10. NEXT MATCH
Riva
membuka pintu ruang ganti pemain. Hampir semua punggawa tim telah siap dengan
seragam kebanggaan mereka. Kecuali Lingga, Hexa, Garra dan Dewa yang hanya
mengenakan jeans dan kaos biasa. Tapi hampir semua menatap ke datangan Riva.
“Mana Diaz?” tanya Riva tegas.
Davi yang berdiri di depan loker
bergeser dari posisi sebelumnya. Begitu pula dengan Dewa yang berdiri di
belakangnya. Ternyata mereka bergerak karena menutupi Diaz yang duduk bersandar
di depan loker. Sambil memegang buku file Nalula yang dibiarkannya. Riva
buru-buru masuk menyeruak tanpa mempedulikan siapapun yang di sana untuk
menghadap Diaz yang duduk diam serasa hanya ada dia di ruangan itu.
Riva berlutut menghadap Diaz. “Gue butuh
line-up pemain buat dilaporin.” Pintanya.
Suasanya terasa sangat hening. Semua
pandangan tertuju ke Diaz. Tapi tak ada yang berani menatapnya dalam-dalam,
kecuali Riva.
“Diaz!” Riva menegaskan karena ucapannya
tak direspon. Diaz sendiri hanya bisa
menghela napas.
“Lakuin apapun yang menurut lo terbaik
buat Dipokar.”
Diaz mendongak. Lingga kini berdiri di
hadapannya.
“Sekarang lo pimpinan kita di sini. Dan
kita percayain semuanya ke lo. Apa pun yang lo lakuin, adalah yang terbaik.”
Ujar Danu juga dari kejauhan.
Diaz menatap berkeliling. Hampir ke
seluruh pasang mata yang berada di sana. Sebagian tersenyum mendukung. Yang
lain mengangguk. Dan sisanya, tak berani menatap balik mata Diaz. Tapi secara
keseluruhan, semua mendukung apa yang akan menjadi keputusan Diaz.
Riva mendekat untuk membuka halaman
kosong pada file yang masih berada di pangkuan Diaz. “Kita gak punya banyak
waktu.” Ujar Riva penuh harap sambil menyodorkan pulpen ke arah Diaz.
Diaz membuat suasanya semakin tegang. Di
tatapnya pulpen itu. Berat sepertinya bagi Diaz untuk merai pulpen itu dari
tangan Riva. Ia menghela napas untuk menenangkan diri. Perlahan diraihnya
pulpen itu tanpa menatap Riva atau pun yang lainnya.
@@@
Suasana di ruang ganti SMA Rosengard berubah.
Semua berkumpul mengelilingi Diaz. Tanpa terkecuali. Diaz menuliskan sesuatu di
selembar kertas sambil sesekali menjelaskannya.
“Untuk kipper, gue masih percaya sama
Bintang.” Kata Diaz akhirnya. “Farel, Irham, Ferry dan Davi.” Diaz menatap satu
persatu dari nama yang ia tuliskan. “Kalian tetep defender andalan gue.”
Mereka yang namanya disebutkan, sangat
menerima keputusan Diaz.
“Tapi sedikit perubahan untuk pemain
tengah. Gue minta Gilang nempatin sayap kanan dan Khai di kiri.” Tambah Diaz.
Mata Gilang dan Khai beradu untuk saling
memberi dukungan.
“Sementara Farel gue tarik ke depan dari
posisi semula gantiin tugas Garra.” Diaz masih melanjutkan kata-katanya.
Nampaknya Farel terlihat sedikit
terkejut mendengar keputusan Diaz yang menariknya ke depan. Tapi dukungan dari
yang lainnya memunculkan kembali rasa percaya diri yang dimiliki Farel. Meski
ia sadar harus langsung beradaptasi dari posisi lamanya sebagai seorang
defender.
“Dan gue harus menarik mundur Danu ke
posisi yang biasa di tempatin Lingga. Karna gue berharap Danu bisa
berkolaborasi dengan Ilan juga Dendi yang gue pasang sebagai striker.” Ucapan
Diaz semakin penuh percaya diri.
“Berhubung gue gak bisa turun di
pertandingan kali ini, otomatis jabatan kapten berpindah ke kapten kedua. Yaitu
Danu.” Kata Lingga sambil berjalan ke arah Danu lalu merangkulnya. “Jadi,
keadaan di lapangan berada dalam kekuasaan lo. Sepenuhnya.”
“Itu juga yang jadi pertimbangan gue
untuk menarik Danu mundur ke posisi Lingga.” Diaz menambahkan.
“Semua udah terbukti, kan?” Riva
tiba-tiba berdiri. “Diaz pasti bisa.” Ujarnya, lalu melangkah ke luar ruangan.
“Thanks, Riv.” Ucap Diaz pelan. Bahkan
nyaris tak terdengar.
Pintu tertutup, tapi langsung kembali
terbuka. Kali ini Reva yang muncul. “Semangat ya semuanya. Kita pasti menang.”
Ujarnya dan tak lupa mengacungkan ke dua ibu jarinya diiringi dengan kedipan di
salah satu matanya. Setelah itu menutup pintu lagi.
Aksi jahil dari Reva sedikit banyaknya
berimbas ke seluruh anggota tim. Karena sedikit terhibur sebelum terjun ke
medan pertandingan.
@@@
Jalannya pertandingan di babak pertama
terasa membosankan. Gak ada aksi-aksi gemilang yang di tunjukkan pemain dari
kedua kubu. Bahkan tak ada satu gol pun yang tercipta hingga turun minum.
Sebelum meninggalkan lapangan, Diaz
menghampiri Lingga serta Garra. Sedikit membisikkan sesuatu pada mereka, lalu
pergi ke arah yang berlawanan dengan Lingga dan Garra.
Sementara di rumah sakit, Nalula dan
Tegar menyaksikan pertandingan hanya melalui tivi. Tegar terlihat senyum-senyum
sendiri menyaksikan Nalula yang duduk diam di kursi di samping tempat tidurnya.
“Nal.” Panggil Tegar.
“Hmm.” Hanya itu yang terdengar dari
bibir Nalula yang tanpa menoleh sedikit pun ke Tegar.
“Gue tau apa yang lo pikirin?” tanya
Tegar setengah menggoda Nalula.
“Apa?” Nalula balik bertanya. Tapi
posisinya tak berubah. Menatap lurus ke layar televisi.
Tegar semakin tak bisa menahan tawanya.
“Udah sana ke stadion.” Perintahnya.
“Gue gak…” Ucapan Nalula menggantung
begitu mendengar suara pintu terbuka. Tegar dan Nalula sama-sama menengok.
Ternyata Garra yang muncul dari balik pintu. Diikuti Lingga yang berdiri di
belakangnya.
“Gimana keadaan lo, Gar?” tanya Garra
yang kini berdiri di samping Tegar.
“Alhamdulillah, udah lebih baik dari
kemaren.” Jawab Tegar.
“Emangnya lo sakit apa sih?” Kali ini
giliran Lingga yang bertanya. “Kok ampe harus dirawat segala?”
“Gapapa kok. Cuma kecepean aja. Paling
besok juga udah boleh pulang.”
“Paru-paru basah. Dua atau tiga hari
baru boleh pulang. Sambil nunggu sisa udara dingin di paru-parunya netral.” Itu
suara Nalula yang sampai sekarang belum berpindah tempat dari posisi semula.
“Bener gitu, Gar?” Garra minta kepastian
atas menjelasan dari Nalula.
Tegar nyengir sambil mengangguk kecil.
“Udah ketebak.” Celetuk Lingga pelan.
“Ya udah lah. Mending lo bawa tuh cewek
ke stadion.” Tegar menunnjuk Nalula dengan dagunya. “Tekanan batin gue rasa
kalo lama-lama di sini.”
Nalula hanya ngelirik sekilas ke Tegar.
“Niat gue emang gitu kok. Nganterin
Garra buat nemenin lo di sini dan bawa Nalula ke stadion.” Lingga menjelaskan.
“Tuh, Nal. Gue sekarang udah ada yang
nemenin. Jadi lo gak usah khawatir ninggalin gue sendirian.” Tegar masih saja
menggoda Nalula.
Akhirnya Nalula berdiri. “Iya iya gue
pergi. Itu kan yang dari semalem lo mau?” balas Nalula sambil meraih jaketnya
di sofa.
“Ya udah, gue tinggal dulu ya?” pamit
Lingga.
“Nal.” Panggil Tegar yang bersamaan
ketika Nalula menggenggam gagang pintu.
“Apa lagi?” keluh Nalula yang sesaat
mengurungkan niatnya untuk membuka pintu.
“Inget ya. Kalo Rosengard sampe kalah, gue kirim
lo balik ke Jakarta.”
“Ngancem apa balas dendam?” Nalula
langsung membuka pintu dan keluar dari kamar Tegar tanpa menunggu ucapannya di
respon. Sementara Lingga mengikutinya dari belakang. Tegar sendiri hanya
terkekeh mendengar perkataan Nalula yang membuat Garra terlihat bingung.
@@@
Begitu Lingga dan Nalula sampai di
stadion, pertandingan udah kembali berjalan sekitar 15 menit. Hasilnya pun
cukup mencengangkan. Rosengard
tertinggal dua gol tanpa balas. Dan tujuan awal mereka adalah langsung
menghampiri Diaz yang berdiri di pinggir lapangan.
“Nal?” Ujar Diaz begitu Nalula mendekat.
“Gapapa kok, Di. Kita masih punya
setengah jam lagi buat nyusul angka.” Nalula berusaha menenangkan Diaz yang
terlihat cukup kacau. Nalula sedikit melirik ke belakang, di mana beberapa
pemain cadangan berada. Salah satu dari mereka tampak memegang botol air
mineral yang masih utuh. Nalula mendekatinya. “Anjar. Boleh minta minumnya
gak?”
Anjar sendiri yang terlihat serius
menyaksikan jalannya pertandingan, sedikit kaget. “Minta minum?” ia malah balik
bertanya.
“Boleh gak?” Nalula memastikan sambil
melirik ke arah lapangan.
Anjar belum menjawab apa-apa. Dari arah
lapangan, Nalula melihat Ilan berjalan menepi. “Aaahh… kelamaan lu, Njar.”
Gerutu Nalula yang terlihat cukup kalut dan tanpa sadar merebut paksa botol itu
dari tangan Anjar. Lalu sesegera mungkin menghampiri Ilan. Meski terdengar
Anjar meneriakkan namanya, Nalula sama sekali tak merespon.
Ilan semakin dekat dengan posisi Diaz
berdiri. Diaz pun juga menyiapkan sebotol air mineral untuk Ilan.
“Ilan.” Nalula berteriak sambil langsung
menyodorkan botol itu ke Ilan sehingga membuat Ilan terdorong menjauh dari
Diaz.
Ilan membuka tutup botol air mineral yang
deberikan Nalula.
“Lan, rotasi posisi.” Kata Nalula yang
membuat Ilan membatalkan niatnya untuk menenggak air itu.
“Siapa aja?” Tanya Ilan.
“Elu, Danu sama Dendi. Tapi bilangin
juga ke Farel, jangan terlalu mundur. Dia lupa sama posisi barunya sekarang.”
Ilan hanya mengangguk sebelum
menyerahkan botol minum itu ke Nalula dan kembali ke tengah lapangan.
“Rotasi posisi?” Tanya Diaz kepada
Lingga yang sejak tadi berada di dekatnya.
Lingga mengangkat bahu. “Rasanya Cuma
tuh anak dua yang tau.”
@@@
Waktu normal masih tersisa sekitar 15
menit lagi. Dan kedudukanpun belum berubah, 2-0 untuk SMA Jatidiri. Diaz
mengajukan
pertukaran pemain. Lucas yang bernomor punggung 20, masuk menggantikan pemain
bernomor punggung 6, Khai.
Begitu pertandingan berlanjut,
pelanggaran terjadi sedikit di luar kotak penalty SMA Jatidiri. Dendi yang jadi
korban, harus ditandu keluar lapangan. Sementara pemain bernomor punggung 21
harus diganjar kartu merah oleh wasit. Dan Diaz harus kembali menurunkan pemain
cadangannya untuk turun menggantikan Dendi. Kali ini yang mendapat kesempatan
adalah Anjar yang bernomor punggung 3. Itu artinya, Danu kembali ke posisi
awalnya sebagai seorang striker bersama Ilan.
Empat sampai lima pemain SMA Jatidiri
berdiri membentuk pagar betis untuk menghalangi Danu yang siap mengeksekusi
bola.
Suasana tegang pun kembali terjadi.
Nalula berdiri sedikit dibelakang Lingga. “Ilan… Danu… Ilan… Danu… Ilan… Danu…”
ujar Nalula pelan. Tapi cukup terdengar dan sedikit mengganggu untuk Lingga
yang berdiri di dekatnya.
“Sssttt… Bisa tenang gak sih?” tegur
Lingga tanpa sedikit menengok ke Nalula.
Nalula melirik Lingga dan membalas
ucapannya “Nggak!”
Begitu menoleh, Lingga menemukan Nalula
yang berjalan ke arah Diaz. “Dasar cewek aneh!” gerutunya.
Tapi ternyata tujuan Nalula bukan ke
Diaz. Melainkan melewati Diaz lalu mendekati Dendi yang masih dalam perawatan.
“Den, lo gapapa?”
“Kaki gue sakit banget nih, Nal.” Jawab
Dendi yang masih tampak memegangi kaki kirinya.
“Bisa kita bawa Dendi ke rumah sakit
aja?” Kata Nalula kepada salah satu tim medis yang kini sedang menangani Dendi.
“Iya, gapapa. Tapi kami lagi gak bisa
menyiapkan kendaraan.”
Nalula diam. “Den, gapapa kan kalo gue
bawa lo nya pake motor?” bisik Nalula pada Dendi.
“Apapun deh, Nal. Asal lo jangan nyuruh
gue yang bawa motornya aja.”
Nalula tersenyum menanggapi perkataan
Dendi. “Ya iyalah, Den. Gue gak setega itu.” Dalam keadaan seperti ini, Dendi
masih sanggup sedikit bercanda.
Dendi balas tersenyum menutupi rasa
sakitnya. Nalula berdiri dan melangkah ke arah Diaz. Sedikit berbincang pada
Diaz. Begitu Diaz mengangguk, Nalula kembali melangkah. Kali mengarah ke
Lingga, sedangkan Diaz sendiri berjalan menuju tempat Dendi berada.
Nalula menepuk pundak Lingga.
“GGOOOLLL…” Lingga berteriak hingga membuat Nalula terkejut. Saking gembiranya,
tanpa sadar Lingga mendekap tubuh Nalula sambil sedikit mengguncangkannya.
Sekuat tenaga Nalula berusaha melepaskan diri dari dekapan Lingga. Tapi percuma
aja. Gak segampang itu untuk lepas dari pelukan Lingga.
Lingga menoleh ke arah lapangan dan
mendapati Danu melangkah ke arahnya. Seketika pula ia melepaskan dekapannya dan
langsung beralih memeluk Danu.
Nalula merasakan tubuhnya goyah. Sekilas
hampir saja Nalula terlihat seperti pingsan. Tapi Dewa yang ternyata berada di
dekatnya langsung menghadang tubuh Nalula.
“Nal, lo gapapa?”
“Gapapa kok. Gue Cuma gak bisa
ngimbangin badan aja abis di guncang gitu sama Lingga. Ya udah, makasih ya?”
Nalula cepat-cepat berusaha mengalih dari Dewa. Sosok pertama yang ia tangkap
adalah Dendi yang kini berdiri sedikit berpegangan pada Diaz. Dilihatnya dua
orang itu kini tersenyum geli kepadanya.
“Seneng lo berdua?” Kata Nalula ketus.
Diaz masih terkekeh. Lalu tanpa komentar
meninggalkan Nalula bersama Dendi. Nggak berapa lama, Diaz kembali sambil
melambaikan sebuah kunci. Kunci motor nampaknya, yang tergantung pada tali yang
bermotif bola sepak. Mereka memang tak pernah lepas dari yang namanya sepak
bola.
“Nih.” Diaz menyodorkan kunci itu ke
Nalula. “Hati-hati lo berdua.” Pesannya.
Nalula dan Dendi saling membalas
pandangan. Lalu tersenyum.
@@@
Pintu kamar rawat yang ditempatin Tegar
tiba-tiba menjeblak terbuka. Nalula yang muncul dibaliknya.
“Lho, Nal? Lo udah di sini lagi aja?”
Jelas yang bertanya tadi adalah Tegar. Belum sempat
Nalula menjawabnya, suara Garra gantian
yang terdengar.
“Gol nya Danu tadi kerena ya, Nal?”
Nalula diam. Bingung tepatnya. Ia pun
masih berdiri di ambang pintu. ‘Gol nya Danu?’ Nalula bertanya dalam hati.
‘Yang mana?’
“Jangan bilang lo gak liat?” tanya Garra
lagi.
Kalo harus jujur, jawaban atas
pertanyaan Garra adalah ‘Ya’. Nalula memang tak menyaksikan proses terjadinya
gol oleh Danu. Yang ia ingat hanya ketika Lingga berteriak ‘gol’, lalu
mendekapnya. Nalula sedikit menggeleng seolah berharap kejadian itu tak kan
terulang dan tak kan muncul lagi dalam pikirannya.
“Eh, Gar! Lo lupa apa sama insiden
barusan?” ujar Tegar seolah hanya tertuju pada Garra. “Jelas aja Nalula gak
liat, secara dia kan lagi asik dipeluk sama Lingga.”
“Heh! Enak aja gue dipeluk Lingga! Siapa
yang bilang?” hardik Nalula.
“Emang gak ada yang bilang sih, Nal.
Tapi tadi kita liat sendiri di tivi.” Ujar Garra apa adanya.
“Liat apa!?” Nalula memastikan.
“Lo di peluk Lingga.” Tegar memperjelas.
“Hah…!” Nalula terdengar seperti
histeris. Rasa kaget, kesal dan malu bercampur aduk untuk dimunculkan. Tapi
secepat mungkin Nalula melepaskan penyudutan atas dirinya. Kali ini pikirannya
tertuju pada tempat tidur kosong yang jelas-jelas semalam baru saja dihuni.
Sedangkan di kamar itu hanya tersedia dua tempat tidur yang salah satunya di
pakai Tegar.
“Nal. Kok malah diem?” Tegur Garra.
“Sorry ya kalo kita tadi sedikit keterlaluan.” Suaranya menyadarkan Nalula.
“Gapapa kok. Gue Cuma mau nanya itu,”
Nalula sambil menunjuk ke arah tempat tidur yang kosong. “Kok kosong? Bukannya
semalem baru ada yang nempatin ya?”
“Bilang aja, Nal. Kalo lo nyariin tuh
cowok?” Tegar masih saja menggoda Nalula. “Doi cakep sih.”
“Orangnya udah dipindahin, Nal. Baru
aja. Sebelum lo dateng.” Garra menjelaskan.
“Oh.” Cuma itu yang dikatakan Nalula
sebelum akhirnya kembali meninggalkan kamar Tegar. Dan sore itu Rosengard meraih kemenangan dengan skor tipis
1-0. Tapi
cukup untuk membawa mereka ke babak semi final.
@@@
Nalula baru aja sampai di rumah menggunakan
motor yang tadi ia pakai untuk mengantar Dendi ke rumah sakit. Di saat yang
bersamaan, pintu rumah terlihat terbuka. Mulai dari Diaz, Riva, Reva, Hexa,
Dewa sampai Lingga muncul bergantian. Diaz langsung mendekati Nalula yang baru
saja memarkirkan motor dan kini sedang membuka helmnya.
“Mau kemana, Di?” Nalula yang tampak
lebih dulu bertanya.
“Gue sama anak-anak mau ke rumah sakit.”
Jawaban Diaz hanya membuat Nalula mengangguk. “Tegar sama Dendi gimana?” lanjut
Diaz.
“Mereka udah baikan kok. Biar maksimal,
Dendi gue ajuin buat dirawat aja. Tau sendiri kalo dirumah tuh kayak apa?”
Jelas Nalula yang membuat Diaz tersenyum menanggapinya. “Tegar juga
mudah-mudahan besok udah dibolehin pulang.”
Gantian Diaz yang sedikit mengangguk.
“Yang lain mana?” tanya Nalula, karena
hanya segelintir saja yang ia lihat bersama Diaz.
“Gue emang sengaja ngajak mereka yang
tadi sore gak ikut tanding. Termasuk si kembar. Yang lain gue suruh istirahat.”
Nalula melihat jam tangannya. “Udah jam
tujuh. Mending kalian berangkat sekarang.” Saran Nalula.
“Iya adikku.” Ledek Diaz sambil mengelus
lembut kepala Nalula. “Jangan lupa makan. Tadi gue udah titip pesen ke Danu
buat dia mastiin lo makan.”
Dewa yang duduk di kursi kemudi menekan
klakson. “Adek lo gak bakal kemana-mana, Di.” Ledeknya yang juga disetujui yang
lain. “Pulang dari rumah sakit juga masih bisa ketemu.”
Diaz dan Nalula hanya tertawa
menanggapinya.
Begitu mobil yang dikendarai Dewa
berlalu, Nalula yang menutup pintu pagar. Tak berapa lama, sebuah motor
berhenti tepat di depan pagar. Nalula hanya sedikit menggeser pagar rumahnya.
Seorang pemuda turun dari motor dan langsung menghampiri Nalula.
“Cari siapa, Kang?” tanya Nalula ramah.
Ia hanya membuka kaca helmnya. “Maaf
teh, ganggu malam-malam. Saya hanya di suruh mengantarkan ini.” Ujar pemuda itu
dengan sopan dan dengan diiringi logat Sundanya sambil menyodorkan sebuah
amplop coklat.
Nalula meraihnya. “Oh, iya. Makasih ya.”
“Sama-sama.” Hanya itu yang diucapkannya
untuk membalas ucapan Nalula sebelum pergi.
Amplop itu di rasa Nalula tak hanya
berisi satu atau dua lembar kertas. Tapi nampaknya terdiri dari beberapa helai
kertas yang terlipat di dalamnya. Sementara di bagian luar tertulis MENEJEMEN
SEPAKBOLA SMA ROSENGARD.
“Surat untuk klub?” Nalula tak sabar
untuk mengetahui lebih lanjut tentang isi surat itu. “Surat panggilan untuk
official klub? Dengan ini kami selaku panitia penyelenggara memanggil beberapa
orang pengurus klub sepakbola SMA Dipokar yang kami curigai melakukan
pelanggaran. Diantaranya: 1. Kharis Anggara. 2. Diaz Airlangga. 3. Nalula
Airlangga. 4. Rivanna Soraya. 5. Arreva Soraya. Adapun pelanggaran yang
dilakukan…” Nalula membaca bagian inti dari keseluruhan isi surat. “Ini cobaan
apa lagi?”
@@@
Semalaman Nalula tak tidur karena
terlalu terfikirkan masalah surat panggilan dari panitia itu. Dan sekarang
tepat jam tiga pagi. Nalula masih berkutat di sekitar ruang tengah dan dapur.
Tivi masih menyala, sementara Nalula duduk di meja makan sambil mengaduk-ngaduk
teh buatannya. Sementara amplop itu tergeletak tak jauh dari gelasnya. Dari
arah tangga seperti terdengar orang berbicara. Dan semakin lama suara mereka
semakin dekat menuju dapur. Ternyata itu Danu dan Lingga. Mereka sedikit
terkejut mendapati Nalula seorang diri di meja makan.
“Lo lagi ngapain, Nal?” tanya Lingga
penuh curiga.
“Kok gak tidur?” Danu menambahkan.
“Gue kebangun, jadi nya gak bisa tidur
lagi.” Ujar Nalula sedikit berbohong terhadap Danu dan Lingga.
Mereka masing-masing duduk di samping
Nalula. Danu mungkin tak begitu mempermasalahkan alasan Nalula yang tetap
terjaga pagi itu. Tapi tidak halnya dengan Lingga. Ia sejak tadi mengawasi
Nalula yang di rasanya menyimpan sesuatu. Dan kecurigaannya berujung di amplop
coklat yang tergeletak di sana.
“Ini amplop apa, Nal?” tanya Lingga yang
langsung dapat merebut amplop itu meski Nalula yang langsung sadar gagal
menghadangnya.
“Itu surat gue dari Zagar.” Lagi-lagi
Nalula menutupi sambil berusaha merebut kembali amplop yang kini telah
berpindah ke tangan Danu.
“Menejemen Klub Sepakbola SMA Rosengard.”
Danu membaca tulisan di luar amplop.
“Danu balikin.” Kata Nalula sebelum
akhirnya di dekap Lingga. “Itu bukan apa-apa.”
Lingga benar-benar tak membiarkan Nalula
mendapatkan kembali amplop itu. Sampai-sampai ia harus pindah dan menduduki
satu bangku bersama Nalula hanya untuk bisa menahannya. “Buka apa isi nya,
Dan.” Perintah Lingga sambil berusaha sekuat tenaga menahan Nalula yang terus
saja meminta Danu untuk mengembalikan amplop itu.
Seperti halnya sore tadi. Tak mudah
untuk Nalula melepaskan diri dari seorang Lingga. Nalula pun semakin tak
berdaya melihat Danu menyelesaikan tiap kata pada surat itu. Setelah Danu
menceritakan isi surat itu ke Lingga, suasana langsung berubah semakin sepi.
“Ini serius, Nal?” Danu minta
penjelasan.
Nalula menghela napas. Sesaat masih
hanya suara tivi yang terdengar. “Gak tau lah, Dan.” Nalula terdengar pasrah.
“Jadi, ini yang dari tadi lo pikirin?”
Lingga berbicara tepat di telinga Nalula. suaranya terdengar sangat jelas.
Nalula menoleh dan wajah Lingga pun hanya beberapa senti di depannya. Dan tanpa
sadar, tangan Lingga pun sebenarnya masih melingkari tubuh Nalula.
“Apa-apaan nih?!” Diaz datang
membuyarkan segalanya. “Lingga!” ia terlihat geram. “Lepasin ade gue!”
Sontak Lingga melepaskan dekapannya.
Danu berdiri dan berusaha menceritakan tentang surat itu. Tapi Diaz tak
menghiraukannya. “Apa yang kalian lakuin?” tany Diaz kepada siapa saja yang
berada di sana. “Ngapain lo meluk Nalulua? Apa selama ini kalian pacaran?!”
tuduh Diaz yang jelas-jelas untuk Lingga yang kini sudah berpindah tempat duduk
di samping Nalula.
“Lo salah paham, Di.” Lingga berusaha
menjelaskan.
“Heh!” Nalula berdiri tepat sebelum Diaz
mengomentari perkataan Lingga. “Jangan asal tuduh!” Nalula merebut paksa amplop
di tangan Danu. Ia dengan seenaknya melempar amlpop itu ke atas meja, tepat ke
arah Diaz yang berdiri di seberangnya. “Lo baca itu!”
Danu, Lingga dan Nalula duduk diam
menunggu respon Diaz dengan penuh tak minat. Diaz tampak menggeleng. “Ini pasti
bercanda kan, Na?”
“Gue harap juga gitu.” Jawab Nalula tak
bersemangat.
“Itu alasan kita ada di sini.” Danu
menambahkan.
“Tapi gue rasa, itu bukan alasan Lingga
untuk bisa meluk Nalula.” Diaz menatap tajam ke Lingga yang juga balas
menatapnya. Jika Nalula tak menahan tangan Lingga, mungkin sekarang Lingga
telah berdiri di hadapan Diaz dan menghajarnya.
“Lo emang kakak gue, tapi apa urusan lo
ikut campur masalah pribadi gue.” Kata Nalula pelan tapi cukup menantang. “Mau
gue pelukan sama Lingga, ciuman sama Danu, pacaran sama Tegar atau Dewa. Lo gak
berhak ngelarang.”
Diaz tercengang mendengar perkataan
Nalula yang seolah tak menganggapnya sebagai kakak. Sementara Danu ataupun
Lingga, tak ada satu pun yang berani merespon atau pun berkomentar terhadap
pernyataan Nalula yang cukup mengejutkan.
Tapi Lingga nampaknya sudah tak tahan
akan sikap Diaz. “Sekarang apa mau lo?” tanya Lingga sambil melipat tangannya
di depan dada.
“Kita harus turutin panggilan dari
panitia.” Nalula yang menjawab.
“Tapi gue mau kita tunggu sampai Kharis
datang.” Diaz menambahkan. “Pagi ini dia berangkat ke Bandung.”
Tanpa sepengetahuan Diaz, Danu atau
Lingga, Nalula terlihat sedikit sumringah mendengar Diaz menyebutkan nama
Kharis. Dan memaparkan bahwa Kharis akan segera berada di Bandung.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar