Author :
Annisa Pamungkas (@nniissaa11)
Main Cast : B.A.P (Yongguk, Himchan, Daehyun,
Youngjae,
Jongup, Zelo [Junhong])
Support cast :
A-Pink (Chorong, Bomi, Naeun, Eun Ji, Namjoo,
Hayoung), G.Na (Soloist), B2ST (Doojoon,
Hyunseung), BtoB
Genre
: romance, family,
brothership
Length : chapter
***
“Mas
Himchan… Yuhuuu… Ini Bomi…”
Cewek
itu menggedor pintu sebuah rumah yang tidak terlalu besar, namun sangat nyaman.
Rumah keluarga G.Na, seorang perawat yang memiliki 4 anak laki-laki. Bomi
sering main ke sana karena ia berteman dengan anak laki-laki itu. Juga karena
rumahnya tepat berseberangan di depan sana.
“Apaan
sih pagi-pagi berisik di rumah orang?”
Bomi
sampai mundur selangkah mendengar suara keras cowok yang baru saja membukakan
pintu. Namun cewek itu justru tersenyum melihat sosok tampan di depannya itu.
Himchan.
“Mau
nebeng Daehyun ke kampus,” kata Bomi yang sama sekali nggak terpengaruh dengan
tatapan horror yang ditunjukkan Himchan. “Akh, pak guru juga mau berangkat,
ya?” Cewek itu justru menggoda si guru muda nan tampan yang masih setia
memasang tampang galaknya.
“Apaan
sih!” Himchan tampak risih dengan perlakuan Bomi. Percuma bersikap jahat sama
cewek itu, yang ada Bomi semakin senang menggodanya. “Ya terus? Kalo mau ketemu
Daehyun ngapain juga harus manggil nama gue?”
“Ya
kali gapapa. Lumayan, masih pagi udah liat yang bening-bening.”
Himchan
hanya bisa menahan kesalnya. Tepat ketika seorang cowok muncul di belakang
Himchan. “Ini dia,” ujar Himchan ketika melihat adiknya di sana. Daehyun.
“Urusin tuh pacar lo!” Himchan yang masih kesal setengah mati, langsung saja
melesat ke dalam.
“Ikh,
enak aja! Pacar gue kan si Naeun!” balas Daehyun tak terima.
“Payah
tuh kakak lu. Masa lupa mulu kalo gue bukan pacar lo,” timpal Bomi mendukung
ucapan Daehyun.
“Yaa…
lo tau kelakuan abang gue yang satu itu. Udah, akh. Ayo jalan,” ajak Daehyun
yang sudah lebih dulu berjalan menuju garasi tempat motor kesayangannya berada.
***
“Udah
hampir 4 tahun, dan lo masih setia sama si calon dokter itu?”
Suara
berat itu membuat seorang cewek tiba-tiba menghentikan langkah. Bukan hanya
cewek berambut panjang yang dimaksud itu saja yang terkejut, tapi seorang cewek
juga yang berpenampilan sedikit tomboy dengan rambut diikat satu yang kini
berdiri di balik sebuah pilar tak jauh dari sana. Eun Ji.
“Naeun,
lo masih inget gue, kan?”
Cewek
dengan rambut panjang tergerai itu membalikkan badan. Di hadapannya kini muncul
seorang cowok tampan dengan balutan barang-barang mahal.
“Youngjae?”
desis cewek berkuncir satu yang mencuri dengar omongan cowok tadi. “Mau ngapain
lagi dia?”
“Kita
kan temenan dari SMA. Ya nggak mungkinlah gue lupa begitu aja sama lo,” kata
Naeun berusaha terlihat santai.
Cowok
bernama Youngjae tadi tersenyum pahit. “Jadi selama ini lo Cuma anggep gue
temen aja?” Youngjae perlahan melangkah dan mengunci sosok Naeun dalam tatapan
matanya.
“Yaa…
mau gimana? Gue kan udah…” Ucapan Naeun terputus seiring tubuh belakangnya yang
sudah tersudut ke tembok.
“Apa
nggak bisa sedikit aja lo buka hati lo buat gue?” Youngjae mendekatkan wajahnya
yang kini hanya berjarak beberapa senti saja dari depan wajah Naeun. “Ngasih
kesempatan yang sama seperti Daehyun?”
“Naeun…!”
Mendengar
teriakan seseorang, keduanya menoleh. Cewek berkuncir satu tadi tampak berlari
kecil dan seperti dengan sengaja menubruk tubuh Youngjae agar menyingkir dari
hadapan Naeun. Beruntung cowok itu nggak sampai terjatuh.
“Naeun
lo punya pembalut, kan?”
“Lo
apa-apaan, sih?” protes Youngjae.
Cewek
itu seperti tak mendengar suara Youngjae. Ia justru menarik tangan Naeun dan
buru-buru pergi dari sana. Namun Youngjae nggak semudah itu melepaskan mereka.
“Lo
mau bawa Naeun ke mana?” Tanya Youngjae yang sudah menahan tangan Naeun.
Cewek
itu menyambar file yang di bawa Naeun untuk menutupi bagian belakang jinsnya. “Emang
tadi nggak denger gue bilang apa?” seru Eun Ji galak seakan menutupi kegugupan.
Melihat
apa yang dilakukan Eun Ji, Naeun ikut panic. “Eun Ji, lo…” Ia tak sanggup
melanjutkan kalimat.
Sementara
Youngjae seperti tak bisa membaca suasana. “Tapi gue lagi ada perlu sama
Naeun.” Cowok itu sudah ingin membawa Naeun pergi bersamanya. Tapi lagi-lagi
Eun Ji menghalangi, bahkan melepaskan dengan paksa pegangan tangan cowok itu
pada Naeun.
“Lo
mau, liat darah netes ke lantai?”
“Udah
ayo, Ji!” Naeun mendorong tubuh Eun Ji untuk menyingkir dari hadapan Youngjae.
“Eh!
Gue belom selesai!” teriak Youngjae, namun tak di gubris oleh ke dua cewek itu
yang sudah melesat jauh.
Naeun
membawa Eun Ji ke toilet. Tapi Eun Ji menahannya sebelum Naeun benar-benar
menyeretnya ke dalam. “Loh? Kenapa nggak jadi?” Tanya Naeun polos.
Eun
Ji menoleh dengan tatapan gemas. “Gue Cuma pura-pura… Na… Eun…”
“Hah?”
Naeun masih memasang tampang polosnya. Dan dengan polosnya juga ia memaksa Eun
Ji berbalik untuk memeriksa sendiri. “Jadi… tadi lo nyelametin gue dari
Youngjae?”
Eun
Ji memutar bola matanya, kesal. “Dari tadi ke mana aja?”
“Huwaaah…
Eun Ji makasih!” Naeun dengan hebohnya memeluk Eun Ji penuh semangat. “Lo emang
sahabat gue yang pa… ling… baik.”
“Mau
donk di peluk juga…”
Naeun
dan Eun Ji menoleh bersamaan. “Daehyun!”
***
Sebuah
amplop coklat mendarat di atas meja milik Zelo. Cowok berkulith putih itu
langsung menyingkirkan buku yang tengah ia baca lalu menjulurkan tangan untuk
meraih amplop tersebut. Nggak butuh menoleh, ia juga tau kalau benda itu
berasal dari Jongup. Setelah menghitung sejumlah uang yang berada di dalam amplop
tadi, Zelo menoleh ke tempat Jongup duduk bersama Sungjae.
“Kalo
lo selalu ngasih segini, berarti sisa 3 kali lagi baru utang lo gue anggep
lunas,” ujar Zelo meski Jongup seperti mengabaikannya. Tapi tentu saja suara
Zelo tetap terdengar sampai tempat Jongup yang hanya berjarak satu meja di
kanan Zelo.
“Berarti
gue masih harus kerja part time
selama 3 bulan lagi?” Jongup sendiri hanya berdecak kesal mendengarnya sambil
melempar dengan asal buku yang baru aja ia keluarin dari dalam tas. Di sampingnya,
Sungjae menyentuh pundak Jongup sebagai tanda simpatiknya. “Lagian, kenapa
harga kameranya bisa semahal itu, sih?”
Flashback… *2 bulan lalu*
Klik…
klik… klik…
Seorang
cowok putih, tinggi, tampak asik dengan kameranya. Ia memoto taman-taman kecil
yang indah di sekitar area sekolahnya. Sampai tanpa sadar, akhirnya Zelo
berjalan sampai lapangan yang dipenuhi siswa bermain sepakbola. Turut di
dalamnya adalah Jongup. Zelo sempat mengambil beberapa gambar siswa yang
bermain sepakbola tersebut.
“Akh!”
terdengar Zelo meringis karena ada yang menabrak tubuhnya.
“Eh!
Maaf… Maaf…” Kata Jongup sedikit merasa bersalah. “Tapi kalo mau foto-foto,
mending jangan di deket sini deh.” Dan dengan cueknya, Jongup meninggalkan
Zelo.
Zelo
sendiri seperti tak mendengar peringatan Jongup. Ia masih asik memfoto sampai
akhirnya terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi. BRAAKKK… Kamera Zelo yang
memang tidak tergantung di leher pemiliknya, terjun bebas ke aspal hingga pecah
di beberapa bagian. Teruama bagian lensanya yang terlepas.
Semua
yang menyaksikan kejadian itu sampai menahan napas. Termasuk Jongup. Karena
bola yang ditendangnya, ternyata melenceng hingga mengenai kamera di tangan
Zelo. Namun karena merasa sudah memperingatkan Zelo, Jongup dengan beraninya
mendekati cowok itu.
“Tadi
kan gue udah bilang buat nyingkir,” kata Jongup langsung. Kali ini sama sekali
nggak merasa bersalah.
Beberapa saat, Zelo masih membeku menatap
kameranya yang sudah hancur. Perlahan namun pasti, cowok tinggi itu menatap
Jongup tajam. Seakan tatapannya itu bisa membunuh Jongup saat itu juga. “Kalo
bukan karena tugas sekolah, gue nggak akan deket-deket apalagi nginjek lapangan
kesayangan lo itu,” ujarnya dingin dan penuh dengan penekanan.
“Terus?”
lanjut Jongup seperti menantang.
Zelo
berdecak kesal. “Ganti kamera gue. Apapun caranya!”
Seperti
apa yang Zelo bilang tadi. Itu semua karena tugas dari sekolah yang mengirimnya
untuk ikut lomba fotografi yang bertemakan tentang lingkungan sekolah.
Kamerapun
hancur. Dan itu artinya, Zelo tidak bisa mengikuti lomba. Tapi tetap saja Zelo
menuntut Jongup untuk mengganti kamera miliknya. Setelah perundingan alot
bersama dengan wali kelas mereka masing-masing—Zelo bersama Himchan—akhirnya
Jongup setuju menggantinya namun tidak bisa ia lunasi saat itu juga.
Sebenarnya
bisa saja Himchan membantu kesulitan adiknya itu, tapi Jongup lebih memilih
egonya sendiri. Ia menolak bantuan kakaknya dengan bekerja part time di café milik kakaknya Sungjae.
Karena
kesibukan bekerja, waktu belajar Jonguppun berkurang. Belum lagi beberapa kali
Jongup bolos sekolah bahkan sampai di skors. Dan akhirnya ia gagal mengikuti
ujian kelulusan. Jongup harus mengulang di kelas 3. Malahan kini ia sekelas
dengan Zelo.
Flashback end…
“Namanya
juga kerja part time, gajinya ya
nggak seberapa,” hibur Sungjae. “Kecuali…”
Jongup
menoleh cepat karena merasa Sungjae seperti akan memberikan sedikit pencerahan
untuknya. “Lo ada lowongan kerja lain buat gue?” tanyanya penuh harap.
“Tapi
gue nggak yakin, Jong.”
“Kasih
tau dulu aja, deh.” Jongup setengah memaksa.
Ragu-ragu
Sungjae mendekatkan wajahnya ke telinga Jongup dan membisikkan sesuatu.
Mendengar itu, Jongup menoleh cepat. Ia meneguk ludahnya. Sementara Sungjae
langsung menyibukkan diri dengan buku-bukunya.
***
Jam 4
sore waktu setempat. Keramaian terjadi di lapangan parkir sebuah Bank swasta.
Terutama parkiran motor yang didominasi oleh seluruh karyawan Bank yang akan
pulang. Satu diantaranya adalah Yongguk. Anak tertua di keluarga ibu G.Na.
“Yongguk!”
Cowok
itu membatalkan niat memakai helm ketika mendengar seseorang memanggilnya. Saat
menoleh, Yongguk melihat seorang cewek berseragam khas wanita kantoran berlari
kecil ke arahnya.
“Kalo
aku nggak ke sini, kita sama sekali nggak bisa ketemu. Dan ini udah seminggu.
Inget, kan?” cecar cewek itu yang juga kekasih Yongguk. Chorong.
“Ya
udah. Kamu mau ngomong apa?” Tanya Yongguk sedikit malas. “Aku masih harus ke
kantor lagi, nih.”
Chorong
memutar bola matanya, kesal. “Kamu udah dapet posisi enak di bank. Nggak usahlah
kerja lagi di kantor penerbitan itu. Waktu untuk kita berdua kan jadi
berkurang. Kalo gitu kamu lamar aku aja. Kita nikah.”
Yongguk
memutar tubuhnya hingga menghadap Chorong. Ia menatap mata kekasihnya itu
tajam. “Harus berapa kali aku bilang sama kamu? Aku udah nggak punya ayah. Dan
2 adikku masih sekolah. Jongup bahkan harus mengulang kelas. Kalau kita nikah,
apa kamu mau biayain kuliah Jongup nanti?”
Cukup
lama Yongguk menunggu jawaban Chorong atas tantangannya. Namun nggak ada yang
dikatakan Chorong. Yongguk akhirnya memilih memakai kembali helmnya.
“Tapi
kan masih ada Himchan yang masih bisa bantu kamu.”
“Kalau ada pemuda lain
yang bersedia menikahimu dalam waktu dekat, kabari aku.” Yongguk berujar dingin
lalu meninggalkan Chorong begitu saja di sana. Nggak peduli bahwa cewek itu
adalah kekasihnya.
***
Malam
itu, Himchan yang sibuk memeriksa tugas murid-muridnya di ruang tamu, melihat
sosok ibunya muncul dari dalam kamar dan menuju dapur. Segera saja Himchan
menyusul. Di sana G.Na hanya mengambil segelas air putih dan langsung berniat
kembali ke kamarnya. Namun Himchan sudah lebih dulu menghalangi langkah ibunya.
“Kayaknya
aku masuk angin nih, bu. Obat apa kira-kira yang cocok?” Tanya Himchan sambil
memegangi tengkuknya dan sedikit berpura-pura seperti hal itu benar-benar
terjadi padanya.
G.Na
menatap datar putra keduanya itu. “Daehyun kan calon dokter. Kenapa nggak Tanya
aja sama dia,” kata G.Na dingin dan segera saja meninggalkan Himchan di sana
yang hanya bisa menghela napas pasrah dengan tindakan ibunya.
Terdengar
suara pintu kamar G.Na ditutup. Himchan masih berdiri mematung di sana. Tak
lama, kembali terdengar suara pintu utama di buka. Itu pasti salah satu dari
adiknya. Karena ketika Himchan berbalik, Jongup memunculkan diri dan masih
mengenakan seragam sekolahnya.
“Mas
Yongguk belum pulang, kan?” Tanya Jongup sambil mengedarkan tatapan ke sekitar.
Takut-takut kakak tertuanya sudah berada di sana mengawasi. Hanya Himchan dan
Daehyun yang tahu bahwa ia kerja part
time di tempat kakaknya Sungjae.
Himchan
kembali menghembuskan napas lebih keras. “Cepat mandi. Terus makan. Paling
bentar lagi Daehyun pulang.” Hanya itu yang dikatakan Himchan sebelum kembali
melanjutkan tugas-tugasnya sebagai seorang guru SMA.
Benar
saja, karena tak lama Daehyun muncul. Tepat ketika Himchan sudah kembali duduk
di depan meja yang penuh dengan tumpukan kertas-kertas ujian muridnya.
Tatapan
Daehyun jatuh pada Jongup. Ia sekaligus meminta jawaban tentang apa yang
kemungkinan terjadi pada Himchan. Namun Jongup hanya menggeleng. “Mas Himchan
sakit?” tebaknya.
Himchan
sempat tertegun sesaat sebelum akhirnya kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Gapapa, kok. Udah sana masuk.” Himchan berkata bahkan tidak sambil menatap
apalagi menoleh pada Daehyun. Saat berkata dirinya sakit, sang ibu justru
melimpahkan pada Daehyun. Tapi adiknya itu justru mengatakan hal yang layaknya
di katakan oleh G.Na. Padahal G.Na termasuk orang kesehatan karena pekerjaannya
sebagai perawat. Meski tak mengerti banyak soal kesehatanpun, biasanya para ibu
mengerti dengan apa yang sedang dialami anaknya.
“Yuhuuu…
Mas Himchan!”
Himchan
mendongak cepat dan mendapati pintu di hadapannya sudah menjeblak terbuka
hingga memperlihatkan sosok cewek cantik di sana. Bomi. Lengkap dengan gelas
mug di tangannya.
“Bomi
bawain wedang jahe buat pak guru tampan,” seru Bomi semangat. Ia tetap memasang
senyuman meski Himchan justru menatapnya horror.
Sementara
Jongup dan Daehyun justru saling tatap dan tak bisa menahan tawa mereka tiap
kali sang guru playboy macam Himchan lagi di goda sama Bomi. Fansnya nomor
satu. Mereka justru dengan jahilnya sengaja meninggalkan Himchan di sana.
***
“Yeay!
Goool! Jongup!” jerit seorang cewek yang sedang menonton Jongup bermain
sepakbola dari lantai 2 gedung sekolah.
Zelo
yang berdiri tepat di samping cewek itu, tampak risih karena cewek itu
berjingkrakan nggak jelas. Mereka sedang ada penilaian salah satu pelajaran
dari Himchan, yaitu seni music.
“Jongup
keren banget main bolanya. Lo liat kan Zelo?” cewek itu meminta dukungan dari
cowok di sampingnya.
“Nggak!
Biasa aja,” jawab Zelo malas. Ia sama sekali tak berminat mendukung ucapan
Hayoung barang sedikitpun.
Saat
itu, Zelo dan Hayoung sedang menunggu giliran masuk ke dalam ruang music untuk
penilaian. Sementara Jongup sudah mendapat giliran di awal. Makanya pemuda itu
bisa langsung bermain sambil menunggu jam pelajaran selesai karena ia sudah
melakukan ujiannya tadi.
“Zelo!
Giliran lo,” kata Sungjae yang baru saja ke luar dari ruang ujiannya.
“Loh?
Kok Zelo duluan?” protes Hayoung. Namun Zelo sudah lebih dulu melangkah. “Kan
harusnya gue duluan!” lanjutnya. Sementara Sungjae hanya mengangkat bahu. Tak
ingin ambil pusing karena itu perintah langsung dari Himchan.
Setelah
beberapa menit, akhirnya giliran Hayoung. Ia menatap Zelo sedikit kesal.
“Jangan
salahain gue, donk!” protes Zelo dan sekedar membela diri. Karena memang bukan
salahnya juga. Tapi Hayoung tetap cuek meninggalkannya ke dalam.
“Kok
saya jadi terakhir sih, Pak?” cewek itu masih nggak terima. Ia bahkan melakukan
protes langsung kepada Himchan selaku guru yang berwenang di mata pelajaran
tersebut.
“Udah
jangan banyak protes,” kata Himchan. Suasa hatinya masih sedikit buruk
gara-gara kejadian semalam. Niatnya ingin bisa mendekatkan diri dengan G.Na, ia
justru mendapatkan hal sebaliknya. Belum lagi kedatangan Bomi yang selalu tak
diharapkannya. “Main gitar sambil nyanyi,” perintah Himchan seenaknya.
Sementara matanya melirik pada sebuah gitar yang tersandar di tembok. Nampaknya
ia memang sengaja memasukkan Hayoung di urutan terakhir karena ia tau kemampuan
salah satu anak didiknya itu.
Meski
masih setengah kesal dan tak terima dengan keputusan sepihak gurunya itu,
Hayoung tetap melakukan apa yang diperintahkan Himchan padanya. Bermain gitar
sambil bernyanyi sudah bukan hal baru pada diri cewek itu.
“Khusus
untuk hari ini, kamu nyanyi 2 lagu,” putus Himchan lagi. Dan masih secara
sepihak. Nggak meminta ijin lebih dulu pada Hayoung.
“Tapi
pak…”
“Atau
nilai kamu di bawah rata-rata,” sela Himchan mengancam.
Meski
Himchan tergolong guru yang banyak di sukai murid, tapi tatapan matanya yang
tajam tetap aja bisa ngebuat Hayoung merinding seperti ini dan akhirnya
menuruti tanpa protes.
***
“Cuma
setiap Jum’at sama Sabtu aja kok, mas.”
Himchan
dan Daehyun saling tatap menunggu jawaban Yongguk atas permintaan Jongup untuk
menginap di rumah Sungjae setiap akhir pekan karena kesibukan orang tua Jongup
di luar kota.
“Memangnya
Sungjae nggak punya kakak atau adik?” Tanya Yongguk datar. Tanpa menoleh dan
tetap sibuk dengan sarapannya.
“Kakaknya
juga sibuk kerja,” jawab Jongup. Berusaha menutupi kegugupannya. Himchan dan
Daehyun ikut tegang menunggu keputusan Yongguk.
“Kalo
gitu, suruh aja Sungjae yang menginap di sini.”
Jongup
membulatkan mata mendengar respon Yongguk. Tentu saja ia kecewa. “Ya nggak
mungkinlah, mas. Aku nggak enak sama Sungjae kalo nanti dia ketemu ibu,”
serunya dan sengaja terdengar sedikit tinggi agar ibunya mendengar.
Jongup
menyandarkan punggung tanpa ingin merespon protes keras dari Himchan dan
Daehyun karena ia bicara seperti tadi. Jongup hanya menghabiskan sisa susunya
dari dalam gelas, setelah itu bangkit untuk segera pergi ke sekolah. “Aku
berangkat dulu,” pamit Jongup sekedarnya sambil menyambar ransel dan jaketnya.
Daehyun
hanya bisa menghela napas berat melihat kondisi keluarganya sekarang ini.
Jongup semakin menjadi pemberontak meski sebenarnya masih cukup bisa diatasi.
“Udahlah,
mas. Ijinin aja. Aku tau Sungjae kok kayak gimana,” kata Himchan lembut untuk
mempengaruhi kakaknya.
“Jika
terjadi sesuatu pada Jongup, kalian yang harus bertanggung jawab,” ujar Yongguk
akhirnya. “Ingat, dia sempet nggak lulus kemarin.” Terkesan ingin melepas
tanggung jawab atas Jongup. Meski sebenarnya itu hanya cara dia yang secara tidak
langung mengijinkan Jongup untuk menginap ke tempat Sungjae.
***
Suasana
bising di sebuah kelab malam. Tampak Jongup yang baru muncul. Ia berjalan
sedikit di belakang seorang cowok yang memang mengantarnya ke sana. Eunkwang.
Jongup menunggu ketika Eunkwang menepuk pundak seorang cowok yang tengah duduk
menikmati minumannya di meja bar.
“Hei…
Eunkwang?” serunya dengan suara yang teredam alunan music keras di kelab itu.
“Gue
bawa anak yang mau kerja di sini nanti,” jelas Eunkwang sambil menunjukkan Jongup
di hadapan cowok itu. Ia kemudian menatap Jongup yang tampak lebih gugup dari
pada saat pertama kali bekerja di cafénya. “Dia Minhyuk, pemilik kelab ini,”
jelasnya.
Jongup
hanya mengangguk. Sementara Minhyuk menatap Jongup dari atas ke bawah. Ia lalu
melirik Eunkwang seakan meminta penjelasan. “Temennya Sungjae? Berarti masih
SMA, donk?”
“Iya,
dan kayaknya Cuma bisa sebulan atau dua bulan aja,” sela Eunkwang membela
Jongup yang terkesan disudutkan Minhyuk.
“Oke…
Bisa kok. Mau mulai sekarang juga boleh,” kata Minhyuk akhirnya, membuat
Eunkwang bisa bernapas lega. Termasuk pula Jongup.
“Terima
kasih, bang.”
Minhyuk
mengangguk-angguk. Lalu ia memerintahkan salah satu karyawannya untuk mengajak
Jongup ke dalam agar berganti pakaian.
Ketika
Jongup sudah ke dalam, Eunkwang masih di sana bersama Minhyuk. Ia sempat
menyapu pandangannya ke seluruh kelab. Dari mulai meja-meja yang sudah penuh
dengan berpasang-pasang orang, atau beberapa orang yang memang sedang ingin ke
sana meski tak berpasangan. Lalu di hadapannya juga banyak karyawan yang
lalu-lalang mengantarkan makanan dan minuman untuk pelanggan.
“Kira-kira,
Jongup bakal lo tempatin di mana?” Tanya Eunkwang di sela-sela kesibukan
Minhyuk menenggak minumannya.
“Yang
umum aja, lah. Nganter-nganterin makanan atau minuman,” jawab Minhyuk. Ia
sempat meminta karyawannya membuatkan minuman untuk Eunkwang. “Kelab gue nggak
separah kelab lain kok. Buka aja Cuma sampe jam 2 pagi. Dan lo liat itu…”
Minhyuk menunjuk ke arah seorang DJ muda di tengah-tengah stage. Sementara
Eunkwang mengukuti arah telunjuk Minhyuk. “Namanya Ilhoon. Dia juga baru lulus
SMA. Dan Cuma jadi DJ doank. Nggak pernah bawa cewek, apalagi minum alcohol di
sini. Tapi gue santai aja.”
Sesaat
Eunkwang masih memperhatikan permainan apik yang ditunjukkan cowok bernama
Ilhoon itu. Ia kemudian kembali melirik Minhyuk. “Lo nggak ngajak cewek lo ke
sini?” tanyanya iseng.
Minhyuk
membeku sesaat. Ia lalu meletakkan gelasnya yang sudah kosong sebelum akhirnya menoleh
ke tempat Eunkwang berada. Minhyuk kemudian tersenyum mengejek. “Eun Ji bukan
cewek yang mau di ajak ke tempat kayak gini.”
Eunkwang
menatap Minhyuk penuh minat. Sambil memutar kursi menghadap ke meja bar karena
Minhyuk memberikannya soft-drink. “Kalian
udah beneran jadian?”
“Belom.
Tapi gue tetep bakal berusaha ngedapetin Eun Ji.”
“Cewek-cewek
di sini kan banyak. Nggak ada gitu satu aja yang nyantol di hati lo?”
Minhyuk
sempat menghela napas berat. “Yaa… walau yang lo tau gue cowok brengsek, tapi
gue tetep mau cewek baik-baiklah yang bakal gue ajak nikah suatu hari nanti,”
kata Minhyuk terdengar serius. Namun Eunkwang justru terkekeh mendengarnya.
Nggak peduli kalo Minhyuk melototinya sebagai tanda protes.
“Iya
iya gue percaya.” Meski berkata seperti itu, Eunkwang tetep nggak bisa
menghentikan tawanya. Membuat Minhyuk semakin jengkel. Sampai akhirnya, ia
melihat Jongup yang sudah mengenakan seragam melintas di hadapannya. Buru-buru
ia menghentikan langkah cowok itu. “Nanti pulangnya lo langsung ke rumah gue
aja.”
Jongup
mengangguk mengerti dan langsung mengerjakan tugas pertamanya mengantar
minuman.
Eunkwang
menepuk pundak Minhyuk sampai cowok itu menoleh. “Jongup cukup rajin kok waktu
kerja di tempat gue.”
“Iya,
gue tau. Gue udah bisa ngelihat sendiri.”
“Gue
tinggal pulang ya.” Eunkwang berpamitan meninggalkan kelab itu. Minhyuk hanya
mengangguk dan membiarkan Eunkwang pergi.
***
author aku tertarik sama ceritanya. tp sayang sekali bahasanya tidak baku. aku mau lanjut baca ke chapter berikutnya tp sedikit terganggu bahasa tulisnya. maaf ya author.. kalo boleh aku kasih saran, bahasa tulisnya dibuat baku (jangan pake "lo" "gue") ya.. sayang kan kalo ceritanya bagus,, ini pendapatku. mgkn reader lain ada yg gak terganggu. tp semoga saranku bs diterima. ^^
BalasHapus