Pintu kamar Doyoung tiba-tiba
terbuka. Doyoung yang menyadari siapa yang datang, langsung melesat menuju dua
temannya itu. “Tolongin gue, dong. Woon. Woo.”
Wonwoo menemukan seorang
cewek berdiri di tengah kamar Doyoung. Cowok itu sampai mengerutkan kening
untuk memastikan bahwa dirinya tidak salah mengenali orang. “Sejeong?”
“Lu kenal?” Desak
Doyoung.
“Temen ceweknya Wonwoo,”
Rowoon yang menjawab. “Emang lu nggak tau?” pertanyaan Rowoon hanya dibalas
gelengan oleh Doyoung.
“Ngapain lu di sini?”
tanya Wonwoo, heran. “Di kamar Doyoung, lagi.”
Sejeong duduk di tepi
Kasur sambil menyilangkan kaki. “Gue Cuma mau jengukin calon tunangan gue aja,
kok. Kenapa emang?”
Bukannya membalas lagi
ucapan Sejeong, Wonwoo malah menoleh menuntut penjelasan pada Doyoung. Begitu
juga pada Rowoon. Doyoung menggeleng dengan ekspresi memelas. Cowok itu bahkan
tidak tahu apa-apa.
“Ya baru calon, kan?
Tunangan juga belom. Lagian juga nggak pantes cewek main ke kamar cowok.”
Sejeong melipat tangan
di depan dada, lalu melempar tatapan sinis pada Wonwoo. “Aneh gue denger lu
ngomong gitu. Kayak Yerin nggak pernah main ke kamar lu aja?”
“Ya emang nggak pernah,”
balas Wonwoo. “Terserah sih kalo nggak percaya.”
Sejeong mendengus
kemudian berdiri. Cewek itu berjalan ke arah tiga cowok yang menghalangi pintu.
“Jangan lupa nanti malem,” kata Sejeong pada Doyoung yang bahkan nggak ingin
menatap cewek itu.
Setelah Sejeong
benar-benar pergi meninggalkan kamarnya, Doyoung menyambar ponsel yang
tergeletak di atas tempat tidur sambil duduk di sana. Doyoung tampak
menempelkan ponsel ke arah salah satu telinganya. “Jung. Bisa ke kamar gue
sekarang? Cewek itu udah pergi, kok.” Doyoung menyimpan kembali ponselnya
setelah menyelesaikan panggilan.
“Gimana keadaan lu?” tanya
Rowoon yang duduk di sebelah Doyoung. Namun Doyoung mengubah posisi duduknya
menjadi bersandar pada kepala tempat tidur.
“Gue udah baikan kok.
Efek abis donor darah aja kemaren.”
Wonwoo sendiri ikut naik
ke atas tempat tidur, duduk di sebelah Doyoung sambil memeluk bantal di depan
dadanya. Mereka masih diam beberapa saat sampai akhirnya pintu kamar Doyoung
kembali terbuka dan memunculkan Jungwoo di sana yang kemudian masuk sambil
membawa laptop di salah satu tangannya. Jungwoo meletakkan laptopnya di atas
meja belajar yang berada di samping Doyoung, lalu menarik kursi untuk duduk di
sana.
“Lu tau tadu ada cewek
ke sini?” tanya Doyoung menuntut penjelasan. Menurutnya Jungwoo mengetahui
sesuatu.
Jungwoo mengangguk, lalu
menumpu kedua sikunya di atas paha, membuat posisi duduknya sedikit merunduk.
“Lu jalanin dulu aja, Bang. Tunangan doang, kok. Gue juga bakal bantu sebisa
gue ngelepasin lu dari cewek itu. Gue nggak akan ngebiarin kalian sampe nikah.”
Doyoung mengerutnya
keningnya. Tidak paham dengan arah pembicaraan Jungwoo. “Siapa yang mau
tunangan, sih? Bunda nggak ada omongan apa-apa sama gue. Dan gue bahkan baru
denger kemaren banget tentang gue yang bakal di jodohin. Itu lu juga kan yang
keceplosan?”
Jungwoo terunduk sesaat
tanpa merespon ucapan Doyoung.
“Tunggu deh,” kata
Wonwoo. “Dua hari lalu Yerin ngirimin gue undangan pertunangan Sejeong. Gue
nggak baca jelas, sih. Soalnya males. Jangan-jangan itu…” Wonwoo sengaja
menggantungkan ucapannya, menatap Doyoung dan Rowoon secara bergantian.
Terdengar helaan napas
yang cukup berat dari Jungwoo. “Gue juga kaget. Ternyata semua udah dipersiapin
dari jauh-jauh hari.” Cowok itu mendongan dan mendapati Doyoung, Wonwoo juga
Rowoon menatapnya. “Maafin gue, Bang. Gue juga baru tahu semalem. Dan gue
yakin, ayah sakit juga gara-gara mikirin hal ini.”
“Lu nggak salah, Jung.”
Rowoon menepuk pundak Jungwoo untuk menghibur adik dari temannya tersebut.
Doyoung melirik Wonwoo.
“Jadi, acaranya kapan?”
Wonwoo sedikit terkejut
dan seperti tidak siap menerima pertanyaan dari Doyoung. “Pertunangan elu?”
Wonwoo balik bertanya untuk memastikan ke arah mana pertanyaan Doyoung dan
hanya dibalas anggukan oleh Doyoung sendiri. “Malam ini.”
“Mau gue dateng buat
nemenin?”
Doyoung menggeleng cepat
pertanyaan dari Rowoon. “Bukan acara yang harus gue rayain bareng kalian.”
“Eh, Doy. Semalem tangan
siapa? Nggak mungkin Jungwoo, kan?” tanya Wonwoo memecah keheningan.
Diam-diam Jungwoo
memutar kursi Doyoung. Pura-pura sibuk memeriksa laptopnya yang tadi ia
letakkan di atas meja. Menghindari kontak mata dalam bentuk apapun dari Doyoung
ataupun kedua temannya.
“Oh, itu Jiwoo.” Doyoung
menjawab enteng.
“Jiwoo mana? Kayaknya
nggak pernah denger lu punya temen yang Namanya Jiwoo.” Wonwoo berujar dengan
tatapan menerawang.
Jungwoo masih mengawasi
tiga cowok itu melalui ekor matanya. Sedikit tidak percaya jika Doyoung sama
sekali tidak bereaksi dengan kejahilannya. Sebenarnya semalam Jiwoo tertidur di
kursi. Ketika Jungwoo masuk ke kamar Doyoung—untuk menawari Jiwoo makan malam
sebenarnya, Jungwoo melihat kedua orang itu justru sudah tertidur. Dan bukan
Jungwoo kalau tidak memiliki ide jahil. Jungwoo yang memindahkan Jiwoo ke
sebelah Doyoung. Bahkan Jungwoo juga yang membuat tangan Doyoung dan Jiwoo
berpegangan sebelum akhirnya ia memotret kejadian itu untuk ia kirimkan pada
grup chat milik Doyoung.
“Yang kerja di café lu,
Woon.” Doyoung memberikan jawaban sambil menunjuk Rowoon menggunakan dagu.
Ditempatnya berada,
Wonwoo benar-benar terkejut. “Kok bisa sampai lu sama dia semalem?” Dan
pertanyaan itu muncul begitu saja. Entah hanya karena pernasaran atau karena
tanpa sadar Wonwoo ‘merasakan’ suatu hubungan.
Doyoung sudah membua
mulut, namun ia rapatkan kembali. Tidak. Cowok itu tidak mau membahas tragedy
alkohol yang memalukan. “Gue ketemu di tempat donor darah. Kelar itu gue sakit,
dan Wooshin yang anterin gue. Ditemenin Jiwoo, deh.”
“Terus, kenapa bisa
sampe nginep?”
“Bunda yang
nyuruh."
***
Dua pintu yang terletak
bersamaan itu kompak terbuka. Masing-masing memunculkan Doyoung dan Jungwoo.
Doyoung yang tampak rapih dengan stelan jasnya, sementara Jungwoo masih
mengenakan kaus dan celana pendek. Melihat penampilan adiknya yang seperti itu,
Doyoung tidak bisa protes. Mereka kemudian berjalan bersamaan, meski Jungwoo
berjalan sedikit dibelakang Doyoung. Keduanya sama sama menuruni anak tangga.
“Bang,” panggil Jungwoo
yang ternyata sudah menghentikan langkahnya.
Doyoung ikut berhenti
kemudian berbalik. “Kenapa?”
“Gue udah cari tahu
semua latar belakang temen-temen lu.”
“Buat apa?” tanya
Doyoung dengan nada seperti tidak suka. “Nggak usah usik mereka lah, Jung.”
“Bokapnya Jeon Wonwoo
punya perusahaan yang sama seperti ayah.” Ucapan Jungwoo membuat Doyung
membatalkan niat untuk berbalik. Jungwoo menatap mata Doyoung dengan ekspresi
serius.
“Terus?” Tidak bisa
dipungkiri jika Doyoung benar-benar penasaran sekaligus merasa bodoh karena
tidak mengetahui apa-apa. Jungwoo sudah bergerak sejauh ini meski ia tidak tahu
apa maksud dan tujuan adiknya tersebut.
“Bokapnya Bang Wonwoo
masih salah satu kenalan ayah. Kalo aja dulu beliau nggak cerai sama istrinya,
mungkin lu bakal dijodohin sama kembarannya Wonwoo.”
Doyoung melebarkan mata.
“Wonwoo punya kembaran?” Benar-benar merasa bodoh. Bahkan ia tidak cukup tahu
tentang Wonwoo yang sudah ia kenal sejak awal kuliah.
“Tapi nggak tau ke mana
mereka berdua. Kesampingin dulu masalah itu, deh. Saran gue, lu temuin aja
bokapnya Bang Wonwoo. Lu belajar semuanya sama dia tentang bisnis yang ayah
jalanin. Toh, perusahaan juga masih diawasin sama ayah sendiri.”
Doyoung sesekali
mengangguk selama Junwoo menjelaskan. “Tadi Wonwoo juga bilang buat gue
hati-hati sama keluarganya Sejeong.”
Jungwoo menghela napas
sambil memegang salah satu pundak Doyoung. “Iya bener, makanya lu hati-hati aja.
Gue juga udah nggak bisa cegah hal ini terjadi.”
***
“Iya ini udah di jalan
kok, Bun. Kejebak macet banget,” kata Doyoung pada seseorang di telepon.
“Makanya bukan
berangkat daritadi kamu, tuh.”
Doyoung menjauhi ponsel
dari telinganya karena mendengar omelan Yoona. “Ini bunda tuh mihak siapa
sebenernya?” keluh Doyoung, pelan. Tidak ingin jika Yoona mendengar ucapannya.
“Yaudah, jangan
nyasar ya. Hati-hati di jalan.”
Doyoung menghela napas.
Ia lemparkan tatapannya ke luar jendela mobilnya yang terjebak di tengah
kemacetan setelah mengakhiri panggilan. Samar-samar Doyoung menarik bibirnya
membentuk senyum tipis. Cowok itu sebenarnya sengaja mencari jalan yang lebih
ramai. Lebih bagus malah kalau bisa sampai 2 hari.
Setelah sekitar hampir 1
jam, Doyoung akhirnya memasuki area Gedung tempat acaranya berlangsung. Acara
pertunangan dirinya dengan Sejeong. Seseorang biasanya pasti kesal jika tidak
menemukan lahan parkir yang kosong. Namun tidak untuk Doyoung yang dalam hati
justru berdoa agar tidak menemukan tempat parkir, lalu bisa ia jadikan alasan
untuk tidak menghadiri acara tersebut. Namun tidak bisa. Usai memarkirkan
mobilnya, Doyoung langsung bergegas menuju lift.
Selama di lift, cowok
itu hanya bersandar malas pada tembok. Begitu sampai, Doyoung langsung ke luar
dan menelusuri Lorong yang terdapat banyak pintu di kanan dan kiri. Namun hanya
ada satu pintu yang terlihat memiliki penjaga di sana. Di bagian tembok juga
terpajang layar LCD yang menampilan nama Doyoung dan Sejeong.
“Silahkan, Mas. Bisa
tunjukkan kartu undangannya?”
Doyoung termenung
mencerna ucapan salah satu petugas yang bertanya padanya. “Waduh, nggak ada,
Pak.”
“Mohon maaf kalalu begitu
anda tidak bisa masuk,” kata petugas itu dengan nada sopan. Sementara salah
satu petugas lainnya sibuk memeriksa undangan tamu lain yang kebetulan baru
datang.
“Oh iya, Pak.” Doyoung
mengangguk sopan, kemudian berbalik dan menyingkir dari sana. Doyoung
mengeluarkan ponselnya dan memeriksa grup chat.
//The Eliters
Wonwoo : “@Doyoung di mana?”
Wonwoo : “Ini acara udah mau mulai.”
Sejun : “Cukup tau gue, Doy. Tunangan nggak
ngundang-ngundang.”
Somin : “Serius Doy tunangan? Sama Sejeong.”
Rowoon : “Ngapain di tanya di grup sih @Wonwoo?”
Yuta : “Oleh-oleh ya, Doy.”
Taeyong : “Kelar tunangan langsung nge-room dong,
Doy?”
Seunghee : “Doyoung mah nggak kayak elu, bang @Taeyong.”
Wonwoo : “@Rowoon maaf, bro. Gue lupa.”
Johnny : “Beneran lu tunangan @Doyoung?”
Johnny : “Kok nggak ngundang, sih? Gue nggak apa-apa loh kalo
dilangkahin.”
Johnny : “Tapi gue kecewa kalo gini ceritanya.”
Ten : “Wonwoo doang yang diundang?”
Yujin : “Gue dateng sama keluarga gue karena diundang sama
keluarganya Sejeong.”
Yujin : “Jadi, ini calon tunangannya Sejeong itu si Doy?”
Yujin : “Gemes ih, cocok banget kalian.”
Rowoon : “Yang menurut lu cocok, bukan berarti cocok juga
buat yang ngejalanin.”
Yujin : “Yaa masih bisa pendekatan dulu lah.”
Wonwoo : “Sebenernya bukan masalah dipendekatannya, @Yejin.”
Yujin : “Terus?”
Wonwoo : “Tanya langsung ke Doyoung aja lah kalau pada kepo.”
Yujin : “Tapi mereka tunangan. Berarti mereka selama ini backstreet
dari kita-kita?”
Doyoung : “Karena nggak suka sama Sejeong.”
Doyoung : “Dan gue udah suka seseorang.”
Taeyong : “Siapa @Doyoung.”
Doyoung : “Nggak bisa gue ceritain. Sorry.”
Wonwoo : “Doy, serius lu di mana? Nyokap lu panik ini.”
Doyoung : “Ini gue udah di depan ruangannya tapi gue nggak
boleh masuk.”
Yuta : “Hah? Ngapain lu? Tapi kok bisa sih nggak dibolehin
masuk?”
Doyoung : “Karena nggak punya undangan.”
Wonwoo : “Konyol.”
Sejun : “@Yejin, jemput Doy gih sana. Katanya lu diundang,
kan?”
Rowoon. : “Aduh, Jun. Gue udah tahan padahal malah
diceplosin.”
Doyoung masih tertawa
melihat grup chat-nya. Sampai-sampai ia tidak menyadari jika Wonwoo
sudah berdiri di belakangnya. “Doy. Ini kalo nggak karena nyokap lu, gue juga
ogah ya nyamperin.”
Buru-buru Doyoung
menoleh sambil berdiri. “Gue udah nelponin bunda juga tapi hape bunda mati.”
Wonwoo menenggelamkan
tangannya ke dalam saku celana. “Nanggung banget. Kenapa nggak kabur aja
sekalian?” Wonwoo menatap temannya itu seperti merasa bersalah.
Doyoung menggeleng. “Gue
nggak mau ayah makin sakit. Anggep ini hanya sementara, oke? Hanya pencitraan
demi nyelametin perusahaan bokap gue.” Jeda sesaat sebelum Doyoung menghela
napas dan melanjutkan kalimatnya. “Andai sodara lu ada di sini, Won.”
“Maksudnya?” Wonwoo
meminta Doyoung untuk mempertegas ucapannya. Cowok itu tidak terlalu fokus
mendengarkan, tadi. Ia bahkan sampai menatap Doyoung dengan tatapan penasaran.
“Iya, sodara kembar lu.
Ya gue tau sih dulu orang tua lu pisah, kan?”
“Kembar? Gue bahkan
nggak tau kalau gue punya sodara,” ujar Wonwoo dengan nada lirih. Terasa
menyedihkan bagi Wonwoo. Ia bahkan seperti tidak tahu apa-apa tentang dirinya
sendiri. “Kalaupun ada, kayaknya nggak bakal bisa gantiin posisinya Sejeong.
Perusahaan bokap gue nggak sebesar perusahaan bokapnya Sejeong, Doy.”
“Ah. Udahlah.” Doyoung
hanya menepuk pundak cowok itu dan tidak ingin membahasnya lagi. Karena yang
harus ia lakukan adalah segera masuk ke dalam ruangan agar hari ini cepat
berakhir. Doyoung merangkul Wonwoo untuk mengajaknya masuk
“Pak, dia ini yang mau
tunangan, loh. Makanya nggak punya undangan.” Wonwoo berujar pada salah satu
petugas sambil menyodorkan ponselnya ke arah mesin scan yang dipegang
petugas tadi.
“Waduh, maaf ya, Mas.
Kenapa nggak bilang? Saya jadi nggak enak, Mas.”
Doyoung hanya terkekeh
pelan. “Nggak apa-apa, Pak. Saya justru seneng tadi diusir.”
***
//The Eliters
Yujin : *Mengirim foto*
Taeyong : “Eh gila, itu Sejeong cantik bener ya.”
Taeyong : “Tau Doyoung nggak mau, tadi gue yang gantiin deh.
Hahaha.”
Johnny : “Ngakak Doyoung mukanya tegang bener kayak mau
disunat.”
Sejun : “Hahahaha. Doyoung kenapa, sih?”
Seunghee : “Yaudah nggak apa-apa kalo nggak mau ngundang
temennya, tapi makan-makan ya tetep harus berjalan lah. Terserah bapak @Doyoung
aja lah mau kapan dan di mana.”
Yuta : “Setuju. Seneng nih gue kalo urusan makan-makan.”
Wonwoo : *Mengirim foto dirinya bersama Doyoung.”
Yujin : “Doyoung kenapa lebih seneng pas foto sama Wonwoo
dibanding sama Sejeong?”
Ten : “Plot twist. Doyoung sebenernya tunangan sama
Wonwoo.”
Taeyong : “Wkwkwkwkwk.”
“Sial, gue dikira homoan
sama elu, Won.” Doyoung menutup pintu mobilnya dengan sedikit kasar.
Wonwoo yang terkekeh geli sambil
masuk ke dalam mobil, duduk di kursi penumpang di sebelah Doyoung. Doyoung
sudah menyalakan mesin mobil, namun ia tidak buru-buru pergi dari sana. Doyoung
meloskan cincin yang meligkar di jari manisnya. Doyoung meletakkannya asal box
di dashboard mobilnya.
“Awas ilang, Doy,” ledek
Wonwoo.
“Nggak peduli, Won.”
Johnny : “Tapi sejujurnya gue bingung, ini gue harus ngucapin
selamat atau nggak ke Doyoung?”
Taeyong : “Gue sih nggak bakal ngucapin, tapi tetep terima traktiran.”
Ten : “Gue sih nggak bakal ngucapin, tapi tetep terima
traktiran.(2)”
Yuta : “Ayo sini ke tempat yang kemaren Seunghee ajakin.”
Yuta : “Asik juga tertanya.”
Taeyong : “Lagi nggak pengen mabok, gue. Besok siang aja lah
ngumpul, mau ke mana? Nerus ke Bali boleh tuh.”
Wonwoo : *Mengirim foto Doyoung yang tengah menyetir.*
Sejun : “Oh, kayak gitu muka yang abis tunangan?”
Ten : “@Sejun kenapa emang, Jun?”
Sejun : “Suram. Wkwkwkkw.”
Yuta : “On the way ke sini, kan @Wonwoo?”
Wonwoo : “Gue sama Doyoung mau langsung ke Bandung.”
Wonwoo : “Mau ke rumah gue, jenguk bokap sebentar.”
Taeyong : “Dih nggak ngajak-ngajak pada kebiasaan banget,
sih.”
Wonwoo : “Yang mau ikut, absen. Temuin gue di K*C sebelum
jalan tol.”
Wonwoo : “Tapi ketemuan di jalan.”
Wonwoo : “Batas sampe jam 11 malem.”
Taeyong : “Langsung pesen ojek online nih gue.”
Taeyong : “@Wonwoo pesenin gue juga ya. Apa aja.”
Yuta : “@Taeyong, lah nggak jadi?”
Taeyong : “Nggak deh, gue butuh ke luar kota bentar.”
Somin : “@Taeyong besok siang juga nggak jadi?”
Taeyong : “Nggak lah Somin cantik. Duh, gue tidurin juga lu.”
Somin : “Ogah lu mesum, Bang @Taeyong.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar