Author :
Annisa Pamungkas
Main Cast :
·
B2ST/Beast Lee Gikwang
·
Infinite Lee Howon (Hoya)
·
SNSD Im Yoona
Support cast :
·
Other member B2ST/Beast
·
Other member Infinite
·
Yong Hwa CN Blue
·
Siwan Ze:a
·
Jonghyun, Minho Shinee
Genre
: romance, family
Length : chapter
***
“Kwang,”
panggil seorang cowok tampan yang memiliki mata agak sipit pada cowok di
hadapannya.
“Hmm…”
cowok yang di maksud hanya menjawab seadanya. Ia sibuk mendengarkan music
melalui ponselnya sambil bersandar di badan mobil, namun ia tetap bisa merespon
ketika temannya mengajak bicara. Karena ini udah pulang sekolah, pakaian cowok
itu juga udah seenaknya. Ia menyampirkan blazernya di tangan. Sedangkan kancing
kemejanya udah ia buka dua lobang hingga dasinya juga sudah tidak beraturan.
Cowok
bermata sipit tadi mengedarkan pandangannya ke sekitar area parkir SMA mereka.
“Jonghyun sama Yong Hwa ke mana sih?”
“Lo
aja nggak tau, apalagi gue!” jawab Gikwang asal.
Tak
lama, ada dua cowok yang bergabung dengan mereka.
“Lo
berdua dari mana aja, sih?” protes si cowok sipit yang udah tidak sabar menunggu
kedatangan dua temannya itu.
“Yaelah,
kayak gak tau kelakuan temen lo aja tuh, si Gikwang!” seru salah satu cowok
yang berdiri di dekat cowok bermata sipit.
Cowok
bernama Gikwang yang sedang dibicarakan itu tampak tak mempedulikan apapun. Ia
tetap asik dengan dunianya sendiri. Sampai akhirnya, salah satu dari mereka,
mencabut paksa kabel earphone dari
telinga Gikwang. “Apaan sih, Jong!” protesnya tak terima.
“Chorong
daftar buat jadi temen kencan lo,”
kata Jonghyun yak tak terlalu peduli dengan tatapan horror dari Gikwang.
“Yaudah
tulis aja,” putus Gikwang dengan santainya sambil memasang kembali earphone-nya. “Siapa yang megang agenda
gue?” tanyanya pada siapa saja yang ada di sana, namun tidak sambil menatap.
“Tuh,
di Sunggyu.” Jonghyun menunjuk cowok bermata sipit itu.
Si
cowok sipit bernama Sunggyu itu segera memeriksa ranselnya lalu mengeluarkan
sebuah buku seperti diary. “Chorong anak kelas… Apa?” seru Sunggyu heboh
sendiri bahkan sebelum mengakhiri ucapan sebelumnya membuat ke-tiga temannya
sampai sedikit terlonjak. “Siapa yang masukin Hayoung ke daftar antrian teman
kencannya Gikwang juga?” hardiknya untuk Jonghyun dan Yong Hwa sambil
menunjukkan sebuah tulisan nama pada buku yang ia pegang.
“Tulisannya
Yong Hwa tuh,” kata Jonghyun enteng sambil menunjuk cowok di sampingnya. Seolah
tak ingin di salahkan.
Gikwang
tampak tak ingin ambil pusing. Sementara Yong Hwa hanya menatap Sunggyu
bingung. “Emang kenapa sama si Hayoung?” Tanya Hong Hwa dengan tampang
polosnya.
“Dia
tuh gebetan gueee!” jelas Sunggyu tepat di depan wajah Yong Hwa sambil menahan
kesal.
“Lha?
Udah ganti? Bukannya Hayoung yang lo suka itu temen sekelas gue ya?”
Sunggyu
melirik Jonghyun dengan tatapan penuh arti. “Jadi, yang pengen kencan sama Gikwang
itu Hayoung anak kelas dua, kan?” tanyanya penuh harap dengan wajah berbinar.
“Hah!
Apaan?” diam-diam Gikwang sebenarnya mengawasi apapun yang dilakukan
teman-temannya itu. Terutama yang menyangkut tentang dirinya juga. “Hayoung
anak kelas dua? Gue kagak mau akh kalo sama ade kelas,” putusnya yang langsung
mendapat tatapan membunuh dari Sunggyu yang sudah berusaha keras membuat
matanya sedikit melebar meski masih terlihat sipit.
“Kwang!”
desis Jonghyun sambil mencolek lengan Gikwang. Berusaha menyadarkan temannya
itu. Bukan karena tatapan Sunggyu benar-benar seram, tapi lebih karena mereka
tidak ingin Sunggyu kehilangan mata sipit yang sudah menjadi cirri khasnya.
Gikwang
langsung tersentak dengan perbuatan Jonghyun. “Yang nggak mau masuk, gue
tinggal,” putus Gikwang seorang diri. Cowok itu langsung masuk ke dalam mobil
tempat pengemudi.
Jonghyun
sendiri langsung memutari belakang mobil dan masuk ke dalam pintu belakang.
Sementara Yong Hwa harus bernasib sial karena Sunggyu menahan tangannya. Seakan
ia tak membiarkan Yong Hwa bebas.
“Apa
lagi sih, Gyu?” Tanya Yong Hwa memberanikan diri.
“Lo
duduk di samping Gikwang!” putus Sunggyu secara sepihak karena ia masih kesal
dengan dua temannya itu.
Dan dengan terpaksa, Yong
Hwa duduk di depan. Lagipula, ia memang tidak sedang memiliki masalah apapun
dengan Gikwang.
“Eh,
ntar sore ada rencana ke mana?” Tanya Yong Hwa sambil memasangkan sabuk
pengamannya. Gikwang sendiri sudah membawa mobilnya meninggalkan sekolah. Sementara
Jonghyun dan Sunggyu yang duduk di kursi belakang, ikut memperhatikan obrolan
Yong Hwa dengan Gikwang. “Maen futsal, yuk. Mumpung nggak ada latihan bola,”
ajaknya setengah memaksa. Maklumlah, mereka berempat ini adalah pemain inti
klub sepakbola sekolah mereka, SMA Paradise.
“Inget
loh, Kwang. Nanti sore jadwalnya lo jalan sama Hara. Kasian dia udah nunggu
nyampe hampir sebulan,” Jonghyun sedikit mengintimidasi pikiran Gikwang yang
kebetulan tadi belum sempat merespon ucapan Yong Hwa.
“Duh,
gimana ya?” Gikwang yang benar-benar bingung sekarang ini, justru balik
bertanya sambil melempar tatapan memohon pada tiga temannya. “Jangan tinggalin
gue donk kalo maen bola.”
“Masalahnya
rencana kita tuh dadakan. Jadi biar bagaimanapun, lo harus tetep pentingin
nasib cewek-cewek yang ngefans sama lo.”
Gikwang tertegun mendengar
ucapan Jonghyun tadi. Dia yang pertama kali mengusulkan jika ada fans yang
ingin berkencan dengannya, maka cewek itu harus menunggu giliran. Karena maklum
saja, fans Gikwang di sekolah memang banyak banget. Tapi sayangnya, Gikwang
hanya menerima kencan dengan teman seangkatannya saja.
“Gimana
nih, Gyu?” Gikwang melirik Sunggyu melalui kaca, sejak tadi cowok itu sibuk
dengan ponselnya.
Meski
sibuk sendiri, tapi Sunggyu sangat menyimak obrolan Yong Hwa, Jonghyun dan
Gikwang. “Waah, rejeki lo nih mas bro!” seru Sunggyu tiba-tiba, dan langsung
menjadi pusat perhatian. “Hara ngebatalin kencan kalian. Katanya di undur aja
minggu depan,” jelasnya yang langsung di renspon kegirangan oleh Jonghyun dan Yong
Hwa. Termasuk pula Gikwang.
“Terus,
mau ngajak siapa nih buat sparing nanti?” Tanya Gikwang yang sudah terlampau
semangat.
“Yaelah.
Otak lo tanding mulu sih! Mentang-mentang sekarang jadi kapten!” protes Yong
Hwa yang saat itu merasa sedang berbeda misi dengan Gikwang. “Maen biasa aja.
Ajak sepupu lo tuh si Chunji sama bang Siwan.”
“Bener
tuh,” sambung Jonghyun menyetujui saran dari Yong Hwa. “Nanti gue ajak Woohyun
sama Dongwoo deh.” Lalu Jonghyun menatap Sunggyu yang duduk di sampingnya. “Lo
ajak adek lo juga tuh si Myungsoo sama suruh aja dia ajak temen.”
Sunggyu
mengangguk setuju. “Paling Myungsoo Cuma ngajak Sungjong aja.”
Gikwang
menyodorkan ponselnya pada Yong Hwa. “Ya udah nih. SMS-in Chunji, sekalian lo
sewa lapangan.”
***
“Bang
Siwan!” teriak seorang cewek yang sejak sampai di taman itu mendorong
sepedanya.
“Yoona?”
balas pemuda tampan itu setelah menoleh.
Cewek
cantik yang sedikit tomboy itu mempercepat dorongan terhadap sepedanya. “Mau ke
café ya, bang?” Tanya cewek itu sedikit berbasa-basi. Ia akan selalu gugup jika
sudah berhadapan dengan Siwan.
“Iya,”
jawab Siwan. “Kamu sendiri mau ke mana?”
“Mau
ketemu bang Siwan.”
Siwan
menautkan alisnya karena bingung. “Ada apa?” cowok itu tak bisa menahan
penasarannya. Di sela-sela rasa penasarannya, Siwan memperhatikan gerak-gerik
Yoona yang sibuk melepaskan tali sepatu yang ia ikatkan ke stang sepedanya.
“Ada
orang kaya yang buang sepatu bola,” jelas Yoona enteng. “Buat bang Siwan aja,
nih. Lumayan bisa di pake maen bola.” Cewek itu dengan semangatnya menyodorkan
sepatu tersebut pada Siwan.
Dengan
sedikit ragu, Siwan menerima benda tersebut yang langsung ia amati secara
detail. Kemudian ia melirik cepat ke arah cewek yang masih di hadapannya ini.
“Jangan bercanda, Yoon. Siapa yang mau buang sepatu bagus kayak gini? Terus,
kenapa nggak kamu kasih kakak kamu aja?”
“Yaelah,
bang.” Yoona memutar bola matanya. Kesal karena sepertinya Siwan tidak terlalu
menyimak apa yang ia katakan. “Kan tadi Yoona udah bilang. Ada orang kaya yang
buang sepatu,” ulangnya. “Lagian, bang Doojoon baru beli sepatu seminggu lalu.”
“Oh…”
Siwan hanya mengangguk saja. “Eh, ada namanya,” pekik Siwan ketika melihat
sebuah tulisan di bagian dalam sepatu. “Hoya? Kamu kenal?”
Cewek
yang di ajak bicara oleh Siwan hanya menggeleng. “Ya udah deh, bang. Yoona
balik ya. Kasian bang Doojoon di rumah sendirian,” pamit Yoona buru-buru yang
sudah memutar arah sepedanya dan segera melesat meninggalkan Siwan sebelum
pemuda itu sempat mengucapkan terima kasih ataupun responnya ketika Yoona
berpamitan.
***
“Ibuuu! Kembalikan sepatu
bola ku…” rengek seorang pemuda sambil memegangi ujung baju belakang ibunya dan
mengikuti ke manapun ibunya melangkah. Bahkan sampai ke dapur seperti sekarang
ini.
“Lepas,
Howon!” nyonya Ga In menepiskan tangan Howon dan kini menatap tajam anak
laki-lakinya itu. “Ibu tuh capek tau gak sih ngasih tau kamu! Kalo masih mau
maen bola, nilai-nilai sekolah kamu juga harus baik. Bukannya malah maen bola
terus kerjaannya nggak pernah belajar,” cerocos nyonya Ga In mengomeli anaknya.
“Tapi
kembaliin dulu sepatu bola Hoya…” Howon yang memiliki nama panggilan ‘Hoya’,
masih merengek di hadapan ibunya.
Nyonya
Ga In melengos menuju rak piring dan berusaha sedikit mengabaikan keberadaan
Howon, namun anaknya itu masih tak lelah untuk membuntuti. “Nggak ada.
Sepatunya udah ibu buang!”
Howon
terbelalak mendengar ucapan ibunya. “Yaelah, bu! Masa’ di buang? Tega amat sama
anaknya yang ganteng ini!” protesnya tak terima karena sang ibu telah membuang
sepatu kesayangannya tanpa ijin.
“Salah
kamu sendiri. Kenapa nggak mau belajar?” nyonya Ga In memberikan tatapan
galaknya. Namun bukan Howon jika begitu saja sudah terpengaruh.
“Kenapa
Minho masih boleh maen bola?” kali ini Howon menyudutkan saudara tirinya itu
karena tidak mendapat larangan seperti dirinya.
“Itu
karena Minho nggak malas belajar seperti kamu. Nilai-nilainya juga…”
Howon
memutar bola matanya. Malas menanggapi ibunya yang pasti akan selalu membela
anak tirinya itu. “Nilai-nilainya juga lebih bagus dari pada kau, Howon…”
Nyonya
Ga In semakin menatap horror anak laki-lakinya itu yang dengan tidak sopannya
mengikuti kata-katanya dengan tepat ketika sedang memarahinya tadi. Nyonya Ga
In memang hampir selalu mengatakan hal yang sama.
“Udah,
nggak usah di lanjut.” Howon menyelak bahkan sebelum ibunya berbicara
sepatah-katapun. “Ibu kalo ngomel nggak kreatif!”
“Howon!”
pekik nyonya Ga In yang udah bener-bener kesal dengan tingkah anaknya yang
ajaib itu. “Awas kau!” wanita itu hanya bisa mengancam dari jauh karena kini
Howon sudah melesat pergi tanpa ada rasa berdosa.
***
Jonghyun
dan Yong Hwa yang sudah sampai di lapangan futsal, tengah sibuk mempersiapkan
diri mereka. Sementara Gikwang, memilih tempat yang sedikit jauh. Ia masih
sibuk mendengarkan music. Bahkan ia belum mengganti pakaiannya.
Tak
lama, Sunggyu muncul bersama tiga pemuda lagi yang berjalan di belakangnya.
Mereka langsung membaur dengan Jonghyun dan Yong Hwa. Sementara salah satu dari
mereka berjalan menghampiri Gikwang.
“Sendirian
aja, bang?” sapanya yang langsung membuat Gikwang sedikit terkejut.
“Eh,
Myungsoo?” seru Gikwang sambil melepas kabel earphone yang menggantung di telinganya. “Waah… tambah ganteng aja
lo. Bisa-bisa gelar ‘pangeran’ gue jatoh ke tangan lo nih kalo gue udah lulus
nanti.”
“Yaelah.
Bisa aja lo, bang,” kata Myungsoo agak tersipu. “Lagian juga, gue nggak kayak
lo yang mau ngajakin cewek-cewek kencan.”
Gikwang
terkekeh mendengar ucapan Myungsoo yang sedikit banyak menyindir dirinya. Tapi
cowok ini nggak mau terlalu ambil pusing. “Buat hiburan aja, Myung. Tapi lo
tetep harus jual mahal lah. Jangan mau di ajak yang aneh-aneh.” Gikwang bicara sambil
mengganti kaosnya dengan kostum bola.
Myungsoo
tak mau terlalu ambil pusing dengan ucapan Gikwang. “Masih sixpack aja tuh perut. Nggak nambah-nambah perasaan kotaknya,” seru
Myungsoo jahil saat tak sengaja melihat tubuh atletis milik Gikwang saat cowok
tadi mengganti pakaian. Ia sudah tak ingin membahas tentang kencan gila yang di
cetuskan bahkan di lakukan sendiri oleh seorang Gikwang.
“Apa
kata lo? Nggak nambah-nambah?” Gikwang mengulangi ucapan Myungsoo. “Lo kira
perut gue papan catur yang kotaknya banyak?”
Myungsoo
tertawa mendengar balasan dari Giwang. “Udah akh, bang. Makin gila gue
deket-deket sama lo,” canda Myungsoo yang kini sudah berjalan menjauh dari
Gikwang.
“Yaudah
sana lo jauh-jauh dari gue,” balas Gikwang dengan candaan juga sambil terkekeh
dan tangannya bergerak-gerak seakan benar-benar mengusir keberadaan Myungsoo
dari hadapannya.
***
Howon
membanting keras pagar rumahnya yang tinggi itu. Ia melangkah cepat dan tanpa
arah meninggalkan rumah. Masih sambil menahan kekesalan pada ibunya tadi.
Jauh
di belakangnya, ada tiga cowok seumuran Howon berusaha mengejar cowok tadi.
Langkah mereka sedikit terganggu karena harus membawa tas olahraga. Di tangan
kanan dan kiri mereka juga penuh dengan sepatu serta bola sepak.
“Howon!
Lee Howon! Berhenti wooy!” teriak tiga cowok itu berusaha menghentikan langkah
Howon.
Sementara
Howon sendiri juga merasa ada yang meneriaki namanya. Tapi ia tak langsung
berbalik. Hanya berhenti saja di tempatnya berada. “Kayak suara Sungyeol,
Dongwoon sama Yoseob,” pikir Howon. Ia lalu menggeleng, mencoba membuyarkan
pikirannya dan kembali melanjutkan langkahnya.
“Denger
kagak sih tuh anak?” kesal Sungyeol. Cowok yang paling pendek di sana.
“Udah
ayo kejar lagi.” Kali ini suara cowok yang tubuhnya paling pendek terdengar
mengkomandoi. Mereka bertiga akhirnya sepakat untuk kembali mengejar.
“Eh,
Hoya! Berenti kagak lo!”
Kali
ini Hoya benar-benar menghentikan langkahnya. Dengan enggan, cowok ini terpaksa
membalikkan badannya. “Pantesan cempreng banget tuh suara. Ternyata beneran
mereka.”
“Dipanggilin
juga dari tadi,” semprot Dongwoon yang sudah cukup kesal karena di acuhkah
Howon sejak tadi.
“Mau
ke mana sih lo? Kok nggak bawa tas?” Tanya Yoseob penuh selidik karena Howon
tak membawa barang-barang seperti yang mereka bawa. “Kita mau sparing lawan SMA
Quality nih!” lanjutnya mengingatkan.
“Lo
mau, liat sodara tiri lo si Minho semakin sombong karena kepilih jadi tim inti
sekolah?” seru Sungyeol berusaha mengintimidasi pikiran Howon.
“Malah
bakal jadi kandidat calon kapten baru tau, Yeol.” Suara Dongwoon menambahi
kalimat Sungyeol.
“Bener
tuh kata Dongwoon,” seru Yoseob.
Howon
hanya bisa menghembuskan napasnya, keras. “Percuma deh. Lo pada nggak tau, kan?
Kalo seragam bola gue di sita. Udah gitu sepatu kesayangan gue di buang. Nggak
tau deh tuh di buang ke mana!”
“Hah!”
pekik Sungyeol, Yoseob dan Dongwoon serempak.
“Akh,
jangan bercanda lo!” Yoseob menyikut lengan Howon sambil menatap tajam karena
menganggap temannya itu hanya bergurau.
“Yaelah!
Ngapain juga bercanda!” Howon tampak berdecak kesal karena tak ada yang
mempercayai ucapannya. “Lo periksa sana di rumah gue,” tantang Howon sebelum
akhirnya kembali berjalan dan berniat meninggalkan tiga temannya yang kini
membeku karena mendengar cerita darinya.
“Gimana
nih?” bisik Dongwoon pada dua temannya. Merek tak langsung mengejar Howon.
“Tapi
lo tetep dateng buat nonton, kan?” teriak Yosoeb pada Howon yang semakin
berjalan menjauh.
“Kagak!”
balas Howon cepat. Bahkan sampai tak berniat untuk berbalik sedikitpun.
Sungyeol,
Dongwoon dan Yoseob hanya menghela napas. Pasrah dengan keputusan Howon. Mereka
juga tidak bisa memaksa karena seprtinya masalah yang tengah Howon hadapi bukan
hal yang sepele.
***
“Hai,
Kwang!”
Gikwang
terlonjak kaget setelah ada sebuah tangan menepun pundaknya. “Akh, bang Siwan.”
Ia menghela napas lega karena orang itu adalah Siwan yang kini sudah duduk di
sampingnya yang tengah memakai kaos kakinya. “Maaf ya, gue ngajakinnya
mendadak. Emang belom ada rencana buat main juga sih,” jelas Gikwang.
“Nyantai
aja lah. Mumpung gue juga lagi nggak sibuk,” kata Siwan sambil mempersiapkan
perlengkapan untuk bermain futsal. Ia juga mengeluarkan sepatu pemberian Yoona
tadi siang untuknya dan meletakkannya tepat di tengah-tengah antara dirinya dan
Gikwang. Mereka memang akan bermain futsal, namun lapangannya beralas rumput,
persis seperti lapangan sebakbola sungguhan.
Di
sisi lain, Yong Hwa, Jonghyun dan Myungsoo sudah mulai memasuki lapangan untuk
melakukan pemanasan ringan.
“Eh,
itu Woohyun, kan? Dongwoo nggak di ajak?”
Suara
Sunggyu yang duduk tak jauh dari tempatnya membuat Gikwang mengalihkan sedikit
aktifitasnya untuk melihat cowok yang Sunggyu maksud. “Dongwoo nanti nyusul,”
seru Gikwang, dan Sunggyu hanya menggangguk menanggapinya. Sedetik kemudian,
Gikwang kembali melanjutkan kegiatannya yang sedikit tertunda tadi.
Ketika tengah mengikat
tali sepatunya, tatapan Gikwang jatuh pada sepatu yang baru saja dikenakan oleh
Siwan. “Waah, sepatu baru tuh, bang?” goda Gikwang.
“Bukan.
Tapi ada yang ngasih,” jawab Siwan seadanya.
Gikwang
menatap Siwan heran. “Sepatu masih bagus gitu. Akh, pasti baru deh! Dari cewek
lo, ya?” Gikwang semakin semangat menggoda kakak sepupunya itu.
“Emang
cewek sih yang ngasih. Tapi dia bukan cewek gue,” jelas Siwan dan berusaha
sebiasa mungkin ketika menjawabnya.
“Cieee…!”
ledek Gikwang sambil berusa menjawil pipi Siwan, namun tangannya lebih dulu di
tepiskan Siwan. Gikwang semakin terkekeh menanggapinya. “Udah, gapapa ngaku
aja.”
“Gue
juga bingung sih sebenernya. Dia bilang ada orang kaya yang buang sepatu.
Lumayan juga sih. Kebetulan gue emang belom sempet beli sepatu baru.”
“Waah,
gue juga mau kalo kayak gitu mah, bang.”
Siwan
melirik Gikwang cepat. “Lo kan anak orang kaya. Pasti bisa lah beli sepatu
model kayak gini.”
Gikwang
langsung diam dan tak merespon ucapan Siwan. Ia langsung pura-pura sibuk
membereskan barang-barangnya yang lain.
“Kwang,
maaf ya.” Siwan menyentuh pundak Gikwang dan sedikit merasa bersalah setelah
perubahan waut wajah Gikwang tadi. Gikwang sendiri langsung menoleh sambil
mengangguk untuk memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. “Dan itu berarti,
semua yang gue denger dari ortu gue itu bener?”
“Jadi,
bang Siwan tau kalo papa…” Gikwang tak melanjutkan ucapannya karena Siwan sudah
lebih dulu mengangguk. Dan kini Gikwang langsung sedikit tertunduk.
“Gue
udah denger kalo om Sungmin kena tipu ratusan juta. Terus, gimana jadinya?”
“Gitu
deh. Papa udah hampir mau ngejual mobilnya gue rasa. Dan kalaupun gue yang
maksa agar mobil gue aja yang di jual, papa pasti nggak akan ngijinin.”
Siwan
turut merasakan apa yang terjadi pada keluarga Gikwang. Biar bagaimanapun,
ayahnya Gikwang adalah adik kandung dari ayahnya Siwan dan Chunji. Dan Siwan
juga sudah menganggap Gikwang seperti adiknya sendiri. “Apa ayah nggak bisa
bantu om Sungmin, ya?” gumam Siwan pelan sambil berpikir.
“Jangan,
bang!” sambar Gikwang yang mendengar suara Siwan meski tadi cowok itu
mengatakannya dengan pelan. “Bukannya gue ngeremehin keluarga kalian, tapi uang
yang harus papa ganti ke perusahaan itu nggak sedikit. Lagipula, masih ada
tabungan gue yang bisa buat bantuin papa juga.”
“Eh,
jangan ngaco lo! Uang itu dipersiapin om Sungmin untuk pendidikan lo. Dan untuk
masa depan lo juga. Gue yakin beliau juga pasti akan menolak mentah-mentah,”
kata Siwan sambil mengingatkan kembali pada Gikwang.
“Masalahnya
kalo papa jual mobil, dia ke mana-mana kan masih butuh kendaraan juga. Apa gue
saranin buat jual rumah aja, ya?”
“Heh!
Makin ngaco aja lo! Kalo rumah lo di jual, kalian mau tinggal di mana?” protes
Siwan yang kembali tak menyetujui ide gila sepupunya itu. Beruntung ia tak
sampai mendaratkan sebuah jitakan di kepala Gikwang.
“Gue
kan bisa tinggal di rumah yang lebih kecil. Lagian, percuma tinggal di rumah
sebesar itu kalo penghuninya Cuma dua orang. Kecuali kalo om Changmin, tante
Sooyoung, bang Siwan sama Chunji mau tinggal di rumah gue juga sih gapapa. Kalo
perlu ajak juga keponakannya tante Sooyoung,” kata Gikwang panjang lebar sambil
menatap Siwan penuh arti.
“Maksud
lo Krystal?” Siwan membulatkan matanya.
“Hehehe…”
Gikwang hanya terkekeh dibuatnya.
“Akh,
lo sih emang modus mulu sama cewek-cewek. Inget tuh sama gebetan lo yang dulu,”
sindir Siwan.
Tawa
Gikwang langsung benar-benar terhenti. “Taeyeon? Udah punya pacar dia, bang,”
kata Gikwang lemas.
“Panggilnya
mbak Taeyeon donk, kan dia lebih tua dari lo,” goda Siwan.
Gikwang
memutar bola matanya, kesal. “Kagak!”
***
Yoona
baru saja memarkirkan sepedanya di halaman rumah. Tak lama muncul seorang cowok
yang sudah berpakaian sepakbola lengkap. Namun sepatunya masih dia pegang di
tangan.
“Bang,
tadi bilangnya nggak mau ke mana-mana? Kenapa sekarang malah pergi main bola
sih?” protes Yoona pada kakak laki-lakinya itu. Ia merasa seperti kakaknya
mengingkari janji.
“Mendadak
nih di ajakin Yoseob. Si Howon nggak bisa soalnya,” jelas Doojoon.
Tapi sepertinya cowok itu
sudah benar-benar membuat adiknya kecewa. Yoona sampai tega menghiraukan
kakaknya dan masuk ke dalam rumah. Bahkan sampai membanting pintu hingga
membuat Doojoon sedikit terlonjak, dan kini pemuda itu hanya bisa menyuruh
dirinya bersabar menghadapi Yoona seperti tadi.
Sementara
di dalam rumah, Yoona segera mengurung dirinya di kamar. Gadis itu
menghempaskan tubuhnya ke kasur. “Kenapa semua orang lebih memilih sepakbola di
banding keluarga? Ayah milih ngelatih sepakbola di Surabaya. Sementara ibu
lebih milih ngurus sekolah sepakbola milik ayah di Bandung dan ninggalin gue di
Jakarta. Lalu bang Doojoon? Argh! Kenapa nggak pada kawin aja sekalian sama
bola!”
“Yoon,
gue denger loh apa yang lo omongin!”
“Astaghfirullah!”
seru Yoona yang terkejut karena tiba-tiba ada yang menyahut ucapannya. Ternyata
Doojoon yang mengintip dari luar jendela kamar Yoona. “Ngapain lo masih di
sini?” omel Yoona setelah membuka jendela kamarnya.
“Lo
marah banget sama kakak lo yang ganteng ini?” Tanya Doojoon. Yoona menatap
Doojoon jijik. “Maaf ya. Emang mendadak. Dan sebagai gantinya, nanti malem kita
jalan deh. Terserah lo mau ke mana, biar semuanya gue yang bayarin.”
“Nggak
butuh! Gue masih punya uang,” desis Yoona dengan nada merendahkan. “Udah sana
pergi! Pacar lo udah nunggu tuh!”
Doojoon
menahan napasnya karena Yoona tiba-tiba menutup jendela dengan kasar. Setelah
itu ia menghembuskannya. Lega karena setidaknya tidak ada bagian tubuhnya
terkena bagian dari jendela. Lalu Doojoon berbalik dan berniat meninggalkan
halaman rumahnya bagian samping itu. Belum sempat melangkah, Doojoon langsung
kembali mendekati jendela dan menggetuknya dari luar.
“Tadi
lo ngomong apa, Yoon? Pacar gue? Maksud lo Taeyeon? Lo ketemu dia di mana?”
Tanya Doojoon sumringah setelah melihat pantulan wajah Yoona dari balik kaca
jendela. Dan Yoona ternyata hanya menunjukkan kepalan tangannya sebagai tanda
ancaman untuk Doojoon.
***
“Eh,
itu oper ke depan!” teriak Howon memberi instruksi pada rekan-rekan timnya. Ia
bukan tengah bermain dengan Sungyeol, Yoseob dan Dongwoon di lapangan sebakbola
sesungguhnya seperti apa yang seharusnya ia lakukan sekarang. Tapi Howon hanya
berada di lapangan kecil yang terletak di sebuah taman kota, bersama teman-teman
kecilnya.
“Itu
yang pake baju biru siapa namanya tadi?” Tanya Howon pada salah satu bocah yang
bermain bersamanya.
“Namanya
Yoogeun, bang,” jawab anak itu.
“Oke.”
Kini Howon yang menguasai bola. “Yoogeun sundul bolanya!” teriak Howon seraya mengoper
bola pada anak yang di maksud. Dan… GOOOL… “Kerja bagus, bro!” Howon mengacak
puncak kepala Yoogeun dengan gemasnya. Sesekali Howon melirik jam tangannya.
“Waah, udah mau maghrib nih. Bang Hoya udahan dulu ya. Besok-besok kita main
lagi.”
“Janji
ya, bang?” kata Yoogeun penuh harap.
“Sekalian
ajarin kita main bola yang keren juga ya kayak bang Hoya tadi,” sambung yang
lainnya.
Howon
mengangguk menanggapi teriakan-teriakan teman kecilnya. Kesenangan tadi bisa
sesaat melupakan kesedihannya karena sang ibu menyita seragam bola sekolah
bahkan membuang sepatu sepakbola kesayangannya. Setelah berpamitan, Howon
segera meninggalkan taman itu. Meski sebenarnya ia masih kesal dengan tindakan
ibunya. Namun, tawa-tawa polos anak kecil yang bermain bersamanya tadi, membuat
Howon tak berhenti tersenyum.
Howon
pulang dengan berjalan kaki. Langkahnya melewati sebuah perumahan yang tidak
terlalu besar. Di ujung sana, Howon melihat dua cowok yang berjalan ke arah
berlawanan dengannya. Howon tidak terlalu mengenali dua cowok itu, namun yang
membuatnya membulatkan mata adalah karena salah satu dari mereka membawa sepatu
milik Howon yang tadi siang di buang oleh ibunya.
Dengan
langkah cepat, Howon menghampiri dua kakak beradik yang ternyata Siwan dan Chunji.
Mereka tampak asik mengobrol sampai-sampai tidak terlalu menyadari ada
seseorang yang berjalan ke arah mereka.
“Temennya
bang Siwan?” bisik Chunji sambil mengawasi sosok Howon yang sudah berdiri tepat
di hadapan mereka meski tidak mengatakan apa-apa.
Siwan
melirik ke Chunji sesaat lalu menggeleng. “Ada apa?” Tanya Siwan pada Howon.
Howon
tetap menatap sinis ke arah benda yang ia yakini miliknya. “Boleh liat
sepatunya sebentar?”
Siwan
dan Chunji yang heran dengan permintaan Howon, hanya bisa saling melempat tatapan
tanpa ada yang bisa memberikan saran. Karena sudah tidak sabar, Howon merebut
paksa sepatu di tangan Siwan, membuat Siwan sendiri tersentak seketika dan
tidak bisa melakukan perlawanan sedikitpun.
Seketika
hati Howon terasa mencelos. Dengan perlahan ia mengangkat wajahnya sambil
menunjukkan tatapan membunuhnya untuk Siwan. “Dari mana lo dapet sepatu ini?”
Tanya Howon yang sebelumnya sempat menghela napas sesaat.
Siwan
sendiri hanya bisa meneguk ludahnya. Seketika tenggorokkannya juga terasa
tercekat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar