12. ROSENGARD
LAYAK LOLOS
Kharis,
Diaz, Reva dan Riva kembali dan menunggu di depan pintu ruang rapat. Sosok
Brian juga sudah tak tampak di sana. Selang beberapa saat, Bram muncul dari balik
pintu. Kharis dan kawan-kawan yang semula duduk, tiba-tiba bangkit pada waktu
yang hampir bersamaan.
“Gimana, Om?” Todong Kharis.
“Kalian emang gak salah.” Kata Bram
akhirnya. “Tapi kami tetap harus menyelidiki dari peserta yang lain untuk
memastikan kebenarannya. Jika terbukti bahwa tidak hanya kalian, Rosengard
akan bebas dari ancaman.” Lanjutnya.
“Syukurlah.” Gumam Riva dan Reva
bersamaan.
“Kami akan kabari kalian secepatnya,
mungkin lewat Lingga.” Kata Bram lagi. Kali ini ia terlihat seperti mencari.
“Lingga mana? Sepertinya tadi saya lihat dia di sekitar sini.”
Reva memandang Bram lekat-lekat. “Om,
ayahnya Lingga?” Tanya Reva ragu-ragu.
Bram menoleh. “Iya.” Jawabnya. “Kamu
Reva, kan? Pacarnya Lingga?” Mungkin itu maksudnya, ia terlihat seolah mengenal
Reva.
Reva hanya tersenyum menjawab tebakan
Bram. Karena apa yang dimaksudkan oleh Bram, itu hanya masa lalu antara Reva
dan Lingga.
Selang beberapa saat, baik Diaz, Reva
ataupun Riva menceritakan kembali apa yang telah terjadi kepada mereka. Mulai
dari pengakuan Lingga atas apa yang di dengarnya dari Brian, sampai rencana
mereka untuk mengunjungi klub-klub lain setelah bertemu dengan dua punggawa SMA
Siliwangi, Ixel dan Vindra.
Tapi Kharis tidak. Ia sibuk berfikir
seorang diri. Ia merasa telah mengenal sosok Lingga bukan karena pertemuan
mereka di Rosengard.
Tetapi sejak ia masih kecil. ‘Kalau Bram adalah ayahnya Lingga, berarti Lingga
adalah Dewa(seorang anak laki-laki yang selama ini ia kenal). Atau mungkin
Lingga memiliki saudara laki-laki bernama Dewa?’
Tapi ia kembali teringat tentang
kejadian sebelum mereka berangkat kesini. Ketika Dewa menyodorkan sebuah jaket
untuk Nalula. Ia berada beberapa meter dari sana. Ia juga masih ingat ketika
Lingga tiba-tiba membunyikan klakson mobil dengan cukup mencurigakan. Dan ia
juga melihat raut wajah Lingga dari dalam kaca spion. Hanya satu hal yang
terfikirkan olehnya kala itu, Lingga cemburu.
Keluarga Kharis memang telah mengenal
sosok Bram. Tapi kejadian itu sudah cukup lama. Ketika ia masih kecil. Dan
setau Kharis, Lingga adalah anak tunggal. Jika benar seperti itu, berarti
Lingga dan Dewa adalah orang yang berbeda. Kharis masih menerka-nerka.
@@@
Lingga, Nalula, Ixel dan Vindra telah
berada di apartemen tempat SMA Jakabaring tinggal. Bagas dan Zagar yang menemui
mereka, mengajak Lingga dan yang lainnya mengobrol di gazebo taman apartemen
mereka.
Nalula duduk diapit oleh Lingga dan
Zagar. Meski hanya duduk berseberangan, nampaknya cukup untuk Bagas bisa
menatap Nalula dengan cukup leluasa. Walau Zagar telah memberikannya tatapan
mengancam, tapi tak berpengaruh untuk Bagas.
“Tentang yang gue certain semalem, Gar.”
Nalula memulai. Ia tertuju ke Zagar.
Zagar balas menatap Nalula dengan cukup
terkejut. “Jadi, itu beneran kejadian?” Tanya Zagar.
Nalula mengangguk. Lingga pun memulai
cerita, terutama ketika apa yang dilakukan Brian.
“Brian?” kata Bagas mengagetkan. Ia
menatap Ixel dan Vindra bergantian yang duduk di kedua sisinya.
“Satu yang harus kalian tau.” Kata Ixel
yang diutamakan kepada Bagas dan Zagar, tepat ketika Bagas menatap Vindra. “Gue
dan Vindra udah gak berpihak ke Brian. Meski kita masih satu klub dengnnya.”
“Nal.” Tampaknya Zagar butuh penjelasan.
Terutama ke Nalula. Dan Nalula pun membenarkan apa yang dikatakan Ixel.
Merekapun kembali menceritakan apa yang
menyebabkan mereka sampai di sana.
“Gila!” komentar Bagas ketika Lingga
mengakhiri cerita. “Ini Cuma turnamen antar SMA.”
“Semua juga berfikir sama, Gas.” Kata
Vindra.
“Pokoknya, apapun yang terjadi sama Rosengard,
kita belain kalian.” Ujar Zagar menanggapi cerita Lingga. “Kalian emang gak
sendiri. Di sini juga siswa yang jadi menejer.” Tambahnya.
“Setelah ini kalian kemana?” tanya
Bagas.
Vindra melirik jam tangannya. “Kita mau
ke tempat klub yang hari ini tanding malam.” Katanya.
“Kalo gitu, buat SMA Brawijaya serahin
aja ke gue dan Zagar.” Bagas menyarankan. “Mereka juga ada di apartemen ini.”
Lanjutnya.
Tanpa ingin buang waktu, Lingga dan
kawan-kawan segera pamit untuk melanjutkan misi mereka. Selama perjalanan
menuju tempat parkir, Zagar tak menyia-nyiakan waktu untuk bisa bicara lebih
leluasa dengan Nalula. Mereka sengaja berjalan sedikit lebih lambat dan lebih
di belakang dari pada yang lainnya.
“Gue seneng akhirnya lo mau balik lagi
jadi asisten pelatih.” Ungkap Zagar. “Meski kita gak satu klub.”
Nalula yang sebenarnya sudah tak bisa
berkomentar hanya tersenyum menanggapi pengakuan Zagar. Nalula pun kembali
membahas perihal Bram. Zagar sendiri sebenarnya juga telah mengenal sosok Bram.
Ia pun tau kalo Bram memiliki seorang anak laki-laki bernama Dewa.
“Gue baru sadar.” Ucapan Nalula membuat
Zagar penasaran. “Lingga punya banyak kemiripan dengan om Bram.” Lanjut Nalula
penuh curiga.
“Siapa nama lengkap Dewa?” pertanyaan
Zagar membuat Nalula langsung menghentikan langkahnya.
Nalula mengangkat bahu. “Entahlah. Dia
selalu menulis namanya L. Dewa. Dan dia selalu bilang, kalau dia lebih senang
dipanggil Dewa.”
@@@
Mereka memutuskan untuk berpencar.
Lingga bersama Vindra ke stadion B. Sementara Nalula dan Ixel ke stadion A.
Sesampainya di sana, mereka pun tak
ingin membuang-buang waktu. Vindra dan Lingga yang berada di stadion B sepakat
untuk Lingga mengunjungi SMA Mandala. Dan Vindra pun tak keberatan untuk
menemui siapa saja di SMA Singaperbangsa.
Lingga yang kala itu memilih menemui SMA
Mandala, sangat tidak mengalami kendala berarti. Kendati ia mengenal salah satu
punggawanya, Firant, Linggapun langsung bisa menemuinya. Lingga sesegera
mungkin bercerita semuanya pada Firant.
“Ah, gila aja kalo kalian sampe di
diskualifikasi!” komentar Firant. “Semua sekolah ngelakuin hal yang sama kok.
Termasuk SMA gue.” Kata Firant.
Lingga terdiam.
“Kalo lo gak percaya, gue bisa buktiin.”
Bukannya gak percaya, tapi Lingga hanya
masih kepikiran masalah yang menimpa sekolahnya. Belum sempat Lingga
menjelaskan, Firant malah mempertemukannya kepada asisten pelatih SMA Mandala.
“Ini asisten pelatih klub gue.” Kata
Firant sambil memperkenalkan seseorang yang kini berdiri di sampingnya.
Orang itu mengulurkan tangannya.
“Rehan.” Katanya.
Lingga balas jabatan tangan Rehan.
“Lingga.”
“Dari sekolah mana?” tanya Rehan.
“Ini temen gue yang dari SMA Rosengard,
Kak.” Firant yang menjawab.
“Iya. Berarti, kamu anak didiknya Kharis
ya?”
Lingga hanya mengangguk.
“Oiya, Ga.” Kata Firant kepada Lingga.
“Kak Rehan itu seangkatan sama kakaknya Nalula. Kayak kita gini.”
Lingga kembali mengangguk.
“Saya tau kok apa yang sedang terjadi
sama Rosengard
sekarang.” Kata Rehan diluar dugaan. “Jadi kalian gak usah khawatir. Rosengard gak
sendiri.”
“Tapi posisi kita emang lagi nggak
menguntungkan.” Kata Lingga akhirnya.
“Saya ngerti.” Rehan berusaha
menenangkan Lingga. “Tapi prestasi kalian gak bisa di sepelekan dengan hanya
selembar lisensi.” Lanjut Rehan. Sementara Lingga malah kembali terdiam. “Kalo
emang ancaman mereka berlaku, itu artinya semua klub harus di diskualifikasi.”
“Tapi kakak tau dari mana?” tanya Firant
yang merasa penasaran.
“Barusan Pak Bram telpon. Ia pun
menanyakan perihal undangan sidang dan lisensi.” Jawab Rehan. “Awalnya saya
juga gak ngerti. Tapi setelah ketemu Lingga, akhirnya saya tau apa yang sedang
terjadi.” Lanjutnya. “Ada unsur dendam pribadi.”
Perkataan Rehan yang terakhir membuat
Lingga dan Firant menoleh bersamaan ke Rehan.
Seolah mengerti, Rehan tersenyum. “Maaf
ya… saya gak sengaja denger obrolan kalian.” Rehan mengakuinya. Lalu ia memberi
semangat dengan menepuk lengan Lingga. “Rosengard gak akan hancur hanya
dengan dendam pribadi seorang.”
Linggapun tak menyangka dapatkan
dukungan dari semua rival-rivalnya. Ia bisa kembali ke Dipokar dengan membawa
senyum.
“Ketemu di final ya, Ga.” Teriakan
Firant mengiringi langkah Lingga meninggalkan stadion.
@@@
Sebelum turun ke pertandingan malam ini,
seluruh punggawa SMA Jakabaring diberi kesempatan untuk beristirahat. Termasuk
Bagas dan Zagar yang memilih berdiam diri di dalam kamar yang mereka tempati
berdua. Beberapa saat mereka masih saling diam di ranjang masing-masing.
“Lo kenal Lingga udah lama?” tanya Zagar
tiba-tiba.
“Lumayan.” Jawab Bagas yang sedari tadi
sedang membaca majalah.
“Berarti lo tau masa lalu Lingga?”
Bagas menghentikan aktifitasnya. Ia
melirik penuh curiga kepada adiknya. “Lima tahun lalu, Lingga dan keluarga
pernah tinggal di Bandung.”
Jawaban Bagas membuat Zagar bangkit dari
tidurnya dan menunggu penuh minat apa yang akan dikatakan Bagas berikutnya.
Bagas sendiri yang awalnya bersandar,
kini menegakkan posisi duduknya. “Semasa kecil, Lingga lebih suka di panggil
dengan nama Dewa.” Sambil bercerita, Bagas membolak-balikkan majalah tanpa tujuan.
“Dia juga mengenal seorang cewek yang ia panggil Lula.”
“Apa maksudnya, Nalula?” tebak Zagar.
Bagas mengangguk mantap. “Setelah balik
ke Jakarta, tuh anak milih di panggil Lingga.” Bagas memberi jeda pada
ucapannya. “Katanya sih, biar Nalula gak tau kalo dia di Jakarta sering
gonta-ganti cewek.” Bagas malah geli sendiri menceritakan perihal masa lalu
temannya itu.
“Hubungannya sama Nalula?” Zagar masih
penasaran.
“Pertanyaan bagus.” Bagas kembali
serius. “Nalula itu, cinta pertama dan pacar pertamanya Lingga.” Lanjut Bagas.
“Itu sebabnya Lingga gak pernah serius pacaran sama mantan-mantannya.”
“Apa Lingga udah tau?” Tanya Zagar untuk
yang kesekian kalinya.
“Iya.” Bagas mengangguk. “Lingga udah
tau segalanya. Udah sejak lama. Semasa Nalula masih di Bandung.”
“Terus, yang tadi lo ngeliatin Nalula,
maksudknya apa?”
Bagas malah ketawa menanggapinya.
“Kok malah ketawa?” Sikap Bagas cukup
membuat Zagar sedikit sewot.
“Sumpah demi apapun, gue Cuma ngeledekin
Lingga. Gak ada maksud lain.”
@@@
Sementara di tempat lain, Ixel pun cukup
mulus menjalankan rencana mereka. Ia bertemu langsung dengan pelatih kepala,
asisten pelatih dan kepten SMA Patriot bernama Steven yang ternyata adalah
sepupunya.
Hal serupa dirasakan Vindra yang
bertugas mengunjungi klub sepakbola SMA Singaperbangsa. Meski tak ada satu pun
yang dikenalnya, Vindra tetap memberanikan diri. Dan hasilnya pun memuaskan.
Meski awalnya kedatangan Vindra cukup dicurigai.
Tapi nampaknya tidak untuk Nalula. Meski
telah berada di depan locker room SMA Kanjuruhan. Ia melihat beberapa official
klub dan para punggawanya yang secara teratur memasuki ruangan itu.
Seseorang
yang berdiri paling akhir menarik perhatian Nalula. Ia mengenali orang itu
bernama Tyo. Nalula pun teringat ketika klub lamanya, SMA Siliwangi menjalani
partai semi final pada turnamen tahun lalu bertemu dengan SMA Kanjuruhan. Tyo
turun di sepuluh menit terakhir pertandingan babak ke-2 ketika klub nya
tertinggal 3 gol tanpa balas. Meski tetap kalah, tanpa di duga Tyo justru bisa
mencetak satu gol dan memberikan satu peluang pada rekan se-timnya sehingga
skor akhir menjadi 2-3. Kala itu Nalula hanya berfikir sangat disayangkan
pemain berbakat seperti Tyo hanya di turunkan pada menit-menit akhir.
Akhirnya
Nalula pun memutuskan untuk menemui Tyo. Dan tanpa diduga, justru Tyo yang
terlebih dahulu menghampiri Nalula. Semakin mengejutkan bagi Nalula akan apa
yang dikenakan Tyo. Ia memakai kaos berkerah dan mengalungi ID-card dengan nama
serta foto dirinya dan tertera tulisan asisten pelatih, bukan sebagai pemain.
“Asisten
pelatih SMA Siliwangi?” tebaknya kepada Nalula. “Kenapa ada di sini?” Tanya Tyo
ramah.
“Gue
emang mau ketemu siapa aja perwakilan dari SMA Kanjuruhan.” Kata Nalula tanpa
basa-basi. “Tapi gue ke sini atas nama Rosengard.”
“Wow…
Kayaknya ada sesuatu yang serius?” kata Tyo menerka-nerka. “Mending ngobrolnya
sambil duduk.” Ajaknya ke sebuah kursi panjang di depan locker room.
Begitu
duduk, Nalula langsung menceritakannya. Meski serius, tapi respon Tyo membuat
Nalula nyaman.
“Tapi
udah dari tahun lalu kan, lo jadi asisten pelatih di Siliwangi?” tanya Tyo di
sela-sela obrolan mereka.
Nalula
cukup tercengang dengan apa yang ditanyain Tyo. Sebegitu menonjolkannya kah
posisi Nalula kala itu?
Tyo
mencurigai perubahan sikap Nalula. “Kenapa? Kaget ya karena gue tau lo?” ia
tersenyum karena Nalula tak merespon. “Jangan kaget. Lo tuh ibarat primadona di
turnamen tahun lalu. Semua pemain pasti bicarain lo.” Lanjutnya.
“Termasuk
lo?” Ledek Nalula.
“Hehe.”
Tyo malah tertawa. “Bosen juga kali selama turnamen ketemunya cowok mulu.”
Nalula
tersenyum. Lalu terfikirkan sesuatu. Ia menegaskan pandangannya pada ID-card
yang di kenakan Tyo. “Kenapa lo jadi asisten pelatih?” todong Nalula.
Tyo
yang tak siap, merasa tercekat atas pertanyaan Nalula. Cukup lama ia terdiam.
Tyo sedikit salah tingkah. Setelah perasaannya cukup tenang, ia menoleh ke
Nalula. “Apa lo pernah liat gue jadi pemain?” Tyo malah balik bertanya. Apa
yang ditanyakan Nalula memang serius, tapi pertanyaannya lebih serius.
“Semi
final turnamen tahun lalu.” Jawab Nalula. “Meski Cuma 10 menit, tapi permainan
lo gak bisa gue lupain. Pemain berbakat dari SMA Kanjuruhan bernomor punggung
14, TYO.” Nalula cukup menunjukkan kekagumannya.
Tyo
malah membalasnya dengan senyuman sinis. “Jangan lanjutin.” Pintanya.
“Kenapa?”
Lagi-lagi
Tyo tak langsung menjawab pertanyaan Nalula. “Pernah denger berita tahun lalu,
kalau ada seorang pemain yang dilarikan ke rumah sakit usai partai semi final?”
Belum
sempat Nalula menjawab, seseorang muncul dari dalam locker room dan meminta Tyo
untuk masuk. Setelah mengangguk, Tyo pun akhirnya berdiri. Diikuti oleh Nalula.
“Gue boleh tau nama lo?”
“Nalula.”
yang menyebutkan nama itu bukan Nalula, tapi Lingga yang tiba-tiba saja berada
di sana.
“Oke.
Nalula. Sampai ketemu lain waktu.” Kata Tyo yang langsung meninggalkan Nalula.
“Gimana,
Nal?” tanya Lingga yang kedatangannya diikuti Ixel dan Vindra.
“Tahun
lalu, usai semi final Siliwangi lawan Kanjuruhan, siapa pemain yang dilarikan
ke rumah sakit?” Nalula tak menjawab, malah mempertanyakan hal yang lain lagi.
“Maksudnya
Elang Bramantyo?” tebak Vindra.
“Iya.”
Jawab Ixel. “Katanya Tyo sakit sampe-sampe dia divonis gak boleh main
sepakbola.”
“Sakit?”
Nalula terkejut. “Sakit apa?”
“Kabarnya
jantung.” Jawab Ixel “Sayang banget pemain sebagus Tyo diberi cobaan seberat
itu.”
“Gak
Cuma itu, kepemimpinannya untuk mengatur strategi juga gak perlu diraguin
lagi.” Sambung Lingga. “Makanya Tyo diangkat jadi asisten pelatih.”
“Emang
kenapa, Nal?” Vindra curiga.
“Apa
lo naksir Tyo?” tanya Lingga seolah menyindir. Raut wajahnya berubah seketika.
“Sakit
jantung ya?” Nalula tak begitu mempedulikan perkataan Lingga. “Gue pikir cerita
kayak gini Cuma ada di kartun kapten tsubasa. Ternyata juga ada di kehidupan
gue.”
@@@
Turnamen
yang akan memasuki babak semi final kini hanya menyisakan 4 klub, yaitu Rosengard,
Siliwangi, Jakabaring, dan Mandala. Bram sendiri telah bergerak lebih cepat,
yaitu dengan merombak 50% panitia dan membentuk panitia baru yang terdiri dari
beberapa pelatih hingga asisten pelatih klub yang tidak lolos babak semifinal.
Sementara itu, sisa pertandingan akan digelar di Surabaya. Karena menurutnya,
Bandung tidak cukup nyaman karena salah satu wakilnya, Siliwangi, lolos ke semi
final. Ditambah dengan insiden yang dialami Rosengard beberapa waktu lalu.
Seluruh
klub akan diboyong ke Surabaya hari ini juga. Sekaligus pengumuman nasib Rosengard
selanjutnya. Semua klub—baik yang lolos ataupun tidak—berkumpul di stadion B
yang selama ini digunakan untuk pertandingan. Peserta ditempatkan di tribun
penonton. Termasuk diantaranya Brian dan Siliwangi.
Dengan
menggunakan microphone, Bram berbicara. “Semua tau apa yang terjadi pada Rosengard.
Semua diluar kendali saya. Tanpa buang waktu, apa yang telah dialami dan semua
prestasi anak-anak muda di Rosengard yang membanggakan buat saya.” Ia
memberi sedikit jeda dalam ucapannya. “Rosengard layak ikut kita ke
Surabaya.”
Seluruh
punggawa Rosengard
saling pandang. Mungkin mereka tak ingin terlalu berharap banyak, hingga apa
yang dikatakan Bram masih kurang jelas untuk mereka.
Dirasa tak
ada respon dari Dipokar, Bram kembali angkat bicara. “Rosengard tetap saya nyatakan
lolos ke SEMI FINAL di Surabaya.” Bram memberi tekanan ketiks menyebut kata
‘semi final’.
Dan
kali ini membuat seluruh punggawa Rosengard bersorak. Begitu juga dengan klub lain
yang ikut bahagia mendengar kabar baik untuk Rosengard. Termasuk pemain dan
official klub Siliwangi, kecuali Brian dan seorang cewek disampingnya yang tetap
diam ditengah riuhnya stadion. Posisi Rosengard dan Siliwangi yang
bersebelahan membuat mata Nalula dan Brian bertautan. Terlihat dari matanya,
Brian mengatakan masih belum kalah. Meski Nalula sendiri tak menyiratkan
kemenangan di matanya. Karena menurut Nalula kemenangan Rosengard yang sebenarnya belum
ada di depan mata.
@@@
Sebelum
berangkat dijadikan salam perpisahan bagi klub yang tetap lolos dengan klub
yang akan pulang ke kota masing-masing. Semua membaur di parkiran. Bram
menyediakan bus untuk membawa mereka ke bandara menuju Surabaya. Nalula kembali
bertemu Tyo.
Tyo
mengulurkan tangannya. “Selamat ya. Rosengard emang layak ke Surabaya.”
Nalula
pun meraihnya. “Semua juga berkat doa kalian yang udah dukung Rosengard.”
Tyo
tersenyum. “Sampai ketemu di turmanen berikutnya ya, Nalula.” kata Tyo.
“Turnamen
berikutnya?” Nalula mengulangi perkataan Tyo. “Jangan fikir gue gak tau ya?”
Tampaknya
Tyo tak mengerti.
Nalula
meninju pelan lengan Tyo. “Gue tau lo ikut ke Surabaya. Jadi panitia baru.”
Tyo
akhirnya tertawa karena sadar ia lupa menyembunyikan ID-card baru nya dari
Nalula. “Oke. Kita ketemu di Surabaya.” Kata Tyo akhirnya. “Semangat ya buat Rosengard.”
Lanjutnya sebelum meninggalkan Nalula.
Begitu
Nalula berbalik, ia melihat Zagar melangkah ke arahnya. Kegembiraan Nalula
bertambah karena Zagar juga akan ke Surabaya seperti halnya Rosengard.
Dirasa
sudah cukup bersenang-senang, Zagar pun mulai bersikap serius. “Pasti ada yang
mau lo omongin?” tebak Nalula.
“Nal,
Lingga itu Dewa.” Kata Zagar tanpa mengulur-ngulur waktu. “L. Dewa.” Jelasnya.
Terlihat
dari mata, Nalula cukup terkejut mendengar perkataan Zagar.
Nalula
sangat ingin mempercayainya, namun sepertinya, itu masih menjadi mimpi
untuknya. “Gak mungkin.”
“Nal,
apa mata gue terlihat bohong.” Zagar memaksa Nalula untuk menatapnya.
Nalula
sadar sesadar sadarnya bahwa Zagar tak mungkin membohonginya.
“Bagas
udah cerita semuanya tentang Lingga. Dan yang harus lo tau, Lingga udah tau lo
sejak kalian ketemu di weddingnya ka Farlan.” Lanjut Zagar. “Dewa manggil lo
Lula, kan?”
Mata Nalula
kian melebar ketika Zagar menyebutkan ‘Lula’. Karena itu memang panggilan masa
kecilnya dari Dewa.
“Satu
lagi, walau lo liat Lingga pacaran atau deket sama cewek lain, percaya Nal,
perasaannya ke lo gak berubah.” Tambah Zagar lagi. Nalula diam. Kali ini ia tak
lagi menatap mata Zagar.
“Kalo
ternyata Dewa bukan Lingga?” kata Nalula akhirnya setelah sekian lama diam.
“Gue
gak peduli.” Kata Zagar yang terdengar pasrah. “Dan lo juga tau kan, gimana
perasaan gue ke lo? Tapi untuk Lingga, gue akan berusaha ngelepas lo.”
Di
kejauhan, Nalula melihat sosok Bram yang sedang berbincang dengan beberapa
orang. Nalula pun memberanikan diri menghampiri untuk menanyakan perihal
kebenaran Lingga.
“Om,
maaf kalau Nalula ganggu.” Kata Nalula tanpa basa basi.
“Oh,
iya. Ada apa?” kata Bram yang memang terlihat tak keberatan. Beberapa orang
disekelilingnya pun tak mempermasalahkan kedatangan Nalula. “Ada masalah lagi
sama Rosengard?”
“Nggak
om. Sama sekali gak ada hubungannya dengan Rosengard.” Nalula
langsung menyanggah pernyataan Bram. “Nal Cuma mau tanya kabar Dewa.”
“Lho?”
Bram terlihat heran. “Dewa kan Lingga Dewantara. Masa kamu gak tau?” Bram pun
menjawab dengan langsung menuju sasaran. “Ya sudah, om tinggal dulu ya.” Bram
berpamitan ketika Nalula masih terpaku atas jawaban yang diterimanya.
Zagar
menunjukan diri di depan Nalula. “Sekarang udah kebukti, kan?”
Nalula
menoleh ke arah berlawanan dari tempat Zagar berdiri. Di sana ia dengan jelas
melihat keberadaan teman-temannya di Rosengard. Terutama Diaz, Ilan,
Lingga dan Danu yang mungkin juga menyadari keberadaannya bersama Zagar.
“Diaz
saudara kembar lo.” Kata Zagar tepat dibelakang Nalula. “Ilan sahabat lo yang
juga sama-sama pindah dari Siliwangi. Danu teman sebangku lo. Dan Lingga…”
Zagar menghela napas di sela-sela perkataannya. Napasnya terdengar cukup berat.
“…dia masa lalu lo.”
Perlahan
hembusan napas Zagar terasa semakin memudar di telinga Nalula. Begitu menoleh,
ternyata Zagar telah berbalik dan berjalan meninggalkannya. “Apa gue bisa lepas
dari sosok seorang Zagar?”
@@@
Kini
mereka sampai di Surabaya. Seluruh peserta di tempatkan pada apartemen yang
sama. Masing-masing klub pun diberi fasilitas yang sama, yaitu lapangan yang
bisa mereka gunakan untuk menggelar latihan. Tanpa buang waktu, Kharis langsung
memerintahkan Lingga dan kawan-kawan untuk langsung menjalani sesi latihan sore
ini juga.
Seperti
biasa, Nalula mengamati dari pinggir lapangan. Ia sedikit memberi ruang kosong
antara dirinya dengan Kharis. Riva dan Reva dengan senang hati menemani Kharis
yang sedang memberikan pengarahan. Terkadang mereka antusias menanyakan hal-hal
kecil tentang sepakbola.
Nalula
berdiri cukup berjauhan dari posisi Kharis berada. Ia menggenggam secarik
kertas yang berisi nama-nama pemain yang menurut Nalula kurang meyakinkan untuk
turun di semi final esok harinya. Didaftar tertera nama Irham dan Ferry yang
sedikit mengalami cedera di latihan hari ini. Sementara Bintang, kabarnya
diistirahatkan di klinik karena sejak pagi karena kondisinya kurang fit. Kharis
sendiri sengaja mengurangi porsi latihan untuk Garra guna mengurangi bertambah
parahnya cedera yang sebelumnya dialami Garra. Dan Farel terkena akumulasi
kartu yang membuatnya tak bisa turun di semi final.
Nalula
yang menggenggam botol minum cukup terlihat tak focus memperhatikan latihan
teman-temannya. Hingga ia dikejutkan oleh Ilan yang tiba-tiba muncul dan
merebut botol itu dari tangannya.
“Lo
kenapa, Nal?” Tanya Ilan yang mencurigai sikap Nalula.
“Lo
gak takut Riva cemburu liat kita berduaan?” Nalula seolah menyembunyikan
sesuatu. Hingga apa yang ditanyakan nampaknya bukan hal yang perlu diutamakan.
“Sumpah
deh. Gak penting apa yang lo tanyain.” Ilan malah terlihat kecewa dengan repon
yang ditunjukan Nalula. “Tadi pagi gue liat lo sama Zagar. Ada yang janggal
sama sikap kalian. Dan gue kecewa gak ada satu pun dari kalian yang ceritain
hal itu.”
Terlihat
oleh Ilan, Nalula meremas kertas yang ada di tangannya. Tanpa minta
persetujuan, Ilan merebut kertas itu dan melihat isinya. “Ini apa, Nal?”
Nalula
tak menoleh, ia menghela napas. “Daftar pemain yang diragukan turun di
semifinal besok.”
“Semua?”
tanya Ilan lagi.
Sebelum
menjawab, Nalula menyodorkan sebotol air mineral untuk Danu yang berjalan ke
arahnya. Danu menyambar botol itu tanpa ada kontak mata atau apapun ke Nalula.
“Menurut lo?” Nalula malah balik bertanya, lalu menyingkir dari tepi lapangan
menuju kursi panjang dibelakangnya.
“Tapi
kuota pemain yang kita punya masih cukup kan, Nal?” Danu ikut nimbrung diantara
Ilan dan Nalula.
Nalula
mendongak. “Kalo Cuma didaftarkan sebagai pemain cadangan, menurut gue masih
bisa nutup.” Lalu menoleh ke Ilan. “Tapi kalau masuk jadi pemain pengganti? Apa
kalian tega maksain pemain yang lagi cedera?” pertanyaan Nalula membuat Ilan
dan Danu saling tukar pandangan. “Semisal kita gagal di semifinal, apa kalian
gak mau ngerebut posisi yang lebih baik dari peringkat empat?” tak ada respon
dari Danu ataupun Ilan. “Pemain yang siap tempur Cuma ada 13.” Nalula
menambahkan.
“Tiga
belas, Nal?” Ujar Danu dan Ilan kompak.
“Iya.”
Nalula memperjelas. “Udah termasuk pemain yang sering jadi cadangan.”
Lanjutnya.
Sesaat
mereka diam. Satu persatu pemain mulai kembali ke tepi lapangan untuk sekedar
beristirahat sebentar.
Danu
merebut kertas yang tadi di tangan Ilan. “Semua cedera?” tanya Danu.
Nalula
mengangguk. “Tambah Dewa.” Nalula menunjuk ke arah Dewa yang berjalan dengan
sedikit pincang ke luar lapangan. “Kecuali Bintang.”
“Kenapa
bisa sebanyak itu, sih?” gantian Ilan yang bertanya. “Dewa juga ikutan, lagi.”
Keluhnya.
“Kalian
kurang pemanasan.” Jawab Nalula. “Kharis juga orangnya kurang tegaan. Terlalu
manjain kalian.”
“Lo
bilang Kharis gak tegaan?” Ilan nampaknya kurang menyetujui perkataan Nalula.
“Lo gak ngerasain jadi kita sih?”
“Gimana
gue, Lan? Yang udah 2 tahun di bawah komando Kharis.” Danu seolah menunjukan
penderitaannya selama Kharis melatihnya.
“Faktor
lain, permainan kalian menjurus kasar. Jadi kalian agak rentan cedera.” Nalula
tetap gak mau kalah.
Danu
siap merespon kembali perkataan Nalula, tapi langsung membatalkan niat ketika
Diaz yang kini berlari mengelilingi lapangan, melintas di depan mereka.
“Apa
Diaz gak bisa diturunkan?” tanya Ilan ketika mereka masih cukup terpaku akan
apa yang dilakukan Diaz.
“Kayaknya
belom bisa, Lan.” Danu yang menjawab.
“Emang
kecelakaan itu parah banget ya? Sampe-sampe cedera Diaz lama pulihnya?” Ilan
nampaknya masih penasaran.
“Bukan
masalah cedera.” Danu memberi jeda pada kata-katanya sambil menenggak air minum
dari botol ditangannya. “Diaz tuh nurut banget sama nyokapnya.”
Nalula
dan Ilan memandang Danu penuh minat akan apa yang segera Danu akan katakan.
“Nurut gimana?” Ilan mengulangi perkataan Danu.
“Sejak
turnamen masih di Bandung, Diaz hampir tiap malem nelpon nyokapnya untuk minta
izin biar dia bisa main di pertandingan.” Danu memulai. “Bukan sekedar sebagai
asisten atau pelatih. Tapi hasilnya nihil. Jadilah Diaz selalu kayak gitu
setiap kita habis latihan.”
Diaz
memang kerap kali melakukan hal yang sama seperti apa yang dilihat Nalula
sekarang. Tapi nampaknya Nalula baru menyadarinya hari ini. Setelah sekian lama
Nalula menemani Diaz. “Sebesar itu kah kecintaan Diaz terhadap sepakbola?”
Nalula mendongak menatap Ilan dan Danu yang berdiri berdampingan di hadapannya.
“Apa
yang udah dilakukan Diaz masih kurang membuktikan, Nal?” Danu malah balik
bertanya.
Nampaknya
Nalula tak ingin menjawab pertanyaan Danu. Ia berdiri. “Latihan selesai.”
Katanya sambil meninggalkan lapangan.
@@@
Saat
makan malam, seluruh peserta di tempatkan pada satu ruangan. Nalula sendiri
cukup leluasa mencari Zagar. Ia langsung menarik Zagar ketika sahabatnya itu
tengah mengantri makanan.
“Mau
kemana sih, Nal?” keluh Zagar begitu Nalula menarik tangannya.
“Udah,
ikut aja dulu.” Kata Nalula sambil merebut piring ditangan Zagar. “Ada yang
harus gue lakuin.”
“Iya,
tapi abis makan bisa kali, Nal.”
“Kita
makan diluar.” Nalula yang berpapasan dengan Ixel, langsung menyodorkan piring
Zagar ke Ixel. “Ixel mau makan ya? Nih piringnya.” Ixel terlihat bingung.
Sementara Zagar seolah tak rela Nalula memberikan piringnya ke orang lain.
“Udah, gapapa ambil aja.” Nalula terlihat memaksa hingga Ixel pun dibuat
menerima piringnya itu. Begitu piring telah berpindah tangan, Nalula kembali
menarik tangan Zagar untuk segera meninggalkan tempat itu.
Mau
gak mau, Ixel menerima piring pemberian Nalula. Begitu berbalik, ia bertemu
Lingga. “Liat Nalula gak?” tanya Lingga.
“Barusan…”
Ixel kembali berbalik ke tempat ia bertemu Nalula. Tapi apa yang di cari
ternyata tak ada. “Tadi ada di sini.”
Ternyata
Nalula dan Zagar sudah sampai di luar pintu. Mereka bertemu dengan Bagas yang
bersama dua temannya yang lain di Jakabaring.
“Gue mau keluar bentar ya.” Kata Zagar sebelum
Bagas sempat bertanya tentang apa yang akan dilakukan Zagar.
Bagas
sendiri sama sekali tak ada masalah atau pun alasan untuk tidak mengizinkan
adiknya pergi. Ketika didalam pun Bagas langsung bertemu dengan sahabat-sahabat
lamanya. Diaz, Lingga dan Danu serta Kharis.
@@@
Seusai makan malam, Kharis, Lingga, Danu
dan Diaz berkumpul di koridor depan kamar-kamar punggawa Rosengard. Satu persatu, pemain
lainnya bermunculan. Mulai dari Irham, Tegar, Hexa, Dendi hingga Reva dan Riva.
“Kalian liat Nalula?” tanya Lingga yang
terlihat tak sabar.
Tak satupun dari mereka yang tau.
“Mungkin udah di kamar.” Kata Reva.
“Kita udak ketok beberapa kali, tapi gak
ada yang jawab.” Ujar Danu yang disetujui oleh Kharis dan Diaz.
“Bisa tolong kalian buka pintu kamar?”
pinta Kharis untuk Reva dan Riva yang juga sekamar dengan Nalula. “Di, coba lo
telpon terus ke hapenya Nalula.” perintah Kharis kepada Diaz.
Riva pun tanpa rasa curiga langsung
menuju ke pintu tepat dibelakang Diaz. Diikuti Reva, mereka mendahului masuk.
Kemudian Lingga menyusul tanpa rasa canggung. Ia memeriksa tiap sudut ruangan
hingga kamar mandi. Nalula tak ada di tempat. Mereka langsung kembali berkumpul
di luar ruangan. Beberapa pemain lainpun mulai kembali bermunculan. Sebut saja
Anjar, Farel, Ferry dan Khai. Mereka yang baru datang pun ditanyakan hal sama.
Tapi jawaban mereka juga sama. Tak ada yang mengetahui keberadaan Nalula.
“Ya udah, kak. Lo sama Diaz kan ada panggilan
dari panitia, jadi biar gue sama Danu yang nyari Nalula di luar apartemen.”
Pinta Lingga kepada Kharis.
Sementara Diaz masih sibuk menelpon
ponsel Nalula. “Tetep gak diangkat.” Ujarnya.
“Oke.” Kharis langsung menyetujui. “Ajak
Hexa sama Tegar juga.” Tambahnya.
Lingga dan Danu mengangguk dan langsung
berbicara sebentar ke Hexa juga Tegar. Lalu mereka segera beranjak dari sana.
“Yang lain gue minta, tolong cari Nalula
di sekitar apartemen.” Kata Kharis. “Dan secepatnya tolong kabarin gue atau
Diaz.” Lanjutnya. “Satu jam lagi kita ketemu di sini.”
Semua pun
langsung menuruti perkataan Kharis. Terlihat beberapa dari mereka mengambil
jalan berbeda ketika di pertigaan koridor.
Kharispun
langsung beralih ke Reva dan Riva. “Kalian tetap di sini. Tunggu Nalula
datang.”
Reva dan
Riva mengangguk kompak.
“Tolong
telponin Davi juga, kasih tau kalo Nalula gak ada di apartemen.” Diaz
menambahkan sebelum pergi bersama Kharis.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar