1. HARUS BANGGA DONK
PRIIT…PRIIT..PRIIT..
Peluit panjang tanda berakhirnya partai
final Liga Pelajar dengan skor akhir 4-2 keunggulan kubu SMA Siliwangi atas SMA
Rosengard. Para punggawa SMA Siliwangi berhamburan kedalam lapangan. Selebrasi
yang mereka lakukan layaknya menjuarai piala dunia.
Keadaan berbalik untuk kubu SMA
Rosengard. Dengan wajah yang masih bersimbah peluh, mereka tertunduk di atas
rumput yang menjadi saksi bisu redupnya prestasi sepak bola SMA Rosengard.
Salah satu diantaranya, Diaz. Pemain bernomor pungung 9 dari kubu SMA Rosengard
ini melangkah gontai ke tepi lapangan dengan wajah menekuri rumput yang hijau
dipijaknya.
Diaz berhenti setelah tangan seseorang
mendarat di pundaknya. Ia berbalik, dan ternyata orang yang tersenyum itu
adalah kapten SMA Siliwangi. Diaz bingung dibuatnya.
“Gue
Ilan.” Kata cowok itu sambil menyodorkan tangan kanannya.
Diaz tersenyum sebelum membalas jabat
tangan Ilan. “Diaz.” Ucapnya. Ada sedikit rasa canggung diantara mereka. “Oiya…
Selamat ya. Kalian memang pantas menang.” Kata Diaz akhirnya.
“Iya makasih. Kalian juga bagus mainnya.
Hmm.. Tahun depan kita harus ketemu lagi ya di partai final.”
Senyum Ilan mengembang.
Tahun depan? Nampaknya masih terlalu
jauh untuk dibayangkan. Makanya, Diaz Cuma bisa senyum doank nanggepin ucapan
Ilan.
“Boleh tukeran kostum?” Tanya Ilan.
“Kenapa nggak?”
Mereka saling melepas kostum
masing-masing dan saling menyerahkan. Begitu Ilan berlalu, Diaz membalikkan badan
dan kembali tertunduk. Langkahnya pun kembali terhenti setelah melihat tiga
pasang kaki yang masih lengkap dengan sepatu dan kaus kaki berdiri di
hadapannya. “Maaf.” Ucapnya lirih.
Senyum dan pelukkan hangat dihadiahkan
untuk Ilan dari sang sahabat. Lingga, Danu, dan Bagas.
“Jalan kita masih panjang.” Ucap Lingga
menyemangati sahabat-sahabatnya.
“Masih ada hari esok.” Danu mencoba
melakukan hal yang sama.
“Hidup bukan untuk menunggu keajaiban.”
Semua pelukkan terlepas setelah mendengar ucapan Bagas. Ia menunjukkan kepalan
tangan ke tengah-tengah mereka. “Setelah ini kita harus bangkit.” Lanjut Bagas.
Yang lainnya menyatukan tangan mereka di atas tangan Bagas.
@@@
Keempat sahabat ini berjalan beriringan
menelusuri koridor yang sore itu cahaya matahari menembus celah-celah kecil di
sekitar jendela. Kini mereka dapat melangkah dengan kepala tegak. Tak
terkecuali Diaz yang diantara mereka tampil penuh dalam pertandingan final ini.
Meski status mereka kala itu adalah pemain debutan yang lebih sering turun
sebagai pemain cadangan.
“Setiap detik yang telah berlalu, tak
kan pernah menunggu kita tuk bisa pahami hidup, dan sesali semua yang telah
lalu.” Kata Lingga yang sok puitis.
Spontan Danu, Diaz, dan Bagas
menghentikan langkah mereka. Lingga sendiri ikutan berhenti meski sebelumnya
sempat bejalan beberapa langkah.
“Keren juga kata-kata lo, Ga.”
Ucapan Bagas membuat Lingga berbalik dan
menunjukkan senyum tersombongnya.
“Gue juga baru denger sekarang kalo
temen gue yang satu ini bisa ngeluarin kata-kata bijak.” Diaz ikutan bikin
Lingga terbang.
Lingga sambil berlagak merapihkan kaos
bolanya. “Makanya… Jangan pada ngeremehin seorang Lingga Dewantara.” Tak
ketinggalan pula ia membereskan rambutnya.
“Iya deh, gue bangga punya temen kayak
lo.” Bagas mendekati Lingga dan merangkulnya. “Ya nggak??” Bagas melirik Danu
dan Diaz bergantian.
Diaz yang belum berpindah tempat hanya
mengangkat kedua ibu jarinya yang menandakan ia mendukung Bagas.
“Kok elu diem aja sih, Dan?”
Kali ini yang jadi pusat perhatian,
Danu. Tapi si target cuek aja, sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Matanya menerawang. Pikirannya seolah melayang.
“Wooii, Dan!!” Teriak Lingga.
Diaz yang berada di samping Danu
langsung menyikutnya. Danu mendongak dan tatapannya langsung ke arah Lingga.
Seketika raut wajah Danu berubah. “Dasar lo kucing arab!!” Ia melempar selembar
handuk kecil dan tepat mendarat di wajah Lingga. “Lo berdua mau aja di boongin.
Itu tadi lirik salah satu lagunya j-rocks. Bukan murni kata-katanya tuh anak.”
Diaz dan Bagas langsung nengok ke arah
Lingga yang nyengir tanpa ada rasa berdosa.
“Yee…!! Pake nyengir lagi!!” Komentar
Diaz yang siap melempar handuknya.
Tapi meleset. Lingga kabur.
“Woi..!! Jangan lari lo!!” Teriak Bagas
yang berlari mengejar Lingga. Diikuti juga sama Diaz dan Danu.
@@@
Sudah beberapa bulan berlalu sejak
berakhirnya partai final turnamen pelajar. Dan sekarang mereka di sini, di
sekolah mereka tercinta. Dan tepat banget sama hari di mana anak-anak SMA
Rosengard latihan sepak bola. Terlihat Lingga, Danu dan Diaz yang paling
semangat. Kecuali Bagas yang sama sekali tak terlihat di antara mereka. Mau tau
Bagas di mana?? Gak usah di cari kemana-mana. Anaknya ada kok. Baru aja nyampe.
Tapi nih anak gak pake seragam kayak yang lainnya.
“Yang semangat donk larinya.” Teriak
Bagas dari pinggir lapangan.
Lingga, Danu dan Diaz yang menyadari
kehadiran Bagas langsung menghampirinya.
“Kok udah nggak ikut latihan? Emang lo
harus berangkat sekarang, Gas?” Tanya Diaz.
“Tau
nih! Buru-buru amat! Tahun ajaran barunya aja kan masih lama.” Kata Lingga yang
tak rela ditinggalkan salah satu sahabat terbaikknya.
“Gue sih maunya gitu. Tapi kan gue harus
cari sekolah yang sepak bolanya bagus atau mungkin cari klub dulu.” Bagas
membela diri. Berusaha untuk tak mengecewakan ketiga sahabatnya.
“Jadi lo berangkat kapan?” Danu tak
ketinggalan angkat bicara. Kalo boleh jujur, Danu dan yang lain sangat
menentang keputusan Bagas untuk pindah dari Rosengard.
“Besok sore. Makanya besok pagi gue
tunggu lo semua di dermaga ya.” Pintanya bersemangat. Mengalihkan kekecewaan
dari ke tiga sahabatnya.
Danu, Diaz dan Lingga saling
berpandangan.
“Gak bisa di tunda dulu? Minimal ampe
pertandingan pra kompetisi kita lah besok lusa.” Danu berharap banyak. Meski
hanya itu yang bisa ia harapkan saat ini.
“Kita mau ngejalanin pertandingan
persahabatan. Masa lo gak mau liat?” Diaz malah terkesan ngomelin Bagas.
Mungkin itu ekspresi tak ingin kehilangan Bagas.
“Jakarta-Palembang kan gak jauh. Tega
amat sih?!” Lingga juga tak mau ketinggalan.
Mereka saling diam.
“Gue juga…”
“Ya udahlah…” Danu memotong ucapan
Bagas. Lalu menatap Lingga dan Diaz bergantian. “Lo berdua juga! Gak pengertian
amat sih ama temen.” Kini giliran Diaz dan Lingga yang kena omelan. “Bagas juga
masih di Indonesia kok. Gak keluar negri.”
Bagas dan keluarga memang hanya pindah
pulau. Tapi yang namanya kehilangan, tetep aja kehilangan. Gak peduli seberapa
jauh ditinggalkannya.
“Iya gue tau.” Lingga tak mau
tersudutkan. “Tapi sekarang lo gak buru-buru kan?”
“Paling gue cuma mau pamitan sama yang
lain. Dan mumpung malem minggu, gue pengen ngabisin waktu sama kalian.” Jelas
Bagas.
“Ih wow… Ngabisin waktu sama kita? Emang
lo pikir kita cowok apaan?” Diaz sewot dengan gayanya yang sok cool.
“Cowok-cowok jomblo yang kesepian.”
Celetuk Bagas yang menanggapi ucapan Diaz.
“Sekali lagi ngomong gitu, gua getok tuh
pala!” Lingga merasa sedikit tak terima dengan omongan Bagas barusan. Karena,
di antara mereka berempat, saat ini hanya Lingga lah yang sudah punya pacar.
Tapi Bagas sendiri cuma nyengir aja
ditemani senyuman Danu dan raut kesal dari wajah Diaz.
@@@
Abis
dari sekolah, mereka langsung meluncur ke rumah Danu. Ampe bikin halaman rumah
Danu yang luas itu sedikit terlihat penuh. Gimana nggak? Mereka pada bawa motor
sendiri-sendiri dan belum lagi mobil yang dikendarai Danu. Tapi tujuan utama
mereka begitu sampai di sana adalah kamar Danu yang bisa dibilang berfasilitas
lengkap.
Kayaknya mereka udah gak sabar
menikmatinya. Begitu masuk, mereka langsung melakukan hal-hal selayaknya di
kamar sendiri. Contohnya Lingga, yang begitu saja menelantarkan helm, ransel
dan jaketnya di lantai sesaat sebelum menikmati nyamannya kasur Danu.
Diaz sendiri begitu melempar barang
bawaannya ke sofa, langsung masuk ke kamar mandi. Kebelet rupanya.
Laen Lingga dan Diaz, laen pula sama
Bagas yang langsung ngejogrok di depan laptop. Ampe lupa ngelepas helm yang
masih nangkring di kepalanya.
Gak lama kemudian, Danu muncul dari
balik pintu sambil membawa nampan yang berisi empat gelas jus jeruk. Danu
meletakkannya di meja depan Diaz yang sekarang sibuk gonta-ganti channel tv.
“Tumben Dan, pembokat lo lagi gak ada?”
Komentar Diaz yang melihat Danu membawa nampan minuman sendiri.
“Ada, tapi gue yang minta buat bawain.”
“Anak rajin. Gitu donk.” Ledek Diaz
perihal kelakuan Danu yang tak sungkan-sungkan untuk membawa nampan berisi
minuman. Jarang-jarang juga kan ada cowok yang mau kayak gini.
“Enak aja! Emang lo?!” Danu tak terima
dengan ledekan Diaz.
Kalo hanya sekedar ledekan kayak gitu di
antara mereka sih gak bikin ampe sakit hati. Diaz sendiri gak merasa bersalah
atau pun minta maaf. Yang ada malah nyengir ngeselin.
“Dan, lagu j-rocks yang waktu itu di
sebutin Lingga yang mana?” Tanya Bagas. Tapi nih anak tatapannya masih ke layar
laptop.
Memang
gak ada batasan barang di antara mereka. Asal sifatnya gak ngerusak aja. Semua
yang ada di dalam kamar Danu bisa dinikmati layaknya milik pribadi.
Danu yang baru aja ngelempar badannya ke
sofa di samping Diaz langsung berdiri lagi. “Woi..Ga!!” ia malah melangkah
mendekati Lingga. “Lo kalo mau tidur ganti baju dulu sana!”
Perlahan Lingga membuka matanya sambil
sedikit menguap. Tapi memejamkan matanya lagi. Kayaknya nih anak emang ngantuk
berat. Danu menarik guling yang di dekap Lingga.
“Emangnya kenapa sih, Dan?”
“Spreinya baru gue ganti.” Cuma itu yang
di ucapin Danu. Sekarang ia mendekati Bagas. Yang ternyata, masih belum bisa
melepaskan helmnya. “Buka dulu napa tuh helm? Takut keilangan amat! Apa takut
di Palembang gak bisa pake helm lagi?” sambil mengedipkan sebelah matanya ke
Bagas. Ih..wow..
Bagas Cuma ketawa geli. Lalu melepaskan
helmnya.
“Eh, tadi lo tanya apaan?” kata Danu
mengulangi maksud Bagas.
“Lagu j-rocks yang disebutin Lingga
waktu itu.” Jawab Bagas.
“Coba sini gue cari.” Danu mengambil
alih mouse di laptopnya. Sibuk buka tutup folder yang ada. “Emang lo mau
dengerin?”
“Yaaa… Cuma pengen tau aja.”
“Oke…” Danu memutar lagu ‘spirit’ dari
group band j-rocks melalui winamp.
“Dan, gak ada cemilan apa?”
Danu menoleh ke sumber suara. Ternyata
Diaz. Bagas menepuk punggung Danu. Begitu berbalik, Bagas memaksa ranselnya
mendarat di pelukkan Danu.
“Gue udah siapin semuanya.” Gantian,
Bagas yang ngedipin mata kanannya.
Danu hanya tercengang. “Serem juga kalo
lo yang ngelakuin.”
Belum sempat Bagas mengangkat helmnya,
Danu udah kabur dan duduk di samping Diaz yang ikut ngebongkar isi tas Bagas.
Setiap detik yang telah berlalu
Tak kan pernah menunggu kita
Tuk bisa pahami hidup
Dan sesali semua yang telah lalu
Hadapi saja jangan kau ragu
Tuk jalani hidup ini
(spirit: j-rocks)
“Gas,
lagunya kecilin dikit donk. Atau nggak lo pake earphone aja gih.” Pinta Diaz
yang ngerasa aktivitasnya sedikit terganggu.
Bagas menoleh. “Oke.”
Lingga terlihat keluar dari kamar mandi
yang gak jauh dari Diaz dan Danu nonton tivi. “Nonton apaan sih lo, Dan?” tanya
Lingga sambil megusap-usap rambutnya dengan handuk. Kayaknya nih anak abis
mandi. Bajunya juga udah ganti.
Danu menoleh ke arah Lingga, terus ke
layar tivi, bungkus biscuit yang ada di tangannya, abis itu balik lagi ke arah
Lingga. “Gue juga gak tau lagi nonton apaan?” Ucap danu sekenanya. Dia juga gak
ngebahas apa yang telah dilakukan Lingga.
Bagas duduk ditengah-tengah antara Danu
dan Diaz. “Lha!! Gimana sih? Dari tadi kan lo yang ngejogrok di sini.” Kata
Bagas sambil nyomot biscuit yang ada di tangan Danu. Abis itu narik paksa
minuman kaleng yang lagi di tenggak Diaz. Waahh… pemaksaan. Untung yang punya
gak ngamuk.
“Nyari apaan sih lo, Ga?” Tanya Danu
agak keheranan ngeliat Lingga yang sibuk ngubek-ngubek ranselnya.
Lingga menghentikan aktifitasnya, lalu
mendongak. “Pinjem sarung donk, Dan.”
“Hk…” Bagas sedikit keselek
ngedengernya.
Danu malah jadi serba salah. Ia menyikut
sedikit lengan Bagas sebelum akhirnya berdiri. Membuka lemari yang tidak jauh
dari ranjang. “Nih..!” Danu menyerahkan sarung bermotif kotak-kotak berwarna
biru. Abis itu kembali lagi ke aktifitas sebelumnya.
Lingga sendiri milih untuk keluar kamar.
“Mau kemana lo, Ga?” Tanya Bagas dengan
sedikit berteriak sesaat setelah Lingga menutup pintu dari luar.
“Insyaf.” Balas Lingga dengan sedikit
teriakan juga dari arah luar.
“Semoga aja insyaf jadi playboy.”
Celetuk Diaz sekenanya yang diamini sama dua temannya. Terus kembali ke layar
tivi yang lagi nayangin serial drama Asia, Boys Before Flower. Ada-ada aja yang
di tonton.
Entah saking seriusnya nonton, atau
malah bingung sama apa yang di tonton, Bagas ampe miring-miringin kepala, terus
posisi duduknya juga ampe merosot ke lantai.
“Serius amat sih lo!” Danu komentarin tingkah
Bagas.
“Mending, Dan. Gua malah gak ngerti.”
Bagas mengakui.
“Alah…!” Danu ngelempar potongan biscuit
ke arah Bagas. “Gue kira lo ngerti.”
Danu dan Bagas saling pandang. Gak lama
kemudian bareng-bareng ngeliatin Diaz yang bener-bener serius mantengin tuh
tivi.
“Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?”
Tanya Diaz yang sadar jadi objek Danu dan Bagas.
“Lo sering nonton film itu?” Cara bicara
Bagas udah kayak polisi yang yang lagi ngeinterogasi tahanannya.
“Lo kayak kaka gue aja tau!” Celetuk
Danu. “Apa jangan-jangan saking terobsesinya sama kaka gue, makanya elu…”
“Enak aja lo!” Diaz segara menepis
kecurigaan dua temannya.
“Terus…?” Danu penasaran.
“Yaaa… Gue cuma suka aja sama
persahabatan mereka. Empat cowok ganteng, populer di sekolah, udah gitu tajir
pula, en yang paling penting, di kejar-kejar banyak cewek.” Semangat amat nih
anak nyeritainnya.
“Tapi biasa aja donk ceritanya!” Bagas
menganggap Diaz sedikit berlebihan.
“Bukannya gitu juga.” Diaz siap membela
diri. “Kalian belum nyadar apa? Mereka tuh kayak kita. Gue, kalian berdua, sama
Lingga. Kita berempat, mereka juga. Hampir sama lah. Ada yang playboy kayak
Lingga. Terus ada yang pendiem tapi ngeselin kayak…” Diaz menggantung
kata-katanya. Gimana nggak? Danu sama Bagas melototin kayak gitu ampe bikin
Diaz cabut ke kamar mandi.
Danu dan Bagas juga sebenernya gak ada
maksud buat melototin kayak gitu. Tapi Diaznya aja yang keburu negative thinking duluan. Bukan deh,
tapi kebelet duluan.
“Lucu juga sih Dan.” Komentar Bagas.
“Iya, si Lingga playboy. Gue, banyak
cewek yang ngejar. Elu setia banget buat nungguin Mirza ampe boleh pacaran.
Terus Diaz…” Danu juga menggantungkan kata-katanya. Bukan karna dipelototin
Bagas juga, tapi karna nih orang bener-bener bingung ngedeskripsiin temannya
yang satu itu.
“Diaz tuh kayak yang dia bilang sendiri
tadi. Pendiem tapi ngeselin.” Ucap Bagas seenaknya ampe bikin ketawa.
Akhirnya Diaz keluar dari toilet.
“Terus, Di. Yang jadi ceweknya siapa?”
Danu jadi gak sabaran.
“Iya.. Mirza, Tere, atau ceweknya Lingga
yang sekarang?” Bagas ikutan.
“Mereka juga bisa kok. Tapi salah
satunya udah pasti ada Vindya.” Kata Diaz yang sok terlihat cool.
“Vindya nyokap lo apa kakanya Danu?”
Diaz malah jadi salting. “Yaahh… kalian
pikir aja. Masa nyokap gue sih?”
“Ih… Ogah banget gue punya kaka ipar
kayak lo!” Danu sampe ngelempar kulit kacang ke Diaz. Diaz bales nimpuk, eh
malah kena Bagas. Ya udah deh mereka malah jadi saling timpuk.
Akhirnya adegan timpuk menimpuk pun
berakhir. Udah pada capek kayaknya. Ampe pada ngejogrok di lantai. Tapi, belum
juga napas udah pada bener, Lingga balik dan langsung merebahkan badannya ke
sofa.
“Udah, Ga?” Bagas agak penasaran dengan
kehadiran Lingga.
“Udahlah. Emang kalian pikir sekarang
baru jam berapa?” Balas Lingga dengan entengnya.
Sontak Danu, Diaz dan Bagas ngalihin
pandangan mereka ke jam dinding—bergambar salah satu klub sepakbola luar negeri
yang cukup terkenal—di salah satu sudut kamar Danu yang udah nunjukin pukul 18.45.
“Gila lo!! Belom sholat maghrib tau!!”
Teriak Diaz saking kagetnya.
Bikin Danu dan Bagas berdiri terus
rebutan ke kamar mandi. Ternyata yang dapet tempat lebih dulu adalah Bagas.
“Dan, ada sarung lagi gak?”
“Oiya…” Danu beranjak dari depan pintu
kamar mandi yang kemudian posisinya digantikan oleh Diaz.
Danu mengeluarkan lagi sarung bermotif
kotak-kotak merah dari dalam lemarinya. Kemudian kembali ke depan kamar mandi.
Bagas keluar dan Diaz langsung menyerobot masuk. Lagi-lagi Danu kalah cepat.
Beberapa saat kemudian Diaz keluar dari dalam kamar mandi.
“Dan, gue langsung balik ya?” Pamit
Lingga yang kini ada di depan pintu kamar sambil menenteng ransel, helm dan
jaketnya.
“Ya udah.” Ucap Danu singkat.
“Gue duluan ya Gas, Di.” Lanjut Lingga
kali ini kepada Diaz dan Bagas.
Belum sempat menutup pintu, Danu keluar
lagi dari dalam kamar mandi.
Beruntung Lingga baru membuka pintu
kamar.
“Kenapa?” Tanya Lingga agak keheranan.
“Lo gak ada niat pulang pake sarung
kan?” Pertanyaan yang bikin Bagas dan Diaz ketawa ngakak.
Lingga menunduk. Dan… ups.. Beneran dia
masih pake sarung. Alhasil, nih anak jadi bahan tertawaan Diaz, Bagas juga
Danu.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar