11. BUKAN LIGA
PROFESIONAL
Hampir
seluruh penghuni rumah berkumpul di ruang tengah. Sebagian duduk di sofa atau
kursi dan sisanya rela ngejogrok di lantai. Serta rela berkumpul meski keadaan
mereka setengah mengantuk. Bahkan tak sedikit pula yang kembali tertidur. Meski
waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Di saat yang bersamaan, Kharis tiba
dengan di temani Farlan dan Gita. Tanpa berbasa-basi sebelumnya, Kharis
langsung bergabung dan hal pertama yang ia inginkan adalah surat panggilan yang
memang telah diberitahu sebelumnya oleh Diaz.
“Mana suratnya?” Pinta Kharis kepada
siapa saja yang berada di sana.
Ilan berdiri dari posisi yang cukup jauh
dari tempat Kharis berada. Kala itu, surat berada di tangannya. Secara estafet,
Ilan mengoper surat itu hingga sampai di tangan Kharis. Dengan cukup tidak
sabar, Kharis menelurusi tiap kata yang tertera.
Hanya dalam beberapa menit, Kharis telah
menyelesaikan bacaannya. Ia menoleh ke Diaz yang kini berada di sampingnya.
“Kapan dan siapa yang nerima surat ini pertama kali?”
“Semalem.” Jawab Diaz. “Nalula yang
nerima.”
“Mana Nalula?” tanya Kharis lagi.
Seseorang menunjukkan keberadaan Nalula
yang masih di meja makan. Sesegera mungkin Kharis menemui Nalula yang kini
tertidur di sandaran kursi makan. Lingga dan Danu pun juga terlihat melakukan
hal yang sama.
Lagi-lagi Kharis menengok ke Diaz seolah
meminta penjelasan akan apa yang dilihatnya.
Diaz mengangkat bahu. “Tapi kayaknya
Nalula gak tidur semaleman mikirin surat itu.”
Dan kini Lingga telah siap di kursi
kemudi. Di temani Kharis yang duduk di sampingnya. Diaz, Reva dan Riva pun
telah siap di kursi belakang. Terakhir Nalula yang terlihat menyeruak dari
kerumunan para punggawa Rosengard yang
terlihat cukup memadati halaman rumah. Belum sempat membuka pintu mobil, Nalula
menoleh karena seseorang memanggilnya. Ternyata itu Dewa yang melangkah ke
arahnya. Tanpa berkata apa-apa, Dewa menyodorkan sebuah jaket yang tanpa
sengaja Nalula meninggalkannya di meja makan. Lingga sendiri yang dapat melihat
kejadian itu dengan jelas melalui kaca spion, langsung menekan klakson mobil
dan membuyarkan Dewa dan Nalula.
@@@
“Pa, pokoknya aku mau Rosengard
gagal tahun ini. Terserah gimana caranya. Jangan sampe mereka bisa ngalahin
kita. Kalau perlu diskualifikasikan mereka.”
Lingga cukup mendengar suara seseorang
yang bicara melalui ponsel dari ujung koridor lantai empat sebuah gedung
sekolah. Suasana yang sepi memudahkan Lingga untuk merekam suara orang itu.
Lingga melangkah ke dalam ruang kelas terdekat dari tempat ia berdiri tadi.
Sampai pemuda tersebut melewati ruang kelas itu. Setelah dirasa cukup aman,
Lingga keluar dari ruangan itu.
@@@
Kharis, Nalula, Diaz, Riva dan Reva di
hadapkan oleh orang-orang yang lebih dewasa dari mereka. Beberapa berumur
kira-kira akhir 20-an sampai lebih dari 30 tahun. Sisanya bisa dibilang seusia
dengan ayah mereka. Dan jumlah mereka di perkirakan sekitar belasan orang.
Nalula dan yang lain duduk di kursi yang
diletakkan di tengah-tengah ruangan. Sedangkan orang-orang yang semuanya
laki-laki, duduk hampir mengelilingi mereka.
Pria berkacamata yang duduk paling
tengah mempersiapkan diri untuk bicara. Pria itu tampak seperti ketua diantara
mereka. “Kalian tau kenapa kalian dipanggil?” Tanya Prama.
Nalula melirik ke Diaz dan Kharis yang
berada disampingnya secara bergantian.
Kharis yang menjawab. “Kita dituduh
melakuakn pelanggaran.” Suaranya terdengar tenang, namun menantang.
Pria lain yang berkemeja putih ikut
angkat bicara. “Kalian bilang ‘dituduh’?” Zein mengulangi kata-kata Kharis.
“Itu bukan tuduhan. Faktanya, kalian melakukan pelanggaran.” Nada bicaranya
cukup tinggi.
“Maaf pak.” Sambar Diaz. “Tolong katakan
apa kesalahan kami?”
“Pertama.”
Kata pria berkacamata itu lagi sambil melihat catatan diselembar kertas.
“Kalian tidak memiliki sertifikat atau surat izin kepelatihan.” Prama
membalikkan kertas untuk melihat catatannya yang lain. “Kedua.” Lanjutnya.
“Kalian telah melakukan kecurangan sehingga kelian bisa lolos sampai saat ini”
“Kami berjuang keras sampai lolos ke semifinal.” Riva tak mau hanya diam.
“Kami berjuang keras sampai lolos ke semifinal.” Riva tak mau hanya diam.
“Bukan itu maksudnya.” Kata Dharma yang
mengenakan kemeja biru. “Tapi apa yang menyebabkan kalian masih bisa tetap
bertahan di posisi kalian saat ini.”
“Tak ada pemberitahuan apapun sebelum
kompetisi dimulai.” Jawab Kharis yang semakin panas.
“Sebelum kompetisi?” Prama kembali
berkata. “Peraturan ini sudah ada sejak lama.”
Nalula sedikit tersentak. Menatap pria
berkacamata itu. Kalau memang sejak lama, Nalula ikut andil dalam kompetisi
yang sama tahun lalu bersama SMA Siliwangi. Tak ada sertifikat apapun yang ia
miliki saat itu jika memang peraturan telah ada. Tapi kasus itu baru mencuat
akhir-akhir ini.
Nalula siap menyerang orang-orang
dihadapannya dengan membahas keberadaannya di kompetisi tahun lalu. Tepat
sebelum pintu menjeblak terbuka. Seorang pria dewasa berkemeja lengkap dengan
jas memunculkan diri dibalik pintu. “Hei, kenapa tak ada memberitahuku kalau
ada rapat?” ujar pria itu sambil menutup pintu dibelakangnya. Wajahnya terlihat
ramah, namun tetap tegas. Namanya Bram.
Hampir seluruh pria yang berada di sana
terkejut akan kedatangan laki-laki itu. Termasuk sang pria berkacamata. Tapi,
tak satupun dari mereka yang menjawab pertanyaan Bram. Sampai akhirnya Bram pun
menyadari kehadiran Kharis dan kawan-kawan yang duduk berjejer di tengah
ruangan.
Nalula merasa seolang mengenal pria itu.
“Om Bram?” ucapnya pelan namun cukup terdengar dan terutama oleh orang yang
baru saja disebut namanya oleh Nalula.
“Bagaimana kau mengenalku?” Bram
terlihat keherannan. “Dan, siapa kalian?” Bram memperhatikan mereka satu
persatu, mulai dari Kharis hingga Reva. “Apa yang kalian lakukan di sini?”
Nalula sesaat melirik ke sebagian orang
yang di hadapannya yang kini mulai terlihat panic. “Karan Airlangga.” Kata
Nalula yang berusaha memberitahukan sesuatu kepada Bram. Dan Bram pun cukup
terkejut.
Nalula berdiri. Tangannya menunjuk ke
Kharis yang mengikutinya berdiri. “Dan ini Kharis.”
“Astaga! Kalian?” Bram semakin tak percaya.
“Maafkan karena om tak mengenali kalian.”
“Gapapa kok om. Kami ngerti itu.” Kharis
yang menjawab.
“Tapi kenapa kalian…” Bram
menggantungkan ucapannya.
Pria-pria itu seolah meghindari kontak
langsung dengan Bram. Mereka pura-pura sibuk dengan aktifitas masing-masing.
Bram kembali menatap Nalula penuh tanda tanya.
Tapi Nalula justru memperhatikan Prama,
si pria berkacamata. “Kalau memang telah sejak lama, tolong tunjukkan kepada
kami berkas tentang SMA Siliwangi yang menjuarai kompetisi tahun lalu.” Pinta
Nalula.
Sejenak suasana hening. Tak ada yang
merespon. Dan Nalula pun cukup sabar untuk menunggu. “Kami tak bisa
menunjukkannya.” Kata Prama akhirnya.
“Kalau begitu kami ‘dijebak’.” Dengan
cepat Nalula menyambar perkataan Prama. Suaranya terdengar sangat berani.
“Dijebak?” Bram mengulangi perkataan
Nalula.
Semua orang yang berada di sana cukup
terkejut. Termasuk Diaz, Reva dan Riva. Terkecuali Kharis yang kini telah
kembali duduk. Nalula pun telah duduk kembali. Secara bergantian Diaz dan
Kharis menceritakan detail kejadian hingga mereka sampai ke sana. Termasuk
tentang tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada Kharis dan yang lainnya.
Raut wajah Bram terlihat berubah setelah
Kharis menyelesaikan kalimatnya. Dengan berusaha sesabar mungkin, Bram kembali
bertanya, “apa pembelaan kalian?”.
“Nalula manager SMA Siliwangi tahun lalu
di turnamen yang sama. Tapi nyatanya, peraturan itu fiktif. Nalula masih berada
di sini dengan tugas dan posisi yang sama.”
Bram cukup menerima pembelaan dari
Kharis. “Kalian tunggu di luar.” Kata Bram yang langsung dipatuhi Nalula dan
yang lain.
@@@
Di ujung koridor, Lingga menunggu. Ia
pun bisa melihat Diaz, Kharis, Nalula, Riva dan Reva keluar dari sebuah ruangan
secara bergiliran. Lingga berjalan menghampiri. Begitu pula dengan Kharis dan
yang lainnya. Mereka hanya tinggal beberapa meter saja. Di samping Lingga
terdapat ruang kelas yang pintunya terbuka. Seorang anak laki-laki seumuran
mereka namun memiliki tubuh cukup atletis untuk ukuran anak SMA, muncul dan
menabrak tubuh Lingga hingga terhuyung ke depan.
“Lingga!” Teriak Kharis dan yang lain
bersamaan sambil berlari menghampiri Lingga.
Tak ada yang tau kalau ponsel Lingga
yang terlempar, jatuh tak jauh dari kaki anak itu. Brian, pemuda yang
pembicaraannya berhasil direkam oleh Lingga menggunakan ponsel. Jelas bahwa ia
megetahui semua perbuatan Lingga, tak segan-segan menginjak ponsel Lingga
hingga menyebabkan beberapa bagiannya terlepas.
Diaz dan Kharis membantu Lingga untuk berdiri.
Nampaknya wajah Lingga membentur lantai. Karena darah segar mengalir di tepi
bibir bawahnya. Dengan posisi yang masih membelakangi nak itu, Lingga bercerita
tentang apa yang ia dengar tadi. “Kita dijebak.” Kata Lingga.
Nalula sendiri nampaknya mengenali anak
itu. “Brian.” Ucapnya pelan.
Anak itu masih di sana. Menunggu Nalula
yang berjalan ke arahnya. Brian menyandarkan diri di tembok. Tetap menghadap
Nalula yang kini berdiri di depannya.
Brian tersenyum. “halo sayang, apa
kabar?” terdengar manis dan sangat ramah, tapi untuk Nalula itu menjijikkan.
Raut wajah Brian pun berubah. “Lo sakit, Nal?” tanya Brian. Tangannya hampir
menyentuh pipi Nalula.
Dengan lembut, Nalula menyingkirkan
tangan Brian sebelum benar-benar menyentuhnya. “Gak usah sok peduli!” ucapnya
ketus.
Untuk kesekian kalinya, Brian
menyuguhkan senyuman mautnya. “Oke, gue tau lo cewek kuat. Dan seharusnya gue
gak perlu bersikap berlebihan.”
Nalula diam.
Brian menghela napas menunggu respon
Nalula. Tapi tak ada yang ia dapat. “Ayolah sayang.” Brian merentangkan tangannya.
“Apa lo gak kangen sama gue?”
Alih-alih berharap Nalula balas
memeluknya, Nalula malah melipat tangannya di depan dada. “Gue tau apa yang lo
lakuin!” ujar Nalula sinis. Ia tak terpengeruh atas sikap Brian.
Lagi-lagi Brian mengawali responnya
dengan senyuman. Tapi kali ini terlihat seolah mengejek. “Tapi jangan
bilang-bilang ya?”
Nalula tak peduli, tapi ia menunggu.
Perlahan Brian mendekatkan wajahnya ke telinga Nalula. “Gue berhasil ngencurin Rosengard.”
Suara Brian terdengar berbisik. Sekilas ia menangkap sosok Lingga dan yang
lainnya berdiri jauh di belakang Nalula. “Persis seperti apa yang kita
rencanakan.” Lanjutnya seolah penuh kemenangan.
Nalula sedikit mendorong Brian untuk
menjauhinya. “Lakuin aja sesuka hati lo.”
“Ya ampun, gue baru sadar. Lo sekarang
ngebela Rosengard.”
Brian diam sesaat. “Tapi lo tenang aja. Karna gue akan tetep sayang sama lo.”
Selama Brian berujar, Nalula sama sekali
tak mempedulikannya. Sesosok anak laki-laki jauh dibelakang Brian menarik
perhatiannya. Anak itu seumuran dengannya. Tinggi, berkacamata, memakai jaket
yang sama seperti yang dikenakan Brian sekarang, kupluk jaketnya menutupi
kepala dan sebuah slayer putih melilit lengan kirinya.
“Giamana kalau kita jalan?” ternyata
Brian belum selesai. “Bisa nonton, atau makan? Atau mungkin sekedar jalan
sambil ngobrol? Banyak yang penegn gue certain ke lo, Nal.”
Anak laki-laki yang dilihat Nalula
berjalan ke arah belakang gedung sekolah. Nalula menggeleng. “Jangan mimpi
terlalu tinggi.” Hanya itu yang dikatakan Nalula sebelum akhirnya mengejar anak
tadi.
“Nal, lo mau kemana?” teriak Brian untuk
mengehentikan Nalula, tapi tak ia pedulikan.
Lingga, Kharis, Diaz, Reva dan Riva ikut
berlari menyusul langkah Nalula menuju pintu belakang sekolah yang sedikit
terbuka. Dengan bagian bawah diikat rantai secara melintang sehingga
memungkinkan hanya pejalan kaki yang bisa melewatinya. Sementara Nalula, masih
megejar anak itu yang kini menghilang dibalik pagar.
“VINDRA…!” Nalula meneriaki nama anak
itu.
Tampaknya anak itu tak menyadari
teriakan Nalula dan masih melangkah menuju motornya yang terparkir tidak jauh
dari sana. Tepat sebelum anak itu menyalakan mesin motornya, Nalula menangkap
tangan anak itu yang siap memutar kunci kontak. Ia pun langsung menoleh dan
menarik buka kupluk jaketnya.
“Lho?” Vindra cukup terlihat kaget.
“Nalula? Lo ngapain ada di sini?”
“Lo sendiri ngapai bisa ada di sini
juga?” kata Nalula sambil melepaskan genggamannya.
“Gue…” Vindra belum sempat menyelesaikan
ucapannya ketika sebuah motor berhenti tepat di samping Nalual berdiri.
Pengendara pun mematikan mesin motor
lalu membuka helmnya.
Nalula terkejut. “IXEL?” ia mengenali
orang itu.
“Nalula?” Ixel juga tak kalah terkejut
menanggapi kehadiran Nalula seperti halnya Vindra. “Lo ngapain di sini?”
“Ternyata bener!” Nalula bergantian
menatap Vindra dan Ixel. “Kalian pasti berada di bawah komando Brian buat
ngebantu ngancurin
Rosengard!” Hardik Nalula. “Bukan gini caranya!”
Sementara Ixel dan Vindra pasang tampang
terkejut sekaligus bingung dan tak percanya dengan apa yang dituduhkan Nalula
kepada mereka.
“Kalian pengecut kalo ngelakuinnya pake
cara kampungan kayak gitu!” lanjut Nalula.
Dikejauhan, Diaz terlihat mendahului
Lingga dan yang lainnya. Tangannya pun mengepal dengan penuh emosi untuk memberikan
hadiah bogeman untuk Vindra atau pun Ixel. “Jadi, mereka anak buah cowok tolol
tadi?” Teriak Diaz. Langkahnya pun semakin dekat. Membuat Ixel dan Vindra turun
dari motor mereka masing-masing.
Nalula mendekat untuk menghalangi
langkah Diaz. Dua anak kembar ini berdiri berhadapan. Satu sama lain saling
menatap tajam.
“Nal, tolong jangan halangin gue!” Diaz
seolah memohon dengan suara dan nada bicara yang sengaja dipelankannya dan
cukup lambat, meski terdengar cukup mengancam.
“Gue gak akan ngalangin lo!” Balas
Nalula cepat-cepat. Kemudian berbalik kembali kehadapan Vindra dan Ixel. “Tapi
tunggu sampai mereka ngakuin semuanya.”
Vindra cukup terkejut. “Ngakuin semua?”
ia kembali menanyakan perkataan Nalula.
“Kita gak akan ngakuin apapun yang nggak
kita lakuin.” Ucap Ixel penuh keyakinan.
Nalula tak semudah itu untuk percaya.
Semasa ia di Siliwangi, Vindra dan Ixel cukup dekat dengan Brian. Karena alasan
itulah, Nalula butuk bukti untuk mempercayai mereka.
“Kita emang tau kalau Brian punya niat
untuk ngancurin Rosengard.”
Vindra berusaha setenang mungkin meyakinkan Nalula. “Tapi sumpah demi apapun,
kita sama sekali gak tau apa yang Brian rencanakan.” Lanjutnya sambil
menunjukkan jari tengah dan jari telunjuknya secara bersamaan.
Beberapa saat semua diam. Nalula pun
tanpa ekspresi mendengarkan pengakuan Vindra.
“Boleh gue tau, Nal. Apa yang udah Brian
lakuin untuk Rosengard?”
Ixel dengan sangat hati-hati menanyakan hal itu ke Nalula.
“Mereka mau semua official yang terlibat
memiliki sertifikat kepelatihan.” Jawab Nalula tanpa beban.
“Sertifikat seperti apa?” Ixel minta
penjelasan.
“Seperti lisensi.” Ucap Reva pelan.
Semua mata tertuju padanya yang berdiri sedikit dibelakang Diaz.
“Seperti bukti telah mendapatkan
pendidikan kepelatihan, gitu?” Sambar Vindra untuk memastikan.
“Tepat.” Sahut Nalula. “Kurang lebih
seperti itu.”
“Gila!” Ixel terdengar tak sabar.
“Mereka pikir ini LIGA INDONESIA?” menatap Nalula, Vindra, Diaz dan yang
lainnya secara bergantian. “Ini Cuma liga ‘tarkam’! gak penting banget sih pake
ada aturan kayak gitu!” Ixel sewot sendiri.
Tapi, semua yang diucapkan Ixel memang
benar. Nalula, Diaz atau Kharis sekalipun pasti akan berfikir sama. Ini bukan
Liga Indonesia yang di naungi PSSI dan terdaftar di FIFA. Tapi ini hanya
turnamen antar SMA se-Jawa dan Sumatera yang berskala kecil, meski rutin di
gelar tiap tahunnya.
Riva berbisik ke Lingga. “Ga, liga
‘tarkam’ apaan sih?”
Lingga melirik. “Antar kampung.” Ia juga
menjawabnya dengan bisikan.
“Hah? Emangnya kita tinggal di kampung,
apa?” Riva kembali bertanya dengan polosnya.
“Sssttt…” Lingga mendesis “Ntar gue
jelasin.”
“Kalo emang bener gitu, gak adil kalo
Cuma Rosengard
aja yang di sidang.” Ucap Ixel.
“Iya, Nal.” Vindra menyetujui.
“Siliwangi juga.”
“Maksudnya Siliwangi?” itu suara Lingga
yang sejak tadi diam, terlihat cukup penasaran juga.
Ixel menatap Nalula. “Lo kenal Vero,
kan?”
Nalula hanya mengangguk.
“Dia juga jadi menejer sepakbola di
Siliwangi kayak lo dulu.” Kata Ixel melanjutkan.
“Xel. Nalula tuh dulu asisten pelatih!
Bukan menejer!” komentar Vindra.
“Iya sorry, gue lupa.” Ixel meralat
ucapannya yang tadi. “Lagian, gue rasa posisi Nalula emang gak bisa digantiin,
apalagi kalo Cuma sama cewek kayak Vero.”
Diaz melihat perubahan ekspresi pada
wajah Nalula, dan ia pun hanya tersenyum menanggapinya. Beberapa saat mereka
semua saling diam. Saling menunggu satu sama lain.
“Apa kita perlu tanyain ke klub-klub
lain juga?” kata Nalula akhirnya, memecah keheningan.
“Gue rasa gak ada salahnya, Nal.” Diaz
langsung merespon penuh antusias. “Kebetulan gue juga punya temen dari klub
lain.”
“Gue juga setuju, Nal.” Vindra ikutan.
“Lagian, gue udah gerah liat tingkahnya si Brian.”
Nalula mencari sosok Kharis yang berdiri
cukup jauh darinya. “Gimana, kak?” ia minta persetujuan.
Kharis melipat tangan di depan dadanya.
“Sebenernya gak masalah.” Kharis memberi jeda pada ucapannya. “Tapi kita gak
tau kapan rapat di dalam selesai. Dan kalaupun bisa, kamu Cuma punya waktu hari
ini.”
“Gak bisa lebih lama?” Diaz nimbrung
antara Kharis dan Nalula. “Peserta ada 16 sekolah. Gak mungkin semua selesai
dalam waktu singkat.”
“Kita juga gak akan ngunjungin mereka
satu-persatu, Di.” Nalula sedikit kurang menyetujui ucapan Diaz.
“Iya, Di.” Kharis menyutujui perkataan
Nalula. “Hari ini partai terakhir babak penyisihan grup. Lusa udah masuk semi
final. Peserta yang gak lolos udah pasti bakal secepatnya pulang.” Lanjutnya.
“Memangnya, klub mana aja kak yang masih
di sini?” tanya Reva.
“Pastinya semua yang menghuni grup C
sama D.” jelas Kharis. “Sisanya mungkin udah ada yang pulang. Kecuali kita dan
Siliwangi.” Tambahnya sambil sedikit menunjuk ke arah Vindra dan Ixel
menggunakan dagu ketika menyebutkan nama SMA Siliwangi.
Terlintas satu nama di benak Nalula.
ZAGAR. Ia melirik jam di tangannya. Pukul satu siang. “Kak.” Nalula menoleh
lagi ke Kharis. “Nall tau apartemen tempat SMA Jakabaring tinggal. Jadi, gue
mau kesana.”
Mendengar ‘SMA Jakabaring’ di sebut,
Lingga pun langsung teringat seseorang. BAGAS. “Nal, gue boleh ikut ke sana
gak?” Lingga mengajukan diri. “Gue juga tau kok di mana SMA Mandala tinggal.”
“Sekolahnya Firant?” Nalula memastikan.
“Iya.” Lingga langsung membenarkan.
“Tunggu dulu deh.” Kharis menempatkan
diri menjadi pusat perhatian antara mereka. “Kalian tau jadwal pertandingan
hari ini?” tampaknya pernyataan Kharis di fokuskan kepada Vindra dan Ixel.
“Nggak juga.” Ixel yang menjawab. “Tapi
yang gue tau SMA Mandala lawan SMA Singaperbangsa tanding sore. Malamnya SMA
Brawijaya lawan SMA Krida. Mereka tanding di stadion B.”
“Itu untuk grup D?” Diaz hanya ingin
memastikan. Dan Ixel hanya menjawab dengan anggukan. “Kalo grup C nya?”
“SMA Jakabaring hari ini tanding malam
lawan SMA Segiri.” Nalula menambahkan. “Itu berarti SMA Patriot sama SMA
Kanjuruhan tanding sore di stadion A.” lanjutnya.
“Oke, gini aja.” Kharis kembali
mengambil alih. “Fokusin untuk yang tanding malam dulu. “Jadi kalo waktunya gak
cukup, kalian bisa ke stadion nemuin klub yang tanding sore.”
Tampaknya Kharis harus menjelaskannya
sekali lagi. Karena tak ada satu pun dari mereka terlihat mengerti dengan
penjelasan Kharis.
“Oke, Nal. Siapa aja yang pergi?” KHaris
terlebih dahulu beralih ke Nalula sebelum kembali menjelaskan maksud
rencananya. “Soalnya sebagian dari kita tetep harus nunggu hasil rapat.”
“Kalo gue boleh saran, biar gue aja yang
pergi ditemenin Vindra sama Ixel. Jadi, pake motor mereka aja.”
“Nal, gue?” Lingga mengingatkan Nalula.
karena tadi namanya tak disebutkan.
“Iya, sama Lingga juga.” Nalula pun
langsung meralat ucapannya.
“Ya udah.” Kharis merasa tak keberatan.
“Jadi maksud gue, kalian pergi ke tempat klub yang tanding malam terlebih
dahulu. Setelah itu kalian ke stadion. Biar gak terlalu buang-buang waktu.”
“Gue boleh saran kan?” Ixel basa-basi.
Setelah Kharis mengizinkannya bicara, Ixel tak menyia-nyiakan kesempatan.
“Pertandingan mulai kira-kira jam setengah empat. Dan kurang lebih pemain
datang sekitar setengah atau jam tiga. Gue mau kita ke sana sekitar jam segitu.
Nemuin mereka sebelum tanding kayaknya ebih enak. Sisanya kalo ada yang belum
selesai, bisa dilanjutin setelah dari
stadion.” Jelas Ixel cukup panjang lebar.”
“Gue setuju.” Kata Kharis tanpa pikir
panjang. “Gue juga punya pikiran serupa.”
“Ya udah, kita berangkat sekarang.”
Nalula langsung menggerakan. Ia menumpangi motor Vindra, sedangan Lingga ikut
bersama Ixel.
Kharis berdiri di antara motor yang
dikendarai dua punggawa SMA Siliwangi itu. “Kalo sempet, kalian ke tempat SMA
Jatidiri juga.” Kharis mengingatkan. SMA Jatidiri yang sebenarnya sudah tidak
lolos, masih berada di Bandung dan dikabarkan baru akan kembali ke Semarang
besok pagi. “Nanti gue smsin alamatnya.” Kata Kharis lagi sebelum Nalula dan
yang lain meninggalkan tempat itu.
Semua mengangguk setuju. Ketika motor
mereka berbelok, kembali mengitari gerbang depan sekolah itu. Di seberang
jalan, terparkir sebuah mobil. Ternyata Brian yang berada di dalamnya. Ia pun
melihat dengan jelas motor Ixel dan Vindra melintas. “Mau kemana mereka?” ia
hanya bisa bertanya untuk dirinya sendiri.
Brian tak bisa menyusul atau pun
mengejar mereka. Terlanjur ayahnya—pria berkaca mata yang menyidang Kharis dan
kawan-kawan—masuk dan menyuruhnya untuk segera meninggalkan tempat itu.
@@@
Seperti halnya sore tadi. Tak mudah
untuk Nalula melepaskan diri dari seorang Lingga. Nalula pun semakin tak
berdaya melihat Danu menyelesaikan tiap kata pada surat itu. Setelah Danu
menceritakan isi surat itu ke Lingga, suasana langsung berubah semakin sepi.
“Ini serius, Nal?” Danu minta
penjelasan.
Nalula menghela napas. Sesaat masih
hanya suara tivi yang terdengar. “Gak tau lah, Dan.” Nalula terdengar pasrah.
“Jadi, ini yang dari tadi lo pikirin?”
Lingga berbicara tepat di telinga Nalula. suaranya terdengar sangat jelas.
Nalula menoleh dan wajah Lingga pun hanya beberapa senti di depannya. Dan tanpa
sadar, tangan Lingga pun sebenarnya masih melingkari tubuh Nalula.
“Apa-apaan nih?!” Diaz datang
membuyarkan segalanya. “Lingga!” ia terlihat geram. “Lepasin ade gue!”
Sontak Lingga melepaskan dekapannya.
Danu berdiri dan berusaha menceritakan tentang surat itu. Tapi Diaz tak
menghiraukannya. “Apa yang kalian lakuin?” tany Diaz kepada siapa saja yang
berada di sana. “Ngapain lo meluk Nalulua? Apa selama ini kalian pacaran?!”
tuduh Diaz yang jelas-jelas untuk Lingga yang kini sudah berpindah tempat duduk
di samping Nalula.
“Lo salah paham, Di.” Lingga berusaha
menjelaskan.
“Heh!” Nalula berdiri tepat sebelum Diaz
mengomentari perkataan Lingga. “Jangan asal tuduh!” Nalula merebut paksa amplop
di tangan Danu. Ia dengan seenaknya melempar amlpop itu ke atas meja, tepat ke
arah Diaz yang berdiri di seberangnya. “Lo baca itu!”
Danu, Lingga dan Nalula duduk diam
menunggu respon Diaz dengan penuh tak minat. Diaz tampak menggeleng. “Ini pasti
bercanda kan, Na?”
“Gue harap juga gitu.” Jawab Nalula tak
bersemangat.
“Itu alasan kita ada di sini.” Danu
menambahkan.
“Tapi gue rasa, itu bukan alasan Lingga
untuk bisa meluk Nalula.” Diaz menatap tajam ke Lingga yang juga balas
menatapnya. Jika Nalula tak menahan tangan Lingga, mungkin sekarang Lingga
telah berdiri di hadapan Diaz dan menghajarnya.
“Lo emang kakak gue, tapi apa urusan lo
ikut campur masalah pribadi gue.” Kata Nalula pelan tapi cukup menantang. “Mau
gue pelukan sama Lingga, ciuman sama Danu, pacaran sama Tegar atau Dewa. Lo gak
berhak ngelarang.”
Diaz tercengang mendengar perkataan
Nalula yang seolah tak menganggapnya sebagai kakak. Sementara Danu ataupun
Lingga, tak ada satu pun yang berani merespon atau pun berkomentar terhadap
pernyataan Nalula yang cukup mengejutkan.
Tapi Lingga nampaknya sudah tak tahan
akan sikap Diaz. “Sekarang apa mau lo?” tanya Lingga sambil melipat tangannya
di depan dada.
“Kita harus turutin panggilan dari
panitia.” Nalula yang menjawab.
“Tapi gue mau kita tunggu sampai Kharis
datang.” Diaz menambahkan. “Pagi ini dia berangkat ke Bandung.”
Tanpa sepengetahuan Diaz, Danu atau
Lingga, Nalula terlihat sedikit sumringah mendengar Diaz menyebutkan nama
Kharis. Dan memaparkan bahwa Kharis akan segera berada di Bandung.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar