Author :
N-Annisa [@nniissaa11]
Cast :
·
Son Chaeyoung
·
Adachi Yuto
·
Kang Hyunggu (Kino)
·
Jung Wooseok
·
Lee Hangyul
·
and other
Genre :
School Life, Romance, Drama
***
Semuanya mengunyah makanan dalam
diam. Menunggu Wooseok menjalankan hukuman akibat kekalahannya dari Junyoung.
Merasa mereka senasib, Junyoung ingin lebih dekat dengan Wooseok juga yang
lain. Dimulai dari ia ingin tahu sesuatu tentang Wooseok yang belum diketahui
orang banyak. Dan usahanya berhasil karena telah mengalahkan Wooseok dalam
permainan billiard.
Wooseok menghela napas sebelum
meletakkan kembali gelasnya yang sudah kosong ke atas meja. “Aku memang
memiliki hubungan dengan Yukyung.”
“Yukyung… hmpp!”
Dengan gerakan cepat, Kino membekap
mulut Hangyul yang kebetulan duduk disebelahanya. Membuat mereka menjadi rusuh
sesaat. Masing-masing merespon dengan cara berbeda. Eunwoo tampak kagum karena
jika hal ini diketahui orang yang berpihak pada Mina, sudah bisa dipastikan
posisi Yukyung dalam bahaya. Yugyeom menyandarkan punggungnya pada sofa tanpa
minat merespon lebih. Kino dan Hangyul masih terlibat dengan keributan mereka.
Sekuat tenaga, Hangyul melepaskan tangan Kino dari mulutnya.
“Hyung!
Maksudmu Yukyung teman sekelasku?” Hangyul terlanjur penasaran begitu dirasa
Kino mulai melonggar.
Kino masih tidak ingin berhenti.
Kini ia merangkul leher Hangyul dengan satu tangan. “Kecilkan suaramu, nak!”
Junyoung berdiri agar tangannya
sampai untuk menarik tangan Kino. Merasa sedikit kasihan dengan
Hangyul.“Sudah..sudah. Kino, hentikan!”
“Kino-ya. Kau juga punya hutang
padaku.”
“Sejak hari itu, sejujurnya baru
kali ini kita benar-benar terlihat dekat. Bukan hanya sebagai ‘pria yang tidak
boleh didekati’.” Eunwoo bicara sambil membentuk tanda kutip menggunakan
jarinya ketika berkata ‘pria yang tidak boleh didekati’.
Kino menggangguk penuh semangat.
Jelas ia juga menyetujui apa yang dikatakan Eunwoo. Tanpa sadar bola matanya
melirik ke tempat Yugyeom yang masih diam. Tidak bisa dipungkiri kalau dirinya
begitu penasaran tentang Yugyeom yang memang memiliki kepribadian yang sedikit
tertutup dibandingkan dengan yang lain. Wooseok yang menangkap gelagat Kino,
reflex menengok ke tempat Yugyeom duduk. Tepat sedetik kemudian Yugyeom berdiri
dan sukses membuat Wooseok terkejut dan seperti terhempas ke sandaran sofa.
Semua mata kini benar-benar mengurung sosok Yugyeom.
“Kalau penasaran, kalahkan aku di
meja billiard dahulu.” Yugeyom sudah melangkah menuju meja, membuat Wooseok dan
Junyoung beringsut untuk memberikan jalan. Pemuda itu seakan mengetahui kalau
dirinya menjadi pusat perhatian. Yugyeom mengumpulkan bola-bola ke atas meja,
membuat yang lain tidak ada yang mengeluarkan suara. Kecuali Hangyul yang
sempat menyuap pasta ke dalam mulutnya. Tentu saja ia tidak tahu apa yang
terjadi sebelum ini. Yugyeom menoleh karena merasa tidak ada yang meresponnya.
“Kau, anak kelas satu. Siapa namamu?”
Kino dengan sengaja menyenggol kaki
Hangyul dengan sedikit keras hingga membuat pemuda itu tersedak. Eunwoo yang
duduk di sebelah kiri Hangyul memukul belakang kepala Kino yang berada di
bagian kanan Hangyul. Selayaknya seorang kakak menegur adiknya yang jahil.
Hangyul masih terbatuk sampai Junyoung menyodorkan segelas air untuknya.
“Aku kenapa, Hyung?” Hangyul balik bertanya namun masih sesekali menenggak
minumannya.
“Kau bisa main billiard, kan?”
Yugyeom bicara tanpa menoleh. Ia sibuk membersihkan stick billiard yang ditangannya. Sudah sangat siap untuk satu ronde
ke depan, sambil menunggu lawannya siap. “Ayo kalahkan aku.”
Hangyul menelan ludahnya. Aura yang
dikeluarkan Yugyeom benar-benar penuh ketegangan. Hangyul sempat menoleh ke
samping. Lebih tepatnya ke arah Kino berada seakan meminta saran. Kino hanya
mengangguk pelan. Meyakinkan bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi.
Eunwoo sendiri juga tengah menepuk-nepuk punggung Hangyul untuk memberikan
dukungan.
***
Satu tembakan terakhir. Jika Hangyul
berhasil memasukkan bola hitam ke dalam lubang, bisa dipastikan dirinyalah yang
menang. Meski sebenarnya pertandingan tadi cukup sengit. Keduanya sama kuat.
Karena bola berwarna milik Yugyeom juga sudah habis. Yugyeom melakukan
kesalahan pada tembakan terakhirnya yang meleset hingga akhirnya memberikan
kesempatan pada Hangyul.
Wooseok, Kino, Eunwoo dan Junyoung
ikut merasakan ketegangan yang ada. Tatapan keempatnya tidak pernah berpaling
antara Yugyeom dan Hangyul.
Ctak!
“Kyaaa! Hangyul!”
Kino dan Wooseok berhamburan berlari
ke arah Hangyul. Memeluk bahkan mengacak rambut pemuda itu karena bolanya
berhasil bergulir dan jatuh ke dalam lubang. Yugyeom tampak begitu sportif
dengan ikut bertepuk tangan untuk kemenangan Hangyul. Eunwoo dan Junyoung
memilih menghampiri Yugyeom dan menepuk-nepuk pundak pemuda itu. Selang
beberapa saat, suasana kembali lebih tenang, dan mereka semua kembali ke sofa
untuk menikmati sisa makanan.
“Jadi…” Eunwoo meletakkan sendoknya
ke atas piring yang sudah kosong. “Kino, kau tidak lupa kalau kau juga kalah
dariku, kan?”
Kino berhenti mengunyah beberapa
saat. Lalu menghela napas sambil mengaduk minumannya. “Apa yang ingin kau tahu,
Hyung?”
“Telpon gadis itu.”
Kino melebarkan matanya ke arah
Wooseok. “Kau memihak padaku atau pada senior?”
Wooseok hanya tersenyum penuh
kemenangan. “Kau juga tidak memihakku tadi.”
Dengan ekspresi kesal, Kino
memainkan jarinya diatas layar ponsel, mencoba menghubungi seseorang. Sampai
akhirnya layar ponsel Kino memunculkan penghitungan waktu sejak panggilannya
tersambung. Kino sontak menegakkan posisi duduknya.
“Hallo,
Oppa.”
Hangyul membekap mulutnya menahan
tawa karena ia sepertinya mengenali suara gadis itu. “Yuqi?” Hangyul berujar
tanpa suara pada Wooseok yang berkedip sekilas, membenarnya rasa penasaran
Hangyul. Eunwoo yang duduk disebelah Hangyul menyenggolnya karena tidak kalah
penasaran. Hangyul mengangguk sambil membisikkan sesuatu.
“Yuqi-ah. Kau sudah pulang?”
Kino melotot ke tempat
Wooseok berada karena dirinya ditimpuki potongan kentang goreng. Memohon agar
Wooseok tidak mengganggunya.
“Iya, Oppa. Aku baru saja
sampai.”
“Padahal aku ingin mengajakmu bertemu.”
Wooseok tidak
berhentinya mengganggu. Kali ini ia menutup telinganya sambil menunjukkan
ekspresi seolah apa yang dikatakan Kino akan terdengar menjijikan. Membuat
Junyoung menertawainya.
“Bertemu? Memangnya kau di mana?”
“Aku di restoran milik
Chaeyoung sekarang.”
Kino menunggu karena
Yuqi tidak langsung menjawab. “Halo, Yuqi. Bagimana? Atau mau kujemput?”
“Kalau bertemu di tempat lain, aku akan datang. Tapi kalau di sana…
lebih baik lain kali saja kita bertemu.”
Kino menjauhkan layar
ponselnya yang kini hanya menampilkan wallpaper.
Nada bicara Yuqi membuat Kino meyakini ada yang aneh. Ia kemudian mendongak
pada Wooseok yang memang belum melepaskan tatapannya dari Kino sejak beberapa saat
lalu. Wooseok hanya mengangguk seakan mengerti kegelisahan Kino tentang Yuqi.
Junyoung menepuk
tangannya satu kali untuk mengalihkan perhatian teman-temannya karena suasana
mendadak menegang. “Ah, baiklah. Mungkin Kino masih harus berjuang. Jadi, bagaimana
kalau kita beralih ke Yugyeom. Rahasia apa yang mungkin bisa kau bagi dengan
kami?”
Yugyeom sedikit merubah
posisi duduknya sambil menautkan kedua tangannya. “Selama ini aku diam, karena
memang tidak ada yang bisa aku lakukan. Selepas lulus, aku akan pindah dan
kuliah di London. Meninggalkan semua yang ada di sini. Termasuk pula
Chaeyoung.”
“Waah, berarti ada
alasan untuk aku liburan ke London.”
Kino melirik iri ke
arah Eunwoo. “Ah, Hyung. Andai aku
juga bisa semudah itu ke London.”
Eunwoo mengukir senyum
sambil mengulurkan tangan di belakang punggung Hangyul dan menepuk pundak Kino.
“Kau tenang saja, Hangyul bisa menjadi sponsormu.”
Hangyul membatalkan
diri untuk kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. “Aku bahkan belum
pernah liburan ke luar negeri. Ayah angkatku sampai marah dan berniat
mengirimku ke antartika. Padahal aku hanya tidak ingin menghabiskan uang
mereka. Impianku untuk bisa bersekolah sudah terwujud, bahkan mungkin nanti aku
akan dikuliahkan juga.”
“Kau beruntung Hangyul-ah.
Aku tahu bagaimana ayah angkatmu, dan kalau hanya ke London tidak akan
membuatnya bangkrut, kau tahu?”
“Bukankah liburan
kelulusan hanya beberapa bulan lagi? Kalau begitu kau bisa bekerja part time dulu selama itu.”
Kino meringis
menanggapi ucapan Wooseok tadi. Hanya ia dan Wooseok yang mengerti pembicaraan
tersebut. “Dan kalau pergi dengan kalian, mungkin aku akan mendapatkan ijin.”
“Apa hanya aku yang
tidak mengerti?” Eunwoo menatap berkeliling.
Junyoung menunjukkan
ekspresi bingung. “Aku juga tidak mengerti.”
***
“Dongju-ya!” teriak
Chaeyoung dari arah dapur sebelum duduk di samping Dongmyung yang sedang
menikmati sarapannya. “Apa Dongju belum bangun?”
Dongmyung hanya
mengangkat bahu tanda tidak tahu. Chaeyoung sendiri tampak sibuk memasukan
botol minum ke dalam ranselnya. Gadis itu akan pergi ke tempat latihan Muay Thai. Di saat yang bersamaan,
sepasang langkah kaki terdengar dari arah tangga. Dongju memunculkan diri
dengan piyama yang tampak kusut dan rambut yang berantakan. Melihat kedatangan
saudara kembarnya, Dongmyung menarik piring mendekat padanya.
“Kau akan ke restoran
jam berapa?”
Dongju mengambil tempat
duduk di depan Dongmyung yang kini memukuli tangan Dongju agar menjauh dari
piringnya.
“Noona, aku
sudah kelas 3 dan harus belajar agar bisa lulus ujian.”
Dongmyung benar-benar
menjauhkan piringnya yang berisi roti dengan selai cokelat dari jangkauan
Dongju. “Sejak kapan kau peduli dengan belajar? Kau bahkan harus mengganti
televisi yang rusak karenamu.”
Dongju mengacak
rambutnya, kesal. “Ah, baiklah-baiklah. Aku akan pergi 1 jam lagi.”
Caheyoung berdiri dari
kursinya, memutar meja menuju tempat Dongju berada. Mengecup singkat puncak
kepala Dongju. “Aku pergi dulu.”
“Akh!Noona!” Dongju memekik keras. Tidak suka
dengan perlakuan Chaeyoung padanya.
Tidak mempedulikan
teriakan Dongju, Chaeyoung terus berjalan, menutup pintu di belakangnya lalu
keluar pagar meninggalkan rumah dengan berjalan kaki menuju halte bus. Setelah
Chaeyoung berjalan beberapa meter melewati gerbang apartmen tempat Yuto
tinggal, tampak pemuda itu memunculkan diri dari arah gerbang sambil membawa
sebuah dus cukup besar berisi sebuah televisi. Yuto melangkah ke arah yang
berlawanan dengan Chaeyoung setelah menanyakan sebuah alamat kepada security yang berjaga di gerbang
apartmentnya.
***
Kino mengepalkan erat
tangannya. Ia memaksa Wooseok untuk bertemu Yukyung pagi itu di sebuah tempat sebelum
Wooseok pergi latihan Muay Thai.
Wooseok menepuk-nepuk puncak kepala Yukyung yang bertubuh mungil itu. Sangat
kontras terlihat saat berdiri bersebelahan dengan Wooseok.
“Apa Yuqi tidak tahu
kalau Chaeyoung pemilik restoran? Jadi wajar saja jika ia memiliki uang yang
tidak sedikit.”
Kino melempar
tatapannya ke arah lain. Jelas cerita Yukyung tentang pertemuannya dengan Mina,
Jihyo dan Dayoung membuatnya emosi. Gadis itu lagi-lagi mencari masalah meski
tidak tertuju langsung padanya.
Yukyung menggeleng.
“Aku tidak yakin. Seharusnya Yuqi tahu. Atau memang Yuqi yang selama ini tidak
terlalu peduli pada Chaeyoung.”
“Tentang Oppa-nya Chaeyoung, kau tahu, kan?”
Yukyung menoleh cepat
sambil mengangguk dan mendapati Wooseok sedang menunduk menatapnya. “Son
Dongwoon yang artis itu?”
“Tentang Dongwoon Hyung saja dia tidak tahu?”
Kali ini Yukyung
menoleh ke arah lain. Ke arah Kino yang baru saja bicara. Masih terlihat
kemarahan di matanya. “Chaeyoung sepertinya pernah ketahuan menerima telepon
dari seseorang yang Chaeyoung panggil dengan sebutan ‘Oppa’. Yuqi menyimpulkan kalau Chaeyoung menyembunyikan sesuatu
tentang hal itu.”
Kino geleng-geleng,
heran dengan cerita Yukyung tentang Yuqi. “Sebenarnya apa yang terjadi dengan
Yuqi?”
Wooseok membenarkan
posisi ranselnya. “Nanti ku tanyakan pada Chaeyoung tentang buku tabungan itu.
Aku harus pergi latihan.” Wooseok memeluk singkat tubuh mungil Yukyung. “Kau
hati-hati di jalan ya?”
Yukyung mengangguk
tanpa bicara apa-apa.
“Nanti aku akan
menemaninya sampai halte.” Kino melambaikan tangan sebelum Wooseok berbalik dan
meninggalkan mereka.
***
Kedua anak kembar
tersebut—Dongju dan Dongmyung—saling melempar tatapan ketika mendengar suara
ketukan dipintu rumahnya. Dongmyung sudah memberikan isyarat agar Dongju yang
membukakan pintu.
“Aku ingin mandi!” Seru
Dongju yang bahkan sedetik kemudian sudah melesat pergi menaiki anak tangga
menuju lantai atas.
Tanpa berkata apa-apa
lagi, Dongmyung-pun bangkit dan melangkah pergi dari meja makan untuk
membukakan pintu. Di sana Dongmyung mendapati Yuto berdiri dengan sebuah kardus
besar di sebelah kakinya. Mengerti dengan maksud kedatangan Yuto, Dongmyung
tersenyum cerah dan membukakan pintu lebih lebar untuk Yuto.
Dongmyung berjongkok
untuk membawakan kardus berisi televisi yang dibawa Yuto. “Biar ku bantu, Hyung.”
Yuto berdiri di depan
televisi milik keluarga Chaeyoung yang tampak retak di salah satu sudut bagian
layarnya. “Ini sudah tidak bisa diselamatkan,” kata Yuto bahkan sampai
menggelengkan kepala.
Dongmyung melipat
tangannya di depan dada. “Benar sekali, Hyung.
Itu dia pelakunya di sana.”
Perlahan Yuto menoleh.
Dari arah tangga, Dongju memunculkan diri dengan ekspresi bingung karena
melihat kehadiran Yuto di sana. Saat sudah sampai di anak tangga terakhir,
Dongju menghentikan langkah. Matanya menangkap sebuah kardus bergambar
televisi. Bisa dipastikan itu memang televise yang dijanjikan Yuto padanya dan
Dongmyung.
“Kau berikan saja nomor
rekeningmu. Nanti ku kirimkan uangnya.” Dongju yang sudah rapih dan berganti
pakaian, berjalan melintasi Yuto dan Dongmyung sambil menenteng sepatu sport-nya.
“Dompetku hilang. Ku
harap kauu memberikan uang cash saja
padaku.”
Dongju yang sudah duduk
di salah satu kursi makan, kemudian tidak melakukan apa-apa selama beberapa
saat. “Kau…” Dongju tidak melanjutkan ucapannya karena setelah itu ia menoleh
ke tempat Dongmyung berdiri. “Bukankah dia pria yang dompetnya ada pada Noona?”
Dongmyung membulatkan
matanya dan baru teringat sesuatu sambil menoleh cepat ke tempat Yuto berdiri.
“Kau. Adachi Yuto?”
“Oh iya, kita belum
berkenalan.” Tidak diduga Yuto justru mengulurkan salah satu tangannya. “Benar
namaku Adachi Yuto.”
“Aku Dongmyung,”
ujarnya setelah membalas uluran tangan Yuto.
“Tapi bagaimana kau tau
namaku? Dan, kalian membicarakan dompet. Dompet apa maksud kalian?” Yuto tidak
bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
“Hmm, Hyung. Sepertinya lebih baik Noona ku saja yang menjelaskannya besok
di sekolah.” Mengingat kejadian malam itu bukan hal mudah untuk diceritakan,
Dongmyung memilih mulai menyibukkan diri dengan beberapa kabel televisi dan
berniat menggantinya dengan yang lebih baru.
Yuto mengangguk-angguk,
mengerti. Mereka hanya menoleh ketika menyadari Dongju meninggalkan rumah
dengan mengendarai sepedanya. “Ayo kita lanjut.” Yuto menepuk pelan pundak
Dongmyung, mengajak pemuda itu meneruskan pekerjaan mereka. Setelah memastikan
semua kabel terpasang ditempat yang benar, Yuto menyalakan televisi menggunakan
remote.
Sekitar setengah jam
berlalu, Dongmyung dan Yuto sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Di meja
pendek di depan sofa tempat Yuto duduk, tampak Dongmyung seperti sedang
mengerjakan tugas-tugasnya sambil duduk di atas karpet. Yuto menggonta-ganti channel televisi setelah sebelumnya ia
sempat membantu Dongmyung yang kesulitan dengan tugas sekolahnya, namun dengan
gerakan mata yang tidak berhenti melirik ke sekelilingnya.
“Noona-mu tidak di rumah?”
“Iya. Noona sedang berlatih Muay Thai.” Tanpa mengalihkan pandangan
dari buku-buku pelajarannya, Dongmyung menjawab.
Di tempatnya duduk,
Yuto melebarkan mata. “Noona-mu
berlatih beladiri Muay Thai?”
Dongmyung akhirnya
mengangkat wajah dan hanya mengangguk sekali kemudian kembali meneruskan
kesibukannya. Membiarkan Yuto seorang diri dengan keterpanahannya.
Tanpa diminta, tangan
Yuto terangkat dan menyentuh hidungnya yang pernah terluka karena Chaeyoung.
“Pantas saja hidungku sampai berdarah.”
Diam-diam Dongmyung
tersenyum. Tentu saja karena ia tahu jelas kejadian malam itu ketika dompet
Yuto dicuri. “Hyung, bisa bantu aku
lagi?”
Yuto memajukan posisi
duduknya ketika Dongmyung sudah menggeser buku pelajarannya. “Apa yang ingin
kau tanyakan?”
Pintu rumah itu terbuka
dengan memunculkan Dongju dibaliknya. Pemuda kembaran Dongmyung itu berjalan ke
hadapan Yuto sambil merogoh saku celananya. Mengeluarkan lembaran-lembaran uang
yang bisa dikatakan tidak sedikit dan memberikannya pada Yuto.
Mengerti dengan maksud
Dongju memberikannya uang, Yuto menerima uang itu tanpa ingin menyakiti hati
Dongju jika ia menolaknya. Dirasa terlalu banyak, Yutopun menghitung kembali
uang pemberian Dongju. “Kau memberikan uang terlalu banyak padaku.”
Dongju sejak tadi menunggu
dengan tatapan polosnya. “Karena tidak ada kesepakatan sebelumnya, jadi aku
melihat harga televisimu seperti yang ada pada internet.”
“Iya tapi ini terlalu
banyak. Aku juga tidak menjual televisi baru.” Dengan gerakan cepat, Yuto
seperti membagi dua lembaran uang ditangannya tanpa menghitungnya terlebih dulu
lalu menyerahkannya lagi pada Dongju.
Dongmyung meletakkan
pulpennya lalu mengangkat kedua tangan untuk meregangkan badan. Dongmyung
berbalik karena Dongju belum menerima uang pemberian Yuto. “Ambil saja, Hyung. Dongju tidak akan jatuh miskin
hanya karena kehilangan uang sebesar itu.”
Yuto mengerutkan dahi,
tidak mengerti, tanpa menarik kembali tangannya yang masih terulur.
Dongju mengangkat
tangan ke dekat bibir sambil memajukan sedikit badannya ke arah Yuto, lalu
berbisik. “Bukannya sombong, Hyung.
Kami sudah memiliki penghasilan sendiri. Itu bahkan hanya setengah dari uang
gajiku selama 1 bulan.” Dongju berucap dengan nada misterius.
Dongmyung yang mengerti
meskipun tidak mendengar suara Dongju, tertawa. Ia bahkan juga menertawai
ekspresi wajah Yuto yang terlihat cukup syok. “Bagaimana kalau anggap saja itu
gajimu sebagai guru privat ku tadi?”
***
“Kau sudah mau pulang?”
Chaeyoung mengangguk
cepat. Menunggu respon Wooseok lagi kemudian. Wooseok dan Chaeyoung masih duduk
di bangku panjang yang berada tidak jauh dari salah satu ring permainan di mana
Hangyul masih terlihat berlatih tanding dengan salah seorang anggota klub Muay Thai tersebut.
“Buku tabunganmu
hilang, kan?”
Kali ini Chaeyoung
menoleh cepat. “Bagaimana kau…”
Wooseok mengangkat
bahu. “Entah siapa, tapi kata Yukyung, buku itu ada pada Mina.”
Chaeyoung menatap ke
arah lain. Sempat melihat ke arah Hangyul yang baru saja menyelesaikan
permainannya. Tidak terlalu terlihat terkejut. “Mereka cepat sekali bergerak.
Aku bahkan tidak tau buku tabunganku jatuh di mana.”
Wooseok meletakkan
tangannya dipuncak kepala Chaeyoung hingga mereka saling bertatapan sesaat.
Bahkan tidak ada yang peduli ketika Hangyul sudah berdiri dihadapan mereka.
“Jangan khawatirkan hal ini. Aku, Kino dan Yukyung ada
dipihakmu.”
Chaeyoung mengerjap,
tak percaya. “Yukyung?”
Wooseok mengangguk
tegas. “Yukyung mengkhawatirkanmu. Dia berdiri di samping Yuqi bukan berarti
tidak peduli padamu.”
Chaeyoung menunjukkan
senyuman cerahnya seiring Wooseok menarik kembali tangannya. “Aku percaya
Yukyung.”
“Ayo kuantar pulang.”
Chaeyoung dan Wooseok
menoleh sambil mendongak ke arah Hangyul yang memang sejak tadi berdiri di
sana.
“Cari mati?” Chaeyoung
terkekeh sambil berdiri. “Nanti sekalian ku belikan hand warp untuk kalian
juga.”
“Waah waah. Aku baru
sadar adik kecilku ini pemilik sebuah restoran, sampai-sampai mau membelikanku hard warp. Terima kasih ya.”
Gadis itu terkekeh mendengar candaan Wooseok. Bergantian
Chaeyoung menatap Wooseok dan Hangyul kemudian balik badan dan pergi. Tidak
lama setelahnya, Hangyul menduduki kursi kosong yang tadi ditempati Chaeyoung.
***
“Princess Muay Thai kita sepertinya baru kelihatan?”
Chaeyoung tersenyum
pada seorang pemuda yang menyapanya tepat ketika ia baru masuk ke dalam sebuah
toko perlengkapan olahraga. Chaeyoung berjalan mendekat dan berdiri di depan
pemuda itu. Hanya sebuah etalase setinggi dada yang membatasi mereka.
“Karena aku hanya
datang ketika hand wrap ku rusak.”
Pemuda bernama Taewoong
itu terkekeh diikuti Chaeyoung kemudian. “Kau mau yang warna apa?”
“Warna hitam saja, Oppa. Aku ingin 3 pasang untuk Wooseok
dan Hangyul juga.”
“Kau memang anak baik.”
Taewoong mengguk lalu melesat cepat meninggalkan Chaeyoung. Tepat ketika pintu
toko terbuka dan memunculkan seorang pemuda tinggi. Namun saat itu Chaeyoung
sedang bergeser untuk melihat-melihat deretan pakaian olahraga. Begitu menyadari
Taewoong kembali ke tempat tadi, Chaeyoungpun berbalik.
“Ada yang bisa kami
bantu?” Taewoong menyapa pemuda tinggi yang baru datang tadi.
Tanpa sadar, Chaeyoung
berdiri disamping pemuda tinggi itu saat melihat barang yang akan dibelinya.
“Ah, iya mungkin aku
ingin melihat-lihat terlebih dulu,” ujar pemuda itu tanpa melakukan kontak mata
dengan Taewoong.
Taewoong mengangguk,
menghargai keinginan pemuda itu. Disaat yang bersamaan, Chaeyoung mendongak dan
melihat pantulan wajah pemuda itu dari cermin di belakang Taewoong yang
terhalang deretan raket tanpa senar. Merasa mengenalnya, Chaeyoung menoleh.
Tepat ketika pemuda itu hendak berbalik hingga membuat tatapan mereka bertemu.
Pemuda itu adalah Yuto.
“Kau?” Chaeyoung
mengacungkan jari telunjuknya. “Sunbae,
dompetmu ada padaku. Besok akan ku berikan di sekolah.”
Yuto tidak langsung
menjawab karena ia ingin mencerna ucapan Chaeyoung untuk beberapa saat.
“Dompet? Bagaimana bisa …”
“Itu…” Chaeyoung tidak
bisa memberi penjelasan ketika Yuto tidak melanjutkan kata-katanya. “Ah,
bagaimana aku menjelaskannya ya?” Jari teunjuk yang teracung tadi ia tarik
kembali untuk menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Yuto mengangguk
mengerti jika mungkin ada hal yang sedikit sulit dijelaskan. “Tidak perlu dipaksakan.
Aku akan menunggumu untuk bicara.” Yuto berbalik meninggalkan Chaeyoung setelah
gadis itu mengangguk. Berjalan menuju rak tempat deretan sepatu olahraga
berjejer.
Setelah memutuskan
membeli sepasang sepatu olahraga, Yuto membawa benda itu kembali ke kasir.
Tempat ia bertemu dengan Chaeyoung tadi. Namun gadis itu sudah pergi
meninggalkan toko beberapa saat lalu. Yuto sempat melirik ke arah pintu saat
bayangan Chaeyoung masih melintas dan terlihat melalui kaca toko ketika
Taewoong berdiri setelah mengambil sesuatu yang terjatuh di lantai.
“Apa ukurannya sudah
pas?”
“Iya sudah pas.” Yuto
menoleh kembali ke tempat semula, ke arah Taewoong berada sambil memasukkan
tangannya ke dalam saku celana. Namun Yuto sempat mematung ketika melihat jelas
wajah Taewoong yang kini sibuk memasukan sepatu milik Yuto ke dalam kardus dan
tas plastik.
Taewoong tidak terlalu
memperhatikan perubahan sikap Yuto karena ia sendiri sedang sibuk mencocokan
harga barang dengan yang tertera pada layar monitor kasir tokonya. Ada satu
kotak barang lagi di sebelah barang milik Yuto. “Oh, ini juga?” Taewoong
membuka kardus tersebut untuk memeriksa isinya. Sebuah helm untuk pengendara
sepeda.
Yuto tersadar begitu
saja dari lamunannya. “Oh, maaf itu bukan punyaku.” Pemuda itu meletakkan
beberapa lembar uang tanpa mengalihkan pandangannya dari Taewoong.
Memastikan lagi helm
sepeda yang didominasi warna putih, Taewoongpun akhirnya menyadari sesuatu.
“Astaga ini milik Chaeyoung tertinggal.”
“Chaeyoung?” Yuto balik
bertanya karena seingatnya hanya dirinya dan Chaeyoung pengunjung yang datang
sebelum dua pemuda yang baru saja tiba beberapa saat lalu.
“Gadis yang bicara
denganmu tadi. Apa kalian saling kenal? Ada satu barangnya yang tertinggal. Dia
bilang ini untuk hadiah ulang tahun adiknya.”
“Adiknya yang kembar
itu?”
Taewoong menerima uang
milik Yuto sambil mengangguk.
“Sebenernya kami memang
baru kenal dan aku juga kenal dengan adiknya yang kembar itu. Tapi tidak
apa-apa biar ku bawa saja. Aku berencana mengunjungi restorannya sore ini.”
Yuto mengulurkan tangan untuk mengambil barang miliknya dan milik Chaeyoung
juga.
“Waah, kau sering ke
sana?”
Yuto mengangguk tanpa
berkata apa-apa.
“Apa menurutmu
makanannya enak?”
Lagi-lagi pertanyaan
Taewoong membuat Yuto mengangguk.
“Makanan di sana
membuatku teringat ibuku.”
Taewoong tersenyum
cerah mendengar pernyataan Yuto. “Kau, tahu? Ibuku adalah kepala koki di
restoran itu.”
Yuto hanya mengerjap
seperti tidak percaya. “Ah, iya, Hyung.
Ibumu sangat hebat. Aku selalu pergi ke sana setiap hari semenjak aku pindah ke
sini.”
“Kau baru pindah ke
sini?”
Yuto mengangguk cepat.
“Aku baru pindah dari Jepang.”
“Jepang? Ah, pantas
saja nada bicaramu sedikit berbeda.” Taewoong berujar pelan. Ada sedikit
keterkejutan di dalam dirinya hingga membuat pemuda itu tidak melepaskan
tatapan pada sosok tinggi di depannya.
“Kalau begitu aku
permisi, Hyung. Barang milik
Chaeyoung biar ku bawa juga.”
Setelah membawa serta
semua barang miliknya dan Chaeyoung, Yuto beranjak pergi meninggalkan Taewoong
dengan pikirannya sendiri yang mengingat sesuatu. Taewoong bahkan tidak
melepaskan tatapannya pada Yuto yang kini sudah menghilang di balik pintu toko.
Tidak hanya itu, Yuto sendiri nampaknya merasakan hal yang sama. Setelah tiba
di dalam mobilnya, Yuto tidak langsung pergi, namun ia memilih untuk
mengeluarkan ponselnya untuk mengontak seseorang yang berada di Jepang. Takuya.
“Onni-chan. Kau sudah mendapatkan kabar tentang Yasuo?”
“Tidak.”
Yuto menghela napas,
sedikit kasar. Tidak mendapatkan hasil apapun dari Takuya. Itu berarti ia harus
berjuang sendiri mencari ibu dan satu lagi kakak laki-lakinya.
***
Bunyi suara benturan
diatas meja itu mengejutkan seseorang. Hangyul meletakkan tasnya diatas meja
dengan kasar sambal menatap tajam gadis itu yang teratngkap sedang menyentuh
tas ransel milik Chaeyoung.
“A..aku hanya
mengembalikan buku tabungan milik Chaeyoung.”
Hangyul menyambar kasar
benda ditangan Dayoung itu. Memeriksa detailnya. Memang benar buku tabungan
sebuah Bank swasta itu milik Chaeyoung. Hangyul sempat melirik bagian resleting
Chaeyoung yang terbuka.
“Sana pergi!”
Dayoung tertunduk takut
dengan tatapan galak yang ditunjukkan Hangyul. Tanpa merasa curiga sedikitpun,
Hangyul memilih duduk di kursinya setelah menyelipkan benda ditangannya ke
dalam tas Chaeyoung yang masih dengan kondisi bagian resletingnya terbuka.
Namun ketika bel
berbunyi, Chaeyoung sedang berjalan menuju kelasnya saat bertemu dengan Yuto
yang tampak baru sampai karena masih memanggul ransel di punggungnya.
“Bel sudah berbunyi,
nanti temui aku saat istirahat ya.”
Yuto menyentuh pelan
pundak Chaeyoung sambil bicara dan kemudian berlalu begitu saja tanpa menunggu
tanggapan dari Chaeyoung. Dua hari lalu mereka bertemu di toko perlengkapan
olahraga. Lalu kemarin keduanya tidak bertemu karena Yuto sibuk berkeliling
kota. Setidaknya yang ia lakukan tidak hanya duduk diam dan menunggu kabar dari
Takuya.
Belum sampai jam
istirahat, Yuto yang sedang mengikuti pelajaran mendadak dipanggil oleh salah seorang
guru, perempuan. Sontak pemuda tinggi itu menjadi pusat perhatian.
“Saya mendengar laporan
kalau kau kehilangan dompet?”
Yuto tidak langsung
menjawab. Namun ia tidak bisa menutupi ekspresi keterkejutannya.. Memang tidak
heran karena ia sempat menawarkan beberapa barang untuk dijual ke teman-teman
kelasnya dengan alas an dompetnya hilang. Namun bagaimana bisa berita tersebut
justru tersebar di sekolah bahkan sampai terdengar pada guru mereka.
Obrolan tersebut
terdengar sampai pada telinga Dokyeom yang kebetulan sedang melintas. Ia sempat
berhenti sesaat, menunggu Yuto merespon pertanyaan ibu guru Kang. Belum sempat
ada yang merespon, diujung koridor tendengar sedikit keramaian. Kelas paling
ujung, kelas Chaeyoung. Tampak seluruh siswanya meninggalkan ruangan, namun
tanpa membawa tas atau satupun barang mereka. Dari pintu depan, mata Yuto
menangkap sosok Dayoung yang ekspresinya langsung berubah ketika mata mereka
bertemu. Chaeyoung sendiri terlihat meninggalkan kelas melalui pintu belakang.
Dokyeom langsung
melesat pergi ke dalam kelasnya hingga sosoknya tertangkap oleh sosok Yuto.
Namun Yuto sama sekali tidak menaruh curiga sedikitpun pada Dokyeom. Malam itu
Yuto bahkan tidak melihat wajah Dokyeom sedikitpun saat dompetnya dicuri.
“Ibu menemukan dompet
milik Yuto di tas ini.”
Semua orang menoleh ke
arah sumber suara. Seorang guru menenteng sebuah tas dan dompet dikedua
tangannya. Yuto langsung mengawasi ekspresi Chaeyoung yang terlihat panic
sebelum akhirnya Dayoung terdengar memekik.
“Astaga, bukannya itu
tas milik Chaeyoung?”
Bukannya melihat ke
arah Dayoung, Yuto justru menoleh ke tempat Mina berdiri bersama Jihyo yang
berada di koridor belakangnya saat ini. Kelas Eunwoo bersama Jihyo dan Mina
juga tampak dibubarkan sementara.
Tanpa bisa melakukan
protes sedikitpun, Chaeyoung tampak pasrah dibawa oleh guru yang mendapati
dompet Yuto dalam tasnya. Hangyul tampak balik badan, tidak kuat melihat
Chaeyoung dibawa pergi tanpa ia bisa membantu sedikitpun.
“Yuto! Kamu juga ikut.”
Ibu guru Kang sudah balik badan, berhadap Yuto menyusulnya.
Yuto masih berdiri di
sana. Menunggu Chaeyoung mendekat. Belum sempat gadis itu melintas, Yuto
menahan tangan Chaeyoung yang lain dan menahannya dengan berani di depan guru
yang ingin membawa Chaeyoung ke ruang guru.
“Siapa yang melapor
jika aku kehilangan dompet?”
Mina dan Dayoung
menjadi yang paling rapat menutup mulutnya. Bahkan seakan mengalihkan tatapan
dari pandangan orang-orang.
Terlihat kilatan marah
di mata Yuto ketika kembali tidak melepaskan tatapannya pada sosok Mina.
“Yuto! Lepas tangan
Chaeyoung! Kita selesaikan di ruang guru.”
Ibu guru Kang berusaha
melepaskan tangan Yuto yang memegang lengan Chaeyoung, dan berniat membawa
serta Yuto pergi dari sana. Sesaat, Yuto mengalah, membiarkan guru Kang
membawanya pergi setelah guru Kim juga kembali menarik tangan Chaeyoung. Namun
hanya beberapa langkah, Yuto berhenti. Hanya beberapa meter di depan Mina
berdiri.
“Apa aku menyuruhmu
melaporkan hal ini ke guru?”
Semua yang menyaksikan
kejadian itu sontak terkejut dengan reaksi Yuto. Mereka saling berbisik satu
sama lain hingga membuat keributan. Kino sendiri semakin menatap tidak suka
pada gadis di hadapan Yuto. Mina tetap mempertahankan ekspresi tidak mau kalah
meski Yuto menyadari ada ketakutan di sana.
“Yuto! Apa maksud
kamu?”
Yuto menoleh pada ibu
guru Kang di sebelahnya. Sebenarnya, tepat sebelum ia bertemu Chaeyoung pagi
tadi, ia menemukan Mina memunculkan diri dari dalam ruang guru dengan sikap
mencurigakan yang kemudian Dayoung yang juga menunggu di sana, langsung melesat
pergi setelah Mina membisikkan sesuatu padanya.
“Kalau aku merasa
kehilangan dompet, harusnya aku yang melaporkan hal itu.”
“Tapi bukan berarti
kamu bisa menuduh…”
“Kalau begitu bisa
beritahu aku siapa yang melaporkan?” Yuto menyela ucapan guru Kang. Namun tidak
ada jawaban sedikitpun dari guru itu.
Wooseok sendiri juga
berada di antara kerumunan. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat bagian punggung
Kino yang tampak menegang. Bahkan kedua tangan pemuda itu terkepal. Ibu guru
Kang adalah ibu kandung Kino.
Yuto melangkah
meninggalkan ibu guru Kang yang tanpa sadar melepaskan tangannya. Kini pemuda
itu berdiri dihadapan ibu guru Kim sambal membungkukkan tubuh tingginya sebagai
bentuk hormat.
“Maaf jika aku
langcang.” Dengan penuh rasa hormat, Yuto meminta guru Kim untuk memberikan tas
milik Chaeyoung padanya. “Aku tidak kehilangan dompet. Benda itu terjatuh saat
aku mengunjungi restoran Chaeyoung.” Sekali lagi, dengan tatapan penuh hormat,
Yuto mengangguk agar guru Kim menyerahkan dompet dan tas yang ia sita. “Terima
kasih.” Yuto kembali membungkuk ketika guru Kim menyerah dengan memberikan
benda itu pada Yuto.
Beberapa murid akhirnya
kembali ke ruangan kelas masing-masing tanda ada perintah terlebih dulu
sebelumnya.
“Sunbae.” Chaeyoung tampak memprotes karena Yuto justru memasukkan
kembali dompetnya ke dalam tas Chaeyoung.
“Sesuai kesepakatan,
kembalikan dompetku nanti ketika makan siang.” Yuto membalikkan tubuh Chaeyoung
sambil memegang kedua pundak gadis itu dan mendorongnya pelan.
“Tapi, sunbae.”
“Sudah sana…”
Setelah memastikan
Chaeyoung sudah kembali ke dalam kelasnya, kini Yuto juga berbalik dan menyusul
Kino yang tampak lebih dulu masuk ke dalam kelasnya.
Sementara di tempatnya
berada, Hangyul sedikit menggeser tubuhnya untuk memberikan jalan pada
Chaeyoung untuk duduk di kursinya berada di dekat jendela. Namun tatapan pemuda
itu sama sekali tidak pernah terlepas dari sosok Dayoung.
“Dayoung pasti melihat
dompet Yuto berada di dalam tasmu.”
“Jangan menuduh
sembarangan.
“Aku bahkan memergoki Dayoung membuka tasmu.”
Hangyul menoleh, ada kilatan marah dimatanya. “Dan ini…”
Chaeyoung melebarkan
matanya ketika Hangyul meletakkan buku tabungan miliknya di atas meja.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar