5.DIA PESAING GUE
Malam
ini resepsi pernikahan Farlan, kakaknya Kharis dan juga Nalula. Acara yang
diadakan di sebuah aula besar itu berlangsung cukup meriah. Kala itu Lingga
tampil menghibur bersama band barunya. Tapi kali ini mereka terlihat lebih baik
dari pada ketika baru terbentuk beberapa hari lalu.
Kharis membiarkan Nalula berjalan
dibelakangnya. “Kak, tungguin donk.” Teriak Nalula yang terlihat ribet sendiri
dengan rok batik yang dikenakannya bersama kebaya hitam berlengan pendek.
Rambutnya yang panjang tergerai berkibar mengiringi langkahnya.
Kharis berhenti lalu berbalik. “Lagian,
lo tuh ribet tau gak sih?!” Nada bicaranya terdengar sewot.
Nalula hanya tercengang mendengarnya.
Lalu dengan cueknya, Kharis kembali berbalik dan kembali meninggalkan Nalula
yang masih berusaha mengejarnya dengan sedikit mengangkat roknya.
Dengan penuh perjuangan, akhirnya Nalula
sampai juga di hadapan Farlan dan istri yang mengenakan pakaian adat Sunda
modern. Tapi sosok Kharis malah tak di temukannya.
“Nal, kak Farlan di sini.” Tegur
kakaknya yang merasa tak di perhatikan Nalula.
Nalula masih celingukan nyari Kharis.
“Tadi Kharis kesini gak kak?” Tanya Nalula dengan polosnya.
Sadar pertanyaannya tak direspon, Nalula
menoleh. Ia mendapati sepasang pengantin baru ini hanya tersenyum kepadanya.
Nalula jadi ngerasa sedikit tak enak.
Nalula merentangkan tangannya. “Kak
Gita.” Lalu memeluk kakak iparnya. “Jagain kakak aku ya. Kalo dia nakal, bilang
ke Nalula.” Ucapnya dengan nada sedikit manja. “Tapi kalo kak Farlan susah
dibangunin, pencet aja idungnya.” Sambung Nalula.
“Eh… Ngadu apaan tuh?” Farlan menarik
rambut Nalula yang tergerai.
Nalula cuma nyengir. Lalu gantian
memeluk kakaknya.
Lingga datang dan langsung menghampiri
Gita. “Halo cantik.” Ucapnya pada Gita.
“Halo juga tampan.” Gita membalas ucapan
Lingga.
Lingga tersenyum. Agak kegeeran juga sih
digituin. Keliatan dari tampangnya. Lingga menunjukkan sesuatu dari balik
punggungnya. Setangkai bunga mawar putih. “Bunga cantik untuk kak Gita yang
cantik.” Lingga menyodorkan bunga yang berada di genggamannya.
Nalula memperhatikan apa yang dilakukan
Lingga. Tapi lebih tepatnya memperhatikan bunga mawar yang kini telah berada di
tangan Gita. Tanpa sadar Nalula mencengkeram lengan Farlan. Terlebih saat Gita
menerima bunga pemberian Lingga.
Gita yang menyadari keanehan sikap
Nalula hanya tersenyum. “Nal. Ini tuh ade sepupu kak Gita.” Ucapnya
menjelaskan. “Kita emang deket banget. Soalnya kita sama-sama anak tunggal.”
Lalu gantian menengok ke Lingga. “Nalula itu adenya Farlan.” Ujarnya lagi.
Lingga mengulurkan tangannya ke Nalula.
“Lingga.” Ucapnya penuh senyum.
“Nalula.” Balasnya sambil meraih tangan
Lingga.
Dari tengah kerumunan tamu undangan,
Kharis dapat dengan jelas memperhatikan semua kejadian antara Lingga dan
Nalula. Ketika Nalula turun bersama Lingga pun, Kharis masih di sana. Matanya
tak lepas dari sosok Nalula. Terlihat, Nalula dan Lingga udah mulai akrab.
Keberadaan Kharis rasanya sudah tak diperhatikan Nalula. Sampai seorang cewek
seumuran mereka mendekati Lingga, Kharis berbalik dan meninggalkan kerumunan.
“Hai Lingga.” Ucap cewek itu sambil
menyunggingkan senyumannya, tanpa mempedulikan keberadaan Nalula yang berdiri
tepat di samping Lingga.
“Oh hai…” Lingga tampak tak siap dengan
keberadaan cewek itu yang cukup tiba-tiba. “Mytha.” Lingga terlihat cukup
berfikir ketika menyebutkan nama cewek itu. “Malam ini kamu cantik.” Lingga
dapat menguasai kegugupannya.
Cewek itu hanya tersenyum tersipu.
Nalula sebenernya nahan ketawa ngeliat
ekspresi Lingga. Dan rasanya kata-kata pujian yang dilontarkan Lingga terdengar
menjijikkan di telinga Nalula. Ia mengalihkan agar Lingga tak begitu
memperhatikannya dengan sibuk sama makanan-makanan yang ada.
Ternyata Kharis melangkah dengan cukup
lambat. Karena Nalula kini mendapati sosoknya baru akan mendekati pintu keluar.
Nalula sangat ingin langsung mengejar Kharis. Tapi ia sadar kini dirinya tengah
bersama Lingga. Rasanya tak sopan meninggalkan Lingga begitu saja tanpa ada
basa-basi sebelumnya. Begitu berbalik, Nalula dikejutkan oleh sesosok cewek
yang kini bersama Lingga. Itu bukan cewek yang tadi. Artinya, Lingga bersama
cewek yang berbeda.
“Lingga.” Panggilnya.
“Kenapa, Nal?” Lingga hanya menoleh
sesaat.
“Gue tinggal dulu ya.” Nalula berkata
hati-hati.
Belum sempat Lingga menjawab, seorang
cewek—seperti yang tadi, seumuran, dan cantik—hadir di antara Lingga dan cewek
yang sebelumnya.
“Hai Lingga.” Sapanya.
“Ya udah, Nal.” Lingga menyempatkan
sejenak untuk merespon Nalula. Lalu kembali focus sama dua cewek yang kini
bersamanya. Ketika Nalula pergi pun mungkin Lingga tak menyadarinya.
@@@
Dengan penuh perjuangan, Nalula akhirnya
nyampe ketempat parkiran mobil. Ia langsung menghampiri mobil yang kaca pintu
samping kursi pengmudinya terbuka. Ia menemukan sosok Kharis di sana yang
melipat tangannya di depan dada dan memejamkan mata. Nalula membuka pintu mobil
yang tak dikunci oleh Kharis. Kharis pun terbangun dan merubah posisi duduknya
menghadap Nalula.
“Udah ngobrolnya?” Tanya Kharis dengan
nada bicara yang kurang bersahabat.
“Udah kok.” Nalula meresponnya dengan
santai. “Ternyata Lingga asik juga di ajak ngobrol.” Ujarnya memuji Lingga.
“Gue cuma mau peringatin lo aja.” Kharis
berbicara sambil memandang berkeliling. “Hati-hati sama Lingga.”
Nalula tersenyum. Seolah apa yang
dikatakan Kharis bukan sesuatu yang bisa mengagetkannya. “Yaa… Gue tau kok.
Lagian udah ketebak juga lagi.”
“Lo belom tau aja.”
“Yaelah… Berapa sih mantannya?” Nalula
melipat tangannya. “Sepuluh? Lima belas? Berapa lama pacaran tersingkatnya?”
Rentetan pertanyaan yang dilontarkannya seolah menyudutkan Kharis.
Kharis hanya tercengang.
Ada seseorang berjalan kearah mereka.
“Gue tau kok.” Ucapnya. Kharis dan Nalula menoleh bersamaan. Orang itu semakin
dekat. Ternyata itu Ilan.
“Emangnya lo mau nyaingin Lingga sama
siapa, Nal?” Tanya Ilan ketika ia telah berada di samping Nalula.
“Kayak gak tau aja? Siapa lagi kalo
bukan seorang Zagar Pamungkas.”
“Lo berdua udah saling kenal?” Tanya
Kharis yang sedikit curiga.
“Iya. Kita temenan udah dari SMP.” Ilan
yang menjawab. “Eiya, Nal. Masih penasaran gak sama pertanyaan lo tadi?”
“Nggak juga sih, Lan. Tadi juga nanya
gitu gak sengaja. Gak ampe bikin penasaran.”
“Tapi kalo menurut lo, siapa yang lebih
playboy?” Ilan yang penasaran sepertinya.
“Zagar anak SMA Mandala yang adenya
Bagas itu kan?” Kharis ikutan.
Ilan mengangguk. Nalula hanya diam.
“Tapi masa sih? Kalo adenya Bagas itu
playboy?” Kharis kurang yakin. “Perasaan yang gue liat, tuh anak gak
macem-macem deh.” Tebaknya.
“Mending kita buktiin.” Tantang Ilan.
“Lingga ampe detik ini udah sekitar enam belas kali punya pacar. Tersingkat
satu minggu. Terlamanya udah hampir enam bulan.” Tutur Ilan.
“Berarti masih lebih setia dari pada
Zagar. Delapan belas kali pacaran. Tersingkat dua hari, dan yang terlama hanya
42 hari.” Ucap Nalula penuh semangat.
Kharis tersenyum maksa. “Udah kayak mau
ada pertandingan tinju aja.”
@@@
Jam tangan sport Kharis udah nunjukin
pukul 11 malam. Tapi Kharis mengendarai mobilnya tidak langsung menuju rumah.
Nalula menyadarinya begitu Kharis membawa mobilnya berbelok di persimpangan
jalan.
“Bukannya kita harusnya lurus, ya?”
komentar Nalula.
Tapi Kharis tak merespon pertanyaan
Nalula. Ia tetap berkonsentrasi menyetir. Setelah beberapa lama berkendara,
Kharis tampak memasuki pelataran parkir sebuah rumah sakit.
“Kok kita kesini? Siapa yang sakit?”
Kharis masih tetap bungkam. Begitu
keluar dari mobil, Nalula tak mengikutinya. Sampai Kharis membukakan pintu
untuknya.
“Nal ikut turun?” lagi-lagi Nalula
bertanya.
Kharis hanya mengangguk pelan. Meski
masih sangat membingungkan, Nalula pun mengikuti Kharis tanpa bertanya ini itu
lagi. Karena percuma. Nalula gak akan mendapatkan jawabannya.
Mereka berjalan beriringan menelusuri
koridor yang udah sepi. Hanya ada beberapa perawat yang terlihat. Nalula
mengikuti Kharis masuk ke dalam lift. Kharis menekan angka 4. Suasana terasa
semakin tegang bagi Nalula. Kharis sama sekali tak mau bersuara. Di tambah
lagi, hanya ada mereka berdua di sana. Akhirnya lift terbuka. Sedikit melegakan
untuk Nalula. Tapi itu hanya berlangsung sesaat. Nalula harus kembali mengejar
Kharis yang berjalan lebih dulu.
Di ujung koridor, Kharis berbelok. Dan
nyaris saja Nalula kehilangan sosok Kharis. Tapi untungnya Kharis berhenti di
meja informasi. Sedikit berbicara dengan
penjaga di sana. Sialnya, baru saja Nalula berhenti untuk sekedar mengatur
napas, Kharis udah kembali melangkahkan kakinya.
Kali ini Kharis benar-benar berhenti.
Tepat di depan sebuah kamar dengan nomor 423. Kharis membuka pintu, lalu masuk
ke dalamnya. Nalula yang panik, langsung mempercepat langkahnya. Begitu sampai,
Nalula membuka pintu dan sedikit mengintip situasi di dalamnya. Sepi. Hanya ada
Kharis dan seorang pasien yang terbaring di atas tempat tidur.
Nalula memberanikan diri untuk melangkah
masuk. Berdiri di samping Kharis yang udah duduk di samping pasien itu yang
sebenarnya adalah Diaz.
“Persaingan nggak hanya ada di kompetisi
atau pun sebuah pertandingan.” Kharis berucap tanpa menoleh ke Nalula. “Tapi
dalam urusan cinta pun, itu semua bisa terjadi.”
Cukup aneh di telinga Nalula mendengar
Kharis tiba-tiba membicarakan tentang cinta.
“Memang hampir sama.” Nalula
meresponnya. “Hanya aja bedanya, kalau turnamen memenangkannya dengan cara
saling mengalahkan.”
Kharis mendengarkan tiap kata yang
terlontar dari bibir Nalula.
“Tapi cinta, memilih siapa yang pantas
menjadi juaranya. Gak peduli berapa lawan yang harus di singkirkan.”
Kharis tersenyum kagum melihat Nalula.
ia tak menyangka Nalula meresponnya dengan begitu dalam.
Nalula memperhatikan sosok Diaz yang
terpejam. Yang dipikirkan Nalula saat itu adalah ‘cowok ini cakep’. Meski
sayang, Diaz sedang sakit. “Eiya… Siapa tuh kak?”
“Gue punya cewek. Namanya Vindhya.”
Nalula bingung mendengarkan jawaban
Kharis bukan seperti yang diharapkannya.
“Diaz itu saingan gue.”
Kali ini Nalula mengangguk.
“Emang lo ngerti? Gue kan baru cerita
segitu doank.” Kharis meremehkan. “Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan.”
“Itu kan hanya pemikiran awal gue aja
yang nebak kalo nih cowok suka sama cewek lo.” Nalula membela diri. “Ampe
sekarang.”
“Kenapa lo gak mikir kalo Diaz sama gue
pernah saingan buat ngedapetin Vindhya?” Kharis menantang Nalula untuk kembali
berargumen.
“Sempet mikir kayak gitu juga.” Nalula
membenarkan pertanyaan Kharis. “Tapi tadi kan lo bilangnya kalo nih cowok
saingan lo. Itu bisa kapan aja. Kecuali kalo lo bilang ‘dulu dia saingan sama
gue’, beda lagi ceritanya.”
Nalula memang tak bisa di remehkan
begitu saja. “Pinter juga lo.” Akhirnya Kharis mengakuinya.
Perlahan terlihat Diaz mulai membuka
matanya. Meski tak keras, tapi suara Kharis dan Nalula cukup untuk membangunkan
Diaz. Sesuatu pada diri Diaz menarik perhatian Nalula, yaitu matanya. Diaz
memandang Nalula dan Kharis bergantian.
“Maaf ya, Di.” Kata Kharis. “Kita udah
ganggu lo istirahat.”
Belum sempat Diaz membalas ucapan
Kharis, Nalula meninggalkan mereka berdua di dalam kamar. Nalula tidak
kemana-mana. Ia menyandarkan badannya di tembok samping pintu kamar Diaz. Gak
berapa lama, Kharis menyusulnya.
“Nal, lo kenapa?” Kharis terdengar
panik.
“Matanya Diaz.” Hanya itu jawabannya.
Kepanikkan Kharis bertambah ketika air
mata Nalula mulai mengambang tertahan. “Kenapa sama matanya Diaz?”
Nalula tak sanggup menahan air matanya
lebih lama lagi. Yang bisa di lakukan Kharis adalah hanya mendekap Nalula di
dadanya.
“Mata Diaz mirip papa.” Suara Nalula
terdengar jelas di telinga Kharis meski berbisik.
@@@
Nalula
yang baru saja sampai di kelasnya, dikejutkan oleh sebuah tas ransel yang
tergeletak di samping tempat duduknya. Karena selama beberapa hari ia baru
masuk di kelas ini, ia masih duduk sendiri. Atau kadang sesekali Lingga yang
iseng duduk di sebelahnya. Tapi yang pasti tas itu bukan milik Lingga. Karena
ia mengenali tas yang berada di belakang mejanya itu milik Lingga.
Dari jam pertama di mulai, sampai
sekarang yang sudah memasuki waktu istirahat, baik Lingga atau pun si pemilik
tas itu tidak muncul di kelas. Dan akhirnya Ilan tiba-tiba datang dan langsung
duduk di samping Nalula. Novel yang sejak tadi di bacanya, dibiarkan begitu
saja.
“Elo…?” ujar Nalula.
“Iya…” Ilan menjawab santai. “Kenapa? Lo
gak tiba-tiba amnesia kan?” Tanya Ilan sekenanya. “Terus lupa sama gue?”
“Jadi elo yang duduk di sini?” Nalula
balik bertanya.
“Bukan. Ini sih tas nya Danu. Lagian,
kelas gue tuh di bawah. Dua IPS satu.”
“Gue pikir.” Ujar Nalula pelan. Nyaris
tak terdengar malah. Lalu melanjutkan membaca novelnya.
Nalula dan Ilan saling diam. Cukup
kurang nyaman suasananya. Makanya, tanpa pikir panjang, Ilan menyambar paksa
novel yang di pegang Nalula.
“Apa-apaan sih lo, Lan?” Nalula sewot.
“Ayo ikut gue.” Ucap Ilan. Tanpa
menunggu persetujuan, ia menarik paksa tangan Nalula. Beberapa anak di sana
menatap curiga atas kelakuan Ilan. Tapi baik Ilan atau pun Nalula, tak ada yang
begitu mempedulikan. Ternyata Ilan membawa Nalula ke lapangan basket sekolah.
Begitu sampe tempat tujuan, Ilan melepas tangan Nalula.
“Kenapa sih lo? Maen tarik tangan orang
sembarangan. Udah kayak nyeret kambing.” Oceh Nalula yang rada sedikit kesal
dengan perilaku Ilan.
“Nal…” Ilan teriak. “Tangkep…”
“Hah…!” Nalula agak kaget. Sebuah bola
basket melayang ke arahnya. Dan… hop… Beruntung Nalula bisa menangkap bola
tepat di pelukkannya. “Hati-hati donk, Lan.” Tegur Nalula. “Udah nyeret orang
seenaknya. Sekarang, ngelempar bola tanpa ada rasa berdosa. Untung gue mantan
kipper.” Ujar Nalula yang masih terdengar kesal tapi sedikit narsis.
“Iya deh maaf.” Ilan mengakui kesalahannya
sambil mendekati Nalula. meraih bola di tangan Nalula, lalu
memantul-mentulkannya ke bawah. “Gue kan Cuma minta ajarin main basket.” Kata
Ilan sambil melempar bola ke ring. Namun sayang, tembakannya meleset dari
sasaran.
Nalula tercengang mendengar pengakuan
Ilan. “Lo gak lagi keabisan obat kan, Lan?” Nalula bertanya sekenanya.
Ilan menoleh. “Gue serius, Nal.” Lalu
beralih ke tepi lapangan untuk memungut bola.
“Gue
juga serius, Lan. Lo salah orang kalo minta ajarin basket sama gue.”
“Lo
kan deket sama Zagar.” Ilan mengoper bola ke Nalula yang langsung dapat di
tangkapnya. “Masa sih, Zagar sama sekali gak ngajarin lo main basket?”
“Iya
gue tau.” Nalula mengembalikan bola ke Ilan. “Tapi, sejak kapan Zagar bisa main
basket?”
Ilan
diam. “Emang ya?” katanya polos. “Tapi bukannya lo pernah latihan bareng?”
“Kalo
di basket ada posisi kipper, berarti lo bener.” Balas Nalula yang langsung
pergi meninggalkan Ilan.
Ilan
langsung mengejar Nalula sampai kantin. Nalula duduk di salah satu meja kosong.
Ilan pun mengikuti dengan duduk di seberang Nalula.
“Gue
kan Cuma mau belajar aja, Nal.” Ilan mengakui. “Apa itu salah?”
“Gue
gak nyalahin, Lan. Tapi apa alasan lo untuk itu? Lo udah bosen main bola?”
“Bukan,
Nal.”
Nalula
menunggu karena Ilan langsung diam.
“Tapi…”
Ilan berhenti lalu melanjutkan. “…karena cewek gue main basket.”
“Hah…!”
Mata Nalula terlihat melebar. “Lo ada-ada aja sih. Pake acara mau main basket
segala Cuma gara-gara cewek lo anak basket.” Nalula terdengar sedikit tertawa.
“Yaa…
Abis…” Ilan memilih-milih kata untuk mengakui. “Coba lo pikir deh. Tim basket Rosengard tuh
paling banyak dihuni sama cowok. Udah gitu, Riva kalo abis latihan basket yang
diomongin pasti basket.” Ilan membela diri.
“Ya
iyalah, Lan. Gak mungkin juga kan kalo lo baru abis nonton Harry Potter tapi
nyeritain ke gue nya tentang gimana seorang Isabella Swan jatuh cinta sama
Eddward Cullen yang ternyata seorang Vampire.” Nalula gak mau kalah.
“Tapi
gak Cuma latihannya aja, Nal.” Ilan bukan hanya sampai di situ. “Pelaku
utamanya juga di bahas.”
Nalula
menghela napas. Belum sempat ia membalas kata-kata Ilan lagi, seorang cewek
datang dan langsung ambil posisi duduk di samping Ilan.
“Gue
denger lagi ngomongin film ‘twilight’ sama ‘harry potter’ ya?” kata cewek itu.
“Ikutan donk.”
“Nggak
ko, Rev. Tadi tuh Cuma perumpamaan aja.” Jawab Ilan. “Tumben nyamperin gue?
Riva mana?” Tanya Ilan setelah beberapa saat.
“Emang
lo gak ketipu?” tuh cewek balik bertanya.
Ilan
ngelirik, lalu menggeleng. “Termasuk…” Ilan menarik ikat rambut Reva hingga rambutnya
tergerai.
Nalula
sendiri hanya senyum-senyum sendiri menanggapi tingkah Ilan.
“Lo
juga gak mungkin tukeran gelang sama Riva kan?” Lanjut Ilan lagi perihal gelang
bertuliskan nama ‘REVA’ di tangan kirinya.
Reva
Cuma nyengir karena tau rencananya tak berhasil. “Iya gue ngaku. Gue bukan
Riva. Tapi Reva. R-E-V-A. Jelas?” sampai-sampai Reva menjabarkan tiap abjad
pada namanya.
Ilan
ketawa geli mendengar pengakuan Reva.
“Gue
Cuma gak mau aja lo nyakitin perasaan ade gue.” Reva terdengar serius.
Ilan
langsung tersadar dengan perkataan Reva, karena masih ada Nalula di depannya.
“Iya, gue ngerti maksud lo. Lagian dia tuh temen gue waktu masih di Bandung.
Riva juga kenal kok. Mereka kan sekelas.” Jelas Ilan. “Namanya Nalula.”
Lanjutnya memperkenalkan Nalula pada Reva.
Nalula
dan Reva saling melempar pandang dan saling membalas senyum.
“Dan
kalo yang ini…” Ilan menyentuh pundak Reva. “…calon kakak ipar gue.” Kata Ilan
sambil nyengir. “Lo jangan sampe ketuker ya sama Riva.” Ilan memperingatkan.
“Seru
juga ya punya pacar kembar.” Komentar Nalula. tidak jelas itu menyindir atau
mendukung. “Tapi, dulu pernah ketuker gak tuh?” Pertanyaan iseng terlontar dari
mulut Nalula.
“Pastinya,
Nal.” Reva yang ngejawab. “Apa lagi dulu waktu masih pedekate.” Diiringi dengan
tawanya. “Untung aja pas nembak gak ampe salah orang.”
“Tapi
kalo ampe kejadian, gue gak kebayang deh mukanya Ilan kayak apa?” Nalula masih
melanjutkan.
“Terus
aja lo berdua.” Ilan mulai kesal dengan perlakuan Reva dan Nalula.
Bukannya
mereda, tawa Reva semakin menjadi.
“Ngetawain
apa sih? Seru banget kayaknya?”
Ilan,
Nalula dan Reva mendongak kea rah sumber suara. Dan kali ini tawa Reva
benar-benar berhenti mendengar suara Lingga yang tiba-tiba muncul dan langsung
duduk di kursi samping Nalula.
“Gak
ada.” jawab Reva enteng.
Lingga
mengangguk pelan. “Eiya, Riv. Kok gak sama Reva? Kemana tuh anak?” Tanya
Lingga.
Reva,
Ilan dan begitu juga Nalula dibuat tercengang dengan pertanyaan Lingga. Gimana
nggak, Lingga menyangka kalau Reva itu Riva.
Dengan
sedikit mengejutkan, Reva berdiri. “Sorry, gak bisa lama-lama. Gue ada urusan.”
Tanpa menunggu persetujuan siapapun, Reva meninggalkan mejanya tepat ketika
Riva datang.
Merasa
ada sesuatu yang janggal, Riva tak langsung mengejar Reva. Ia masih di sana
menunggu seseorang mejelaskan sesuatu padanya.
“Ga.”
Panggil Ilan. “Lo beneran belom bisa ngebedain mereka?” Ilan memastikan.
Lingga
diam. Kali ini Riva tak lagi menunggu. Ia terlihat gemas menanggapi sikap
Lingga dan langsung pergi dari sana. Begitu pula dengan Ilan yang langsung
menyusul Riva.
Tinggal
Nalula dan Lingga di sana.
“Jadi
bener?”
Lingga
menoleh. “Lo boleh percaya sama apa yang lo liat. Tapi, tapi gue bukan cowok
bego yang gak bisa ngebedain hal kecil kayak gitu.” Lingga membela diri dengan
meremehkan apa yang dipikirkan Nalula.
Nalula
tersenyum meski tak tertuju pada Lingga. Menyebabkan sedikit gejolak pada diri
Lingga yang ia sendiri tak mengerti artinya.
“Gue
juga bukan cewek bego seperti apa yang lo liat.” Nalula membalas semua
perkataan Lingga. “Gue udah nyadar sebelumnya kalo lo sempet berenti beberapa
saat untuk memastikan yang ada di samping Ilan itu Riva atau Reva.”
Lingga
masih menatap Nalula. Dan kali ini Nalula baru membalas tatapannya. “Gue yakin
lo punya alasan untuk hal itu. Tapi gak penting juga untuk gue tau.” Selesai
bicara, Nalula meninggalkan Lingga sendiri di sana. Sepanjang langkah Nalula,
Lingga masih memperhatikannya. Tapi Nalula tetap berjalan dengan pasti hingga
sosoknya tak terlihat oleh mata Lingga.
@@@
Lingga
dan Reva berada di taman belakang sekolah. Mereka duduk di salah satu bangku
yang ada di sana. Obrolan mereka terlihat cukup serius. Mungkin masih
menyangkut hal yang tadi ketika di kantin.
Nalula
sendiri berjalan kea rah yang sama. Meski sambil melangkah, ia terfokus dengan
novel yang ada di tangannya.
Tempat
Reva dan Lingga berada adalah salah satu tempat favoritnya juga untuk membaca
novel. Beruntung Nalula langsung menyadari keberadaan mereka di sana lalu
memutuskan untuk tidak melanjutkan langkahnya, dan berbalik untuk menjauhi tempat
itu. Tapi mungkin ia tak tau kalau Lingga juga menyadari keberadaannya.
Nalula
sudah tak terlihat, dan masalah antara dirinya dan Reva pun telah selesai.
Lingga memutuskan untuk terlebih dahulu meninggalkan tempat itu.
Lingga
langsung kembali ke kelas. Suasana sekolah mulai terlihat sepi. Dari luar
jendela kelas, Lingga melihat Nalula berjalan keluar sambil menenteng tas nya.
Di depan pintu, tubuh Lingga menghalangi Nalula. Mereka berhadapan dan saling
membalas tatapan. Sorot mata Lingga terlihat tegas, tapi tak mengartikan
apa-apa.
Di
kejauhan, dari balik tubuh Lingga, Nalula melihat sosok Reva muncul dari arah
tangga. Reva pun sempat memandang ke arahnya meski hanya sesaat. Dan langsung
mengingatkannya tentang kejadian di taman belakang sekolah tadi.
Ia
kembali menatap mata Lingga yang belum berubah sorotannya. “Sumpah demi apapun,
gue gak tau apa-apa tentang kejadian di taman tadi.” Nalula membela diri dengan
nada bicara yang datar namun menantang.
Lingga
tak merespon.
Ilan
muncul dan langsung berdiri di antara keduanya. “Kenapa lo berdua?”
Tak
satupun antara Lingga dan Nalula yang merespon pertanyaan Ilan. Bahkan dengan
lirikan sekalipun, tidak.
“Lingga.”
Suara seseorang memanggil Lingga dari arah belakang Nalula.
Semua
menoleh, termasuk Nalula. Cewek itu melangkah semakin dekat. Membuat Lingga
beranjak ke dalam kelas dengan kembali tak melepas tatapannya ke Nalula. Riva
muncul dari dalam seiring dengan langkah Lingga. Cewek tadi kini berada di
antara mereka. Tak lama, Lingga kembali muncul sambil membawa tas nya. Sebelum
benar-benar meninggalkan kelas bersama cewek tadi, Lingga masih menyempatkan
diri melirik Nalula.
“Nal,
ada apaan sih sebenernya?” Ilan tak bisa menyembunyikan lagi rasa penasarannya.
“Lingga
sama Reva putus.” Riva yang menjawab.
“Terus
kenapa sikapnya kayak gitu ke lo, Nal?”
Nalula
mengangkat bahu. “Gue gak ngerti. Sedetik baik, sedetik kemudian dingin.” Lalu
ia juga menceritakan tentang kejadian di taman belakang sekolah antara Lingga
dan Reva. Hingga kemunculan cewek lain yang pergi bersama Lingga.
“Tapi
cewek itu siapa, Riv?” Tanya Ilan lagi.
“Itu
Tere, mantannya Danu.”
“Mantannya
Lingga juga?” Nalula ikutan bertanya perihal cewek yang bersama Lingga tadi.
Ilan
yang menggeleng. “Lingga gak pernah berhubungan lagi sama mantan-mantannya.”
Dan Riva hanya membenarkan.
“Dan
gue gak tau kenapa gue bisa sama orang seperti Lingga selam setengah tahun.”
Suara
Reva yang muncul tiba-tiba mengejutkan Ilan, Riva dan Nalula. Anehnya setelah
kejadian tadi, Reva justru terlihat sedikit lebih baik dari sebelumnya.
@@@
Danu
hanya mengangkat bahu menanggapinya. “Kakak sempet kesel sama kita?” Danu langsung
beralih ke Kharis.
Kharis
hanya tertawa menanggapi pertanyaan Danu. “Lo tau kan? Kalo sejak kelas dua SMA
gue tinggal tanpa orang tua di Jakarta.” Kharis kembali berbalik ke hadapan dua
orang anak didiknya. “Gue gak mau lagi kehilangan orang yang deket sama gue.
Setelah nenek, serta orang tua gue meninggal.” Danu dan Lingga mendengarkan
tanpa bisa berfikir apa-apa. “Cuma ini yang bisa gue lakuin untuk usaha
kalian.” Lanjut Kharis yang sedikit memberi jeda pada kata-katanya. “Dan untuk…
Diaz.”
Suasana
kembali hening sejenak. Gak ada yang bicara, atapun saling tatap satu sama
lain.
Kharispun
kembali menghela napas sebelum melanjutkan kata-katanya. “Ada berita untuk
kalian.”
Kali
ini Lingga dan Danu langsung merespon ucapan Kharis dengan menatapnya. Sambil
menegakkan badan, mereka siap mendengarkan apa yang akan di katakan Kharis.
“Jadi
kalian gak kaget kalo denger ini dari orang lain.” Lagi. Kharis mengalihkan
pandangannya ke luar jendela. Mungkin hanya itu yang bisa menenangkannya saat
ini. Karena kamar Danu yang terletak cukup tinggi, memungkinkan Kharis leluasa
memandang langit yang luas dari balik jendela. “Mulai latihan besok, gue udah
bukan asisten pelatih Rosengard
lagi. Termasuk pelatih kepala. Karena akan ada yang gantiin gue dan pak
Guntur.”
Lingga
hanya diam mendengarkan. Tatapan matanya kosong. Lalu tersenyum. Pahit. “Apa
mereka pikir, gampang buat balikin citra
sepakbola SMA Rosengard.”
Lalu seenaknya berbaring di tempat tidur Danu. Posisi kakinya tetap menggantung
ke lantai. “Turnamen gak lama lagi bakal di gelar. Kepengurusan di reshuffle.
Target juara. GILA.” Lingga menggeleng.
Suasana
sama sekali tak mengenakkan. Danu, Lingga, Kharis, diam.
Cukup
lama mereka dalam keheningan. Sampai akhirnya, pintu kembali terbuka. Vindhya
yang muncul dari baliknya. Terlihat dari senyumnya, Vindhya pasti membawa kabar
baik.
“Kondisi
Diaz semakin membaik.”
Lingga
langsung bangkit meresponnya. Terlihat Kharis tersenyum samar. Tapi tidak untuk
Danu. Ia tetap diam meski kelegaan tersirat dari raut wajahnya.
“Danu
pulang sama Lingga.” Hanya itu kata-kata yang diucapkan Danu.
Tanpa
buang waktu. Vindhya langsung mengizinkan, lalu keluar diikuti Kharis di
belakangnya.
Danu
menengok ke Lingga begitu Kharis menutup pintu dari luar.
“Hatinya
gak lebih sakit dari senyumnya.” Kata Lingga kepada Danu.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar