2. CEWEK BERSERAGAM
PRAMUKA
Seperti
yang dibilang Bagas kemaren, mereka janjian untuk ketemuan di dermaga pantai
pagi itu. Tapi yang baru terlihat hanyalah Bagas yang berdiri di tepi pagar
dermaga dan memandang hampa lautan yang terekam dalam pandangannya. Tak berapa
lama kemudian, derap langkah seseorang di belakangnya membuat Bagas menoleh.
“Sendiri?” Tanya Bagas ketika Lingga
berdiri di hadapannya. “Danu sama Diaz?”
“Gue fikir udah sama lo?” Jawab Lingga.
“Lo sendiri udah lama?”
“Nggak juga sih.”
Sesaat mereka saling diam. Bingung mau
ngomong apa, males ngomong, atau tiba-tiba sariawan? Gak ada yang tau. Tapi
akhirnya Bagas menyadari ,sesuatu yang di pegang Lingga sejak tadi. Kotak
persegi yang dibungkus kertas kado bermotif bola sepak.
“Eh, bawa apaan lo? Buat gue ya?” Tanya Bagas dengan penuh percaya diri.
“Yeee…! Pede dahsyat lo!” ditanya
baik-baik, Lingga malah sewot. “Males banget gue ngasih lo kado.”
“Gitu banget sih lo! Temen mau pindah,
kasih sesuatu kek, buat kenang-kenangan gue di sana.” Bagas agak kecewa
rupanya.
Lingga memperhatikan ekspresi kekecewaan
sahabatnya itu. Bukannya menghibur, nih anak malah ngetawain Bagas.
Bagas ngelirik. “Yee… Ketawa lagi!”
“Lagian, lo tuh lucu banget tau gak?”
“Nggak!”
“Yaudah.. yaudah.. gue minta maaf.”
Biarpun udah minta maaf, tapi Lingga tak bisa menghentikan tawanya.
Bagas mengalihkan pandangannya kembali
ke lautan. Ia membiarkan Lingga mengabiskan tawanya. Sesaat suara tawa Lingga
terdengar mereda. Bagas tertarik kembali melihat situasi. “Udah?” Tatapan Bagas
belum terlihat ramah.
“Gue gak segitunya juga kali.” Lingga
emang udah gak sengakak tadi. Cuma, masih senyum-senyum ngeselin. Soalnya nih anak rada nahan tawa
juga. “Biarpun gue cuek, tapi gue tetep punya sesuatu lah buat lo.”
Seperti yang sejak tadi di harapkan
Bagas. Lingga menyerahkan bingkisan tadi. “Buat gue?” Bagas terlihat sumringah.
Kayaknya tuh anak ngarep banget dapet kado.
“Pegangin.”
Senyum Bagas memudar. “Kirain!” Dengan
berat hati, Bagas menerima bingkisan itu.
Lingga melepas jaketnya, lalu
menyerahkannya ke Bagas. “Ini juga.” Lingga menjelaskan sebelum Bagas punya
pikiran lain. Sekali lagi, Lingga melepas kaos bola kebanggan SMA Rosengard
bernomor punggung 8 yang penuh dengan tanda tangan teman-temannya di klub, termasuk Diaz dan
Danu. Hanya kaos putih polos yang tersisa di badannya.
“Ngapain sih lo? Ribet amat?” Komentar
Bagas yang belum menyadari bahwa kaos bola itu miliknya.
Lingga tak menjawabnya. Ia menarik
kembali jaket di tangan Bagas dan menukarnya dengan kaos bola itu. Setelah
dipakainya kembali jaket itu, ia meraih lagi kado dari tangan Bagas. “Gue gak
jahat kan?” Tanya Lingga akhirnya.
Bagas mengamati tiap sudut kaos bola di tangannya.
“Maksud lo?” Ia baru menyadari kalo tertera namanya di bagian punggung, BAGAS.
“Apanya gak jahat? Ini kan baju gue! Kenapa malah lo suruh anak-anak buat tanda
tangan?”
Lingga agak tercengang. “Jadi lo gak
suka sama apa yang gue, Danu dan Diaz kasih?”
Gantian. Kali ini Bagas yang tertawa.
“Balas dendam?” Celetuk Lingga.
Bagas masih tertawa. Sementara Lingga
ngalihin pandangannya ke tengah lautan. Lalu Bagas merangkul Lingga. “Thanks
banget ya? Gua gak mungkinlah sejahat itu. Walau ada bau-bau aneh di bajunya.”
Terlihat seluruh wajahnya tersenyum.
Lingga ngelirik tajam. “Bau apa maksud
lo?” Tanya Lingga yang sedikit sewot.
“Yaaa… lo pikir aja. Bajunya kan tadi
abis lo pake, jadi…” Bagas nyengir.
Lingga menjauhkan badannya dari
rangkulan Bagas. “Enak aja!” Masih agak sedikit sewot sih, tapi akhirnya mereka
tertawa geli. Malah cenderung gak jelas.
“Eh, tapi kok baju gue bisa ada di elu
sih?” Tanya Bagas disela-sela tawanya.
Tawa Lingga sedikit mereda. Ia tampak
berfikir. Tampangnya sok serius.
“Alah…! Tampang lo ngeselin. Ngaku aja
kalo lo nyolong bajunya di jemuran rumah gue?!”
“Kurang ajar!”
“Aduh…!” Satu jitakan mendarat di kepala
Bagas.
Gak ada jitakan pembalasan. Yang ada
malah tuh anak dua ketawa lagi yang makin gak jelas juntrungannya. Sampai
akhirnya, terdengar dering ponsel di antara mereka. Lingga meraba-raba tiap
saku di celana jeans-nya.
“Nih…” Bagas menunjukan hapenya ke depan
wajah Lingga. “Hape gue yang bunyi.” Tertera nama Danu di layarnya.
Lingga sedikit salting sambil mengacak-ngacak
rambutnya. Ia kembali focus ke tengah lautan. Sementara Bagas, sibuk dengan
pembicaraannya di telepon. Lingga membiarkan rambutnya berkibar di terpa angin.
Di saat yang bersamaan, Bagas meletakan tangan kirinya di pundak Lingga. Sontak
Lingga menoleh dengan cepat. Ada sedikit reaksi terkejut dari raut wajah
Lingga. Nampaknya ada sesuatu yang ingin dibicarakan Bagas. Tapi yang didapati
Lingga adalah tatapan kosong dari mata Bagas.
“Danu dan Diaz…” Bagas menggantung
ucapannya dan tertunduk. “Mereka gak bisa dateng” Lanjutnya.
“Itu doank?” Ucapan Lingga memaksa Bagas
untuk balik menatapnya.
Sesaat Bagas membalas tatapan Lingga.
Setelah itu kembali memalingkan wajahnya.
“Gas…!”
Bukannya nengok, Bagas malah semakin
diam.
“Lo gak bisa nyembunyiin sesuatu, bahkan
sekecil apapun dari gue.” Lingga tetap tak melepas tatapannya terhadap Bagas.
“Dan lo tau itu.”
“Gue gak tau harus ngapain.” Bagas masih pada
posisinya.
“Mereka kenapa?”
“Yang nelpon gue tadi bukan Danu.”
“Gue tau. Itu Vindhya, kakanya Danu.”
Ucap Lingga dingin.
Sesaat Bagas menoleh, ia menemukan
sepasang tatapan mata yang tajam dan siap merangsek masuk ke dalam matanya.
Kemudian kembali ke posisi awalnya. “Dalam perjalanan kesini, mereka
kecelakaan. Diaz koma, dan kondisi Danu lemah.”
Bola mata Lingga terlihat melebar.
Selebihnya ia masih bisa mengendalikan emosi. Bagas sendiri hanya bisa meremas
kaos bola ditangannya.
“Lo mau ikut gue ketemu mereka sesaat,
atau nggak sama sekali?” Ancam Lingga.
Kali
ini ucapan Lingga membuat Bagas benar-benar menatapnya. Sama kayak Lingga,
matanya terlihat sedikit terbelalak. Bagas melirik jam sport di tangan kirinya.
“SIAL..!”
@@@
Di rumah sakit, Lingga dan Bagas hanya
di perbolehkan untuk melihat Diaz dari balik kaca ruang ICU. Kebayanglah ruang
ICU kayak apa? Penuh dengan alat-alat kedokteran. Lingga dan Bagas gak bisa
berbuat apa-apa. Menerka suatu kemungkinan yang akan terjadi sama Diaz pun
mereka gak sanggup.
Bagas berbalik. Melangkah menjauhi
Lingga yang masih terpaku. Bagas duduk dan menyandarkan badannya di kursi.
“Berapa lama lagi lo masih punya waktu
untuk disini?” Tanya Lingga yang tanpa sedikitpun menoleh ke arah Bagas.
Bagas menarik lengan jaketnya. Jam
sporty nya udah nunjukin pukul sebelas siang. “Penerbangan paling akhir jam
tiga sore. Mungkin jam dua gue udah harus sampai rumah.
Lingga masih belum bergerak. “Kita gak
tau bakal terjadi apa nantinya sama Diaz.”
Bagas tertunduk, matanya merah.
Ngerasa ada sesuatu yang aneh, Lingga
berbalik. Tampangnya terlihat panic.
“Gas, lo gak perlu percaya sama kata-kata gue yang terakhir tadi.” Lingga
sedikit merasa bersalah.
Tanpa sedikitpun menoleh ke arah Lingga,
Bagas beranjak.
“Bagas.” Lingga berusaha mengejarnya.
“Bagas dengerin gue dulu.” Lingga sedikit berteriak. Hingga orang-orang
disekelilingnya menatap ke arah mereka. Tapi Lingga tak mempedulikannya, ia
tetap berusaha mensejajarkan langkahnya. “Diaz butuh spirit dari orang-orang
disekelilingnya. Orang tuanya, keluarganya, kita sebagai sahabatnya, dan
mungkin…” sesaat, Lingga tampak ragu untuk mengucapkannya. “Vindhya kakaknya
Danu.”
Akhirnya Bagas berhenti. “Lo yakin?”
Tanya Bagas penuh harapan.
Lingga berdiri di depan Bagas. “Gue tau,
diantara kalian Cuma satu yang percaya banget sama omongan gue. Yaitu lo.”
Lingga terdengar sedikit menghela napas. “Tapi lo harus lebih percaya lagi sama
takdir Allah. Kita gak tau apa yang akan terjadi terjadi satu detik ke depan.
Anggaplah ini ikhtiar kita.”
Bagas nyengir. “Gue tau.” Terus
ngelanjutin langkahnya.
Lingga membiarkan Bagas berlalu di
depannya. Tampangnya agak bingung. Bagaspun semakin jauh ngelangkah. Sadar di
tinggal jauh, “wooii… Gas! Tunggu!” Lingga mengejarnya. Bukannya dari tadi.
Tapi tiba-tiba Bagas kembali berhenti.
Mungkin yang ada dipikiran Lingga saat itu, Bagas membatalkan niat bertemu Danu
karena jadwal keberangkatannya yang semakin mepet.
“Kenapa, Gas?” Tanya Lingga. “Lo gak
tiba-tiba harus pergi sekarang kan?”
Bagas diam.
“Apa lo gak mau ketemu sahabat lo
sebelum lo pindah?” Tanya Lingga lagi yang semakin tak sabar.
Bagas menghela napas. Seolah ingin
mengatakan sesuatu yang sangat berat untuk dikatakannya.
“Danu ada di kamar nomor berapa?”
Astaga. Ternyata itu. Lingga hampir
pingsan dibuatnya.
@@@
“Ya
udah, Danu tunggu ya mba.” Danu mematikan ponselnya. Kabar terbaru dan juga
kabar baik. Kondisi Danu udah stabil, meski sebuah perban masih melekat di
keningnya dan belum di perbolehkan pulang dari rumah sakit.
Lingga
duduk di ujung tempat tidur Danu. “Gimana, Dan?” Tanya Lingga penasaran
bercampur semangat.
“Kakak lo mau kan bantuin kita?” Bagas
yang duduk di kursi samping tempat tidur Danu sama penasarannya kayak Lingga.
Danu tersenyum.
“Jadi dia setuju?”
Danu mengangguk.
Mereka bersorak kegirangan. Tapi
langsung sadar kalau mereka saat ini di rumah sakit.
“Tapi, emang gapapa sama cowoknya itu?
Kan dia juga tau kalo Diaz naksir ceweknya.” Lingga sedikit kurang optimis.
“Tenang aja. Vindhya sama Kharis udah
game over.” Celetuk Danu sekenanya.
“Lo kira lagi pada maen play station
pake istilah game over?” Komentar Bagas.
“Yaelah pake di bahas.” Danu membela
diri. “Emang cuma PS aja yang boleh pake istilah itu?”
Ponsel Bagas berdering. “Bentar ya.”
Bagas menyingkir dari sana.
Danu dan Lingga mengangguk bersamaan.
“Kira- kira kapan kakak lo mau dateng
jenguk Diaz?” Tanya Lingga yang kini beralih duduk di kursi yang tadi di
tempati Bagas.
“Kalo bisa sih secepatnya. Emang Diaz
sendiri gimana sekarang? Gue belom sempet liat keadaan dia sejak masuk UGD
tadi. Katanya Diaz abis di operasi ya? Terus sekarang gimana?” Danu ngeborong
semua pertanyaan.
Lingga sedikit memikirkan jawabannya.
“Lo gak dapet pikiran macem-macem kan?”
Sergah Danu.
“Ya nggak lah.” Lingga langsung
menyangkal. “Alhamdulillah keadaan Diaz udah baikan. Tapi, ya itu. Diaz belum
bisa pindah ke ruang perawatan.” Lingga menghela napas. “Keluarganya belum ada
yang kesini?”
Belum sempat Danu menjawab, pintu
terbuka. Bagas muncul dari baliknya. Tampangnya keliatan bete.
“Kenapa, Gas?”
“Lo di sini ampe kapan, Ga?” Bagas nanya
balik ke Lingga.
“Mudah-mudahan Vindhya balik cepet.
Soalnya kan gue harus ke stadion sore ini.”
“Emang lo udah harus berangkat?”
Pertanyaan yang sebenarnya enggan untuk di keluarkan Danu.
Bagas duduk di tepi tempat tidur.
“Nyokap lo ngomong apaan?” Lingga
nambahin pertanyaan lagi untuk Bagas.
“Gara-gara Zagar pergi nemuin temen
lamanya. Nyokap nyuruh gue nyusulin tuh anak. Mungkin abis itu gue langsung
berangkat.” Bagas berucap pelan. Seolah kata-kata itu sama sekali tak ingin
diucapkannya.
Lingga bangkit dan mendekati Bagas.
“Gas.” Ia meletakkan tangan kirinya di pundak Bagas. “Sebenernya gue udah
nyiapin kado kayak tadi buat lo.”
“Terus mau di apain lagi?”
Lingga mengacak-ngacak rambutnya.
“Paling ketinggalan.” Sambar Danu.
“Kebiasaan buruk dari dulu tuh.” Timpalnya lagi.
“Nah, itu dia begonya gue.” Lingga
mengaku dan pasrah.
Udah gak kaget dengernya. Pikir Danu dan
Bagas sambil tertawa renyah.
“Sini gue tambahin.” Bagas ikutan
ngacak-ngacak rambut Lingga.
“Weits…” Lingga menghindar. “Udah donk.
Ntar kalo ganteng gue ilang kan bahaya.”
“Alah…!” Danu mendaratkan bantal tepat
mengenai wajah Lingga. “Lebay lo!”
“Ntar gue gak bisa ngecengin
suster-suster cakep disini. Tapi gapapa
deh. Biarpun rambut berantakan, yang penting tetep ganteng.” Wuiihh…
Diakui deh kalo mereka ganteng kayak … yaa … bayangin aja orang-orang ganteng
di dunia ini.
“Suster mana? Suster ngesot?” Bagas
belum puas nyudutin Lingga. “Dasar lo playboy cap rumput.”
“Kok rumput sih? Emang gak ada yang
lebih bagus apa dari rumput?” Komentar Lingga yang tak terima dengan julukan
yang diberikan Bagas kepadanya.
“Yaelah.. Namanya juga pemain bola.
Seringnya kan ada di atas rumput. Dan lo playboy. Jadilah lo playboy cap
rumput.” Bagas membela diri.
Lingga di buat mikir oleh Bagas. Dan
sumpah. Kalo boleh jujur, tampang Lingga yang ngeselin bikin orang ngajak
ribut.
“Masih belom mau ngaku?” Timpal Bagas
lagi.
“Iya juga sih..”
Akhirnya… Nyadar juga tuh anak.. harus
lah.
Sebelum Bagas benar-benar pergi, mereka
saling memberikan peluk. Sadar matanya berkaca-kaca, Bagas langsung menghindar.
“Cepet sembuh ya, Dan.”
Hanya itu yang diucapkan Bagas. Lingga
dan Danu menunggu sampai sosok Bagas menghilang dari balik pintu.
@@@
Nggak
butuh waktu lama bagi Bagas untuk bisa sampai di kota tua menggunakan motor
sportnya. Ia mencoba menelpon Zagar. Tapi sayang, ponselnya mati karena
kehabisan batre. Bagas mengedarkan pandangannya, mencoba mencari sosok adiknya.
Akhirmya Bagas menghentikan tatapannya. Bukan karena ia telah menemukan
seseorang yang tengah di carinya sejak tadi. Tapi malah tertuju ke seorang
cewek yang mengenakan seragam sekolah, spesifiknya seragam pramuka lengkap
dengan emblem kepramukaannya.
Bagas
melangkah ke arah cewek itu yang asik mengabadikan pemandangan yang ada di
sekitar lapangan, tepat di depan museum Fatahillah. Ternyata kameranya
menangkap sosok Bagas. Sadar keberadaan Bagas semakin dekat, ia menurunkan
kamera digitalnya.
“Sorry, gue Cuma mau nanya jam.” Kata
Bagas yang kayaknya hanya sekedar basa-basi. Cewek itu melirik jam tangan
sportnya di tangan kiri. “Dua belas kurang lima belas menit.” Ucapnya ramah.
Bagas hanya membalas dengan senyuman.
“Ada lagi?” agaknya cewek itu
memberanikan diri.
“Kalo boleh?”
Cewek itu balas tersenyum menanggapi
pertanyaan iseng dari Bagas.
“Lo pasti anak pramuka?” Bagas mulai sok
akrab.
“Salah! Gue anak ortu gue.” Nih cewek
juga udah mulai enjoy sambil sesekali mengabadikan suasana di sekitarnya.
“Oke. Maksudnya, lo udah nyampe tingkat
apa? Terus kenapa disini…” Bagas menunjuk lengan kanan seragam cewek itu.
“…tulisannya KOTA BANDUNG dan lambang pramuka Jawa Barat?”
“Gue baru pindah dari Bandung.”
“Oh… warga baru.” Bagas manggut-manggut
gak jelas. Kayaknya udah lupa sama tujuan awal dia ada di sana.
Kalo
ampe Lingga tau Bagas ketemu apa lagi sampe kenalan sama cewek cakep. Waaahhh…
Gak tau deh tuh apa jadinya. Bisa ngamuk-ngamuk kali tuh si Lingga. Secara kan
tuh anak dijulukin playboy berat.
“Gue
penasaran kenapa lo pake tali kur yang warnanya kuning? Emang apa bedanya sama
yang warna ijo atau merah?”
Kali ini cewek itu benar benar mamatikan
kameranya. “Sebenarnya…” Cewek itu menggantungkan kalimatnya. Ia penasaran sama
lambang tunas kelapa yang tertera pada bagian dada jaket yang dikenakan Bagas.
“Gue rasa lo udah tau jawabannya.”
Bagas bingung dibuatnya. “Maksudnya?”
Cewek itu malah tersenyum. “Yang
harusnya nanya tuh gue.”
“Nanya
apaan?”
“Anggota
ambalan mana?”
Bagas
semakin bunging. Tapi akhirnya ia sadar apa yang bikin tuh cewek nanya kayak
gitu.
“Masih
bingung?”
Bukannya
jawab, Bagas malah mengulurkan tangannya. “Sesama anggota pramuka.”
Gantian
cewek itu yang bingung.
“Gua
Bagas.” Ketebak deh kalo sebenernya dari awal Bagas pengen kenalan sama tuh
cewek, meski niatnya beneran Cuma pengen nanya jam.
Akhirnya
cewek itu meraih tangan Bagas. “Nalula.”
Ponsel
Nalula berdering. “Halo… Udah di mana…? Sama… gue juga udah nyampe… Ya udah…
Tunggu aja biar gue yang nyusul.” Nalula mengakhiri pembicaraannya.
Bagas
sendiri masih di sana.
“Gas,
maaf ya. Gak bisa ngobrol lagi. Temen gue udah nunggu.”
“Ya
udah gapapa.” Bagas sama sekali gak keberatan.
“Atau
lo mau ikut aja? Soalnya gue ketemuannya di museum wayang kok.”
“Nggak..
nggak.. Gue juga kesini mau jemput adik gue.” Kata Bagas. Kirain lupa sama
tujuan awal dia kesini.
“Oke.”
Tanpa basa basi lagi, Nalula langsung meninggalkan Bagas.
@@@
Begitu
nyampe, Nalula langsung focus ke sosok seorang cowok seumurannya. Gayanya gak
beda jauh sama Bagas, Cuma bedanya nih anak pake kacamata. Asik sendirian
melihat-lihat koleksi wayang yang ada di sana.
“Zagar…!”
panggil Nalula.
Cowok
itu menoleh. “Cepet juga nyampenya?”
“Gue
tadi udah di depan. Gak jauh kok dari sini.” Terasa agak kaku obrolan keduanya.
Akhirnya
mereka lebih milih ngobrol sambil makan gado-gado. Termasuk makanan favorit
mereka juga tuh.
“Udah
lama juga gue gak makan ini.” Kata Zagar yang udah mulai terlihat santai.
Nalula
meresponnya hanya dengan senyuman, sambil nerusin makannya. Kelaperan kayaknya.
“Obrolannya
garing banget gak sih?”
Nalula
menghentikan aktivitasnya. “Mungkin karna udah lama gak ketemu.”
Zagar
sedikit mengangguk.
“Lo
kenapa sih, Gar?” Nalula agak heran dengan Zagar yang tiba-tiba diem.
“Baru
aja ketemu sama lo, abis ini kita langsung pisah lagi.”
Nalula
mencoba mencerna kata-kata Zagar.
“Lagian
kok tumben sih lo liburan ke Jakarta?” Tanya Zagar. “Emang udah bosen di
Bandung?” ledeknya.
Nalula
diam. Zagar belum tau tentang kedatangannya di Jakarta.
“Orang
tua lo ikut ke Jakarta juga apa masih di Bandung?” Tanya Zagar lagi.
“Gue
pindah ke Jakarta.” Ucap Nalula pelan.
Zagar
tersenyum. “Berarti…”
“Tanpa
orang tua gue.” Nalula memotong ucapan Zagar.
Senyum
Zagar memudar. “Terus…”
Lagi-lagi
Nalula memotong omongan Zagar. “Kecelakaan pesawat tiga bulan lalu udah
merenggut nyawa bokap kandung dan nyokap tiri gue.” Ucapnya tanpa memandang
Zagar.
Zagar
sendiri terlihat tercengang mendengar cerita Nalula yang sama sekali tak bisa
di duganya. Dan selama itu pula, Nalula menyembunyikan dukanya. Bahkan dari
seorang Zagar yang dianggap sahabat olehnya.
“Jahat
banget lo baru cerita sama gue sekarang?” tanpa perlu dikatakan, Zagar terlihat
kecewa.
“Karena
gue ngerasa orang tua gue masih hidup.” Nalula tak menyia-nyiakan kesempatan
untuk membela diri. “Jenazah mereka sampai sekarang belum di temukan. Berita
yang gue dapat pun masih rancu. Jadi jangan salahin gue yang ngeyakinin mereka
masih hidup.”
Zagar
berusaha menerima semua yang dikatakan Nalula. Ia pun tak bisa menyalahkannya.
“Jadi lo sekarang tinggal sama Farlan?” Tebaknya.
Nalula
menggeleng. Lalu melirik ke arah Zagar. Terlihat dari ekspresinya, Zagar masih
butuh penjelasan.
“Gini.”
Nalula menyingkirkan piringnya yang sudah kosong. “Lo inget kan sama kaka tiri
gue satu lagi yang tinggal di Jakarta sama neneknya?”
“Kharis?”
tebak Zagar.
“Iya.
Neneknya juga kan udah gak ada. Mulai hari ini gue tinggal sama dia. Soalnya
dia sekarang juga sendiri. Anggaplah gue nemenin dia. Karna gak mungkin ganggu kehidupan ka
Farlan.” Ungkap Nalula.
Zagar
membenarkan posisi kacamatanya. “Kenapa?” rasa penasarannya belum pudar.
“Besok
dia nikah.”
Zagar
terlihat terperangah masih dengan rasa penasarannya. “Bukannya lo sama Kharis
suka rada gak akur? Tapi kenapa lo malah milih jauh dari Farlan? Emang calon
kakak iparmu itu kurang bersahabat?” Kayaknya masih banyak banget pertanyaan
yang berkecamuk di benak Zagar.
“Nggak…
nggak… nggak…” Nalula segera menepis pandangan jelek Zagar. “Ceweknya ka Farlan
tuh baik, baik banget. Awalnya juga ka Farlan nyuruh gue tinggal sama dia. Dan
kenapa gue lebih milih untuk tinggal sama Kharis? Karna gue gak mau nyusahin ka
Farlan lagi. Akhirnya sih ka Farlan setuju, asalkan gue mau tinggal sama
Kharis.” Jelas Nalula.
“Tapi
Kharis mau?”
“Untungnya.”
Jawab Nalula singkat.
Dan
untungnya juga, Zagar udah gak nanya-nanya lagi karena saking penasarannya.
Malah udah bisa senyum.
Lalu
Nalula merasakan ponselnya bergetar. Sebuah panggilan. Nomor tanpa nama.
“Kok gak di
angkat?” Tanya Zagar.
Nalula
menunjukkan layar hapenya. “Gue males ngeladenin nomor-nomor asing.”
“Ya
udah sini gue yang jawab.” Zagar meraih ponsel Nalula. “Halo… Ada… Maaf ini
dari siapa? Hah…! Kharis?” Cepat-cepat Zagar menyuruh Nalula mengambil alih
pembicaraan.
“Nal,
lo di mana?” Tanya Kharis yang kini berada di rumahnya.
“Museum
Fatahilah.” Jawabnya enteng.
“Lo
kenapa gak bilang dulu sih? Hari pertama udah bikin susah!” Omel Kharis sambil
melempar ranselnya ke sofa. Jelas banget nih anak baru pulang kuliah. “Gue di
telpon sama Farlan buat cepet-cepet pulang, katanya lo mau dateng hari ini. Pas
gue nyampe, lo gak ada! Cuma barang-barang lo doank.”
“Iya…”
Nalula baru ingin menjelaskan.
“Lo
juga kesana ngapain?” Kharis menyambar omongan Nalula yang kini cuma bias dokem
pasrah dengerin Kharis ngoceh. “Tadi tu siapa yang angkat telponnya? Suara
cowok! Apa itu cowok lo? Jangan karna lo sekarang tinggal sama gue, terus lo
bebas pergi, pacaran!”
Ya
udahlah pasrah aja. Nalula hanya bias menghela napas.
Kharis
menyandarkan badannya di sofa. Rada kecapean juga kayaknya abis ngomel. Kharis
menghela napas juga. “Udah cepetan pulang. Keburu sore.” Ucapnya kini sedikit
ramah.
Nalula
mematikan ponsel tanpa berkata apapun sebelumnya.
“Nal…”
Kali ini giliran ponsel Zagar yang bordering. “Gue masih di sini… Udah selesai
kok… Ya udah… Lo di mana?... Tunggu aja di situ… Biar gue yang nyusul… iya-iya…
Tapi lo jangan kemana-mana.”
“Lo
jadi ke Palembang?” Tanya Nalula tiba-tiba sesaat setelah Zagar mengakhiri
teleponnya.
“Iya
sore ini gue berangkat. Makanya gue ngajak lo buat ketemuan. Tapi maaf ya, lo
jadi di marahin sama Kharis.” Ngerasa bersalah juga nih anak.
“Yaelah,
gapapa lagi.”
“Oiya.”
Zagar teringat sesuatu. Ransel yang di bawanya. “Ransel dan isinya buat lo.”
Nalula
meraih dan siap membukanya.
“Di
buka di rumah aja.” Pinta Zagar.
Nalula
menurutinya.
“Nanti
pulang naik apa?”
“Bawa
motor.” Ujar Nalula sekenanya.
“Hah!?”
Zagar sedikit terperangah. “Tapi ya udahlah. Lo emang nekat. Mau diapain lagi?
Terus lo mau pulang kapan?”
“Kalo
bisa sih sekarang. Kharis udah nyuruh gue cepet-cepet pulang.”
“Oke.
Tapi foto-foto dulu.” Pinta Zagar yang langsung mengeluarkan ponselnya. Lalu
menarik Nalula untuk berdiri dan menjadi model pribadinya.
“Udah
napa? Banyak banget.” Komentar Nalula yang tak hentinya dimintai untuk bergaya.
“Gantian.” Nalula mengeluarkan kamera digitalnya. Dan meminta Zagar sebagai
modelnya. Atau terkadang mereka berfoto berdua.
Puas
bernarsis ria., Zagar menemani Nalula ke tempat parkir. Sambil melihat kamera
yang dipakai mereka untuk berfoto.
“Nal,
gue baru nyadar tau.” Kata Zagar yang masih tetep focus ke foto-foto mereka
tadi.
“Apaan?”
Nalula penasaran.
“Pantesan
aja lo berani bawa motor. Soalnya lo pake seragam pramuka. Masih cinta?”
ledeknya.
“Sedikit
ngerasa lebih aman aja.” Jawab Nalula sambil memakai jaket merah bergambar
lambang burung garuda di dada kiri serta bendera merah putih di bagian
kanannya. Dan tak tertinggal pula bagian punggungnya bertuliskan INDONESIA.
Model jaket timnas gitu deh.
Kameranya
masih di pegang Zagar yang masih asik juga ngeliat foto-foto yang lain.
Termasuk gambar yang diabadikan Nalula sebelum bertemu dengannya. Serta salah
seorang yang juga di kenalnya.
“Bagas?”
Ternyata
tanpa sengaja, sosok Bagas terekam dalam kamera itu.
“Lo
mau bawa pulang kamera gue?”
“Hah?
Nggak lah Nal.” Sedikit terkejut. Tapi Zagar tak membahas perihal Bagas. Dan
langsung menyodorkan kamera itu ke Nalula.
“Kirain?”
Sesaat
mereka saling diam.
“Sebenernya
gue juga punya sesuatu buat lo. Tapi gue lupa bawa. Jadi nanti gue kirimin aja
ya. Sekalian sama foto-foto yang tadi.” Kata Nalula sesaat sebelum mengenakan
helmnya.
Zagar
Cuma mengangguk tanpa ekspresi.
“Ya
udah. Nanti jangan lupa kirimin alamat rumah lo yang di sana ya.” Pesen Nalula
sebelum memacu motornya.
“Lo
gak mau ketemu kakak gue dulu?”
“Salam
kenal dulu aja deh.”
“Ya
udah hati-hati. Salam buat Kharis.”
Begitu
motor Nalula berlalu, Bagas menghentikan motornya tepat di depan Zagar.
“Cewek
lo?” Tanya Bagas sekenanya. Soalnya mata Zagar masih mengarah ke jalan yang
tadi di lalui Nalula.
“Hah…!
Bukan.”
“Ya
udah. Lo yang bawa nih motornya.”
Dan
ternyata, orang yang sejak tadi di cari Bagas adalah Zagar, adiknya.
@@@
Begitu
nyampe, Nalula langsung nemuin Kharis di ruang tivi. Sebenernya Kharis tau
Nalula ada di sana. Cuma nih anak masih agak cuek, pura-pura serius nonton
bola.
“Maaf.”
Ujar Nalula pelan sambil melepas helmnya.
“Emangnya
gak ada hari lain apa buat ketemuan sama cowok lo itu?” Suara Kharis masih
terdengar sedikit ketus.
“Sorry.
Zagar temen gue waktu di Bandung. Sore ini dia terbang ke Palembang. Jadi
kesempatan gue ketemu Cuma hari ini.” Nalula berusaha membela diri.
Kharis
menghela napas. “Ya udahlah.” Lalu ia berdiri. “Itu kamar lo.” Sambil menunjuk
ke salah satu pintu. “Barang-barang lo juga udah ada di sana. Gue minta lo
langsung ganti baju. Dan sebagai hukumannya, lo masak, gue laper. Gak usah
banyak-banyak. Karena Cuma buat kita berdua.” Kharis ngelirik ke Nalula sekali,
terus duduk dan kembali focus ke layar televisi.
Nalua
malah tersenyum. “Yakin, hukuman buat gue Cuma masak doank?” Nalula terdengar
menantang. Membuat Kharis menatapnya tajam.
“Maksud
lo?”
“Maksudnya,
ya, buat gue masak tuh bukan suatu hukuman. Tapi lebih kayak hadiah.”
Kharis
semakin tajam memperhatikan Nalula.
“Jadi
lo mau gue masakin apa?”
Kharis
tampak berfikir. “Apa aja. Yang penting masakan Indonesia.” Ucap Kharis masih
dengan nada sedikit ketus.
“Oke.”
Nalula tersenyum puas.
“Tapi
sorry…” Kharis menghentikan langkah Nalula yang siap membuka pintu kamarnya.
Nalula
menoleh. “Untuk apa?”
“Rumahnya
gak sebesar yang di Bandung. Jadi gue harap lo bisa betah.” Kharis nampaknya
belum bisa ramah.
Senyum
Nalula memudar. “Seenggaknya gue masih lebih bersyukur, dari pada harus tinggal
di Bandung tapi sendirian.” Tanpa butuh Kharis merespon, Nalula cepat-cepat
masuk kamarnya.
Lama
gak tinggal satu atap, membuat Kharis sedikit terperangah dengan kata-kata yang
diucapkan Nalula.
@@@
Nalula
menelusuri tepi tempat tidurnya dengan jari. Spreinya bermotif bola sepak
dengan warna dasar putih. “Pasti Kharis gak punya stok sprei motif lain.” Pikir
Nalula yang kini duduk di tepi ranjangnya.
Ia
kembali teringat ransel pemberian Zagar yang ia letakkan di tempat tidur. Memang tidak
terlalu besar ukurannya. Namun tidak terbilang kecil juga untuk bisa disebut
bingkisan.
Dibuka
resletingnya perlahan. Satu persatu isinya ia keluarkan. Pertama, seragam salah
satu klub sepakbola Indonesia asal Malang, Jawa Timur. Arema Indonesia. Nalula
tersenyum. Dibentangkannya kaus bola itu. Tidak tertera nomor punggung pemain
manapun. Zagar yang tau Nalula menyukai klub itu, tak membuang kesempatan untuk
membelikannya ketika liburan ke kota apel itu. Masih ada lagi. Lima batang
coklat. Semua kesukaan Nalula.
Belum
selesai. Masih ada satu. Sebuah binder berukuran sedang. Bagian cover yang bisa
diganti, dipasangkan gambar stadion Gelora Bung Karno bagian dalam yang di
penuhi supporter berseragam merah. Binder itu isinya terdiri dari beberapa
kliping tentang teknik permainan atau pun teknik latihan yang Nalula kumpulkan
dari tabloid olahraga.
Nalula
sebelumnya bersekolah di SMA Siliwangi, Bandung. Klub yang menjadi lawan Rosengard di
partai final. Ia juga menyibukkan diri di klub. Beberapa catatannya tentang
klub—data fakta pemain, pertandingan, klub-klub yang menjadi lawan—pada binder
itu, membuktikannya. Binder itu sempat di bawa paksa oleh Zagar setelah
turnamen lalu. Dan baru hari ini di kembalikan padanya.
Nalula
berdiri, berniat untuk meletakkannya di meja yang akan dijadikan meja
belajarnya. Beberapa lembar foto yang terselip di dalam binder itu berhamburan
jatuh ke lantai. Nalula memungutnya. Itu foto Zagar bersama beberapa pemain
Arema Indonesia (2011) ketika ia ke Malang. Sebut saja Noh Alamsyah, M.
Ridhuan, Achmad Bustomi, Zulkifli Syukur… dan…
“Zagar
curang.”
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar