Setelah
menemui Seungho, Haesa yang baru saja keluar dari kantor polisi langsung menuju
halte bus yang terletak di seberang jalan. Ketika menunggu bus, ada sebuah
mobil yang tampak sudah cukup akrab di mata gadis ini. Pemilik mobil pun
menurunkan kaca.
“Ayo
masuk.”
Haesa
sedikit menunduk untuk memastikan bahwa pemilik mobil itu adalah Joon. “Kau
masih di sini?” tegurnya.
“Sudahlah…
cepat masuk. Kau ingin ke rumah sakit, kan?” paksa Joon, dan Haesa pun tak
memiliki alasan untuk menolaknya.
@@@
Seusai
bernyanyi bersama band-nya di sebuah restoran, Yong Hwa langsung menuju rumah
sakit dengan menumpang bus. Ia juga masih membawa tas gitar yang menempel di
punggungnya. Ketika sampai di depan ruangan Kibum, Yong Hwa mengintip dari kaca
pintu. Di dalam sana Kibum tampak tengah berusaha memasukan pakaiannya ke dalam
ransel. Kibum sendiri juga sudah tidak mengunakan pakaian untuk pasien yang
selalu ia kenakan selama di sana.
“Kau
mau kemana, Kibum?” Yong Hwa menerobos masuk.
“Aku
tak tenang memikirkan Haesa seorang diri di luar sana.” Kata Kibum yang tak
mempedulikan kekhawatiran temannya itu.
“Ada
Cheondung dan aku yang bisa menjaganya.”
Kibum
menatap Yong Hwa penuh rasa berterima kasih. “Kau tidak bisa selalu di samping
Haesa. Kalian juga memiliki urusan sendiri. Kita sama-sama saling menjaga satu sama lain.”
Yong
Hwa meletakkan gitarnya di sofa lalu ikut membantu Kibum yang hanya mampu
menggunakan satu tangan saja.
“Kau
terlihat kurang baik.” Tebak Kibum sambil menatap wajah Yong Hwa yang tak
seperti biasanya. “Aku ingin menceritakan sesuatu.” Yong Hwa mengikuti Kibum
duduk di sofa. Cukup lama dua orang ini saling diam. “Aku tau kau bergabung
dalam sebuah agensi rahasia.”
“Agensi
apa maksudmu?” Yong Hwa balik bertanya seolah tak mengerti arah pembicaraah
Kibum.
Kibum
sedikit menertawai respon Yong Hwa yang terlihat panic. “Kau tak perlu
merahasiakannya lagi. Aku tau semua. Sung Byunghae, Chulyong, Hyo Min, Sandeul.
Kau pasti mengenalnya juga, kan?”
“Bagaimana
kau…” Yong Hwa tak melanjutkan perkataannya karena Kibum sudah terlebih dahulu
kembali tertawa.
“Aku
bahkan hampir gila setelah mengetahui tentang keluargaku.” Perlahan tawa Kibum
memudar. “Chulyong seniorku semasa SMA. Tapi kita berteman cukup dekat. Aku
juga tau tentang pekerjaan sampingan ayahnya yang membangun agensi tersebut
selain sebagai seorang pengacara.”
“Lalu?”
Tanya Yong Hwa yang sangat terlihat penuh minat.
“Aku
pernah mengalami insiden kecil. Chulyong tak sengaja menyerempetku dengan
motornya. Dan ayahnya itu yang mengobatiku.” Kibum menggeser posisi duduknya
hingga membelakangi Yong Hwa. “Coba kau lihat punggungku.”
Meski
bingung dengan maksud Kibum, Yong Hwa tetap melalukan apa yang diminta Kibum.
Perlahan ia pun menarik ujung pakaian yang dikenakan Kibum. Tidak ada yang
aneh. Yong Hwa hanya menemukan sebuah tattoo di punggung Kibum bagian kanan
atas.
“Aku
tidak pernah tau kalau kau memiliki tattoo.” Ujar Yong Hwa polos lalu menutup
kembali bagian belakang tubuh Kibum.
“Aku
kecewa dengan apa yang aku dengar.”
Yong
Hwa semakin bingung menatap Kibum. “Mendengar apa?” Yong Hwa penasaran.
“Lee
Hyukjae. Seorang pembunuh bayaran yang keberadaannya tak terlacak sejak 19
tahun yang lalu.” Kibum memberi jeda sesaat sebelum melanjutkan ucapannya. “Aku
dan Haesa adalah anaknya.”
Yong
Hwa menatap Kibum tak percaya. “Bagaimana bisa?” sergahnya. “Bahkan marga
kalian saja berbeda.”
“Ku
rasa ibuku ingin merahasiakan jatidiriku yang sebenarnya. Yaitu dengan cara
merubah nama kami.” Suasana kembali hening karena Yong Hwa tak berkomentar
apapun. “Dan satu lagi. Kau pasti tak percaya dengan apa yang terjadi padaku.”
Yong
Hwa menunggu dengan penuh minat.
“Sebelum
kecelakaan, aku melihat sebuah pembunuhan…”
“Jangan
teruskan.” Tegas Yong Hwa memotong ucapan Kibum yang langsung menatapnya penuh
Tanya. “Ayo ikut aku.” Yong Hwa berdiri sambil menyambar tas gitar dan ransel
Kibum.
@@@
Jinyoung
kembali ke meja yang dihuni Cheondung dan Taemin sambil membawa laptop yang ia
ambil dari ruang kerjanya. “Kau sudah menghubungi Jonghyun, Sandeul dan Yong
Hwa?” Tanya Jinyoung pada Cheondung.
“Sudah,
tapi aku masih mencoba menghubungi Sandeul.” Ujar Cheondung sambil menempelkan
ponsel ke telinganya. “Masih tidak ada jawaban.” Keluhnya.
“Café
mu buka jam berapa?” Tanya Taemin iseng.
“Sepertinya
tidak akan ku buka sampai sore.” Jawab Jinyoung sedikit malas.
“Kenapa
café mu masih tutup?”
Cheondung,
Jinyoung dan Taemin sama-sama menoleh ketika Jonghyun muncul dari pintu
belakang.
“Sudahlah
jangan bahas itu.” Kata Jinyoung enggan.
Jonghyun
menarik kursi untuk duduk. “Taemin? Kau di sini?” selidik Jonghyun ketika baru
menyadari keberadaan Taemin.
“Apa
aku tidak boleh berada di sini? Atau kau akan melapor ke Sungmin agar kakakmu
bilang ke kakakku bahwa aku bolos sekolah.” Ujar Taemin curiga.
“Ku
rasa suasana hatimu sedang buruk.” Tebak Jonghyun tak ingin ikut campur.
“Tenang saja, kekhawatiran mu tak akan terjadi.” Kata Jonghyun mengalah. Kali
ini ia menoleh bergantian ke Jinyoung dan Cheondung dengan tatapan penuh Tanya.
“Apa yang terjadi?”
“Pindahlah
ke sampingku.” Perintah Jinyoung, dan Cheondung pun bergeser memberikan tempat
untuk Jonghyun.
@@@
Joon
menghentikan mobil tepat di depan rumah sakit. “Kabari aku jika kau ingin
pulang.” Joon mengingatkan sebelum Haesa keluar dari mobilnya.
“Kau
cukup cerewet rupanya untuk seorang boss.”
“Hei…!
Kau tak boleh melawan perintahku.” Joon tak mau kalah.
“Oke
boss Joon.” Goda Haesa sebelum akhirnya keluar dari mobil Joon hingga membuat
pemuda itu tersenyum geli.
Setelah
memastikan Haesa telah masuk ke dalam gedung rumah sakit, Joon pun kembali
melajukan mobilnya. Tak lama, Joon mendapatkan sebuah panggilan dari Siwon.
“Joon…
kau di mana?” Tanya Siwon tak sabar. “Aku dan Sun Woo sudah di apartmenmu.”
“Maaf
aku lupa mengatakan padamu.” Ujar Joon seenaknya. “Kibum tak jadi pulang hari
ini. Tapi kalau kau mau, kau masuk saja ke dalam apartmenku.”
“Oke.”
Ujar Siwon tak semangat lalu mematikan ponselnya.
Joon
meletakkan ponselnya di dalam saku jaket lalu menepikan mobilnya di pinggir
jalan. Ia pun segera keluar dan berjalan menyebrang menuju gang sempit tempat
ia kehilangan senjatanya. Joon menelusuri jalan di gang tersebut hingga ia
menemukan pintu belakang café milik Jinyoung. “Berarti tak jauh dari sini.”
Ujar Joon pelan.
Joon
juga telah memeriksa tempat ia bersembunyi ketika Minho lewat malam itu hingga
tempat ia berkelahi dengan Kyungjae, Sunghyun dan Jaeseop. ‘Apa mungkin sudah
ada yang menemukan?’ gumam Joon seorang diri.
“Lepaskan.”
Joon membalikkan badan ketika mendengar suara
seseorang yang seperti tengah berada dalam masalah. Tidak ada yang ia temui.
“Kalian tidak bisa membunuhku sekarang!”
kata suara itu lagi.
Joon mengendap-ngendap untuk mencari sumber suara
yang semakin dekat padanya. Ia sudah hampir mencapai belokkan.
“Tolong lepaskan aku…”
Itu dia. Joon segera bergegas ke sana, namun dari
arah berlawanan ada seseorang yang tengah berlari hingga sedikit menubruk tubuh
Joon yang sedikit lebih besar darinya. Joon sedikit terpaku menatap seorang
pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah.
“Sandeul…!”
teriak pemuda yang tadi menabrak Joon.
“Sandeul?”
gumam Joon pelan. Namun sedetik kemudian, ia pun segera berlari mengikuti arah
anak tadi yang sebenarnya adalah Taemin.
Lalu,
Joon menghentikan langkah setelah melihat pemandangan di hadapannya kini.
Kyungjae tengah menahan tubuh Sandeul sambil menodongkan senjata tepat di
kepala Sandeul.
“Kau
mau jadi pahlawan kesiangan, anak kecil?” Sunghyun terdengar meremehkan Taemin
sambil menodongkan sebuah senjata juga ke arah Taemin berdiri.
“Apa
kabar Joon? Akhirnya kita bertemu lagi di sini.” Kata Kyungjae.
Sandeul
dapat melihat seseorang yang dimaksud Kyungjae dengan jelas ketika Taemin
sedikit berbalik hingga sosok Joon semakin jelas dalam pandangannya.
“Apa
yang kalian lakukan?” Tanya Joon dingin. Kyungjae dan Sunghyun tertawa keras.
“Kau lupa?” ujar Kyungjae
meremehkan. “Bukankah pemuda ini adalah target bunuhanmu.” Lanjutnya sambil
menunjuk Sandeul yang semakin tegang.
‘Mereka telah membongkar
rahasiaku.’ Joon berusaha tetap tenang dan tak terpengaruh dengan apapun ucapan
Kyungjae. “Kalau kalian tau bocah itu targetku, kenapa kalian malah mendahului
ku?”
@@@
Haesa
berlari keluar kamar rawat Kibum ketika mendapti kakaknya tak berada di
kamarnya. “Suster…” panggil Haesa kepada seorang perawat.
“Ada
yang bisa saya bantu?” Tanya sang suster ramah.
“Kau
lihat kakakku, Kim Kibum?” kata Haesa panic.
“Oh,
kau adiknya dokter Kibum?”
“Dokter?”
ujar Haesa pelan mengulangi ucapan suster tersebut dengan wajah sangat bingung.
Tatapan Haesa pun mengikuti arah suster tadi. Dikejauhan, ia melihat suster itu
sedikit berbincang dengan seorang pemuda berpakaian layaknya seorang dokter.
Haesa menunggu dokter itu hingga kini mereka berhadapan satu sama lain.
Dokter
itu memberikan senyuman mautnya untuk Haesa. “Apa kau mencariku?”
“Aku
mencari kakakku yang bernama Kim Kibum.” Tegas Haesa.
“Aku
juga Kim Kibum.” Ujarnya sambil menatap Haesa dari balik kacamatanya.
Pernyataan
dokter muda itu langsung saja membuat Haesa menatap lekat papan nama yang
tertera pada jas dokternya. ‘dr Kim Kibum’. Ternyata suster tadi sangat salah
paham.
Haesa
tampak sedikit salah tingkah. “Maaf dokter. Maksud ku adalah pasien bernama Kim
Kibum yang di rawat di ruangan ini.” Haesa menunjuk sebuah kamar inap yang tak
jauh dari tempat ia berdiri. “Bukan Anda.”
Dr
Kibum tertawa ramah. “Ternyata ada kesalah pahaman di sini.” Ujarnya. “Apa maksudmu
Kim Kibum putra dari nyonya Kim Soo In?” Tanya dr Kibum untuk memastikan.
Haesa
mengangguk tegas. “Iya, dok. Kakakku tak ada di kamarnya. Pakaiannya pun juga
sudah tak di dalam.”
“Tuan
Kibum sudah saya ijinkan pulang sekitar satu jam yang lalu.”
Haesa
menatap dr Kibum lekat-lekat. Ada sedikit ketidak yakinan dalam diri gadis ini.
Dr Kibum bahkan terlihat seumuran dengan kakaknya, Kibum. ‘Apa dia benar-benar
telah menjadi seorang dokter?’ ujar Haesa meragukan.
“Apa
kau tidak percaya?” Tanya dr Kibum seolah mengetahui apa yang berada dalam
pikiran Haesa. “Walau aku masih sangat muda, aku sudah benar-benar menjadi
seorang dokter.” Dr Kibum berusaha meyakinkan gadis di hadapannya ini.
Haesa
tampak tersenyum penuh rasa berdosa. “Maaf telah mengganggu anda. Kalau begitu,
selamat kembali bertugas.” Haesa mulai sedikit demi sedikit melangkah mundur.
“Permisi.” Tegasnya sambil berbalik dan bergegas menuju kamar ibunya.
@@@
Kyungjae
dan Sunghyun saling melempar pandangan untuk merundingkan sesuatu. Mereka siap menarik
pelatuk pada senjata masing-masing.
“Tunggu…!”
Joon berusaha menghalangi. “Apa mau kalian?” tawarnya.
Kyungjae
dan Sunghyun tersenyum meremehkan. “Kami ingin membalas dendam karena kau telah
membunuh Jaeseop.”
“Aku
tidak membunuh teman kalian!” tegas Joon. “Aku sudah tidak memiliki senjata
apapun untuk membunuh.”
Taemin
melirik Joon yang sudah terlihat hampir frustasi namun pemuda itu masih
berusaha keras untuk tetap tenang.
“Tapi
jika kalian sangat ingin membunuhku…” Joon menghela napas sesaat. “Ku mohon
lepaskan mereka. Dan aku akan menuruti apapun mau kalian.” Kata Joon
sungguh-sungguh.
Kyungjae
dan Sunghyun kembali menertawakan Joon.
“Apa
pembunuh bayaran kita nomor satu ini sudah tak ingin membunuh orang lagi?” kata
Sunghyun meremehkan.
Perlahan
Kyungjae melepaskan tubuh Sandeul namun masih tetap mengarahkan pistol padanya
sambil berjalan mundur menjauhi Sandeul. Begitu pula dengan Sunghyun yang
langsung merubah target ke Joon.
Sunghyun
membimbing Joon meninggalkan lokasi. Sementara Kyungjae tetap mengarahkan
senjata ke Sandeul dan Taemin bergantian sampai mereka benar-benar pergi dari
sana.
@@@
Jonghyun
menatap Jinyoung dan Cheondung bergantian. “Ini…” Jonghyun menuntut penjelasan
namun ia tak sanggup mengungkapkannya dengan kata-kata.
“Seperti
apa yang kau lihat.” Kata Jinyoung.
“Mengapa
Russel juga menjadi target bunuhan dari bossnya sendiri?” Tanya Jonghyun tak
habis pikir dengan apa yang ia saksikan.
“Itu
juga yang mengganjal di pikiranku dan Jinyoung.” Cheondung ikut ambil bagian.
Lalu
terdengar ketukan dari pintu depan. “Apa pelanggan tak membaca tulisan bahwa
café ini tidak buka?” kesal Jinyoung.
Cheondung
mencekal tangan Jinyoung sebelum bossnya itu sempat berdiri. “Biar aku saja.”
Kata Cheondung membuat Jinyoung kembali duduk.
“Maaf
aku lewat depan, karena kondisi Kibum tak mungkin…”
Cheondung
memotong ucapan Yong Hwa yang datang bersama Kibum. “Ayo cepat masuk.”
Di
kursinya, Jonghyun berdiri sambil menatap Kibum. “Kau sudah…”
“Jangan
tanyakan apapun dulu tentang kondisiku.” Sergah Kibum yang seolah dapat menebak
pikiran Jonghyun.
Cheondung
menarik sebuah kursi untuk Kibum.
@@@
Setelah
cukup aman, Sandeul menarik tangan Taemin untuk meninggalkan lokasi tersebut
karena Taemin masih terpaku menatap arah tempat Joon dibawa pergi oleh Sunghyun
dan Kyungjae. Ketika Taemin sudah benar-benar berbalik, mereka mendengar suara
tembakan dan seketika membuat keduanya berlari ke arah sumber suara.
Taemin
dan Sandeul terbelalak karena mendapati tubuh Joon yang sudah terjerembap ke
tanah. Taemin menarik tubuh Joon ke dalam pangkuannya sementara Sandeul ikut
berjongkok di hadapannya.
“Ku
mohon bertahanlah…” kata Taemin panic.
Sandeul
menatap Taemin aneh. “Dia adalah pembunuh yang selama ini kami cari. Kenapa kau
malah ikut sedih dengan penderitaannya?”
Taemin
menatap Sandeul tajam. “Bukan saatnya membahas itu sekarang!” protes Taemin.
“Kita bahkan hampir terbunuh jika dia tidak ada.” Tegasnya mengingatkan.
Sandeul pun diam. “Cepat kau panggil bantuan.” Perintah Taemin.
Sandeul
pun terpaksa menuruti. Namun, belum sempat berdiri, Sandeul merasakan sebuah
tangan menahannya. Ia pun menoleh dan melirik Joon yang kini telah menatapnya.
“Aku
baik-baik saja.” Tegas Joon sambil menegakkan tubuhnya dari pangkuan Taemin. “Terima
kasih kalian telah membantu.”
Sandeul
dan Taemin menatap Joon heran. Baru saja pemuda itu terkapar tak berdaya, tapi
sekarang justru telah berdiri tegap.
“Terutama
kau.” Kata Joon yang kini telah menatap Taemin. “Terima kasih karena kau ingin
membantu.”
“Bagaimana
bisa, kau?” ujar Taemin gugup.
Joon
tersenyum samar seolah mengerti maksud pertanyaan Taemin. “Aku menggunakan
pelindung.”
“Apa
kini kau akan membunuhku?”
Joon
menoleh ke sumber suara, Sandeul yang kini berdiri dengan sangat waspada terhadapnya.
Joon menghela napas cukup keras. “Bukankah aku sudah bilang jika aku tak
memiliki senjata.”
Sandeul
tersenyum pahit. “Seseorang sepertimu bisa saja menggunakan apapun sebagai
senjata.”
“Kau
tak perlu khawatir.” Kata Joon meyakinkan. “Aku sama sekali tak punya niat
untuk membunuh siapapun. Termasuk dirimu.”
Sandeul
sama sekali tak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Joon.
“Kau
sudah mengingat baik-baik wajahku, kan?”
Taemin
semakin intens menatap Joon. Sementara Sandeul, tak menjawab pertanyaan Joon.
Namun ia juga merekam baik-baik tiap lekuk wajah yang dimiliki Joon.
“Setelah
ini, berhati-hatilah. Dan sebisa mungkin, bantu aku agar aku tak bisa
menemukanmu.” Joon memperingatkan sekali lagi sebelum akhirnya pergi
meninggalkan Sandeul bersama Taemin.
Dan
kembali Taemin masih terpaku terhadap sosok Joon hingga bayangan pemuda itu tak
lagi tertangkap matanya.
@@@
“Malam
itu aku tak sengaja melihat pemuda membuntuti seorang gadis. Namun kejadiannya
cukup cepat karena tak lama pemuda itu sudah kembali keluar.” Cerita Kibum
tentang pengalamannya sebelum ia mengalami kecelakaan. “Aku berniat mencari
gadis itu.” Kibum sedikit berfikir. “Kalau tidak salah, itu kekasihnya polisi
Seung Ho.”
“Maksudmu
Jung Han Yo?” Tanya Jinyoung memastikan.
“Entahlah.”
Kibum mengangkat bahu. “Apa kau mengenalnya?”
“Dia
kakakku yang mati terbunuh beberapa minggu lalu.” Tegas Jinyoung. Jonghyun yang
duduk di sampingnya berusaha menenangkan Jinyoung.
“Kau
melihat orang yang membunuhnya?” Tanya Cheondung yang muncul cari arah dapur
sambil membawa nampan berisi minuman.
“Tidak
terlalu jelas.” Jawab Kibum tak yakin. “Tapi yang ku lihat, pria itu bertubuh
cukup tinggi.” Ia memperhatikan satu-persatu orang yang berada di sana. Namun
tatapannya terhenti pada Cheondung. “Lebih tinggi dari Cheondung.” Perkiraannya
karena di antara mereka, Cheondunglah yang memiliki tubuh paling tinggi.
Yong
Hwa bergegas mengeluarkan ponselnya. “Apa seperti ini?” Tanya Yong Hwa sambil
menunjukkan sebuah foto pada layar ponselnya. Foto seseorang yang telah
membunuh Jaeseop.
Perlahan,
mata Kibum melebar. “Sama persis seperti ini.” Ujar Kibum yakin. “Tapi ada dua
orang di sana. Namun mereka beraksi sendiri-sendiri.” Jelasnya kemudian.
“Pelaku pertama hanya menembak di bagian lengan, dan yang satu lagi menembak
tepat di jantung.” Lanjut Kibum sambil menunjuk layar ponsel Yong Hwa yang
menampilkan sosok pria bertibuh tinggi.
Jonghyun
dan Yong Hwa saling tatap seolah mereka berfikir hal yang sama.
“Ku
rasa mereka memiliki motif sendiri-sendiri.”
Jonghyun,
Yong Hwa, Jinyoung, Cheondung dan Kibum menoleh ke arah munculnya Sandeul
bersama Taemin dari pintu belakang.
“Kau
masih di sini?” selidik Jonghyun ke Taemin.
Taemin
menarik kursi dan duduk di antara Yong Hwa dan Kibum. “Kami bahkan hampir
menjadi korban pembunuhan tadi.”
Semua
mata menatap Sandeul dan Taemin bergantian. Cheondung bergeser untuk memberi
ruang bagi Sandeul untuk duduk. “Kami baru saja bertemu dengan dua teman
Jaeseop dan seorang pemuda yang dituduh telah membunuh Jaeseop.”
“Apakah
ada salah satu dari tiga orang ini?” seru Yong Hwa, kali ini ia menunjukkan
foto tiga pria mencurigakan yang ia temui di café usai manggung tadi. Ternyata
ketika lewat di depan tiga pria itu, tangan Yong Hwa menggenggam ponsel dan
secara diam-diam telah memfoto mereka.
“Apa
kini kau telah beralih profesi sebagai fotografer?” ledek Jonghyun karena untuk
yang kesekian kalinya ia ditunjukkan sebuah foto oleh Yong Hwa.
“Setidaknya
ini sangat bermanfaat!” protes Yong Hwa membela diri karena tak terima dengan
apa yang dikatakan Jonghyun.
Sandeul
menggeleng lemah. “Bukan ketiganya.” Ujarnya sambil mengembalikan ponsel Yong
Hwa.
Jinyoung
merebut ponsel Yong Hwa sebelum benda itu kembali kepada pemiliknya. Ia
berkali-kali melihat foto pria tinggi itu ketika seorang diri dan foto tiga
pria yang dicurigai Yong Hwa secara bergantian.
“Apa
kau mencurigai mereka orang yang sama?” bisik Cheondung membuat Jinyoung
menatapnya tajam.
Jinyoung
mengangguk pasti. “Pria bertubuh tinggi itu.”
Suasana
kembali hening. Tak lama ponsel Cheondung bergetar. Ia pun menatap layarnya
yang menunjukkan nama ‘Kim Haesa’. “Ada apa?” Tanya Cheondung setelah
menempelkan ponsel di telinganya.
“Kakakku
pergi dari rumah sakit. Aku tidak bisa menghubungi ponselnya.” Teriak Haesa
yang berada dalam kepanikan.
Cheondung
sedikit menjauhnya ponsel dari telinganya untuk menghindari suara Haesa yang
terdengar menggelegar itu. Lalu ia menatap Kibum menuntut penjelasan.
Menyadari
maksud tatapan Cheondung, Kibum pun hanya tersenyum penuh rasa bersalah. “Aku
tidak memberitaunya. Katakan saja kalau aku bersamamu.”
“Cepat
minta bantuan kakakmu untuk mencari kakakku. Kondisinya masih belum
memungkinkan. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padanya.” Cecar Haesa lagi.
“Jika
kau tak berhenti bicara, aku akan menghubungi Minho dan mengatakan semua
kondisi mu.” Ancam Cheondung yang sukses membuat Haesa menutup mulutnya.
“Kenapa
kau selalu mengancam ku?” ujar Haesa lirih.
“Kau
yang memaksaku melakukan itu.” Kata Cheondung lalu diam sesaat dan menghela
napas untuk menenangkan diri. “Aku di café. Dan kau jangan khawatir. Kibum
bersamaku, Yong Hwa dan Jonghyun di sini.”
“Benarkah?”
Cheondung
langsung memaksa Kibum untuk menerima ponselnya. “Kau percaya sekarang?”
@@@
Dokter
Kibum berjalan menelusuri koridor rumah sakit. Ia tak menyadari bahwa ada
seseorang yang mengikutinya hingga ia sampai di depan ruang kerjanya.
“Tolong
aku…” kata seseorang sambil menggapai salah satu pundak dokter Kibum. Sontak,
dokter muda itu terkejut sambil membalikkan badan.
“Joon…”
ujar dokter Kibum panic ketika mendapati Joon di sana yang terlihat seperti
kesakitan sambil memegangi dada kirinya. “Kau masih…”
“Jangan
banyak Tanya!” potong Joon.
Dokter
Kibum menarik Joon masuk ke dalam ruangannya sambil membimbing Joon berbaring
di tempat tidur yang berada di ruangan itu. Ia lalu membantu Joon membuka jaket
serta pakaian pelindung peluru yang dikenakan Joon dan ia lemparkannya ke
sembarang tempat.
“Apa
kau masih belum bisa membebaskan diri dari pekerjaan itu?” dokter Kibum
bertanya sambil mengambil beberapa peralatan kedokterannya.
Ternyata
pakaian pelindung Joon masih belom bisa melindunginya dari tembusan sebuah
peluru meski hanya sedikit. “Apa kau bisa memberitahuku satu cara untuk bisa
terbebas dari itu?” Tanya Joon dengan mata tertutup seolah menyindir Kibum.
Kibum
sudah berada di samping ranjang tempat Joon berbaring sambil membersihkan luka
di dada Joon. “Siapa yang melakukan ini?”
“Mereka
yang kemarin mengincarku.”
Kibum
menghela napas panjang. “Kemarin aku melihat Zhoumi, Dong Woo dan Henry berada
di kota ini.” Ujarnya lemah.
Joon
membuka mata tersentak. “Apa kau bilang?”
“Apa
aku harus mengulangi?” balas dokter Kibum.
Joon
diam dan kembali memjamkan mata untuk menenangkan diri sambil menahan sakit di
dada kirinya yang terluka. Meski berusaha terlihat tenang, namun
pikiran-pikiran aneh berkecamuk jadi satu di kepala Joon.
“Lalu,
apa yang selama ini kau lakukan?” Tanya dokter Kibum yang kini telah
menempelkan plester untuk menutup luka Joon.
“Masih
seperti yang selama ini kau tau.” Kata Joon sebelum ia bangkit lalu turun dari
tempat tidur dan duduk di kursi depan meja kerja dokter Kibum. “Aku selalu
membawa satu peluru dalam pistol dan hanya menembak di bagian lengan.” Ujarnya
lemah sambil menyandarkan tubuh di sandaran kursi.
Dokter
Kibum kembali setelah mencuci tangan lalu menghempaskan diri di kursi kerjanya.
“Lalu, kenapa kau bisa jadi pembunuh?” selidiknya. “Jika hanya tertembak di
tangan, tidak mungkin sampai menghilangkan nyawa.” Jelas Kibum, namun ucapannya
tak mendapatkan tanggapan dari Joon yang sedang mengedarkan pandangannya ke
sekeliling.
“Kau
buang kemana pakaianku?” Tanya Joon masih sambil terus mencari.
Dokter
Kibum ikut memeriksa ke sekelilingnya. Ternyata Jaket Joon tergeletak di bawah
kakinya. Dokter Kibum meraih jaket milik Joon lalu melemparkan tepat di wajah
pemiliknya.
“Aw…!”
ringis Joon karena jaket yang dilempar dokter Kibum sedikit mengenai lukanya.
“Apa kau selalu bersikap seperti ini kepada pasienmu?” cibir Joon kesal.
Dokter
Kibum tersenyum sambil membenarkan letak kacamatanya. “Tentu saja aku hanya
bersikap seperi itu kepada pasien sepertimu.” Ujarnya santai.
Joon
kembali menyandarkan punggungnya, namun ia belum memakai jaket yang tadi
dilemparkan dokter Kibum. Meski tadi terlihat seolah tak peduli, Joon tetap
mendengarkan apa yang dikatakan seorang dokter muda yang juga menjadi temannya
itu. “Apa benar, jika hanya tertembak di tangan, tidak akan sampai menyebabkan
seseorang mati?” Tanya Joon polos.
“Tak ku
sangka ternyata kecerdasanmu di bawah rata-rata.” Ledek dokter Kibum sambil
geleng-geleng kepala.
“Lantas,
kenapa selama ini targetku selalu terbunuh?” Tanya Joon lagi yang semakin
bingung.
“Jadi
kau tidak pernah mengengar berita?” ujar dokter Kibum membuat Joon menatapnya
penuh Tanya. “Astaga…!” serunya tak percanya. “Di setiap tubuh korbanmu yang
mati, pasti selalu ditemui peluru di bagian dada kiri.”
“Dari
mana kau tau itu?”
“Korban
terakhirmu, Jung Han Yoo. Aku yang menangani jasadnya.”
“Bukan
dia.” Joon menggeleng cepat-cepat. “Yang terakhir kali ku bunuh adalah Sung Hyo
Min.” ralat Joon.
Dokter
Kibum merdecak gemas. “Kau tak tau? Hyo Min masih selamat karena hanya
tertembak di lengan kirinya!”
Joon
belum merespon. Pandangannya kosong ke sembarang tempat. “Jadi…” Joon memberi
jeda sesaat. “…ada orang lain yang ikut membunuh korbanku?” tebaknya tak
percaya.
“Kenapa
kau tak menyadari itu sejak lama?” kesal dokter Kibum.
“Kenapa
kau tak pernah memberi tau ku sebelumnya?” balas Joon sama kesalnya.
“Kau
bahkan tidak pernah membalas e-mailku.” Dokter Kibum terdengar menyalahkan
Joon. “Aku tidak memiliki nomor ponselmu.”
“Maaf…”
ujar Joon pelan merasa bersalah. “Jadi, aku bukan pembunuh?” katanya polos
dengan nada yang tak yakin.
“Tentu
saja!” tegas dokter Kibum. “Astaga! Kenapa aku memiliki teman sebodoh dirimu.”
Sesalnya karena telah mengenal Joon.
“Benarkah?”
seru Joon yang tiba-tiba menjadi bersemangat.
“Kau
jadi menyeramkan ketika terlihat begitu senang.” Protes dokter Kibum.
Namun Joon tak
mempedulikannya. Ia hanya bahagia mendengar kenyataan bahwa dirinya tidak
pernah menjadi pembunuh.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar