Author :
Annisa Pamungkas
Main Cast :
·
B2ST/Beast Lee Gikwang
·
Infinite Lee Howon (Hoya)
·
SNSD Im Yoona
Support cast :
·
Other member B2ST/Beast
·
Other member Infinite
·
Yong Hwa CN Blue
·
Siwan Ze:a
·
Jonghyun, Minho Shinee
·
Member Super Junior
·
All member A-Pink
·
Hara KARA
·
Sulli F(x)
Genre
: romance, family,
friendship
Length : chapter
***
“Yoon,
lo nggak mau nganter gue sampe depan rumah?” Tanya Doojoon sedih karena Yoona
sejak tadi hanya bungkam di depan televisi. Sementara Doojoon sendiri sudah
siap dengan sebuah koper besar serta ransel yang sudah berada di punggungnya.
“Yoon, kalo nggak karena ayah yang minta, gue juga lebih milih di sini aja sama
lo,” rayunya lagi.
Yoona
menghela napas tanpa melirik kakaknya. “Bang Doojoon pergi aja. Kasian kalo
ayah nunggu lama. Dia juga pasti udah kangen sama bang Doojoo. Gue gapapa kok
ditinggal di sini. Masih ada bang Si…”
“Siwan
juga ikut gue ke Surabaya,” Doojoon memotong ucapan Yoona hingga membuat adiknya membeku mendengar ucapanya. Cewek itu
lalu menoleh dan mendapati Doojoon setengah tertunduk karena sedikit merasa
bersalah. Ia menghela napas berat. “Kalo lo terima tawaran ibu buat tinggal di
Bandung, kabarin gue ya,” serunya dengan nada berat dan masih tak berani
menatap adiknya.
Yoona
tampak enggan untuk menjawab pertanyaan Doojoon. Ia lebih memilih semakin
menenggelamkan punggungnya ke sandaran sofa. “Tanggung. Gue udah tinggal
setahun lagi sekolah SMA. Males kalo harus pindah-pindah lagi,” ujarnya datar.
Doojoon
berjalan ke belakang Yoona. Meninggalkan koper besarnya untuk sementara. Ia
lalu memeluk pundak adiknya dari belakang sambil menempelkan kepalanya ke
kepala Yoona. “Maaf, kalo selama ini nggak bisa jadi kakak yang baik buat lo.
Sekarang malah gue mau ninggalin lo sendiri di sini. Tapi gue udah bilang kok
ke Taeyeon dan Yuri buat sering-sering nengokin lo ke sini.”
Tanpa
sepengetahuan Doojoon, Yoona mencibir ketika cowok itu menyebut nama ‘Yuri’
karena cewek tersebut adalah pacar dari cowok yang selama ini ia suka, Siwan.
Dengan
lembut Yoona menyingkirkan tangan Doojoon yang melingkar di pundaknya tanpa
menimbulkan kecurigaan. Ia menoleh sambil berdiri. “Jangan khawatir. Gue bisa
jaga diri kok.”
Doojoon
tersenyum lega, lalu mengusap lembut puncak kepala Yoona. “Gue percaya, tapi
tetep aja sebenernya gue nggak tenang.”
Yoona
meraih tangan Doojoon. “Ayo gue temenin ke depan,” kata Yoona mengalihkan. Ia
juga sempat menyambar koper yang akan di bawa Doojoon ke luar kota.
Sambil
berjalan ke luar rumah, Doojoon sempat merangkul Yoona. Seakan berat
meninggalkan adiknya di rumah dan hanya seorang diri.
“Apa
gue nggak usah pergi, ya? Biarin Siwan aja,” kata Doojoon yang tiba-tiba ragu.
Yoona
menatap Doojoon galak. “Jangan aneh-aneh deh. Mau lo? Di pecat jadi anaknya Im
Seulong?” seru Yoona seakan menakut-nakuti kakaknya.
Doojoon
terkekeh mendengar ancaman Yoona. “Ada-ada aja sih, lo!” Ia lalu mengacak
dengan gemas puncak kepala Yoona hingga membuat adiknya melotot tajam. “Eh,
nggak mau nitip salam buat pacar tercinta?” godanya setengah berbisik.
“Tadi
padi udah telpon-telponan sama Jonghyun,” kata Yoona malas.
***
“Itu
yang sama Yoona bukannya bang Doojoon, ya? Kok mereka keliatan deket banget,
sih?”
Tanpa
sadar, Howon mencengkeram dengan erat stir mobilnya ketika tak sengaja melintas
di depan rumah Yoona dan Doojoon. Ia bahkan sempat menghentikan mobilnya untuk
memastikan penglihatannya. Terlebih, suasananya tepat ketika Doojoon mengacak
rambut Yoona.
Howon
masih mengawasi dua kakak beradik yang belum ia ketahui status hubungan
keduanya. Tak lama sebuah taksi berhenti di depan rumah tersebut dan keluarlah
seorang cowok dari dalamnya. Cowok yang ternyata Siwan itu, membantu Doojoon
memasukan kopernya di bagasi belakang taksi.
“Atau
jangan-jangan, mereka adik kakak. Nggak mungkin juga mereka udah nikah. Apalagi
keliatannya Doojoon emang tinggal di situ. Tapi bisa jadi, sih. Yang gue tau
rumah bang Doojoon emang di perumahan ini, Cuma aja gue nggak tau letak
pastinya,” Howon tampak bicara sendiri.
Setelah
itu, taksi yang ditumpangi Siwan dan Doojoon mulai berjalan. Yoona tampak
melambai mengiringi kepergian kakak dan cowok yang ia sukai. Setelah cewek itu
melesat ke dalam rumah, Howonpun mulai menjalankan mobilnya.
***
Gikwang
tiba di depan pintu apartmen tempat Yong Hwa tinggal. Ia menekan bel dengan tak
sabar. “Yong! Bukain pintunya, cepet!” teriak Gikwang. Ia tau jika temannya itu
sudah pulang.
“Gikwang!”
Merasa
terpanggil, Gikwangpun menoleh dan mendapati Jonghyun datang bersama Sunggyu.
Ia memang memita kedua temannya untuk bertemu di apartmen Yong Hwa karena ada
yang ingin ia bicarakan. Selain itu di antara mereka berempat, hanya Yong Hwa
yang tinggal sendiri. Dan itu artinya, mereka bisa lebih leluasa untuk
berbicara.
“Ada
apaan sih?” Tanya Jonghyun.
“Itu
bibir lo kenapa?” seru Sunggyu.
Belum
sempat Gikwang bicara, pintu apartmen terbuka dan memunculkan Yong Hwa dari
dalamnya. “Ayo masuk,” ajaknya. “Ada apaan, sih? Kayaknya serius banget,” ujar
Yong Hwa setelah teman-temannya duduk di sofa.
“Nggak
tau tuh, Gikwang.” Sunggyu melempar jawaban pada Gikwang karena memang cowok
itu yang menyuruhnya datang.
“Eh,
kenapa tuh bibir?” Tanya Yong Hwa perihal luka kecil di tepi bibir Gikwang.
Gikwang
yang kebetulan duduk di tengah-tengah, langsung menegakkan badan. Sedikit
mengabaikan pertanyaan Sunggyu dan Yong Hwa yang hampir serupa. “Apa yang
kalian lakuin ke Junhyung?” Tanya Gikwang, langsung pada inti utama.
Jonghyun
menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Ia tampak sedikit malas jika membahas
Junhyung. “Ngadu apaan tuh anak ke lo?”
“Jangan-jangan,
luka di bibir lo itu gara-gara Junhyung juga?” tebak Sunggyu yang lebih
tepatnya menuduh. “Maunya apa sih tuh anak?”
Gikwang
menoleh cepat ke Jonghyun. “Jadi, bener? Kalian yang mukulin Junhyung?”
tanyanya pada Yong Hwa dan Sunggyu juga, meminta penjelasan.
“Kwang!
Inget nggak, sih? Di pertandingan terakhir kemaren, dia tuh sengaja mau
mencelakain lo. Waktu itu kita sengaja nahan diri karena udah mau ujian Negara.
Makanya kita baru ngasih perhitungan ke dia tuh hari ini,” jelas Yong Hwa
sekaligus membela diri.
“Harusnya
tuh kalian nggak perlu ngelakuin itu.”
“Nggak
perlu gimana maksudnya? Junhyung itu emang benci banget sama lo. Dan lagi, dia
udah terang-terangan mau nyelakain lo,” kata Jonghyun menyambar ucapan Gikwang.
“Sekarang gue Tanya, siapa yang udah bikin bibir lo kayak gitu? Junhyung, kan?”
Gikwang
menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa, lalu menghembuskan napas dengan
kasar. “Tapi yang pasti, masalah ini antara gue dan Junhyung. Jadi gue harap,
kalian nggak berbuat yang aneh-aneh ke dia,” tegas Gikwang untuk ketiga
temannya. “Ya udah deh, gue balik dulu,” pamitnya dan langsung beranjak
meninggalkan apartmen Yong Hwa.
***
Lapangan
sepakbola SMA Paradise. Sore itu pemandangan yang sudah sangat biasa terjadi.
Seluruh anggota klub sepakbola mereka tampak melakukan pemanasan. Termasuk di
antaranya Gikwang yang bersama Jonghyun, Sunggyu, Yong Hwa dan Myungsoo.
“Kita
tanding ngelawan SMA Sun Moon kapan sih, bang?” Tanya Myungsoo yang tengah
melakukan peregangan di bagian kakinya.
“Minggu
depan, kan?” kata Jonghyun namun masih terdengar ragu.
Yong
Hwa, Sunggyu dan Myungsoo menatap Gikwang untuk mendapatkan kepastian dari
jawaban Jonghyun. Gikwang tampak menggeleng. “Setelah tahun ajaran baru. Tapi
angkatan yang baru lulus nanti masih terlibat, kok.”
“Eh,
pak Leeteuk udah nyuruh kumpul tuh,” tegur Jonghyun mengingatkan
teman-temannya.
“Bapak
Cuma mau menginformasikan saja tentang pemain yang di panggil untuk menjalani
pelatihan di FC Running Boys dan FC Dream Boys,” jelas Leeteuk selaku guru
olahraga sekaligus merangkap sebagai pelatih klub sepakbola SMA Paradise. Ia
membolak balikkan selembar kertas di tangannya. “Untuk yang bergabung di
Running Boys, ada Junhyung.”
“Jelas
aja. Pelatih Running Boys kan om-nya Junhyung,” sela Jonghyun mencibir dengan
nada tak suka.
Gikwang
buru-buru menyikut sambil melototinya. “Dia emang layak kok lolos Running Boys.
Bukan Cuma karena ada anggota keluarganya di sana,” seru Gikwang membela Junhyung.
Junhyung
yang mendengar perdebatan kecil antara Jonghyun dan Gikwang, justru sama sekali
tak senang jika ada yang membelanya. Terlebih orang itu adalah Gikwang. “Nggak
usah sok ngebela gue. Gue tau kok gue emang pantes lolos Running Boys,” ujarnya
sombong.
“Udah!
Cukup!” teriak Leeteuk melerai pertengkarang kecil di antara para muridnya. “Saya
lanjutkan.” Leeteuk kembali memeriksa catatan dalam kertas tadi. “Running Boys
baru ngumumin 5 nama. Yang pertama tadi Junhyung. Lalu yang lolos berikutnya adalah
Hyunseung, Changsun, Baekhyun dan Gikwang. Sisanya, saya masih menunggu kabar
lagi.”
“Yeay!
Gikwang!” seru Sunggyu sedikit heboh mendengar berita baik dari sahabatnya. Ia
bahkan sampai memeluk Gikwang ketika nama kapten mereka di sebutkan.
“Paling
nggak, salah satu dari kita ada yang lolos Running Boys,” kata Jonghyun tak
kalah gembiranya.
“Keren
lo, bang!” Myungsoo menepuk-nepuk pundak Gikwang dengan bangganya.
“Sssttt…”
desis Yong Hwa agar teman-temannya kembali tenang. “Pak Leeteuk mau ngumumin
peserta yang lolos Dream Boys, nih.”
“Cukup
banyak yang lolos ke Dream Boys.” Leeteuk sengaja bicara dengan nada penuh
rahasia agar murid-muridnya semakin penasaran. “Jonghyun, Woohyun, Dongwoo,
Yong Hwa…”
Sejauh
ini mereka-mereka yang namanya sudah tersebut, mulai bersorak hingga membuat
sedikit kericuhan dan mendapat protes keras dari beberapa murid yang masih
penasaran dengan nama-nama berikutnya yang lolos di klub sepakbola tersebut.
“…Myungsoo,
Sunggyu, Sungjong, Byunghun dan Gikwang,” lanjut Leeteuk dan kali ini membuat
sorakan dari muridnya yang lolos semakin menjadi. Teruma bagi lima
sahabat—Sunggyu, Yong Hwa, Jonghyun, Gikwang serta Myungsoo—yang seakan tak
terpisahkan karena mereka semua lolos di klub Dream Boys.
***
Sementara
di tempat berbeda, suasana serupa seperti yang terjadi di SMA Paradise juga
dialami oleh SMA Sun Moon yang juga mendapat berita tentang anggota yang lolos
seleksi dua klub terbaik ibukota, FC Dream Boys dan FC Running Boys.
Kangin,
pelatih sepakbola SMA Sun Moon, berdiri di depan untuk membacakan pengumuman
yang datang dari 2 klub sepakbola tersebut. “Untuk yang lolos ke Dream Boys…”
Kangin memberi jeda sesaat ketika bicara. “…Taemin, Kibum, Howon, Minho,
Sungyeol dan Ahn Daniel.”
Yoseob
dan Dongwoon tampak mengganggu dua temannya yang sudah lolos seleksi dari Dream
Boys. “Abis ini makan-makan,” kata Yoseob yang sudah merangkul Howon setelah
mengacak-ngacak rambut temannya itu sebagai ungkapan rasa suka cita darinya.
Dongwoo
merangkul Sungyeol karena mereka memiliki tubuh yang cukup tinggi dari Howon
dan Yoseob. “Bener tuh kata bang Yoseob, lo juga traktir kita ya, Yeol.”
Sungyeol
menyingkirkan tangan Dongwoo yang melingkar di pundaknya. “Apaan sih lo! Ngasih
selamat kok pamrih!” protesnya.
“Sementara
dari Running Boys tak terlalu banyak. Hanya Junsu, Yoseob, dan Dongwoon,”
lanjut Kangin.
Kali
ini Howon dan Sungyeol yang menatap Yoseob serta Dongwoon seakan membalas
perbuatan dua temannya itu. “Traktir…!” kata mereka kompak. Yoseob dan Dongwoo
hanya bungkam seakan kata ‘taktir’ adalah sebuah momok menakutkan yang
dihindari banyak orang.
***
Esoknya.
Suasana pagi di kediaman keluarga Howon. Kehangatan sangat terasa di sana
ketika seluruh anggota keluarga sarapan bersama meski ayah mereka, Siwon,
terlihat kurang sehat.
Siwon
menyentuh tangan istrinya ketika Ga In hendak menyendokkan nasi goreng ke atas
piringnya. “Bu, perlengkapan sepakbola Howon sudah dikembalikan?” tanyanya
lembut.
Ketiga
anak mereka, Howon, Minho dan Sulli langsung menghentikan kegiatan makan
mereka, lalu semuanya menatap sang ibu. Ga In sendiri hanya melirik ke arah
Howon sesaat.
“Tunggu
sampai nilai ujian kenaikan kelas nanti ke luar. Kalau nilainya bagus, ibu akan
memberikannya hadiah. Tapi jika tidak…” Ga In sengaja sedikit menggantungkan
perkatannya. Sementara Howon sampai menahan napasnya sebelum mendengar putusan
dari sang ibu. “Semua pasti udah tau jawabannya, kan?” lanjutnya.
Sulli
yang duduk di samping Howon, mendekatkan wajahnya ke telinga sang kakak. “Mas
masih punya sepatu bola cadangan, kan?” bisiknya.
Howon
justru mendongak dan menatap Minho. Sedikit banyaknya, saudara tirinya itu
mengetahui rahasianya bahwa Howon masih bermain sepakbola meski ia tengah di
larang. Namun Minho mengalihkan tatapannya seakan tak ingin ambil pusing dengan
masalah Howon.
“Mas
Minho nggak akan ngebocorin rahasia mas Howon, kok,” lanjut Sulli.
Minho
tiba-tiba bangkit setelah menenggak habis sisa susu di gelasnya. “Ayah, ibu,
kami berangkat dulu,” ujarnya lalu mencium punggung tangan ke dua orang tuanya
sebelum benar-benar meninggalkan rumah.
“Hati-hati
sayang,” kata Ga In lembut sambil tersenyum.
Tak
lama, Sulli mengikuti jejak Minho. “Sulli juga pamit, ya.”
Ga In
mencium kedua pipi putri satu-satunya. “Kamu belajar yang rajin, ya.”
“Jagoan
ayah tidak sekolah?” tegur Siwon karena Howon masih diam di kursinya.
“Akh,”
Howon tersentak. “Iya, ayah. Aku berangkat dulu,” pamitnya, lalu mencium punggung
tangan Siwon.
“Kamu
masih bermain sepakbola, kan? Selamat ya, kamu lolos Dream Boys,” bisik Siwon
tanpa sepengetahuan istrinya. Howon sedikit mendongak dan menatap ayahnya,
bingung. “Sulli yang cerita,” lanjut Siwon masih tak ingin di ketahui Ga In.
“Sudah sana kamu berangkat.”
Howon
yang tak tau harus berkata apa, hanya mengangguk menuruti perataan Siwon.
***
“Bang
Gikwang.” Woohyun melambaikan tangan ketika melihat Gikwang muncul dari dalam
toilet.
“Ada
apaan, Hyun?” Tanya Gikwang ketika mereka telah berdiri berhadapan.
“Bang,
gue Cuma mau nyampein amanat aja. Lo di panggil pak kepsek,” jelas Woohyun yang
tidak ingin bertele-tele.
“Hah!”
Gikwang cukup terkejut mendengarnya. Ini kali pertama ia di panggil oleh kepala
sekolah. “Ada apaan?” desaknya sedikit panic. Pikirannya mulai melayang ke
mana-mana. Ia takut telah melakukan sebuah kesalahan yang tidak ia sadari sebelumnya.
Karena Gikwang adalah salah satu murid yang taat peraturan.
Woohyun
mengangkat bahu. “Mending lo cepetan temuin pak Heechul aja deh. Oke…? Gue
balik ya,” ujarnya cepat-cepat meninggalkan Gikwang.
“Hyun!
Woohyun!” Gikwang meneriaki adik kelasnya itu, namun hasilnya percuma. Woohyun
yang memiliki kemampuan berlari yang cukup baik, sudah sangat jauh berada.
Akhirnya Gikwang hanya mampu menghela napas dan dengan berat hati, terpaksa
menyeret kakinya ke ruang kepala sekolah SMA Paradise.
***
“Lantas,
siapa yang memukuli kamu kalau bukan bocah bernama Gikwang itu?” terdengar
suara berat dan tegas seorang pria dari dalam sebuah ruangan.
Suara tersebut sampai di
telinga Gikwang yang baru saja tiba di depan ruang kepala sekolah SMA Paradise.
Ia bahkan sampai membatalkan niat untuk mengetuk pintu. Penasaran karena
namanya di sebut-sebut, Gikwangpun memutuskan untuk menguping lebih jauh.
“Chansung
memberi laporan bahwa kamu memukul Gikwang. Sementara wajahmu sendiri sudah
penuh luka,” seru seseorang lagi. Kali ini suaranya terdengar sedikit lembut
namun tetap tegas dan keras. “Sudah sana, kau panggil Gikwang.”
Gikwang
membeku di tempat. Tepat ketika pintu di hadapannya terbuka dan memunculkan
wajah Junhyung yang menatapnya tak suka. “Jadi dari tadi lo di situ?” tanyanya
ketus.
Gikwang
tak menjawab. Ia hanya mengikuti langkah Junhyung masuk kedalam. Gikwang sempat
memperhatikan sekeliling ruangan kepala sekolahnya. Jarang sekali ia ke sana.
Dan mungkin ini yang pertama kalinya. Salah satu sudut dinding di penuhi foto
sang kepala sekolah yang tampan itu dengan berbagai macam gaya layaknya seorang
foto model. Membuat Gikwang sedikit terperangah melihat sisi lain kepala
sekolahnya.
“Nggak
usah terpesona sama foto-fotoku.”
Gikwang
langsung menghentikan aktivitasnya setelah apa yang ia lakukan tertangkap oleh
mata sang kepala sekolah, Heechul.
Heechul
sudah berdiri tak lama setelah Junhyung duduk di sisi pria bertubuh besar yang
sejak tadi menatap Gikwang tak suka. Sama seperti yang dilakukan Junhyung pada
cowok itu.
“Ikut
aku,” kata Heechul setengah memerintah sambil mengajak Gikwang ke dalam ruangan
kecil yang berisi meja kerja serta beberapa lemari kaca yang dipenuhi buku-buku
serta dokumen-dokumen penting milik sekolah. “Duduk.”
Gikwang
menurut dan duduk di seberang kepala sekolahnya. “Sebenarnya, apa yang terjadi
pak? Apa saya melakukan sebuah kesalahan?” Gikwang memberanikan diri untuk
bertanya. Ia beruntung karena Heechul mengajaknya bicara empat mata saja tanpa
kehadiran Junhyung dan… ayahnya, Shindong.
Heechul
menghela napas. Sebenarnya ia cukup terbebani dengan kasus yang menimpa Gikwang
tersebut. Bukan masalah besar. Tapi justru melibatkan salah satu orang besar di
sekolah.
“Ayahnya
Junhyung itu. Kamu tau? Dia salah satu pemilik saham sekolah. Nilainya juga
cukup besar. Dan itu artinya, dia punya kuasa lebih di sini.”
Gikwang
hanya tertunduk lemas meski Heechul berusaha membuat kalimatnya seringan agar tidak
membebani salah satu muridnya itu.
Heechul
menyodorkan sebuah foto ke hadapan Gikwang. “Tadi pagi Chansung memberikan
ini.” Foto ketika Junhyung memukul Gikwang. “Saya nggak mau menyalahkan
siapapun. Tapi posisi kamu cukup terpojokkan melihat wajah Junhyung yang sudah
cukup babak belur seperti itu. Tidak mungkin tidak ada perkelahian sebelum itu
meski kebenarannya hanya kamu dan Junhyung yang tau.”
Gikwang
menelan ludahnya yang terasa pahit. Junhyung memang memukulnya. Tapi yang
membuat Junhyung seperti itu adalah… Jonghyun, Yong Hwa dan Sunggyu, karena
mereka ingin membelanya. Tapi tidak mungkin Gikwang menyeret ke tiga temannya
ke dalam kasus ini. Sementara Junhyung melakukan hal itu karena dendam padanya.
“Apa
yang Junhyung katakan?” Gikwang belum mau membela diri.
Heechul
mendesah sambil menenggelamkan punggungnya ke sandarac kursi. Ia lalu
menggeleng sebelum berkata, “Junhyung hanya mengatakan bahwa apa yang terjadi
di foto tidak seperti yang ayahnya pikirkan. Dan saya rasa ada yang di
sembunyikan anak itu. Saya juga tak bisa berbuat apa-apa. Tapi saya akan
membantu membicarakan semuanya pada ayahmu. Tenang saja. Sungmin pasti akan
mengerti kondisinya,” sambung Heechul.
“Maksud
bapak?” Gikwang menatap kepala sekolahnya, bingung. Seperti ada rasa bersalah
dalam ucapan Heechul padanya tadi.
Cukup
lama Heechul mengulur waktu untuk mengatakannya. “Kamu terpaksa di keluarkan
dari SMA Paradise.”
Gikwang
membulatkan matanya. Seakan ada petir yang menyambarnya saat itu juga. Hatinya
terasa mencelos. Ia dikeluarkan di penghujung masa SMA-nya. Gikwang bahkan baru
saja menyelesaikan ujian Negara beberapa minggu lalu. Dan sekarang hanya
tinggal menunggu pengumuman kelulusan saja.
“Bukankah
sudah saya bilang tadi,” kata Heechul sedikit panic. Ia sadar bahwa muridnya
yang satu itu dengan terpuruk. “Kamu jangan khawatir. Saya yang akan langsung
menceritakannya pada Sungmin. Dan saya pastikan, Sungmin tidak akan
memarahimu.”
Gikwang
menatap Heechul, intens. “Bapak kenal sama papa?” hanya itu yang ke luar dari
mulut Gikwang karena setiap kali Heechul menyebut nama ayahnya, kepala sekolah
itu sama sekali tidak menggunakan bahasa sapaan. Kata yang meluncur hanya nama
‘Sungmin’. Dan itu terdengar cukup akrab.
“Jadi,
Sungmin nggak pernah cerita kalau kami teman sejak SMA?” Tanya Heechul sambil
menatap Gikwang tak percaya. Ia lalu berdecak kecewa ketika Gikwang hanya
menggeleng dengan polosnya. “Keterlaluan itu si Umin!” makinya pelan. “Ya udah.
Nanti lagi bahas bapak kamu itu. sekarang gimana perasaan kamu?”
“Ya
sedih lah, pak!” ujar Gikwang. “Pake
nanya, lagi!” sambungnya dalam hati. “Berarti saya nggak lulus donk, pak?”
Heechul
kembali murung. Dan rasa bersalah itu kembali mendominasi. “Terpaksa.”
“Kalo
emang nggak lulus, nggak usah pindah sekolah gapap juga donk berarti? Saya juga
nggak masalah kok pak kalau harus ngulang. Temen-temen saya banyak juga dari
kalangan adik kelas.”
“Nggak
bisa. Shindong tetep mau kamu pindah sekolah,” kata Heechul, namun di sisi lain
ia juga sibuk membongkar isi laci meja kerjanya. Ia lalu menyodorkan sebuah map
biru ke hadapan Gikwang, menutupi foto Gikwang yang tengah dipukuli Junhyung.
“Tapi,
jangan sampe temen-temen saya tau dulu ya, pak. Takutnya Junhyung jadi kena
masalah lagi.”
Heechul
mengerutkan keningnya. “Kenapa kamu mala ngawatirin Junhyung. Memangnya apa
yang bakal di lakuin temen-temen kamu ke Junhyung?” Tanya Heechul setengah
mendesak. Kembali, ia mengkhawatirkan muridnya yang lain. Meski itu Junhyung
sekalipun.
Gikwang
semakin merapatkan bibir sambil menggaruk belakang kepalanya. Bingung harus
menjelaskan seperti apa. Dan yang lebih nggak mungkin dia lakuin adalah
mengatakan bahwa tiga temannya itu yang melakukan mengeroyokan pada Junhyung.
Bisa jadi Jonghyun, Yong Hwa dan Sunggyu juga terancam di keluarkan dari
sekolah. Dan itu nggak lucu kalau sampai ada berita di madding sekolah : ‘empat
sekawan dari klub sepakbola SMA Paradise dikeluarkan dengan kompak’.
Sedikit
merutuki kebodohannya karena nyaris saja mengatakan kebenarannya. Jika saja
berita Gikwang dikeluarkan dari sekolah mencuat, bisa di pastikan Junhyung tak
akan selamat karena bukan hanya Jonghyung, Yong Hwa dan Sunggyu yang turun
tangan. Tapi Dongwoo, Woohyun, Myungsoo bahkan anggota klub sepakbola yang lainnya
juga ikut ambil bagian.
Setidaknya kekhawatiran
Gikwang sedikit berkurang karena Heechul sudah memberikan jaminan dengan bicara
langsung pada Sungmin. Dan cukup dia saja yang merasakan ketidak adilan di
sekolah.
“Nanti di rumah kamu
tinggal minta tanda tangan Sungmin. Tapi malam aja. Soalnya ntar siang saya
udah janji mau ketemu Sungmin. Ngomongin masalah kamu yang dikeluarin dan nggak
lulus itu,” sela Heechul karena sampai beberapa menit Gikwang sama sekali tak
meresponnya.
Gikwang
yang tersadar dari lamunannya, mulai membuka sampul map. Matanya sontak melebar
karena isi map tersebut langsung memperlihatkan sebuah formulir pendaftaran
siswa baru di…
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar