Author :
Annisa Pamungkas
Main Cast :
·
B2ST/Beast Lee Gikwang
·
Infinite Lee Howon (Hoya)
·
SNSD Im Yoona
Support cast :
·
Other member B2ST/Beast
·
Other member Infinite
·
Yong Hwa CN Blue
·
Siwan Ze:a
·
Jonghyun, Minho Shinee
·
Member Super Junior
·
All member A-Pink
·
Hara KARA
·
Sulli F(x)
Genre
: romance, family,
friendship
Length : chapter
***
Gikwang
yang tersadar dari lamunannya, mulai membuka sampul map. Matanya sontak melebar
karena isi map tersebut langsung memperlihatkan sebuah formulir pendaftaran
siswa baru di…
“SMA
Sun Moon?” pekik Gikwang memastikan.
“Kenapa?
Kamu keberatan?” Heechul balik bertanya. “Sekolah kita memang lebih bagus. Tapi
setidaknya, di Sun Moon bisa lebih fair untuk
murid seperti kamu. Karena di sana tidak ada murid yang menjadi anak dari salah
satu pemilik saham mereka,” lanjut Heechul karena Gikwang tak merespon
pertanyaannya yang tadi.
Gikwang
sendiri justru semakin meneliti isi map
kepindahannya. Bahkan formulir pendaftaran sudah terisi lengkap dengan data
dirinya. Serta beberapa bukti pembayaran juga terselip di sana.
Gikwang
mendongak tiba-tiba. “Bapak sudah melunasi pembayaran sampai ujian Negara tahun
depan?” Gikwang bahkan sampai menunjukkan bukti-bukti pembayaran tersebut.
“I…
itu…” Heechul tergagap menanggapinya. Ia lalu tertawa canggung. “Akh, sudahlah.
Anggap itu bayaran atas rasa bersalah saya,” lanjutnya mengalihkan.
Gikwang
menggaruk pelipisnya. Ia bingung untuk melakukan apa setelah ini. Dan baru kali
ini ia mengetahui ada seorang kepala sekolah yang melunasi biaya sekolah
muridnya hanya karena ia terpaksa tidak bisa bersikap adil.
“Kamu
boleh ke luar dari ruangan saya,” suara Heechul mendominasi keheningan. “Tapi
ingat,” lanjutnya membuat Gikwang yang sudah hampir berdiri langsung membatalkan
niat. Heechul lalu mendekatkan tubuhnya ke tepi meja.
Gikwang juga melakukan hal
yang sama karena di rasa Heechul ingin menyampaikan sesuatu sebelum ia
benar-benar meninggalkan ruangan kepala sekolahnya.
Heechul
mengawasi pintu ruangannya yang tertutup. “Saat bertemu dengan Junhyung dan
ayahnya nanti, kamu pura-pura kecewa dan marah ya, karena dikeluarin dari
sekolah,” bisik Heechul. Ia lalu kembali duduk seperti semula.
Gikwang
tersenyum miris dan mengangguk. Ia tak ingin mengecewakan kepala sekolah yang
benar-benar sudah berkorban untuknya hari ini. “Saya permisi, pak.” Gikwang
mengangguk sekali sebagai tanda ia berpaminat untuk meninggalkan ruangan
Heechul.
“Hati-hati
membawa map-nya.” Heechul juga mengantar Gikwang sampai depan pintu untuk mengawasi
muridnya itu.
“Apa
itu artinya saya bisa langsung pulang?” Gikwang sedikit membatalkan niat untuk
memutar knop pintu. Gikwang hanya manggut-manggut melihat Heechul kebingungan
menjawab pertanyaannya. “Saya ngerti, pak. Mulai hari ini saya udah bukan siswa
Paradise lagi,” ujarnya sedih.
Ketika
Gikwang membuka pintu, Junhyung tampak langsung menegakkan badan. Ia ikut
tegang dengan apa yang baru saja di bicarakan Gikwang bersama Heechul. Junhyung
sampai menelan ludah ketika mendapati Gikwang membawa sesuatu di tangannya.
Gikwang
berhenti tepat di hadapan Shindong. Namun pria itu tampak mengacuhkannya.
“Terima kasih atas kebijaksanaan anda,” kata Gikwang penuh penekanan. Ia bahkan
sampai sedikit menundukkan tubuhnya beberapa saat. Di sana Gikwang juga mengawasi
perubahan sikap Junhyung yang terlihat tak tenang. Setelah itu Gikwang
meninggalkan ruangan setelah memberikan sebuah kode pada Heechul yang masih
mengawasinya.
Tak
lama setelah Gikwang pergi, kini giliran Junhyung yang berdiri di hadapan
ayahnya dengan tatapan menantang. “Sekarang papa puas?”
Shindong
memandang remeh putranya. “Bukannya selama ini bocah itu selalu menghalangi
impianmu?”
Junhyung
mengepalkan tangannya. Ia lalu meninggalkan ruangan tanpa pamit membuat Heechul
menahan napasnya melihat kelakuan Junhyung. Sementara dari luar, Junhyung
tampak sedikit membanting pintu dengan cukup keras.
Di
sisi lain, Gikwang belum terlalu jauh melangkah dari sana. saat mendengar
debaman pintu yang cukup keras, ia menoleh dan langsung bersembunyi di balik
pilar terdekat ketika mengetahui Junhyunglah yang melakukan itu.
Junhyung
tampak meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa ke arah berlawan dari tempat
Gikwang berada. Cowok itu tampak kecewa sekaligus kesal. Terbukti ketika
Junhyung menutup pintu ruangan itu dengan sedikit kasar.
***
Gikwang
menutup pintu lokernya dengan sedikit kasar setelah mengeluarkan barang-barang
yang sebelumnya ada di dalam sana. Saat mendongak, ia menemukan Hara yang
menatapnya curiga. Semakin lama langkah cewek itu semakin dekat dan kini justru
mereka saling berhadapan.
“Jadi
kamu bener di keluarin?” Tanya Hara setengah mendesak setelah meneliti beberapa
peralatan sekolah dan sepakbola Gikwang yang kini berserakan di sekitar kaki
cowok itu.
“Dari
mana lo tau?” Gikwang langsung panic dan mengawasi sekitar.
“Tadi
aku ketemu Junhyung. Dia yang bilang semuanya.”
Gikwang
lalu menatap Hara penuh harap. “Gue mohon jangan bilang siapa-siapa tentang
ini,” pintanya. “Terutama temen-temen gue.”
Hara
hanya mengangguk tanda menyanggupi permintaan Gikwang. “Terus, kamu jadinya
pindah sekolah? Sama aja nggak lulus, donk?”
“Gapapa,
Ra. Gue pindah ke Sun Moon. Sekolah cewek yang waktu itu,” ujar Gikwang sedikit
bersemangat mengingat ia akan bertemu dengan Yoona. Bahkan mereka akan satu
sekolah. “Gue akan tetep nepatin janji gue tentang Junhyung. Tapi nanti, kan?
Setelah kelulusan?”
Hara
kembali mengangguk. Ia hampir selalu kehabisan kata jika menyangkut masalah
Junhyung.
“Tetep
kabarin gue ya lo pindah ke mana?”
“Surabaya,”
ujar Hara cepat.
Gikwang
tersenyum dan mengangguk. “Makasih udah bantuin gue lepas dari cewek-cewek itu.
Dan gue juga udah bilang ke Jonghyun, Sunggyu dan Yong Hwa untuk ngawasin lo
dari cewek-cewek nggak penting itu.”
“Makasih
juga udah mau berteman sama aku,” balas Hara.
Gikwang
lalu sempat menyentuh pundah Hara sebelum akhirnya pergi dari sana sambil
membawa barang-barangnya. Namun karena yang harus ia bawa cukup banyak, Hara
berinisiatif membantu Gikwang membawanya ke mobil. Dan tentu saja kejadian
antara mereka berdua terlihat oleh mata kepala Junhyung yang mengawasi Hara dan
Gikwang dari jauh.
***
Di sore
hari yang cukup mendung itu, Yoona tampak mengayuh sepedanya sedikit cepat
ketika melihat sosok Howon telah menunggunya di tepi jalan dekat taman. Tempat
mereka akhir-akhir ini sering bertemu.
“Hoya!”
teriak Yoona penuh semangat sambil melambaikan tangan. Tapi tiba-tiba
perhatiannya teralih pada seorang cowok yang berjalan kaki tak jauh dari tempat
ia mengendarai sepeda. Yoona bahkan sampai menengok untuk memastikan cowok
tersebut yang ternyata adalah Gikwang. “Waaah… dia…” gumam Yoona saking
kagumnya.
Gikwang benar-benar tampil
sporty dengan segala perlengkapan
olahraganya. Sebenarnya pemuda itu tak yakin untuk kembali latihan sepakbola
seperti biasa dengan teman-teman sekolahnya mengingat kejadian tadi pagi.
Howon
yang menyadari seseorang memanggilnya, langsung menoleh. Namun ia tiba-tiba
membulatkan mata dengan sedikit panik. “Yoon! Awas!” pekiknya nyaring.
Ada anak kecil yang
menyebrang di depan Yoona dengan seenaknya. Terlebih saat itu Yoona tengah
tidak berkonsentrasi pada jalanan, tapi Gikwang.
“Aaakkkhhh!”
jerit Yoona terkejut ketika menyadari ada anak kecil yang membeku di depannya
yang tak kalah panic dengan Yoona. Yoona terpaksa membelokkan sepedanya agar
tidak menabrak anak tadi. Dan… BRUUUK…!!!
Howon
menutup matanya. Ngeri melihat Yoona yang terjungkal karena sepedanya sempat
menabrak pagar di dekatnya. Begitu pula dengan bocah cowok tadi yang masih
membeku di tempatnya.
Sementara
Gikwang yang mendengar suara kegaduhan, mendongak dengan santainya ke tempat
kejadian. Ia hanya menatap datar tubuh Yoona yang tertindih sepedanya sendiri.
Sama sekali tak berniat menolong, karena Howon sudah lebih dulu membantu Yoona
berdiri.
Yoona
sendiri langsung menghampiri bocah cowok tadi. “Dek, kamu gapapa, kan?” Tanya
Yoona. Bocah itu mengangguk polos, membuat Yoona berjongkok sambil memeluknya
karena merasa bersalah. “Maafin kakak, ya,” serunya yang bahkan tak peduli
bahwa ada luka kecil di bawah lutut serta lengan kirinya.
Howon menatap bocah itu
penuh minat. Ia mengenalnya. Itu anak yang pernah bermain bola di lapangan
taman dengannya. Yoogeun. “Lain kali hati-hati, ya?” Howon berucap sambil
mengelus kepala anak kecil itu.
Bocah
itu mendongak menatap Howon. “Bang Hoya?” serunya riang karena mengenali Howon.
Yoona
yang mengetahui itu langsung melepas dekapannya dan menatap Howon serta Yoogeun
bergantian. “Kalian saling kenal?”
“Kita
temen main bola, kak.” Yoogeun berkata dengan bangganya membuat Yoona dan Howon
terkekeh gemas.
Setelah
itu Howon tampak menerima telpon lalu sibuk dengan obrolannya itu. Masih dengan
posisi yang sama, Yoona juga sibuk memeriksa beberapa bagian tubuh Yoogeun.
Memastikan bahwa bocah cowok itu baik-baik saja.
Howon
menepuk pundak Yoona. “Yoon!”
“Apa?”
Tanya Yoona setelah mendongak untuk melihat Howon. Yoona langsung berdiri
ketika melihat wajah Howon yang tiba-tiba pucat setelah mengakhiri
pembicaraannya di telpon tadi. “Lo kenapa? Kok tiba-tiba pucet gitu?”
Tak
langsung menjawab, Howon justru memungut bungkusan yang di bawa Yoona. “Bokap
gue masuk rumah sakit, Yoon. Gue harus langsung ke sana.”
Yoona
membulatkan matanya. “Berarti lo nggak jadi latihan bola, donk?”
“Terpaksa,”
kata Howon sedikit kecewa.
Yoona
merebut bungkusan plastic di tangan
Howon. “Ya udah, ini gue yang bawa aja. Lo bisa langsung ke rumah sakit.”
Howon
langsung mengangguk tanpa penolakan lalu mendongak dan mendapati langit semakin
gelap. “Lo langsung pulang ya! Udah mau ujan, nih.” Lalu Howon menatap bocah
cowok yang masih di sana. “Yoogeun hati-hati ya pulangnya,” pesan Howon, dan
bocah kecil itu hanya mengangguk menurut.
“Lo
juga hati-hati ya,” ujar Yoona. Setelah itu mereka bertiga berpisah dan hanya
Yoona yang berjalan ke arah berlawanan dengan Yoogeun serta Howon.
***
Di
tempat berbeda. Surabaya. Tampak Siwan serta Doojoon berjalan beriringan di
area parkit sebuah stadion sepakbola. Siwan lebih dulu menghentikan langkah
sambil menarik tangan Doojoon agar ikut berhenti.
“Itu
om Seulong,” kata Siwan yang sudah menunjuk ke sebuah arah. Di mana seorang
pria baru saja ke luar dari sebuah mobil. Dan saat ini pria itu berjalan ke
tempat Siwan dan Doojoon berada karena sudah menyadari keberadaan dua cowok
tadi.
Namun
ada sebuah kejadian tak terduga setelah itu. Sebuah mobil melaju kencang di
belakang Seulong.
“Ayah,
awas!” teraik Siwan dan Doojoon bersamaan.
Seulong
menoleh cepat. Sesaat ia tertegun karena dua cowok itu kompak memanggilnya
dengan sebutan ‘ayah’. Namun sedetik kemudian, Seuolong merasakan tubuhnya
terdorong hingga terhempas ke aspal diiringi sebuah teriakan.
“Siwan!”
Doojoon menjerit melihat Siwan juga terlempar hingga kepalanya terbentur badan
belakang sebuah mobil yang terparkir. Buru-buru ia menghampiri temannya itu.
Ketika
melihat Seulong nyaris tertabrak, Siwan sudah berlari kencang lalu mendorong
pria itu. Hingga akhirnya ia lah yang terserempet sampai kepalanya membentur
bagian balakang salah satu mobil yang terparkir di sana dengan cukup keras.
Doojoon
memangku kepala Siwan yang sudah mengeluarkan banyak darah. “Siwan lo gapapa,
kan? Ayo bangun.” Doojoon menepuk-nepuk pipi Siwan dengan tidak sabar.
Dengan
susah payah, Seulong juga menghampiri ke tempat Siwan dan Doojoon berada. Ia
hanya sedikit mengalami luka di bagian lengan. Tak lama beberapa orang yang
melihat kejadian, mulai mengerubungi Siwan. Sampai akhirnya sang pemilik
mobilpun ke luar dan menghampiri kerumunan.
***
Hujan
deras melanda ibu kota Jakarta. Yoona menyeret cepat sepedanya ke halte
terdekat. Di tengah-tengah perjalanan, Yoona merasa ada sesuatu di atas
kepalanya. Ternyata ada seseorang yang membentangkan jaket hingga menutupi
kepala mereka. Mereka lalu meninggalkan sepedanya di sana dan meneduh di dalam
halte yang kebetulan tidak terlalu ramai. Cowok tersebut mengibas-ngibaskan
jaketnya yang basah. Dan setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata cowok
itu adalah Gikwang.
Yoona
buru-buru memalingkan wajah sambil mendekap tangannya di depan dada. “Ya ampun,
dia… sweet banget sih ujan-ujanan
berdua,” gumam Yoona pelan yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya
bertemu dengan Gikwang.
Di sisi
lain, kejadian serupa juga terjadi pada Gikwang. Cowok itu nggak bisa menahan
degup jantungnya. “Mudah-mudahan dia nggak marah karna gue udah lancang
mayungin dia pake jaket. Berdua pula,” seru Gikwang pelan sekaligus sedikit
merutuki dirinya.
“Gimana
keadaan luka lo?” Tanya Yoona memberanikan diri memulai percakapan.
“Hmm?”
Gikwang tampak terkejut dan tak siap dengan pertanyaan Yoona. “Oh, ini…” Ia
menunjukkan bekas lukanya yang masih tertutup selembar plester coklat. “Udah
gapapa kok. Makasih ya untuk yang waktu itu.”
Yoona
hanya mengangguk sekali tanpa berani menatap Gikwang.
Gikwang
mencoba mengalihkan perasaannya dengan mendongak menatap langit yang masih
gelap. “Kayaknya ujannya bakal lama nih.”
Sontak,
Yoona ikut mendongakkan kepalanya. Tidak ada tanda-tanda hujan akan mereda
barang sedikit saja. Yoona menghela napas kasar. “Iya. Mana makin deres banget
ujannya,” timpal Yoona.
“Duduk
dulu,” ajak Gikwang yang sudah lebih dulu menyingkir dari sana sambil mengambil
posisi duduk di salah satu kursi panjang di sana. Tak lama Yoona menyusul dan
duduk di samping Gikwang.
Hening
kembali menguasai Yoona dan Gikwang. Hanya suara gemericik air yang mendominasi
di sana.
“Kayaknya
kita belom kenalan deh. Padahal udah tiga kali ketemu sama yang sekarang.”
Yoona
menoleh dan mendapati Gikwang sudah mengulurkan tangannya. “Yoona,” ujarnya
sambil membalas uluran tangan Gikwang.
“Gue
Gikwang.”
Setelah
itu, kembali hanya gemericik hujan yang mendominasi antara Gikwang dan Yoona.
“Eh?”
Yoona terkejut karena merasakan getaran di saku celana jins selutut yang ia
pakai. “Ibu?” gumamnya bingung dan segera saja menjawab panggilan dari ibunya.
“Iya, bu. Kenapa?”
“Kamu di mana, sayang? Baik-baik aja, kan?” terdengar
suara seorang wanita dengan nada khawatir.
Yoona
sempat melirik Gikwang sesaat karena bingung dengan pertanyaan ibunya. “Emang
kenapa, bu? Aku di halte. Lagi neduh. Ujannya deres banget di sini.” Yoona
sedikit meninggikan suaranya yang teredam suara hujan.
“Kok perasaan ibu nggak enak, ya? Bang
Doojoon jadi ke Surabaya?”
“Jadi kok. Udah dari kemaren. Tadi siang baru aja telpon
aku. Tapi katanya bang Doojoon belom sempet ketemu ayah. Paling sore ini,”
jelas Yoona. Hanya hening dari seberang sana. “Ibu udah coba telpon ayah?”
“Ya udah deh. Ibu coba telpon ayah dulu.
Kamu hati-hati di sana ya Yoona…”
Yoona mengangguk meski tentu saja ibunya tidak
bisa melihat. “Iya. Ibu juga.”
“Nyokap?”
tebak Gikwang tak lama setelah Yoona mengakhiri telponnya.
“Iya,”
jawab Yoona pendek sambil buru-buru menjejalkan kembali ponselnya ke dalam saku
jins. “Bikin gue khawatir aja.”
“Kenapa
emangnya?” Tanya Gikwang yang tak bisa menahan penasarannya. Terlebih Yoona
terkesan memberikan celah untuknya bertanya lebih jauh.
“Gue
juga belom tau.”
***
“Mobilku
tiba-tiba hilang kendali saat baru masuk parkiran,” jelas seorang pemuda yang
menjadi pelaku penabrakan Siwan.
Seulong
hanya tertunduk. Sementara Doojoon sibuk menenangkan ayahnya itu. Di depan
mereka juga duduk dua cowok yang berada di dalam mobil tersebut.
“Kami
akan bertanggung jawab atas semuanya,” lanjut cowok satu lagi yang bertubuh
cukup tinggi.
“Terima
kasih,” ujar Seulong singkat. Ia cukup syok melihat keadaan Siwan tadi. Di sisi
lain, Doojoon juga merasa dirinya tak berguna. Karena justru Siwanlah yang
menolong Seulong, bukan dirinya.
Tak
lama setelah itu, seorang dokter ke luar dari dalam ruangan tempat Siwan di
bawa tadi. Seulong dan yang lain sontak berdiri. “Pasien membutuhkan donor
darah bergolongan O,” kata sang dokter.
“Golongan
darah saya O,” kata Seulong tanpa pikir panjang.
Dokter
bernama Hangeng tersebut hanya mengangguk sambil memberikan isyarat agar
Seulong mengikutinya ke sebuah ruangan. Tersisa Doojoon dan dua cowok tadi.
Perasaan pemuda itu semakin bercampur aduk melihat sikap Seulong. Cowok
bertubuh tinggi itu menepuk pundak Doojoon.
“Aku
akan mengurus administrasi dulu. Kamu di sini bersama Henry,” jelas cowok
tersebut.
Cowok
yang di maksud bernama Henry itu mengajak Doojoon kembali duduk. “Lo kenapa?
Tenang ya, Siwan pasti baik-baik aja.”
***
Gikwang
menengadahkan kepalanya. Memastikan tetesan hujan tak sederas 2 jam yang lalu.
Dan sudah selama itu Yoona dan Gikwang terjebak di halte karena derasnya hujan.
Sampai akhirnya, langit semakin gelap.
“Kita
nyampe malem begini neduhnya,” kata Gikwang yang hanya di jawab anggukan oleh
Yoona. Cowok itu berdiri. “Gue anter pulang, yuk.”
“Eh?”
Yoona tampak tak siap dengan ajakan Gikwang. Namun ketika menoleh, Gikwang
justru sudah di luar halte dan bersiap dengan sepeda Yoona. Cewek itu langsung
menegang karena kemungkinan kejadian saat ia dan Howon berboncengan akan
kembali terulang.
“Ayo!”
seru Gikwang membuyarkan lamunan Yoona.
“Iya,”
kata Yoona cepat dan langsung menghampiri Gikwang. Ia menatap cowok itu ragu.
“Takut
ketauan cowok lo, ya?” tebak Gikwang. Ia juga masih ingat jelas ketika melihat
Hoya memboncengi Yoona dengan sepeda itu.
“Siapa?”
“Howon,”
kata Gikwang pendek.
Yoona
mengerutkan kening, bingung. “Howon siapa, lagi?” Yang Yoona tau itu Hoya,
bukan Howon. Meski sebenarnya mereka orang yang sama. Sambil berusaha
mengendalikan degup jantungnya, Yoona memberanikan diri duduk di depan Gikwang.
Kejadian dengan Howon
benar-benar seperti terulang. Yang membedakan hanyalah suasanya. Kali ini
Gikwang mengayuh sepeda dengan sedikit santai. Air menggenang hampir sebagian
besar jalan yang mereka lewati. Di tengah-tengah perjalanan, ada kejadian tak
terduga. Sebuah mobil melaju cukup kencang hingga membuat genangan air di
sekitar sana muncrat dan mengenai Yoona dan Gikwang.
“Aaaa!”
jerit Yoona karena pakaiannya basah.
Gikwang
sendiri langsung menghentikan sepeda dan menatap tajam mobil yang sudah semakin
jauh itu. Dan ia mengenali mobil tersebut seperti milik Junhyung.
Lima
belas menit kemudian, mereka sampai di gerbang perumahan Yoona. Gikwang
menuntun sepeda Yoona sambil menemani cewek itu sampai rumah.
“Kalo
mau mampir kapan-kapan aja, ya. Di rumah lagi nggak ada orang,” ujar Yoona
setengah bercanda saat mereka sampai di depan rumahnya yang gelap.
Gikwang
terkekeh mendengarnya. “Ya udah. Gue balik ya,” pamitnya sambil menyerahkan
sepeda Yoona pada pemiliknya.
“Udah
malem, Kwang. Kalo lu mau, bawa sepeda gue dulu aja.”
Gikwang
berpikir sejenak. “Mau di taro di mana?
Nggak mungkin gue bawa masuk. Apartmen gue kan lantai 4. Apa nitip Yong Hwa
aja, ya?” batin Gikwang.
Akhirnya
Gikwang mau menerima tawaran Yoona. Ia membawa pulang sepeda cewek itu. Selama
perjalanan ia kembali sibuk berpikir tentang alasannya menitipkan sepeda di
apartmen Yong Hwa yang kebetulan berada di lantai dasar.
“Sejak
kapan lo naik sepeda?” ejek Yong Hwa setelah mendapati Gikwang di depan pintu
apartmennya. Apa yang ditakutkan Gikwangpun benar-benar terjadi. “Bukannya
mobil sama motor lu nggak jadi di jual?” lanjut Yong Hwa. Cowok itu memang
sudah mengetahui tentang kepindahan Gikwang, namun tidak tentang dikeluarkannya
Gikwang dari SMA Paradise.
Akhirnya
Gikwang menceritakan tentang pertemuannya dengan Yoona dari pertama sampai
beberapa waktu lalu.
Yong
Hwa geleng-geleng kepala mendengar cerita Gikwang. “Baru kemaren lo di demo
sama fans lo, udah mau bikin ulah lagi aja.”
“Dia
nggak ada sangkut pautnya sama cewek-cewek nggak jelas itu,” protes Gikwang
seakan tak terima Yoona di samakan dengan cewek-cewek yang pernah menjadi teman
kencannya.
“Siapa
sih? Hara?” Yong Hwa tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
“Lo
semua pada bener-bener nyangkain gue jalan sama Hara, ya?” tuduhnya.
“Ya…
abisnya… lo berdua deketnya misterius banget sih.”
Gikwang
memutar bola matanya, malas membahas hal itu. “Intinya, gue boleh nitip sepeda
nggak nih?” Gikwang menegaskan sekali lagi.
“Ya
udah deh,” seru Yong Hwa akhirnya. Sedikit terpaksa. Ia lalu sedikit menggeser
tubuh agar Gikwang bisa membawa masuk sepedanya. “Yaah! Becek deh rumah gue!”
keluhnya meratapi kotoran yang dibuat ban sepeda.
Gikwang
hanya nyengir merasa tak bersalah mengingat pakaiannya juga sedikit basah.
“Makasih ya, Yong.” Buru-buru Gikwang melesat pergi sebelum Yong Hwa berubah
pikiran.
Dengan
terpaksa Yong Hwa membiarkan Gikwang pergi begitu saja. “Jadi pembokat lagi,
dah.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar