13. SEMI FINAL
Zagar
menunggu di depan sebuah wartel. Beberapa menit kemudian Nalula keluar dengan
ekspresi wajah yang sulit ditebak. “Lo abis nelpon siapa?” tanya Zagar curiga.
“Dan kenapa harus di wartel? Kalo emang gak punya pulsa kan bisa pake hape
gue.”
“Hape lo kan error.” Celetuk Nalula
sambil berjalan. “Sama kayak yang punya.”
Zagar malah tertawa mendengar perkataan
Nalula sambil menyusulnya. “Serius deh, lo abis nelpon siapa?”
Nalula berjalan dengan cukup lambat.
“Nyokapnya Diaz.”
“Untuk apa?” Zagar penasaran.
“Nggak mau ngasih tau akh, kita kan
rival.”
“Jadi, ada sangkut pautnya dengan Rosengard? Ya
udah, gapapa. Gue gak maksa kok.”
Bukannya merasa bersalah, Nalula malah
balik tertawa. Zagar pun menatapnya curiga. “Gak usah terbawa suasana banget
lah, Gar.”
“Apa yang lo omongin tuh bener.” Zagar
berusaha serius. “Untuk sementara lo jangan cerita apa-apa dulu tentang Rosengard.”
Seolah ingin Nalula tak meresponnya, Zagar sedikit mempercepat langkahnya untuk
mendahului Nalula. “Kita cari makan.”
Nalula tersenyum menanggapinya. Karena
dirinya lah, Zagar tak sempat menikmati makan malam di apartemen. Sebagai
gantinya, mereka memilih makan di warung tenda yang berjejer di sekitar jalan.
Dilihatnya Zagar telah memesan makanan untuk mereka berdua lalu duduk di bangku
yang telah disediakan. Nalula pun langsung duduk di samping Zagar.
“Gue nelpon nyokapnya Diaz untuk minta
izin supaya Diaz boleh ikut bertanding.” Kata Nalula tanpa berbasa-basi
terlebih dahulu.
Zagar menoleh. Rasanya cukup mengejutkan
Nalula tiba-tiba menghadiahinya dengan cerita seperti itu. “Nal, beneran gue
gapapa kalo untuk sementara lo gak cerita tentang Rosengard.” Nampaknya Zagar
menganggap Nalula merasa bersalah terhadapnya.
“Gue berhasil.” kata Nalula lagi penuh
semangat hingga membuat mata Zagar terlihat berbinar seolah ikut merasakan
sedikit kebahagiaan Nalula. “Tapi ada syaratnya.” Tenyata Nalula belum selesai.
Binar di mata Zagar pun seolah kembali memudar seiring dengan ekspresi wajah
Nalula yang terlihat penuh beban.
“Kalo Rosengard gagal merebut posisi
puncak, gue harus tinggal bersama Diaz dan nyokapnya.” Ujar Nalula tanpa ada
beban sedikitpun.
“Dan lo setuju?” Tanya Zagar sedikit
ragu.
“Biar gimanapun, nyokap Diaz adalah
nyokap gue.” Nalula meyakinkan Zagar bahwa apa yang telah ia lakukan bukan hal
yang salah.
“Anak-anak ada yang tau?”
“Gue harap nggak.” Nalula menggeleng.
“Termasuk Ilan.”
Zagar malah mengacak-ngacak rambut
Nalula dengan lembut. “Ekstrim banget sih lo jadi cewek.”
@@@
Satu jam kemudian, Lingga, Danu, Hexa
dan Tegar pun kembali ke tempat yang mereka rencanakan. Di sana lebih dulu
menunggu Davi, Lukas, Windu dan Andi.
“Nalula udah balik?” tanya Lingga meski
masih dari kejauhan.
“Belum.” Riva yang menjawab.
“Kita tadi sempet keluar juga, tapi gak
ketemu Nalula.” Ujar Davi.
Tak lama, Dendi Farel dan Khai muncul.
“Gue sempet coba telpon Nalula, tapi sibuk terus.” Kata Khai memberi informasi.
“Gue juga nyoba nelpon.” Kata Lukas
menambahkan. “Tapi setelah itu udah gak aktiv.”
“Gue yang dari tadi telponin Nalula.”
ujar Danu akhirnya. “Setelah beberapa kali, memang langsung gak aktiv.”
“Ternyata Nalula keluar gak bawa hape.”
Reva tiba-tiba muncul dari kamar sambil menunjukkan ponsel Nalula di tangannya.
“Dan sekarang lowbath.” Ujarnya.
Lingga langsung terlihat yang paling
kalut. Lalu ia seolah menyadari sesuatu. “Dewa mana deh?” tanya Lingga panic.
“Dewa tadi gak bareng sama gue.” Jawab
Windu.
“Terakhir gue liat waktu masih di ruang
makan.” Dendi pun menyampaikan apa yang ia ketahui.
“Kalian dari mana aja sih?” todong
Lingga ketika Ilan dan Garra muncul di ujung koridor.
“Gue dari klinik nganterin Garra.” Jawab
Ilan santai.
“Anak-anak juga tau kok.” Kata Garra
yang membela diri seolah merasa ada sesuatu yang aneh dengan nada bicara
Lingga.
Begitu Ilan dan Garra sampai di depan
Lingga, kembali muncul Ferry, Irham dan Anjar di ujung koridor. “Gimana? Ada
kabar?” tanya Ferry kepada siapa saja yang berada di sana.
“Kita sempet
periksa sampe tempat parkir. Menurut satpam di sana, malam ini gak ada satu pun
kendaraan yang masuk ataupun keluar.” Ujar Irham karena tak ada satu pun dari
mereka yang ditanya Ferry mendapatkan titik terang.
“Di pusat perbelanjaan depan sana gak ada
juga?” giliran Anjar yang bertanya.
“Semua tempat udah kita telusuri
satu-satu. Dari toko sampe tempat makan.” Kata Hexa.
“Toilet juga.” Tegar menambahkan ucapan
Hexa.
“Iya. Toilet.” Hexa pun menyetujui apa
yang dikatakan Tegar. “Tapi gak ada juga.”
“Sampe nanya-nanya ke pusat informasi
juga malah.” Tegar nampaknya masih belum selesai.
Ilan dan Garra yang berada
ditengah-tengah kerumunan saling tukar pandangan karena merasa bingung dengan
apa yang sedang dibicarakan teman-temannya. “Kalian ngomongin apa sih? Pada
nyari apaan? Kok sampe ngomongin toilet sama pusat informasi gitu?” Tanya Garra
akhirnya.
“Kita tuh lagi nyari-nyari Nalula.”
Tegar yang jawab.
“Nalula gak ada di apartemen.” Danu
menambahkan.
“Emang kalian gak nyari ke warung tenda
di depan sana?” Ilan bertanya. Ia tak sedikitpun merasa khawatir dengan berita
yang baru saja diterimanya.
“Warung tenda pinggir jalan yang ke arah
stadion itu?” Windu balik bertanya.
“Iya.” Ilan mengangguk dan Garra ikut
membenarkan.
“Gue sama Davi, Lukas, Windu, sempet
lewat sana. Tapi gak ada satupun dari kita yang liat.” Jelas Andi. Davi, Lukas
dan Windu pun membenarkan pengakuan Andi.
“Lan.” Lingga berdiri di depan Ilan.
“Jangan bilang kalo lo tau dimana Nalula berada?” suaranya sedikit terdengar
mengancam.
“Gue emang tau kok, Ga!” Ilan dengan
tagas mengatakan. “Nalula di sana sama Zagar.” Ia mengeluarkan ponselnya dari
saku celana. “Kalo lo gak percaya, periksa sms Nalula pake hape Zagar.” Lingga
meraih ponsel yang disodorkan Ilan. “Gue juga tau kalo Nalula keluar gak bawa
hapenya.” Tambahnya.
Bergantian ponsel Ilan pindah ke tangan
Danu dan begitu seterusnya kepada punggawa Rosengard yang lain termasuk
Riva dan Reva.
“Kenapa lo gak bilang ke kita?” Lingga
seperti menyalahkan Ilan.
“Ga! Mana gue tau kalo diantara kalian
juga gak ada yang tau kalo Nalula keluar.” Ilan membela diri.
“Zagar kan musuh kita. Kenapa gak lo
larang mereka pergi?” Lingga belum selesai.
“Apa hak kita ngelarang Nalula? Dan
emangnya kenapa kalo Nalula pergi sama LAWAN kita?” Ilan pun gak mau kalau
dirinya tetap disalahkan. “Mereka sahabatan. Dan Zagar juga sahabat gue. Dia
adenya Bagas, sahabat lo juga.”
Lingga siap kembali menghujani Ilan
dengan kata-katanya. Tapi keburu di tahan Danu. “Ga! Cukup! Nalula udah balik.”
Seluruh mata tertuju ke ujung koridor
dimana Nalula berjalan bersama Dewa. Nalula pun merasa ada sesuatu yang aneh
karena hampir sema mata memandangnya.
Lingga sendiri tidak langsung
menginterogasi kedatangan Nalula dan Dewa. Tapi ia kembali ke Ilan. “Lo liat
sendri kan, kalo Nalula pulang sama Dewa?” ancamnya. “Jadi lo jangan bohongin
kita dengan bilang Nalula pergi sama Zagar. Dan sms itu bisa aja dimanipulasi.”
Lingga tetap menyalahkan Ilan.
Tapi Ilan sama sekali tak terbawa
suasana emosi yang ditunjukan Lingga. Ia tetap santai menanggapi ocehan
negative yang dihujani Lingga.
“Ga. Pliss.” Garra berusaha menengahi
Lingga. “Jangan menyalahkan orang tanpa lo tau kejadian yang sebenarnya.” Garra
bicara tepat dengan kehadiran Diaz dan Kharis. “Dengan lo liat Nalula balik
sama Dewa, apa itu artinya mereka pergi bareng?” tantang Garra.
Kharis sendiri langsung menarik tangan
Nalula dan bertanya tentang keberadaan Nalula. “Gue Cuma pergi makan keluar
sama Zagar. Ilan juga tau kok. Hape Nal ketinggalan di kamar.” Nalula
menjelaskan. Begitu juga kepada Diaz.
“Dan asal lo tau. Dewa dari ada di
lobi.” Lanjut Garra. “Bahkan gue sama Ilan sempet ketemu sama om dan tantenya
Dewa.”
Mata Diaz dan Danu bertautan. Dan Diaz
pun meminta Danu untuk membawa Lingga ke kamar meski dengan isyarat mata. Danu
pun membalasnya dengan anggukan.
“Yaudah. Masalah ini gak usah dibahas
dulu.” Kata Diaz. “Lebih baik kalian balik ke kamar masing-masing.”
Danu yang terlebih dahulu membawa Lingga
balik ke kamar. Kemudian diikuti dengan yang lain. Berlanjut ke Kharis yang tak
ingin membahas apa-apa lagi. Tersisa Diaz yang masih di sana bersama Nalula. Ia
mengusap lembut kepala adiknya itu sambil tersenyum.
“Maaf kalo keberadaan gue di sini justru
udah nyusahin kalian semua.” Kata Nalula sendu.
Diaz beralih merangkul Nalula. “Gue gak
pernah tau gimana rasanya berada di posisi lo.”
Nalula menoleh. Bingung tepatnya dengan
apa yang dikatakan Diaz.
“Setelah sekian lama gue hidup, satu
yang menjadi kebahagiaan terbesar gue.” Diaz balas menatap Nalula. “Yaitu gue
bisa dipertemukan sama lo.”
Nalula tertunduk mendengar suara Diaz
yang begitu menenangkan di telinganya. Mungkin hal seperti ini lah yang ia
inginkannya dari sosok Kharis.
“Bertahun tahun gue hidup berdua sama nyokap.
Tapi hari-hari gue selalu terasa sepi. Nyokap juga gak sekalipun memberitahukan
perihal lo.” Diaz masih melanjutkan. “Pernah satu ketika gue mengkhayal punya
seorang adik perempuan. Cantik. Pintar. Dan menyukai sepakbola seperti halnya
gue.” Diaz berhenti sejenak, lalu menghela napas. “Ternyata itu bukan
khayalan.” Setetes air membasahi tangan Diaz. Merasa ada yang janggal, Diaz
memaksa tubuh Nalula untuk menghadapnya. Nalula menangis. “Nal, gue bahagia lo
hidup bersama keluarga Kharis. Gue tau seperti apa mereka. Ka Farlan, nyokapnya
Kharis.” Ujar Diaz sambil mengusap pipi Nalula. Diaz mengangkat dagu Nalula,
tapi Nalula menolak untuk menurut. “Nal, pliss liat gue.” Pintanya.
Nalula tetap menunduk. Diaz menurunkan
tangannya seolah tak ingin memaksa. Ia memutuskan untuk meninggalkan Nalula di
sana. Namun tangan Nalula menahnnya. Tanpa di duga, Nalula justru memeluknya
dengan cukup erat. “Mungkin lo gak menyadari kalo gue selama ini gak pernah mau
untuk natap mata lo.” Diaz pun mendekapkan tangannya ke tubuh Nalula. Nampaknya
momen seperti ini lah yang sudah ditunggu-tunggu Diaz. “Mata lo mirip papa.”
Nalula semakin terisak di pelukan Diaz. Dan Diaz semakin tak ingin untuk
melepaskannya.
“Janji sama gue.” Pinta Diaz. “Untuk
bisa membuka diri lo bahwa gue juga kakak lo. Gue juga akan berusaha selalu ada
buat lo. Dan mulai hari ini, lo bisa cerita apa aja ke gue. Lo juga boleh minta
apa aja ke gue. Karena gue yang akan gantiin posisi papa buat jagain lo.” Ujar
Diaz. Ia dapat merasakan Nalula menggangguk, lalu mencium kepala Nalula.
@@@
“Gak nyangka, gue bisa tenggelam di
sepakbola sampe sejauh ini.” Kata Riva menerawang. Ia menggenggam secangkir teh
sambil berdiri di tepi balkon. Sementara Nalula sedang duduk di tepi tempat
tidur, sambil menutup resleting ranselnya. “Jadi cinta sama bola.” Ujarnya lagi
yang geli sendiri sambil menyeruput minumannya.
Nalula merelaxkan posisi duduknya.
“Termasuk tambah cinta sama Ilan?” Tanya Nalula iseng membuat Riva tertawa
renyah. Untung saja tak sampai membuatnya tersedak.
Tiba-tiba pintu menjeblak. Reva muncul
penuh semangat. Entah kabar apa yang ia bawa. “Lo berdua harus tau.” Ucapnya
bersemangat.
“Tau apa?” Riva meresponnya penuh minat.
Ia pun masuk ke dalam kamar.
“Diaz.”
“Diaz kenapa?” Riva mulai terlihat
panic.
Sementara Nalula berusaha menata
ekspresinya agar tak dicurigai kedua temannya ini. Karena Nalula berfirasat
Reva akan membeberkan kejadian tadi malam.
“Diaz udah dibolehin buat main bola
lagi.” Reva membuat Riva menatapnya tak percaya.
“Serius…?” Riva memastikan. Sementara
Reva mengangguk pasti. Tanpa sadar, mereka berdua bersorak kegirangan. Mungkin
kalau aja Riva lupa akan minumannya, ia udah melompat-lompat mengekspresikan
kegembiraannya.
“Lo kenapa diem, Nal?” Reva mencurigai
sikap Nalula.
“Hah?” Nalula tampak tak siap. “Gapapa.”
Ucapnya sedikit gugup. “Gue Cuma terlalu seneng aja denger cerita lo. Jadi
bingung buat ngapain.” Nalula akhirnya bisa mengatasi kecurigaan Reva.
Beruntung, baik Reva ataupun Riva bisa menerima lasannya. Dirasa sudah tak ada
yang akan dibahas, Nalula berdiri. “Gue keluar sebentar ya.” Pamitnya.
Nalula yang keluar kamar langsung menuju
anak tangga. Ia mengarah ke kolam renang. Nalula duduk ditepi sambil
merandamkan kakinya ke kolam. Tidak lama hingga Lingga muncul dan
menghampirinya. Lingga duduk di samping Nalula dengan arah yang berlawanan.
“Maaf ya tentang semalem.” Nalula
memulai tanpa menoleh. Rasanya tanpa harus mencari tau, Nalula sudah tau kalau
itu adalah Lingga.
Lingga sendiri masih pada posisinya. “Kenapa
lo ngelakuin ini sih?” tanya Lingga akhirnya setelah beberapa saat tetap diam.
“Kenapa lo gak pernah cerita kalo lo
adalah Dewa?”
Lingga sama sekali tak terkejut dengan
apa yang dikatakan Nalula. Lingga justru tertawa pahit untuk itu. “Jadi lo udah
tau?”
Pertanyaan Lingga membuat Nalula
menoleh. Perlahan, Lingga pun melihat ke arah Nalula. Nalula malah tak bisa
berkata apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya dari mata Lingga.
“Kenapa gak mau natap gue?”
“Kenapa dulu lo gak nemuin gue? Lo
bilang, lo akan sering nemuin gue ke Bandung.” Nalula malah balik bertanya.
“Tapi kenapa lo malah ngehindar?” Nalula masih tetap tak melihat ke Lingga.
“Lo pikir gue mau ngelakuin itu?” balas
Lingga. Nalula tak bergeming. Lingga yang terlihat tak sabar, memutar paksa
badan Nalula untuk menghadapnya. “Apa lo tau alasan gue ngelakuin itu?” mereka
saling menatap dengan posisi tangan Lingga masih menggenggam lengan Nalula. “Lo
inget acara nikahan kakaknya Ilan?” Lingga memulai. Perlahan ia melepaskan
genggamannya dan kembali ke posisi sebelumnya. “Itu tepat setahun gue pindah ke
Jakarta. Dan di sana lo sibuk sama Ilan. Beberapa kali gue ke Bandung buat
nemuin lo. Tapi semua hasilnya sama. Lo udah terlalu asik sama dunia lo setelah
gue pergi. Brian, Zagar, Ilan dan terakhir Kharis.” Ujar Lingga bertubi-tubi.
“Waktu denger berita orang tua lo meninggal, gue ke Bandung. Dan di sana ada
sesuatu yang aneh sama Kharis.” Lingga masih terus berujar tanpa ingin melirik
sedikitpun ke Nalula. Dan Nalula sendiri benar-benar menunggu apa yang akan
Lingga katakan. “Sumpah Nal, gue terpuruk liat kondisi lo. Kharis sendiri sama
sekali gak pergi dari sisi lo. Dan gue ngerasa kalah.”
“Jadi lo cemburu?”
Lingga akhirnya menoleh. “Apa gue terlihat
cemburu?” balas Lingga dengan tatapan penuh harap. Sementara Nalula sendiri
sama sekali tak berpaling dari Lingga. “Apa lo gak ngerasain hal yang sama
waktu liat gue sama Reva?”
Cukup lama mereka saling diam. Nalula
sendiri, menatap Lingga dengan cukup datar. “Apa selama 6 tahun gak pernah
ketemu, bisa menjamin seseorang bisa mengingat wajah orang yang pernah
dikenalnya?” Nalula bertanya dengan cukup sabar. “Saat itu kita masih SD. Dan
perubahan pada diri lo cukup drastis. Ditambah lo udah gak pake nama Dewa.”
“Jadi lo sempet ngira Dewa adalah gue?”
Tanya Lingga tak yakin dan kembali keposisi awalnya.
Nalula tersenyum tanpa sepengetahuan
Lingga. “Untungnya nggak.”
Lagi-lagi perkataan Nalula membuat
Lingga menoleh. “Maksudnya?”
“Lo pikir? Muka Jawa kayak lo bisa
berubah blasteran kayak tampangnya Dewa yang indo?” celetuk Nalula sekenanya.
Lingga justru pasang tampang tak percaya
mendengar ucapan yang keluar dari mulut Nalula. Lalu kembali berpaling lagi.
“Tapi semalem lo pergi sama Dewa.” Lingga masih terdengar tak mau kalah.
Mata Nalula sontak melebar. Ia harus
mengeluarkan kesabaran ekstra untuk menghadapi Lingga. “Gue harus bilang berapa
kali kalo semalem gue gak pergi sama Dewa.”
“Iya iya.” Lingga langsung menyesali.
“Maksud gue Zagar.”
“Gue sama Zagar sahabatan.” Sesabar
mungkin Nalula menjelaskan.
“Mungkin menurut lo begitu. Tapi Zagar
menganggap lebih.” Lingga memberi jeda pada ucapannya. Dan Nalula belum ingin
merespon perkataan Lingga. “Gue tau Zagar punya perasaan ke lo.” Ujarnya lemah.
“Gue juga tau.”
Lingga langsung kembali menoleh. “Hah?”
Ia sama sekali tak mempercayai ucapaan Nalula.
@@@
Diaz harap-harap cemas di ruang ganti.
Ternyata tak semudah itu untuk mendaftarkan namanya sebgai pemain. Lingga dan
Kharis lah yang sedang mengusahakannya. Sementara pemain lain lalu lalang di
hadapan Diaz yang duduk di tengah ruangan. Tangannya telah menggenggam seragam
bola Rosengard
nya.
Pintu menjeblak terbuka. Sontak membuat
Diaz berdiri dan anak-anak yang lain juga menoleh ke arah pintu. Ternyata Reva
dan Riva yang muncul. Diaz berubah kecewa.
“DIAAZZZ…” Lingga menyeruak muncul
hingga menabrak Riva dan Reva yang menghalangai jalannya. Lingga tampak sangat
bersemangat. “Lo bisa main sore ini.” Ucapnya heboh diikuti Kharis yang baru
saja menutup pintu.
Mata Diaz langsung terlihat berbinar,
tapi ia tak ingin begitu saja mempercayainya. Kharis dengan santai menyodorkan
selembar kertas yang digulungnya ke hadapan Diaz. Perlahan Diaz membukanya
dengan perasaan tak karuan. Itu nama-nama pemain yang didaftarkan untuk bisa
bermain di pertandingan semi final sore ini. Beberapa yang mengerubungi Diaz
yang melihat kertas itu, langsung bersorak ketika mendapati nama Diaz yang
masuk dalam daftar. Diaz sendiri lebih ke tak bisa berkata apa-apa.
Suasana yang riuh langsung dimanfaatkan
Ilan untuk menghampiri Nalula yang ternyata duduk pojokan loker dan menggunakan
handsfree di kedua telinganya. Ilan langsung duduk disamping Nalula sambil
melepaskan salah satu handsfree yang dikenakan Nalula. Nalula sendiri yang
semula terpejam, langsung membuka matanya. Ia langsung menangkap sosok Diaz
yang berjalan dengan sumringah mengarah ke toilet sambil membawa seragam
sepakbolanya.
“Apa yang udah lo lakuin ternyata gak
sia-sia. Semua berjalan sesuai rencana.” Perkataan Ilan membuat Nalula
menatapnya bingung. Ilan tertawa. “Lo bisa aja nyuruh Zagar buat gak cerita
masalah ini ke siapapun. Tapi lo lupa pengecualiannya.”
Nalula terkekeh seolah menyesali
kebodohannya. “Emang percuma gue ngasih bermilyar-milyar supaya Zagar gak
cerita ke lo.”
Ilan ikut tertawa. “Akhirnya lo sadar
juga kalo Zagar gak pernah bisa bohong, apa lagi menyangkut sama lo.” Sedetik
kemudian tawa mereka reda. “Mungkin karena gue pacaran sama Riva, jadi lo
sedikit jaga jarak ke gue dan Cuma cerita ke Zagar karena takut kalo Reva camburu.”
Nalula nyengir.
“Riva mungkin cemburu, dan itu wajar.”
Ucapan Ilan membuat Nalula mengangguk. “Tapi seenggaknya Riva gak kayak
Lingga.”
Nalula mengeryitkan dahi. “Maksudnya?”
Ilan tampak tak mempercayai apa yang
dikatakan Nalula. “Jadi lo gak nyadar…” Nalula menggeleng “…kalo dari tadi
Lingga ngeliatin gue sinis banget?”
Sontak Nalula langsung mencari sosok
Lingga yang berada di seberangnya dan kini sedang mengikat tali sepatu.
“Emang?” Nalula malah balik bertanya.
Ilan menghela napas, lalu bersiap untuk
berdiri. “Gue gak mau deh kalo ada macan yang ngamuk lagi ke gue kayak
semalem.” Ilan langsung meninggalkan Nalula di sana.
@@@
Partai semim final antara SMA Siliwangi
melawan SMA Dipokar. Skor sementara keunggulan Dipokar 1-0 di menit 27’. Diaz dan
Danu dipasangkan di depan. Lingga bermain di lini tengah bersama Dewa, Tegar
dan Khai. Dan di belakang, ada Andi, Anjar, Davi serta Lukas. Untuk kipper,
Kharis mempercayai Windu untuk menggantikan posisi Bintang. Sementara itu, SMA
Siliwangi dengan cukup mengejutkan akan melakukan pergantian pemain. Salah satu
punggawanya pun telah bersiap di pinggir lapangan.
Tanpa di duga, ternyata pemain itu
menggantikan pemain Siliwangi lain bernomor punggung 10. Tak lain dan tak bukan
adalah Brian. Nalula sendiri cukup tercengang dibuatnya. Brian langsung saja
digiring keluar lapangan. Sepanjang yang bisa dilihat, Brian mentap Nalula
penuh kecewa. Mungkin karena dirinya tidak bisa berbuat banyak karena harus
digantikan. Tak lama setelah Brian menghilang, ponsel Nalula bordering. Telepon
dari Zagar. Nalula buru-buru menjawabnya.
“Kenapa, Gar? Lo dimana deh?” tanya
Nalula setelah menempelkan ponsel ketelinganya.
“Nal, gue tunggu ke ruang ganti
Siliwangi. Sekarang. Penting!”
“Ada…” Nalula belum sempat menyelesaikan
ucapannya ketika Zagar langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Begitu berbalik, Nalula dihadang oleh
Ilan yang sore itu turun sebagai pemain pengganti. “Zagar kenapa?”
Sesaat Nalula melirik ke Kharis yang
berdiri sedikit berjauhan olehnya ditemani Riva dan Reva. Lalu kembali menatap
ke Ilan. “Gue gak tau, Lan.” Ujarnya sedikit panic. “Zagar Cuma nyuruh gue ke
ruang ganti Siliwangi sekarang.”
Ilan menatap Nalula curiga. “Siliwangi?”
Ulangnya. “Apa lo yakin kalo itu telepon dari Zagar?”
Nalula memastikan dengan memeriksa
kembali ponselnya. Lalu mengangguk sambil menunjukkan buktinya ke Ilan.
“Oke. Tapi gue harus temenin lo.”
“Gak usah, Lan. Lo masih diperluin di
sini.” Nalula melarangnya.
“Gue gak mau ada hal aneh lagi terjadi
sama lo.” Ilan berusaha meyakinkan. “Lo liat sendiri, kan? Brian ditarik keluar
dan udah pasti dia ada di locker room sekarang.”
“Tapi, Lan…” belum sempat Nalula bicara
lagi, Ilan sudah pergi dan berjalan ke arah Kharis. Dilihatnya Ilan yang bicara
dengan sedikit berbisik ke Kharis. Setelah beberapa saat, Kharis mengangguk dan
Ilan pun kembali ke tempat Nalula berada.
“Ayo, Nal.” Ajak Ilan begitu berjalan di
depan Nalula tanpa berhenti terlebih dahulu.
@@@
Zagar muncul dari arah yang berlawanan
dengan Ilan dan Nalula. mereka bertemu tepat di depan pintu locker room yang
dihuni SMA Siliwangi.
“Nal.” Kata Zagar tanpa canggung meski
di sana juga ada Ilan. Justru ia pun bergantian menatap Ilan. “Ada berita
duka.”
Nalula dan
Ilan yang terlihat kaget, langsung mempersiapkan diri mereka. “Nyokapnya Brian
meninggal.”
Nalula langsung membekap mulutnya dengan
satu tangan, dan tangannya yang lain tanpa sadar sudah mencengkeram lengan Ilan
yang berada di sampingnya. Ilan langsung terlihat khawatir dengan Nalula yang
tiba-tiba mencengkeramnya.
“Briannya dimana?” tanya Ilan.
“Kayaknya masih di dalem.”
“Berarti dia langsung terbang ke Bandung
sore ini juga?” tanya Ilan lagi.
Belum sempat Zagar menjawab, pintu
dibelakangnya terbuka. Dan Brian muncul masih menggunakan seragam tim nya dengan
menggemblok ranselnya. Tatapannya kosong. Jelas, ia terlihat cukup kacau dan
hanya sempat mengganti sepatu dan mengenakan jaket.
Nalula yang pertama menghampiri Brian.
Mata Brian terlihat merah meski ia tak menangis. Justru air mata Nalula lah
yang pecah dan mengalir di pipinya. Brian menunduk untuk menatap Nalula dan
hanya mampu tersenyum agar bisa menghentikan tangis Nalula. Bukannya berhenti,
Nalula malah memeluk Brian dan menangis sejadinya di dada Brian. Brian sendiri
yang sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Nalula, perlahan menjatuhkan
ranselnya dan balas memeluknya. Ia pun tak kuasa menahan air matanya.
Melihat ketegangan ini, Ilan mendekat
dan ikut memeluk mereka. Diikuti Zagar setelahnya. Brian pun dengan tatapan
penuh rasa bersalah, melihat ke Ilan. “Biar gimana pun, kita pernah berjuang
bareng-bareng. Meski sekarang kita berjalan sendiri-sendiri.”
Cukup lama mereka berpelukan, hingga
Brian yang menyeruak melepaskan diri. Cepat-cepat ia menyeka air matanya.
“Maafin gue ya, Nal.”
Nalula dengan tegas menggeleng. “Gak
perlu.”
“Makasih buat kalian semua.” Ucap Brian
sambil menatap orang-orang di depannya bergantian.
Ilan kembali memeluk Brian. Lalu gantian
Zagar yang memeluk Brian. Dan untuk Nalula, Brian hanya mengusap kepalanya. “Lo
jelek kalo nangis.” Ujarnya hingga membuat semua tertawa.
Ketika melihat Brian pergi, Nalula
menyandarkan kepalanya di pundak Zagar dan salah satu tangannya menggandeng
tangan Ilan. Ternyata pertandingan babak pertama pun usai. Dan Lingga lah yang
paling pertama muncul dan melihat kejadian itu.
@@@
Rosengard berhak melangkah ke
partai final setelah mengalahkan SMA Siliwangi dengan skor tipis 1-0. SMA
Jakabaring sendiri telah menunggu setelah berhasil mengandaskan mimpi SMA
Mandala dengan skor 2-1 meski awalnya SMA Mandala memaksakan hasil hingga babak
perpanjangan waktu.
Dua
hari berlalu setelah partai semifinal. Hubungan antara Lingga dan Nalula justru
menjadi buruk sejak kejadian yang Lingga lihat di depan locker room SMA
Siliwangi. Di hari yang sama, ternyata Vindhya datang ke Surabaya. Nalula pun
mengenalinya sebagai kakak dari Danu. Dan orang pertama yang menyambut Vindhya
pun bukan Danu, melainkan Kharis. Nalula melihat kejadian itu di depan pintu
utama apartemen. Rasanya setelah melihat kejadian itu, Nalula seperti dalam
dilemma.
Danu
muncul dari arah belakang Nalula. Diikuti Diaz yang seolah begitu saja melewati
Nalula. Tapi sebenarnya, Diaz sambil menyambar tangan Nalula dan menariknya
menghampiri Kharis dan Vindya berada. Danu sendiri langsung memeluk kakaknya.
“Hai.”
Sapa Diaz yang terdengar canggung setelah Danu melepaskan pelukkannya.
“Hei,
Diaz.” Vindhya membalasnya sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
Diaz
terlihat salah tingkah. Tapi cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan dengan
memperkenalkan Nalula kepada Vindhya. “Kak, kenalin ini Nalula.”
Dengan
ramah Vindhya menyodorkan tangannya. “Vindhya.” Ujarnya. Meski tanpa senyum,
Nalula pun menyambut uluran tangan Vindhya.
“Nalula
ini ade tiri nya kak Kharis.” Danu melanjutkan. “Dan ternyata, Nalula adalah
sodara kembarnya Diaz.”
Vindhya
terlihat cukup terkejut sambil melebarkan matanya. “Jadi selama ini, Diaz punya
kembaran?”
Nalula
sama sekali tak memperdulikan apa yang dibahas Vindhya dan yang lain tentang
dirinya. Tapi ia peduli dengan kemunculuan Brian yang baru saja turun dari
mobil. Brian sendiri tampak lebih baik disbanding dua hari lalu. Tanpa pikir
panjang, Nalula menghampiri Brian.
“Brian..”
Nalula berteriak, lalu memeluk Brian sesaat. “Gue seneng bisa liat lo ada di
sini lagi.”
“Berkat doa
kalian.” Setelah itu mereka terlihat tak banyak bicara. Keduanya saling diam.
Hingga akhirnya Brian yang memulai. “Final, Rosengard ketemu Jakabaring ya?
Dilemma deh gue, mau dukung yang mana?” ledeknya.
“Inilah
permainan.”
“That’s
right.” Brian menyetujui. “Oiya, gue janjian makan siang bareng Zagar nih. Lo
ikut ya? Tapi lo ajak Ilan juga.”
“Ditraktir
gak?” Tanya Nalula tak sungguh-sungguh.
Brian
malah tertawa. “Hmm… Pengen banget banget gue traktir ya, Nal?”
“Kalo
gak mau, ya udah.” Nalula pasang tampang sok ngambek. “Sory, gue gak bisa
ikutan.” Ujar Nalula seenaknya sambil pergi.
Tapi
cepet-cepet ia menarik tangan Nalula. “Hadeuh… Ngambek mulu sih nih anak. Iya
iya gue traktir. Apa pun yang lo mau.”
Nalula
langsung tersenyum jahil. “Nah, gitu donk. Kan jadinya gue enak buat ngabarin
Ilan.”
“Tapi
janji ya jangan bilang-bilang ke Ilan sama Zagar kalo lo gue traktir.” Pinta
Brian.
“Kenapa?”
“Lo
tau sendiri, tuh anak dua makannya banyak.”
“Hahaha.”
Nalula tertawa ngakak menanggapi ucapan Brian.
Di
kejauhan, lagi-lagi Lingga menyaksikan kebersamaan Nalula dengan cowok lain.
Dan kali ini orang itu adalah Brian.
@@@
Sore
ini Rosengard
menggelar latihan sebagai ajang persiapan untuk menghadapi partai final esok
hari. Nalula semankin menunjukkan sikap dinginnya. Ia duduk sendiri di bangku
tempat anak-anak meletakkan tas mereka. Kharis pun akhirnya di temani Vindhya,
Reva dan Riva di pinggir lapangan. Usai latihan, Kharis menggelar sedikit
briefing mengenai latihan hari ini. Nalula pun hanya bicara seperlunya. Itu pun
karena Kharis memintanya untuk bicara. Setelah Kharis menyatakan latihan
benar-benar selesai, Nalula lah yang pertama meninggalkan lapangan.
Diluar
stadion, Nalula bertemu Zagar dan Bagas. Tapi Bagas sengaja dengan hanya
menyapa Nalula sesaat lalu meninggalkanya bersama Zagar.
Zagar
sendiri sebenarnya juga baru saja usai melakukan latihan di tempat yang
berbeda. “Kenapa lo?” Tanya Zagar yang mencurigai raut wajah yang ditunjukan
Nalula.
“Gak
taulah, gue Cuma lagi bête aja.” Keluhnya. “Apa lagi sejak kedatangan kakaknya
Danu.”
Zagar
mengajak Nalula ngobrol sambil jalan. “Bete kenapa?”
“Ingetkan
dulu gue pernah cerita, Kharis berantem sama ceweknya gara-gara liat gue jalan
sama Kharis?” Nalula memulai dengan penuh antusias.
“Itu
kan udah lama, Nal.”
“Tapi
tetep aja gue masih kesel ingetnya.” Nalula tak mau kalah. “Kharis kan kakak
gue, kenapa juga dia harus cemburu? Dia juga kan gak bisa ngelarang buat nggak
pergi berdua sama Kharis.”
“Gue
rasa lo yang cemburu, Nal.”
Nalula
dan Zagar menghentikan langkah mereka. Suara itu bukan berasal dari mulut
Zagar. Melainkan orang lain yang berada di belakang mereka. Ternyata itu Brian.
“Atas
dasar apa lo bilang kalo gue yang cemburu?”
“Eh,
Nal. Lo pikir gue gak tau?” Ujar Brian menantang. Ia sendiri juga terlihat usai
latihan. “Tadi siang pas gue baru nyampe, gue liat lo nyamperin gue dari arah
pintu. Dan gue juga tau di sana ada Kharis, Danu, Diaz juga kakaknya Danu.
Meski lo keliatan welcome banget ke gue, tapi itu semua karna lo mau ngindarin
mereka kan?” kata Brian panjang lebar.
Gak ada
yang merespon ucapan Brian. Nampaknya Nalula sendiri tak bisa menyangkal apa
yang Brian katakan terhadapnya. Cukup lama ia terdiam. Hingga akhirnya Brian
kembali mengambil alih suasana.
“Sorry
kalo ada kata-kata gue ada yang salah. Tapi perasaan lo ke Kharis juga gak bisa
di salahin.”
Nalula
menghela napas dan menatap penuh arti kedua sahabatnya. “Ternyata emang gak
bisa nutupin sesuatu dari diri gue ke kalian. Dan rasanya kalian lebih tau apa
yang gue alami dibanding diri gue sendiri.” Semakin lama Nalula tertunduk.
Berat rasanya mengakui hal ini di depan Brian dan Zagar. Semakin buruk untuk
Nalula jika Ilan juga berada diantara mereka. “Gue sadar dan gue akan mengakui
semuanya apa yang baru aja gue sadari.” Nalula masih berusaha mengulur-ngulur
waktu. “Gue jatuh cinta sama Kharis.”
Mata
Brian terlihat melebar. Meski sudah bisa ia prediksi, ternyata pengakuan
langsung dari mulut Nalula tetap memberikan kejutan. Sementara Zagar tak
sanggup menatap Nalula. Raut wajahnya datar dan sulit dibaca. Hanya sisa-sisa
keringatnya yang tetap setia mengalir di wajahnya.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar