6. SEMENDUNG LANGIT
ROSENGARD
Nalula
janjian dengan Ilan di sebuah lapangan futsal. Begitu Ilan nyampe, Nalula lagi
nonton anak-anak yang lagi tanding dari pinggir lapangan.
“Serius amat? Emang ada yang kenal?”
Tanya Ilan sedikit curiga yang langsung duduk di samping Nalula.
Nalula menggeleng.
Tampang Ilan makin heran.
Gak ada yang ngebahas lagi. Mereka
akhirnya beralih ke sebuah lapangan futsal yang kosong. Pakaian Nalula udah
ngedukung banget buat main fusal. Mulai dari kaos, celana, hingga sepatu.
Begitu pula dengan Ilan yang juga telah siap di depannya.
“Gapapa kan kalo kita Cuma berdua?”
Nalula bertanya sambil mengikat rambutnya.
“Gapapa juga kan kalo gue ngajak temen?”
balas Ilan yang juga telah siap di tangah lapangan.
Nalula diam. Bingung tepatnya. Lalu
sebuah bola melesat ke arahnya, dan begitu saja berlalu tanpa permisi di
samping Nalula. Begitu menoleh, Nalula tercengang melihat bola itu telah
bersarang di dalam gawang yang tak berpenghuni, jauh di belakang Nalula berdiri
sekarang. Dan dari kejauhan, seseorang berjalan ke arah mereka.
“Danu?” Ujar Nalula tanpa bersuara.
Sosok Danu pun semakin dekat dan semakin
jelas di pandangan Nalula. Tapi ia tak ingin berkomentar banyak. Mungkin
dipikirannya, lebih banyak orang, lebih seru.
Mereka memulai permainan. Secara yang
ada hanya tiga orang, Nalula, Danu dan Ilan bergantian sebagai kiper ataupun
sebagai penendang. Terkadang, Danu dan Ilan pun iseng saling mengoper bola.
Alhasil, Nalula yang menjadi korban mengejar bola. Tapi begitu Nalula sedikit
lengah, otomatis Ilan dan Danu ikutan lengah. Dan disitulah Nalula mencuri
kesempatan. Bola yang di tendang Ilan bisa direbut oleh Nalula. Itu juga pake
tangan, terus di bawa kabur ke dekat gawang. Abis itu, bola ditendangnya hingga
masuk gawang. Ilan dan Danu tak berkutik melihat tingkah Nalula.
“Nal, sejak kapan maen bola kayak gitu
caranya?” Teriak Ilan dari arah tengah lapangan.
Nalula memungut bola itu lagi. “Sejak
gue main bola sama kalian berdua.” Balas Nalula sambil melempar bola itu ke
Ilan. Tapi gak kena. Soalnya Ilan mengelak.
Danu hanya tertawa menanggapinya.
Mereka bertiga udah pada keringetan.
Capek juga abis lari-larian. Apalagi Nalula. Akhirnya mereka menyingkir dari
tepi lapangan. Beberapa saat mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing.
“Masih pengen beralih ke basket, Lan?”
Nalula menyindir Ilan yang tengah menenggak air mineralnya.
Yang ditanya Cuma noleh sedikit ke
Nalula, lalu kembali menenggak air minumnya. Seolah Nalula mengerti maksud
Ilan. Ia tak berkomentar apa-apa hanya juga menenggak air dari botolnya.
Terdengar suara ponsel berdering. Punya
Danu. Dan tertera nama ‘Vindhya’ di layarnya. “Hallo… Iya… Nggak ngapa-ngapain
kok… Cuma ngeliatin anak-anak main futsal.” Kata Danu. Keringat kembali
mengalir deras di kening Danu. Sikapnya juga berubah menjadi sedikit salah
tingkah.
“Abis ngebohong sama siapa lo, Dan?”
todong Nalula ketika Danu mengakhiri pembicaraannya melalui telepon.
Danu menyeka keringatnya dengan handuk
kecil. Bibirnya tampak menggoreskan sebuah senyum tipis. “Bukan siapa-siapa
kok, Nal. Lagian, gak penting juga.” Ujarnya enteng.
Ilan menoleh ke Nalula, dan Nalula
membalasnya tanpa arti. Sesaat mereka saling diam sambil membereskan barang
mereka masing-masing.
Danu yang selesai terlebih dahulu,
langsung berdiri. “Langsung pulang yuk?” ajaknya.
Satu per satu dari Nalula dan Ilan
bangkit. Itu artinya mereka menyetujui usul Danu. Bagitu berbalik, tak satupun
dari mereka yang tak terkejut. Kini sosok Vindhya berada di hadapan mereka.
“Jadi selama ini lo anggep gue gak
penting?” tampaknya Vindhya mendengar semua yang Danu katakan.
Danu gak bisa berkata apa-apa. Jelas
saja ia heran kakaknya tiba-tiba muncul di sana. Danu sangat ingin menjelaskan,
tapi terhalang raut kekecewaan dari wajah Vindhya.
“Kamu anggep apa semua pembelaan mba
buat kamu, Dan? Mba emang gak bisa buat kamu balik lagi ke sepak bola. Tapi
seenggaknya mba masih bisa bikin kamu bertahan di silat. Apa itu belum cukup,
Dan?”
“Tapi mba, Danu…” Danu tak bisa
meneruskan ucapannya seiring tetesan air mata yang kian mengalir di pipi
Vindhya. Ia hanya semakin tertunduk.
Nalula mencengkeram lengan jaket Ilan.
Dan Ilan hanya mengisaratkan untuk menyingkir dari tengah-tengah antara Danu dan
kakaknya. Nalula memungut botol air mineralnya yang masih tergeletak di dekat
kakinya.
“Udah cukup tadi mba liat Kharis sama
‘cewek lain’.” Vindhya sedikit memberi tekanan ketika menyebutkan kata ‘cewek
lain’ tepat ketika Nalula mulai berjongkok. Dan sebenarnya ketika menyebutka
itu, matanya tajam tertuju ke Nalula.
Ketika memungut botol minumnya, Nalula
menyadari seolah perkataan Vindhya itu tertuju padanya. Tapi ketika ia menoleh,
Vindhya sudah beralih menuju pintu keluar yang kemudian di susul oleh Danu. Di
waktu yang bersamaan, Nalula melihat seseorang berdiri di dekat pintu memndang
ke arahnya dengan tatapan yang tak bisa di artikan. Nalula berdiri, dan
tampaknya Ilanpun menyadari kehadiran Lingga di sana. Ketika Vindhya dan Danu
telah melewati dirinya, Lingga pun beranjak dari sana meninggalkan seribu tanda
tanya untuk Nalula dan juga Ilan.
@@@
Cuaca di SMA Rosengard pagi itu cukup
gelap. Rintikan hujan mulai mejatuhi atap gedung sekolah. Dan tak kalah
mendungnya dengan tampang Danu yang kini sudah berada di kelas meski sekolah
masih sepi dan hanya dirinya yang berada di sana. Beberapa saat kemudian
segelintir orang bermunculan. Meski yang datang bukan penghuni kelas Danu,
melainkan rekan se timnya di sepakbola—Ilan, Garra, Hexa, Tegar, dan Bintang—yang
langsung mengitari meja Danu.
“Kirain lo di mana, Dan?” Ujar Ilan
seraya duduk di sampingnya.
Danu tak berkomentar apa-apa. Ia hanya
diam.
“Lo kenapa sih, Dan?” kali ini Bintang
yang bersuara.
“Anak-anak yang lain udah pada nunggu
tuh di secretariat.” Garra yang melanjutkan.
Danu tetap diam.
“Kok pada ngumpul di sini sih?” suara
seseorang dari arah pintu. Hampir semua menoleh, kecuali Danu tentunya. “Ayo
donk, guys. Gak enak sama anak-anak. Rapat udah mau mulai nih.” Lanjutnya lagi
yang ternyata itu Irham.
“Kalian duluan aja deh, ntar gue
nyusul.” Kata Danu akhirnya. Membuat seluruh mata kembali beralih padanya.
Ilan mengangguk dan di setujui dengan
yang lain. Melihat Garra dan yang berdiri, Irham berbalik. Ada Nalula di
belakangnya. Dan Irham hanya menyunggingkan sedikit senyuman untuk Nalula.
Nalula pun masuk seiring keluarnya Ilan dkk dari dalam kelas.
Nalula duduk diam di samping Danu. Cukup
lama. Sampai akhirnya Danu memulai pembicaraan. “Lo gak mau nanya sesuatu,
Nal?”
Nalula menoleh. Bingung tepatnya. “Nggak
sih. Cuma…” Nalula tak langsung berujar. “…Hmm… Gimana keadaan lo?”
Nampaknya bukan pertayaan seperti itu
yang di harapkan Danu. “Ya… Lebih baik. Sesuai saran lo, gue harus
sering-sering renang.” Tapi Danu juga tak tampak ragu. “Ada hasilnya.”
“Syukurlah. Gue seneng dengernya.” Hanya itu yang dikatakan Nalula. Karena memang tak ada yang ingin di bahasnya.
“Syukurlah. Gue seneng dengernya.” Hanya itu yang dikatakan Nalula. Karena memang tak ada yang ingin di bahasnya.
“Lo suka sepak bola, Nal?” Tanya Danu
lagi. Tapi kali ini terlihat cukup ragu.
“Suka.”
Danu memutar otak lagi untuk kembali memulai
pembicaraan. “Hanya sebatas suka? Atau juga cinta?”
Yang ingin Nalula katakana sebenarnya
adalah cinta. Walau pun Nalula seorang cewek, tapi sepak bola juga menjadi
bagian hidupnya. “Mungkin lebih fair kalo lo yang nilai.”
Danu menunjukkan ekspresi wajah bingung.
“Sebenernya gue ngerasa lo ada masalah.
Walau pun gue gak tau itu apa.” Nalula cukup santai menjelaskannya. “Tapi yang
gue tau dari beberapa temen gue, permasalahan utama seorang pesepakbola muda
adalah keluarga. Gak sedikit dari mereka yang gak mendapat restu untuk memilih
sepakbola sebagai jalan hidup.”
Jelas semua yang dikatakan Nalula tepat
sasaran.
“Tapi maaf Dan sebelumnya. Gue hanya
menilai dari apa yang gue liat aja. Terutama ke lo tentang kejadian kemaren di
lapangan futsal.”
“Lo bener kok, Nal.”
Kali ini Nalula yang gantian dibuat
bingung.
“Sebenernya dari awal gue dilarang buat
main sepakbola.” Danu memulai. “Tapi gue tetep bisa bertahan dengan memenuhi
berbagai macam syarat. Nurutin semua kemauan nyokap. Harus ikut les ini lah,
les itu lah. Hampir semua tempat kursus udah gue rasain.” Sesaat Danu diam.
Mungkin baru kali ini ia merasa begitu lepas bercerita. Mungkin juga ia merasa
nyaman dengan sosok Nalula yang sangat terbuka dan ramah. Apalagi mereka juga
belum lama saling kenal.
“Tapi lo gak disuruh buat ikut les
ballet juga kan, Dan?” celetuk Nalula untuk mancairkan suasana.
Danu hanya tertawa menanggapinya. Meski
tawanya masih terdengar penuh beban. Tapi setidaknya usaha Nalula berhasil
untuk membuat Danu semakin Nyaman untuk bercerita.
“Tapi kenapa nyokap lo ngelarang buat
main bola?” Tanya Nalula lagi.
Danu kembali dibingungkan dengan
pertanyaan Nalula. karena ia pun baru mulai bercerita.
“Eh, maaf Dan.” Nalula langsung ngerasa
bersalah dan berusaha memperbaikinya. “Bukannya gue sok tau. Tapi…”
“Lagi-lagi lo bener, Nal.” Danu terlihat tak masalah dengan apa yang ditanyakan Nalula. “Kebanyakan orang tua menilai sepakbola tidak memiliki masa depan. Termasuk nyokap gue. Apalagi setelah gue dan Diaz kacelakaan. Nyokap ngerasa masa depan gue udah cukup hancur. Dia Cuma ingin gue bisa nerusin perusahaannya.”
“Lagi-lagi lo bener, Nal.” Danu terlihat tak masalah dengan apa yang ditanyakan Nalula. “Kebanyakan orang tua menilai sepakbola tidak memiliki masa depan. Termasuk nyokap gue. Apalagi setelah gue dan Diaz kacelakaan. Nyokap ngerasa masa depan gue udah cukup hancur. Dia Cuma ingin gue bisa nerusin perusahaannya.”
“Tapi lo masih bisa tetep terus di
silat?” Nalula harus berhati-hati dengan pertanyaannya.
“Silat tuh beda, Nal. Bisa menjadi basic
untuk melindungi diri. Gue hidup kan gak sendiri, Nal. Tapi gue besar tanpa
figure seorang ayah.”
Nalula cukup terkejut dengan pengakuan
Danu yang sama sekali tak bisa diprediksinya.
“Bokap gue meninggal pas gue umur lima
tahun. Dan sekarang gue Cuma tinggal sama nyokap dan kakak perempuan gue.”
“Gue ngerti, Dan. Kakak perempuan dan
laki-laki itu beda.”
“Iya, Nal. Masa depan gue gak Cuma buat
diri gue sendiri. Tapi buat kakak gue juga. Dan prioritas hidup gue buat
mereka.”
“Gue tau lo sayang sama kakak lo. Tapi
ngeliat kejadian kemaren, gue penasaran. Apa yang bakal lo lakuin?”
Pertanyaan yang tak bisa di jawab Danu.
“Lo juga masih SMA. Jalan lo masih cukup
panjang.” Lanjut Nalula. “Apa yang bakal lo perbuat buat Rosengard? Sebentar
lagi turnamen.”
Yang tak habis pikir oleh Danu, Nalula
membahas tentang turnamen. Hanya orang-orang yang terlibat yang tau tentang
turnamen. Tapi Nalula tau? Nampaknya jawaban yang paling bisa diterima logika
adalah, Nalula adik seorang Kharis. Mantan asisten pelatih tim Rosengard.
“Gue sadar tentang itu, Nal.” Danu
memberi jeda sesaat. “Tapi menurut lo, apa yang harus gue lakuin?”
Nalula mengangkat bahu. Bukan karena tak
ingin membantu. Hanya saja Nalula tak ingin terlalu ikut campur dengan masalah
Danu.
“Pikirkan aja apa yang akan terjadi
dalam waktu dekat. Itu yang lebih dulu minta untuk lo selesaikan. Masalah masa
depan, itu akan berjalan sebagai mana mestinya. Lo bisa pikirin perlahan. Tapi
untuk hari esok, lo harus berfikir cepat.”
Danu bisa langsung tanggap dengan semua
kata-kata Nalula. “Gue tau, gue gak sia-sia buat bicara sama lo.” Danu berdiri.
“Walau gue belum mendapat jawaban, tapi akan gue pikirkan sesegera mungkin.”
Nalula tersenyum lega ia bisa cukup
membantu Danu.
“Makasih ya, Nal.” Hanya itu yang
dikatakan Danu sebelum meninggalkan Nalula seorang diri di kelas.
Nalula pun hanya mengangguk
menanggapinya.
@@@
Mendung masih menggelayuti langit
Rosengard. Hujan pun turun dengan derasnya. Menghalangi perjalanan sekolah para
muridnya. Hingga suasana sekolah masih terasa cukup sepi. Danu melangkah
sendirian di koridor depan lapangan basket sekolahnya. Walau bebannya telah
sedikit terangkat, tapi Danu tak bisa menyembunyikan kekacauan pada dirinya.
Kini ia telah sampai di depan sebuah ruangan yang pintunya tertutup. Di bagian
atas pintu tertulis ‘Rosengard FC’. Dari dalam ruangan , terdengar gemuruh
langkah kaki. Danu berbalik seolah ingin menghindar. Pintupun mulai terbuka.
Lingga dan Ilan yang paling pertama muncul. Danu semakin jauh melangkah
menjauhi ruangan itu.
“Danu!” Lingga dan Ilan memanggil
bersamaan. Tanpa pikir panjang, mereka pun mengejar Danu.
Hujan yang semula turun deras, kini
berangsur mereda. Ilan dan Lingga masih mengejar Danu hingga lapangan parkir.
Tepat ketika mobil Kharis memasuki gerbang. Danu menunggu hingga Kharis keluar
dari dalam mobilnya. Ilan dan Lingga pun kini berada di sana bersama Danu.
“Ada yang mau gue omongin, Dan.” Kata
Kharis begitu ia berhenti di depan Danu.
“Sama, ada yang mau gue omongin juga.”
Kini mereka berdiri berhadapan.
“Tapi gak pake kata-kata.” Lanjut Danu
lagi.
“Hah!”
Tatapan mata Danu menembus masuk ke
dalam mata Kharis. Dan… BUKK…!!! Satu pukulan yang di daratkan Danu cukup
membuat Kharis terjungkal dan memaksa setetes darah segar mengalir dari tepi
bibir Kharis.
Ilan dan Lingga sontak langsung menahan
tubuh Danu yang terlihat kalap.
“Itu hadiah dari kakak gue.” Ujar Danu.
“Apa-apaan sih lo, Dan?” kata Lingga
sambil menahan tubuh Danu yang kian berontak.
“Lepasin gue, Lan, Ga.”
“Kharis.” Nalula datang dan langsung
menuju Kharis untuk membantunya berdiri.
“Nal, bawa Kharis pergi dari sini.”
Perintah Ilan dan langsung dituruti oleh Nalula yang membimbing Kharis ke
mobilnya.
@@@
Lingga dan Ilan membawa Danu ke dalam
secretariat yang kini telah kosong. Lingga menutup pintu di belakangnya.
Sedangkan Ilan membawa Danu duduk di tengah ruangan. Lingga mendekati Danu dan
mendaratkan satu tamparan ke pipi kirinya. Ilan tak ikut campur dengan duduk
sedikit menjauhi tempat Danu dan Lingga berada.
Danu tak membalas atau pun marah dengan
tamparan Lingga. “Vindhya liat Kharis jalan sama cewek lain.” Ujarnya.
Lingga tersenyum. Meski tak terlihat
ramah.
“Vindhya kenal sama tuh cewek?” suara
Ilan yang terdengar di antara mereka.
Danu diam. Tampaknya ia tak bisa
menjawab pertanyaan Ilan.
“Gue rasa nggak.” Lingga yang menyambar.
“Lo udah bersikap gak adil ke Kharis.”
Lanjut Ilan.
“Lo tau sendiri kan Kharis itu seperti
apa?” Lingga menambahkan. “Selama mereka pacaran, gak sekalipun Kharis pernah
jalan sama cewek lain.”
“Tapi buktinya…”
“Karna lo pasti gak tau kalo Kharis
punya adik perempuan.” Ilan yang terlihat tak sabar. “Mereka sekarang tinggal
bareng di rumahnya Kharis.” Kata Ilan lagi. “Dan yang diliat kakak lo itu
adalah Nalula. Adiknya Kharis.”
Danu semakin tersudutkan oleh kedua
temannya. Tapi yang dikatakan Lingga atau pun Ilan itu tak salah.
@@@
Setelah
kejadian tadi, Nalula ikut pergi bersama Kharis. Kharispun membawa sebuah
berita yang cukup mencengangkan untuk Nalula. Dikabarkan bahwa ada seseorang
yang tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai ibu kandung dari Nalula. Melalui
Kharis, wanita itu ingin bertemu dengan Nalula. Kharispun mengajak Nalula ke
rumah sakit tempat Diaz dirawat.
Selama di sana pun, Nalula sama sekali
tak melepas genggamannya ke lengan jaket Kharis. Nalula menjalani beberapa tes
untuk membuktikan bahwa dirinya memang anak dari ibu itu yang ternyata juga ibu
dari Diaz. Sambil menunggu hasil, Kharis membawa Nalula makan di suatu tempat.
Ketika hari hampir siang, mereka kembali ke rumah sakit. Menunggu di kamar
Diaz. Nalula sendiri sampai sekarang belum bertemu dengan wanita itu.
Tak beberapa lama, seorang wanita cantik
muncul. Ia langsung menyapa Diaz dan mengecup kening putranya. Beliau tampak
sangat ramah dan bersahabat. Dapat terlihat ketika ia menyalami Kharis. Sampai
akhirnya pada Nalula…
“Apa kabar sayang?” katanya.
Nalula tak bisa berbuat banyak. Ia hanya
tersenyum menanggapinya.
Seperti halnya Nalula waktu itu yang
menyadari ketika ia melihat Diaz, ia beranggapan matanya mirip dengan sang
ayah. Begitu pula dengan Diaz yang beranggapan kalau senyum yang dimiliki
Nalula tampak seramah yang dimiliki ibunya.
Suasanya menjadi canggung satu sama lain
dalam beberapa saat. Sampai akhirnya pintu kamar Diaz terbuka. Seorang dokter
masuk bersama seorang perawat. Ia membawakan surat hasil tes DNA yang dilakukan
Nalula. Dan hasilnya benar positive. Menggembirakan memang, terutama untuk
wanita itu. Tapi nampaknya tidak untuk Nalula. Memang telah lama Nalula tak
pernah bertemu dengan ibu kandungnya. Tapi, kehadiran sang ibu tiri yang
memperlakukannya selayak anak kandung, telah mengisi kekurangan dalam hidup
Nalula. Ia sama sekali tak merasa kekurangan kasih sayang seorang ibu.
Wanita itu memeluk Nalula beberapa saat.
“Diaz, liat deh. Ini adik kamu. Cantik kan?” ujarnya pada Diaz.
Diaz hanya tersenyum menyambut kabar
baik yang di dapat ibunya. “Iya, ma. Cantik kayak mama.”
Kharis tak bergerak di samping Nalula.
Entah apa yang dipikirkannya.
“Mulai sekarang kita bisa sama-sama
lagi.” Kata wanita itu lagi penuh harap.
Nalula melepas dekapan ibunya dengan
perlahan. “Maaf tante, Nalula gak bisa lama-lama di sini.” Ucapnya, kemudian
mengambil jaket dan tasnya di atas meja. Lalu ia mendekati Kharis dan
membisikkan sesuatu. “Diaz cepet sembuh ya?” hanya itu yang dikatakan sebelum
meninggalkan kamar Diaz.
Waktu memang telah menunjukkan jam
pulang sekolah. Tak lama Nalula pergi, Ilan dan Lingga datang. Kharis
membisikkan sesuatu pada Ilan. Mungkin itu amanat yang tadi dikatakan Nalula.
Sambil menunggu suasana lebih santai, Ilan beralasan untuk bisa segera keluar
dari ruangan itu. Untuk Diaz dan ibunya, sama sekali tak menganggap aneh apa
yang dikatakan Ilan. Tapi tidak dengan Lingga. Tanpa sepengetahuan Ilan, ia pun
berpamitan dengan niat untuk mengikuti kemanapun Ilan pergi.
@@@
Ternyata Ilan menuju lapangan basket
indoor. Lingga pun masih setia mengawasi. Tapi ia hanya sampai tepi lapangan
saja dan membiarkan Ilan mendekati Nalula yang masih berseragam sekolah
berbaring di tengah lapangan dengan berbantalkan bola basket.
“Gue udah ketemu sama nyokap kandung
gue.”
Cukup mengejutkan bagi Ilan, kenapa
Nalula menghujaninya dengan berita seperti itu
“Kenapa
dia gak nyari gue dari dulu? Apa karena dia punya anak laki-laki? Yang gak lain
adalah sodara kembar gue.” Nalula menoleh sesaat.
Ilan
semakin dekat dengan Nalula. Begitu sadar ternyata Nalula berbicara dengan
seseorang melalui ponsel, Ilan duduk di samping Nalula yang masih berbaring.
“Seenaknya
pula minta gue balik setelah bokap gue gak ada… eh, maksudnya belom di
ketemuin. Tapi gue gak akan mau ngelakuin itu. Gue masih punya keluarga. Ka
Farlan dan Kharis.”
Suasana
lapangan yang sepi memungkinkan semua yang dikatakan Nalula terdengar sampai
telinga Lingga. Nalula pun masih berkutat dengan pembicaraannya di telepon.
Meski ia sadar sesadar-sadarnya akan keberadaan Ilan.
“Dan
lo tau siapa anak laki-laki itu?”
Ini
yang paling di tunggu-tunggu setelah sekian lama percakapan yang dilakukan
Nalula. Baik Ilan ataupun Lingga yang cukup jauh keberadaannya, mempersiapkan
diri untuk mendengar pengakuan Nalula yang satu ini.
“Tapi
pasti lo kenal sama Diaz Airlangga?”
Ilan
yang masih si samping Nalula semakin tercengang mendengar nama Diaz di
sebut-sebut Nalula. “Jangan bilang kalo nyokapnya Diaz itu nyokap kandung lo?”
Nalula
melirik ke Ilan. “Gue gak ngomong gitu kok, Lan.” Ucapnya enteng. Sementara
ponselnya masih ia tempelkan di telinga. “Tapi apa yang lo ucapin itu bener.”
Lanjutnya.
Keliatan
banget dari tampangnya, kalo Ilan masih gak percaya sama apa yang didengarnya
barusan. Ia tak menyangka seseorang yang ia kenali sebagai ibunya Nalula
ternyata hanya seorang ibu tiri.
“Diaz…?”
kata Lingga seorang diri.
Nalula
mengakhiri pembicaraannya. Lalu bangkit setelah memasukkan ponselnya ke saku
jaketnya. “Lo denger semua yang gue omongin ke Zagar barusan kan?” Tanya Nalula
sambil memantul-mantulkan bola yang tadi ia gunakan sebagai bantal tanpa
melirik Ilan sedikitpun.
Ilan
ikut berdiri. “Kalo nyokapnya Diaz minta lo tinggal sama dia, gimana sama
Kharis?”
Nalula
melempar bola ke ring. Dan… ups! Bola meleset dari sasaran. “Pertanyaan bagus.
Kharis emang sempet nyuruh gue tinggal sama nyokapnya Diaz. Dari awal juga dia
nampung gue karena terpaksa.”
“Dan…
Lo…?”
Nalula
menghela napas. “Gue lebih baik tinggal sama Kharis meski kerap kali Kharis
bikin gue tekanan batin.”
Ilan
melipat tangnnya di depan dada. Maksudnya, ia masih kurang memahami apa yang
dikatakan Nalula. Nalula hanya tersenyum menanggapinya, lalu memungut kembali
bola yang tadi di lemparnya.
“Semata-mata
karena kasih sayang yang diberikan nyokapnya Kharis ke gue. Gue Cuma pengen
bales kebaikan beliau dengan bersama Kharis. Minimal gue bisa masakin makanan
buat dia.” Nalula kembali menoleh ke Ilan. Ia pun kembali tersenyun melihat
ekspresi kebingungan dari sahabatnya. “Ya ampun, Lan. Biasa aja donk? Kan gue
yang punya masalah.”
“Tadi
lo kenapa cabut sekolah?” Tanya Ilan ketika Nalula memantul-mantulkan bolanya
lagi.
“Mencari
kebenaran.”
“Kebenaran
apa coba?” Ilan memang belum bisa menangkap semua pengakuan Nalula.
Untuk
kesekian kalinya sikap Ilan membuat Nalula tersenyum. “Kebenaran tentang nyokap
kandung gue lah, Lan.”
Nalula
kembali siap menembakkan bola itu lagi ke dalam ring. Tapi Nalula kalah cepat
sama gerakan tangan Ilan yang dapat merebut bola darinya. “Lo yang ngelarang
gue main basket. Tapi kenapa malah lo ngelakuin juga?”
@@@
8
pesan dan 13 panggilan tak terjawab. Kembali satu panggilan masuk dan tertera
nama ‘ILAN’ di layarnya. Tapi Nalula tetap membiarkannya. Jelas saja Nalula tak
mengetahuinya, ponselnya tak mengeluarkan suara. Sementara sang pemilik lagi
serius nontonin yang lagi main bola di lapangan kompleks rumahnya.
“Hati-hati kalo bengong di tempat umum.
Ada barang yang ilang kan bahaya.”
Nalula menoleh ke sumber suara. Ternyata
itu Lingga yang kini telah duduk di sampingnya.
“Lo nggak tiba-tiba amnesia mendadak
kan?” ledek Lingga.
“Nggak. Gue Cuma heran aja kenapa lo
tiba-tiba ada di sini.” Balas Nalula sedikit terdengar ketus. Terlebih di
karenakan sikap Lingga yang tiba-tiba aneh belakangan ini.
“Simpel aja. Ini kan tempat umum.”
Nalula gak mau mempermasalahkan hal itu
lagi. Ia berdiri untuk beranjak dari tempat itu. Lingga pun mengikuti Nalula
sampai motornya.
“Nal.” Panggil Lingga ketika Nalula
menaiki motornya.
“Apa lagi sih?” Nalula masih belum bisa
ramah terhadap Lingga.
“Hape lo nih.” Lingga mengulurkan
tangannya yang menggenggam ponsel Nalula. “Ketinggalan tadi.”
Tanpa pikir panjang, Nalula meraihnya
dan langsung memasukkan ke saku jeansnya. Tanpa basa-basi terlebih dahulu,
Nalula memacu motornya meninggalkan Lingga.
@@@
Nalula memarkirkan motornya di depan
pagar sebuah rumah. Dan semakin menjengkelkannya Nalula pas tau kalo Lingga
kini juga berada di belakangnya.
“Ngapain lo ngikutin gue?” Ceplos
Nalula.
“Enak aja gue ngikutin lo?” Lingga
membela diri. “Gue tuh emang mau kesini. Rumah temen gue, Firant.”
“Ini tuh juga rumah tante gue.” Nalula
juga gak mau kalah.
Sampai
akhirnya seseorang tampak membuka pintu pagar. Seorang cowok seumuran mereka
muncul dari baliknya. “Ya ampun ternyata kalian.” Ujar Firant ketika tau yang
berada dihadapannya adalah Nalula dan Lingga. “Gue pikir siapa ribut-ribut di
depan rumah gue?”
“Tante
Karin ada, Fir?” Tanya Nalula yang ingin cepat-cepat lepas dari sosok Lingga.
“Ada
di dalem. Biasa deh, lagi masak. Masuk aja gih.”
Tanpa
menunggu apa-apa dan selagi yang punya rumah udah ngizinin, Nalula masuk ke
dalam meninggalkan Lingga bersama Firant.
Nalula
langsung menuju dapur tempat tantenya berada. Seperti yang di katakan Firant,
kalau tantenya lagi masak. “Sore tante.” Nalula memulai.
Seorang
wanita berjilbab, cantik, menoleh ke arahnya. “Hai… Nal.” Nalula mendekat dan
langsung mencium tangan serta memeluknya.
“Apa
kabar tante?” Nalula kembali berbasa-basi.
“Alhamdulillah.
Pas banget kamu kemari. Tante baru aja selesai masak, Nalula ikutan makan ya?”
Nalula
nyengir. “Kalau soal makan mah Nalula gak nolak tante. Hehe..”
“Kamu bisa aja, Nal.” Tante Karin pun
sampai tertawa dibuatnya. “Yaudah yuk kita makan.” Tante Karin membawa Nalula
ke ruang makan.
Baru
aja Nalula duduk di salah satu kursinya, Lingga dan Firant muncul. Langsung
saja mereka ikut bergabung di meja makan. Tak lupa seperti halnya Nalula,
Lingga mencium punggung tangan tante Karin.
“Kok
kamu udah lama di Jakarta tapi baru ke rumah tante sekarang sih?” Tanya tante
Karin di sela-sela makan mereka.
“Iya
tante. Maaf ya. Nalula masih ngurusin buat sekolah soalnya.”
“Gapapa
kok, Nal. Tante juga ngerti.”
“Ada
berita apa nih, Nal?” Firant iseng ikutan bertanya.
Nalula
yang akan menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulut, mengurungkan niat setelah
mendengar pertanyaan Firant. Ia teringat kejadian tentang ibunya Diaz. “Tante
kenal sama ibu Vindhya?” ujar Nalula
yakin.
“Itu
nama ibunya Diaz kan ya, bun?” Firant balik bertanya kepada ibunya.
Lingga
sebenarnya langsung mengerti dengan arah bicara Nalula. Hanya saja ia lebih
mempersiapkan diri karena secara gak langsung, Nalula juga memberitahukannya.
Tapi kayaknya, kali ini terasa lebih berat karena diam-diam Lingga telah
mengetahui hal ini.
“Memangnya
ada apa dengan ibu Vindhya?”
“Tante
pasti tau jawabannya.”
Sesaat
tante Karin terlihat ragu. “Iya.” Kata tante Karin akhirnya. “Jadi kamu udah
tau semua? Kalau Vindhya itu ibu kandung kamu?”
Nalula
hanya mengangguk.
“Diaz
kan seumur sama gue. Kalo nyokapnya itu ibu kandung lo, berarti lo sama Diaz…?”
Firant ikut penasaran.
“Iya,
Nal. Kalian kembar.” Ucap tante Karin kemudian.
@@@
“Hatinya
gak lebih sakit dari senyumnya.” Kata Lingga kepada Danu.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar