“Hapenya Doyoung ilang? Di mana?”
Yuta menggeleng. “Wonwoo
bilang sih Doyoung ke perpus.” Cowok itu setengah berlari mengejar Taeyong yang
tadi melesat duluan. Tadi mereka tidak sengaja bertemu di jalan.
Tangan Taeyong sudah
terulur, namun seseorang sudah lebih dulu membuka pintu dari dalam. Memunculkan
Doyoung bersama Jiwoo yang berada di belakang Doyoung.
“Beneran hape lu ilang?
Ilang di mana?” cecar Taeyong yang awalnya tidak terlau menyadari jika ada
Jiwoo di sana. “Eh?”
“Iya, tapi udah ketemu
kok, nih.” Doyoung menunjukkan ponsel miliknya ke hadapan Yuta dan Taeyong.
“Tadi Jiwoo yang nemuin.”
Merasa tidak enak, Jiwoo
buru-buru berpamitan. “Kalo gitu gue duluan ya.” Tidak lupa cewek itu sedikit
mengangguk sebagai bentuk tindakan menghargai senior karena ada Taeyong dan
Yuta di sana, sebelum akhirnya berbalik dan pergi dari sana.
“Thank’s ya,
Woo.”
Jiwoo menoleh sedikit
dan hanya menacungkan jempolnya.
“Itu cewek yang di café
Rowoon, kan?”
Taeyong buru-buru
menoleh ke arah Yuta. “Serius?”
“Mau ngapain lu!”
Refleks, tangan Yuta menarik tali ransel Taeyong yang bersiap pergi dari sana.
“Inget yang Ten bilang. Udah lah nggak usah aneh-aneh, kasian tuh cewek.”
Doyoung hanya
memperhatikan dua seniornya itu. Yuta bahkan sudah benar-benar menarik Taeyong
dan membawanya pergi dari sana, ke arah yang berlawanan dengan Jiwoo pergi.
Setelah dua seniornya sudah menjauh beberapa meter, Doyoung kembali menolehkan
kepalanya, kali ini ke arah di mana Jiwoo membawa dirinya pergi. Jiwoo sudah
tidak terlihat di sana, namun masih menyisakan senyum di sudut bibir Doyoung.
***
~Malam hari dikediaman keluarga Doyoung
Cowok itu baru saja
bergabung di meja makan. Doyoung duduk di sebelah ibunya. Di seberang sana ada
adik dan kakaknya Doyoung—Inseong dan Jungwoo. Sementara ayahnya Doyoung belum
pulang. Mereka sibuk makan dalam diam. Doyoung juga sedang tidak ingin memulai
pembicaraan. Lebih tepatnya tidak tahu apa yang ingin ia utarakan. Tentang
kuliah, kah? Atau tentang…
“Kamu ganti parfum?”
Doyoung menoleh.
Seketika apa yang sedang ada dibenaknya buyar karena suara sang ibu.
Ibunya—Yoona—masih menatap anaknya itu dengan ekspresi menyelidik. “Parfum?”
Doyoung mengendus lengan kemejanya. Sepulang kuliah tadi ia memang langsung meluncur
ke dapur. “Oh, ini minta sama Wonwoo. Tadi Doy lupa bawa.”
Yoona menghembuskan
napas, tidak langsung merespon jawaban Doyoung. Dua saudara Doyoung hanya
mencuri-curi pandang ke arahnya. Doyoung menunjukkan ekspresi bertanya, namun
baik Jungwoo ataupun Inseong hanya mengangkat bahu mereka.
“Kamu kayanya nggak
pernah bawa pacar kamu ke rumah?”
Uhuh! Doyoung tersedak.
Yoona bertanya tepat ketika cowok itu sedang menenggak air minumnya. “Kenapa
nanya itu sih, bun? Doy mau fokus kuliah dulu.”
“Udahlah bun, langsung
ke intinya aja.”
“Ada apaan, sih?” Doyoung
menatap tajam pada adiknya, menuntut penjelasan. “Bang?” kali ini Doyoung
berpindah pada Inseong yang masih sibuk dengan makanannya.
“Harus dijelasin
pelan-pelan,” kata Yoona menengahi.
“Lu dijodohin.”
Satu jitakan mendarat di
kepala Jungwoo. Hadiah dari Inseong.
“Asli, ternyata bang
Taeyong beneran cenayang.” Doyoung merasakan bahunya merosot. “Tapi kalo Doy
punya pacar, perjodohan itu bisa dibatalin kan?” Doyoung menatap penuh harap
pada ibunya.
“Kalo pacar lu cewek
mungkin bisa aja batal. Kalo cowok ya siap-siap aja diusir ayah hmmp.”
Inseong yang gemas
dengan Jungwoo sontak membekap mulut adiknya dengan tangan. Jungwoo memberontak
untuk melepaskan tangan Inseong dari mulutnya. “Jangan di dengerin, Doy. Adek
lu gila.”
“Padahal lu juga
nyangkain bang Doy homo.”
Doyoung hanya menatap
miris pada dua saudaranya. “Bun, nggak bisa abang aja yang dijodohin?”
“Nggak lah, gue kan
punya cewek,” sahut Inseong.
“Yaudah, Jungwoo lah.”
“Bun, Chaeyoung manis
kan?” tanya Jungwoo antusias. “Itu loh, yang kemaren Jungwoo kenalin pas nggak
sengaja ketemu di pasar.”
“Iya, nanti ajak main ke
rumah ya. Tapi pas ayah nggak ada aja. Bisa disunat dua kali kamu kalo berani
bawa cewek ke rumah. Doyoung aja nggak pernah. Yang diajak kalo nggak Taeyong,
Wonwoo, Ten, terus siapa lagi sih tuh ya bunda lupa. Sejun? Sehun?”
“Sejun, bun.” Inseong
terdengar meralat ucapan Yoona.
Doyoung memainkan
ponselnya di bawah meja. Berusaha tidak menghiraukan obrolan Jungwoo dan ibunya
yang bisa dikatakan sedikit ‘menyindir’ Doyoung. Untuk urusan perempuan, cowok
itu memang sangat bertolak belakang dengan Taeyong.
***
“Tumbenan sih Doyoung
ngajak ketemu di café gini. Kenapa nggak sewa private room di resto gitu?”
Taeyong merengut
mendengar komentar cewek di depannya. Cowok baru saja tiba, dan langsung
menarik kursi dengan Gerakan sedikit kasar sebelum akhirnya duduk di sana. “Sekali-sekali
ngeramein café temen sendiri lah.”
Cewek di seberang
Taeyong hanya menatap malas sambil bersandar pada cowok di sebelahnya, Johnny.
“Ya maksud gue di restonya Rowoon juga.”
“Ah ya udah lah, enakan
juga di sini.” Taeyong dengan cueknya mulai mengeluarkan rokoknya sambil
menyodorkan bungkus rokok pada cowok di sebelah cewek bernama Somin.
Johnny melirik sekilas
lalu menggeleng. “Ogah ah rokok lu kayak bapak-bapak,” candanya.
“Sialan,” Taeyong
mendengus kesal. Kemudian melanjutkan membakar rokoknya.
Tidak lama kemudian
beberapa orang lagi mulai berdatangan. Rowoon, Ten dan Yuta. Sementara Wonwoo
masih berada di counter untuk memesan sesuatu. Tiga cowok tadi saling
bersalaman dengan Taeyong, Johnny dan Somin.
“Lu berdua udah pesen?”
tanya Rowoon terutama pada Somin dan Johnny.
“Nggak enak, nanti aja
tunggu Doyoung.” Somin yang menjawab.
Taeyong mengepulkan asap
rokok ke atas sebelum merespon ucapan Somin. “Nggak usah. Pesen aja, bilang
atas nama Taeyong. Gue yang tanggung semua. Kartu gue udah gue titipin ke Jiwoo
tadi.”
“Jiwoo siapa?” tanya
Johnny yang malam itu memang tidak bergabung di sana, jadi tentu saja ia tidak
mengetahui perihal Jiwoo.
“Oh udah kenalan?” ledek
Yuta.
“Kalo beneran di tolak
mah gue yang bakal ketawa paling kenceng,” ujar Ten yang diiringi tawa oleh
Yuta. Lalu kemudian mereka saling melakukan high five, masih sambil
tertawa.
Taeyong sudah mengangkat
asbak kaca ke atas, seolah ingin melempari Ten dan Yuta dengan benda itu. Tapi
tentu saja tidak benar-benar dilakukan. Ten dan Yuta masih tertawa sampai
akhirnya Doyoung muncul bersama Wonwoo.
“Kenapa ini anak bapak
Kim?” ledek Johnny karena melihat raut wajah Doyoung yang sedikit suram.
“Males gue bang Taeyong
cenayang. Nggak usah temenan lagi lah kita, bang.” Doyoung menghempaskan tubuh
di sebelah Taeyong.
Taeyong memutar badan
sampai menghadap Doyoung. “Anjir, jadi beneran kejadian?”
Doyoung mengangguk,
malas. “Bang Inseong sama Jungwoo malah ngatain gue homo. Kempret emang
mereka.”
Wonwoo tertawa dengan
tangan menunjuk Doyoung. “Lu kemaren abis pake parfum gue, kan? Tau banget gue
nyokap lu pasti peka sama hal-hal kayak gitu.”
“Nggak suka nih gue jadi
orang bego gini,” kata Somin sambil melipat tangan di depan dada dan memasang
ekspresi kesal.
“Gara-gara perusahaan
bokap lu, ya?” tebak Johnny yang sontak direspon anggukan oleh Doyoung dan beberapa
orang yang lain. “Terus? Bakal di kawinin lu?”
“Anjir, kenapa bahasanya
mesti langsung ke arah sana sih?” Protes Doyoung.
Taeyong menyenggol
lengan Doyoung yang langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh tanya. Saat
menoleh, Doyoung mendapati mata Taeyong seperti memberitahu sesuatu. Doyoung
kembali menoleh ke arah berlawanan. Ternyata yang Taeyong maksud adalah
kedatangan Jiwoo yang mengantarkan pesanan.
“Americano punya
gue.” Wonwoo mengangkat tangannya. Melihat itu, Jiwoo langsung menghampiri
Wonwoo yang duduk di sebelah Somin. “Thanks.”
Jiwoo hanya membalas
dengan senyuman tipis. Taeyong mendekatkan wajahnya ke telinga Doyoung tanpa
melepaskan tatapan pada Jiwoo yang sibuk membagikan minuman. “Manis banget ya?”
bisik Taeyong.
“Iya,” jawab Doyoung.
Taeyong terkekeh.
Sementara Doyoung seperti baru tersadar dengan apa yang terjadi padanya. Entah
apa yang akan dipikirkan Taeyong setelah ini. Sepertinya ia juga tidak akan
peduli.
“Halo, guys.”
“Seunghee!” Seru Somin
penuh antusias sambil melambaikan tangan pada seorang cewek yang baru saja
tiba. “Yujin mana?”
“Ngebucin dulu dia,”
kata cewek bernama Seunghee itu.
Seunghee mendekat ke tempat Taeyong,
lalu mengecup pipi cowok itu. Taeyong tidak melakukan protes, karena memang
sudah biasa diantara mereka. Kemudian Seunghee beralih pada Doyoung yang memang
duduk bersebelahan dengan Taeyong. Namun reaksi berbeda ditunjukkan Doyoung
yang justru menjauh ketika Seunghee berniat mencium pipinya. Hampir semua yang
melihat itu membeku. Termasuk Jiwoo.
Seunghee menarik kembali
wajahnya. Namun masih mempertahankan posisi menatap Doyoung dari samping.
Doyoung sama sekali tidak menoleh sedikitpun. “Lu kenapa, sih?”
Ten berdiri untuk
menghampiri Seunghee lalu menarik tangan cewek itu. “Aduh, sini deh. Jangan ganggu
dulu si Doyoung lagi pusing mau dijodohin soalnya.” Ten membawa Seunghee duduk
di sebelahnya. “Lu belum cium gue, nih.” Ten sudah mendekatkan wajahnya pada
Seunghee yang langsung saja dihadiahi sebuah kecupan dari cewek itu.
Doyoung tidak terlalu ambil
pusing dengan sikap yang diambil Ten. Cowok itu sudah cukup menyelamatkannya.
Biasanya mungkin ia bisa terima dengan perlakuan Seunghee. Itu ekspresi sayang
dari seorang Seunghee pada sahabat-sahabatnya. Namun tidak untuk hari ini.
Doyoung sedang tidak ingin mendapatkan perlakuan seperti itu. Doyoung menoleh
karena ia merasakan seseorang meletakkan segelas minuman di hadapannya.
“Avocadofrape.”
Tatapan mereke bertemu.
Antara Jiwoo dan Doyoung saat cowok itu mendongak. Jiwoo sedikit mengangkat
sudut bibirnya seperti senyum. Namun hanya sesaat. Jiwoo buru-buru kembali
menegakkan badannya dan berbalik. Ia harus kembali bekerja. Jiwoo mendekap baki
kosong di dadanya. Ucapan Ten tentang Doyoung yang akan dijodohkan mendadak
seperti berputar di telinganya. “Kok sakit ya?” Jiwoo tersenyum. Lebih tepatnya
tersenyum sarkas.
***
Setelah lebih dari dua
jam mereka berkumpul, Doyoung dan teman-temannya sepakat untuk membubarkan
diri. Tersisa Ten, Taeyong, Rowoon dan seorang pemuda lagi yang belum lama bergabung.
Sejun. Sejun adalah salah satu teman sekelas Doyoung.
Doyoung sendiri memilih
pulang. Beda sekitar 30 menit dengan Yuta, Somin dan Johnny yang sudah
berpamitan lebih dulu. Saat melintasi counter, Doyoung sempat melirik.
Atau lebih tepatnya mencari seseorang. Namun apa yang ingin ia lihat tidak
berada di sana. Cowok itu kemudian melanjutkan langkah bersama Seunghee yang
berjalan bersebelahan dengannya. Mereka menuju mobil yang sama, mobil milik
Doyoung.
Seunghee lebih dulu
masuk ke dalam, namun Doyoung tidak buru-buru masuk. Cowok itu masih bertahan
untuk berdiri, meski ia sudah membuka pintu mobil. Tatapannya jatuh pada dua
pengendara motor yang berada tidak jauh dari depan mobilnya terparkir. Doyoung
mengenal dua cowok itu. Heedo dan Wooshin. Sedikit saja mengalihkan pandangan,
Doyoung menemukan sosok Jiwoo berjalan bersama Soyoung. Mereka baru saja
meningalkan café. Tentu tujuan dua cewek itu adalah Heedo dan Wooshin.
“Gue sama Wooshin ya,
Heedo genit. Males gue ngeladenin Jinhyuk cemburu sama Wooshin,” ujar Soyoung
terutama untuk Jiwoo.
“Modelan Heedo
dicemburuin?” ledek Wooshin sambil memberikan helm pada Soyoung.
“Ya gue mah selow. Kalo
Jinhyuk macem-macem sama lu juga tetep gue bakal maju duluan,” kata Heedo
dengan penuh percaya diri.
“Iyad eh iya, biar
cepet. Ayo ah balik.” Jiwoo memakai helm yang tadi disodorkan oleh Heedo.
Tiiin!
Tiba-tiba terdengar
suara klakson mobil yang membuat Jiwoo dan kawan-kawan sedikit terkejut lalu
menoleh ke arah sumber suara. Doyoung sendiri juga tak kalah terkejut karena
asal suara klakson tersebut adalah dari mobilnya sendiri. Pelakunya tentu saja
adalah Seunghee yang sudah sejak tadi berada di dalam mobil. Doyoung sempat menatap
Jiwoo yang juga sudah menemukan sosoknya berdiri di sana, sebelum akhirnya
cowok itu masuk ke dalam mobil.
Jiwoo menepuk pundak
Heedo sambil naik ke atas boncengan motor. “Ayo jalan, Do.”
Sementara di dalam
mobil, Doyoung tidak langsung meninggalkan tempat itu. Ia menatap Seunghee
cukup tajam. “Ngapain sih?”
Seunghee melipat
tangannya di depan dada, menatap cuek ke luar jendela. “Yang tadi pengen
buru-buru pulang siapa?”
“Ya emang gue,” ujar
Doyoung dengan nada sedikit malas.
“Ya terus ngapain masih
bengong? Gue tuh pengen ngehibur lu, Doy.”
Tatapan Doyoung perlahan
melembut. “Gue anter lu pulang, ya?”
Seunghee menoleh cepat.
“Doy! Udahlah ayo ke hotel dulu.”
Doyoung melebarkan mata.
Ia sudah tahu ke mana arah bicara Seunghee. “Lu itu temen gue. Bukan…”
Seunghee memegang tangan
Doyoung hingga membuat ucapan cowok itu terpotong. “Doy. Gue Cuma ngelakuin ini
ke kalian. Karena gue percaya kalian.”
Doyoung menghela napas.
Ia lalu mengenggam balik tangan Seunghee. Menatap cewek itu untuk memberikan
pengertian. “Iya gue tau. Kita kenal udah lama. Tapi maaf, gue nggak mau ngotorin
lu lebih dari ini. Karena lu temen gue. Sahabat gue.”
Seunghee menarik kembali
tangannya, tanpa merespon ucapan Doyoung sedikitpun. Doyoung sendiri juga lebih
memilih untuk melajukan mobilnya, meninggalkan tempat itu.
***
“Do. Boleh nyender, nggak?”
Heedo tertawa mendengar
pertanyaan Jiwoo. “Sejak kapan kalian harus minta ijin buat nyender ke gue?”
Jiwoo tidak menjawab.
Namun cewek itu merasakan Heedo menarik salah satu tangannya untuk dilingkarkan
ke pinggang pemuda itu. Jiwoo sendiri kemudian menyandarkan dagunya pada pundak
Heedo.
“Do. Kalo ada cowok yang
nyakitin salah satu diantara kita gimana?”
“Jelas gue bakal ngebela
kalian,” jawab Heedo dengan cepat. Memang bukan pertanyaan sulit. Heedo, Hoshi
dan Wooshin sudah berjanji pada diri mereka sendiri untuk melindungi
cewek-cewek sahabat mereka.
“Terus, kenapa sih lu
bertiga nggak ada yang pacarana atau bahkan cerita lagi suka sama cewek, gitu?”
Kali ini Heedo tidak
langsung menjawab. Ia menolehkan sedikit wajahnya ke arah samping. Tepat ke
arah wajah Jiwoo berada. “Woo. Inget perjanjian kita bahwa diantara kita
bertujuh nggak ada yang boleh pacarana satu sama lain sampai setelah kita
lulus?”
“Iya inget banget. Tapi
diantara kita Cuma Soyoung doang yang pacaran.”
“Emang lu pengen pacarana
juga, Woo?”
“Eh?” Jiwoo yang tidak
siap dengan pertanyaan Heedo sempat menjauhkan wajahnya dari pundak Heedo.
Namun hanya sesaat, gadis itu kembali bersandar di sana. “Nggak gitu, Do.
Ngapain pacaran kalo gue bahkan punya kalian yang bisa lebih dari pacar.”
Heedo tersenyum. Jiwoo
bisa melihatnya dari dalam kaca spion. “Gue bertiga juga pernah ngebahas hal
serupa. Kalo ditanya ada cewek yang ditaksir atau nggak ya jawabannya ada. Tapi
diantara kita nggak ada yang niat buat deketin cewek itu. Karena, gue pribadi
pengen liat kalian nikah sama seseorang yang pantas. Gue nggak akan nikah
duluan sebelum kalian para cewek.”
“Kenapa gitu?”
“Woo, kita Cuma
perjanjian nggak saling pacaran sampai lulus, kan? Kalau setelah lulus gue udah
kerja, sambil lanjut S2 mungkin, terus gue pengen nikahin lu gimana?”
Jiwoo sempat terdiam
untuk mencerna kalimat Heedo. “Jujur, gue sih nggak bakal nolak kalian meski
itu si Hoshi nyebelin sekalipun.”
“Tapi feeling gue
sih jodoh gue salah satu antara kalian.”
Jiwoo tertawa keras.
“Sumpah Heedo, gue udah serius dengerinya.”
“Diiih, beneran Woo.”
“Yaudah, yaudah.
Kira-kira siapa, Do?” Jiwoo terdengar mengalah.
“Ya nggak tahu. Gue mah
sama siapa aja asal salah satu dari kalian. Atau kalian berempat juga terima
dengan ikhlas, Woo.”
Jiwoo kembali menertawai
ucapan Heedo. “Jangan serakah napa, Do. Bagi Wooshin sama si Hoshi juga lah.”
“Iya nanti gue bagi kalo
inget ya.”
Lalu mereka kembali
tertawa. Menertawai khayalan mereka di masa depan. Tentang bagaimana jika Hoshi
menikah dengan Hayoung atau dengan Euijin. Lalu bagaimana jika Heedo yang
menikah dengan Jiwoo. Sampai akhirnya Heedo menghentikan motornya tepat di
depan rumah Jiwoo. Keduanya masih belum benar-benar bisa berhenti tertawa.
“Gue langsung balik ya,
Woo.”
“Hati-hati, Do. Makasih
banget udah jemput.”
“Udah tugas gue, Woo.”
Kali ini Heedo
benar-benar sudah pergi bersama motornya. Menyisakan Jiwoo yang masih menatap
kepergian Heedo. Tersenyum untuk bersyukur karena ia memiliki sosok seorang
Heedo di sisinya. Sahabat terbaiknya. Jiwoo bahkan lupa tentang sakit hatinya
karena Doyoung. Meski Doyoung bahkan tidak melakukan apa-apa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar