4.STAR LIGHT
Dua
hari berlalu setelah partai hidup mati yang di jalani Lingga dkk. Tapi duka itu
masih tersisa di hati Lingga. Bukan karena tak
bisa memenangkan pertandingan, tapi karena masalah yang di dengarnya
sebelum pertandingan.
Ia berniat menghilangkan bayangan itu
untuk sementara waktu. Kini Lingga memarkirkan motornya di depan sebuah studio
music. Di sana juga sudah berjajar beberapa motor dan mobil yang begitu
familiar di matanya.
Begitu Lingga mematikan mesin motor,
ponselnya bordering. Tertera nama ‘BAGAS’ di layarnya.
“Halo, Gas.” Sapa Lingga.
“Heh… kemana aja lo?” todong Bagas. “Gue
telponin dari kemaren, gak ada di angkat-angkat. Gue sms, gak ada satu pun juga
yang di bales.”
Lingga diinterogasi. Tapi suara Bagas
tak terdengar seperti orang yang marah-marah.
“Hmm…” Lingga hanya mengacak-ngacak
rambutnya.
“Woy.. jawab.”
“Iya deh sorry. Gue Cuma kecapekan aja
kali.” Ekspresi wajah Lingga seperti menutupi kebohongan.
“Yakin kecapekan?” Suara Bagas seolah
menantang. “Gak ada kasus lain kan? Inget lho! Lingga tuh gak bisa bohong ke
Bagas.” Bagas memancing Lingga.
Lingga memang gak bisa menutupi rahasia
besar atau kecil terhadap Bagas. Walau hanya lewat telepon sekalipun.
Beberapa saat mereka saling diam. Lingga
sangat ingin menceritakan setiap detail kejadian yang dialaminya. Tapi ia masih
sangat ragu. Bagaspun menunggu dengan sabar.
Mungkin terlalu lama, Bagaspun berfikir
mungkin ini belum saatnya ia mendengar berita buruk dari Lingga. “Ya udah kalo
gak mau cerita sekarang. Kapan-kapan aja.”
“Iya, Gas.” Kata Lingga akhirnya. “Jadi
tuh…” ucapan Lingga terhenti dengan hadirnya sebuah sepeda motor yang terparkir
di sebelahnya.
Sang pengendara mematikan mesin lalu
membuka helmnnya. Ternyata itu Garra. “Hei, Ga. Sorry gue telat.”
“Gapapa.” Ujar Lingga yang masih
menempelkan ponselnya di telinga. “Gue juga baru dateng kok.”
Garra mengedarkan pandangan ke
sekeliling tempat parkir. Sama seperti Lingga, beberapa kendaraan yang
terparkir di sana di kenalnya. “Anak-anak mana?” tanyanya.
“Mungkin udah di dalem. Lo duluan aja.”
Dilihatnya Lingga sedang menelpon.
“Oke.” Lalu meninggalkan Lingga.
“Suara Garra ya, Ga.” Tebak Bagas begitu
Garra masuk ke dalam.
“Hah?” Lingga sempat berfikir, ‘kok
Bagas tau?’.
“Eh…” Bagas membuyarkan lamunan Lingga.
“Jangan kayak orang gak tau gitu deh.” Ledek Bagas. “Gue kenal sama Garra kan
udah lama juga.” Lanjutnya.
“Iya juga sih.” Kata Lingga polos.
“Lo lagi di mana sih?” Bagas penasaran.
“Di studio music.” Jawaban Lingga terasa
berat hati. Karena ia harus kembali teringat kasus di pertandingan itu. “Cuma
cari hiburan aja kok.” Lingga langsung mengalihkan Bagas agar tak berfikir hal
lain.
Sebenernya itu cuma fikiran Lingga aja.
Bagas sangat menerima alasan Lingga.
“Ya udah sana. Anak- anak pasti udah
pada nunggu.”
“Oke.” Ucap Lingga singkat.
“Salam buat anak-anak.” Kata Bagas
sebelum mengakhiri pembicaraannya.
“Nanti gue telpon balik.” Ujar Lingga
cepat-cepat sebelum bunyi nada telpon terputus terdengar.
@@@
Lingga membuka pintu studio. Sudah ada
beberapa orang—semuanya punggawa sepakbola SMA Rosengard—berkumpul di sana.
Mereka tengah sibuk dengan alat band masing-masing.
“Sorry nunggu lama.” Ucap Lingga sambil
menutup pintu di belakangnya.
“Gapapa.” Kata Irham. “Kita juga belum
lama kok.” Sambil menekan-nekan tuts keyboardnya.
Garra juga terlihat sibuk menyesuaikan
stelan gitar listrik di tangannya. Garra sesaat meninggalkan kesibukkannya dan
untuk menoleh ke Lingga. “Sebenernya ada apaan sih lo ngajakin kita ngumpul di
sini?” lalu kembali ke aktivitasnya.
Lingga menarik lengan jaketnya. “Gak ada
apa-apa sih. Gue Cuma masih bête aja sama kejadian kemaren.” Sambil
menggantungkan jaketnya di belakang pintu. “Niatnya sih gue mau ngajakin kalian
bikin band. Itu pun kalo pada gak keberatan. Buat hiburan aja lah.” Lanjutnya.
Tak lupa Lingga mengeluarkan stik drumnya dari dalam tas.
Yang lain saling berpandangan. Saling
menunggu satu sama lain. Saling… melontarkan pertanyaan perihal ajakan Lingga.
Meski hanya dengan isyarat tanpa ada yang bersuara.
“Gue pribadi setuju-setuju aja.” Ujar
Irham akhirnya. “Gak ada masalah.”
Gak butuh waktu lama untuk menunggu
kepastiannya. Semua yang di maksud Lingga mengangguk. Lingga pun merasa cukup senang,
meski tak ditunjukkannya dengan senyum.
“Berarti posisinya udah pas.” Kata Garra
menipali. “Irham sama Hexa di gitar.”
Hexa, anak yang sejak awal sibuk di
sudut ruangan hanya merespon ucapan Garra dengan membunyikan gitarnya. Mungkin
maksudnya hanya menunjukkan kalau ia siap dengan posisi yang di katakan Garra.
Garra menengok ke anak yang sejak tadi
duduk bersila sambil memeluk sebuah bass dan hanya mendengarkan teman-temannya
bicara. “Tegar bisa di bass.” Ujar Garra yang terdengar berat hati mengucapkannya.
“Dan gue…” ia menelusuri setiap tuts di keyboardnya dari kanan ke kiri hingga
memunculkan bunyi dari nada tinggi hingga rendah. “Keyboard” ucapnya, kali ini
penuh semangat.
“Iya, Ga.” Irham menyetujui usul Garra.
“Dan lo bisa jadi drummernya.” Lingga
hanya manggut-manggut menyetujui usul kedua temannya. Lalu berjalan ke belakang
drum.
“Kalo Lingga nge-drum, yang jadi
vocalisnya siapa?” Tanya Tegar dengan polosnya tepat ketika Lingga baru duduk.
Tapi yang ditanyain nih anak emang ada benernya juga.
Hexa mengernyitkan dahi. “Kalian yakin
kalo yang nyanyi di Bintang?” Kali ini Hexa juga ikut andil mengajukan saran.
“Emang Bintang bisa nyanyi?” Tegar
nyeletuk sekenanya.
Entahlah. Lingga juga gak tau. Ia hanya
bisa nontonin teman-temannya adu argument.
“Kayaknya sih bisa.” Jawab Garra ragu.
“Yang ada bisa bikin penonton bubar.”
Irham ikutan nyeletuk diiringi sedikit tawanya. Sebagian juga ikut tertawa.
“Mending lo aja deh Ga, yang nyanyi.”
Garra pasrah dengan pilihan yang ada. “Biar yang nge-drum si Bintang.”
Lingga sama sekali gak yakin dengan
pilihan Garra. “Lo serius?” Tanya Lingga memastikan.
“Nggak.” Balas Garra.
Lingga terlihat langsung memelototi
Garra.
“Ya iya lah gue yakin.” Garra langsung
meralat ucapannya. Ia memang hanya bercanda. Tapi tak disangka pula hingga
Lingga melotot ke arahnya seperti itu. “Udah ayo cepet mulai.” Garra juga
langsung mengalihkan perhatian Lingga.
Setuju gak setuju, Lingga harus setuju.
“Terus, Bintangnya mana?” Tanya Lingga.
“Kalo tuh anak ga ada, siapa yang mau nge-drum?” bener kan, akhirnya Lingga
setuju.
Suara pintu terbuka. “Gue di sini.” Kata
orang di baliknya. Ternyata itu Bintang yang langsung memunculkan dirinya.
Akhirnya. Tapi, sepertinya. Masalah
selesai. Semua udah siap di posisi masing-masing. Lingga pun telah siap dengan
mic di tangannya. Dan, mulai…
“Tunggu tunggu tunggu.” Tegar mengambil
alih menghentikan seenaknya. Membuat seluruh mata melotot ke arahnya.
“Apaan lagi sih?” Bintang terdengar
sewot.
“Tiap band kan punya nama.” Tegar berkata
dengan polosnya. “Terus, kalo kita apa?”
“Iya juga ya.” Garra yang tadi ikutan
melototin Tegar, jadi ikutan mikir juga. “Tapi apa?”
Lalu. Semua sibuk ikutan pasang tampang
mikir. Kecuali Lingga tentunya.
“Gue udah nyiapin kok.” Jawab Lingga.
“Apa?” Tanya yang lainnya hampir
berbarengan.
“STAR LIGHT.”
“Itu bukannya nama sabun cuci piring
ya?” Ga penting banget yang ditanyain Tegar.
“Udah gak usah di bahas.” Omel Hexa
serius. “Lagian, kenapa harus star light? Kenapa nggak J-rocks, Ungu, ST12, Lyla,
Wali, Changcutters, Cokelat, Nidji. Banyak kan?” Hexa malah ikutan ngawur.
“Yee lo lagi.” Komentar Irham sambil
nyenggol pundak Hexa. “Semuanya tuh udah ada yang pake.”
“Oohh…” Hexa pasang tampang gak bersalah
sambil nyengir.
Lingga sendiri Cuma bisa ngacak-ngacak
rambut saking bingungnya harus ngapain buat ngadepin orang-orang di depannya
saat ini. “Oke. Biar gue jelasin.” Kata Lingga akhirnya. “Kenapa gue pilih star
light.” Ucapan Lingga bukan sebuah pertanyaan.
“Kenapa?” Tegar langsung nanya balik.
Gak sabaran.
Lingga menghela napas. Sabar… Sabar…
Hanya itu yang dipikirkannya. “Simpel aja sih. Karena terbentuk dari inisial
nama kita masing-masing. Star kan atinya bintang. Gue ambil dari nama si
Bintang.” Lingga sedikit menunjuk Bintang. “Sedangkan LIGHT, disingkat dari
nama gue untuk L nya. Lalu Irham, Garra, Hexa dan Tegar.” Lanjutnya.
Bintang yang lain cuma pasang tampang
sok serius.
“Ngerti?” Lingga memastikan.
Mereka hanya menjawab dengan anggukan.
“Oke.
“Bagus.” Lingga akhirnya bisa bernapas
lega. “Kita mulai.”
Tanpa ada pertanyaan-pertanyaan lain
lagi, music mulai berjalan. Lingga pun siap dengan mic di tangannya. Mencoba
memahami lagu apa yang akan dinyanyikannya dari music. Tapi yang ada, Lingga
malah tambah bingung.
“Ga, kok lu malah diem sih?” Bintang
menegur Lingga sambil berangsur menghentikan permainan drumnya.
Yang
lain ikutan berhenti.
“Apaan lagi sih?” Keluh Garra.
“Musik udah jalan. Tinggal elu aja yang
nyanyi.” Hexa ikutan. “Tunggu apaan lagi?” Kesannya semua nyalahin Lingga.
“Kok jadi gue yang disalahin sih?”
Lingga juga tak terima hanya dirinya yang disalahkan.
“Katanya kita latihan. Kenapa elu malh
diem aja?” Tegar pun tak ingin ketinggalan ambil bagian nyudutin Lingga.
“Sekarang gue yang Tanya.” Lingga
membela diri. “Lo semua mainin lagunya siapa?”
“J-rocks yang ‘hampa hatiku’.” Celetuk
Tegar sekenanya.
“’Hampa hati’ ku sih yang nyanyi Lyla.”
Hexa ikutan.
“Lyla bukannya yang nyanyi ‘biarlah’?”
Tanya Garra dengan tampang sok polos.
“Bukan. Lyla tuh yang nyanyi lagu
‘menunggu’.” Balas Irham yang gak kalah nyawurnya.
“Yang bener tuh ‘menunggu’ lagunya The
Changcutters.” Tegar sok ngebenerin ucapan Irham. “Kalo Lyla yang nyanyi lagu
‘puspa’.” Padahal belum tentu ada yang bener juga.
“Kalo gitu yang nyanyi ‘cari jodoh’,
ST12 donk?” Tanya Garra lagi. Masih dengan tampang sok polosnya.
Niatnya bikin band buat refreshing
karena pertandingan kemaren. Lingga malah dibikin tambah stress gara-gara ulah
orang-orang yang gak jelas juntrungannya ngomongin apa. Untuk sementara, Lingga
memutuskan untuk keluar.
“Lagu ST12 tuh ‘I love you bibeh’. ’Cari
jodoh’ lagunya Samson.”
“Ohh. Samson yang nyanyiin ‘jangan
menyerah’ juga kan?”
“Kayaknya bukan Samson deh. Tapi
Kerispatih.”
“Yang ada lagunya Kerispatih tuh
‘lepaskan diriku’.”
Kali ini semakin gak jelas siapa yang
ngomong sok tau kayak gitu. Intinya, ampe Lingga udah balik lagi pun situasinya
masih belom berubah.
“Kalo gitu,” kali ini jelas, itu suara
Garra. “lagunya D’masiv yang mana donk?”
“KETERLALUAN.” Jawab Irham, Tegar, Garra
dan Bintang berbarengan. Terdengar kompak malah.
“Yang keterlaluan tuh lo semua.” Sambar
Lingga gak sabar.
“Ya udah, nyanyi lagu keterlaluan aja.”
Bintang menyarankan.
“Oke.” Yang lain langsung setuju.
Lingga pun dengan terpaksa setuju. “Dari
pada gak jadi.” Ujarnya pelan.
“One.. Two.. Three.. Go..” Bintang
memberi aba-aba sambil mengetuk-ngetukkan kedua stik drumnya.
Teet.. teet.. teet.. terdengar seperti
suara bel. Bintang dkk tidak meneruskan untuk memainkan alat music mereka.
Karena suara bell tadi menandakan waktu mereka telah selesai.
“Hah?” Lingga tercengang. “Satu jam abis
cuma buat nentuin nama sama lagu doank?” Lingga masih diam di tempatnya tadi.
“Udah lah.” Garra merangkul Lingga. “Gak
papa kok.”
“Kita masih bisa main lain waktu.” Irham
menimpali sebelum melewati Lingga.
@@@
Hari
ini Lingga ke sekolah dengan mengendarai mobil. Sebenernya sih jarang-jarang
juga. Belum sempat ia turun dari mobil yang di parkirnya, nampak Ilan yang juga
memarkirkan mobilnya tepat di samping mobil Lingga. Mereka turun hampir
bersamaan. Ilan menunggu di belakang mobilnya.
“Kayaknya hari ini parkiran penuh
gara-gara kita.” Kata Ilan begitu Lingga di sampingnya.
“Iya juga sih.” Lingga menyetujuinya.
“Gara-gara motor gue masuk bengkel nih.”
Ujar Ilan. “Sebenernya sih males juga bawanya. Ribet kalo jalanan lagi rame.”
Lanjutnya. “Lo sendiri tumben bawa mobil? Motor lo masuk bengkel juga?” Tebak
Ilan.
“Nggak.” Jawab Lingga singkat. “Gue
emang sengaja. Soalnya Danu hari ini pulang. Jadi gue niatnya sekalian buat
jemput dia.”
“Syukur deh kalo Danu udah boleh
pulang.” Komentar Ilan perihal berita dari Lingga. “Diaz sendiri gimana?”
obrolan mereka hari ini cukup terdengar serius.
Lingga tak langsung menjawab. “Gitu deh,
Lan.” Lingga terdengar ragu. “Diaz emang udah dipindahin ke ruang perawatan,
tapi dia belum sadar sepenuhnya.”
“Itu pasti cuma karena pengaruh obat
bius aja kok.” Ilan berusaha membuat Lingga tidak terbawa suasana. “Diaz baru
abis operasi kan?” Ilan memastikan.
Belum ada yang bicara lagi setelah itu.
Hingga mulai bermunculan siswa-siswi baru. Mereka dapat mengenali itu dari
atribut mereka yang mencolok. Masih berseragam SMP dan memakai atribut
keperluan MOS.
Beberapa saat Lingga dan Ilan
memperhatikan mereka. Lingga seperti memikirkan sesuatu. “Lan.”
Ilan menoleh. “Kenapa?”
“Kalo hari ini masih masa orientasi,
berarti kita belum belajar efektif donk?”
“Iya.” Ilan mencurigai sesuatu. “Terus?
Lo mau ngapain?”
“Gue mau cabut aja ah ke rumah sakit.”
Kata Lingga seenaknya sambil membalikkan badan.
Ilan langsung sigap menahan tangan
Lingga. “Gak bisa gitu lah, Ga.” Ilan melarang Lingga. “Ini hari terakhir MOS.
Bakal ada demonstrasi ekskul. Sekarang tuh kaptennya elo.” Kata-kata Ilan
menyadarkan Lingga.
“Kan ada Garra sama Irham. Biar mereka
aja deh.” Lingga sama sekali gak minat mengurus klub sepakbolanya. “Mumpung
pagar belom dikunci nih.”
“Mereka kan udah kelas tiga, terus jadi
pengurus OSIS juga.” Ilan masih berusaha tak membiarkan Lingga pergi. “Sekarang
tuh tugasnya anak-anak kelas dua.”
“Yang kelas dua juga kan banyak. Ada
elu, Bintang, Tegar, Hexa.”
“Mending gini deh.” Ini pilihan
terakhir. “Kalo lo mau bantuin anak-anak, gue juga bakal bantuin lo kabur
setelah itu.”
“Gimana caranya gue kabur?” Lingga
penasaran.
“Mana kunci mobil lo?” pinta Ilan sambil
menyodorkan tangannya.
Ilan langsung menuju mobil, begitu
Lingga memberikan kunci mobilnnya. Lingga mengikutinya dari belakang. Ilan yang
mengambil alih kemudi, dan Lingga duduk di kursi penumpang samping Ilan. Mereka
langsung keluar gerbang. Menuju perumahan yang berada di belakang sekolah. Ilan
hanya berkendara mengelilingi tembok luar sekolah. Lalu Ilan menghentikan mobil
di depan rumah yang tidak jauh dari gerbang belakang sekolah.
“Mobil gue gapapa di parkir di sini?” Lingga
memastikan.
Ilan mematikan mesin. “Gapapa. Ini rumah
temen gue. Ntar gue bilang sama anaknya. Lagian, gerbang belakang gak bakal di
kunci. Jadi ntar setelah tugas lo selesai, lo bisa ambil mobil lo di sini.”
Jelas Ilan.
“Ya iya lah, lan. Gerbangnya kan Cuma
bisa di lewatin orang doank.” Komentar Lingga. “Terus tas gue?” Tanya Lingga
lagi. “Tetep bakal di tanya-tanya juga pasti sama satpamnya.”
Biarpun pagarnya hanya bisa di lewatin
oleh orang-orang saja, tetapi tetap ada satu orang satpam sekolah yang
mengawasi.
“Tas lo di tinggal aja.” Ilan menjawab
dengan pasti. “Belom mulai belajar ini.”
“Oiya.” Lingga baru menyadari apa yang
ia pikirkan.
Apa yang dilakukan Ilan memang di luar
perkiraannya. Mobilnya terparkir cukup jauh, walau dapat terlihat dari pagar
sekolah. Tetapi tidak terlalu di curigai sebagai rencana dari aksi kabur Lingga
nanti.
“Tas lo taro aja di bawah.” Kata Ilan
sambil mencabut kunci lalu melepaskan anak kunci dari gantungannya.
“Lan…”
Ilan mengerti maksud Lingga. “Mobil lo
di kunci manual aja. Gantungannya kegedean. Walaupun di masukin kantong, bakal
keliatan.”
Lingga tak berkomentar apa-apa lagi. Ia
hanya menurut dan mengikuti Ilan keluar dari mobil.
@@@
Di
rumah sakit, Danu sudah siap-siap untuk pulang. Sambil menunggu sang kakak
merapikan pakaian Danu. Vindhya melipat selimut. “Kamu gapapa, Dan, kalo mba
tinggal sendiri?”
“Gapapa.” Kata Danu sambil
menggonta-ganti channel tivi. “Bentar lagi juga Lingga dateng.” Lingga? Danu
seolah tak menyadari apa yang dikatakannya. Lingga kan sekolah. Sekarang aja
baru jam 10 pagi. Danu tak berani melirik ke arah Vindhya. Berharap kakaknya
tak menyadari apa yang tadi diucapkannya.
Beruntung, Vindhya tak lagi menanyakan
hal yang sempat dikhawatirkan Danu. Pintu kamar Danu terbuka. Semakin
beruntungnya ia, kerena rencana Ilan untuk membantu aksi kabur Lingga dari
sekolah berhasil. Lingga pun masih mengenakan seragam sekolahnya.
Vindhya menyambut kedatangan Lingga
dengan senyum teramahnya. “Hai Lingga. Tolong temenin Danu dulu ya. Mba mau
tengokin temen kamu dulu, Diaz.”
Senyuman Vindhya bikin Lingga bengong.
Sampe-sampe Lingga Cuma bisa ngangguk doank nanggepinnya. Vindhya masih
tersenyum. Lingga hampir meleleh rasanya.
“Ayo, Ris.”
Ekspresi Lingga langsung berubah total.
Tuh anak kaget pas tau Vindhya ngajak Kharis yang sebenernya udah ada di sana
sejak tadi. Berdiri di tepi jendela sambil baca Koran. Kharis melipat korannya
lalu mengikuti Vindhya yang sudah lebih dulu keluar kamar. Ia juga sempat
menepuk pundak Lingga yang berdiri dekat pinta sebelum keluar. Begitu Kharis
menghilang di balik pintu, Lingga langsung tiduran di samping Danu yang duduk
bersandar di atas ranjang yang jelas-jelas hanya cukup untuk satu orang.
Danu sedikit menggeser posisi duduknya.
“Apaan sih, Ga?” Danu sedikit terganggu rupanya.
“Kok gak bilang sih ada Kharis?”
Danu masih sibuk gonta-ganti channel
tivi. “Lo gak nanya.” Jawab Danu datar.
Lingga menatap langit-langit kamar rawat
Danu. “Abis… Gue gak nyangka kalo ternyata kakak lo cakep banget. Pantesan aja
si Diaz naksir berat.” Lingga nyengir gak jelas. Waahh… mikirin apa nih anak?
Danu tak mempedulikan ucapan Lingga.
Tapi ia baru menyadari seragam sekolah yang masih dikenakan Lingga. “Kok gak
sekolah? Lo cabut ya?” tebak Danu.
“Gue males di sekolah, belom belajar
ini.”
“Sekarang kan demo ekskul. Terus, siapa
yang ngurusin?” Omel Danu. Saat seperti ini Danu masih memikirkan apa yang
sebenarnya menjadi tanggung jawab dirinya.
“Udah deh, Dan. Gue juga cabut setelah
tugas gue selesai kok.” Lingga menjawab pertanyaan Danu dengan santai.
Bagus deh. Pikir Danu. “Terus, kok lo
bisa keluar? Emang gerbangnya gak dikunci?” Tanya Danu lagi.
Lingga menceritakan semua detail
kejadian yang dialaminya bersama Ilan. Bagaimana Ilan meyakinkannya untuk tetap
berada di sekolah hingga tugas mereka selesai, sampai rencana Ilan yang
memarkirkan mobil Lingga di gerbang belakang sekolah.
Setelah Lingga selesai bercerita, Danu
kembali ke aktivitas sebelumnya. Menggonta-ganti channel tivi.
Lingga
tiba-tiba bangkit. “Bukannya kemaren lo bilang Kharis sama kakak lo udah game over? Tapi kenapa…” Lingga
menggantungkan ucapannya sambil menunjuk kea rah pintu.
Danu
berfikir hal yang sama dengan Lingga. Mereka saling berpandangan. “DIAZ.” Kata
mereka dengan kompaknya. Dan kompak juga ketika berlari keluar.
“Mau
kemana kalian?”
Danu
dan Lingga langsung berhenti. Suara seseorang berbicara padanya. Mereka
berbalik. Sedikit terkejut juga kayaknya mereka, pas tau kalau ternyata itu
suara Kharis yang duduk di kursi depan kamar Danu.
Kharis
berdiri. “Kalian kenapa?”
“Kok
kakak masih di sini?” Lingga menunjuk ke belakangnya. “Bukannya tadi…”
Kharis
hanya tersenyum menanggapinya. Lalu mengajak Danu dan Lingga untuk kembali ke
dalam kamar.
Kharis
berdiri memandang keluar jendela. “Pasti kalian pikir gue sama Vindhya udah gak
ada apa-apa lagi? Makanya kalian berani minta Vindhya buat nemuin Diaz.”
Danu
dan Lingga duduk di tempat tidur. Mereka saling berpandangan dan cukup terlihat
merasa bersalah.
“Maafin
kita kak.” Kata Danu akhirnya. “Bukannya gak ngehargain kakak. Tapi kita
ngelakuin ini…”
“Lo
gak perlu minta maaf, Dan.” Kharis menyelak ucapan Danu sambil berbalik. “Gue
ngerti kenapa kalian ngelakuin hal ini.” Memberi jeda sesaat. “Gue sadar,
Vindhya juga kakak lo, Dan. Malah, gue bersyukur banget kalo ternyata misi
kalian berhasil.” Ujar Kharis santai.
“Jadi
kakak gak marah?” Tanya Lingga sangat hati-hati untuk memastikan.
“Kenapa
gue harus marah?” Kharis balik bertanya.
Baik
Danu atau pun Lingga, tak ada yang bisa ngejawab.
“Diaz
dan kalian tuh udah kayak adik sendiri buat gue. Semua mengharapkan kesembuhan
Diaz. Termasuk gue. Yaa… walaupun…” Kharis menghela napas. “Gue harus rela
berbagi Vindhya, cewek gue sendiri.”
Beberapa
saat Kharis terdiam. Danu dan Lingga pun gak ada yang berani angkat bicara.
“Jujur
aja…” Kata Kharis melanjutkan lagi. “Awalnya gue gak bisa terima sama rencana
kalian. Terlebih gue denger semuanya langsung dari mulut Vindhya.”
Danu
dan Lingga jadi ngerasa sangat bersalah setelah denger pengakuan dari Kharis.
“Tapi
untungnya gue langsung sadar.” Ekspresi Kharis sedikit berubah. Ia terlihat
tanpa beban. “Kalo rencana kalian bisa ngebahagiain orang banyak.” Lalu Kharis
kembali berbalik memandang keluar jendela.
Danu
berbisik ke Lingga. “Apa lo bakal ngelakuin hal yang sama kayak Kharis?”
Lingga
mengacak-ngacak rambutnya. “Ngerelain Reva buat Firant, gitu?” ujarnya, sambil
tetap melakukan aktivitas yang kayaknya penting banget buat dilakuin.
Danu
hanya mengangkat bahu menanggapinya. “Kakak sempet kesel sama kita?” Danu langsung
beralih ke Kharis.
Kharis
hanya tertawa menanggapi pertanyaan Danu. “Lo tau kan? Kalo sejak kelas dua SMA
gue tinggal tanpa orang tua di Jakarta.” Kharis kembali berbalik ke hadapan dua
orang anak didiknya. “Gue gak mau lagi kehilangan orang yang deket sama gue.
Setelah nenek, serta orang tua gue meninggal.” Danu dan Lingga mendengarkan
tanpa bisa berfikir apa-apa. “Cuma ini yang bisa gue lakuin untuk usaha
kalian.” Lanjut Kharis yang sedikit memberi jeda pada kata-katanya. “Dan untuk…
Diaz.”
Suasana
kembali hening sejenak. Gak ada yang bicara, atapun saling tatap satu sama
lain.
Kharispun
kembali menghela napas sebelum melanjutkan kata-katanya. “Ada berita untuk
kalian.”
Kali
ini Lingga dan Danu langsung merespon ucapan Kharis dengan menatapnya. Sambil
menegakkan badan, mereka siap mendengarkan apa yang akan di katakan Kharis.
“Jadi
kalian gak kaget kalo denger ini dari orang lain.” Lagi. Kharis mengalihkan
pandangannya ke luar jendela. Mungkin hanya itu yang bisa menenangkannya saat
ini. Karena kamar Danu yang terletak cukup tinggi, memungkinkan Kharis leluasa
memandang langit yang luas dari balik jendela. “Mulai latihan besok, gue udah
bukan asisten pelatih Rosengard
lagi. Termasuk pelatih kepala. Karena akan ada yang gantiin gue dan pak
Guntur.”
Lingga
hanya diam mendengarkan. Tatapan matanya kosong. Lalu tersenyum. Pahit. “Apa
mereka pikir, gampang buat balikin citra
sepakbola SMA Rosengard.”
Lalu seenaknya berbaring di tempat tidur Danu. Posisi kakinya tetap menggantung
ke lantai. “Turnamen gak lama lagi bakal di gelar. Kepengurusan di reshuffle.
Target juara. GILA.” Lingga menggeleng.
Suasana
sama sekali tak mengenakkan. Danu, Lingga, Kharis, diam.
Cukup
lama mereka dalam keheningan. Sampai akhirnya, pintu kembali terbuka. Vindhya
yang muncul dari baliknya. Terlihat dari senyumnya, Vindhya pasti membawa kabar
baik.
“Kondisi
Diaz semakin membaik.”
Lingga
langsung bangkit meresponnya. Terlihat Kharis tersenyum samar. Tapi tidak untuk
Danu. Ia tetap diam meski kelegaan tersirat dari raut wajahnya.
“Danu
pulang sama Lingga.” Hanya itu kata-kata yang diucapkan Danu.
Tanpa
buang waktu. Vindhya langsung mengizinkan, lalu keluar diikuti Kharis di
belakangnya.
Danu
menengok ke Lingga begitu Kharis menutup pintu dari luar.
“Hatinya
gak lebih sakit dari senyumnya.” Kata Lingga kepada Danu.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar