Author :
Annisa Pamungkas
Main Cast :
·
B2ST/Beast Lee Gikwang
·
Infinite Lee Howon (Hoya)
·
SNSD Im Yoona
Support cast :
·
Other member B2ST/Beast
·
Other member Infinite
·
Yong Hwa CN Blue
·
Siwan Ze:a
·
Jonghyun, Minho Shinee
Genre
: romance, family
Length : chapter
***
“Dari
mana lo dapet sepatu ini?” Howon mengulangi pertanyaannya. Kali ini sedikit
lebih pelan, namun ia mengatakannya dengan penuh penekanan dalam tiap katanya.
Chunji
menarik-narik kaos kakaknya yang sudah mulai sedikit takut karena Howon sama
sekali tidak mengubah tatapannya. Sementara itu, Siwan hanya melirik sesaat dan
mengangguk sebagai tanda bahwa ia bisa mengatasi Howon.
“Apa
lo bener-bener mau denger penjelasan gue?” Siwan mengajukan penawaran terlebih
dahulu karena ia meyakini bahwa pemuda di hadapannya kini adalah seseorang yang
tau bahkan mungkin pemilik sebenarnya sepatu pemberian Yoona tadi.
“Apa
ada ibu-ibu yang bilang kalau dia mau membuang sepatu ini, lalu tanpa sengaja
kalian bertemu dan akhirnya ibu itu justru lebih memilih untuk memberikannya ke
lo?” cecar Howon.
Siwan
sampai mengerutkan keningnya karena terlalu bingung dengan cerita Howon tadi.
“Yang ngasih sepatu itu temen gue. Dia emang bilang kalo sepatu itu sebelumnya
di buang. Tapi sumpah gue nggak tau siapa yang ngebuangnya.”
Lagi-lagi
perasaan Howon mencelos. Ibunya benar-benar membuktikan ucapannya dengan
membuang sepatu sepakbola miliknya.
“Apa
itu milik lo?” Tanya Siwan, namun Howon tak menjawab. “Kalo emang iya, lo boleh
kok ambil lagi sepatunya. Dan maaf kalo udah sempet gue pake tadi.”
“Nggak
usah,” sambar Howon cepat-cepat sambil mengembalikan sepatu yang tadi ada di
tangannya pada Siwan. “Maaf, bukannya apa. Tapi gue udah nggak bisa milikin
sepatu itu lagi. Dan kalo lo mau, lo bisa pake kok sampe kapanpun. Tapi kalo
boleh, gue mau minta satu permintaan ke lo.”
“Apa?”
seru Siwan tanpa pikir panjang. Biar bagaimanapun, Howon adalah pemilik
sebenarnya dari sepatu itu.
“Gue
Cuma mau tau aja siapa yang ngasih sepatu itu ke lo.”
***
Malam
itu, Gikwang tengah duduk sendiri di kursi panjang dekat kolam renang
pribadinya di rumah. Ia menyandarkan punggungnya di sana sambil menatap
langit-langit malam. Ia juga tak pernah tertinggal dengan earphone yang menutup telinganya.
Meski
tengah mendengarkan lagu, tapi pikirannya tidak menikmati apa yang didengarkan
telinganya. Tatapan Gikwang yang kosong mengingatkan kembali pada
kenangan-kenangan yang terjadi di tempat itu, atau di rumah itu lebih tepatnya.
Bertahun-tahun
ia tinggal di sana, sejak ia kecil. Kebersamaan dengan ayahnya, atau dengan
teman-temannya seperti Yong Hwa, Jonghyun, Sunggyu dan yang lainnya. Namun ada
satu hal yang tidak bisa di kenang oleh seorang Gikwang. Yaitu kehadiran
sesosok wanita yang bisa ia panggil dengan sebutan ‘ibu’.
“Kenapa
di luar? Udara di sini sangat dingin, nak!”
Gikwang
tersentak, bukan karena mendengar suara seseorang, melainkan sebuah tangan yang
mengusap rambutnya dengan hangat. Saat menoleh, ia menemukan ayahnya sudah
duduk di sana, di sampingnya sambil tersenyum. Meski hidup tanpa ibu, Gikwang
tetap bersyukur karena masih memiliki ayah yang selalu ada di saat ia
membutuhkannya.
“Jangan
melihat seperti itu. Papa tau kalau papa sangat tampan. Sampai-sampai kamu
belum jawab pertanyaan papa.”
Gikwang
membulatkan matanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir ayahnya. Sedetik
kemudian ia tertawa terbahak-bahak. “Kenapa papa jadi narsis gitu, sih?
Pantesan aku juga sering gitu,” ujarnya sambil memegangi perut yang terasa
sakit karena menertawai ayahnya.
“Setidaknya
ayah bukan playboy sepertimu,” sindir tuan Sungmin hingga sukses membuat
putranya bungkam.
“Akh,
papa curang. Kalau mau adu ganteng tuh jangan pake ngatain anaknya playboy,
donk!” protes Gikwang tak terima sambil membaringkan kepalanya di paha Sungmin.
“Kamu
kayak anak kecil aja deh?” goda Sungmin perihal kelakuan Gikwang.
“Kalo
emang menurut papa aku udah bukan anak kecil lagi, berarti aku boleh donk tau
masalah-masalah yang papa lagi alamin sekarang ini,” ujar Gikwang dengan nada
polos seolah itu benar-benar tanpa tujuan. Tapi di balik itu semua, Gikwang
mengawasi perubahan raut wajah ayahnya. Tentu saja sebenarnya ia sudah tau
jawaban dari permintaannya itu, namun ia ingin ayahnya yang lebih dulu menceritakan
itu padanya.
Sungmin
menghela napasnya dengan keras hingga membuat Gikwang memutuskan untuk bangkit
lalu menatap ayahnya, sendu. Sungmin sendiri tidak sanggup menatap balik ke
mata anaknya itu.
“Pa,
maaf kalau aku lancang. Tapi aku udah tau apa yang lagi papa alami saat ini,”
seru Gikwang akhirnya yang sudah tidak sabar jika menunggu sampai ayahnya yang
berbicara duluan.
“Gapapa,”
kata Sungmin yang sudah meletakkan ke dua tangannya di pundak Gikwang. “Tapi
memang tidak seharusnya kamu tau tentang ini.”
Gikwang
berdiri sambil cemberut. Pura-pura cemberut lebih tepatnya. “Kalo papa nggak
nurutin permintaan aku, mending aku jadi anaknya om Changmin aja. Tinggal sama
mereka juga sekalian,” ancam Gikwang yang sesekali juga mencuri-curi pandang
pada Sungmin. Ia nyaris terkekeh melihat raut keterkejutan dari ayahnya.
“Apapun
yang kamu mau, papa pasti akan usahain buat memberikannya. Memangnya apa yang
kamu mau?” Tanya Sungmin yang sudah sangat takut jika Gikwang benar-benar
meluruskan ancamannya.
Gikwang
masih mempertahankan sikap acuhnya. “Jual rumah ini. Kita pindah ke rumah yang
lebih kecil.”
“Nggak
bisa…”
Gikwang
menatap Sungmin, berusaha memberikan pengertian pada ayahnya dengan
alasan-alasan yang logis. “Rumah kita terlalu besar untuk kita tempatin berdua.
Kita juga sering nggak di rumah. Paling kalo udah malem aja, dan itu juga cuma
buat tidur.”
“Tapi
bagaimana dengan…”
“Papa
ngeraguin apa lagi, sih?” protes Gikwang yang bahkan sudah menyelak ucapan
ayahnya. “Masalah temen?”
Sungmin
memegang pundak anaknya. “Papa Cuma takut kamu nggak terbiasa dengan suasana di
rumah baru nanti.”
Gikwang
menghela napas. Bukan untuk mengalah. Tapi hanya untuk menenangkan diri
sekaligus berpikir dengan cepat agar Sungmin mau mempertimbangkan permintaan,
atau lebih tepatnya ancaman dari Gikwang. “Ini sifatnya hanya sementara. Kalau
keuangan perusahaan udah stabil lagi, papa bisa kembali nyicil untuk ngebeli
rumah yang menurut papa layak untuk kita.”
***
“Kok
kamu nggak siap-siap?”
Yoona
tak melirik Doojoon. Ia tetap berusaha focus dengan tayangan televisi di
depannya. “Apaan sih?” Yoona semakin menenggelamkan punggungnya ke sandaran
sofa sambil memeluk bantal.
Doojoon
berdiri tepat di depan Yoona hingga menghalangi pandangan adiknya ke layar tivi
sambil meletakkan ke dua tangannya di pinggang. “Lupa, sama janji gue tadi
sore? Siwan udah nunggu tuh, ayo donk Yoon.” Doojoon berusaha merayu Yoona.
Yoona
hanya berdecak kesal. “Kalo mau ngerayu gue jangan pake jual nama bang Siwan
segala, kek! Lagian juga, gue udah nggak marah kok sama lo.” Bilangnya nggak
marah, tapi Yoona sama sekali nggak menatap Doojoon saat bicara.
“Pokoknya
gue tunggu di depan!” kata Doojoon yang terdengar setengah memaksa dan terkesan
nggak mau tau, setelah itu ia meninggalkan Yoona.
Yoona
sendiri tak merubah posisinya yang masih tajam menatap layar tivi di depannya.
Atau lebih tepatnya berusaha untuk tidak terpengaruh dengan ucapan Doojoon.
Terutama ketika cowok tadi menyinggung nama ‘Siwan’.
Tangan
kanan Yoona meraba sofa kosong di sampingnya. Ia tadi meletakkan ponselnya di
sana. Setelah mengirim sebuah pesan pada seseorang, Yoona menyeret kakinya
untuk masuk ke kamar.
***
Sementara
itu di depan pagar sebuah rumah mewah, tampak Gikwang berdiri di sana. Tidak
lupa, ia selalu menutup telinganya dengan sebuah earphone. Gikwang menatap jalanan yang membentang di hadapannya.
Sesekali ia melambaikan tangan pada beberapa orang yang kebetulan lewat sambil
menyapanya.
Tak
lama berhenti sebuah motor sport berwarna hitam, tepat di hadapan Gikwang.
Gikwang memperhatikan gerak-gerik orang itu yang tiba-tiba sibuk dengan
ponselnya.
Myung, culik
gue donk di café ‘Destiny’.. setengah jam lagi gue nyampe sana.. plisss ya..
–YOONA-
“Myungsoo?”
tebak Gikwang setelah memperhatikan beberapa ciri orang tersebut yang sama
persis seperti milik Myungsoo yang ia kenal.
“Eh,
bang Gikwang?” orang itu justru terkejut dengan suara pelan Gikwang dan
langsung melepaskan helmnya.
Gikwang
menggeleng pelan. “Kenapa sih?”
“Nggak
ada kok,” kata cowok itu yang ternyata benar-benar Myungsoo. Buru-buru Myungsoo
mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana.
“Dari
mana, lo?” Tanya Gikwang karena nggak biasanya Myungsoo lewat sana. “Nggak
jalan sama pacar?” ledeknya kemudian.
Myungsoo
langsung pasang tampang murung. “Gue nggak punya pacar, bang,” ujar Myungsoo
dengan nada malas. Seolah itu adalah pertanyaan yang paling ia hindarin. “Nah,
lo sendiri ngapain di depan rumah? Bang Sunggyu sama bang Yong Hwa aja lagi
pada ngapel. Apa justru lo yang lagi nunggu di apelin cewek, ya?” balas
Myungsoo.
“Bisa
aja, lo.” Gikwang terkekeh mendengarnya. “Eh, lo dari mana?” Gikwang mengulangi
pertanyaannya yang tadi belum sempat terjawab.
“Oh,
ini. Gue abis kerja kelompok,” jawab Myungsoo dengan tidak semangat.
“Rumah
Naeun, ya?” tebak Gikwang karena kebetulan, tetangganya yang sekelas dengan
Myungsoo hanya cewek bernama Naeun itu. Dan analisisnya cukup tepat. Namun
Myungsoo tak terlalu merespon dengan antusias. “Kok malem minggu gini sih
ngambil waktunya?”
Myungsoo
menghela napas. Sedikit enggan untuk menjawab pertanyaan tadi. “Gitu deh, bang.
Oiya, maap banget nih ya, gue nggak bisa nemenin. Temen gue tadi sms, nyuruh
gue nemuin dia.”
“Cewek
apa cowok Myung temennya?” Tanya Gikwang seolah penuh minat.
“Cewek.
Kenapa? Mau minta gue kenalin? Cieee… udah move
on, nih?” goda Myungsoo.
“Hahaha…”
Gikwang tertawa. “Kalo cakep, boleh tuh,” candanya.
“Tapi
si dia nih yang belom move on kayaknya,”
kata Myungsoo yang langsung membuat Gikwang kehilangan sedikit semangatnya. “Nyantai
aja, bang. Nanti juga lo bakal nemu kok cewek yang bisa gantiin mbak Taeyeon di
hati lo.”
“Kebanyakan
maen sama Sunggyu nih lo, Myung!”
“Lha,
bang Sunggyu kan kakak gue. Ya udah deh, lain waktu kita ngobrol lagi. Gue
balik ya,” pamit Myungsoo yang tak lama meninggalkan Gikwang yang kembali
sendiri seperti beberapa saat yang lalu.
Gikwang
sendiri hendak kembali ke dalam rumah. Tepat ketika sebuah pesan masuk ke dalam
ponselnya.
Kwang, bisa
ketemu nggak? Gue udah di jalan ke arah rumah lo.. dan setelah itu anggep aja
jadwal kencan kita nanti di batalin. –Hara-
Baru
saja Gikwang akan membalas pesan tadi, sebuah mobil sudah berhenti tepat di
depan rumahnya. Seorang cewek muncul dan langsung menghampiri Gikwang.
“Hara?”
seru Gikwang sambil bergegas ke depan pagar. “Baru aja gue mau bales sms dari
lo.”
“Gue
nggak ganggu, kan?” cewek bernama Hara itu justru balas bertanya.
“Nggak
kok. Ada yang mau lo omongin atau sekalian kita jalan ke luar?” tawar Gikwang
karena itu sama saja ia ingin menepati janji pada cewek yang sudah mengantri
untuk bisa menjadi teman kencannya.
Hara
buru-buru menggeleng. “Nggak usah, Kwang. Di sini aja. Gue juga nggak lama
kok.” Setelah Hara selesai bicara, mereka cukup lama saling diam.
“Kalo
emang nggak mau jalan sama gue, kenapa lo justru…”
“Tentang
Junhyung,” sambar Hara sebelum Gikwang menyelesaikan kalimatnya.
Gikwang
mengerutkan dahi. “Kenapa tiba-tiba lo nanyain Junhyung ke gue? Padahal lo bisa
aja Tanya melalui Hyunseung. Mereka teman sekelas.”
Hara
mengangkat bahu. Bingung sebenarnya dengan apa yang ia lakukan saat ini di
rumah Gikwang. “Emang lo nggak deket ya sama Junhyung?”
Gikwang
tak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak sambil sesekali melirik Hara. Cewek
itu tampak sangat mengharapkan sesuatu dari Gikwang. “Gitu deh,” kata Gikwang
nggak yakin. “Gue deket sama dia Cuma kalo latihan bola aja di sekolah. Di luar
itu, ya biasa aja. Nggak deket-deket banget,” jawabnya jujur.
Hara
kembali diam.
“Gini
deh, Ra. Lo omongin aja apa yang pengen lo omongin tentang Junhyung. Gue pasti
bakal dengerin kok.”
Hara
menunduk dalam-dalam. Ia bahkan sampai meremas ke dua tangannya. “Sebenernya,
udah lama gue suka sama Junhyung.”
Sebenarnya
Gikwang cukup terkejut dengan apa yang didengarnya tadi. Namun ia berusaha
menyembunyikannya dari Hara.
“Rencananya,
setelah lulus nanti gue mau pindah ke luar kota. Dan kalo semisal perasaan gue
ini belum sampai diketahuin sama Junhyung, gue harap lo mau nyampein itu ke
Junhyung.”
Gikwang
menghela napas pelan. Lega rasanya karena permintaan Hara ternyata nggak
seberat apa yang ia pikirin. “Ada lagi?” Tanya Gikwang antusias. Ia menjadi cukup
bersemangat. Apalagi jika nanti ia benar-benar menjalankan amanat dari Hara.
Hara
menggeleng. Sangat kontras dengan semangat yang di tunjukkan Gikwang. “Hanya
saja, jangan sampai ada orang lain lagi yang tau selain kita.”
“Tenang
aja,” seru Gikwang santai. “Lo sibuk nggak nih? Gimana kalo kita jalan?” ajakan
Gikwang seperti itu membuat Hara menatapnya dan dengan isyarat mengingatkan
bahwa ia telah membatalkan kencan mereka. “Cuma jalan doank, kok, bukan
kencan,” ujarnya yang telah menangkap maksud Hara. “Dan kalo perlu kita bawa
kendaraan sendiri-sendiri aja. Anggap aja Cuma jalan-jalan biasa layaknya
temen.”
“Di
dekat café ‘Destiny’ ada lapangan. Dan biasanya ramai kalo malam minggu seperti
ini. Bagaimana kalau kita ke sana?”
Gikwang
mengangguk setuju.
***
Yoona
tampak duduk sendiri di sebuah halte biasa. Ia juga telah menghubungi Myungsoo
dan mengatakan bahwa ia menunggunya di sana. Dan benar saja, tak lama tampak
sebuah motor sport berhenti tepat di depan cewek itu.
“Lo
kenapa sih?” cecar Myungsoo setelah membuka kaca helmnya.
“Bang
Doojoon ngajak gue makan. Ternyata dia ngajak ceweknya dan bang Siwan juga,”
jelas Yoona.
“Lho?
Kok lo malah kabur sih? Bukannya malah seneng bisa makan bareng bang Siwan
juga? Aneh deh lo,” komentar Myungsoo yang menangkap sedikit kejanggalan pada
Yoona malam ini.
Raut
wajah Yoona berubah murung. “Patah hati gue, Myung.”
Myungsoo
sedikit menegakkan badannya. Cukup terkejut dengan pengakuan Yoona. “Kok sama?” serunya dalam hati. “Kok
bisa?” pertanyaan yang terlontar berbeda, padahal Myungsoo juga yang ingin mengatakan
yang sebenarnya bahwa ia juga tengah merasakan hal yang sama saat itu.
Yoona
menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Myungsoo. “Ternyata bang Siwan udah
punya cewek. Tadi juga dia ajak tuh ceweknya.”
Myungsoo
menggenggam salah satu tangan Yoona sebagai ungkapan rasa simpatiknya. Namun
cewek itu tak terlalu terkejut dengan apa yang dilakukan Myungsoo karena ia
benar-benar hanya menganggap Myungsoo sebagai temen aja.
“Yaudah,
kita jalan aja yuk,” ajak Myungsoo seolah ingin membantu mengalihkan pikiran
Yoona dari Siwan.
“Kemana?”
Yoona tak langsung mendapatkan jawaban dari Myungsoo. “Jangan bilang lo
ngajakin gue ke lapangan sana ngajakin buat nonton anak-anak main bola?” kata
Yoona dengan nada tinggi seolah bisa menebak isi kepala Myungsoo. Ia juga
sempat menunjuk ragu ke salah satu arah.
“Udah
deh, seenggaknya kan lo nontonnya sama gue. Nggak akan gue tinggalin kok. Bener
deh.” Myungsoo langsung mengumbar janji karena ia tau bahwa Yoona tidak terlalu
menyukai sepakbola.
Karena sepakbola itulah
Yoona harus hidup terpisah dari kedua orang tuanya. Termasuk kakaknya, Doojoon,
yang juga selalu sibuk dengan kegiatannya bermain sepakbola.
Yoona
menatap wajah Myungsoo penuh selidik. Kali ini ia yang menemukan kejanggalan
pada diri Myungsoo. Seakan ada sesuatu yang ditutup-tutupi oleh cowok itu. “Patah
hati juga, ya?” Tanya Yoona langsung ke inti masalah yang ia curigai dan sukses
membuat Myungsoo membeku.
***
Di
sebuah lapangan futsal yang sudah ramai, terlebih sedang berjalan sebuah
pertandingan, tampak Gikwang bersama Hara berdiri di luar pagar dan menyaksikan
pertandingan itu. Gikwang yang juga mengerti sepakbola juga futsal, tampak tak
melepas tatapan pada salah seorang pemain yang bertubuh cukup tinggi dan saat
itu tengah mengenakan kaos berwarna putih dengan nomor punggung 11.
Gikwang
sempat melirik sesaat pada cowok di sampingnya yang juga tengah serius
menyaksikan jalannya pertandingan. “Yang pake nomor 11 itu siapa? Mainnya
bagus.”
Cowok
yang diajak bicara oleh Gikwang itu sebenarnya adalah Sungyeol, tapi saat itu
mereka belum saling kenal. “Namanya Choi Minho. Dari SMA Sun Moon. Padahal dia
baru kelas 1 SMA loh.”
Di
sisi lain, Hara menarik-menarik ujung jaket olahraga milik Gikwang. “Kwang, itu
kayak anak dari SMA kita,” tunjuknya pada salah satu pemain yang menjadi lawan
dari tim tempat Minho berasal.
“Lah,
iya. Itu kan si Dongwoo,” seru Gikwang saat menyadari bahwa cowok yang ditunjuk
Hara adalah salah satu anggotanya di klub sepakbola sekolah.
Di
saat yang bersamaan, Dongwoo ternyata menyadari keberadaan Gikwang. Iapun
segera menghampiri cowok yang juga kakak kelasnya di sekolah itu. “Bang, ikut
main, yuk. Temen gue gak bisa lanjut tuh. Gantiin dia,” kata Dongwoo sambil
salah satu temannya yang sedikit tergeletak di tepi lapangan. “Lo liat yang
pake baju nomor 11 itu, kan? SMA dia bakal jadi lawan kita di kompetisi antar
SMA nanti,” bisik Dongwoo seolah tengah berusaha mempengaruhi Gikwang.
“Udah
sana main,” goda Hara sambil menyenggol lengan Gikwang.
“Eh,
lo lagi kencan ya, bang?” Tanya Dongwoo gugup karena ia baru menyadari bahwa
Gikwang tidak sedang sendiri. Ia menjadi sedikit merasa bersalah pada Hara.
“Nggak,
kok.” Hara menjawab pertanyaan Dongwoo bahkan sebelum Gikwang sempat merespon. “Udah
sana cepet. Nanti gue beliin minum buat lo,” ujar Hara penuh semangat. Bahkan
ia juga ikut membantu mendorong tubuh Gikwang ke samping karena pintu masuk lapangan
ada di ujung sana.
***
Pertandingan
sudah kambali berlanjut ketika Yoona dan Myungsoo baru sampai. Yoona mengambil
tempat di samping Hara yang belum ia kenal sebelumnya. Sementara Myungsoo
berdiri di sisinya satu lagi.
Di tengah lapangan, sosok
Gikwang cukup mencolok. Karena hanya dia yang mengenakan jins dan kaus hitam
polos yang cukup membuat lekuk tubuhnya terlihat jelas. Selain itu permainannya
yang bagus membuat orang-orang yang melihatnya langsung berdecak kagum.
Baru saja Myungsoo ingin
menikmati jalannya pertandingan, ia harus segera menyingkir dari kerumunan
untuk menerima telpon. Ia sempat mengatakan hal tadi, namun tampaknya Yoona
sudah terlanjur tenggelam dengan jalannya pertandingan. Tapi lama-kelamaan,
bukan pertandingannya yang membuat Yoona sampai tak berkedip, melainkan karena
permainan seorang Lee Gikwang yang mempesona. Bahkan kharismanya bisa
menandingi Minho yang menjadi bintang di pertandingan tersebut bahkan sebelum
Gikwang datang bergabung.
Salah
satu tim meminta time out. Lalu
Gikwang memilih menyingkir ke arah berlawanan dengan yang lain. Dan itu membuat
Yoona tanpa sadar memegangi dada kirinya yang tiba-tiba berdegup ketika melihat
sosok Gikwang semakin mendekat.
Bukan.
Bukan mendekat ke Yoona, melainkan mendekat pada cewek di samping Yoona, yaitu
Hara. Cewek itu bahkan sudah menyodorkan sebotol air mineral melalui
celah-celah pagar untuk Gikwang.
Gikwang
tersenyum sambil menerima minuman dari tangan Hara lalu berkata, “makasih ya.”
Mendengar
itu, Yoona pura-pura tak peduli. Lagipula, ia memang nggak kenal sama keduanya.
Setelah menyadari kembalinya Myungsoo, Yoona langsung menarik tangan cowok itu
untuk di ajaknya pergi dari sana.
“Eh,
Yoona kok…” Myungsoo sedikit terkejut namun nggak melanjutkan ucapannya karena
menyadari kehadiran Gikwang di sana. Begitu pula Gikwang cukup terkejut
mendapati Myungsoo bersama seorang cewek ke sana. Dan mereka hanya bisa saling
menunjuk karena Myungsoo sudah terlanjur di bawa Yoona kabur dari sana.
***
Tak
lama setelah pertandingan selesai, Hara berjalan masuk ke dalam lapangan untuk
menghampiri Gikwang yang tengah duduk beristirahat bersama Dongwoo.
“Kwang,”
panggil Hara sampai cowok itu menoleh. Tak hanya Gikwang, Dongwoopun ikut
melirik ke arah Hara datang.
“Eh,
udah mau pulang? Apa mau duluan?” Tanya Gikwang.
Hara
menggeleng. “Belom pengen pulang sih. Tapi aku mau ke café depan sana. Mau
numpang ke toilet sekalian.”
“Oh,
yaudah ayo gue temenin.” Gikwang langsung berdiri.
Hara
buru-buru mengibaskan tangannya sebagai tanda menolak. “Gak usah, lo masih
capek kan abis main?”
“Udah,
gapapa. Tadi kan lo udah nemenin gue, sekarang gantian. Ayo gue temenin aja,”
kata Gikwang setengah memaksa. Ia hanya ingin membalas perbuatan baik dari
Hara. “Gue duluan ya,” pamitnya pada Dongwoo.
“Oke,
bang. Kita lanjutin besok aja obrolan yang tadi.”
Setelah
itu, Gikwang berjalan mengikuti langkah Hara yang sudah lebih dulu menjauh. Tak
terlalu lama mereka sampai di sebuah café yang memang letaknya berseberangan
dengan lapangan tadi.
“Gue
tunggu sana, ya?” kata Gikwang yang telah menunjuk satu meja yang letaknya
cukup dalam dari pintu utama café.
“Oke,”
jawab Hara singkat yang langsung saja melesat ke dalam mencari toilet.
Sementara
Gikwang berjalan ke arah yang berlawanan dengan Hara. Dari salah satu kursi,
Gikwang melihat seorang cowok yang berdiri dan meninggalkan seorang cewek yang
tadi tengah bersamanya. Untuk sesaat Gikwang membeku. Tepat ketika ia bisa
melihat jelas sosok cewek bersama cowok tadi yang ternyata Doojoon itu.
Cewek
itu sepertinya menyadari keberadaan Gikwang. Karena ia langsung mengulas senyum
di bibir tipisnya. “Gikwang?” serunya sambil melambai agar Gikwang menyadari
keberadaannya.
“Taeyeon?”
terlihat bibir Gikwang bergerak menyebut sebuah nama, namun tanpa suara. Dan
tanpa pikir panjang lagi, Gikwang mendekati cewek itu lalu duduk di kursi yang
tadi ditinggalkan Doojoon. Ia bahkan tak peduli bahwa tadi cewek itu bersama
kekasihnya.
“Hai,
apa kabar? Waktu itu aku main ke sekolah, tapi tidak bisa bertemu denganmu,”
kata Taeyeon penuh keceriaan. “Apa jangan-jangan, sekarang kamu udah punya
cewek, ya?” Tanya Taeyeon lagi setengah menggoda. Ia belum menyadari perubahan
raut wajah Gikwang ketika bertemu dengannya tadi. “Kayaknya sibuk banget.”
“Aku…”
Gikwang tak melanjutkan ucapannya. “Tadi itu pacarmu?”
“Iya.
Namanya Doojoon. Kayaknya kalian udah pernah ketemu. Dia dulu sekolah di SMA
Sun Moon.”
Deg. Gikwang
menghela napas untuk mengatur irama jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih
cepat. “Ah, iya. Dia memang pantas untuk mendepatkanmu,” ujar Gikwang membuat
Taeyeon tersenyum malu. “Boleh aku mengatakan sesuatu? Aku tau ini udah telat
banget. Tapi aku bener-bener…”
“Ngomong
aja, Kwang.” Taeyeon merespon santai.
***
Yoona
yang sedang memanggang roti di dapur, harus meninggalkan kegiatannya sebentar
karena ada seseorang yang menekan bel rumahnya. Yoona bergegas ke luar untuk
menemui tamu itu. Ia juga sempat melirik jam yang bertengger di ruang tamu saat
ia melintas. Dan saat itu masih menunjukkan pukul 8 pagi.
Saat
membuka pintu, Yoona menemukan seorang cowok yang sudah berdiri di sana. “Bang
Doojoon lagi latihan bola. Kalo pulang biasanya jam Sembilan atau setengah
sepuluhan,” sela Yoona bahkan sebelum cowok itu memperkenalkan diri apalagi
mengatakan tujuannya datang ke sana. Ia hanya menebak bahwa cowok itu adalah
teman kakaknya. Karena ia sendiri merasa tidak mengenal cowok yang datang itu.
Sementara
itu, cowok tersebut hanya tercengang dengan perkataan Yoona. Cowok yang
ternyata Howon itu segera menyadarkan pikirannya sendiri. “Gue ke sini bukan
nyari Doojoon,” jelasnya.
Yoona
mengerutkan dahinya, bingung. “Terus? Lo nggak mungkin nyari bokap gue, kan?
Apalagi nyokap.”
“Gue
nyari cewek yang namanya Yoona.”
Mendengar
namanya di sebut, Yoona langsung membeku sesaat. “Nya… nyari gue?” ujar Yoona
gugup saat mengulangi perkataan Howon. “A… ada apa?” entah kenapa perasaannya
tiba-tiba tak enak.
Howon
menatap Yoona dari atas ke bawah. “Gue Cuma mau bilang. Kalo sepatu warna ungu
yang lo dapet dari ibu-ibu yang katanya ngebuang sepatu itu adalah milik gue.”
“Oh…”
kata Yoona pendek sambil mengangguk kecil.
“Dan
lo, harus bertanggung jawab.”
“Hah!”
pekik Yoona membuat Howon harus sedikit menjauhkan wajahnya karena suara Yoona
yang cukup nyaring itu. “Tanggung jawab gimana maksud lo?” Tanya Yoona sedikit
panic. “Lagian, dari mana lo tau rumah dan cewek yang dikasih sepatu sama ibu
lo itu?”
“Intinya,
gue tau karena kemaren gue ketemu sama cowok yang lo kasih sepatu itu. Dan gue
juga minta pertanggung jawaban dari lo.”
“Jadi
lo ketemu sama bang Siwan? Ya udah kalo emang lo mau sepatu lo balik, biar nanti
gue yang minta lagi sama bang Siwannya.” Yoona sudah hampir meninggalkan
rumahnya jika tidak lebih dulu di tahan oleh Howon.
“Sepatu
itu kan udah lo kasih ke orang. Ya kali gitu mau lo minta lagi. Nggak usahlah.
Lagian, emang bukan itu pertanggung jawaban yang gue minta dari lo,” kata Howon
panjang lebar sambil melirik jahil pada Yoona.
Yoona
memundurkan badannya selangkah untuk memperbesar jarak antara dirinya dengan
Howon. “Apa?” tanyanya galak namun dengan tatapan waspada.
Howon
hanya terkekeh melihat reaksi Yoona. “Nanti aja gue kasih tau,” ujarnya santai
lalu berbalik dan berniat meninggalkan rumah Yoona.
Yoona
sendiri hanya mengarahkan kepalan tangannya dengan kesal pada Howon yang bahkan
sudah menghilang di luar pagar. Setelah itu Yoona kembali ke dalam rumah masih
dengan perasaan kesalnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar