“Hei…! Aku ini kakak mu…”
“Aku tau…”
Cheondung
yang pagi itu tengah membersihkan meja di cafenya, sedikit diganggu dengan
keributan kecil yang ditimbulkan dua anak pemilik café tempatnya bekerja.
Begitu menoleh, Cheondung melihat Jinyoung pergi meninggalkan café. Tersisa Eun
Gee di sana. Ternyata gadis itu menyadari keberadaan Cheondung di sana dan
membuat pemuda itu langsung menunduk sambil melanjutkan pekerjaan membuat
seolah ia tak mengetahui keributan kecil tadi.
“Cheondung…”
panggil Eun Gee. Dengan gugup, Cheondung pun mengangkat wajah. “Setelah
pekerjaan mu selesai, tolong bantu bereskan ruang kerja Jinyoung.” Pinta Eun
Gee. Setelah Cheondung mengangguk tanda ia mengerti, Eun Gee pun pergi dari
sana.
@@@
Setelah
siap dengan seragam sekolahnya, Taemin pun bergegas turun menuju ruang makan
untuk sarapan.
“Kau
kesiangan, Taemin?” Tanya Soo Ra ketika putra bungsunya baru muncul.
Taemin
duduk di samping Kyuhyun. “Tidak bu, hanya ada yang belum ku selesaikan
semalam.” Setelah itu, masing-masing dari mereka kembali sibuk sarapan.
Sementara Taemin, ia sedikit tertegun karena menu hari ini sedikit berbeda dari
biasanya.
“Sun
Woo… kenapa kau tak makan? Ayo cepat. Nanti kau bisa terlambat.”
Taemin
mendongak memandang ayahnya yang sepertinya sedikit tak mempedulikan apa yang
dilakukan Yoo Ra.
“Taemin,
kau berangkat dengan kakak ya.” Tak lama, Kyuhyun berdiri. “Ayah… Ibu… aku
berangkat.” Pamitnya.
“Jung
Woon…” teriak Yoo Ra dari arah dapur. “Susu mu sudah kau habiskan?”
Kyuhyun
tampak tak peduli, ia pun segera melesat pergi begitu saja. Sementara Taemin,
setelah tak mendapat respon dari Jung Soo, ia pun beralih menatap ibunya
menuntut penjelasan.
“Cepat
habiskan sarapanmu.” Hyun Rae menyenggol tangan Taemin sebelum bangkit dari kursinya.
“Ayah… Ibu… aku pergi dulu.” Ucapnya kemudian sebelum menjauh dari meja makan.
Taemin
masih duduk di kursinya. Ia pun menghela napas dengan cukup keras. “Aku akan
menuntut penjelasan nanti.” Kata Taemin lalu berdiri. “Tante… terima kasih,
makanan buatan mu enak.” Puji Taemin ceria untuk Yoo Ra yang masih berkutat di
dapur.
“Kau
belajar yang rajin.” Balas Yoo Ra.
“Iya
tante…” Taemin diam sesaat sambil menatap kedua orang tuanya. “Aku pergi…” ujar
Taemin dingin sebelum pergi dari sana.
“Sepertinya
Taemin akan melakukan pemberontakan pada kita.” Ujar Soo Ra pelan.
“Ku
rasa tak ada salahnya dia tau.” Kata Jung Soo pasrah.
“Beberapa
hari ini, aku tak melihat Joon.”
Jung
Soo dan Soo Ra terkejut bersamaan ketika mendapati Yoo Ra sudah duduk di antara
mereka. Sepasang suami istri ini pun saling melempar pandangan.
@@@
Pagi itu, Yong Hwa
melangkah menelusuri gang sempit sedari tempat kerja Cheondung. Namun
samar-samar, ia mendengar langkah kaki seseorang tengah berlari. Yong Hwa pun
segera mengambil tindakan untuk bersembunyi. Beruntung di sana ia menemukan
kardus besar yang cukup untuk menutupi tubuhnya. Yong Hwa pun sedikit membuat
celah kecil dari dalam kardus untuk membantunya mengawasi keadaan sekitar.
“Berhenti!”
terdengar teriakan seseorang, namun Yong Hwa belum dapat melihat dengan jelas
apa yang terjadi. Suara kaki pun semakin dekat, dan tak lama terdengar pula
suara tembakan senjata api. Lalu tiba-tiba saja, seseorang terjatuh tepat di
hadapan Yong Hwa yang bersembunyi di dalam kardus.
“Kau
tidak akan bisa lari lagi, Kim Jaeseop…”
Yong
Hwa menutup matanya tak berani lagi untuk melihat apa yang akan terjadi setelah
seorang pria menodongkan pisto ke tubuh Jaeseop yang terbaring di tanah.
Kembali terdengar suara tembakan. Kali ini sangat dekat di telinga Yong Hwa
karena aksi tersebut memang terjadi di hadapannya.
“Sudah
ku bilang kau tidak akan bisa lolos.”
Setelah
cukup aman, Yong Hwa kembali memberanikan diri mengintip dari celah kardus.
Benar saja, pria yang baru saja membunuh Jaeseop tampak meninggalkan korban
dengan santainya. Yong Hwa dapat dengan jelas melihat sosok pria itu yang
bertubuh tinggi dan mengenakan pakaian serba hitam. Bahkan Yong Hwa pun sempat
memfotokan menggunakan kameranya.
Yong
Hwa pun akhirnya keluar dari kardus dan segera meninggalkan tubuh korban yang
masih tergeletak kaku.
@@@
Dikarenakan
Siwon dan Sun Woo berada di luar kota, pagi itu Hangeng tampak sarapan hanya
ditemani dua anaknya yang lain, Jung Woon dan Ryeowook.
“Sepertinya
ponselku tertinggal di kamar.” Gumam Jung Woon sambil berdiri.
“Jung
Woon… bisa tolong ambilkan dompet ayah juga di kamar?” pinta Hangeng sebelum
anak sulungnya itu meninggalkan meja makan.
“Oke…”
kata Jung Woon santai.
“Setelah
ini, jangan lupa kau bawakan sarapan untuk tuan Hyukjae.” Hangeng mengingatkan
Ryeowook sebelum akhirnya berdiri. “Jika Jung Woon kembali, suruh dia menemui
ku di mobil.” Pesannya.
@@@
Cheondung
membuka pintu ruangan yang biasa digunakan Jinyoung jika berada di café. Seperti
yang tadi dikatakan Eun Gee, ia harus membereskan ruangan ini. Cheondung pun
memulainya dengan merapikan beberapa kertas yang bertebaran di meja.
Selagi
mengumpulkan kertas-kertas tersebut, tanpa sengaja mata Cheondung justru
tertuju ke layar laptop milik Jinyoung yang masih dalam kondisi menyala. Di
sana tertampang jelas wajah ketiga anak Sung Byunghae. Chulyong, Hyo Min dan
Sandeul. Karena merasa ada yang janggal, Cheondung pun tanpa sadar menelusuri
sebuah akun e-mail yang terbuka hingga membuatnya membelalakkan mata.
“Cheondung?”
kata Jinyoung yang terkejut Cheondung berada di ruangannya. Di tambah lagi,
Cheondung tengah melihat isi laptopnya. Menyadari apa yang sedang dilihat
Cheondung, Jinyoung pun sontak mendekat.
“Apa
maksudnya ini semua?” selidik Cheondung.
Jinyoung
mengambil alih laptopnya. Ia pun menghela napas lalu menegakkan badan dan
menatap Cheondung dalam.
“Kau
terlibat dengan pembunuh bayaran itu?”
“Kalau
aku terlibat, aku tidak akan mengorbankan kakakku sendiri!” sergah Jinyoung
atas tuduhan Cheondung terhadapnya. Jinyoung kembali kepada layar laptopnya.
“Aku tengah mencari tau tentang pembunuh kakakku. Dan ternyata aku berhasil
membuka e-mail miliknya.” Jelas Jinyoung sebelum Cheondung semakin salah paham
terhadapnya. “Tapi sayang, dia menggunakan nama ‘Russel’ untuk menyamarkan
identitasnya.”
“Russel?”
Cheondung mengulangi ucapan Jinyoung.
“Kau
mengenalnya?” Tanya Jinyoung seolah mendapat pencerahan.
“Tidak.”
Cheondung menggeleng. “Tapi dia memang target yang menjadi buruan utama agensi
keluarga Sandeul.”
“Aku
akan mencoba menjebol e-mail lain yang saling bersangkutan dengan e-mail yang
ini.” Ujar Jinyoung tentang rencananya. “Dan untuk sementara waktu, jangan
sampai ada orang lain lagi yang tau.”
@@@
Jung
Woon membuka laci di dalam kamar ayahnya. Dan ia pun mendapatkan apa yang sejak
tadi ia cari. Namun tanpa sengaja, ia menjatuhkan sesuatu. Ternyata sebuah
foto. Jung Woon pun memungutnya dan gambar pada foto itu pun sukses membuat
matanya terbelalak. Itu adalah foto Hangeng waktu muda bersama seorang gadis, Park
Yoo Ra.
“Jong
Woon… kenapa kau lama sekali?” Jong Woon mendongak dan mendapati ayahnya sudah
berada di ambang pintu. “Apa yang kau lakukan?” sontak Hangeng merebut foto
dalam genggaman tangan Jung Woon dengan sangat kasar.
“Itu
foto ibunya Joon, kan?” selidik Jung Woon sebelum ayahnya keluar dari kamar.
Hangeng
pun berhenti dan membalikkan badan.
Jong
Woon pun mendekati ayahnya. “Ayah… tolong ceritakan apa yang sebenarnya
terjadi.” Pinta Jong Woon perlahan.
“Park
Yoo Ra istriku.”
Pernyataan
Hangeng sukses membuat Jong Woon syok. “Apa maksud ayah?” Tanya Jong Woon yang
merasa seperti dipermainkan oleh ayahnya sendiri.
“Dia
ibu kandung kalian.” Kata Hangeng lirih.
“Ayah
jangan bohong!” tuduh Jong Woon.
“Yoo
Ra bukan ibu kandung Joon.” Tegas Hangeng. “Joon juga bukan anak kandung
Hyukjae.”
Jong
Woon belum bisa mempercayai cerita ayahnya begitu saja. Ia juga tak menyangka
Hangeng ternyata menyimpan begitu banyak rahasia besar. “Tapi kenapa tuan
Hyukjae menikahi ibu? Dan kenapa ayah menolongnya?” masih banyak yang belum
bisa diterima oleh Jong Woon.
“Ibumu
kecelakaan hingga ingatannya hilang dan Hyukjae lah yang menolongnya.” Ujar
Hangeng dengan tatapan kosong karena ia tak sanggup melihat mata anaknya.
“Hyukjae menemukan Joon di depan rumahnya. Dia juga tak tau kalau Yoo Ra adalah
istriku.”
“Kenapa
ayah tak merebut ibu kembali?” Jong Woon memegang pundak ayahnya, namun Hangeng
masih tak ingin menatapnya.
“Keluarga
Hyukjae sangat berjasa dalam hidupku. Bahkan aku bisa menjadi dokter seperti sekarang
ini adalah karena mereka.” Hangeng memberi jeda sesaat dalam ucapannya. “Yoo Ra
sangat menderita ketika bersamaku.”
“Tapi
kini kau yang menderita tanpa ibu.”
Hangeng
memberanikan diri menatap mata Jong Woon. “Kau tak mengerti hidup seperti apa yang
selama ini aku jalani.”
@@@
Kibum
mengerjap-ngerjapkan matanya mencoba menstabilkan cahaya yang masuk ke dalam
matanya. Perlahan ia pun mencoba bangkit dan turun dari tempat tidurnya. Tangan
kirinya masih dalam perban dan tangan kanannya membawa botol infuse itu pergi
keluar bersamanya.
Meski
masih sedikit terlihat pincang ketika berjalan, Kibum tetap menelusuri koridor
rumah sakit hingga akhirnya sampai di depan sebuah ruangan. Perlahan, Kibum
membuka pintu kamar tempat ibunya di rawat.
Sementara
di tempat lain, Haesa terlihat tersentak terbangun dari tidurnya dengan napas
yang memburu. Keringat juga tampak membasahi wajahnya. Pemandangan ketika Kibum
berusaha menemui ibunya ternyata muncul dalam mimpi Haesa. Ada sedikit perasaan
bersalah karena ia sudah beberapa hari ini tak mengunjungi dua orang yang
sangat penting dalam hidupnya.
“Kau
sudah bangun?” Tanya Joon yang sama-sama baru saja keluar kamar. Namun Haesa
tak menjawab. Gadis itu melesat menuju pintu masih dengan mengenakan kaos yang
ia pakai saat tidur tadi. “Kau mau kemana?” Joon mengejar Haesa karena merasa
ada yang aneh dengan gadis itu. Haesa masih tak merespon. “Jawab aku!” tegas
Joon sambil menghalangi tangan Haesa yang hampir saja meraih gagang pintu.
“Aku
ingin bertemu ibu…” kata Haesa sambil menutup wajahnya dan tiba-tiba saja gadis
itu tengah menangis.
“Kalau
kau ingin pergi, kau bisa bilang padaku.” Joon memegang pundak Haesa. “Aku
tidak akan melarang. Apalagi jika kau ingin bertemu ibumu. Mungkin aku bisa
mengantarmu ke sana.”
Haesa
semakin kencang menangis. Joon berusaha menyingkirkan tangan Haesa yang
menutupi wajah gadis itu.
“Jangan
menangis.” Kata Joon lembut sambil mengusap air mata yang mengalir di kedua
pipi Haesa. Persis ketika gadis itu melakukan hal yang sama padanya beberapa
waktu lalu.
Bukannya
berhenti menangis, Haesa justru semakin deras mengeluarkan air matanya. “Aku
ingin bertemu ibu dan kakak…” isaknya.
Joon
menggaruk belakang kepalanya yang jelas-jelas saja tak gatal. Ia hanya bingung
harus bersikap seperti apa untuk mengendalikan Haesa saat ini. “Jika kau
berhenti menangis, aku akan mengantarmu menemui ibumu.” Kata Joon terdengar
frustasi.
@@@
“Di
mana kau menemui jasad korban?” selidik Sungmin kepada Jonghyun ketika di
kantor polisi.
“Di
dalam gang sempit menuju belakang café milik keluarga Jung Young Woon.” Kata
Jonghyun.
“Jam
berapa kau ke sana? Dan untuk alasan apa kau berada di sana?” Tanya Sungmin
lagi.
Jonghyun
mendengus kesal. Ia hanya tidak ingin kakaknya bersikap terlalu formal
terhadapnya, padahal mereka hanya berdua di sana. “Ayolah. Aku kan sudah
bilang, aku ingin menemui Yong Hwa.”
“Untuk
apa kau menemui Yong Hwa di pagi hari?”
“Apa
itu penting untuk di tanyakan?” protes Jonghyun.
“Terima
kasih atas kesaksian anda. Selamat siang.” Kata Sungmin sebelum akhirnya
meninggalkan Jonghyun di sana.
@@@
“Kau
mau kemana Taemin?” tegur Soo Ra ketika mendapati anak bungsunya yang baru
pulang sekolah terlihat berlari menuju bagian atas rumahnya. Namun Taemin tak
menjawab.
Taemin
pun sampai di depan sebuah kamar. Lalu ia mengetuk pintu tersebut. Tak lama,
pintu pun terbuka dari dalam. “Sun Woo?” kata Yoo Ra yang mendapati Taemin di
depan pintu kamarnya.
“Boleh
aku masuk?”
“Masuklah…”
ajak Yoo Ra dengan senang hati.
Taemin
pun melangkah pelan lalu duduk di tepi ranjang Yoo Ra. “Tante maaf. Ada yang
ingin ku tanyakan.”
“Tanyakan
lah, Taemin.”
Taemin
mendongak dan mendapati Yoo Ra sudah berdiri menghadap jendela. “Bolehkah aku
tau, siapa itu Sun Woo?”
Yoo
Ra tak langsung menjawab. “Aku memiliki empat orang anak. Semuanya laki-laki.
Jung Woon, Siwon, Ryeowook dan Sun Woo.” Ujar Yoo Ra masih menghadap ke luar
jendela.
‘Siwon
dan Sun Woo? Mereka seperti yang menyewakan apartmen Haesa dariku?’ pikir
Taemin dalam hati.
“Aku
mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatanku. Termasuk ingatan tentang
ke-empat putraku. Setelah ingatanku kembali, ternyata aku telah menikah lagi
dengan pria lain dan merawat seorang anak bernama Joon.” Lanjut Yoo Ra, masih
tetap tak berpaling ke Taemin.
“Tante
memiliki anak lagi dari pria itu?”
“Joon
anak angkat kami.”
“Tante
tau di mana mereka sekarang?” Tanya Taemin memberanikan diri.
Yoo
Ra pun akhirnya berbalik. “Entahlah…” ujarnya lirih. “Mungkin mereka masih di
kota yang sama tempat kami saat masih tinggal bersama dulu. Atau mungkin mereka
sudah tak di sana. Aku pun tak tau.”
“Boleh
aku melihat foto mereka?” Tanya Taemin takut-takut.
Yoo
Ra tersenyum untuk menghibur diri. “Kalaupun ada, itu percuma. Mereka pasti
sudah besar sekarang. Apalagi Sun Woo, mungkin ia sudah sebesar dirimu.”
Taemin
sedikit merutuki kebodohannya. Jelas saja, tidak mungkin. Kejadian itu sudah
bertahun-tahun yang lalu terjadi.
“Maaf
karena aku memanggilmu Sun Woo.”
“Tidak
perlu minta maaf. Aku tidak keberatan kok.” Kata Taemin cepat-cepat.
@@@
Donghae
berlari keluar kantornya setelah mendapati pesan dari Eun Gee untuk menemuinya
di bawah.
“Eun
Gee?”
“Aku
mendengar terjadi pembunuhan lagi tadi pagi. Apa ada kaitannya dengan kakakku?”
Donghae
tak menjawab. “Belum ada kepastian lebih lanjut tentang kasus tersebut.” kata
Donghae. Namun tatapannya terlihat tak sejalan dengan apa yang ia ucapkan.
“Jangan
membohongiku.” Protes Eun Gee. “Atau aku akan langsung menanyakan ke Seungho.”
Tegasnya sambil berbalik.
Donghae
segera menangkap lengan Eun Gee sebelum gadis itu menjauh. “Kami mencurigai
pelaku adalah orang yang sama.” Ujar Donghae akhirnya.
Eun
Gee menatap Donghae penuh kemenangan. “Sekecil apapun informasi darimu sangat
bermanfaat untukku. Terima kasih.” Eun Gee pun meninggalkan Donghae sebelum
pemuda itu sempat berkata-kata.
@@@
Joon
mengikuti kemanapun langkah kaki Haesa. Setelah beberapa menit menelusuri
koridor rumah sakit, gadis itu pun berhenti di depan sebuah kamar. Joon hanya mengikuti
sampai pintu.
“Kakak?”
ujar Haesa karena mendapati Kibum duduk di samping ranjang ibunya. “Maaf kan
aku.”
“Aww…!”
ringis Kibum ketika Haesa berlutut di sampingnya hingga sedikit menyenggol
tangannya.
Haesa
mendongak. “Kau tak memaafkanku?” Tanya Haesa polos.
“Kau
ini bodoh atau apa?” Kibum balik bertanya. “Tak melihat kondisi tangan ku?”
“Jadi,
apa tidak ada bagian tubuhmu yang bisa ku peluk?”
Kibum
menatap Haesa ngeri. Tapi di sisi lain, ia juga sangat merindukan pelukan dari
satu-satunya adik yang ia miliki. “Kau bisa memeluk leherku.” Ujar Kibum
akhirnya, meski ia sendiri masih ragu. “Tapi pelan-pelan.” Tegasnya sebelum
Haesa melancarkan aksinya.
Sementara
itu, Joon masih berada di posisinya sekarang ini. Memperhatikan kerinduan
antara dua kakak adik dihadapannya. Namun, saat itu pikirannya melayang entah
kemana. Ia seperti pernah melihat Kibuk sebelumnya.
Haesa
mencium kilat pipi kakaknya. “Aku merindukanmu.”
“Jelas
saja. Kita sudah lebih dari tiga hari tak bertemu. Ku pikir kau melupakanku.”
Kata Kibum.
“Aku
tidak mungkin melupakan seorang Kim Kibum.” Protes Haesa yang masih memeluk
leher Kibum dari belakang.
Itu
dia. ‘Kim Kibum’. Joon benar-benar ingat sekarang. Kibum adalah orang yang ia
tabrak malam itu. Dan Joon juga sempat melihat tanda nama yang melekat pada
pakaian yang dikenakan Kibum.
“Biasanya,
sehari saja tak bertemu, kau pasti akan selalu menghubungiku untuk cepat
pulang.” Kibum mengingatkan. “Bagaimana jika nanti kau dan Minho telah menikah
dan kalian akan tinggal berdua? Apa kau akan memintaku untuk datang setiap hari?”
Joon
tak bisa berbuat banyak. Ia hanya mampu menunduk ketika Kibum membahas tentang
Minho dan pernikahan Haesa. ‘Kenapa rasanya hatiku sakit mendengar itu.
Harusnya aku bahagia untuk Haesa.’ Gumamnya dalam hati, karena ia masih
meyakini bahwa Haesa adalah saudaranya.
Haesa
cemberut menanggapi perkataan Kibum. “Apa itu artinya aku tidak boleh
menghubungimu jika sudah menikah?”
Kibum
tertawa mendengar ucapan adiknya. “Aku ini kakakmu. Tak ada yang berhak
melarangmu bertemu dengan ku, walau itu seorang Choi Minho sekalipun.”
Jelasnya.
Haesa
tersenyum malu. “Aku mencintaimu, kak.” Ucapnya sebelum mencium pipi Kibum
sekali lagi.
“Apa
kau tak bosan menciumku terus?” protes Kibum. Haesa pun hanya menggeleng. “Kau
membawa teman?” kata Kibum akhirnya yang telah menyadari keberadaan Joon.
Haesapun
melepaskan pelukannya dan menegakkan badan. “Dia bossku.” Kata Haesa sambil
mengisyaratkan Joon untuk mendekat. “Joon, ini kakakku.”
“Maaf
tak bisa bersalaman. Aku Kim Kibum.” Kibum melirik seorang wanita yang
terbaring di atas ranjang rumah sakit. “Dan ini ibu kami.”
Joon
mengangguk mengerti. “Tak apa. Aku Lee Joon.”
Kibum
memperhatikan Joon. “Sepertinya kau boss yang baik untuk adikku.” Kibum sukses
membuat Joon tersipu. “Kau bahkan rela mengantarkan adikku.”
“Aku
hanya berusaha menjadi boss yang baik.”
“Oiya,
besok aku sudah diijinkan pulang.”
Haesa
dan Joon sontak saling melempar pandangan. Karena, bagaimana mungkin Haesa
membawa Kibum pulang. Sedangkan dirinya saja telah menjual apartmen miliknya. Haesa
juga tak memberi tau Kibum perihal kejadian tersebut. Joon hanya mengangguk
sedikit. Menandakan bahwa ia akan melakukan sesuatu untuk Haesa.
“Kau
masih ingin di sini?” Tanya Joon.
“Iya.”
Haesa mengangguk. “Aku ingin menemani ibuku.”
“Aku
ingin menemui temanku sebentar. Dan nanti aku akan kembali untuk menjemputmu.
Jadi, kuharap kau menungguku.”
“Jangan
memanjakan adikku seperti itu. Kau kan bossnya.”
“Kenapa
kau berkata seperti itu?” protes Haesa kepada kakaknya. “Tadi kau bilang dia
boss yang baik. Dia memang baik kan?” Haesa membela Joon.
Joon
sedikit tertawa menanggapi perdebatan kecil antara Haesa dan Kibum. “Sudahlah…
tak perlu diributkan seperti itu.” Lerainya. “Aku akan tetap ke sini untuk
menjemput Haesa.” Ucap Joon memastikan sebelum akhirnya meninggalkan ruang
rawat Soo In.
@@@
“Masuk
saja…” teriak Jonghyun dari dalam kamarnya. Tak lama, pintu pun terbuka. “Kau
dari mana?” tegurnya ketika Yong Hwa telah duduk di tepi ranjangnya.
“Aku
dari rumah.” Kata Yong Hwa. “Maaf karena aku, kau harus menemukan korban
penembakan itu dan dimintai kesaksian di kantor polisi.” Ujarnya penuh rasa
bersalah.
“Maksudmu?”
Jonghyun yang tengah duduk dikursi memandang Yong Hwa penuh Tanya.
“Aku
tak ingin mengambil resiko. Aku juga tak ingin membiarkan tubuh korban
tergeletak lebih lama di sana.” Jelasnya.
“Kau
yang pertama melihat kejadian itu?” Tebak Jonghyun penuh selidik.
Yong
Hwa menghembuskan napas sebelum akhirnya membaringkan tubuhnya di atas kasur
Jonghyun yang nyaman. “Bahkan korban di bunuh tepat di depan mataku.”
Jonghyun
membelalakan mata. “Bagaimana bisa?” Jonghyun mendekati Yong Hwa dengan rasa
penasaran yang cukup tinggi.
Yong
Hwa melirik Jonghyun yang telah duduk di sampingnya. Yong Hwa pun bercerita
mulai dari ia mendengar suara kaki orang berlari, lalu saat pelaku menembakkan
peluru ke tubuh Jaeseop hingga ia memotret tubuh pelaku dari dalam celah yang
ia buat pada kardus.
“Coba
ku lihat.”
Yong
Hwa mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto pelaku kepada Jonghyun dan membuat
pemuda itu menatap lekat-lekat sosok yang tertampang cukup jelas di layar
ponsel Yong Hwa.
“Ku
rasa keputusan Yong Hwa untuk mengalihkan saksi pada mu cukup benar, Jong.”
Yong
Hwa dan Jonghyun sontak bersamaan menoleh ke arah pintu tempat sumber suara
berasal. Dan Donghaelah yang berada di sana.
“Mereka akan menjadi
sangat berbahaya jika keberadaan mereka yang sebenarnya telah tercium hingga
kantor polisi.” Kata Donghae sambil melangkah masuk dan masih mengenakan
seragam kepolisiannya. “Kita harus mengusutnya hingga benar-benar tuntas
sebelum akhirnya melaporkan mereka ke kantor polisi.” Lanjut Donghae yang kini
sudah duduk di samping Jonghyun. “Itu foto pelaku?” Donghae menunjuk layar
ponsel Yong Hwa yang masih dalam genggaman Jonghyun.
“Badannya cukup tinggi
seperti…” Yong Hwa sedikit mengingat- ingat seseorang yang memiliki tinggi
tubuh seperti pelaku. “Ah, iya…” ujar Yong Hwa yang sepertinya telah menemukan
sosok yang tepat untuk menggambarkan penjelasannya. “Kalian tau pemain
sepakbola bernama Choi Minho?”
“Maksudmu, adiknya polisi
Choi Seungho?” Tanya Jonghyun untuk memastikan. Sementara Donghae masih
terlihat focus menatap layar ponsel Yong Hwa.
“Benar.” Yong Hwa
mengangguk membenarkan tebakan Jonghyun. “Tapi kurasa pelaku masih sedikit
lebih tinggi dari Seungho dan Minho. Bahkan ku rasa ia masih lebih tinggi dari
adikku, Cheondung.” Ujar Yong Hwa memperkirakan.
“Kalian kenal seseorang
yang mengerti tentang jenis-jenis senjata api?” Tanya Donghae tiba-tiba. “Coba
kalian lihat ini.” Lanjutnya sebelum Yong
Hwa ataupun Jonghyun menanyakan maksud ucapannya.
Jonghyun dan Yong Hwa
saling mendekat untuk melihat sesuatu yang ditunjuk Donghae.
“Pelaku memegang senjata.”
Jelas Donghae lagi.
“Aku akan coba menanyakan
kepada ayahnya Geun Suk, teman band ku.” Kata Yong Hwa memberi pencerahan.
“Tapi kau tekankan pada
mereka untuk tidak membicarakan kasus ini kepada orang lain.” Tegas Donghae
mengingatkan. Yong Hwa pun mengangguk mengerti.
Jonghyun menoleh ke
Donghae. “Mungkin kita bisa tanyakan juga ke Seungho?” sarannya.
“Aku memang berencana
melakukan itu.” Donghae menyetujui saran dari Jonghyun. “Dan informasi dari
Yong Hwa bisa jadi referensi yang bisa menguatkan kasus untuk kita.”
“Aku akan mengirimkan
gambarnya padamu.” Kata Yong Hwa.
“Satu lagi…” ujar Donghae
setelah mengingat sesuatu. “Aku ingin membenarkan informasi yang kemarin.”
Jonghyun dan Yong Hwa menunggu penuh minat. “Aku membahas ini dengan Seungho
tadi siang. Ternyata, peluru yang menembus lengan Jung Han Yoo dan Sun Hyo Min
adalah termasuk jenis yang sama. Lalu peluru yang merenggut nyawa Jung Han Yoo
dan Kim Jaeseop juga peluru yang sama namun berbeda dengan jenis pertama tadi.
Sedangkan peluru yang ditemukan oleh Yong Hwa, benar-benar berbeda dari dua
jenis peluru sebelumnya.” Jelas Donghae panjang lebar.
“Apa itu artinya pelaku
tidak hanya satu orang?”
“Bisa saja. Karena pelaku
yang kulihat tadi pagi hanya beraksi seorang diri. Dan bisa jadi mereka membagi
tugas ketika menyerang.” Kata Yong Hwa menyetujui ucapan Jonghyun tadi.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar