“Kok
lu udah ada di sini aja?” tegur seorang cowok yang masih mengenakan kemeja
batik hitam berlengan pendek.
“Silahkan
mau pesan apa?” tanya seorang kasir dengan nametag atas nama Jeon Jiwoo
tanpa terlebih dulu menjawab pertanyaan cowok tadi.
“Ck!”
Cowok itu hanya berdecak sambil mengeluarkan dompet. “Eh, lu mau pesen apa?”
tanya Wonwoo pada cowok yang berdiri sedikit dibelakangnya.
“Americano
satu, sama makanannya terserah, rekomendasi dari sini aja. Oiya satu lagi, air
mineral jangan lupa.”
“Masing-masing
dua porsi,” lanjut Wonwoo.
Jiwoo
sibuk mencatat pesanan. Saat mendongak, ia mendapati pemuda di sebelah Wonwoo
baru saja mengalihkan pandangan setelah merasa ‘kepergok’ menatap Jiwoo. “Ada
lagi tambahannya?”
Wonwoo menggeleng setelah merasakan tepukan singkat
dipundaknya. Saat menoleh, temannya itu sudah berjalan menjauh meninggalkannya.
Wonwoo kembali menghadap Jiwoo sambil mengeluarkan card dan
menyodorkannya pada Jiwoo. Cewek itu menerima untuk dilakukan transaksi.
“Nggak
bisa, nih. Limit. Eh, maaf mas, ada kartu lain?” Jiwoo langsung meralat
ucapannya karena ada seorang cowok tinggi masuk dari arah pintu. Akan sangat
bahaya jika ucapannya yang tidak pantas itu didengar orang lain. Terlebih cowok
itu adalah bosnya, Kim Rowoon, pemilik café ini.
Rowoon
berbelok ke arah counter dan berdiri tepat di samping Wonwoo sambil
merangkul cowok itu. “Woo, pesenin sama kayak mereka ya,” kata Rowoon pada
Jiwoo yang langsung mencatat kembali pesanan Rowoon.
Kembali
tersisa Jiwoo dan Wonwoo di sana. Kebetulan café tidak terlalu ramai malam itu
karena memang bukan malam minggu atau hari libur. Jiwoo mengetuk-ngetukkan
kartu milik Wonwoo diatas meja sambil menunggu cowok itu mencari-cari sesuatu
di dompetnya. Sementara pesanan Wonwoo dan teman-temannya sudah ia submit.
Bahkan dikejauhan, Jiwoo melihat salah satu rekannya mengantarkan minuman ke
meja yang dihuni Rowoon dan Taeyong.
“Woo,”
panggil Wonwoo dengan suara pelan.
Jiwoo
langsung melirik tajam sambil merogoh saku apron-nya, mengeluarkan
sebuah posh note dan pulpen. Wonwoo menunggu dengan cemas sambil melihat
Jiwoo menuliskan sesuatu.
“Itu
rekening gue. Gue tunggu transferannya paling lambat besok sore.” Jiwoo
menyodorkan kertas kecil itu bersama struk pembelian. “Terima kasih,
selamat datang kembali,” ujar Jiwoo sambil tersenyum dan merapatkan kedua
telapak tangannya ke depan dada.
Wonwoo
tidak merespon. Ia sibuk menjejalkan kertas itu ke dalam dompetnya sambil
berbalik dan pergi meninggalkan Jiwoo. Menyusul teman-temannya yang duduk di
area out door.
Selama
Wonwoo pergi menjauh, Jiwoo memperhatikan punggung cowok itu sampai benar-benar
menjauh. Wonwoo duduk diantara Taeyong dan Rowoon, menghadap ke arah Jiwoo yang
bisa melihat wajahnya. Namun Wonwoo tidak menyadari jika Jiwoo bahkan belum
melepaskan tatapannya pada Wonwoo.
“Permisi,”
tegur seseorang yang sukses mengembalikan kesadaran Jiwoo yang sontak menoleh
dan menemukan seorang cowok di sana. Cowok berwajah manis dan terkesan polos.
Berbeda dengan Wonwoo dan temannya yang bernama Taeyong yang memiliki bentuk
wajah lebih tegas. Bahkan Rowoon memiliki imej yang lebih dewasa dari pada
usianya sekarang.
“Oh,
maaf. Selamat malam. Mau pesan apa?” tanya Jiwoo yang tanpa sadar menekan
telapak tangan ke arah perutnya. Tiba-tiba saja Jiwoo merasakan sesuatu di
sana. Bukan rasa sakit melilit atau karena tamu bulanan. Hanya sesuatu yang
membuatnya sedikit tidak nyaman. Jiwoo masih menatap cowok itu yang sedang
memilih menu pada buku dihadapannya.
“Avocadofrape
dua gelas.”
Beberapa
kali Jiwoo mengepalkan tangannya selama meng-input pesanan cowok itu
pada layar monitor untuk mengurangi sedikit tremor yang tiba-tiba
melandanya. “Ada tambahan lagi?”
Cowok
di depan Jiwoo menggeleng sambil tersenyum tipis. “Sementara itu dulu aja.”
“Silahkan
ditunggu, nanti akan kami antar.”
Cowok
itu berbalik setelah transaksinya selesai. Di saat yang hampir bersamaan, Jiwoo
juga berbalik lalu berjongkok di bawah meja kasirnya. Membuat salah satu
rekannya yang baru muncul menatap aneh.
“Doyoung?”
ujar seseorang yang baru saja mengantri di belakang cowok tadi.
“Woo,
kenapa? Sakit?”
Jiwoo
mendongak dan mendapati rekannya bernama Im Changkyun menunduk untuk melihat
kondisinya. Jiwoo masih bertahan pada posisi itu, namun tangannya mengibas ke
depan Changkyun sebagai tanda ia baik-baik saja. Changkyun akhirnya kembali
menegakkan badan karena ada pelanggan yang datang. Changkyun menempati posisi
kasir yang berbeda dengan tempat Jiwoo berdiri tadi.
“Selamat
malam,” Changkyun berujar sopan pada seseorang dihadapannya, seorang cowok
berkacamata. “Silahkan, ada yang bisa saya bantu?”
“Jiwoo
mana?” cowok itu justru balik bertanya.
Changkyun
menoleh ke samping, sedikit ke arah bawah. “Tuh.”
Cowok
di depan Changkyun memajukan badannya untuk bisa melihat apa yang dimaksud Changkyun
karena mereka dihalangi oleh sebuah meja tinggi. Di saat yang bersamaan, Jiwoo
mendongak.
“Dicariin
lu.”
“Siapa?”
“Wooshin, noh.”
“Wooshin, noh.”
Perlahan
Jiwoo berdiri. Benar saja, ia mendapati salah satu temannya di sana. “Tumben
nggak bilang mau ke sini?”
“Hape
lu mati ya cuy? Heedo lagi ke Bogor nganter Hayoung, ntar pulang sama gue aja,
gue tunggu sini,” jelas cowok beranama Wooshin itu dan hanya direspon anggukan
oleh Jiwoo. “Kenapa, sih? Sembelit? Bulanan?”
Jiwoo
menggeleng. “Nggak apa-apa. Gue ke dalem bentar ya.”
Changkyun
kemudian melanjutkan transaksinya pada Wooshin. Membiarkan Jiwoo sementara
meninggalkan meja kasir.
Jeon Jiwoo, gadis berusia 21 tahun. Mahasiswi semester
5 di Universitas Paradise jurusan Management. Bekerja part time di sana
selama dua minggu. Tepatnya ketika ibunya sering berada di Bandung. Dan pagi
tadi, sang ibu baru saja resmi menikah lagi, atau lebih tepatnya rujuk dengan
seorang pria yang tidak lain adalah ayah kandung Jiwoo. Orang tua mereka
bercerai saat Jiwoo dan kembarannya baru berusia 1 tahun. Ibunya hanya membawa
Jiwoo pergi ke Jakarta. Sementara kembarannya menetap bersama sang ayah di
Bandung.
***
Jeon Wonwoo. Seorang cowok berusia 21 tahun. Wonwoo
mahasiswa jurusan Bisnis Universitas Paradise semester 5. Wonwoo merantau dari
Bandung ke Jakarta sejak sekitar 2 tahun lalu. Cowok itu kini tinggal sendiri
di sebuah apartment.
“Jadi,
ini baru banget balik dari Bandung?” tanya Rowoon saat Wonwoo baru saja
bergabung dengan mereka di meja. Sedikit memperthatikan penampilan cowok itu
yang masih mengenakan kemeja batik.
Wonwoo
menarik kursi, lalu duduk di sana. “Iya.”
“Sodara
tiri lu cewek, kan, katanya? Cantik?”
Wonwoo
menyipitkan matanya melihat Rowoon bertanya seperti itu. Aneh mendengarnya dari
seorang cowok yang terkenal dingin dengan cewek-cewek. “Ya, lumayan lah.
Manis.”
“Yaudah
kenalin ke gue lah,” sambar Taeyong.
“Ogah,
lu brengsek.”
Taeyong
hanya tertawa menanggapi ucapan Wonwoo. “Tapi ngomong-ngomong, kok lu kayak
akrab banget gitu sama cewek di meja kasir tadi?” sambar Taeyong sesaat setelah
membakar rokoknya.
Lee
Taeyong, seorang cowok berusia 22 tahun, yang kini berada di semester 7
Universitas Paradise, jurusan yang sama dengan Wonwoo, yaitu Bisnis. Salah satu
penguasa kampus. Senior yang cukup disegani. Dan berasal dari keluarga kaya.
Orang tuanya memiliki bebrapa perusahaan tambang di luar kota. Taeyong dijuluki
playboy nomor 2 oleh teman-teman dekatnya.
“Hah?”
Pertanyaan Taeyong membuat Wonwoo gugup seketika. “Oh nggak, gue Cuma nanya aja
dia anak kampus kita juga apa nggak. Ternyata iya.”
Taeyong
sampai menegakkan tubuhnya sambil menoleh pada Rowoon untuk memastikan sesuatu.
“Dia anak Paradise juga?”
Rowoon
mengangguk. “Satu fakultas sama kita juga, tapi beda jurusan.”
“Terus
udah lama kerja di sini?”
“Part
time doang sih, baru jalan dua minggu.”
Kim
Rowoon. Cowok berusia 21 tahun. Teman sekelas Wonwoo. Keluarganya memiliki
beberapa restoran mewah dan café. Salah satunya adalah tempat mereka berada
sekarang ini.
“Itu
Doyoung.”
Cowok
bernama Doyoung itu mengambil tempat berseberangan dengan Wonwoo. Ia
menghempaskan badan di kursi sambil menggerak-gerakkan kepalanya yang terasa
pegal.
“Kenapa?”
tanya Taeyong mewakili teman-temannya. Wonwoo dan Rowoon kebetulan sedang
menyesap ice americano mereka.
“Perusahaan
bokap lagi agak collapse.”
“Yang
mana?”
“Yang
bakal gue pegang nanti.”
“Gara-gara
pabrik bokap lu ada yang kebakaran itu ya?” Rowoon bertanya sedikit antusias.
Wonwoo dan Taeyong berekspresi seperti mereka memikirkan hal yang sama. “Dua
perusahaan bokap lu yang lain nggak ada yang bisa bantu backup?”
Doyoung
menggeleng. “Perusahan IT bokap gue udah dipegang abang. Bokap nggak mau ambil
resiko, takutnya abang belom siap di ganggu. Dan kalo yang punya Jungwoo masih
itungan baru.”
Taeyong
asik mengepulkan asap rokoknya selama Doyoung bercerita. “Gue mencium
aroma-aroma kawin kontrak.”
“Lu
mau dikawinin, Doy?” goda Wonwoo kemudian. “Lulus S1 aja belom.”
Kim
Doyoung. Salah satu mahasiswa di Universitas Paradise jurusan Bisnis. Doyoung
berada di kelas yang sama dengan Wonwoo dan Rowoon Cowok berusia 21 tahun itu
sebenarnya memiliki cita-cita menjadi pemain sepakbola. Hanya saja keinginan
itu ditentang oleh kedua orang tuanya. Namun ia masih diperbolehkan untuk
bergabung di klub sepakbola milik fakultas Ekonomi. Doyoung sendiri akhirnya
terpaksa kuliah di jurusan Bisnis karena di masa depan ia harus menjadi penerus
di salah satu perusahaan milik ayahnya yang mengalami kebakaran beberapa bulan
lalu hingga mengalami kerugian mencapai milyaran rupiah. Doyoung juga memiliki
seorang kakak laki-laki dan adik laki-laki.
Doyoung tidak ingin merespon. Ia hanya bersandar pada
kursi sambil sedikit memijat-mijat keningnya. “Jangan-jangan, beneran gue yang
bakal kawin duluan diantara kita.”
“Ya
kalo bisa jangan dalam jangka waktu dekat juga. Gue belom siap punya keponakan
dari lu, Doy.” Taeyoung berujar dengan ekspresi memohon.
Wonwoo
melirik kesal ke arah Taeyong. “Halah, padahal elu bang yang sering nyaris
kasih keponakan ke kita.”
“Sstt,
udah nggak.”
***
“Woo,
tolong dong.”
Jiwoo
berbalik sambil mengangguk. Di depannya sudah ada sebuah baki berisi tiga jenis
minuman. Menurut catatan, salah satunya adalah milik Wooshin. Dengan segera
gadis itu mengantarkan ke meja sahabatnya.
“Tumben
ngopi?” tanya Jiwoo sambil meletakkan gelas di atas meja Wooshin.
Kim
Wooshin. Cowok berusia 21 tahun. Wooshin menerima beasiswa penuh—karena
prestasinya—di Universitas Paradise, jurusan Teknik Informatika. Wooshin dan
Jiwoo sudah kenal sejak mereka duduk di bangku SMA. Wooshin sebenarnya jarang
ke tempat itu karena sebenarnya ia dan Rowoon adalah sepupu. Namun mereka tidak
terlalu akrab karena status social keluarga mereka. Ayahnya Wooshin
hanya seorang manager di salah satu perusahaan IT. Berbeda dengan keluarga
Rowoon. Cowok itu juga tergabung di klub sepakbola fakultasnya—Ilmu Komputer.
“Iya
lagi pengen, kebetulan juga kan besok gue nggak ada kelas.”
Jiwoo
mengangguk sekilas. “Gue lanjut anter pesenan ya.” Jiwoo langsung berbalik
tanpa menunggu respon dari Wooshin yang hanya menoleh mengikuti arah Jiwoo
menjauh sebelum akhirnya kembali sibuk dengan ponsel ditangannya.
Jiwoo
berjalan ke arah ruang outdoor. Tangannya mencengkeram erat tepi baki
karena ia harus mengantar pesanan ke meja yang di huni Wonwoo dan
teman-temannya. Jumlah penghuni meja itu sudah bertambah 2 orang. Mereka bahkan
menggeser meja yang awalnya hanya cukup untuk 4 orang, dan menggabungkannya
dengan meja lain. Mereka sibuk berbincang sambil merokok—kecuali Doyoung dan
Rowoon.
“Lu
aja sana nanem saham di perusahaan Doyoung.”
“Dih,
mana nyambung. Mau namain barang-barang dari perusahaan Doyoung pake nama brand
baju nyokap gue?”
“Atau
nggak numpang aja pajang barang di showroom-nya Yuta.”
“Atau
jangan-jangan kebakaran di pabrik bokapnya Doyoung, kerjaan Taeyong nih,
gara-gara keabisan lahan untuk di bakar.”
“Anjir,
nggak gitu juga cara mainnya. Bukan perusahaan bokap gue yang suka bakar-bakar.
Kecuali bakar jagung sama bakar ikan.”
Beberapa
keributan langsung menyapa ketika Jiwoo membuka pintu yang membatasi area outdoor.
“Avocadofrape.”
Doyoung
yang menyadari bahwa Jiwoo menyebutkan pesanannya, sontak menegakkan badan. “Ah
iya?”
Jiwoo
meletakkan dua gelas di hadapan Doyoung tanpa melilrik sedikitpun ke arah cowok
itu. Saat memberikan pesanan Doyoung, gadis itu berdiri di antara Doyoung dan
Rowoon. “Silahkan.”
“Terima
kasih,” kata Doyoung sambil mendongak dan tersenyum tipis. Namun cewek itu
tidak menyadari, bahkan tidak menatapnya sedikitpun. Bukan hanya Doyoung, Jiwoo
juga tidak melirik satu orangpun penghuni meja itu.
“Eh,
Woo.”
Jiwoo
yang sudah berbalik, kembali membalikkan badan. Kali ini ke arah Rowoon yang
tadi memanggilnya. “Iya?” Jiwoo memeluk baki yang sudah kosong.
“Nanti
bantu cek ya bahan-bahan yang kurang. Lusa kalo nggak salah jadwal lu libur
kuliah, kan? Sekalian belanja, bisa?”
“Baik,
pak. Saya juga kemaren sempet bantu Changkyun belanja. Jadi, saya udah tau tempatnya.”
Jiwoo mengangguk sekali, nyaris seperti membungkuk. Karena Rowoon tidak
mengatakan apa-apa lagi, Jiwoo berinisatif untuk pergi dari sana.
Selama
Jiwoo berbincang dengan Rowoon, hanya Doyoung yang menyadari gelagat aneh dari
Taeyong yang memperhatikan Jiwoo dari atas hingga bawah. Bahkan sampai Jiwoo
pergi dari sana, Taeyong masih memperhatikan cewek itu yang mengenakan rok jins
pendek hingga mengekspose hampir seluruh kakinya.
Tatapan
Taeyong dan Doyoung akhirnya bertemu. Doyoung bahkan tidak bergeming sedikitpun
karena Taeyong menyadari jika sejak jadi ia menatapnya dengan ekspresi
menyelidik. Namun Taeyong tidak terlalu peduli, meski sebenarnya ini kali
pertama Doyoung ikut campur urusan Taeyong dalam hal cewek.
“Woon,
bagi gue nomor hape cewek yang tadi, dong.”
Semua
mata kini tertuju pada Taeyong. Doyoung sedikit melebarkan matanya karena
ucapan Taeyong tadi. Sedangkan Wonwoo menoleh dengan cepat.
“Sejak
kapan selera lu sama karyawan temen sendiri?” komentar salah satu cowok yang
belum lama datang. Cowok keturunan Jepang, bernama Yuta.
Taeyong
tidak peduli, bahkan tidak merespon pertanyaan Yuta. “Ten, gimana? Cocok kan dia
sama gue?”
Cowok
yang duduk tepat di sebelah Doyoung mendongak. Melupakan sementara kegiatannya
bermain games. Tidak ada yang mencurigai Doyoung yang kini sibuk
menyesap minumannya hingga tandas.
“Nggak.”
“Loh,
kok nggak sih?” Taeyong nyaris berdiri dari kursinya karena jawaban singkat
dari cowok bernama Ten tersebut.
Ten
mengedarkan pandangannya satu persatu pada temannya, mulai dari Yuta hingga
Doyoung yang masih lanjut menyesap gelas keduanya. “Kalian nggak ada yang
nyadari kalo cewek tadi bahkan nggak ngelirik sedikitpun ke salah satu dari
kita?”
Doyoung
nyaris tersedak, namun tidak sampai terbatuk. Namun dalam hati ia sedikit
menertawai Taeyong. Tiap minggu mungkin Taeyong akan pergi dengan cewek yang
berbeda. Namun playboy nomor satu diantara mereka tetap Ten. Cowok misterius
yang kerap kali membuat cewek-cewek penasaran. Kalimat sederhana, bahkan jauh
dari kata gombalan, sukses membuat para cewek mengemis cinta pada seorang Ten.
Namun ada fakta unik yang baru saja ia terima beberapa menit lalu, bahwa ada
seorang cewek yang bahkan tidak tertarik sedikitpun pada salah satu diantara
mereka. Yaitu Jiwoo.
“Tersinggung
gue jadinya.”
Wonwoo
mengangkat tangan agar Taeyong meredakan emosinya. “Bisa aja ada alasan kenapa
dia gitu. Toh elu juga nggak tau kali dia lagi ngeliatin elu dari jauh.”
Mendengar
itu, Taeyong sontak melempar pandangan ke arah tembok kaca yang menembus
langsung ke arah counter. Tempat Jiwoo menerima pesanan dari pelanggan.
Tapi yang cowok itu dapatkan adalah Jiwoo bersandar pada meja kasir yang
tinggi, membelakangi mereka dan tampak sibuk dengan ponsel ditangannya. Sama
sekali tidak ada tanda-tanda jika Jiwoo sedang memperhatikan mereka dari jauh.
“Lu
kasih setengah harta bokap lu juga belum tentu dia mau. Lu liat aja sepatu, jam
tangan sama rok yang dia pake. Branded man! Terus, kalo kalian mikirnya
‘ah pasti simpenan om-om’, ya ngapain masih kerja di café gini? Ini bukan
restoran mewah loh, hanya café. Gajinya juga paling Cuma setara duit jajan lu
sehari. Dan sisanya simpulin sendiri.”
Ten
kembali fokus pada ponselnya setelah berujar panjang lebar dan berakhir dengan
tidak ada lagi yang menyelak ucapannya. Satu hal lagi yang membuat Ten
dinobatkan sebagai playboy nomor 1 se-Universitas Paradise. Yaitu karena
Ten pintar membaca karakter seseorang, terumata kaum hawa.
“Berarti,
lu kalo mau brengsek, cari cewek yang sepadan,” kata Yuta kemudian, menengahi.
Tidak
ada yang bersuara selama beberapa saat. Taeyong dan Yuta sibuk menghisap rokok
mereka. Sementara yang lain sibuk dengan ponsel masing-masing. Sampai akhirnya
Rowoon memergoki Doyoung meletakkan gelas kedua yang sudah ia kosongkan. Sesaat
Rowoon melempar pandangan pada Doyoung dan gelas kosong secara bergantian.
“Gue
kira lu mau ngasih satu ke Jiwoo.”
Doyoung
menoleh. Mereka tidak terlalu menarik perhatian karena hanya Wonwoo yang ikut
memperhatikan Rowoon. “Maksudnya?”
“Jarang
yang pesen minuman itu.” Rowoon menunjuk gelas milik Doyoung menggunakan
dagunya. “Karyawan café yang gue tau suka avocadofrape Cuma Jiwoo. Dan
diantara kita juga yang suka sama itu Cuma elu.”
Pernyataan
Rowoon dan fakta jika Doyoung menghabiskan dua gelas minuman sekaligus membuat
Wonwoo menatap Doyoung, prihatin. “Lu beneran frustasi gara-gara perusahaan
bokap lu ya? Kalo mau nggak bisa tidur sekalian aja americano.”
Doyoung
berdiri. “Wah, ide bagus.” Kemudian balik badan dan berjalan menuju konter yang
kebetulan masih di jaga oleh Jiwoo.
“Gue
jadi pengen pesen lagi.”
Yuta
menahan tangan Taeyong sebelum cowok itu benar-benar berdiri dan menyusul
Doyoung. “Gue tau lu mau modus doang. Telpon aja ke Doyoung kalo beneran pengen
pesen lagi.”
Dengan
ekspresi kesal, Taeyong menyambar ponselnya diatas meja.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar