Senin, 16 Desember 2019

SKY AND EARTH (1. Doyoung’s Circle Friends)




            “Kok lu udah ada di sini aja?” tegur seorang cowok yang masih mengenakan kemeja batik hitam berlengan pendek.
            “Silahkan mau pesan apa?” tanya seorang kasir dengan nametag atas nama Jeon Jiwoo tanpa terlebih dulu menjawab pertanyaan cowok tadi.
            “Ck!” Cowok itu hanya berdecak sambil mengeluarkan dompet. “Eh, lu mau pesen apa?” tanya Wonwoo pada cowok yang berdiri sedikit dibelakangnya.
            Americano satu, sama makanannya terserah, rekomendasi dari sini aja. Oiya satu lagi, air mineral jangan lupa.”
            “Masing-masing dua porsi,” lanjut Wonwoo.
            Jiwoo sibuk mencatat pesanan. Saat mendongak, ia mendapati pemuda di sebelah Wonwoo baru saja mengalihkan pandangan setelah merasa ‘kepergok’ menatap Jiwoo. “Ada lagi tambahannya?”
Wonwoo menggeleng setelah merasakan tepukan singkat dipundaknya. Saat menoleh, temannya itu sudah berjalan menjauh meninggalkannya. Wonwoo kembali menghadap Jiwoo sambil mengeluarkan card dan menyodorkannya pada Jiwoo. Cewek itu menerima untuk dilakukan transaksi.
            “Nggak bisa, nih. Limit. Eh, maaf mas, ada kartu lain?” Jiwoo langsung meralat ucapannya karena ada seorang cowok tinggi masuk dari arah pintu. Akan sangat bahaya jika ucapannya yang tidak pantas itu didengar orang lain. Terlebih cowok itu adalah bosnya, Kim Rowoon, pemilik café ini.
            Rowoon berbelok ke arah counter dan berdiri tepat di samping Wonwoo sambil merangkul cowok itu. “Woo, pesenin sama kayak mereka ya,” kata Rowoon pada Jiwoo yang langsung mencatat kembali pesanan Rowoon.
            Kembali tersisa Jiwoo dan Wonwoo di sana. Kebetulan café tidak terlalu ramai malam itu karena memang bukan malam minggu atau hari libur. Jiwoo mengetuk-ngetukkan kartu milik Wonwoo diatas meja sambil menunggu cowok itu mencari-cari sesuatu di dompetnya. Sementara pesanan Wonwoo dan teman-temannya sudah ia submit. Bahkan dikejauhan, Jiwoo melihat salah satu rekannya mengantarkan minuman ke meja yang dihuni Rowoon dan Taeyong.
            “Woo,” panggil Wonwoo dengan suara pelan.
            Jiwoo langsung melirik tajam sambil merogoh saku apron-nya, mengeluarkan sebuah posh note dan pulpen. Wonwoo menunggu dengan cemas sambil melihat Jiwoo menuliskan sesuatu.
            “Itu rekening gue. Gue tunggu transferannya paling lambat besok sore.” Jiwoo menyodorkan kertas kecil itu bersama struk pembelian. “Terima kasih, selamat datang kembali,” ujar Jiwoo sambil tersenyum dan merapatkan kedua telapak tangannya ke depan dada.
            Wonwoo tidak merespon. Ia sibuk menjejalkan kertas itu ke dalam dompetnya sambil berbalik dan pergi meninggalkan Jiwoo. Menyusul teman-temannya yang duduk di area out door.
            Selama Wonwoo pergi menjauh, Jiwoo memperhatikan punggung cowok itu sampai benar-benar menjauh. Wonwoo duduk diantara Taeyong dan Rowoon, menghadap ke arah Jiwoo yang bisa melihat wajahnya. Namun Wonwoo tidak menyadari jika Jiwoo bahkan belum melepaskan tatapannya pada Wonwoo.
            “Permisi,” tegur seseorang yang sukses mengembalikan kesadaran Jiwoo yang sontak menoleh dan menemukan seorang cowok di sana. Cowok berwajah manis dan terkesan polos. Berbeda dengan Wonwoo dan temannya yang bernama Taeyong yang memiliki bentuk wajah lebih tegas. Bahkan Rowoon memiliki imej yang lebih dewasa dari pada usianya sekarang.
            “Oh, maaf. Selamat malam. Mau pesan apa?” tanya Jiwoo yang tanpa sadar menekan telapak tangan ke arah perutnya. Tiba-tiba saja Jiwoo merasakan sesuatu di sana. Bukan rasa sakit melilit atau karena tamu bulanan. Hanya sesuatu yang membuatnya sedikit tidak nyaman. Jiwoo masih menatap cowok itu yang sedang memilih menu pada buku dihadapannya.
            Avocadofrape dua gelas.”
            Beberapa kali Jiwoo mengepalkan tangannya selama meng-input pesanan cowok itu pada layar monitor untuk mengurangi sedikit tremor yang tiba-tiba melandanya. “Ada tambahan lagi?”
            Cowok di depan Jiwoo menggeleng sambil tersenyum tipis. “Sementara itu dulu aja.”
            “Silahkan ditunggu, nanti akan kami antar.”
            Cowok itu berbalik setelah transaksinya selesai. Di saat yang hampir bersamaan, Jiwoo juga berbalik lalu berjongkok di bawah meja kasirnya. Membuat salah satu rekannya yang baru muncul menatap aneh.
            “Doyoung?” ujar seseorang yang baru saja mengantri di belakang cowok tadi.
            “Woo, kenapa? Sakit?”
            Jiwoo mendongak dan mendapati rekannya bernama Im Changkyun menunduk untuk melihat kondisinya. Jiwoo masih bertahan pada posisi itu, namun tangannya mengibas ke depan Changkyun sebagai tanda ia baik-baik saja. Changkyun akhirnya kembali menegakkan badan karena ada pelanggan yang datang. Changkyun menempati posisi kasir yang berbeda dengan tempat Jiwoo berdiri tadi.
            “Selamat malam,” Changkyun berujar sopan pada seseorang dihadapannya, seorang cowok berkacamata. “Silahkan, ada yang bisa saya bantu?”
            “Jiwoo mana?” cowok itu justru balik bertanya.
            Changkyun menoleh ke samping, sedikit ke arah bawah. “Tuh.”
            Cowok di depan Changkyun memajukan badannya untuk bisa melihat apa yang dimaksud Changkyun karena mereka dihalangi oleh sebuah meja tinggi. Di saat yang bersamaan, Jiwoo mendongak.
            “Dicariin lu.”
            “Siapa?”
            “Wooshin, noh.”
            Perlahan Jiwoo berdiri. Benar saja, ia mendapati salah satu temannya di sana. “Tumben nggak bilang mau ke sini?”
            “Hape lu mati ya cuy? Heedo lagi ke Bogor nganter Hayoung, ntar pulang sama gue aja, gue tunggu sini,” jelas cowok beranama Wooshin itu dan hanya direspon anggukan oleh Jiwoo. “Kenapa, sih? Sembelit? Bulanan?”
            Jiwoo menggeleng. “Nggak apa-apa. Gue ke dalem bentar ya.”
            Changkyun kemudian melanjutkan transaksinya pada Wooshin. Membiarkan Jiwoo sementara meninggalkan meja kasir.
Jeon Jiwoo, gadis berusia 21 tahun. Mahasiswi semester 5 di Universitas Paradise jurusan Management. Bekerja part time di sana selama dua minggu. Tepatnya ketika ibunya sering berada di Bandung. Dan pagi tadi, sang ibu baru saja resmi menikah lagi, atau lebih tepatnya rujuk dengan seorang pria yang tidak lain adalah ayah kandung Jiwoo. Orang tua mereka bercerai saat Jiwoo dan kembarannya baru berusia 1 tahun. Ibunya hanya membawa Jiwoo pergi ke Jakarta. Sementara kembarannya menetap bersama sang ayah di Bandung.

***
           
Jeon Wonwoo. Seorang cowok berusia 21 tahun. Wonwoo mahasiswa jurusan Bisnis Universitas Paradise semester 5. Wonwoo merantau dari Bandung ke Jakarta sejak sekitar 2 tahun lalu. Cowok itu kini tinggal sendiri di sebuah apartment.
            “Jadi, ini baru banget balik dari Bandung?” tanya Rowoon saat Wonwoo baru saja bergabung dengan mereka di meja. Sedikit memperthatikan penampilan cowok itu yang masih mengenakan kemeja batik.
            Wonwoo menarik kursi, lalu duduk di sana. “Iya.”
            “Sodara tiri lu cewek, kan, katanya? Cantik?”
            Wonwoo menyipitkan matanya melihat Rowoon bertanya seperti itu. Aneh mendengarnya dari seorang cowok yang terkenal dingin dengan cewek-cewek. “Ya, lumayan lah. Manis.”
            “Yaudah kenalin ke gue lah,” sambar Taeyong.
            “Ogah, lu brengsek.”
            Taeyong hanya tertawa menanggapi ucapan Wonwoo. “Tapi ngomong-ngomong, kok lu kayak akrab banget gitu sama cewek di meja kasir tadi?” sambar Taeyong sesaat setelah membakar rokoknya.
            Lee Taeyong, seorang cowok berusia 22 tahun, yang kini berada di semester 7 Universitas Paradise, jurusan yang sama dengan Wonwoo, yaitu Bisnis. Salah satu penguasa kampus. Senior yang cukup disegani. Dan berasal dari keluarga kaya. Orang tuanya memiliki bebrapa perusahaan tambang di luar kota. Taeyong dijuluki playboy nomor 2 oleh teman-teman dekatnya.
            “Hah?” Pertanyaan Taeyong membuat Wonwoo gugup seketika. “Oh nggak, gue Cuma nanya aja dia anak kampus kita juga apa nggak. Ternyata iya.”
            Taeyong sampai menegakkan tubuhnya sambil menoleh pada Rowoon untuk memastikan sesuatu. “Dia anak Paradise juga?”
            Rowoon mengangguk. “Satu fakultas sama kita juga, tapi beda jurusan.”
            “Terus udah lama kerja di sini?”
            Part time doang sih, baru jalan dua minggu.”
            Kim Rowoon. Cowok berusia 21 tahun. Teman sekelas Wonwoo. Keluarganya memiliki beberapa restoran mewah dan café. Salah satunya adalah tempat mereka berada sekarang ini.
            “Itu Doyoung.”
            Cowok bernama Doyoung itu mengambil tempat berseberangan dengan Wonwoo. Ia menghempaskan badan di kursi sambil menggerak-gerakkan kepalanya yang terasa pegal.
            “Kenapa?” tanya Taeyong mewakili teman-temannya. Wonwoo dan Rowoon kebetulan sedang menyesap ice americano mereka.
            “Perusahaan bokap lagi agak collapse.”
            “Yang mana?”
            “Yang bakal gue pegang nanti.”
            “Gara-gara pabrik bokap lu ada yang kebakaran itu ya?” Rowoon bertanya sedikit antusias. Wonwoo dan Taeyong berekspresi seperti mereka memikirkan hal yang sama. “Dua perusahaan bokap lu yang lain nggak ada yang bisa bantu backup?”
            Doyoung menggeleng. “Perusahan IT bokap gue udah dipegang abang. Bokap nggak mau ambil resiko, takutnya abang belom siap di ganggu. Dan kalo yang punya Jungwoo masih itungan baru.”
            Taeyong asik mengepulkan asap rokoknya selama Doyoung bercerita. “Gue mencium aroma-aroma kawin kontrak.”
            “Lu mau dikawinin, Doy?” goda Wonwoo kemudian. “Lulus S1 aja belom.”
            Kim Doyoung. Salah satu mahasiswa di Universitas Paradise jurusan Bisnis. Doyoung berada di kelas yang sama dengan Wonwoo dan Rowoon Cowok berusia 21 tahun itu sebenarnya memiliki cita-cita menjadi pemain sepakbola. Hanya saja keinginan itu ditentang oleh kedua orang tuanya. Namun ia masih diperbolehkan untuk bergabung di klub sepakbola milik fakultas Ekonomi. Doyoung sendiri akhirnya terpaksa kuliah di jurusan Bisnis karena di masa depan ia harus menjadi penerus di salah satu perusahaan milik ayahnya yang mengalami kebakaran beberapa bulan lalu hingga mengalami kerugian mencapai milyaran rupiah. Doyoung juga memiliki seorang kakak laki-laki dan adik laki-laki.
Doyoung tidak ingin merespon. Ia hanya bersandar pada kursi sambil sedikit memijat-mijat keningnya. “Jangan-jangan, beneran gue yang bakal kawin duluan diantara kita.”
            “Ya kalo bisa jangan dalam jangka waktu dekat juga. Gue belom siap punya keponakan dari lu, Doy.” Taeyoung berujar dengan ekspresi memohon.
            Wonwoo melirik kesal ke arah Taeyong. “Halah, padahal elu bang yang sering nyaris kasih keponakan ke kita.”
            “Sstt, udah nggak.”

***

            “Woo, tolong dong.”
            Jiwoo berbalik sambil mengangguk. Di depannya sudah ada sebuah baki berisi tiga jenis minuman. Menurut catatan, salah satunya adalah milik Wooshin. Dengan segera gadis itu mengantarkan ke meja sahabatnya.
            “Tumben ngopi?” tanya Jiwoo sambil meletakkan gelas di atas meja Wooshin.
            Kim Wooshin. Cowok berusia 21 tahun. Wooshin menerima beasiswa penuh—karena prestasinya—di Universitas Paradise, jurusan Teknik Informatika. Wooshin dan Jiwoo sudah kenal sejak mereka duduk di bangku SMA. Wooshin sebenarnya jarang ke tempat itu karena sebenarnya ia dan Rowoon adalah sepupu. Namun mereka tidak terlalu akrab karena status social keluarga mereka. Ayahnya Wooshin hanya seorang manager di salah satu perusahaan IT. Berbeda dengan keluarga Rowoon. Cowok itu juga tergabung di klub sepakbola fakultasnya—Ilmu Komputer.
            “Iya lagi pengen, kebetulan juga kan besok gue nggak ada kelas.”
            Jiwoo mengangguk sekilas. “Gue lanjut anter pesenan ya.” Jiwoo langsung berbalik tanpa menunggu respon dari Wooshin yang hanya menoleh mengikuti arah Jiwoo menjauh sebelum akhirnya kembali sibuk dengan ponsel ditangannya.
            Jiwoo berjalan ke arah ruang outdoor. Tangannya mencengkeram erat tepi baki karena ia harus mengantar pesanan ke meja yang di huni Wonwoo dan teman-temannya. Jumlah penghuni meja itu sudah bertambah 2 orang. Mereka bahkan menggeser meja yang awalnya hanya cukup untuk 4 orang, dan menggabungkannya dengan meja lain. Mereka sibuk berbincang sambil merokok—kecuali Doyoung dan Rowoon.
            “Lu aja sana nanem saham di perusahaan Doyoung.”
            “Dih, mana nyambung. Mau namain barang-barang dari perusahaan Doyoung pake nama brand baju nyokap gue?”
            “Atau nggak numpang aja pajang barang di showroom-nya Yuta.”
            “Atau jangan-jangan kebakaran di pabrik bokapnya Doyoung, kerjaan Taeyong nih, gara-gara keabisan lahan untuk di bakar.”
            “Anjir, nggak gitu juga cara mainnya. Bukan perusahaan bokap gue yang suka bakar-bakar. Kecuali bakar jagung sama bakar ikan.”
            Beberapa keributan langsung menyapa ketika Jiwoo membuka pintu yang membatasi area outdoor. “Avocadofrape.”
            Doyoung yang menyadari bahwa Jiwoo menyebutkan pesanannya, sontak menegakkan badan. “Ah iya?”
            Jiwoo meletakkan dua gelas di hadapan Doyoung tanpa melilrik sedikitpun ke arah cowok itu. Saat memberikan pesanan Doyoung, gadis itu berdiri di antara Doyoung dan Rowoon. “Silahkan.”
            “Terima kasih,” kata Doyoung sambil mendongak dan tersenyum tipis. Namun cewek itu tidak menyadari, bahkan tidak menatapnya sedikitpun. Bukan hanya Doyoung, Jiwoo juga tidak melirik satu orangpun penghuni meja itu.
            “Eh, Woo.”
            Jiwoo yang sudah berbalik, kembali membalikkan badan. Kali ini ke arah Rowoon yang tadi memanggilnya. “Iya?” Jiwoo memeluk baki yang sudah kosong.
            “Nanti bantu cek ya bahan-bahan yang kurang. Lusa kalo nggak salah jadwal lu libur kuliah, kan? Sekalian belanja, bisa?”
            “Baik, pak. Saya juga kemaren sempet bantu Changkyun belanja. Jadi, saya udah tau tempatnya.” Jiwoo mengangguk sekali, nyaris seperti membungkuk. Karena Rowoon tidak mengatakan apa-apa lagi, Jiwoo berinisatif untuk pergi dari sana.
            Selama Jiwoo berbincang dengan Rowoon, hanya Doyoung yang menyadari gelagat aneh dari Taeyong yang memperhatikan Jiwoo dari atas hingga bawah. Bahkan sampai Jiwoo pergi dari sana, Taeyong masih memperhatikan cewek itu yang mengenakan rok jins pendek hingga mengekspose hampir seluruh kakinya.
            Tatapan Taeyong dan Doyoung akhirnya bertemu. Doyoung bahkan tidak bergeming sedikitpun karena Taeyong menyadari jika sejak jadi ia menatapnya dengan ekspresi menyelidik. Namun Taeyong tidak terlalu peduli, meski sebenarnya ini kali pertama Doyoung ikut campur urusan Taeyong dalam hal cewek.
            “Woon, bagi gue nomor hape cewek yang tadi, dong.”
            Semua mata kini tertuju pada Taeyong. Doyoung sedikit melebarkan matanya karena ucapan Taeyong tadi. Sedangkan Wonwoo menoleh dengan cepat.
            “Sejak kapan selera lu sama karyawan temen sendiri?” komentar salah satu cowok yang belum lama datang. Cowok keturunan Jepang, bernama Yuta.
            Taeyong tidak peduli, bahkan tidak merespon pertanyaan Yuta. “Ten, gimana? Cocok kan dia sama gue?”
            Cowok yang duduk tepat di sebelah Doyoung mendongak. Melupakan sementara kegiatannya bermain games. Tidak ada yang mencurigai Doyoung yang kini sibuk menyesap minumannya hingga tandas.
“Nggak.”
            “Loh, kok nggak sih?” Taeyong nyaris berdiri dari kursinya karena jawaban singkat dari cowok bernama Ten tersebut.
            Ten mengedarkan pandangannya satu persatu pada temannya, mulai dari Yuta hingga Doyoung yang masih lanjut menyesap gelas keduanya. “Kalian nggak ada yang nyadari kalo cewek tadi bahkan nggak ngelirik sedikitpun ke salah satu dari kita?”
            Doyoung nyaris tersedak, namun tidak sampai terbatuk. Namun dalam hati ia sedikit menertawai Taeyong. Tiap minggu mungkin Taeyong akan pergi dengan cewek yang berbeda. Namun playboy nomor satu diantara mereka tetap Ten. Cowok misterius yang kerap kali membuat cewek-cewek penasaran. Kalimat sederhana, bahkan jauh dari kata gombalan, sukses membuat para cewek mengemis cinta pada seorang Ten. Namun ada fakta unik yang baru saja ia terima beberapa menit lalu, bahwa ada seorang cewek yang bahkan tidak tertarik sedikitpun pada salah satu diantara mereka. Yaitu Jiwoo.
            “Tersinggung gue jadinya.”
            Wonwoo mengangkat tangan agar Taeyong meredakan emosinya. “Bisa aja ada alasan kenapa dia gitu. Toh elu juga nggak tau kali dia lagi ngeliatin elu dari jauh.”
            Mendengar itu, Taeyong sontak melempar pandangan ke arah tembok kaca yang menembus langsung ke arah counter. Tempat Jiwoo menerima pesanan dari pelanggan. Tapi yang cowok itu dapatkan adalah Jiwoo bersandar pada meja kasir yang tinggi, membelakangi mereka dan tampak sibuk dengan ponsel ditangannya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda jika Jiwoo sedang memperhatikan mereka dari jauh.
            “Lu kasih setengah harta bokap lu juga belum tentu dia mau. Lu liat aja sepatu, jam tangan sama rok yang dia pake. Branded man! Terus, kalo kalian mikirnya ‘ah pasti simpenan om-om’, ya ngapain masih kerja di café gini? Ini bukan restoran mewah loh, hanya café. Gajinya juga paling Cuma setara duit jajan lu sehari. Dan sisanya simpulin sendiri.”
            Ten kembali fokus pada ponselnya setelah berujar panjang lebar dan berakhir dengan tidak ada lagi yang menyelak ucapannya. Satu hal lagi yang membuat Ten dinobatkan sebagai playboy nomor 1 se-Universitas Paradise. Yaitu karena Ten pintar membaca karakter seseorang, terumata kaum hawa.
            “Berarti, lu kalo mau brengsek, cari cewek yang sepadan,” kata Yuta kemudian, menengahi.
            Tidak ada yang bersuara selama beberapa saat. Taeyong dan Yuta sibuk menghisap rokok mereka. Sementara yang lain sibuk dengan ponsel masing-masing. Sampai akhirnya Rowoon memergoki Doyoung meletakkan gelas kedua yang sudah ia kosongkan. Sesaat Rowoon melempar pandangan pada Doyoung dan gelas kosong secara bergantian.
            “Gue kira lu mau ngasih satu ke Jiwoo.”
            Doyoung menoleh. Mereka tidak terlalu menarik perhatian karena hanya Wonwoo yang ikut memperhatikan Rowoon. “Maksudnya?”
            “Jarang yang pesen minuman itu.” Rowoon menunjuk gelas milik Doyoung menggunakan dagunya. “Karyawan café yang gue tau suka avocadofrape Cuma Jiwoo. Dan diantara kita juga yang suka sama itu Cuma elu.”
            Pernyataan Rowoon dan fakta jika Doyoung menghabiskan dua gelas minuman sekaligus membuat Wonwoo menatap Doyoung, prihatin. “Lu beneran frustasi gara-gara perusahaan bokap lu ya? Kalo mau nggak bisa tidur sekalian aja americano.”
            Doyoung berdiri. “Wah, ide bagus.” Kemudian balik badan dan berjalan menuju konter yang kebetulan masih di jaga oleh Jiwoo.
            “Gue jadi pengen pesen lagi.”
            Yuta menahan tangan Taeyong sebelum cowok itu benar-benar berdiri dan menyusul Doyoung. “Gue tau lu mau modus doang. Telpon aja ke Doyoung kalo beneran pengen pesen lagi.”
            Dengan ekspresi kesal, Taeyong menyambar ponselnya diatas meja.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar