9. ROAD TO TOURNAMENT
Ada
pemandangan sedikit berbeda di depan gerbang SMA Rosengard. Total ada tiga mobil
pribadi yang terparkir di tepi jalan. Terliat pula Danu, Ilan dan Lingga
merapihkan ransel-ransel ke bagasi di mobil masing-masing. Nampaknya turnamen
siap berlangsung. Para punggawa sepakbola SMA Rosengard tampak disekitar
mobil. Termasuk pula Diaz, Reva dan Riva.
Ilan duduk di kursi pengemudi. Memeriksa
sana-sini. Entahlah apa pun itu. Intinya, pas Ilan membuka pintu, nyaris
terjadi kecelakaan kecil. Sebuah motor berhenti medadak sesaat sebelum Ilan
yang juga terkejut menutup pintu.
“Astaghfirullah.” Ilan langsung keluar
dari mobil. “Hati-hati donk kalo bawa motor.” Tegurnya.
“Sorry deh, Lan.” Sang pengendara
membuka kaca helmnya.
Ilan rada terkejut. “Nalula?”
“Iya.” Ujar Nalula sambil mengeluarkan
sesuatu dari dalam saku jaketnya. “Gue Cuma mau ngasih titipan dari Kharis.”
Selembar kertas putih yang terlipat rapih, lalu menyerahkannya ke Ilan.
“Apaan nih?”
“Mana gue tau? Surat cinta kali?” Ledek
Nalula.
“Kurang ajar lo!” balas Ilan.
Nalula terkekeh. “Katanya di situ ada alamat
rumah yang bakal kalian tempatin. Kalo udah sampe, jangan lupa kabarin dia.”
Kata Nalula sambil merogoh saku jeansnya. “Kalo udah nyampe, jangan lupa
kabarin dia.”
Ilan memandang heran kertas putih yang
ada di tangannya. “Terus, Kharisnya mana?” Tanya Ilan. “Emang dia gak ikut ke
Bandung, apa?”
“Tenang aja. Ntar dia nyusul kok.”
Celoteh Nalula sambil menyodorkan sesuatu ke Ilan. Nampaknya sebuah kunci. “Ya
udah ya. Gue cabut dulu.” Ujar Nalula sok asik sambil menutup kaca helmnya.
“Eh, ntar dulu.” Kata Ilan yang
cepat-cepat menghalangi langkah Nalula. “Lo mau kemana? Emang gak sekolah apa?”
“Gue mau jemput soulmate gue dulu. Dan
tenang aja, abis itu gue bakal nyusul kalian kok.”
“Nyusul ke Bandung?” Tanya Ilan
memastikan.
“Iya. Udah awas. Ntar gue telat, lagi.”
Nalula memaksa Ilan menyingkir, dan… berlalu begitu saja meninggalkan Ilan yang
hanya bisa geleng-geleng kepala menanggapinya.
@@@
“Kenapa
kamu gak jujur
raja sih, Nal? Kharis udah cerita semuanya ke kakak.”
Nalula
hanya bisa mendengarkan suara Farlan dari seberang ponselnya. ‘Gimana mau
jujur?’ Nalula hanya bisa berujar dalam hati.
“Sekarang
kalo udah kejadian begini, apa yang bakal kamu lakuin?”
“Kejadian
apa?” Nalula memastikan.
“Kamu
ngomong langsung aja nih ke Kharisnya.” Kata Farlan cepat-cepat, lalu
menyodorkan ponselnya ke Kharis yang kini berbaring di rumah sakit.
“Nal.”
Ucap Kharis dengan suara cukup pelan.
“Eh,
kenapa lo, Kak?” Nalula panic bercampur penasaran.
“Lo
masih di Bandung kan?”
“Iya.
Tapi tenang aja, gue juga udah mau balik kok.”
“Gue
minta lo jangan balik dulu ya.” Kata Kharis penuh harapan.
“Kenapa?”
“Tadi
pagi gue dirawat, Nal. Gue juga belom tau sampe kapan. Jadi gue minta, lo tetep
di sana ya, bantuin Diaz.”
Nalula
yang sedang sendiri di sekitar gelanggang olahraga, dibuat tak berdaya. Tapi
nggak pas ia melihat Danu, Lingga, Ilan, Diaz, Reva dan Riva dari kejauhan yang
berjalan ke arahnya. Meski sebenernya ia tau, mereka kesana bukan untuk Nalula.
“Nal.”
Kata Kharis yang merasa cukup lama Nalula terdiam. “Lo kenapa?”
“Iya
iya… Gapapa kok.”Sahut Nalula yang nampaknya tak focus. “Lingga sama yang lain
ngapain di stadion?” ia bertanya sendiri dengan suara pelan.
“Mungkin
Cuma mau ngeliat suasana stadion aja kali.” Kharis ternyata mendengar apa yang
dikatakan Nalula.
“Eh,
kok malah lo yang jawab?” Nalula langsung menyadari respon dari Lingga. “Gue
kan Cuma nanya sendiri.”
Kharis
menanggapinya perkataan Nalula dengan senyuman yang jelas-jelas gak bisa
dilihat, bahkan diketahui oleh Nalula.
“Tapi
lo jangan lama-lama ya di rawatnya.” Pinta Nalula.
“Iya.
Makanya, gue mohon sama lo, gantiin posisi Diaz. Biar posisi gue Diaz yang
ngisi.”
‘Ternyata
memang takdir gue di sepakbola gak bisa terelakkan lagi’. Keluh Nalula dalam
hatinya.
“Nal.”
“Kenapa
lo ngelakuin ini sih? Apa gue pernah ngelakuin kesalahan sama kalian? Terutama
sama lo?”
“Gue
sayang lo, Nal.” Kharis cepat-cepat memutuskan sambungan teleponnya sebelum
Nalula mendengar ataupun merespon ucapannya. Farlan yang masih berada di sana,
cukup kaget mendengar kata-kata dari Kharis yang tertuju pada Nalula.
“Lo
ngomong apa tadi, Ris?” Tanya Farlan ingin memastikan dengan apa yang baru saja
ia dengar.
“Pliss,
kak. Jangan salahin gue tentang itu.” Hanya itu pinta Kharis sambil perlahan
memejamkan matanya.
@@@
Malam
itu sama sekali gak ada yang tau kalo Nalula nekat balik ke Jakarta. Di temani
Zagar, ia membereskan beberapa pakaian ke dalam koper.
“Nal.”
Kata Zagar.
Nalula
masih sibuk merapihkan pakaiannya. “Plis, Gar. Jangan tanya apa-apa lagi. Gue
gak bisa mikir apapun.”
Zagar
tidak membantu. Pikirannya yang kacau hanya membuatnya duduk di tepi tempat
tidur mengawasi gerak-gerik Nalula. “Masalah tempo hari. Gue bener-bener gak
serius.” Ucapnya pelan dan hati-hati.
Nalula
berhenti. “Gak serius?” Tegasnya sambil menatap Zagar. Ia tak ingin melakukan
apa-apa lagi. Nalula duduk di samping Zagar. “Gar!”
Zagar
hanya menggeleng pelan. “Gue gak bisa berfikir jernih.”
“Tapi
yang lo omongin gak salah.”
“Brian
gak segila itu.”
Nalula
menghela napas. Ia kembali berdiri, kali ini tepat di depan Zagar dan
menatapnya. “Bilang sama gue, Gar.” Nalula membuat Zagar balik menatapnya.
“Keputusan gue salah.”
Tak
ada harapan. Zagar tertunduk. Ia tak menjawab. Nalula meraih ponselnya yang
tergeletak di atas meja belajar. Ia mencari nama ‘Kharis’ di kontaknya. “Gue
akan tanggung jawab sama apa yang bakal lo lakuin.” Kata Zagar sesaat sebelum
Nalula menempelkan ponselnya ke telinga.
“Kak.
Gue bakal jadi orang pertama yang marah kalo lo gak secepatnya sembuh dan balik
ke Bandung.” Hanya itu yang dikatakannya kepada seseorang di telepon. Ia
melempar ponsel ke tempat tidur lalu menutup resleting kopernya. Nalula meraih
jaket di sandaran kursi dekat meja belajar, kemudian menurunkan kopernya ke
lantai.
“Maafin
gue, Nal.” Kata Zagar yang masih pada tempatnya.
“Ini
takdir gue, Gar.” Nalula melirik jam tangannya yang telah menunjukkan pukul
tujuh malam. “Dan lo yang udah nyadarin gue akan segalanya.” Ia menunggu Zagar
untuk bangkit. “Kita gak punya banyak waktu.”
Zagar
mengangguk dan ia mengingatkan Nalula yang melupakan sesuatu, ponselnya. “Gue
selalu ada buat lo, Nal.” Ucapnya sambil menyodorkan ponsel itu.
Nalula
menyambarnya. “Harus lah!” katanya sambil melangkah keluar kamar.
@@@
Latihan
pertama mereka di Bandung, di laksanakan di sebuah lapangan basket kompleks
perumahan yang mereka tempati kala itu. Diawali dengan pemanasan yang
dikomandoi oleh Lingga. Sementara Diaz, Reva dan Riva mengawasi dari pinggir
lapangan.
Konsep
latihan yang di usung Diaz memang tidak seratus persen menjamin perkembangan
kawan-kawannya di turnamen kali ini. Diaz harus berkali-kali menggilir pemain
untuk latih tanding. Karena ukuran lapangan basket yang hanya memungkinkan
untuk bermain futsal. Jadilah mereka membagi dua kelompok yang hanya bisa
dimainkan oleh sepuluh orang. Dan ironisnya lagi, mereka menumpuk ransel untuk
menyanggah toya yang dijadikan gawang darurat.
Apapun
kondisinya, tak membuat Lingga dan kawan-kawan kehilangan semangat. Termasuk
Diaz yang harus menggantikan posisi Kharis meski untuk sementara waktu.
Ditemani Riva yang sedikit membantu Diaz dengan mencatat seluruh perkembangan
punggawa Rosengard
sesuai arahan Diaz. Tanpa meremehkan posisi Reva juga yang dengan ikhlas
melayani permintaan teman-temannya akan air mineral ataupun handuk.
Diaz
menghentikan latihan sementara waktu dan mengajak Danu beserta yang lainnya
untuk beristirahat seiring dengan kehadiran Nalula di sana yang langsung
mengarah ke Diaz, Reva dan Riva di tepi lapangan.
“Maaf
telat.” Kata Nalula yang langsung duduk bergabung bersama Diaz, Reva dan Riva
dengan membentuk sebuah lingkaran kecil.
“Gapapa.”
Diaz gak keberatan. “Gimana hasilnya?” tanya nya yang sudah penasaran dengan
berita yang dibawa Nalula.
“Sama
kayak kemaren, ada 16 sekolah yang tanding. Kita masuk grup A bareng SMA
Teladan, SMA Gelora dan SMA Jatidiri. Juara grup langsung masuk semifinal.”
Jelas Nalula yang ditanggapi serius oleh Diaz. Ia pun menunjukkan selembar
kertas ke Diaz. “Ini catatannya. Pertandingan pertama kita, besok. Dan dapat
giliran pertama di sore hari.” Tambahnya lagi.
“Siap.”
Kata Diaz yang langsung berdiri menuju tengah lapangan tempat rekan-rekannya
berada.
@@@
Pertandingan
perdana yang akan dilakoni SMA Rosengard melawan SMA Gelora akan berlangsung
sebentar lagi. Semua sibuk dengan aktivitas masing-masing tanpa ada yang
bersuara satu pun. Begitu Diaz dan Nalula muncul, semua berkumpul di satu titik
dalam ruang ganti pemain.
“Kalian
siap?” tanya Diaz untuk teman-temannya.
“Siap!”
balas semuanya kompak.
“Bagus.
Pesen gue Cuma satu. SMA Gelora emang gak masuk daftar tim unggulan. Tapi
jangan sekali-sekali ngeremehin keberadaan mereka. Kalian harus tetep focus.”
Lanjutnya.
“Sebelum
keluar dari ruangan ini, ada baiknya kita berdoa dulu sesuai agama dan
kepercayaan masing-masing. Mulai.” Perintah Nalula yang membuat seluruh pemain
menundukkan kepala dan hening sejenak.
@@@
Berkali-kali
Kharis menatap jam di ponselnya yang kini udah menunjukkan pukul lima sore. Dan
akhirnya menimbulkan kecurigaan di mata Farlan.
Farlan
melipat Koran ditangannya. “Kamu mikirin apa sih, Ris?” tanya Farlan.
“Nggak
kak, itu…” Sesaat Kharis memikirkan alasan yang cukup masuk akal untuk menutupi
keresahan hatinya. “… di sini ada channel tivi local di Bandung gak sih?”
Kharis sambil sibuk menggonta-ganti channel televise.
“Kirain
kenapa? Yaudah kamu coba cari aja dulu.”
“Iya
kak. Ini juga lagi di cari.”
“Ya
udah. Kakak keluar dulu ya sebentar.” Pamit Farlan dan kemudian keluar
meninggalkan Kharis.
Kharis
Cuma bisa mengangguk dan melirik untuk
memastikan keberadaan Farlan. Dirasa sudah aman, Kharis menghela napas lalu
menyandarkan badannya ke bantal. Ponselnya bordering. Beberapa saat kemudian
Kharis sibuk dengan obrolannya melalui ponsel. Sampe lupa sama acara tivi yang
sebenarnya menayangkan pertandingan antara SMA Rosengard melawan SMA Gelora di
menit 53 dengan skor 1-0 keunggulan sementara untuk SMA Rosengard.
Entahlah
itu semua berlangsung berapa lama. Intinya ketika Farlan kembali, ia menemukan
Kharis yang tertidur dengan posisi ponsel masih menempel di salah satu
telinganya. Dan televisi masih dalam keadaan menyala dengan pertandingan yang
sama meski posisi berubah 3-1 dengan keunggulan tetap untuk SMA Rosengard.
Injury
time. Farlan tertarik untuk menyaksikannya, meski hanya tersisa dua menit
sebelum berakhirnya pertandingan.
“Goooolll…!!!”
teriakan Farlan cukup untuk membangunkan Kharis dari tidurnya. “Akh payah kamu.
Masa ketiduran sih? Pertandingannya seru tuh.”
Kecewa
memang, tapi Khris gak mau ketinggalan lagi ketika momen gol yang ditorehkan
Lingga di tayangkan lagi.
Berawal
dari bola muntah dari tangan kipper SMA Gelora dan jatuh di kaki Garra. Begitu
melihat peluang bagus, Garra mengoper bola ke Lingga yang langsung
meneruskannya menjadi gol dari luar kotak penalty.
Semua
bersorak menyambut gol pelengkap kemenangan SMA Rosengard sore itu. Sementara
waktu SMA Rosengard
berada di urutan pertama klasemen grup A.
@@@
Kemenangan
itu memang indah. Tapi Nalula tak ingin membiarkan Lingga dan kawan-kawan larut
dalam suasana. Bersama Diaz, Nalula telah menyiapkan materi latihan untuk sore
ini.
“Cepat
lari!” perintah Nalula untuk dituruti Danu dan kawan-kawan.
Sekitar
satu jam kemudian, Diaz mengakhiri latihan. Dan seperti biasa, briefing seusai
latihan.
“Lawan
kita berikutnya adalah SMA Teladan, yang secara materi sedikit diatas SMA Gelora. Itu PR untuk kita.” Ucap
Diaz, lalu melirik Nalula yang ada di sampingnya yang kini sibuk nulis-nulis
sesuatu di buku file yang akhir-akhir ini berada di tangan Danu, Lingga, Ilan
bahkan Diaz. “Mungkin ada yang mau lo tambahin, Nal?” katanya.
Nalula
langsung menghentikan aktivitasnya. “Hmm… Apa ya?” ujarnya sambil menutup buku
file itu. Nalula tampak sedikit berfikir. “Gak banyak sih. Cuma gue punya
sedikit catetan buat Lingga, kondisi fisik lo rada turun.” Lingga yang jadi
target, hanya bisa mendengarkan apa yang dikatakan Nalula. “Begitu juga dengan
tegar. Lo keliatan gak focus pas disuruh ngawasin Ilan. Sering ketinggalan
langkah. Dan Bintang. Konsenterasi lo buyar, apalagi abis Dewa ngebobol gawang
lo. Tapi secara keseluruhan, kalian gak terlalu buruk. Meski belum seperti yang
kita harapkan.”
Nalula
menunggu respon dari Lingga dan yang lainnya. Ternyata ekspresi mereka sama.
Diam. Maklumlah, mereka baru selesai latihan.
“Jadi
gue harap kalian gak tidur diatas jam 10 malam.” Lanjut Nalula.
“Kenapa?”
terdengar suara Irham yang dari kejauhan mengomentari kata-kata Nalula.
“Kenapa?”
Nalula mengulangi pertanyaan Irham. “Pastinya buat kebaikan kalian semua lah.
Dan kalo sampe ada yang ketauan sama gue, Diaz, Reva atau Riva…”
“Bakal
dihukum gitu, Nal?” Tegar menyambar omongan Nalula yang jelas-jelas belum
selesai.
Sesaat,
suasana berubah tegang.
“Nggak
kok, tenang aja.” Kata Nalula akhirnya.
Sesaat
kemudian, ketegangan itu sudah bisa teredakan. Danu dkk akhirnya bisa bernapas
lega.
“Tapi
anggaplah itu bukan hari keberuntungan kalian.” Nalula menambahkan.
“Apa?”
tanya mereka hampir bersamaan.
Nalula
hanya bisa menahan tawa melihat tampang anak-anak menanggapi ucapannya. Membuat
Nalula sekilas menangkap sosok Kharis dibayangannya. ‘Ternyata, gampang banget
ya buat ngotak-atik psikologis anak buah lo. Gue sampe ngerasa jadi orang jahat
kalo ngingetnya.’ Ujar Nalula dalam hatinya.
Nalula
menoleh dan mendapati Diaz melihat ke arahnya. Nalula hanya membalasnya dengan
senyum. ‘Diaz. Lo pengobat rindu gue ke papa. Melihat mata lo, bikin gue
ngerasa nyaman.’ Ujar Nalula dalam hati. Meski ia sangat ingin Diaz untuk
mengetahuinya.
Diaz
berdiri. Terlihat ia berbalik dan menyingkir. ‘Lama gue berharap punya seorang
adik. Mengkhayal kalo adik gue seorang cewek yang mandiri, cantik, pintar, dan
yang terpenting, menyukai sepakbola seperti halnya gue. Dan gue bersyukur
karena itu semua nyata. Lo ada di samping gue sebelum kita pernah bertemu.
Meski hanya sebagai
khayalan gue.’ Batin Diaz.
@@@
Di
laga kedua, SMA Rosengard
harus menghadapi SMA Teladan. Permainan keras bahkan menjurus kasar pun tak
bisa dihindari para pemain kedua tim. Alhasil, tiga kartu kuning dihadiahi
wasit untuk Lingga, Tegar dan Dewa, serta lima kartu kuning dan satu kartu
merah untuk pemain dari SMA Teladan. Meski demikian, hasil manispun dapat
diraih SMA Rosengard
dengan kemenangan 3-1.
Tak
hanya sampai disitu, masalah lainpun datang. Beberapa pemain di dekap cedera.
Nalula mendaftar semua nama untuk dilaporkannya ke Diaz.
“Kita harus bergerak cepat. Bakal ada perubahan
drastis di pertandingan berikutnya.” Kata Nalula yang langsung memamerkan
catatannya sambil mengajak Diaz menuju ruang tengah. “Kita gak bisa nurunin
Dewa, cedera punggungnya kambuh. Permainannya juga lagi gak stabil. Kalo
dipaksain, yang ada kita bisa kehilangan Dewa di semi final. Apalagi dia udah
ngantongin satu kartu kuning. Lo tau sendiri Dewa kayak gimana?”
“Separah
itu?” Diaz tampak keheranan. “Tapi semi final juga belom tentu punya kita. Tadi
SMA Jatidiri menang lawan SMA Gelora.”
“Lo
jangan pesimis gitu donk? Kita tuh Cuma butuh hasil imbang aja di pertandingan
terakhir. Karena kita masih unggul selisih point sama SMA Jatidiri.”
“Kalo
Jatidiri menang?”
“Dengan
selisih minimal tiga gol.”
“Tapi
besok Lingga juga gak bisa turun.”
“Lingga?”
Nalula tampak berfikir tentang kondisi Lingga. “Ya ampun. Dia harus akumulasi
kartu?”
“Iya.
Kemungkinan kita harus tarik Hexa sedikit di depan menggantikan posisi Lingga.”
Usul Diaz.
“Diaz!
Apa lo lupa tadi Hexa harus di tandu keluar lapangan?” Pertanyaan Nalula
menjebak. “Terus, pelipis kanan Garra robek, itu bisa ngurangin konsentrasinya.
Dan gue gak mau ambil resiko untuk itu.” Lanjutnya. “Kita bener-bener
kehilangan semua pemain tengah di tim inti.” Keluh Nalula.
“Hah!
Semua? Tapi…”
“Iya,
gue tau apa yang lo pikirin. Tapi mau gimana lagi? Kita harus maksimalin pemain
yang ada.”
Semua
diluar perkiraan Diaz. Dan sekarang, ia mesih diam. Nalula juga diam.
“Diaz!”
suara Reva yang terdengar nyaring dari arah dalam, membuyarkan semuanya. Ia
datang dengan cukup tergesa-gesa. “Tegar demam.” Ujarnya begitu sampai di depan
Diaz dan Nalula. “Badannya panas banget” lanjutnya, membuat Diaz dan Nalula
berdiri dan bergegas ke kamar Tegar di lantai atas.
Kamar
Tegar tampak penuh sesak. Terlihat hampir seluruh pemain memadati ruangan itu.
Nalula, Diaz dan Reva harus bersusah payah menyeruak masuk. Di tengah ruangan,
tampak Tegar terbaring di tempat tidur dengan mata terpejam. Bintang yang duduk
di tepi tempat tidur, mendekapkan selimut ke tubuh Tegar.
“Kejadiannya
udah dari tadi?” Tanya Nalula kepada siapa saja yang bisa menjawab
pertanyaannya sambil menempelkan tangan ke kening Tegar.
“Dari
tadi sore tuh anak emang udah ngerasa gak enak badan.” Tutur Bintang yang juga
salah satu teman sekamar tegar.
“Kenapa
didiemin aja? Badannya panas banget!”
“Dipikirnya
setelah itirahat bakal baikan. Ya kita juga gak kepikiran kalo endingnya bikin
nih anak malah menggigil kayak gitu.” Tambah teman sekamar Tegar yang lain,
Anjar.
Nalula
berdiri menghadap Lingga cs. “Kalo gitu, gue minta kalian balik ke kamar
masing-masing. Kecuali Davi dan Farel.” Kata Nalula sambil menatap Davi juga
Farel yang berdiri bersebelahan. “Gue minta tolong sama kalian buat bantu gue
bawa Tegar ke rumah sakit.”
Satu
per satu orang yang berada di sana meninggalkan kamar Tegar termasuk Farel dan
Davi yang menuruti permintaan Nalula.
“Lo
tunggu di sini.” Perintah Nalula ke Tegar yang jelas-jelas masih terbaring di
tempat tidur. Nalula pun hendak mengikuti teman-temannya yang lain untuk
beranjak dari kamar itu. Tapi langkahnya langsung terhenti setelah merasakan
salah satu tangannya tertahan. Begitu menoleh, ia mendapati Tegar yang ternyata
menggenggam tangannya.
Perlahan
mata Tegar terlihat terbuka. “Gue gapapa kok, Nal. Lo gak usah repot-repot bawa
gue ke rumah sakit.”
“Oh
gitu?” Nalula terlihat menantang. “Kalo lo ngerasa baik, buktiin.”
Tegar
melepas genggamannya. Ia sadar ia tak cukup kuat untuk menjawab tantangan
Nalula.
“Gar,
gue tau itu bukan kemauan lo untuk sakit.” Nalula berusaha terdengar tenang.
“Jadi lo tenang aja. Karena gue gak akan ngetawain lo atau pun menganggap lo
lemah.”
“Gue
Cuma butuh istirahat.” Tegar tetap berusaha sekuat Tenaga untuk tetap bertahan.
“Nal.”
Panggil Bintang dari arah pintu. “Davi sama Farel udah nunggu di bawah.”
Ujarnya.
“Iya,
bentar.” Ucap Nalula singkat. Kemudian kembali beralih ke Tegar. “Sekarang
terserah lo. Mau nurutin gue ke rumah sakit, atau mau gue kirim pulang ke
Jakarta?” ancaman Nalula membuat Tegar diam.
@@@
Tegar
udah dipindahin ke ruang perawatan. Begitu Nalula kembali, ia menemukan Farel
dan Davi yang tertidur di sofa. Nalula berjalan mendekati mereka. “Davi.”
Panggilnya sambil menepuk pelan pundak Davi.
Sesaat
Davi mengerjap-ngerjap
sesaat sebelum benar-benar membuka matanya. “Kenapa, Nal?”
“Kalian
pulang aja, biar gue yang nungguin Tegar di sini.”
“Tapi…”
Pintu
kamar terbuka sesaat sebelum Davi menyelesaikan ucapannya. Seorang perawat
membawa masuk seorang pasien menggunakan kursi roda. Diikuti seorang ibu
bersama seorang anak perempuannya yang kira-kira seumuran dengan Nalula.
Nalula
seperti mengerti maksud kekhawatiran Davi. “Gue gak bener-bener berdua sama
Tegar kan?”
“Iya.
Tapi pasien di sebelah Tegar itu kan cowok juga. Masih muda lagi. Kalo ibu itu
sama anaknya lagi keluar, lo cewek sendiri donk?”
Nalula
sempat merasa terharu mendengar Davi bicara seperti itu. Padahal kan mereka
belum lama kenal. “Berlebihan deh lo. Ini kan rumah sakit. Pasti pelayanannya
24 jam. Lagian, gue tuh dulu pernah jadi danton, jadi suara gue bisa kedengeran
sampe luar.” Nalula tak mau kalah.
Davi
tersenyum. “Iya, gue percaya.” Sebenarnya sih nahan ketawa. “Udah kebukti juga
kok. Pantesan aja suara lo bisa kedengeran seantero rumah.” Ledeknya.
“Kurang
ajar lo!” balas Nalula.
Davi
tertawa pelan. “Iya maaf. Gue Cuma bercanda. Ya udah deh, gue balik ya.”
Pamitnya. “Tapi kalo ada apa-apa, lo langsung telpon orang rumah ya.”
Tambahnya.
Nalula
hanya mengangguk mendengar Davi tampak begitu perhatian.
Begitu
Farel dan Davi keluar, Nalula mendekati Tegar untuk untuk meletakkan tas
plastic berisi air mineral dan roti di atas meja yang terletak di samping
tempat tidur Tegar. Diliriknya Tegar yang kini telah terbangun.
“Lo
udah bangun, Gar?”
Tegar
menghena napas. “Kenapa lo baik banget sih ke gue? Kita kan baru kenal.”
“Terus?”
“Yaa…
Harusnya lo gak perlu ngebawa gue ke rumah sakit. Biarin aja gue istirahat di
rumah.”
Nalula
menantang tatapan mata Tegar.
“Jadi
lo gak perlu capek-capek nungguin gue di sini.” Lanjut Tegar. “Anak-anak yang
lain juga butuhin keberadaan lo.”
Sesaat
Nalula diam. “Fine! Gue bakal nyuruh Diaz untuk packing pakaian lo. Dan besok
lo bakal langsung gue kirim pulang ke Jakarta.” Balas Nalula dengan entengnya.
“Apa?”
mata Tegar terlihat melebar. “Kok jadi ngancem gitu?”
“Owh…
ngerasa terancam?” Nalula memastikan.
“Hmm…”
“Ya
udah.” Sambar Nalula. “Kalo gitu lo harus sembuh biar bisa kumpul lagi sama
yang lain buat ngelanjutin turnamen.”
“Itu
ancaman atau harapan?” Tegar mengajukan pertanyaan menjebak.
Nalula
hanya tersenyum. Lalu menuju sofa dan menyandarkan badannya di sana. “Dua-duanya.
Ancaman dari gue dan harapan dari anak-anak.”
Tegar
beralih dari tatapannya ke Nalula. Sesaat matanya kembali terpejam.
“Hidup
itu pilihan. Sekarang terserah lo.”
Sontak,
Tegar langsung kembali menoleh ke arah Nalula. Tapi cepat-cepat Nalula manghindari
tatapan Tegar dengan berbaring di sofa dan menutupi wajahnya dengan jaket.
Tegar belum
melepas tatapannya ke Nalula. ‘Jadi itu yang bikin Ilan, Danu dan Lingga
bersikeras ngebawa lo terlibat di klub?’ ujarnya dalam hati.
@@@
“Lo
pikir lo hebat?”
Nalula
terkejut dengan tuduhan Zagar.
“Lo
pikir, masalah udah selesai? Setelah lo berhasil bawa Diaz ke klub jadi
asistennya Kharis.” Lanjut Zagar. “Nggak, Nal.” Zagar memberi jeda pada kata-katanya.
“Apa gak terlintas di benak lo? Brian masih menyimpan dendam ke lo. Ia bisa
kapan aja muncul dan ngancurin semuanya. Lo sadar kan di sana ada sodara lo?
Diaz dan Kharis. Apa lo rela mereka yang nanggung semua yang seharusnya terjadi
pada lo?” ujarnya. “Rela lo, Nal?” kali ini Zagar terdengar lebih tegas.
Nalula
tak berkutik dan tertekan dengan emosi Zagar.
“Yang
gue pikirin tuh Cuma lo, Nal.” Suara Zagar terdengar lebih sabar. “Gue gak mau
Brian bersikap seenaknya ke lo.”
“Gue
gak peduli sama Brian!” Nalula menantang.
“Baguslah
kalo gitu.” Pelayan datang membawa pesanan mereka. Zagar menahan ucapannya
hingga pelayan itu pergi. “Tapi lo masih peduli sama gue kan?” Zagar seolah
memohon.
“Plis
jangan bersikap kayak gitu.”
“Terus
apa yang lo mau?” Zagar kembai menantang. Nalula tak bisa menjawab. “Gue
bersumpah, Nal. Lo gak akan liat gue selama turnamen, kalo lo juga gak berada
di sana.”
Mata
Nalula melebar. Ancaman yang berhasil diluncurkan Zagar. “Lo gak bisa bersikap
kayak gitu.”
“Kenapa
gak bisa?” Zagar menuntut penjelasan. “Gue tau itu bukan alasan utama lo nolak
tawaran mereka.”
Nalula
meyandarkan badannya ke kursi. Dan bukan Nalula namanya kalo langsung terlihat
kalah. “Apa yang lo tau tentang alasan terbesar gue?”
“Kharis.”
Tebak Zagar.
Nalula
langsung bersikap waspada.
“Gue
rasa lo jatuh cinta sama Kharis. Gak peduli kayak apa perasaan lo ke Dewa.”
Nalula
tersenyum. “Kalo ternyata itu benar?”
“Hah?”
Zagar tak mempersiapkan jawaban apapun. “Patah hati deh gue.”
Alis
Nalula seperti terangkat.
“Tapi
gue gak peduli apapun alasan lo. Karena yang gue mau, lo jangan ngibarin
bendera putih ke hadapan Brian.”
Mendengar
Zagar menyebutkan bendera putih, Nalula seolah mengkhayal sesuatu. Zagar
mencurigai sikap Nalula. “Tau gak sih, gue jadi inget film ‘Merah Putih II’.
Adegan di atas gedung ‘Lawang sewu’. Pas Dony Alamsyah (pemeran Thomas)
ngerobek warna biru pada bendera Belanda.”
“Untung
aja yang warna merah gak ikutan dirobek, jadi gak tersisa bendera putih. Itu
kan maksud lo?”
Nalula
hanya tersenyum menanggapi tebakan Zagar.
“Intinya,
inget sama semua ancaman gue.” Zagar membuat senyum Nalula kembali memudar.
“Gue serius, Nal.” Nalula sangat tak antusias menanggapinya. “Gue gak mau
perjuangan gue, lo dan Ilan sia-sia.”
“Tapi
kenapa lo tiba-tiba muncul di sini? Gue yakin semata-mata bukan hanya karena
cerita dari Ilan tentang gue.” Nalula mengalihkan pembicaraan.
“Gue
bakal cerita, asal lo mau janji.”
“Janji
buat nerima tawaran Ilan dan kawan-kawan?” Nalula mengulangi. “Itu maksud lo?”
Zagar malah mengangguk walau tak terlihat serius. Nalula menghela napas.
“Gimana ceritanya, Gar? Gue harus mohon-mohon gitu? ‘Ilan, gue mau kok jadi
asistennya Kharis, kemaren gue Cuma bercanda. Pliss, masukin gue lagi di
kepengurusan klub’.” Nalula mencontohkan dengan berpura-pura seolah ia akan
berbicara seperti itu ke Ilan. “Gitu?”
Zagar
malah tertawa. “Iya, Nal. Lo bilang kayak gitu aja.”
Nalula
menjadi jengkel dibuatnya. “Gak lucu ZAGAR PAMUNGKAS.”
Zagar
langsung diem. Tak ada tawa yang tersisa. “Yang bilang itu lucu siapa, NALULA
AIRLANGGA?” balas Zagar. Kecuali lo janji. Atau ancaman gue berlaku.”
“Apa
untungnya ancaman lo buat gue?”
“Pasti
ada untungnya lah. Seenggaknya gue gak bakal bersikap gila dengan nekat
ngebantu Brian ngebalesin dendamnya ke lo.”
“Lo
gak bakal berani ngelakuin itu.”
Zagar
menghabiskan sisa minumannya. “Kata siapa?” lalu merebut gelas yang masih
terisi penuh di depan Nalula.
“Eh,
itu kan punya gue?”
“Kata
siapa?”
Nalula
hanya menghela napas dan pasrah menyaksikan minumannya mengalir ke dalam mulut Zagar.
Rasanya percuma menghalangi niat Zagar.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar