Author :
N-Annisa [@nniissaa11]
Cast :
·
Son Chaeyoung
·
Adachi Yuto
·
Kang Hyunggu (Kino)
·
Jung Wooseok
·
Lee Hangyul
·
and other
Genre :
School Life, Romance, Drama
***
Chaeyoung meninggalkan
ruangannya. Memberikan waktu kepada ibu dan anak itu saling melepas rindu.
Tanpa sadar setitik air mata meluncur di sudut matanya. Chaeyoung segera
menyekanya sebelum ada yang sadar. Gadis itu menangis Bahagia, melihat bibi
Hana—wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri—bertemu dengan putranya
setelah sekian tahun berpisah.
Sementara di dalam,
Yuto sama sekali tidak melepaskan pelukannya pada sang ibu yang bahkan tidak
bisa menghentikan tangisannya. Mata pemuda itu juga basah karena air mata
Bahagianya. Akhirnya Yuto melepaskan pelukannya. Ia mengajak Hana untuk duduk
di sofa, berhadapan. Yuto menangkup wajah cantic ibunya.
“Ibu, maaf aku baru
datang mencarimu.” Suara Yuto terdengar bergetar akibat tangisannya tadi. Ia
berusaha menyeka sisa air mata di wajah ibunya, namun pipi wanita itu selalu
basah akibat air matanya kembali jatuh.
Bibi Hana menggeleng.
“Harusnya ibu yang mencarimu, nak.”
Yuto tersenyum,
berusaha agar ibunya berhenti menangis. “Yang penting sekarang, kita sudah
bersama-sama ya, bu. Ah, aku juga rindu Yasuo.”
Bibi Hana menatap Yuto
melalui matanya yang basah. “Taewoong. Namanya Taewoong. Dia tidak suka
dipanggil Yasuo lagi.”
Yuto terkekeh. Sulit
diartikan apa yang ia rasakan sekarang. Namun tebakannya pasti Yasuo/Taewoong
terlalu kecewa dengan keluarganya. Terutama ayah mereka. Jika ia berada di
posisi Taewoong, mungkin Yuto juga akan melakukan hal yang sama. “Kapan aku
bisa bertemu dengan Taewoong Hyung? Dia pasti senang jika aku
memanggilnya begitu. Ya kan, bu?”
Wanita itu sama sekali
tidak melepas pandangannya barang sedetikpun. Namun lagi-lagi bibirnya
bergetar. Bibi Hana kembali menangis. Mereka sudah berpisah selama belasan
tahun. Namun rasanya seperti baru beberapa minggu saja, terlebih mendapati Yuto
memanggil Taewoong dengan sebutan ‘Hyung’.
“Apa selama ini kau di
Seoul?” bibi Hana bertanya dengan nada menyelidik setelah ia sudah bisa sedikit
meredakan tangisnya.
Yuto berpikir sesaat.
“Baru hampir dua bulan. Memangnya kenapa? Apa aku sudah pantas menjadi orang
Korea?” goda Yuto pada ibunya. Entah karena memiliki darah Korea juga, tidak
sulit bagi Yuto untuk terbiasa dengan budaya di sana. Hanya dalam hitungan hari
saja tanpa sadar ia mengganti panggilan pada Takuya menjadi ‘Hyung’.
Bibi Hana tersenyum di sisa-sisa
air matanya. Rasanya malam ini ia akan tidur nyenyak. Si bungsu sudah besar,
dan kini ada di hadapannya. Bisa ia sentuh dan ia peluk. Yuto sendiri juga
tidak melepaskan tatapan pada ibunya, seperti menatap cinta pertamanya.
“Ibu, maaf aku baru
bisa mencarimu sekarang. Dulu aku belum bisa berbuat apa-apa.”
Kembali, bibi Hana
menarik Yuto ke dalam pelukannya. Seolah membayar hutang pelukan yang
seharusnya Yuto terima sejak belasan tahun lalu. Yuto balas memeluk ibunya,
mengusap punggung wanita itu sambil menenggelamkan wajah ke leher ibunya.
Kehangatan yang sangat ia rindukan.
***
Chaeyoung menyandarkan
kepalanya pada dinding, tepat di sebelah pintu ruangan yang biasa dijadikan
kantor. Tidak bisa dibayangkan bagaimana suasana di dalam sana yang hanya diisi
dua orang. Yuto dan ibunya, bibi Hana. Jika tahu sejak awal, hari itu juga—saat
ia pertama kali bertemu Yuto—Chaeyoung sudah mempertemukan mereka. Mungkin
memang sudah jalannya seperti ini. Perjuangan Yuto sudah membuahkan hasil.
Bahkan sebenarnya sejak hari pertama menginjakkan kaki di Korea, Yuto sudah
bertemu dengan ibunya melalui masakan bibi Hana.
Chaeyoung kembali
menegakkan badan sambil menyeka ekor matanya sebelum air matanya mengalir.
Gadis itu ikut merasakan emosi ketika mengetahui bibi Hana bertemu dengan
anaknya, Yuto. Bibi Hana pernah beberapa kali bercerita tentang anak bungsunya.
Tidak terlalu banyak, karena bibi Hana tidak ingin larut dalam kesedihan karena
tidak bisa berbuat apa-apa untuk bisa bertemu dengan Yuto. Kalau dipikir lagi,
takdir terkadang begitu lucu. Chaeyoung bahkan cukup akrab dengan Yuto—meski
baru kenal. Sampai akhirnya lamunan Chaeyoung terganggu karena ada suara
desisan seseorang yang seakan sedang berusaha mendapatkan perhatian Chaeyoung.
“Hei, ibu Boss.”
Chaeyoung benar-benar
menoleh. Didapatinya sosok Hangyul yang mengankat tangannya agar Chaeyoung bisa
dengan mudah menemukan teman semejanya ketika di kelas itu. Chaeyoung sedikit
mengerutkan keningnya sambil melangkah mendekat. Tadi ia tidak sempat menyadari
keberadaan pemuda itu. Hangyul memang sudah beberapa menit di sana. Terlihat
dari mejanya yang sudah terhidang makanan dan minuman yang ia pesan.
Hangyul menggeser
posisi duduknya—ia tadi memilih meja dengan kursi panjang—sambil memberikan
tanda agar Chaeyoung duduk di sebelahnya.
“Kenapa tidak latihan?”
tanya Chaeyoung sesaat setelah ia duduk seperti permintaan pemuda itu. Gadis
itu juga menangkap sebuah tas ransel yang Hangyul letakkan di bawah meja.
“Aku sedang kurang
nafsu makan, dan tadi pagi aku tidak sarapan. Bagaimana mungkin aku latihan
dalam keadaan perut kosong?”
Chaeyoung melirik kesal
pada Hangyul saat pemuda itu menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Chaeyoung tidak
begitu saja mempercayai Hangyul. Padahal memang kenyataannya Hangyul sudah
sarapan bersama seniornya di sekolah. Dan Chaeyoung juga mengetahui hal
tersebut dari Kino yang sempat saling bertukar kabar dengannya tadi.
“Jangan coba
membohongiku jika kau sedang bersama Kino Oppa.”
Hangyul membatalkan
menyuapkan kembali makanannya dan justru malah tertawa. Ia memang sengaja
berbohong. Tidak seru jika bicara terlalu jujur pada Chaeyoung. Namun selama
beberapa menit, tidak ada sepatah katapun meluncur dari bibir Hangyul. Ia lebih
memilih menikmati makanannya dalam diam, dan Chaeyoung juga masih di sana
menunggunya sampai selesai.
Hangyul memutar
badannya hingga berhadapan dengan Chaeyoung. “Wooseok Hyung sepertinya
sudah menceritakan kondisimu pada coach.”
Chaeyoung menoleh
dengan ekspresi bingung. “Kondisi apa? Memangnya aku kenapa?”
Hangyul masih diam
tidak bereaksi. Menatap lurus ke dalam mata Chaeyoung hingga membuat gadis itu
sedikit salah tingkah. Tanpa harus bertanya, Chaeyoung sudah menyadari jika
Hangyul mengetahui sesuatu tentang dirinya. Dan jika Wooseok juga tahu, bisa
dipastikan mata-mata yang membocorkan rahasia tersebut adalah si kembar
Dongju-Dongmyung. Dua anak kembar itu memang harus meminta bantuan orang lain
untuk mengawasi kakaknya. Salah satunya melalui Wooseok. Dan mungkin Kino juga
sudah mengetahui hal ini. Mereka memang tidak bisa merahasiakan sesuatu,
apalagi yang menyangkut Chaeyoung.
“Lalu? Kau juga akan
melarangku berlatih Muay Thai?”
Kali ini pertanyaan
Chaeyoung membuat kening Hangyul mengerut. “Memangnya kenapa harus sampai tidak
berlatih lagi?” tanya pemuda itu dengan ekspresi bingung.
Chaeyoung mengedipkan
mata pelan dengan hati yang mencelos. “Sebenarnya apa yang kau bicarakan?”
Hangyul tersenyum
canggung. Ekspresi Chaeyoung kali ini sudah tidak bisa ia nikmati lagi sebagai
hiburan. Karena semenjak Namanya berjejer dengan Junyoung, Wooseok dan yang
lain, Hangyul merasa waktu kebersamaan dengan Chaeyoung seperti berkurang. “Maaf
kalau aku keterlaluan.” Tatapan Hangyul berubah lembut.
Chaeyoung tertunduk.
Benar masalah itu. Masalah tubuhnya yang sudah tidak seperti dulu. Masalah
tentang dirinya yang tidak boleh berada dalam situasi ‘perkelahian’. Bahkan
diperparah dengan dirinya yang harus meninggalkan Muay Thai. Tempat
gadis itu mendapatkan kepercayaan dirinya. Bahkan karena dari tempat itu,
Chaeyoung bisa melindungi dirinya sendiri.
“Aku tidak ingin kau
menderita lebih dari ini.”
Chaeyoung hanya
tersenyum sarkas. Teringat kejadian sial tersebut. Mina. Bahkan sampai detik ini,
Chaeyoung tidak tahu di mana letak kesalahannya hingga ia menjadi korban. Kalau
hanya karena Yugyeom, harusnya Mina tidak perlau melangkah sejauh itu.
“Ada yang harus kau
tahu.”
Chaeyoung kembali
menoleh pada Hangyul yang bahkan tidak melepaskan tatapannya.
“Tentang Mina,” lanjut Hangyul yang kemudian
menceritakan secara jelas apa yang ia alami selama berada di ‘grup’ itu, hingga
pertemuannya dengan anggota ‘grup’ itu tadi pagi. Tentang Junyoung yang
membeberkan cerita masa lalunya dengan Mina. Seakan story tersebut
berkelajutan dengan apa yang Yuto ceritakan kemarin malam.
***
Kino tampak duduk
disebuah undakan tangga sebuah rumah dengan membawa sebuah paper bag berisi
dua gelas ice chocolate. Pakaian pemuda itu masih seperti yang ia
kenakan saat sarapan bersama teman-temannya tadi pagi. Tidak lama kemudian
terdengar suara pintu terbuka. Kino buru-buru menoleh sambil berdiri.
Didapatinya sosok Yuqi dengan pakaian santainya. Pemuda itu belum membuka mulut
sama sekali. Sampai akhirnya Yuqi yang duduk di undakan tangga, membuat Kino
juga menyusul dengan paper bag yang membatasi mereka.
“Sudah lebih baik?”
tanya Kino akhirnya memulai untuk membuka suara. Sejak kejadian Yuqi di culik,
pemuda itu sudah melunak. Hubungan mereka sebelum itu sangat buruk.
“Sunbae maafkan
aku,” kata Yuqi dengan nada sedikit bergetar.
Kino langsung menggeser
tubuhnya lebih mendekat pada gadis itu, lalu merangkul pundak Yuqi. Gadis itu
juga baru saja menghadapi kejadian besar yang tidak bisa ia lupakan begitu
saja. “Kau tidak perlu memikirkan itu lagi. Yang terpenting kau sudah baik-baik
saja. Itu sudah lebih dari cukup.” Kino tersenyum hangat hingga berdampak
senyuman itu menular pada Yuqi. Masih mempertahankan senyumannya, Kino membelai
rambut bergelombang milik Yuqi.
“Apa Chaeyoung
baik-baik saja?”
Pertanyaan Yuqi membuat
Kino menghentikan kegiatannya. Bibirnya masih membentuk senyum, namun bukan
senyuman seperti tadi. Semua pembahasan tentang Chaeyoung pasti tertuju pada
‘sakit’ yang diderita gadis itu. Namun rasanya Kino belum perlu memberi tahu
Yuqi tentang berita itu. Ya, Kino tentu tahu apa yang sedang dialami Chaeyoung.
Karena yang sebenarnya terjadi adalah : Wooseok membeberkan hal tersebut di
depan forum. Dalam hal ini di depan seluruh anggota ‘grup’—kecuali Yugyeom.
“Ah, tidak ada yang
perlu kau khawatirkan,” kata Kino akhirnya. “Chaeyoung baik-baik saja. Dan
kalaupun terjadi sesuatu, masih ada Hangyul dan Yuto yang berdiri paling depan
untuk melindungi Chaeyoung.” Sedikit membubuhi lelucon untuk menutupi
kegugupannya. Tidak ingin Yuqi mengalami trauma lebih mendalam sejak kejadian
penculikan itu.
“Lagipula, yang
kudengar, waktu itu kau datang karena menerima pesan dariku. Apa itu benar?”
tanya Kino sampai memiringkan kepalanya karena Yuqi terlihat menunduk dan
sedikit menghindari kontak mata dengannya.
Diam-diam Kino
tersenyum. Karena alasahan itu pula ia memberanikan diri untuk datang ke rumah
Yuqi. Padahal kemarin Yuqi bahkan seperti tidak ingin melihat Kino. Gadis itu
lebih mempercayai untuk ikut bersama Wooseok. Padahal Kino juga di sana. Kino
bahkan orang pertama yang mengulurkan tangan padanya.
Kemarin, Yuqi memang
kesal. Kesal karena hubungannya yang renggang dengan Kino. Ditambah lagi
kejadian itu dan Mina. Namun semalaman gadis itu memikirkan hal ini. Kenapa
dirinya menjauh dari Kino? Kenapa dirinya memandang Chaeyoung seperti sosok
monster yang terperangkap pada tubuh mungil anak SMA seperti Chaeyoung? Sempat
teringat kembali kejadian saat Mina menampar Chaeyoung. Menampar monster cantik
itu yang sebenarnya datang untuk menolongnya. Lalu setelah bangun dari tidurnya
yang bahkan tidak nyenyak sama sekali, Yuqi bertekad untuk menghilangkan
pikiran jeleknya tentang Chaeyoung selama ini. Yukyung benar, dirinya hanya belum
mengenal Chaeyoung lebih dalam.
“Maka dari itu aku di
sini. Bertanggung jawab karena hal ini juga menyangkut tentang diriku.”
“Sunbae kau
bahkan tidak salah apa-apa.”
Kino memegang pundak
gadis itu. “Tapi aku merasa bersalah, Yuqi.”
Di mata pemuda itu
terlihat sebuah rasa bersalah. Meski bukan dirinya yang mengirimi pesan pada
Yuqi, tapi pesan tersebut mengatas namakan Kino.
Yuqi menghela napas. Biar bagaimanapun, Kino harus
terbebas dari rasa bersalah itu. “Bagaimana kalau kau ceritakan saja tentang semuanya.
Tentang kalian yang akhirnya menyadari kepergianku dan menemukanku di sana.”
Tanpa harus berfikir
dua kali, Kino langsung mengangguk tegas. Setelah memberikan ice chcolate yang
ia bawa pada Yuqi, pemuda itu mulai bercerita.
***
Dua hari kemudian,
Chaeyoung melangkahkan kaki melintasi gerbang sekolahnya. Dan sudah selama itu
pula ia belum bertemu dengan Yuto. Setelah pertemuan Yuto dengan ibunya
tersebut, bibi Hana memang mendapatkan libur, dan pasti waktu libur tersebu
tidak di sia-siakan oleh ibu dan anak tersebut. Membayangkan betapa serunya
liburan mereka, tanpa sadar senyum Chaeyoung mengembang. Namun dalam
perjalanannya menuju kelas, langkah kaki gadis itu perlahan memelan. Banyak
pasang mata dengan terang-terangan menatapnya dengan sorot mengejek. Firasatnya
kuat, pasti ada yang tidak beres.
Sementara beberapa
meter di depan sana, terlihat kerumunan siswa/siswi memenuhi depan madding sekolah. Tidak lama kemudian, Hangyul terlihat
menyeruak dari sana dengan wajah merah padam menahan marah.
“Hangyul,” Chaeyoung
bergumam pelan, nyaris tidak terdengar siapapun.
Namun seolah mendengar, Hangyul menoleh tepat ke arah
Chaeyoung berdiri. Dengan langkah tergesa, Hangyul melesat menghampiri
Chaeyoung. Di belakang Hangyul terlihat Yuto juga memunculkan diri dari
kerumunan itu. Hanya saja Yuto berjalan ke arah yang berlawanan dengan Hangyul.
Tampak juga Kino dan Wooseok menyusul Yuto.
“Tidak peduli lagi, aku
akan di sampingmu.”
“Terjadi sesuatu?”
Chaeyoung mendongak menatap Hangyul, menuntut penjelasan. “Apa itu?”
Hangyul menghela napas,
dan hanya diam sambil menarik tangan gadis itu untuk pergi dari sana
bersamanya. Saat melewati depan madding, Chaeyoung sempat menoleh,
berusaha melihat apa yang membuatnya kembali menjadi sorotan seperti sekarang.
Namun kerumunan siswa di sana menghalangi. Chaeyoung hanya bisa pasrah di bawa
pergi oleh Hangyul, entah ke mana. Kemungkinan ke arah belakang sekolah. Tapi
setelah bertemu dengan Eunwoo, mereka berbelok menuju area parkir sekolah. Di
sana sudah tampak Kino dan Wooseok yang berdiri di depan Yuto—mereka melihat
dai belakang—menghadap sebuah mobil. Tidak terlihat ada dua orang lagi karena
tertutup tubuh tiga pemuda itu.
***
Yuto melangkah cepat
menuju area parkir karena mengetahui Mina dan Junyoung belum datang. Entahlah,
dua orang itu yang menjadi pertama kali Yuto pikirkan setelah content
pada madding untuk minggu ini diterbitkan. Kino dan Wooseok masih
sentantiasa membuntuti. Mereka benar-benar harus mengawasi Yuto, terlebih
karena reaksi Yuto yang tentu saja menjadi yang sangat marah.
Kino dan Wooseok
mempercepat langkah karena mereka melihat mobil Junyoung baru selesai
diparkirkan. Sedikit menghalangi Yuto agar tidak gegabah. Tidak lama dua orang
tampak muncul, Junyoung dan Mina. Tangan Yuto masih terkepal saat Kino dan
Wooseok berdiri menghalanginya. Tentu saja membuat Junyoung dan Mina memasang
ekspresi bingung, terlebih Yuto sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari
Mina.
“Masih belum puas kau
rupanya?” hardik Yuto.
Junyoung bergegas
melesat ke depan Mina. Menyembunyikan gadis itu dibelakangnya. “Kino atau
Wooseok tolong jelaskan ini ada apa?” Junyoung bertanya namun tatapannya
tertuju pada Yuto yang kini mengalihkan pandangan, tampak berusaha untuk menahan
marah.
Kino menghela napas
sebelum menjelaskan apa yang telah menghebohkan sekolah pagi ini. “Ada yang
menyebar foto Hangyul dan Chaeyoung.”
“Foto apa?” tanya Mina,
tidak sabar. Terlihat dari raut wajahnya, Mina memang seperti tidak tahu
apa-apa.
“Biar aku yang
jelaskan.” Hangyul mempercepat langkah, masih tetap menarik Chaeyoung untuk
ikut.
Tatapan Hangyul juga tidak lepas dari sosok Mina.
Setelah cerita Junyoung kemarin, Hangyul sudah hampir luluh. Namun pagi ini,
sama seperti Yuto, kebenciannya pada Mina kembali membuncah. Terlebih jika ia
teringat Chaeyoung juga pernah mengalami hal serupa seperti yang dialami Yuqi
beberapa hari lalu. Bahkan dampaknya terasa sampai detik ini—tentang Chaeyoung
yang harus meninggalkan Muay Thai.
“Gara-gara kau yang
menyobek baju Chaeyoung, kau mendorongku hingga aku dan Chaeyoung terjatuh.
Lalu kau menyuruh orang untuk memfoto kejadian itu. Iya, kan? Mengaku saja!”
Lagi-lagi Cheyoung
mendongak, menatap Hangyul dari samping yang tengah menumpahkan emosinya.
Pemuda itu benar-benar marah. Baru kali ini Chaeyoung melihat Hangyul semarah
itu. Gadis itu juga marah—marah karena melihat Hangyul emosi yang tentu saja
pasti menyangkut tentang dirinya juga—namun ia masih berusaha mencerna apa yang
sedang dikatakan Hangyul tentang sebuah foto. Foto Hangyul menindih tubuh
mungil Chaeyoung tanpa sengaja. Chaeyoung ingat tentang semua kejadian itu,
namun ia belum melihat seperti apa foto yang dimaksud.
“Foto itu membuat semua
orang salah paham. Mereka mengira aku dan Chaeyoung melakukan tindakan asusila.
Apa kau bisa bertanggung jawab membereskan ini semua?” Suara keras Hangyul
membuat mereka kini kembali menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar sana
yang mungkin belum tau apa-apa tentang isi madding sekolah.
Tindakan asusila. Dua
kata yang membuat hati Chaeyoung mencelos. Belum lagi saat ia melihat ke arah
Yuto yang sedang menjambak rambutnya sendiri, tampak sangat frustasi. Karena
kasus ini jauh lebih sulit untuk dibereskan dari tragedi penculikan atau
pengroyokan. Apalagi sudah masuk ke lingkungan sekolah. Mina berlari menerobos
antara Hangyul dan Wooseok. Mereka bukan lengah, hanya ingin membiarkan gadis
itu pergi.
“Aku akan bertanggung
jawab untuk hal ini. Karena bisa kupastikan selama beberapa hari lalu Mina
dalam pengawasanku.” Junyoung hanya menepuk pundak Hangyul dan Wooseok yang
terjangkau olehnya. Kemudian menyusul Mina pergi dari sana.
Selepas kepergian dua
orang itu, Chaeyoung dan yang lainnya masih di sana tanpa ada yang bicara,
tanpa ada yang bergerak sedikitpun. Tanpa ia sadari, air mata Chaeyoung
perlahan menetes. Yuto memeluk gadis itu dari belakang, mendekap pundak
Chaeyoung. Sementara Hangyul masih belum melepaskan tangannya dari Chaeyoung
dan semakin menggenggamnya erat.
“Kenapa firasatku
mengatakan Mina tidak tahu apa-apa,” gumam Wooseok yang sejak tadi memang hanya
diam.
Belum ada yang
merespon. Lebih tepatnya mereka tidak tahu harus merespon seperti apa. Rentetan
kejadian ini terlalu pelik. Mereka bahkan belum membereskan kasus penculikan
Yuqi. Yuto melepaskan pelukannya lalu memutar tubuh Chaeyoung agar gadis itu
berhadapan dengannya.
“Kau pulangkah bersama
Hangyul,” ujar Yuto.
Chaeyoung masih
menunduk sambil menggeleng dan Hangyul menoleh juga dengan ekspresi menolak. Alasannya
karena mereka harus sekolah dan jika pergi, mereka hanya tidak tahu harus pergi
ke mana. Yuto merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci mobilnya pada
Hangyul.
“Kau bisa pakai
apartmentku. Nanti akan ku beri tahu kodenya,” kata Yuto pada Hangyul. Kemudian
pemuda itu menoleh pada Chaeyoung. “Kau bisa ke tempat Oppa-mu, kan?
Jangan pulang ke resto dulu. Nanti sore kita bertemu di apartmentku,” lanjut
Yuto bicara pada Kino, Wooseok dan Eunwoo. Yuto kemudian merangkul Chaeyoung,
membawa gadis itu pergi menuju mobilnya yang terparkir. Hangyul dan yang lain
mengekori dari belakang.
***
Pihak sekolah sudah
memutuskan. Hangyul dan Chaeyoung terpaksa di skorsing selama 3 hari.
Dan sudah selama itu Hangyul menetap di apartment Yuto karena mereka—Yuto, Kino
dan yang lain—sepakat untuk tidak membertitahukan kepada orang tua angkat
Hangyul. Beruntung pihak sekolah memang belum memanggil orang tua atau wali
dari Chaeyoung dan Hangyul. Chaeyoung sendiri juga terkadang masih menenangkan
diri di apartment kakaknya, Dongwoon. Dongju dan Dongmyung sebenarnya sudah
mengetahui, namun mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Hari ini, hari pertama
Chaeyoung dan Hangyul sudah bisa kembali ke sekolah setelah masa skorsing
berakhir. Yuto yang sudah mendengar berita itu dari Kino, menunggu
mereka—Chaeyoung dan Hangyul—di gerbang sekolah. Selama itu pula Yuto memang
tidak menemui Chaeyoung atas permintaan gadis itu yang masih ingin menenangkan
diri, seorang diri. Dan malam tadi juga Yuto bermalam di rumah Junyoung.
“Ikut aku,” kata Yuto
dengan nada seperti memerintah pada Hangyul dan Chaeyoung. Yuto bahkan sampai
menarik tangan Chaeyoung.
Mereka berjalan ke arah parkir mobil dan menuju ke
salah satu mobil dengan mesin yang masih menyala. Ada seseorang yang duduk di
balik kursi kemudi. Yuto membukakan pintu penumpang bagian belakang dan
membiarkan Chaeyoung untuk masuk terlebih dulu, kemudian ia menyusul. Hangyul
juga ikut masuk, duduk di kursi penumpang depan, di sebelah Junyoung yang sejak
tadi memang menunggu di sana.
Hangyul yang mendapati
Junyoung sama sekali tidak menoleh saat ia masuk, dan kedua tangan pemuda itu
mencengkeram erat pada stir mobil. Hangyul kemudian menoleh ke belakang, ke
arah Yuto lebih tepatnya untuk memastikan sesuatu. “Apa ada kabar buruk?”
Belum sempat Yuto
menjawab, terdengar desahan berat dari Junyoung. “Mina sudah mengakui semua
kesalahannya di depan pihak sekolah kemarin saat pengurus mengadakan rapat
akhir tentang kasusmu dan Chaeyoung.”
Hangyul dan Chaeyoung
sontak melebarkan mata. Mereka kembali menatap Yuto untuk memastikan sesuatu,
bahwa yang dikatakan Junyoung memang benar. Dan Yuto mengangguk membenarkan.
“Mina mengakui tentang
foto itu juga?” desak Hangyul lagi.
Junyoung menoleh sambil
menggeleng. “Dayoung.”
“Sial!” pekik Hangyul
yang bahkan sudah memukul dashboard mobil karena emosi. Lalu memutar
badan dengan tegas untuk menghadap Chaeyoung yang duduk di kursi belakang.
“Benar kan kecurigaanku selama ini? Dia bahkan terlibat cukup jauh.”
Yuto sudah mengangkat
tangan untuk menenangan Hangyul. Pemuda itu bukan marah pada Chaeyoung, tapi ia
memang kesal pada Dayoung. Chaeyoung akhirnya mengangguk, mengalah.
“Iya aku paham. Dan dia
juga yang membuat namamu masuk ke jajaran itu,” ucap Chaeyoung.
Hangyul kembali
membalikkan badan ke posisi semula, kemudian menyandarkan punggungnya,
frustasi. “Hyung,” panggilnya pada Junyoung. “Apa yang harus aku
lakukan?” Hangyul juga kembali menolah ke belakang, kali ini tertuju pada Yuto.
Yuto belum menjawab.
Pemuda itu justru menoleh ke tempat Chaeyoung. “Apa kau ingin melaporkan Mina?”
Chaeyoung menggeleng
tegas. “Kogyeol Sunbae bisa ikut terlibat.”
Junyoung menatap
Chaeyoung melalui kaca spion dalam mobil. “Kau yakin?”
Lagi, Chaeyoung
mengangguk dengan tegas. Seakan ia memang sudah memikirkan hal ini
matang-matang. “Aku juga sudah mendengar tentang Junyoung Sunbae dan
Mina Sunbae. Dan aku sudah tidak perlu membalas dendam lagi.”
Hangyul menatap
Chaeyoung sambil mengerutkan dahi, curiga. Gadis itu menyembunyikan sesuatu.
Gadis itu akhirnya tahu alasan kenapa Mina sangat ingin menghancurkannya.
Yuto menangkap tangan
Chaeyoung, tepat ketika gadis itu sudah membuka pintu mobil. “Kau mau ke mana?”
tanya Yuto namun Chaeyoung tidak menjawab maupun menoleh. “Aku belum…” ucapan
Yuto terpotong karena sebuah panggilan masuk di ponselnya, dari Takuya. Yuto
menjawab panggilan itu namun tanpa sengaja ia menyentuh tombol load speaker.
“Apa kau belum
membaca pesanku? Cari Son Wanho dan istrinya, Kim Taeyeon!”
Yuto membeku mendengar
suara Takuya yang mengintimidasi. Semua orang yang berada di sana diam. Bahkan
terdengar seperti menahan napas mereka. Kecuali Chaeyoung. Hanya gadis itu yang
sebenarnya tidak terlalu terkejut. Sudah terlambat untuk Yuto mematikan mode
load speaker. Chaeyoung memalingkan wajah dan menunduk dalam-dalam dan
membatalkan niat untuk pergi dari sana. Tidak ingin ada yang mengetahui jika
gadis itu sudah menitihkan air mata.
“Awal mula
kehancuran keluarga kita adalah mereka berdua. Kim Taeyeon itu sumber sakit
hati yang dialami ayahnya Mina.”
“Sakit hati bagaimana
maksudmu?” Yuto akhirnya mengeluarkan suara. Ia harus mendapatkan kepingan puzzle
ini untuk membereskan semuanya.
“Karena Kim Taeyeon
menerima perjodohan dengan Son Wanho, duda satu anak. Son Dongwoon. Laki-laki
itu sakit hati, dia melampiaskan semuanya pada Sooyoung, ibunya Mina. Sooyoung
hamil, lalu mereka menikah, namun pernihakan mereka juga hancur.”
Tidak ada satupun dari
mereka yang bersuara. Jeda sesaat sebelum Takuya melanjutkan kalimatnya.
“Kau bilang kau
sudah bertemu ibu, kan? Apa kau sudah bertanya bagaimana ibu bisa pergi? Memang
karena kehadiran ibunya Mina. Tapi jika Taeyeon tidak membuat ayahnya Mina
sakit hati, keluarga kita tidak akan seperti ini. Jika kau sudah bertemu dengan
anaknya, kau hancurkan mereka. Aku tidak peduli apapun caramu.”
Klik. Takuya mematikan
sambungan secara sepihak. Tidak menunggu Yuto berkomentar sama sekali. Memang
seperti pendapat dari Yuto tidak diperlukan. Takuya langsung memutuskan
sambungan jika ia merasa apa yang ia ingin sampaikan sudah selesai.
Yuto melepaskan
genggaman tangan Chaeyoung, ke luar dengan tergesa-gesa dan menutup pintu mobil
dengan kasar. Di saat Hangyul dan Junyoung mengalihkan perhatian pada Yuto, diam-diam
Chaeyoung juga pergi dari sana. Hangyul dan Junyoung menyusul ke luar dari
mobil. Mereka melihat Yuto sudah cukup jauh, menuju mobilnya. Dan benar saja,
pemuda itu langsung masuk dan melesat pergi dengan mobilnya. Menekan klakson
dengan tidak sabar agar orang-orang yang menghalanginya menyingkir. Hangyul dan
Junyoung sudah tidak bisa mengejar karena pintu keluar parkir mobil berlawanan
arah dengan keberadaan mereka yang hanya bisa menatap nanar kepergian Yuto.
Keduanya bahkan melihat Yuto melempar sesuatu dari dalam jendelanya. Yuto
melempar ponselnya ke luar. Membiarkan benda itu terlindas ban mobil pengendara
lain.
***
Dua hari sudah Yuto
menghilang. Pemuda itu tidak ada di apartmentnya. Bibi Hana pun tidak tahu di
mana keberadaan putranya tersebut. Belum lagi ponsel Yuto yang hancur membuat
keberadaan pemuda itu semakin sulit dilacak.
Di kelasnya, Chaeyoung
tampak membereskan bukunya setelah guru Kang menyelesaikan pelajarannya.
Hangyul langsung melesat ke luar kelas dan berlari menuju toilet. Chaeyoung
juga terlihat mengangguk untuk menanggapi ajakan Hwiyoung dan Taeeun untuk ke
kantin. Sementara di depan kelas, tampak Yuqi dan Yukyung sudah menunggunya
untuk ke kantin bersama. Yuqi sudah mengalahkan egonya dan menerima Chaeyoung
kembali sebagai temannya.
Mereka duduk di meja
yang kosong—di area balkon kantin—setelah membawa pesanan mereka masing-masing.
Tepat setelah itu Hangyul bergabung dan belum membawa makanan. Hangyul duduk di
antara Yukyung dan Taeeun yang dibalas tatapan aneh oleh teman-temannya.
Seharusnya memang Hangyul tidak berada di sana, tapi berada diantar Kino,
Wooseok dan senior mereka dari kelas 3.
Hangyul tampak tidak
memedulikan tatapan teman-temannya. Pemuda itu mencondongkan tubuhnya ke tengah
meja. “Ku dengar Dayoung dikeluarkan dari sekolah,” ujarnya dengan suara pelan,
namun sama sekali tidak mengurangi esensi keterkejutan untuk teman-temannya.
“Tapi aku juga sudah
memperkirakan hal ini. Meski bagaimanapun, Mina Sunbae pasti akan
menghabisi merek yang menjatuhkannya. Karena hampir seluruh dari kita pasti
menuduh Mina Sunbae yang menyebarkan foto tersebut.” Yukyung terdengar
bersuara meski tangannya sibuk mengaduk gelas jus dihadapannya.
Hangyul dan yang lain
mengangguk atas ungkapan pendapat Yukyung. Mereka menyetujui gadis itu. Di saat
yang lain sudah mulai sibuk dengan makan siang mereka, Hangyul hanya saling
menautkan kedua tangannya dia atas meja dan menatap Chaeyoung yang saat itu
sedang menikmati ice lemon tea-nya.
“Kau sudah menerima
kabar tentang Yuto Hyung?” pertanyaan Hangyul membuat orang-orang yang
berada satu meja dengannya benar-benar menghentikan kegiatan mereka. Hwiyoung
bahkan membatalkan niat untuk menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Chaeyoung mengangkat
bahu sambil menghela napas, cukup panjang. Ia kemudian membalas tatapan Hangyul
sambil menggeleng. “Dia bahkan belum mengurus nomor ponselnya untuk diaktifkan
kembali.”
Hangyul mengangguk.
Jika Yuto kembali, teman-temannya seperti Kino atau Junyoung pasti sudah
mengabarinya. “Aku yakin dia baik-baik saja.”
***
Di suatu tempat, terdengar suara mesin-mesin besar
bekerja. Mesin tersebut menghasilkan berlembar-lembar undangan. Di ruangan
tersebut juga banyak orang-orang yang berlalu Lalang, sibuk dengan pekerjaan
mereka masing-masing. Di ruangan besar beratap tinggi itu terhubung dengan
jendela yang berada di lantai 2. Dan di balik jendela itu ada seseorang tengah
berdiri sambil memperhatikan sebuah undangan—yang baru saja selesai di cetak di
perusahannya. Undangan ulang tahun pernikahan atas nama Keigo Nishimoto dan
Choi Sooyoung.
“Ternyata ini kenapa
Takuya onie-chan membangun perusahaan percetakan dan jasa travel.” Pemuda
itu meremas benda persegi di tangannya, lalu melemparnya ke sudut ruangan.
Yuto di sana. Dia juga
yang berada di lantai 2—di ruangan yang difungsikan sebagai kantor—dan meremas
undangan ulang tahun pernikahan ayahnya sendiri. Selama 2 hari menghilang ia
berada di sana untuk menenangkan diri. Belum lagi kemarin ia juga menemukan
data milik perusahan travel milik Takuya yang di Jepang, yaitu data
tentang keberangkatannya ke Korea. Dan dari sana, Yuto juga bisa melihat siapa
saja pengguna jasa penerbangan dari Korea. Yuto mengusap wajahnya dengan kasar
lalu menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.
“Gila,” desisnya sambil
memejamkan mata.
***
Chaeyoung’s Resto.
Sore itu Dongju seperti
biasa Dongju sibuk dengan laptopnya—di dekat meja kasir—melakukan pendataan
terhadap pemasukan dan pengeluaran restoran mereka. Dan hanya berjarak sekitar
satu meter dari Dongju, terlihat juga Dongmyung yang sibuk dengan buku-buku
pelajarannya. Mereka akan menghadapi ujian kelulusan sebentar lagi. Tidak ada
waktu lagi untuk bermain-main bagi mereka.
“Dongju,” panggil
Dongmyung.
“Hmm?” Dongju hanya
menggumam tanpa menoleh sedikitpun.
“Jus stroberi dengan
susu coklat atau susu putih?” tanya Dongmyung yang sama sekali tidak
tersinggung karena Dongju tetap fokus pada layar laptopnya.
“Susu putih.”
Dongmyung terlihat
berfikir sambil mengetuk-ngetukkan ujung pulpennya ke dagu. “Pancake dengan
toping coklat atau madu atau caramel?”
Kali ini Dongju
menghentikan kegiatannya sesaat. Memikirkan pertanyaan Dongmyung yang bisa saja
terdengar mengganggunya. Tapi karena Dongmyung yang melakukannya, Dongju tidak
bisa marah. Karena bisa saja Dongmyung akan melakukan sesuatu, seperti membuat
menu baru di restorannya.
“Coklat, dan ada irisan
stroberi di atasnya,” kata Dongmyung akhirnya.
Dongmyung tersenyum
penuh arti tanpa sepengetahuan Dongju. Lalu pemuda itu mengeluarkan ponsel dan
memainkan jari di atas layarnya.
Merasa penasaran,
Dongju menoleh sambil berusaha mencuri lihat apa yang membuat Dongmyung sibuk
dengan ponselnya. Kembarannya tersebut ternyata membuka sebuah aplikasi
pemesanan makanan. “Kalau ada es krimnya juga lebih bagus lagi.”
“Oke,” sahut Dongmyung
singkat.
Dongju hanya tersenyum
lalu kembali menoleh ke tempat laptopnya berada. Pemuda itu mendongak karena
ada seseorang yang datang. Orang itu adalah Yuto. Yuto hanya melambaikan
tangannya singkat saat melihat Dongmyung yang lebih dulu mengangkat tangan
untuknya sebagai sapaan.
“Hyung, kau ke
mana saja?”
“Noona mu di
sini?” Tanya Yuto tanpa membalas lebih dulu pertanyaan Dongju sebelumnya. “Dia
baik-baik saja, kan?”
“Noona baik, Hyung.
Dia sedang pulang sebentar. Memangnya ada apa?”
“Aku kehilangan ponselku,”
ujar Yuto sambil mengeluarkan selembar kertas. “Tolong sampaikan pada
Chaeyoung, aku menunggunya di tempat itu tepat jam 4 sore. Ku harap dia tidak
sibuk.”
Dongju
mengangguk-angguk sambil menerima alamat yang dimaksudkan Yuto. “Noona
tidak terlalu sibuk di tanggal segini, Hyung.”
Yuto terkekeh pelan.
“Terima kasih Dongju. Aku akan menunggunya di depan pintu masuk.” Yuto menepuk
pelan pundak Dongju sebelum pergi meninggalkan tempat itu. Ia juga sempat
melambaikan kembali tangannya untuk Dongmyung.
***
Yuto berdiri dari duduknya saat melihat sosok mungil
Chaeyoung di kejauhan. Tidak salah lagi. Itu sosok gadis yang ia rindukan
beberapa hari ini. Dan tepatnya pagi tadi, ia menerima laporan dari agentravel-nya
yang di Jepang, terdapat pemesanan tiket atas nama Terada Takuya dan beberapa
orang lagi yang Yuto ketaui memang rekan kerja Takuya. Kedatangan Takuya pasti
untuk mencarinya. Maka pemuda itu langsung memunculkan diri di restoran Chaeyoung
untuk mencari gadis itu sebelum—kemungkinan terburuknya—Takuya menyeretnya
kembali ke Jepang. Sementara di seberang sana Chaeyoung terlihat mempercepat
langkah setelah melihat pemuda tinggi yang berdiri menunggunya adalah memang
benar Yuto.
“Sunbae kau…”
Chaeyoung sempat menghentikan kalimatnya karena pemuda tinggi di hadapannya
justru menarik Chaeyoung ke dalam pelukannya. “Ke mana saja? Kau tidak pulang
ke tempat bibi Hana dan apartmentmu?” tanya Chaeyoung melanjutkan kalimatnya.
Yuto tidak langsung
menjawab, dan lebih memilih untuk mendekap Chaeyoung lebih erat. “Maaf, aku
sedang sedikit menenangkan diri. Setelah dari sini aku akan langsung menemui
ibu,” Yuto berujar sambil melepaskan pelukannya namun tangan pemuda itu tetap
memegangi lengan Chaeyoung.
Chaeyoung mendongak
dengan tatapan yang sulit di artikan. Membiarkan Yuto tetap memegangi
tangannya. Ada rindu, ada kecewa. Tapi dengan melihat Yuto baik-baik saja
dengan mata kepalanya sendiri sudah jauh lebih dari cukup.
“Ayo temani aku.” Yuto
menggerakan kepalanya ke arah pintu masuk. Mereka sebenarnya berada di depan
sebuah pusat perbelanjaan sekarang.
Tanpa menunggu persetujuan Chaeyoung, pemuda itu sudah
menyambar tangan Chaeyoung, menautkan jari-jarinya sambil mengajak Chaeyoung
masuk ke dalam. Chaeyoung hanya menatap sosok tinggi di depannya tanpa
melakukan penolakan sedikitpun. Yuto sesekali menoleh ke belakang untuk
memastikan gadis itu masih di sana sambil tersenyum. Ditatap seperti itu,
perlahan senyum Chaeyoung juga mengembang.
Setelah itu keduanya
tampak ke luar dari toko ponsel untuk membeli benda yang kemarin dengan sengaja
Yuto hilangkan. Sesaat Chaeyoung masih berjalan sedikit di belakang Yuto, namun
kali ini Yuto menariknya agar berdiri sejajar. Tentu saja Yuto masih menggenggam
tangan Chaeyoung seperti tadi meski pemuda itu tidak bisa menutupi rasa
canggungnya. Seperti pemuda yang baru pertama kali berkencan, atau lebih
tepatnya ia sudah sedikit lupa bagaimana caranya berkencan.
Namun nyatanya mereka
sudah melewati beberapa jam keberasamaan mereka dengan makan, berbelanja
beberapa barang dan pergi bermain games. Yuto bahkan sudah berniat
mengajak Chaeyoung menonton film, namun dengan tegas gadis itu menolaknya.
Chaeyoung menangkap
salah satu tangan Yuto sebelum pemuda itu benar-benar berbalik. “Sunbae, kita
masih punya esok kalau hanya untuk menonton film. Kau mau menonton sampai
berapa judul?”
Yuto berbalik perlahan
sambil menghela napas, membalas genggaman Chaeyoung, lebih erat. Menunduk
sesaat, menghindari tatapan gadis didepannya yang seakan menunggu jawaban.
Masalahnya, tidak mungkin ia menceritakan tentang kecurigaannya terhadap
kakaknya sendiri, Takuya. Meski kemungkinannya kecil namun firasatnya
mengatakan, Chaeyoung dalam bahaya. Terlebih setelah memastikan sendiri
kebencian Takuya terhadap keluarga Chaeyoung. Yuto akhirnya mengangguk,
mengalah, mesti terlihat berat untuk melakukan itu.
“Apa besok kita harus
mengajak Kino-Yuqi dan Wooseok-Yukyung juga?” Goda Yuto saat melihat Chaeyoung terlihat
lega dengan keputusannya.
Chaeyoung mengangguk
tegas. “Ide bagus, Sunbae.”
Yuto
tersenyum—tersenyum hanya untuk menenangkan dirinya—sambil mengusap kepala
Chaeyoung. “Ayo pulang.”
Keduanya meninggalkan
pusat perbelanjaan tersebut dengan Yuto yang selalu menggenggamkan tangannya
pada Chaeyoung. Selama perjalanan menuju parkiran, diam-diam Yuto mengawasi
sekeliling—terutama ketika bertemu atau melihat laki-laki berperawakan tinggi.
Menurut jadwal keberangkatan Takuya ke Korea, bisa dipastikan pemuda itu memang
sudah menginjakkan kaki di Korea.
Yuto sedikit mengajak
Chaeyoung berbincang ringan guna mengalihkan pikiran gadis itu. Sampai akhirnya
mereka tiba, Yuto yang membukakan pintu untuk Chaeyoung dan memastikan gadis
itu sudah aman. Yuto menutup pintu lalu mengitari mobil—masih dengan tatapan
waspada ke sekelilingnya.
Mobil Yuto sudah meninggalkan barisan dan berbelok
menuju pintu ke luar. Namun selang beberapa meter, Yuto terpaksa menginjak
pedal rem dalam-dalam. Beberapa orang berseragam hitam tampak memunculkan diri
dari sela-sela barisan mobil. Yuto menekan klakson dengan marah. Kegelisahannya
beberapa saat lalu terbukti. Takuya di sana. Tubuh tinggi pemuda itu akhirnya
terlihat di kejauhan. Yuto memilih untuk turun, mencoba menghadapi Takuya.
Sudah pernah sekali—sejak Yuto dengan sengaja membuang ponselnya—Yuto
menghindari Takuya dan justru membawa Takuya kini berdiri di hadapannya.
“Hai adik kecilku,”
ujar Takuya penuh senyum dengan menggunakan Bahasa Korea. Yuto masih diam.
“Kenapa menghilang? Kau ingin menikmati sendirian kebersamaanmu dengan ibu?”
Pemuda itu berkacak pinggang dengan waut wajah kesal. Lebih tepatnya seperti
iri terhadap Yuto.
Yuto hanya menatap
datar. Berusaha tidak terpancing dengan ekspresi wajah Takuya. Belum lagi
Takuya muncul dengan pakaian rapih—stelan jas. Membuat kakak sulungnya itu
terlihat seperti boss mafia yang ada di film-film. Pantas saja sejak
menginjakkan kaki di baseman, suasana sangat sepi bahkan seperti tidak ada kehidupan. Hanya deretan
mobil-mobil yang teronggok di sana. Takuya ikut andil untuk mensterilkan tempat
itu. Dan baru detik ini Yuto menyadari, Takuya tidak sekedar seorang kakak
baginya, tapi Takuya adalah orang yang memiliki kekuasan. Kekuasaan yang
seperti apa, Yuto bahkan tidak bisa membayangkannya meski sudah terbukti jelas,
Takuya selalu memberikan informasi yang tidak main-main padanya selama mencari
bibi Hana—ibu mereka.
“Hyung, apa
maumu?” tanya Yuto dengan tatapan redup. Menyesal karena sempat ‘kabur’. Namun
ia juga seperti tidak memiliki daya untuk melawan Takuya. Yuto hanya bisa diam
saat melihat salah satu anak buah Takuya membawa Chaeyoung ke luar dari dalam
mobil.
Takuya hanya memberi
isyarat dengan tatapan mata dan sedikir Gerakan kepala, empat sampai lima orang
langsung bergerak ke arah Yuto. Mengamankan pemuda itu agar tidak mengacaukan
keinginan Takuya yang kali ini meminta anak buahnya membawa Chaeyoung untuk
lebih mendekat. Yuto sudah melakukan pemberontakan namun percuma saja karena
tubuhnya sudah terkunci oleh para anak buah Takuya.
Takuya menatap
Chaeyoung dari atas hingga ke bawah. “Kau cantik juga.” Takuya berjalan pelan
mengitari Chaeyoung. Lalu tiba-tiba, Takuya melayangkan pukulan pada tengkuk
Chaeyoung hingga membuat gadis itu tersungkur.
Yuto yang melihat itu
berteriak marah. Dengan kekuatannya, pemuda itu berhasil melarikan diri dari
cengkraman anak buah Takuya dan berusaha menyerang kakaknya sendiri. Takuya
hanya berdiri, menunggu kedatangan Yuto bersama pukulannya yang menyerang tepat
di rahang Takuya. Pemuda itu hanya terlihat mundur beberapa langkah akibat
pukulan Yuto
“Kau boleh saja
membunuhku asal jangan kau menyentuh gadis itu!” teriak Yuto tepat di depan
Takuya yang hanya terkekeh menanggapinya.
Ancaman Yuto hanya
lelucon bagi Takuya. Namun tidak diprediksi oleh Takuya adalah Chaeyoung yang
masih bisa bangkit. Pukulan Takuya bukan hal baru bagi gadis itu. Chaeyoung
sudah berdiri, tepat saat ia melihat salah seorang anak buah Takuya ingin
menyerang Yuto. Chaeyoung sudah lebih dulu memberikan tendangan pada pria itu.
Dan, perkelahian tidak bisa dihindari lagi. Yuto mencengkeram kerah pakaian
Takuya dan membawa tubuh pemuda itu sampai ke badan mobilnya.
“Apa kau tidak ingin
bertemu ibu? Chaeyoung bisa kita urus nanti. Sekarang aku bertemu ibu. Ku
mohoh, Hyung.”
Tindakan Yuto bukan
suatu ancaman lagi bagi Takuya yang kini tengah menatap ke dalam mata Yuto.
Mata adiknya yang ia jadikan seperti ‘boneka’ itu terlihat memerah, menahan
amarah. Namun tidak ada niatan sedikitpun untuk Yuto menghajar Takuya lagi.
Hanya Yuto yang tau cara untuk menjatuhkan Takuya, yaitu bukan dengan
kekerasan. Tapi mengalah. Mengalah yang bukan hanya untuk kepentingan dirinya
sendiri, tapi untuk melindungi Chaeyoung juga.
“Hentikan.”
Lagi, Takuya
menunjukkan kekuasannya. Ia menyuruh anak buahnya berhenti hanya dengan satu
kata yang bahkan tidak perlu diteriakkan dengan suara lantang. Takuya
menyingkirkan tangan Yuto dari pakaiannya, lalu berbalik ke arah lain.
Yuto langsung berlari ke arah Chaeyoung yang sedang berusaha untuk berdiri. Ada luka
di bagian tepi bibir Chaeyoung. Ditariknya gadis itu ke dalam pelukannya.
Rahang Yuto terkatup rapat. Dia tidak bisa bicara apa-apa lagi pada Chaeyoung
selain membawa gadis itu untuk berdiri dan ia membimbing Chaeyoung untuk masuk
ke dalam kursi kemudi mobilnya. Yuto berbalik, berjalan ke arah yang dilalui
Takuya. Masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Takuya yang memang
menunggunya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar