14. THE REAL FINAL
Seperti
biasa, makan malam bersama. Suasana yang ramai mengakibatkan sedikit antrian
panjang. Nalula yang sedikit terlambat datang membuatnya harus mengantri di
urutan terakhir. Beruntung, piring bersih yang tersisa cukup untuk dirinya
seorang. Begitu meraihnya, tanpa sengaja bersamaan dengan seseorang yang juga
mengambil piring itu. Alhasil, piring yang tersisa seolah diperebutkan dua
orang. Nalula mendongak, ternyata orang itu adalah Lingga.
“Yaudah, buat lo duluan aja.” Kata
Nalula cepat-cepat.
Tapi Lingga yang lebih dulu melepaskan
tangannya dari piring itu. “Gak perlu. Buat lo aja.” Ujar Lingga dingin. “Gue
gak begitu lapar.” Lanjutnya tanpa sedikitpun menunjukkan keramahan pada
Nalula. Sebelum Nalula mereasponnya, Lingga cepat-cepat pergi meninggalkan
Nalula.
“Dewa.” Nalula langsung menangkap tangan
Lingga sebelum Lingga semakin jauh meninggalkannya.
Lingga pun menoleh. Ia melepaskan
tangannya dari tangan Nalula dengan lembut. “Jangan pernah panggil gue dengan
nama Dewa.” Pintanya dengan nada suara yang datar namun mengancam. Dan kembali
meninggalkan Nalula.
Nalula yang tak siap dengan perubahan
sikap Lingga, hanya bisa pasrah. Tak lama, Nalula sudah membawa piringnya yang
terisi serta minumannya. Meja-meja di sana rata-rata telah terisi penuh.
Meskipun ada satu yang kosong, tapi Nalula tak mengenal orang-orang di meja
itu. Nalula pun harus sedikit berkeliling mencari sisa kursi kosong dengan
penghuni yang juga ia kenal. Beruntung baginya yang melihat satu kursi kosong
bersama Zagar, Brian dan Ilan. Ia pun cepat-cepat kesana dengan perasaan lega.
Begitu sampai, lagi-lagi bersamaan dengan datangnya Lingga yang kini juga telah
membawa makanan dan minumannya.
Begitu tau dirinya harus kembali berebut
dengan Nalula, Lingga memilih untuk mengalah. “Buat lo aja, gue bisa cari
tempat lain.” Ujarnya ketus.
Sebelum Lingga benar-benar pergi, Brian
berdiri. “Gue udah selesai kok. Lo bisa duduk di sini.” Ucapnya.
Lingga hanya melirik sedikit. “Gak
perlu. Makasih.” Tanpa menunggu respon apa-apa lagi, Lingga pun pergi.
Nalula yang kembali kesal dengan sikap
Lingga, sedikit membanting piring dan gelasnya ke atas meja lalu duduk di
samping Zagar yang menatapnya khawatir.
“Kenapa lagi lo berdua?” Tanya Ilan
curiga.
Nalula malah menatap Ilan yang duduk di
seberangnya. “Tumben lo di sini? Gak sama Riva?”
Ilan melirik Zagar yang masih sok sibuk
melanjutkan makannya. “Gak usah sok ngalihin pembicaraan.” Ujarnya, kemudian
menenggak minumannya dan menyandarkan badannya ke kursi.
“Yaudah lah. Gak usah dibahas sekarang.”
Kata Brian mencoba menengahi. “Mending lo makan dulu, Nal.”
Nalula menarik piringnya. Lalu ia
menengok ke kanannya. Tak diduga, ia justru dapat melihat dengan jelas, meja
yang letaknya cukup jauh dari tempat ia berada. Meja yang sedikit lebih besar
itu dihuni Kharis, Vindhya, Reva, Riva, Danu, dan Diaz, serta Lingga yang
ternyata juga bergabung di sana.
Kharis dan Vindhya seolah memperlihatkan
kedekatan di antara mereka. Di mana ketika Vindhya pergi mengambilkan minuman
untuk Kharis. Dan ketika Kharis membersihkan tepi bibir Vindhya menggunakan
tangannya. Sontak membuat Nalula langsung menjauhkan kembali piringnya dan
berdiri.
“Ada yang mau menenin gue makan diluar?”
pintanya tanpa basa basi.
Ilan dan Brian saling melempar
pandangan. Mereka sama-sama melihat ke Zagar yang seperti tak mempedulikan
sikap yang ditunjukkan Nalula.
“Lo pergi sama Zagar aja, Nal.” Ujar
Brian tanpa meminta persetujuan dari Zagar sebelumnya.
Zagar yang semula sibuk dengan makannya,
langsung tersedak dan buru-buru menenggak minumannya setelah mendengar
perkataan dari Brian. Nalula sendiri baru menyadari bahwa Zagar bahkan belum
menghabiskan setengah dari isi piringnya. Padahal yang Nalula tau, sejak
kedatangannya, Zagar asik sendiri dengan makannya.
Zagar menatap Nalula yang masih berdiri.
“Emangnya…” belum sempat Zagar melanjutkan kata-katanya, ia justru tanpa sadar
melihat ke tempat Kharis berada. Semakin jelas ketika Zagar sedikit menggeser
badannya. Kharis dan Vindhya masih terlihat mesra meski di depan Danu dan
kawan-kawan. Zagar belum benar-benar lepas dari sedakannya. Brian yang
menyadari gelas Zagar sudah kosong, langsung menyodorkan minuman miliknya.
Zagar meraihnya sambil menatap Nalula yang juga melihat padanya penuh harap.
“Lo ngerti maksud gue kan?” tanya
Nalula.
Zagar yang belum bisa mengambil sikap
melirik bergantian ke Ilan dan Brian. Mereka justru terlihat seolah mendesak
Zagar untuk pergi bersama Nalula. Zagar pun akhirnya perlahan berdiri. Sontak
Nalula langsung menggenggam tangan Zagar.
“Lo masih mau nolongin gue kan, Gar?”
Nalula kembali bertanya. Kali ini dengan penuh harap.
Zagar mungkin tak mengatakan ‘iya’ atau
pun mengangguk untuk menuruti permintaan Nalula. Tapi raut wajahnya menunjukkan
bahwa iya siap melakukan apa saja untuk Nalula. Dan tanpa segan, Nalula menarik
tangan Zagar. Meski pelan, namun Zagar seperti merasakan sebuah tarikan kuat
yang membuatnya tak bisa menahan laju Nalula.
Nalula dan Zagar berjalan ke pintu
keluar dan untuk bisa sampai ke sana, mereka harus melewati meja yang dihuni
Kharis dan yang lain. Nalula sendiri berusaha tak mempedulikan keberadaan
penghuni meja itu. Tak sengaja, di sana mereka bertemu Tegar dan membuat Nalula
berhenti. Tepat di belakang Lingga berada.
“Eh, Nal. Lo sama Zagar jadian?” tanya
Tegar dengan polosnya dan sedikit terdengar histeris karena melihat tangan
Nalula yang terkait erat dengan tangan Zagar.
Suara Tegar yang cukup keras, membuat
beberapa orang di sana menatap ke Nalula dan Zagar yang tidak juga melepaskan
tangan mereka. Termasuk Kharis dan sekitar. Kecuali Lingga yang masih pada
posisinya, meski rahangnya terlihat mengeras dan tangannya menggenggam sendok
dengan cukup kuat mendengar pertanyaan Tegar.
“Iya, Gar.” Jawab Nalula. Meski
sebenernya ia ingin berkata tidak. Tapi posisi di mana dirinya berada dan
karena orang-orang disekitarnyalah yang membuat Nalula terpaksa berbohong.
Zagar sendiri sebenarnya ingin mengklarifikasi ucapan Nalula, tapi Nalula meremas
tangannya supaya Zagar tak mengacaukan apa yang ia lakukan. “Emangnya kenapa?”
“Owh…” Tegar manggut-manggut. “Ya gapapa
lah, Nal. Itu hak kalian.” Katanya santai. “Oke deh. Langgeng ya buat kalian.”
Ujar Tegar
lagi dan dengan cueknya langsung pergi dari sana.
Lingga berdiri dan berbalik. Dan tepat
berhadapan dengan Zagar. Tangannya masih mengepal. Tatapannya seolah siap
menghajar Zagar dengan bogemannya. Tapi Zagar sama sekali tak begitu peduli
dengan kemarahan Lingga terhadapnya. Bahkan ketika Nalula kembali menarik
tangannya, Zagar hanya menatap datar ke arah Lingga. Bahkan sampai Nalula dan
Zagar tak terlihat lagi dibalik pintu.
“Jadi mereka benar-benar pacaran?” Tanya
Kharis yang membuat kepalan tangan Lingga melemah hingga akhirnya Lingga
kembali terduduk di kursinya. Dan pertanyaan Kharis, sama sekali tak ada yang
bisa menjawabnya.
@@@
Ketika
sarapan, Nalula yang paling dahulu sampai dibandingkan dengan para punggawa Rosengard
yang lainnya. Nalula duduk seorang diri. Tak lama, Kharis muncul bersama
Vindhya dan meminta izin untuk bergabung dengan Nalula. Nalula sendiri terlihat
sedikit mengangguk dengan cukup malas. Kemudian Diaz dan Danu juga muncul dan
bergabung dengan mereka. Sesaat mereka disibukkan oleh aktivitas masing-masing.
“Nal,
sejak kapan kamu suka sama bola?” tanya Vindhya yang mencoba untuk lebih dekat
dengan Nalula.
Pertanyaan
itu bertepatan ketika Nalula menyelesaikan sarapannya. Lalu ia berdiri. “Maaf.
Bukannya gak mau jawab. Tapi saya buru-buru.” Kata Nalula tampa sedikitpun
melirik ke Vindhya lalu pergi dari sana. “Zagar.” Teriak Nalula begitu berbalik
dan mendapati sosok Zagar melintas tak jauh dari sana.
Lingga
langsung terlihat tak bersemangat dan menyudahi makannya meski isi dalam
piringnya hanya berkurang sedikit.
@@@
Pertandingan
puncak selama perhelatan turnamen tahun ini diawali dengan perbutan tempat
ke-tiga antara SMA Siliwangi melawan SMA Teladan. Dan kemenangan diraih SMA
Siliwangi dengan skor akhir 2-1.
Zagar
berdiri di salah satu sudut koridor stadion. Lingga, Diaz dan Danu terlihat
melintas. Zagar terlihat mempersiapkan diri. Diantara mereka, Lingga lah yang
paling tajam menatap Zagar. Ia pun berhenti tepat di depan Zagar. Tanpa
berkata-kata, Lingga menjatuhkan tas nya dan melayangkan sebuah tinjuan ke
wajah Zagar hingga membuatnya terjungkal.
“ZAGAR…!!!”
terdengar suara histeris Nalula dari ujung koridor. Secepat mungkin ia berlari
lalu menghampiri Zagar untuk membantunya berdiri. “Lo gapapa?”
“Nal,
lo ngapain ngebelain dia?” pertanyaan Diaz membuat Nalula terdiam lalu berbalik
dan menatap satu persatu orang-orang dihadapannya.
“Seharusnya
gue yang tanya!” ujar Nalula tegas. “Ada masalah apa kalian sama Zagar!”
“Cuma
sedikit say hello aja kok sebelum kita tanding.” Lingga yang menjawab dengan
entengnya. “Kenapa? Gak terima kalo PACAR LO TERCINTA gue hajar!” ujar Lingga
lagi yang terkesan menyindir dengan member penekanan ketika mengucapkan ‘pacar
lo tercinta’. “Mau balas?” Lingga seolah menantang dengan mendekatkan wajahnya
ke Nalula. “Nih.”
Dan…
BBUUKKK…!!! Lingga terlihat terjungkal. Pelakunya bukanlah Nalula, melainkan
Zagar. Diaz yang tak terima sahabatnya di pukul, balas memukul Zagar seperti
apa yang dilakukannya terhadap Lingga tadi. Zagar beruntung Diaz hanya
memukulnya sekali. Itupun karena Danu cepat-cepat menahan tubuh Diaz yang
terlihat sedikit kalap.
“Diaz
cukup!” teriak Nalula tepat di depan wajah Diaz. Ia pun terlihat seolah
melindungi Zagar dibalik punggungnya.
“Lo
yang cukup, Nal!” Diaz tak mau kalah. Ia melepaskan diri dari tubuh Danu.
Sementara Zagar dan Lingga kini telah terlihat kembali berdiri. “Kenapa sikap
lo berubah?”
“Oh
ya?” Nalula malah menantang. “Apa yang lo tau dari perubahan sikap gue?”
“Yang
gue tau, sikap lo berubah sejak lo makin deket sama cowok ini!” Diaz menunjuk
ke arah Zagar yang kini berdiri tepat di belakang Nalula.
Zagar
tersenyum pahit dan menatap Diaz. Nalula sendiri berusaha tetap menghalangi
Zagar agar tetap berdiri dibelakangnya. “Gue rela dihajar seluruh punggawa Rosengard
sekalipun. Tapi satu hal yang gak bisa gue terima.”
“Gue
setuju kalo lo rela digebukin anak-anak Rosengard.” Lingga berkomentar
yang dihalangi Danu yang berdiri di antara dirinya dan Diaz.
“Tunggu
sampe Zagar selesai bicara.” Perintah Danu.
“Apa?”
Diaz meminta Zagar meneruskan ucapannya tadi.
“Silahkan
lo menganggap gue membawa dampak buruk untuk Nalula. Tapi jangan pernah kalian
nyalahin sikap Nalula.” kata Zagar akhirnya.
“Kenapa
jadi lo yang ngelarang?”
Zagar
kembali tersenyum. “Menurut kalian, siapa yang udah bikin Diaz bisa jadi
asistennya Kharis?”
Diaz,
Danu dan Lingga saling pandang. “Kita tau, itu semua Nalula yang minta langsung
ke nyokapnya Diaz.”
Nalula
tercengang mendengar apa yang sebelumnya dikatakan Zagar. Ia menoleh dan
menatap mata Zagar yang baru ia sadari pula, bahwa telah lama Zagar tak mengenakan
kacamatanya. “Gar, pliss jangan katakan lagi.” Pintanya.
“Dan
siapa yang udah minta izin ke nyokapnya Diaz agar Diaz diperbolehkan main bola
lagi?” Zagar masih melanjutkan meski Nalula menatapnya penuh permohonan. Zagar
akhirnya merespon Nalula. “Mereka harus tau semuanya, Nal.”
“Iya
tapi gak sekarang.”
“Gue
gak peduli.” Kata Zagar lagi sebelum akhirnya kembali menatap Lingga cs. “Dan
apa kalian pikir, semua yang udah dilakukan Nalula itu gratis?”
Masing-masing
mereka mencerna tiap kata yang diucapkan Zagar. “Maksudnya?” Tanya Danu yang
kurang mengerti.
“Nalula
mengajukan syarat.” Zagar kembali meneruskan.
“Gue gak
mau denger lagi.” Keluh Nalula yang kemudian pergi dari sana. Namun beruntung
bagi Zagar yang berhasil meraih tangan Nalula sebelum Nalula benar-benar telah
jauh melangkah.
“Jika
Rosengard
berhasil menjadi juara, Nalula minta nyokapnya Diaz untuk tak berharap banyak
karena Nalula memilih untuk tetap tinggal bersama Kharis.” Zagar terus berujar
seolah tak mempedulikan Nalula. Ia pun semakin kuat menahan tangan Nalula
ketika Nalula sendiri berusaha untuk melepaskan diri. “Tapi jika Rosengard
kalah, Nalula akan rela untuk tinggal bareng lo dan nyokap lo.” Ucapan Zagar
yang terakhir ditujukan untuk Diaz. Karena ia mengatakannya sambil menatap
sudara kembar Nalula ini.
“Apa
semua yang diucapkan Zagar bener, Nal?”
Nalula
tak ingin menjawab pertanyaan Diaz. Yang ia inginkan hanyalah pergi dari tempat
itu tanpa mendengar semua rahasianya dibongkar oleh Zagar.
“Tapi
kenapa lo bersikap gak adil ke kakaknya Danu?” Lingga tak mau ketinggalan.
Untuk
masalah yang satu ini, nampaknya cukup berat bagi Zagar untuk mengatakannya. Ia
sempat melihat ke Nalula yang tak bergeming. Nalula hanya menatap ke arah lain
untuk menghindari kontak langsung ke mata Zagar. Namun tangannya tetap berusaha
memberontak.
“Gue
rasa, mereka Cuma salah paham aja.” Zagar berbohong.
“Tapi
kenapa lo rela ngelakuin ini, Nal?” tanya Diaz.
“Awalnya
gue Cuma udah gak mau terlibat di sepakbola. Dan kartu as terakhir Rosengard
adalah lo.” Nalula menjawab tanpa menoleh sedikitpun ke Diaz. “Ternyata gue
salah. Masih ada hal yang harus gue selesain. Dan satu-satunya cara adalah
dengan bergabung sama kalian.”
“Tapi
kenapa semuanya harus dipertaruhkan?” Diaz terlihat sedikit kecewa.
Nalula
akhirnya menoleh dengan posisi tangan yang masih dalam genggaman Zagar. Cukup
lama Nalula menatap hampa ke Diaz. “Apa bokap pernah nemuin lo?” Nalula sedikit
menunggu respon
Diaz. “Nggak kan? Karena nyokap juga gak pernah nemuin gue sebelumnya.” Tak ada
satupun yang benari merespon ucapan Nalula. “Kita dipertemukan dalam kondisi
sulit. Setelah bokap gak ada, nyokap tiba-tiba muncul di hidup gue dan minta
gue balik.”
“Tapi
dia nyokap lo juga.” Danu berujar pelan.
“Sederhana
memang.” Nalula member jeda di ucapannya. “Tapi semua gak segampang itu, Dan.”
Nalula melihat di mana Danu berada, dan air matanya pun pecah.
Dirasa
genggaman tangan Zagar mulai melemah, Nalula tak buang kesempatan untuk melarikan
diri. Namun terlambat bagi Zagar atau pun Lingga yang sebelumnya berada tidak
jauh dari Nalula untuk menangkap kembali tangannya. Mereka hanya memperhatikan
langkah Nalula ke ujung koridor. Di sana terlihat Kharis yang berjalan ke arah
berlawanan sehingga Nalula sempat sedikit menabrak bahu Kharis. Tapi Nalula
sama sekali tak mempedulikan keadaan Kharis. Ia terus saja berlari hingga
sosoknya tak terlihat di belokan ujung koridor.
“Kasih
tau sama gue, siapa di antara kalian yang udah bikin Nalula nangis?” tanya
Kharis sedikit tersulut amarah.
“Gue.”
Jawaban Zagar membuat Diaz, Lingga dan Danu melebarkan mata mereka tanda tak
percaya.
“Hebat.”
Hanya itu kata yang keluar dari mulut Kharis sebelum akhirnya mendaratkan satu
tamparan di pipi kiri Zagar kemudian pergi. Tapi nampaknya sama sekali tak ada
sedikitpun kekecewaan Zagar terhadap sikap Kharis terhadapnya. Justru rasa lega
lah yang dialami Zagar.
@@@
Pertandingan
terakhir yang sudah sangat di nantikan. Partai final antara SMA Jakabaring
melawan SMA Rosengard.
Nampaknya turnamen tahun ini akan mendapatkan juara baru. Dimana sang juara
bertahan—SMA Siliwangi—harus rela hanya menduduki posisi ke-tiga setelah
sebelumnya mengalahkan SMA Mandala.
Sebelum
memasuki lapangan, kedua punggawa dari masing-masing tim bersiap dangan
berbaris di pinggir lapangan sesuai klub. Lingga dan Zagar berdiri bersebelahan
di barisan terakhir. Beberapa pemain terlihat sambil melakukan sedikit
peregangan.
“Gue
mau kita bertaruh.” Tantang Zagar tanpa menoleh di sela-sela aktivitasnya
seperti yang lain. Berlari-lari ditempat.
Lingga
yang sadar Zagar berbicara kepadanya, langsung menoleh hati-hati. “Apa yang mau
lo pertaruhin?” meski feelingnya gak enak, Lingga tetap balas menantang.
“Nalula.”
jawab Zagar dengan entengnya, kemudian dengan tatapan yang bisa dibilang cukup
meremehkan, Zagar menatap Lingga.
Kecurigaan
Lingga benar. Ia pun cukup terbelalak mendengarnya. “Lo gila?”
Zagar malah
tersenyum. Ia mengawasi sekitar. “Gila?” balas Zagar. “Tapi gue yakin lo pasti
gak nolak.” Zagar terdengar mengecilkan volume suaranya ketika beberapa rekan
se-timnya juga beberapa dari Dipokar mengawasi pembicaraannya dengan Lingga.
Belum
sempat Lingga kembali menjawab, barisan perlahan maju untuk memasuki lapangan.
Layaknya pertandingan resmi, seluruh pemain yang berada di lapangan bersalaman.
Kick off
babak pertama pun dimulai. Diawali dengan tendangan operan dari Ilan ke Danu.
SMA Rosengard
—melalui duet Lingga dan Diaz—menekan barisan pertahanan SMA Jakabaring di
awal-awal pertandingan. Zagar yang biasa beroperasi di depan pun harus ikut
mundur ke barisan pertahanan. Zagar yang berposisi di sayap kanan seringkali
berpapasan dengan Lingga yang berada di sisi kiri lapangan Rosengard.
Adanya insiden kecil, membuat wasit harus menghentikan pertandingan untuk
sementara waktu.
Zagar
tak menyia-nyiakan waktu untuk menghampiri Lingga yang berdiri tak jauh
darinya. Lingga sendiri sepertinya langsung mengerti dengan kedatangan Zagar.
“Mau taruhan apa dari Nalula?” Sergah Lingga sebelum Zagar benar-benar berada
di hadapannya.
Zagar
tersenyum menanggapi tebakan Lingga yang sangat tepat. “Kalo Jakabaring menang,
gue mau lo ngelepasin Nalula buat gue.” Kata Zagar tanpa basa-basi. “Dan bantu
gue ngedapetin Nalula.” tambahnya.
“Maksudnya?”
Lingga memandang bingung Zagar. “Bukannya kalian udah jadian?” Tanya Lingga
dengan enggannya.
Lagi-lagi
Zagar tersenyum mengawali responnya. “Lo boleh percaya atau nggak, tapi gue
berani bersumpah demi apapun, semua yang lo denger itu bohong. Gue emang punya
perasaan ke Nalula, tapi kita belom jadian.”
Lingga
tampak sulit berekspresi. Entah ia harus senang atau malah sebaliknya. Tapi
jelas terlihat, meski samar, ada segores senyum di wajahnya. “Kalo Rosengard
yang menang?” Balas Lingga penuh percaya diri. Ada sedikit perasaan lega di
dalam dirinya.
Pertanyaan
Lingga bertepatan dengan kembali bergulirnya pertandingan yang sebelumnya
sempat sedikit tertunda. Baik Lingga atau pun Zagar, harus kembali focus ke
posisi masing-masing. “Lo boleh minta apa aja dari gue.” Teriak Zagar karena
kini ia sudah berlari jauh meninggalkan Lingga.
Di
sana Zagar berpapasan dengan Ilan yang langsung memandanginya dengan tatapan
curiga. Zagar pun memahami kecurigaan sahabatnya itu dikarenakan oleh sedikit
perbincangannya dengan Lingga tadi. “Sorry, Lan. Kali ini gue gak bisa cerita
dulu.”
Tampaknya
Ilan sangat memahami itu. Ia langsung menoleh ke arah kiri, tepat di mana
Nalula berada. Ini memang rencana mereka. Ilan hanya mengangkat bahunya
menandakan bahwa ia tak mendapat hasil apapun. Zagar yang menyadarinya hanya
memberikan senyuman dan sedikit kedipan mata menggoda untuk Nalula yang
menatapnya datar.
@@@
Pertandingan
kembali dilanjutkan. Kali ini gantian Rosengard yang diserang oleh dua
striker Jakabaring, Bagas dan Christ. Tak luput, Zagar pun ikut membantu
penyerangan. Kali ini bola berada di kaki Zagar yang berdiri sedikit diluar
area kotak penalty Rosengard.
Di sana ia terus dibayang-bayangi Irham dan Hexa. Dalam keadaan terdesak, Zagar
justru malah melepaskan umpan lambung ke mulut gawang Rosengard yang hari itu dikawal
oleh Windu. Beberapa orangpun melompat. Disana ada Anjar, Khai dan Christ,
namun bola dapat dihalau oleh Khai. Namun sayang, bola justru jatuh tepat di
kaki Bagas yang berdiri bebas. Kesempatan emas yang tak disia-siakannya untuk
merobek gawang Windu di menit ke-10. 1-0 keunggulan untuk SMA Jatidiri.
Seluruh
pemain dan official klub SMA Jatidiri pun bersorak menyambut gol yang dicetak
oleh Bagas. Beberapa yang berada di dalam lapanganpun berhamburan ke arah
Bagas. Kejadian unik pun terjadi. Bagas yang usai mencetak gol langsung
berbalik dan berlari. Orang pertama yang dilihatnya adalah Diaz, yang memang
berdiri tak jauh dibelakangnya. Dan tanpa sadar, Bagas justru memeluk Diaz yang
tampak sangat bingung. Bagas tak begitu mempedulikan sikap janggal yang ditunjukkan
Diaz. Ia kini berlari menuju Danu dan Lingga yang berdiri berdampingan. Tak
ayal, Bagaspun memeluk mereka bersamaan. “Kok kalian gak keliatan seneng sih?”
tanya Bagas dengan polosnya. Ia memang belum menyadari sikap anehnya.
Danu
menatap Lingga yang juga balik menatapnya. Lingga hanya mengangguk sedikit.
Maksudnya adalah mengajak Danu untuk tak mengecewakan kebahagiaan Bagas. Biar
gimanapun, Bagas tetap sahabat mereka. “Iya, Gas. Kita ikut seneng kok.” Kata
Danu akhirnya. Meski hanya ingin menghibur sahabatnya. Kemudian, Bagaspun
melepaskan pelukannya.
Tak
lama, Bagas berlari ke tepi lapangan. Kharispun jadi sasaran pelukan Bagas
berikutnya. Kharis hanya berdiri diam tak bereaksi. Hingga sampailah pada sosok
Nalula yang berdiri tak jauh dari posisi Kharis berada sambil melipat
tangannya. Bagas mendapati tatapan aneh yang ditunjukkan Nalula. Disinilah
akhirnya Bagas menyadari atas apa yang dilakukannya. Sontak, pelukannya
terhadap Kharispun terlepas.
Bagas
langsung memandang berkeliling. Malu rasanya dilihat seluruh pasang mata yang
memadati stadion. “Maaf kak.” Ucapnya pada Kharis sebelum akhirnya kembali ke
dalam lapangan. Ia hanya bisa tertunduk.
Zagar
merangkul Bagas dari belakang. “Kita gak nyalahin sikap lo kok.” Ujar Zagar
berusaha menghibur Bagas yang menyesali sikap bodohnya. “Biar gimana pun,
mereka adalah sahabat lo.”
Pertandingan
pun kembali dilanjutkan.
@@@
LOCKER ROOM
SMA ROSENGARD…
Suasana
cukup hening dalam beberapa saat. Karena ini babak final, jadi tertinggal satu
angka saja bukan perkara mudah untuk mengejarnya. Sialnya, semua berimbas ke
seluruh punggawa SMA Rosengard.
Nalula
terlihat gelisah menunggu Kharis berkomentar. Perasaannya semakin gak nyaman
melihat Vindhya semakin tak bisa jauh dari keberadaan Kharis. Beruntung sebuah sms
masuk dan menyelamatkan kegelisahannya. Nalula berdiri tepat ketika Kharis akan
bicara.
“Ada
yang mau kamu omongin, Nal?” tanya Kharis.
Nalula
yang tak siap, memandang berkeliling. “Nal, mau permisi keluar sebentar.”
Katanya. Dan sebelum mendapat persetujuan dari Kharis, Nalula suda menyeruak
keluar locker room.
@@@
Diluar,
Brian sudah menunggunya.
“Lingga
sama Zagar taruhan buat ngedapetin lo.” Kata Briab tanpa basa basi ketika
Nalula baru saja menutup pintu.
“Hah…!”
Nalula terbelalak. “Mereka gila apa?”
“Ya.”
Nalula
berbalik. Ilan sudah ada dibelakangnya.
“Mereka
berdua gila karna cintanya ke lo.” Ujar Ilan lagi. Ilan muncul bukan dari dalam
locker room. Tapi dari arah lain. Nalula baru menyadari kalau sejak tadi ia tak
melihat Ilan di dalam.
“Ya
tapi…” Nalula hampir tak bisa berkata apa-apa. “Gak harus pake taruhan kan?”
Nalula gantian memandang Brian dan Ilan.
Brian
terlihat mengangkat bahu. “Ini jalan yang mereka pilih.” Ujarnya pasrah.
Beneran.
Nalula bener-bener bingung. Ia gak tau harus bersikap seperti apa. “Ini gak
adil buat gue.”
“Adil
atau nggak, permainan ini akan tetap berjalan.” Ilan memperingkatkan. “Dan
salah satu dari mereka harus siap kalah segalanya.” Lanjutnya.
Nalula
menatap Ilan penuh curiga. “Berarti lo udah tau semua permainan mereka?”
Ilan sama
sekali tak bisa menyangkal tuduhan Nalula. “Gue tepat berada dibelakang mereka
ketika mereka membicarahan itu.”
“Tapi
kenapa lo malah…”
“Gue
sengaja.” Ilan memotong ucapan Nalula, karena ia tau arah tujuan perkataan
Nalula. “Sengaja biar Zagar gak curiga. Gue tau gimana posisi lo. Ini bukan
sekedar permainan.”
“Kalo gitu,
siapa yang lo pilih?” Brian membuat Nalula menatapnya.
Jelas
terlihat, mata Nalula tak menjawabkan apa-apa. Tak ada yang benar-benar ia
inginkan. Baik Zagar yang selama ini menjadi sahabat terbaiknya ataupun Lingga
yang pernah menjadi bagian masa lalunya.
“Lo
gak mau perasaan lo ditentukan sama pertandingan hari ini kan?” tanya Brian
lagi dengan sedikit mendesak.
Brian
benar. Pikir Nalula. Tapi kedua orang itu (Zagar dan Lingga), mereka bukannya
orang-orang yang tak diharapkannya, tapi Nalula sama sekali tak bisa menerka
perasaannya. Tak ada yang ia harapkan kecuali dua orang itu tetap menjadi
bagian di kehidupannya.
“Atau lo
lebih milih Kharis dan mengabaikan dua orang yang jelas-jelas punya perasaan ke
lo?” desak Ilan.
Butuh
waktu buat Nalula untuk benar-benar memahami perasaannya. Lingga. Zagar. Atau
bahkan bukan keduanya. Kharis? Nalula tak tau. “Biarin gue sendiri.” Hanya itu
yang dikatakannya sebelum meninggalkan Ilan dan Brian ke dalam locker room.
@@@
Pertandingan
babak kedua dimulai. Bola dikuasai anak-anak SMA Rosengard, tapi Bagas dapat
merebutnya dan langsung mengoper ke Zagar. Satu-satunya cara untuk menghentikan
pergerakan Zagar yang bebas adalah dengan menjatuhkannya. Cukup keras
pelanggaran yang dilakukan Irham. Zagar tampak meringis sambil memegangi
kakinya dan harus ditandu keluar lapangan untuk mendapatkan perawatan.
Sedangkan Irham harus diganjar kartu kuning oleh wasit.
Nalula
memang kecewa dengan berita pertaruhan antara Zagar dan Lingga. Tapi ia tetap
tak bisa tinggal diam melihat sahabatnya menderita. Hanya satu hal yang
dipikirkannya. Yaitu ia harus mengecek sendiri kondisi Zagar. Nalula pun
menghampiri Zagar yang tengah dalam perawatan.
Samar-samar,
Zagar melihat Nalula berlutut di sampingnya. “Nal, lo ngapain ada di sini?”
ujarnya sambil menahan rasa sakit.
Cukup
lama Nalula diam, ia hanya menatap Zagar antara kecewa dan khawatir. “Cowok
bego!” Zagar serius menatap Nalula yang berucap seperti itu. “Lo pikir gue gak
tau tentang taruhan konyol kalian!” Suara Nalula terdengar kecewa, namun ia
sama sekali tak bisa marah terhdap Zagar.
Zagar
tertunduk. Ia sama sekali tak ingin menanyakan dari mana Nalula mengetahui hal
ini. Tapi yang ia tau, Nalula bener-bener kecewa. “Gue tau lo bakal marah.”
Ujarnya pelan.
“Iya! Jelas
gue marah!” Kata Nalula tegas.
“Tapi
lo jangan marah ke Lingga karena ini semua ide gue.” Zagar memperingatkan.
Tatapan lembutnya mengarah ke mata Nalula. “Dia Cuma korban perasaan gue.”
Entah apa
maksudnya Zagar berkata demikian. “Apa lo bakal…”
Seolah
mengetahui apa yang akan dikatakan Nalula, Zagar pun menyelaknya. “Gue gak akan
ngebatalin taruhan ini.” Sergahnya lalu berdiri karena perawatannya telah
selesai.
Nalula
perlahan mengikuti Zagar yang telah berdiri. Jauh di dalam lapangan, Nalula
bisa melihat jelas seseorang menatap ke arahnya. Siapa lagi kalau bukan Lingga?
Sorot matanya tak menunjukkan apa-apa. Tapi Nalula tau kalau Lingga cukup
cemburu karena ia pasti menganggap Nalula memberi perhatian lebih ke Zagar.
“Dan
terserah kalo lo kecewa sama gue.” Lanjut Zagar sebelum akhirnya mulai
melangkah untuk kembali ke lapangan.
“Dan
gue bakal lebih kecewa lagi kalo lo gak bisa menangin taruhan itu.” Teriak
Nalula dari belakang punggung Zagar. Ia tau Zagar pasti mendengarnya. Karena
sontak Zagar langsung menghentikan langkahnya. Nalula melihat Zagar mulai
berbalik dengan perlahan. Dan di sinilah Nalula mulai merasakan sesuatu
berdesir dalam dadanya. Sumpah! Nalula tiba-tiba gak siap untuk mendapati Zagar
menatapnya. Dan semua sebenarnya tanpa sadar keluar dari mulut Nalula.
Zagar
pun sama. Rasa sakit yang masih menyelimuti kakinya pun menandakan bahwa ini
bukan mimpi. Meski Nalula lebih dulu kembali ke bangku cadangan sebelum sempat
ia melihat wajahnya. Tapi itu semua cukup membuatnya bisa sedikit tersenyum.
1-0 untuk dirinya atas Lingga. Kini Zagar berada di atas angin.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar