berada. Yugyeom mendapati wajah-wajah
suram antara Kino dan Wooseok yang kalah dari Junyoung serta Eunwoo.
“Kalian sama saja bunuh diri kalau
mengajak Eunwoo bertanding,” kata Yugyeom.
Wooseok menendang kaki meja billiard
sebagai ekspresi kekesalan. Namun tentu tidak benar-benar ingin ia rusakkan. Kino
sendiri yang juga mengalami kekalahan dari Eunwoo tampak menelungkupkan
wajahnya diatas meja billiard. Junyoung sampai menepuk-nepuk kepala Kino untuk
menghibur pemuda itu.
“Aah! Aku ingin ke toilet dulu.”
Kino menegakkan tubuhnya kembali kemudian berjalan lunglai menuju tangga.
“Jangan mulai tanpa aku.”
Eunwoo mengambil tempat duduk di
salah satu sofa dan mulai menyeruput jus jeruk miliknya. Junyoung bergabung
kemudian menikmati makanan pesanan mereka yang belum lama diantar.
“Wooseok, ayo makan duu.” Yugyeom
terlihat menepuk pelan pundak Wooseok sambil mengajaknya bergabung.
“Hangyul tidak ikut ke sini?” Tanya
Eunwoo ketika Wooseok sudah duduk di sebelahnya.
Tidak ada yang menjawab karena
Junyoung sudah memenuhi mulutnya dengan makanan. Wooseok dan Yugyeom hanya
mengangkat bahu mereka tanda tidak tahu. Sesaat mereka tenggelam dalam
kesibukan masing-masing menikmati makanan mereka. Beberapa saat kemudian
terdengar langkah kaki—lebih dari satu orang—menaiki tangga. Kino memunculkan
diri bersama Hangyul menyusul di belakangnya.
***
Yuto membanting pintu di
belakangnya, berjalan tergesa-gesa. Ia bahkan sampai melempar ranselnya
sembarangan ke atas sofa. Beruntung bukan makan malamnya yang terlempar. Yuto
melesat ke kamar, dan hanya mengambil laptop yang kemudian ia bawa ke atas meja
makan. Perutnya sudah sangat lapar. Sambil menunggu laptopnya menyala, Yuto
menyiapkan makanan yang ia beli dari restoran Chaeyoung.
Jari-jari tangan Yuto bergerak-gerak
diatas keyboard laptopnya. Masuk ke layanan e-mail.
Seperti apa yang Takuya katakan, pemuda itu mengirimi semuah file melalui e-mail. Yuto langsung men-download
file tersebut dan membuka untuk melihat isinya. Sebuah data diri seorang
wanita paruh baya bernama Lee Yura. Data berupa biodata, lengkap dengan nama
suami, anak-anak sampai keluarga.
“Keigo Nishimoto.” Yuto bergumam
pelan.
Jari pemuda itu tidak berhenti
bergerak. Kali ini membawanya pada orang berikutnya. Seorang gadis berusia satu
tahun diatasnya bernama Myoi Mina. Melihat ada informasi berupa akun social
media milik Mina, Yuto mengeluarkan ponselnya dan mencari akun tersebut. Yuto
mengangkat ponselnya bersejajar dengan layar monitor laptopnya. Melihat satu demi
satu foto yang ia temukan. Mengabaikan hal itu sesaat, Yuto melanjutkan
penjelajahannya. Dan terakhir ia menemukan foto seorang pria yang diketahui
adalah suami dari Lee Yura. Keigo Nishimoto.
“Ayah.” Yuto berujar pelan. “Akh!”
Yuto membanting ponselnya ke lantai. “Susah payah aku menghindar, ternyata anak
itu justru satu sekolah denganku.”
Yuto berdiri. Tangannya terulur dan
berniat untuk menutup layar laptopnya. Namun niatnya terhalang karena mendengar
ponselnya berdering. Yuto menunduk dan mendapati benda itu berada di kolong
meja dengan kondisi retak di beberapa sudut layarnya. Takuya kembali
meneleponnya.
“Kenapa dia jadi sering
meneleponku?”
Yuto berjongkok untuk memungut
ponselnya.
“Ya, Onni-chan.” Yuto bersuara dengan nada malas. Mood-nya mendadak buruk. “Aku baru saja selesai melihat e-mail darimu. Kau ingin aku melakukan
apa? Aku tidak suka menggunakan kekerasan.”
“Aku
tidak menyuruhmu melakukan kekerasan. Kau pasti bisa berfikir, kan? Buat gadis
itu menderita. Hanya kau yang bisa ku harapkan. Jika aku belum menikah, mungkin
aku sendiri yang akan melakukannya.”
“Tidak peduli. Kalau perlu akan
pindah sekolah agar aku tidak bertemu dengannya dan fokus mencari ibu.”
“Terserah!”
Takuya berseru sakartis. “Jika kau
tidak melakukan apapun, ku buat kau jadi gelandangan di Korea.”
“Aku bahkan sudah jadi pengemis yang
tinggal di apartment mewah! Hei! Takuya!” Yuto memaki ponselnya. Ia sadar
beberapa detik lalu bahkan Takuya sudah memutuskan sambungan teleponnya. Sukses
membuat Yuto mengumpat sampai tidak memanggil Takuya dengan sebutan ‘Onni-chan’.
Yuto mengangkat tangannya yang
memegang ponsel ke udara, bersiap melempar ponselnya untuk kedua kali. Namun
mendadak ia batalkan karena matanya menangkap bungkusan makan malamnya yang
masih tertunda sampai detik ini. Teringat Chaeyoung jika ia benar-benar
melakukan hal itu, pindah ke sekolah lain. Yuto hanya masih ingin bertemu gadis
itu. Gadis yang sudah menyisakan luka dihidungnya. Belum lagi kondisi ponselnya
yang sudah retak semakin menamparnya jika kini ia sedang tidak punya apa-apa.
Untuk makanpun ia harus menjual beberapa barang.
“Akh, aku lapar.”
Mengesampingnya urusan tentang
Takuya, ayah dan orang lain disekelilingnya. Yuto mengambil makanan miliknya
yang seharusnya sudah dicerna didalam lambungnya sejak tadi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar