3. ROSENGARD FC
TERANCAM BUBAR
Lingga
menutup pintu lokernya. Ia tertunduk. Lalu menyandarkan badannya. Sampai
akhirnya ia terduduk di lantai. Kostum bola miliknya dibiarkan tergeletak. Telinganya
kembali memperdengarkan pembicaraan pelatih kepala dan asisten pelatih klub
sepakbolanya perihal kelangsungan sepakbola SMA Rosengard.
“Apa
tidak terlalu memberatkan jika hari ini anak-anak tanding, bapak akan lengser?”
“Kepala sekolah
beranggap klub sepakbola kita sudah terlalu banyak mendapat dispensasi. Karena
sering mengikuti kompetisi, namun tak sekalipun dihampiri gelar juara.”
“Kalo
kepengurusan direshuffle, berarti kita harus mulai lagi dari awal.”
“Sekolah akan
memberikan pelatih kepala baru yang lebih baik.”
“Tapi terlalu
cepat jika mengambil acuan dari pertandingan hari ini. Karena 50% pemain adalah
wajah-wajah baru. Sedangkan yang kita harapkan, Diaz dan Danu, tadi pagi
mengalami musibah.”
“Semua sudah
terlambat.”
“Tapi pak?”
“Tapi pak?”
“Penentuannya
adalah pertandingan sore ini.”
Lingga berdiri dan mengepalkan tangan.
Emosinya sudah tak terkontrol. “AARRRGGGHHH…” Lingga siap menghantam tangannya
ke loker.
Tiba-tiba pintu terbuka. Kurang
sepersekian detik. Tangan Lingga brhenti beberapa senti dari pintu lokernya.
“Lingga.”
Lingga berbalik. ILAN. Kapten SMA
Siliwangi. Rivalnya yang merebut gelar juara turnamen tahun lalu dari SMA
Rosengard.
Cuma ada mereka berdua di ruang ganti
pemain. Lingga yang kembali terduduk di lantai. Dan Ilan, yang berdiri
berseberangan dengan Lingga menyandarkan badannya di loker.
“Kemungkinan terburuk adalah bubarnya
klub sepakbola SMA Rosengard.” Lingga masih dihantui dengan apa yang
didengarnya dari ruang secretariat.
“Masih ada ‘ARJUNA Rosengard’. Elu, Diaz,
Bagas, Danu dan…” Ilan menghela napas. “bentar lagi kita satu tim.”
Ya. Ilan kini menjadi bagian dari tim
sepakbola SMA Rosengard. Kepindahannya dari SMA Siliwangi memberikannya situasi
sulit di Rosengard. Bukan hanya sekedar membela, tapi lebih dari itu. Keadaan
yang kurang baik di Rosengard memberikannya beban lebih.
Ilan mengernyitkan dahi. Menunggu
sesuatu yang di harapkannya dari Lingga.
“Diantara kami, kini tinggal gue yang
tersisa.” Lingga masih tidak mengangkat kepalanya.
Ilan memang belum tau apa-apa perihal
kejadian beberapa hari terakhir.
“Bagas pindah ke Palembang. Diaz
kecelakaan.”
“Diaz.” Ilan berujar pelan. Sedikit
banyaknya membayangkan kondisi Diaz pasca kecelakaan. Kabar terakhir, Diaz baru
menjalani operasi kaki. Itu memperburuk catatan seorang pemain sepakbola.
“Entah kapan Diaz bisa kembali merumput
untuk mengejar cita-citanya.”
Keduanya diam.
Ilan mencerna setiap ucapan Lingga.
Sementara mata Lingga hampir berkaca-kaca. Seolah ia sendiri menghadapi
rentetan masalah yang menghampirinya.
Tapi Ilan juga gak hanya sampai di situ.
Berharap satu nama terakhir yang ia sebutkan, bisa membuka sedikit harapan.
Bukan hanya harapannya, tapi harapan Lingga dan Rosengard terutama.
“Danu.”
Lingga tersenyum pahit. Meski tak
menunjukkan terang-terangan terhadap Ilan.
“Gak segampang itu buat Danu bisa balik
lagi main sepakbola.” Dan kali ini Lingga mendongak.
“Kenapa….” Kata-kata Ilan tertahan.
Lingga sama sekali gak ngasih Ilan
kesempatan untuk berargumen. “Lo gak tau siapa Danu! Dan lo gak tau seperti apa
latar belakang keluarga Danu.”
Memang lebih baik mengalah dari pada
melawan Lingga yang tak bisa terjamah suasana hatinya. Ilan diam.
Lingga benar. Ilan tak tau apa-apa
sedikitpun tentang Danu. Tapi gambaran secara umum cukup terbayang. Melihat
kondisi Danu secara fisik. Danu bukan berasal dari keluarga sembarangan.
“Gue emang gak tau.” Ilan menghela
napas. Menahan diri untuk tidak terpengaruh sikap Lingga. Tapi kali ini dia
harus tegas.
Lingga
kembali menunduk. Itu memang lebih baik dari pada harus membenturkan tangan ke
loker atau lebih parah lagi, ke tembok.
“Tapi bukan berarti lo Cuma diem
ngejogrok di sini!” suara Ilan cukup terdengar keras untuk suasana ruang ganti
yang hanya ada mereka berdua. “Semua gak bakal berubah kalo lo gak bergerak.”
Lingga sadar akan omongan Ilan. Ia harus
bergerak. Ilanpun yakin. Diamnya Lingga bukan berarti ia menghindari kenyataan.
Sedikit banyaknya, itu cara Lingga mengendalikan emosi.
Ilan menunggu
Belum sempat Ilan mendapatkannya, pintu
terbuka diikuti sebuah suara. Ia langsung menoleh tanpa diikuti oleh Lingga.
“Lingga.” Kharis muncul dari baliknya.
“Ada yang mau gue omongin tentang klub.”
Hampir semua yang kenal Lingga tau
tentang kebiasaan Lingga yang gak mau natap orang yang bicara padanya ketika
dalam sesuatu yang sulit. Termasuk Kharis. Karena jika terjadi kepada orang
yang belum mengenal Lingga, sikap tadi cukup membuatnya di cap sebagai anak
yang tidak sopan.
“Bisa kita ngomongnya di sini aja?”
seperti ini. Lingga bener-bener gak mau menatap siapapun.
Sebenarnya Kharis gak keberatan. Tapi
yang menjadi masalah, hadirnya sosok Ilan yang di mata Kharis masih sebagai
lawannya di sepakbola. Belum banyak yang tau tentang pindahnya Ilan ke SMA
Rosengard. Terutama di klub. Kecuali Lingga tentunya.
“Dia Ilan.” Kata Lingga menjawab tatapan
curiga Kharis terhadap Ilan. “Sepupu gue.”
Kharis sebenarnya tau Ilan. Dan ia juga
tau kalau Ilan kapten SMA Siliwangi. Tapi yang membuatnya curiga adalah…
“ngapain dia ada di sini?”. Pertanyaan itu cukup membuat suara Kharis terdengar
sewot dan sesekali juga masih mengawasi Ilan melalui ekor matanya.
Sepertinya wajar jika seperti itu. Sore
ini SMA Rosengard di daulat untuk melakoni partai persahabatan melawan juara
bertahan SMA Siliwangi. Sementara seseorang yang masih dicurigainya sebagai
lawan, kini berada satu ruangan dengannya.
“Dia bakal jadi bagian dari kita.”
Kharis yang terkejut langsung tajam
mengawasi Ilan. Seolah itu adalah sesuatu yang mustahil.
Ilan yang sebenarnya cukup gak enak hati
sejak tadi di awasi, hanya sanggup mengangguk kecil. Tapi anggukannya terlihat
meyakinkan. Karena jika Ilan di todong menunjukkan surat kepindahannya kepada
Kharis sebagai bukti pun, ia siap.
Kharis masih ragu. Perlahan ia menutup
pintu di belakangnya. Gak ada banyak waktu untuk memikirkan keberadaan Ilan. Ia
langsung ambil tempat, duduk di antara Lingga dan Ilan. Menghela napas sesaat.
“Ini masalah tentang klub.” Suara Kharis
terdengar ragu.
“Gue udah tau semua. Satu-satunya jalan
adalah menang di pertandingan hari ini.” Ucap Lingga dingin. Seolah itu bukan
masalah besar.
“Hah..!”
Kharis tercengang.
Setelah sekian lama, akhirnya Lingga
mendongak. Seolah Lingga tau apa yang dipikirkan Kharis, ia menatapnya. “Gak
penting gue tau dari siapa.”
Oke. Memang bukan hal penting. Tapi, gak
Cuma sampai di situ. Masih ada hal lain yang sebenarnya penting. Bahkan sama
pentingnya.
“Apa Ilan boleh turun?” Tanya Lingga
yang sebenarnya untuk Kharis.
“Apa boleh?” malah Ilan yang balik
bertanya.
Keduanya menatap Ilan.
“Gue yakin bisa.” Kharis menatap Ilan
penuh harap.
Justru Ilan yang terlihat ragu. “Tapi…”
Semua pasti berpikir Ilan ragu karena
yang akan menjadi lawannya adalah sekolah lama Ilan. Dan tekanan dari para
pemain SMA Siliwangi terhadapnya pasti jauh lebih besar. Malah cenderung Ilan
menjadi sorotan. Kharis dan Lingga pun
tak luput berpikiran seperti itu. Apa lagi ini hari pertamanya bergabung
dengan Rosengard dan harus langsung turun bertanding.
“Saya harap, kamu tidak sampai
terpengaruh dengan tekanan dari rekan se-tim kamu dulu.” Kharis membuktikan apa
yang ada di pikirannya.
Tapi bukan itu yang sebenarnya
ditakutkan Ilan. Ia menatap mata Lingga yang masih terlihat kosong. Tapi ia
bisa merasakan mata itu menatapnya penuh harapan.
“Bukan itu yang gue permasalahin.”
Masih dari tatapan Lingga. Jelas itu
menyiratkan sebuah pertanyaan.
“Gue belom punya seragam…” kata ilan
sambil menunjukkan jari telunjuknya.
Ternyata itu?
Lingga dan Kharis dibuatnya memeras
otak.
“Gak bawa sepatu…” lanjutnya sambil
menunjukkan jari-jarinya lang lain. Seperti anak TK yang baru belajar
menghitung. “Kaos kaki. Handuk. Baju ganti…”
Ya ampun. Lingga tak sabar untuk berdiri
sebelum Ilan menyelesaikan absennya terhadap barang-barang keperluan tanding.
Berjalan mendekati deretan loker di seberangnya.
Lingga merogoh saku jeansnya dan
mengeluarkan rencengan kunci loker. Hanya ada empat buah. Masing-masing di beri
label namanya, Danu, Diaz dan Bagas. Pertama ia memilih milik Danu. Lalu
mendekati loker yang tertera nama Danu. Memutar kunci, lalu menarik buka
pintunya.
“Gue rasa ukuran sepatu lo sama kayak
Danu.” Kata Lingga sambil melempar rendah sepasang sepatu bola dengan kombinasi
garis-garis berwarna hijau muda yang seolah tampak menyala dalam pekatnya warna
hitam.
Setelah menutup dan kembali mengunci
loker Danu, Lingga kembali beralih ke loker yang lainnya. Kali ini milik Diaz
yang berjarak beberapa pintu dari loker Danu. Ia mengeluarkan sepasang kaus
kaki berwarna putih yang masih terbungkus rapih dalam plastic. Serta alat
pelindung kaki.
Terakhir, Lingga menuju loker Bagas yang
terletak paling ujung. Di sana ia menemukan seragam sepakbola SMA Rosengard
yang terlipat rapih. Lingga meraihnya dengan perlahan. Seolah tak ingin merusak
tatanan dalam loker Bagas yang memang paling rapih diantara yang lain.
Menatapnya sesaat. “Sorry, Gas. Gue bukannya mau gantiin posisi lo ke Ilan.
Karena kalian gak bisa diganti atau menggantikan satu sama lain.”
Kharis dan Ilan hanya menunggu. Bahkan
tak mendengar apa yang Lingga katakan terhadap seragam Bagas dengan suara yang
sangat kecil.
Lingga membawakan seragam itu kepada
Ilan.
“Lo punya kunci loker semua anak-anak?”
todong Ilan karena merasa ada sesuatu hal yang ganjil perihal Lingga dengan
leluasa membuka dan mengeluarkan isi loker orang lain seperti itu miliknya.
Kharis hanya mengangkat bahu. Ia
mungkin, tapi pasti tau juga tentang yang satu ini. Tapi Kharis ingin Lingga
yang menjelaskannya sendiri.
“Antara gue, Danu, Diaz dan Bagas seolah
gak ada batasan terhadap barang-barang pribadi. Dan gak Cuma gue, mereka juga
punya kunci loker punya kita masing-masing.”
Cukup bisa diterima logika Ilan yang
tampak manggut-manggut merespon cerita Lingga.
“Lo bisa pake loker punya Bagas. Tapi
berhubung belum sempet gue kosongin, jadi mungkin belum bisa lo pake juga sampe
Danu atau Diaz bisa bantuin gue ngeluarin barang-barangnya.”
Tanpa butuh nunggu respon berikutnya
dari Ilan. Setelah meraih seragam yang disodorkan Kharis, Lingga melangkah ke
toilet.
Ilan dan Kharis saling tatap.
“Cuma dia sendiri yang tau obatnya.”
Seolah mengerti, Ilan hanya tertawa
menanggapi Kharis. Lalu mengikuti langkah Lingga. Sementara Kharis kembali ke
luar ruangan. Karena beberapa pemain lain mulai berhamburan masuk. Tampak mulai
dari Bintang, Irham, Garra, Hexa, Tegar, dan yang lainnya bergantian memenuhi
ruangan.
Kabar bergabungnya Ilan sudah tersebar
di kalangan punggawa Rosengard. Dan beberapa juga menanggapi positive dengan
memberi ucapan selamat atau kata-kata penyemangat lainnya.
‘Rosengard bukan pilihan yang
salah’ pikir Ilan. Belum apa-apa Ilan sudah dibuat nyaman dengan suasananya.
@@@
Pertandingan
antara SMA Rosengard melawan SMA Siliwangi udah berjalan 30 menit. Skor
sementara keunggulan SMA Siliwangi 2-0.
Di tengah lapangan, Lingga berlari
menggiring bola. Tapi salah satu pemain belakang SMA Siliwangi menghadangnya
hingga terjatuh. Wasit langsung meniup peluit dan menilai itu sebagai
pelanggaran. Lingga sendiri sampai harus di tandu untuk keluar lapangan. Kharis
dan Ilan menunggu di tepi lapangan.
Lingga masih mengerang menahan sakit
sambil terus memegangi kakinya.
“Ka, bisa turunin gue?” Pinta Ilan yang
terlihat tak sabar sajak awal pertandingan.
“Jangan sekarang.” Bantah Lingga di
tengah sakitnya yang kini sedang ditangani oleh tim medis. “Kondisinya gak
memungkinkan.”
“Bukan gue!” balas Ilan. “Tapi kondisi
lo yang lebih gak memungkinkan.”
“Gue bicarain ke pelatih.” Kharis siap berdiri. Tapi tangan Lingga menghadangnya membuat Kharis langsung menoleh.
“Gue bicarain ke pelatih.” Kharis siap berdiri. Tapi tangan Lingga menghadangnya membuat Kharis langsung menoleh.
“Ka, dari awal anak-anak Siliwangi
ngincer gue.” Ilan tak mau kalah untuk bicara terlebih dahulu. “Tapi karena gue
belum bisa turun, makanya mereka lebih dulu focus ke Lingga.” Ilan berusaha
meyakinkan Kharis.
Kharis hanya balas menatapnya.
“Mereka tau Lingga temen gue.” Ilan
belum berhenti. “Dan mereka juga pasti tau gue gak akan tinggal diem liat temen
gue di serang gak wajar sama mereka.”
Lingga pun tajam menatap Ilan.
“Lan. Lo jangan ngorbanin diri.” Lingga
terdengar cemas. Rahangnya terlihat mengeras.
Dirasa tak ada yang merespon, Lingga menoleh
ke Kharis. “Ka, Ilan gak tau apa-apa tentang Rosengard.” Lingga juga berusaha
membujuk Kharis.
Ilan lebih tajam menantang Lingga dengan
matanya. “Kalo lo gak ngijinin gue turun, kenapa tadi lo minta izin Kharis buat
gue bisa turun?” Ilan terdengar menyalahkan Lingga.
Tapi Lingga tak mau kalah untuk tak
terlihat salah. “Gue gak tau kalo kondisinya bakal seperti ini, Lan.”
“Apa bedanya tadi atau sekarang?”
Lingga diam. Kharispun tak terlihat
membela salah satu dari mereka.
“Gue emang belom tau apa-apa tentang
Rosengard.” Suara Ilan menantang. “Tapi gue tau pasti seperti apa Siliwangi.”
Lingga kalah. Dan Ilan benar. Kharis
berada dalam tekanan. Ilan meletakkan tangannya di pundak Kharis.
“Ini pembuktian gue buat Rosengard.”
Mata Ilan terlihat tulus dan suaranya terdengar sungguh-sungguh.
Lingga siap buka mulut. “Lapor ke
panitia.” Tepat sebelum Kharis memerintahkan Ilan untuk pergi dari tempatnya
berada.
Ilanpun tanpa pikir panjang menuruti
ucapan Kharis.
“Tapi, Ka…”
“Tolong turutin gue.” Kharis menyela
ucapan Lingga. “Kalo lo maksain diri buat tetep tanding, bakal lebih beresiko.”
Tanpa menunggu, Kharis meninggalkan Lingga dan tak mempedulikan Lingga yang
masih terus memanggil namanya.
Merasa usahanya sia-sia, Lingga dengan
sangat terpaksa mengalah dan menerima nasibnya hari ini yang hanya bisa bermain
selama 30 menit.
Sementara Ilan telah bersiap di pinggir
lapangan dengan menggunakan seragam bernomor punggung 8 dan masih tertera nama
‘BAGAS’ di bagian punggungnya. Terdengar suara pengumuman dari speaker
mengiringi langkah pertama Ilan ke dalam lapangan dengan berbendera SMA
Rosengard.
“Masuk
nomor punggung 9, Brillian Mahendra. Menggantikan pemain bernomor punggung 11,
Lingga Dewantara.”
Pertandingan ini ternyata di siarkan
oleh salah satu televisi local. Nalula dapat menyaksikannya dari rumah. Tak
ketinggalan, Danu pun menyaksikan pertandingan itu dari rumah sakit. Momen
ketika Ilan masuk menggantikan Lingga pun tersiarkan. Dan tak pelak membuat
mereka terkejut secara bersamaan. “Ilan?” seru mereka hampir berbarengan meski
tidak dari tempat yang sama.
Seperti
yang dikatakannya, Ilan langsung jadi incaran beberapa pemain SMA Siliwangi.
Dan seperti yang dikatakannya juga, Ilan berhasil menghadapi pemain-pemain
Siliwangi yang sebagian besar cenderung bermain kasar.
Beberapa menit berlalu. Sejauh ini Ilan
bisa mengatasinya. Meski ia dan beberapa pemain Rosengard lainnya kerap kali
menjadi sasaran empuk pemain Siliwangi. Baik tak sengaja atau pun dengan
sengaja tapi bisa mengelabui penglihatan wasit. Kejadian itu masih terus
terjadi hingga pertandingan babak pertama usai.
@@@
Begitu pertandingan babak ke dua mulai,
suasana sama seperti babak pertama pun tak dapat dihindari lagi. Kejadian
serupa seperti Lingga pun kini dialami Ilan. Dan kali ini membuat Rosengard
mendapat hadiah tendangan bebas dari jarak tipis dengan kotak penalty. Ilan
telah bersiap dibelakang bola bersama pemain Rosengard lain bernomor punggung
14, Garra.
“Jangan langsung tendang melambung.”
Ilan tampak sedikit berbisik mengatur strategi dengan Garra. “Ada sedikit celah
di daerah sayap, terutama kanan.” Lanjutnya. “Coba oper lurus ke arah kiri
gawang. Gue akan coba tendang menyusur.”
Garra mengernyitkan dahi. “Kenapa gue
harus ikutin perintah lo?”
Ilan tercengang. Ia sadar tentang adanya
pro kontra di antara pemain Rosengard menyambut kedatangannya. Itu wajar. Tapi
itu juga gak boleh dibiarin tetap bertahan dalam jangka waktu lama. Karena Ilan
di sini juga tak hanya dalam satu atau dua hari. Mungkin akan selama masa SMA nya.
Ilan menghela napas. “Tolong percaya
sama gue, seperti lo percaya ke Lingga.” Pinta Ilan sungguh-sungguh. Karena
memang hanya kesungguhan yang bisa membuktikannya.
Garra pun akhirnya menuruti apa yang di
bilang Ilan. Dan Ilan pun tak membuat kesempatannya terbuang sia-sia. Ia
membukitannya dengan berhasil menjalankan rencananya dan merobek gawang klub
yang sempat di belanya.
Kharis dan beberapa pemain dari bangku
cadangan pun bersorak menyambut gol dari Ilan. Terkecuali Lingga yang tetap
diam melihat kegembiraan di depan matanya. Bukan karena ia tak senang dengan
gol Ilan, tapi lebih keran ia melihat sosok pelatih yang berdiri tidak jauh
dari kerumunan Kharis, diam tanpa ekspresi seolah tak mengharapkan Ilan bisa
mencuri gol. Itu yang sangat di kecewakan seorang Lingga.
@@@
Tak henti-hentinya Ilan jadi incaran
penyerangan. Tapi hingga waktu memasuki injury
time pun tak ada yang bisa menahan lajunya dan membuat frustasi seorang
Ilan. Kecuali dengan menjatuhkannya. Tapi kali ini, sial untuk SMA Siliwangi.
Pelanggaran yang terjadi menghadiahi Ilan dkk sebuah tendangan penalty.
Irham, pemain SMA Rosengard bernomor
punggung 7 siap mengeksekusi bola. Tendangan kerasnya berhasih sedikit mengecoh
kiper lawan dan bersarang tepat di sudut kanan gawang SMA Siliwangi. Skor 2-2.
Pertandingan hanya tinggal hitungan detik. SMA Siliwangipun tak mungkin untuk
menambah angka lagi.
Gak ada selebrasi apapun dari ke dua
tim. Terutama SMA Rosengard yang berhasil menyamakan kedudukan di menit-menit
akhir. Mungkin sedikit bisa bernapas untuk anak-anak SMA Rosengard, karena bisa
menahan imbang jura bertahan tanpa punggawa andalan mereka –Diaz, Danu, Bagas,
Lingga.
Ilanpun tak ingin membuang waktu untuk
berlari ke pinggir lapangan. Dilihatnya Lingga yang sudah lebih dulu
meninggalkan lapangan untuk mengejar sang pelatih. Ia berlari hingga dapat
dipastikan Lingga hanya berjarak beberapa meter. Lingga pun telah mensejajarkan
langkahnya dengan sang pelatih kepala.
“Pak. Saya sudah tau semuanya.”
Pak pelatih menoleh tajam ke arah
Lingga tanpa memperlambat ataupun
menghentikan langkahnya.
“Apa
tidak ada lagi kesempatan?” Lingga bersikeras mempertahankan egonya. “Kami
berhasil menahan imbang juara bertahan.”
“Yang
dibutuhkan kemenangan.” Begitu pula dengan sang pelatih yang juga
mempertahankan egonya. “Bukan hasil seri.” Lanjutnya. Semakin tak mempedulikan
Lingga yang tetap bertahan berdiri di sampingnya.
Mereka
berjalan hingga lapangan parkir.
“Tapi
pak…” Lingga bersikeras meyakinkan pelatihnya.
Kesempatannya
telah habis. Sang pelatih telah lebih dulu menghilang ke dalam mobilnya.
“Berarti
bapak tidak memperjuangkan apa yan telah kami lakukan?” teriakan Lingga
mengiringi laju kendaraan sang pelatih.
Lingga
nyaris saja mengejar mobil itu jika Ilan dan Irham tak menangkap tubuhnya.
Lingga berontak. Beberapa pemainpun mengerumuni.
“Lingga…!”
Suara Kharis menghentikannya. “Cukup.”
Lingga
dan yang lain berbalik sembari Ilan dan Irham meregangkan cengkeraman mereka.
PRRAAKK…
satu tamparan hadiah dari Kharis mendarat empuk di pipi kiri Lingga.
@@@
Seluruh
punggawa Rosengard—termasuk Kharis—berkumpul di ruang ganti pemain. Semua
tertunduk. Kharis berdiri diantara mereka, bersandar di pintu loker. Tak ada
satu pun yang bersuara.
“Lingga.”
Lingga
tak memedulikan suara Kharis yang menyebut namanya.
“Gue
tau lo kesel. Tapi coba lo tempatin diri lo di saat yang tepat.” Ujar Kharis
yang terdengar bijaksana.
Lingga
berdiri sambil memanggul ranselnya. Tak peduli dengan seragam bola yang masih
dikenakannya. “Kurang tepat apa kak? Semua tepat dan jelas!”
Tanpa
menunggu, Lingga langsung ngeloyor pergi dari ruangan dan membanting pintu yang
dilaluinya.
Ilan
menatap Kharis. Tatapannya mengisyaratkan sesuatu. Mungkin Ilan hanya terlalu
khawatir dengan kondisi mental Lingga yang lagi kacau.
Kharis
menggeleng. “Lingga bukan cowok bego yang dengan gampang ngelakuin hal tolol.”
Jawaban Kharis telah mewakili semuanya.
“Apa
benar pelatih akan lengser?” Tanya salah satu dari mereka. Sepertinya itu
Irham.
Kharis
mengangkat bahu. “Belum ada kepastian.”
“Tapi
gue rasa yang dikatakan pelatih tadi ke Lingga, udah bisa ngewakilin semuanya.”
Komentar Garra menanggapi jawaban Kharis.
“Pelatih
hanya emosi nanggepin reaksi Lingga yang mungkin menurutnya terlalu
berlebihan.” Suara Kharis terdengar meyakinkan. Seolah ia telah menyiapkan
jawaban-jawaban yang akan dilontarkan anak didiknya.
Kali
ini giliran Ilan yang berdiri. “Gue gak tenang sebelum memastikan Lingga…” Ilan
berat mengatakannya. “… melakukan hal tolol seperti apa yang lo katakan.”
Lanjutnya.
Kharis
menghela napas. “Lakukan aja apa yang menurut lo benar.”
Ilan
berjalan ke arah pintu.
“Makasih
untuk hari ini, Lan.”
Ilan
menoleh. Itu suara Garra yang berdiri tidak jauh dari pintu. “Gak masalah.”
Ilan tersenyum. Lega tepatnya. Kehadiran ia di sana telah di terima. “Kita satu
tim.”
Berlebihan
memang bagi Ilan. Tapi hanya itu tanda terima kasih dari anak-anak Dipokar yang
diwakili Garra. Biar gimana pun Ilan berhasil menyumbangkan satu gol dan satu
hadiah penalty yang berhasil di eksekusi Irham.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar