Author :
Annisa Pamungkas
Main Cast :
·
B2ST/Beast Lee Gikwang
·
Infinite Lee Howon (Hoya)
·
SNSD Im Yoona
Support cast :
·
Other member B2ST/Beast
·
Other member Infinite
·
Yong Hwa CN Blue
·
Siwan Ze:a
·
Jonghyun, Minho Shinee
·
All member A-Pink
·
Hara KARA
·
Sulli F(x)
Genre
: romance, family,
friendship
Length : chapter
***
Ketika sampai di lapangan
sepakbola pribadi milik SMA Paradise, Gikwang hanya tinggal mengganti
pakaiannya dengan seragam klub karena ia sudah melakukan pemanasan mulai dari
rumah hingga sekolah. Setelah itu, Gikwang bergabung dengan Jonghyung, Yong Hwa
dan Sunggyu yang tengah melakukan peregangan.
“Lemes
banget lo bro,” sapa Jonghyun ketika melihat Gikwang mendekat.
“Belom
pindah rumah ke tempat yang lebih jauh kan, lo?” ledek Yong Hwa.
Tentu
saja mereka hampir sependapat karena melihat semangat Gikwang yang tampaknya
agak sedikit menurun. Belum lagi wajah cowok itu terlihat cukup kelelahan.
Padahal ia melakukan jogging dari rumah hingga sekolah bukan untuk kali pertama.
“Jangan
lemes gitu, Kwang. Sore ini ada orang-orang dari pihak klub sepakbola ‘Dream
Boys’. Mereka akan ngawasin latihan kita. Dan yang terpilih bisa ikut seleksi
untuk gabung di klub mereka,” jelas Sunggyu.
“Akh,
serius lu?” Tanya Gikwang memastikan.
“Ngapain
juga gue bohong?” protes Sunggyu yang merasa ucapannya hanya di anggap lelucon
oleh Gikwang.
“Pelatihnya
Im Seulong, bukan?” Gikwang mulai penasaran.
“Im
Seulong masih ngelatih ‘Locket Boys’ di Surabaya,” jelas Yong Hwa yang langsung
membuat Gikwang kehilangan semangatnya lagi.
“Ayolah,
Kwang. Gue denger ‘Dream Boys’ juga ngelakuin hal yang sama ke anak-anak di SMA
Sun Moon. Kita jangan kalah dari mereka. Susah lo bisa lolos ‘Dream Boys’,”
timpal Jonghyun mengintimidasi.
“Kali
aja pelatih favorit lo si Im Seulong itu kepincut sama permainan lo, terus dia
pengen pindah ke ‘Dream Boys’ deh biar bisa ngelatih seorang Lee Gikwang,”
sambung Sunggyu.
Gikwang
terkekeh mendengar rayuan tiga temannya. “Bisa aja lu sipit,” goda Gikwang
sambil menyikut lengan Sunggyu dengan ekspesi malu yang dibuat-buat. Jonghyun
dan Yong Hwa memasang tampak pura-pura ingin muntah. Sementara Sunggyu melotot
ke arah Gikwang meski sebenarnya ia tidak terlalu bisa melakukan itu.
PRIIITTT…!!!
Gikwang,
Sunggyu, Yong Hwa dan Jonghyun terlonjak mendengar suara peluit milik Leeteuk,
pelatih klub sepakbola SMA Paradise yang ternyata memang ditujukan untuk mereka
berempat yang masih saja asik mengobrol. Padahal rekan-rekan yang lain sudah
pada berkumpul untuk menerima arahan sebelum memulai latihan yang katanya di
saksikan langsung oleh orang-orang penting di salah satu klub sepakbola
terbesar di ibukota.
“Kapten
tuh ngasih contoh yang baik donk,” sindir Junhyung ketika Gikwang dan tiga
temannya sudah bergabung. Terlebih saat itu Gikwang mengambil tempat yang tidak
terlalu jauh dari tempat Junhyung berdiri.
“Diem
lu!” bentak Jonghyun tak terima jika temannya di remehkan seperti tadi.
“Sssttt…”
desis Gikwang mengingatkan. “Udah deh, Jong.” Ia sendiri tidak terlalu ambil
pusing dengan perlakuan Junhyung padanya. Sementara Yong Hwa dan Sunggyu hanya
menggeleng melihat kelakuan temannya itu.
“Bang,
itu Lee Donghae,” bisik Myungsoo yang ketika Gikwang datang langsung mendekati
sahabat kakaknya itu.
Mata
Gikwang langsung mencari-cari orang yang di maksud Myungsoo. Setelah melihat
seorang pelatih muda yang kharismatik, Gikwang melirik Myungsoo lalu
mengangguk.
“Pantes
lo ngefans sama dia. Pelatih muda. Keren, Myung.”
Myungsoo
tersenyum bangga mendengar komentar Gikwang tentang sosok pelatih yang ia
idolakan. “Ayo kita sama-sama gabung di sana, bang,” ajak Myungsoo semangat.
Tanpa
pikir panjang Gikwang mengangguk tak kalah semangat mendengar ajakan sekaligus
tantangan dari Myungsoo agar ia dengan semangat mengikuti serangkaian tes agar
bisa bergabung di sana.
“Ngapain
lo berdua?” tegur Sunggyu yang berdiri di belakang Myungsoo karena tak bisa
menahan rasa penasarannya dengan apa yang tengah di bicarakan Myungsoo dan
Gikwang.
“Ada
deh,” seru Myungsoo dan Gikwang yang kompak menjahili Sunggyu.
***
Esoknya
sepulang sekolah, Gikwang langsung bergegas menuju sebuah kamar yang dihuni
ayahnya, Sungmin. “Biar ku bantu, pa.” Gikwang menawarkan diri ketika melihat
Sungmin hendak memindahkan sebuah kardus ke sudut ruangan. Ia juga sempat
melempar ranselnya sembarangan ke lantai.
“Akh,
kamu sudah pulang Gikwang,” seru Sungmin sedikit terkejut dengan kedatangan
putranya.
“Papa
udah nemu rumah yang baru?” Tanya Gikwang sedikit hati-hati. Tidak mungkin ia
langsung menyatakan dengan gamblang bahwa rumah baru mereka bisa dipastikan
lebih kecil dan tidak sebagus rumah mereka yang sekarang.
Sungmin
menegakkan badannya ketika pekerjaan tadi telah selesai mereka lakukan. Ia lalu
menatap Gikwang penuh arti. “Papa hanya sanggup menyewa satu rumah di ‘Phoenix’
apartmen kelas dua,” serunya setengah menyesal karena harus menyeret putranya
satu-satunya ke luar dari rumah mewah ini. Juga menyeretnya ke masa sulit
kehidupan mereka.
Gikwang
melebarkan matanya tak percaya. Mungkin Sungmin menyimpulkan bahwa anaknya
menaruh kekecewaan besar terhadapnya. Namun kenyataannya lain. “Yong Hwa
tinggal di sana juga. Tepatnya kelas tiga B, dan itu udah bagus banget, pa.”
Gikwang menunjukkan ekspresi takjub. Tapi sedetik kemudian, raut wajahnya
kembali berubah. Ia menatap Sungmin penuh selidik. “Aku jadi nggak yakin kalo
papa bener-bener bangkrut,” serunya dengan nada pelan dan sedikit didramatisir.
Sungmin
melipat tangannya didepan dada sambil menatap Gikwang menantang. “Sekarang coba
kamu lihat. Tinggal di mana kamu selama ini?”
Seolah
mengikuti permainan Sungmin, Gikwang menyapukan pandangannya hampir ke tiap
sudut kamar ayahnya yang luas. Jika saja mengabaikan keberadaan beberapa tumpuk
kardus di salah satu sisi ruangan, kamar Sungmin itu memiliki desain klasik
yang mewah.
Gikwang
akhirnya menghela napas, menyerah. “Aku sadar. Setidaknya rumah ini bisa
membeli bahkan sampe empat rumah di ‘Phoenix’ apartmen kelas satu. Waah… betapa
kayanya papaku tercinta,” goda Gikwang yang tak segan-segan memamerkan eye smile-nya.
Sungmin
tak kuasa menahan tawa melihat kelakuan putranya. Yang membuatnya sampai detik
ini tidak bisa menghalangi keinginan Gikwang adalah karena anaknya itu tidak
pernah melakukan protes keras terhadap apapun keputusannya untuk Gikwang. Dan
Gikwang sendiri memiliki cara tersendiri untuk menghadapi ayahnya. Mereka
saling melengkapi satu sama lain.
“Kayaknya
aku nggak peduli kita mau tinggal di mana nantinya. Asalkan…” Gikwang dengan
sengaja menggantungkan ucapannya. Ia melirik penuh arti pada Sungmin yang
berdiri sedikit tegang di depannya.
“Apa?”
Tanya Sungmin tegas untuk menutupi kegugupannya.
“Motorku
jangan di jual ya, pa.” Gikwang memohon dengan nada manja hingga membuat
Sungmin nyaris saja memukulnya karena sudah membuat Sungmin berpikir jauh
tentang kemungkinan yang dikatakan Gikwang padanya.
Hening
sesaat ketika mereka duduk di tepi tempat tidur Sungmin setelah kembali sibuk
dengan kegiatan mengepak barang-barang milik Sungmin.
“Kayaknya
kamu nggak pernah protes apapun keputusan papa?” Sungmin menatap anaknya,
curiga.
Gikwang
menoleh seraya mencerna maksud ucapan ayahnya. “Jadi papa maunya aku protes
terus kita adu mulut sampe berantem? Terus, aku kabur deh dari rumah,” seru
Gikwang dengan imanjinasi yang cukup berlebihan.
“Ya
nggak gitu juga, Kwang,” kata Sungmin sebal. “Bagus deh kalo kamu itu penurut.”
“Tapi
seru juga sih kayaknya,” lanjut Gikwang dengan tatapan menerawang. “Papa
ngelarang aku main bola, tapi aku diem-diem tetep nekat main. Terus aku sampe
di rekrut sama sebuah klub bola yang pelatihnya itu Im Seulong. Dan akhirnya,
papa setuju deh karena aku bisa suk… aduh!” Gikwang menoleh sambil memegangi
kepalanya yang sedikit berdenyut karena mendapat sebuah jitakan dari Sungmin.
“Papa!” protesnya, namun diabaikan oleh Sungmin yang sudah berjalan menuju laci
meja komputernya.
Tak
lama Sungmin kembali dengan membawa selembar kertas. Tapi ternyata, Gikwang
justru sudah dengan seenaknya berbaring di kasur dengan mata terpejam dan kedua
tangannya dijadikan alas kepala.
“Bangun,
atau papa bener-bener ngelarang kamu bermain bola,” ujar Sungmin dengan suara
pelan, namun benar-benar ampuh membuat Gikwang tersentak dan bangkit.
“Jangan
gitu donk, pa!” Lagi, Gikwang melancarkan protes.
Sungmin
tersenyum penuh kemenangan. “Ini.” Ia lalu duduk di samping Gikwang seraya
menyerahkan kertas tadi yang ternyata adala formulir dari sebuah klub sepakbola
‘Running Boys’.
“Kok
papa bisa dapet ini? Dari mana?” desak Gikwang yang tak bisa menutupi rasa
penasarannya.
“Lee
Hyukjae, pelatih klub itu dulunya teman SMA sekaligus teman satu klub bola
dengan papa. Beberapa waktu lalu, kita nggak sengaja ketemu. Setelah ngobrol
panjang lebar, ternyata dia sedikit banyak tau tentang kamu dari beberapa
turnamen yang pernah kamu ikutin. Dia tertarik dan akhirnya dia nawarin kamu
untuk gabung ke klubnya,” jelas Sungmin. “Akh, ternyata Hyukjae benar-benar
menekuni sepakbola sampai sekarang.”
Gikwangpun
menanggapi cerita ayahnya dengan cukup antusias. Kecuali ketika Sungmin memuji
teman lamanya itu. Lalu ketika teringat bahwa dirinya ada jadwal kembali
latihan sore ini, raut wajahnya berubah. “Cuma aku aja yang di ajak?” Tanya
Gikwang yang sebenarnya cukup ragu melontarkan pertanyaan itu. Karena
kemungkinan besar memang seperti itu kenyataannya.
Sungmin
mengangguk sambil tersenyum bangga dengan prestasi putaranya. “Kejarlah
mimpimu, nak.” Sungmin mengusap rambut anaknya.
Gikwang
hanya mampu menatap nanar kertas di tangannya. Inilah jalannya. Ia memang tidak
bisa selamanya terus bersama dengan Jonghyun, Sunggyu, Yong Hwa bahkan Myungsoo
dan yang lainnya. Tapi akan selalu ada orang-orang baru di kehidupannya ke
depan. Hanya saja yang menjadi masalah adalah, Junhyung. Rivalnya itu sudah
lebih dulu bergabung di ‘Running Boys’ karena Hyukjae adalah pamannya meski ia
tetap mendapatkan pantauan dari pihak ‘Dream Boys’. Dan yang lebih mengejutkan
lagi ternyata Hyukjae juga teman lama Sungmin.
***
Seperti
yang biasa Yoona lakukan di sore hari, ia mengayuh sepedanya sampai ke taman.
Taman tersebut termasuk jalan tengah antara rumahnya dengan SMA Sun Moon,
tempat Howon bersekolah. Tepat sekali, Yoona memang berniat menemui cowok itu.
Tentu saja untuk mengantarkan peralatan olahraga milik Howon.
“Won,
maaf banget ya, ternyata kaos kaki lo kebawa sama kakak gue,” kata Yoona tanpa
basa-basi lagi. Ia juga tak lupa menyerahkan tas pada Howon. “Tapi tadi udah
gue beliin yang baru kok. Cuma, yaa… gitu. Bukan barang mahal,” jelasnya.
“Lo
sekali lagi bahas barang-barang mahal, gue cium ya!” ancam Howon jengkel yang sukses
membuat Yoona membekap mulutnya.
“Gini
aja deh, baju lo yang kemaren lo laundry di
mana? Biar gue yang ambil.”
Howon
merogoh saku jinsnya dan mengeluarkan selembar kertas tanda bukti dari tempat
Howon me-laundry kostum bola yang
kemarin ia pakai latihan. Ia lalu memberikannya pada Yoona.
“Ini
udah di bayar, kan?” goda Yoona setelah menerima kertas darit tangan Howon.
“Ya
elah, Yoon. Takut amat. Kalopun belom juga pasti gue kasih lah duitnya ke lo,”
seru Howon sambil terkekeh.
Yoona
ikut terkekeh mendengar candaan Howon. “Ya udah deh. Gue balik dulu ya. Belom
beres-beres rumah nih soalnya,” pamit Yoona yang sudah bersiap dengan
sepedanya.
“Duh,
maaf banget ya, Yoon. Kayaknya gue bakal ngerepotin lo terus,” kata Howon
sedikit merasa bersalah.
“Santai,”
jawab Yoona pendek, sementara tangan kirinya menepuk pelan pundak Howon. “Oiya,
lo sekolah di mana sih?” Tanya Yoona sedikit penasaran. Selama mereka saling
kenal, belum sekalipun Yoona bertanya hal itu.
“SMA
Sun Moon. Lo sendiri?” Howon membalikkan pertanyaan Yoona. Namun sebelum
mendengar jawaban cewek di depannya itu, ponsel Howon bergetar tanda sebuah
pesan masuk.
Yoona
menepuk pundak Howon sampai membuat cowok itu menoleh. “Gue duluan ya. Sampe
ketemu di sekolah.” Tanpa menunggu respon dari Howon, Yoonapun mulai mengayuh
sepedanya dan meninggalkan tempat ia bertemu dengan Howon.
Sementara Howon sendiri
hanya memperhatikan laju sepeda Yoona yang semakin menjauh sambil ia melakukan
panggilan melalui ponselnya. “Iya ini gue udah lagi di jalan,” ucapnya pada
seseorang di seberang telpon sambil melangkah ke arah yang berlawan dari tempat
perginya Yoona.
***
Esoknya,
sebuah pertandingan penting di gelar. Dan tepat hari itu akan mempertemukan SMA
Sun Moon sebagai tuan rumah dengan SMA Paradise yang di ketahui selama ini
menjadi salah satu saingan terberat dari SMA Sun Moon.
Yoona
yang sore itu baru ke luar dari perpustakaan—karena sepulang sekolah tadi
siang, ia harus melakukan kerja kelompok dengan beberapa teman sekelasnya—di buat
bingung dengan pemandangan yang ada. Banyak siswa yang sudah tak mengenakan
seragam sekolah, berbondong-bondong menuju area belakang sekolah tempat stadion
kecil sepakbola pribadi milik SMA Sun Moon berada.
“Jaejong!”
teriak Yoona pada salah satu teman sekelasnya yang kebetulan melintas. “Ada
apaan, sih?” tanyanya penasaran ketika cowok tinggi itu menghampirinya.
“Ada
turnamen bola. Kebetulan hari ini kita yang jadi tuan rumah. Masa lo nggak tau,
sih?”
Yoona
menggeleng polos. Ia lalu menatap Jaejong dari atas ke bawah. Cowok itu memakai
pakaian kasual. “Lo nggak ikut tanding bola?”
Jaejong
hanya terkekeh mendengar pertanyaan Yoona. “Gue tuh anak basket, bukan dari
klub bola kayak cowoknya Tiffany si Minho itu tuh,” jelasnya sambil
geleng-geleng kepala melihat Yoona.
Mungkin dari sekian banyak
siswa SMA Sun Moon, hanya Yoona yang tidak tau apa-apa. Termasuk pertandingan
sepak bola sore ini.
“Kok Hoya nggak cerita kalo dia mau ada
pertandingan bola sore ini? Nggak mungkin dia nggak ikut tanding, kan?” Yoona
sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Ya udah,
lo mau ikut gue ke sana nggak? Temen-temen klub basket gue udah pada nunggu di
sana nih. Soalnya gue juga mau bantuin mereka kalo butuh sesuatu,” kata Jaejong
karena Yoona hanya diam sejak beberapa menit yang lalu.
“Kalian
anak-anak basket pada nonton?” ujar Yoona takjub.
“Walau
kita beda klub, tapi kita selalu saling support. Anak-anak bola juga sering
nonton kita main basket, kok,” jelas Jaejong. “Ya udah, ayo ke sana,” ajaknya
lagi, kali ini ia sedikit memaksa.
Yoona
mengangguk cepat. “Ya udah deh,” ujar Yoona akhirnya.
Merekapun bergegas menuju
lapangan sepakbola. Di sana Yoona dan Jaejong segera bergabung dengan siswa
yang lain. Mengantri untuk masuk ke stadion yang tidak terlalu besar itu.
“Eh,
lo masuk duluan aja deh. Ada barang gue yang ketinggalan di gedung sekolah.” Tanpa
menunggu persetujuan Jaejong, Yoona langsung ke luar dari barisan.
Yoona
menelusuri gedung SMA lantai satu yang sudah sangat sepi itu. Tanpa sengaja
matanya menemukan seorang gadis berseragam SMP di dekat ruang kesehatan SMA Sun
Moon. Merasa seperti mengenali cewek itu, Yoonapun mendekat.
“Kamu…
adiknya Minho, kan?” Tanya Yoona.
Siswi
SMP Sun Moon itu tersentak dengan keberadaan Yoona. Ia lalu menoleh sambil
menegakkan badan. “Kakak temennya mas Minho?” cewek yang ternyata Sulli itu
balik bertanya.
Yoona
menggangguk. “Kamu ngapain di sini sendirian? Nggak ke stadion?” Tanya Yoona
yang langsung membuat Sulli tertunduk. “Kamu sakit?” tanyanya lagi karena
melihat wajah putih Sulli yang sedikit pucat. “Kenapa nggak istirahat di dalam?”
lanjutnya setelah memastikan ruangan di belakang Sulli benar-benar ruang
kesehatan sekolah.
Sulli
menggeleng. “Aku nggak berani sendirian. Kakak-kakak petugasnya lagi pada mau
nonton bola,” jelas Sulli pelan.
Yoona
berdecak kecewa dengan para petugas UKS—yang seluruhnya adalah siswi SMA Sun
Moon—yang dengan seenaknya melalaikan tugas mereka. Terlebih di saat ada acara
di sekolah. Tenaga mereka pasti sangat di butuhkan.
“Ya
udah, aku yang temenin aja ya?” tawar Yoona sambil membimbing Sulli untuk masuk
ke dalam. Beruntung ruangan juga tidak di kunci. Ia semakin menggelengkan
kepala. “Gimana kalau ada barang yang ilang?” cibirnya.
“Kakak
nggak mau nonton bola?” Tanya Sulli yang merasa tak enak karena secara tak
langsung, ia yang meminta Yoona menemaninya di sana.
Yoona
tersenyum sambil menggeleng. “Gapapa, kok.” Ia lalu meletakkan ranselnya di
meja, sementara Sulli sudah membaringkan diri di tempat tidur. “Tapi aku
tinggal ke perpustakaan sebentar ya. Cuma mau ngambil barang aku yang
ketinggalan,” pamitnya. Memang itu tujuannya kembali ke gedung sekolah.
***
“Akh!”
pekik Gikwang sambil memegangi siku tangan kirinya. Ia yang sedang berada di tengah
lapangan untuk melakukan pertandingan sepakbola, tak sengaja bertabrakan dengan
Junhyung ketika saling berebut bola melawan Minho dari tim lawan.
Sunggyu
yang kebetulan tak jauh dari tempat Gikwang berada, langsung berlari
menghampiri temannya yang sudah berbaring di atas rumput. “Kwang, lo gagapa?”
tanyanya setengah panic. “Tangan lo berdarah!” serunya heboh ketika melihat
darah mengucur dari siku tangan Gikwang sambil ikut memegangi luka untuk
menahan agar darah tak semakin deras ke luar.
“Tim
medis!” teriak Howon pada official SMA
Sun Moon. Biar bagaimanapun, pengurus sepakbola SMA Sun Moon harus bertanggung
jawab pada keselamatan semua orang yang hadir. Meski itu dari tim lawan
sekalipun.
Kebetulan
Jaejong yang menyadari teriakan Howon. Meski dari tim basket, ia tak akan
segan-segan membantu tim sepakbola dalam bentuk apapun. Karena yang di lakukan
tim sepakbola sore ini demi nama sekolah juga.
Tanpa
pikir panjang, Jaejong berlari ke tempat Howon berada diikuti salah satu
temannya yang tadi berdiri bersama di tepi lapangan. Tentu saja tujuan utamanya
adalah melihat keadaan Gikwang.
“Petugas
PMR mana sih?” omel Howon ketika Jaejong datang bersama Yoochun yang sebenarnya
adalah anggota tim basket, bukannya para petugas medis atau minimal anggota PMR
yang bergerak.
“Nggak
tau, gue sama Yoochun bawa ke ruang kesehatan SMP aja, deh.” Jaejong menyeruak
di antara beberapa aggota tim SMA Paradise untuk membantu Gikwang berdiri.
Yoochun juga ikut membantu Jaejong memapah Gikwang.
“Bawa
ke ruang kesehatan SMA aja. Punya SMP lagi di renovasi,” kata Minho sebelum mereka
bergerak percuma ke ruang kesehatan SMP Sun Moon.
***
Yoona
baru saja kembali ke ruang kesehatan setelah mengambil beberapa alat tulis
miliknya yang tertinggal di perpustakaan sekolah. “Obat yang ku berikan sudah
kamu minum?” Tanya Yoona sambil menyelimuti tubuh Sulli yang tengah berbaring.
Sulli
hanya mengangguk lemah sebagai jawaban.
“Kalau
kamu butuh sesuatu, bilang aja ya.” Yoona lalu memilih duduk di kursi tak jauh
dari tempat tidur Sulli sambil membaca novel yang ia bawa di dalam tas.
Tak lama
pintu ruang kesehatan terbuka dengan sedikit kasar. Yoona sampai terlonjak dan
Sulli sukses terbangun dari tidurnya. “Jaejong? Yoochun? Kalian kenapa…” Yoona
tak melanjutkan ucapannya ketika melihat seorang cowok yang berada di antara
dua temannya itu.
Jaejong
dan Yoochun mendudukkan Gikwang di kursi yang kosong.
“Yoon,
lo bisa ngobatin luka, kan?” Tanya Yoochun sedikit membuyarkan lamunan Yoona.
“Iya,
sebentar.” Yoona langsung menuju tempat kotak P3K yang tergantung di tembok.
“Eh,
kamu adiknya Minho, kan?” Tanya Jaejong ketika menyadari keberadaan Sulli di
sana.
Sulli
yang masih dalam posisi berbaring, melirik ke arah Jaejong. Yoochun dan Gikwang
juga menatap cewek itu. Sulli mengangguk lemah, sementara tatapannya jatuh ke
wajah Gikwang.
“Yoon,
lo anak PMR, ya?” Tanya Jaejong ketika Yoona kembali dan tengah mempersiapkan
barang-barang yang ia butuhkan untuk mengobati Gikwang.
“Bukan,”
kata Yoona singkat sambil meminta bantuan Yoochun untuk memegangi kotak kecil
yang ia bawa tadi.
“Akh.”
Gikwang meringis ketika Yoona tengah membersihkan lukanya.
Sontak
Yoona menjauhkan tangannya yang memegang kapas basah karena cairan alcohol. “Maaf,”
ujarnya merasa bersalah sambil mendongak membuat mata mereka bertemu.
Yoochun
berdecak kesal. “Bener-bener tuh anak PMR. Nggak ada satupun yang nongol pas
lagi di butuhin.”
Yoona
dan Gikwang langsung kembali tersadar dan berusaha menyembunyikan apa yang baru
saja terjadi di antara mereka.
“Kalo
sakit bilang ya,” ujar Yoona mengingatkan. Gikwang hanya mengangguk. Yoona lalu
kembali melanjutkan pekerjaannya dengan sangat hati-hati.
“Gue
nggak kebayang kalo Howon beneran ngamuk ke anak-anak PMR itu. Lo liat kan
Howon kecewa banget pas tau ternyata kita yang nongol?”
Yoochun
mengangguk membenarkan ucapan Jaejong. Mereka sibuk mengobrol berdua, membiarkan
Yoona sibuk sendiri bersama Gikwang yang berada di tengah-tengah Jaejong dan
Yoochun.
Tak lama,
Jaejong tampak merogoh saku jins lalu mengeluarkan ponsel miliknya. “Halo,”
sapanya setelah menempelkan ponsel di telinga. “Oh, gitu? Ya udah, ini juga
sebentar lagi selesai kok. Iya, pake mobil gue aja gapapa.”
“Siapa?”
Tanya Yoochun penasaran ketika Jaejong mengakhiri pembicaraannya di telpon.
“Itu
si Yunho. Katanya kita suruh bawa dia ke rumah sakit,” jelas Jaejong. Yang di
maksud dengan ‘dia’ adalah Gikwang.
“Ya
ampun, ngerepotin banget kalo kalian yang bawa gue ke rumah sakit,” kata
Gikwang tak enak.
“Udah,
gapapa.” Yoochun bicara sambil membantu Yoona melilitkan perban di sekitar siku
tangan kiri Gikwang. “Lagian, init uh sebagai bentuk tanggung jawab sekolah
karena kita nggak bisa nyiapin tim medis yang layak.”
“Udah,
nih. Cepet sana kalian bawa ke rumah sakit. Takut keburu infeksi,” kata Yoona
yang dengan sigap membereskan peralatan P3K yang ia gunakan.
“Ya
udah. Kita pergi ya,” pamit Jaejong.
Yoona
yang sudah terlanjur memunggungi mereka, hanya menjawab dengan anggukan. Sementara
Gikwang masih menatap punggung Yoona seakan tak rela ia di bawa pergi oleh
Yoochun dan Jaejong. Yoona sendiri hanya menghela napas berat ketika pintu
tertutup dari luar.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar