8. CALON ASISTEN
PELATIH
Belum
juga nyampe kelas, langkah Nalula udah di hadang tubuh Ilan. Nalula tersenyum
menanggapinya. “Masih pagi, Lan?” ledeknya.
“Nal.” Hanya itu yang diucapkannya
sebelum menarik Nalula ke tepi balkon.
Suasana sekolah pagi itu masih cukup
sepi. Hanya segelintir orang saja yang terlihat, termasuk Reva yang juga
melihat Nalula dan Ilan dari bawah.
“Lo ngeliatin apa sih, Rev?” Tanya Riva
yang baru muncul.
“Tuh lo liat aja sendiri.” Reva menunjuk
ke arah Ilan dan Nalula berada.
“Mereka kan temenan, Rev.” Ujarnya
santai.
“Iya, gue juga tau. Tapi apa harus
bener-bener berduaan? Pas sekolah masih sepi pula. Apa lo gak curiga?” Reva
seolah memanasi hati Riva.
“Masa bisa gitu sih?”
“Ya udah kalo lo gak mau kesana. Biar
gue yang ngadepin.” Reva begitu saja meninggalkan Riva. Tapi langkahnya
terhenti. Seseorang menahan tangannya.
“Jangan, Rev.” ternyata itu Lingga.
Reva berbalik. “Lingga! Lepasin gue.”
teriaknya sambil melepas paksa tangannya. “Lo gak ngerti perasaan…” Ucapan Reva
terhenti. “RIVA…!” Ia histeris melihat Riva yang di bawa paksa Danu dan Hexa.
Lingga masih menggenggam erat tangan
Reva. “Udah ayo ikut gue.” Paksa Lingga sambil berusaha menarik tangan Reva.
“Nggak!” sekuat tenaga Reva melepaskan
diri. Tapi belum sempat ia terbebas, satu orang lagi membantu Lingga menahan
tangannya. “Apa-apaan sih lo? Bintang! Lepasin gue!”
“Gue bakal lepasin lo. Tapi gak di
sini.”
“Aaaa…!!” terdengar Bintang menjerit.
Tangannya digigit Reva yang kini berhasil melepaskan diri.
Tapi hanya sesaat saja Reva bisa bebas.
Karena ada Irham dan Tegar yang kini menghadang langkahnya. Dan dengan susah
payah, Lingga, Bintang, Irham dan Tegar membawa Reva yang tak hentinya
memberontak hingga ke ruang secretariat.
@@@
Nalula
berbalik membelakangi Ilan. “Sorry, Lan. Gue udah gak bisa kayak dulu.”
“Kenapa?”
Ilan terdengar menantang. “Karena ada Diaz? Eh, tapi Diaz kan belum tentu bisa
ikut atau nggak.” Nalula masih diam tak bergerak. “Kalo gitu, karena Kharis?”
“Lan,
plis. Jangan paksa gue.” Nalula masih pada posisinya.
“Gue
kenal lo gak Cuma setahun atau dua tahun. Tapi sejak kita di SMP. Dan lo yang
balikin kepercayaan diri gue di sepakbola.” Tatapan Ilan yang awalnya tajam,
kini mulai melunak.
“Apa
gak ada orang lain lagi? Riva misalnya?”
“Itu
beda, Nal. Riva emang cewek gue, tapi dia gak ngerti tentang sepakbola.”
“Diaz?”
Nalula masih tak mau kalah.
“Lo
juga tau kalo Diaz masih cedera. Kita gak mungkin maksa Diaz turun dipertandingan.”
Nalula
berbalik. Sepertinya apa yang ia maksud, tidak sampai di Kharis. “Siapa yang
nyuruh Diaz turun?”
Ilan
tampak bingung. “Maksudnya?”
“Gue
tau, Diaz kapten Dipokar sebelum akhirnya digantikan Lingga karena kecelakaan
itu.” Nalula memulai. “Tapi kenapa gak minta Diaz buat jadi asistennya Kharis?
Diaz smart dan dia juga lebih tau mana yang terbaik buat kalian. Secara gak langsung juga, ini berimbas
positive ke Diaznya. Karena dia masih terlibat di antara kalian, semangatnya
untuk sembuh dan merumput kembali akan semakin besar.” Ujar Nalula panjang
lebar.
Sangat
diakui, seratus persen semua ucapan Nalula benar. Mungkin itu yang tak sampai
terfikirkan oleh Ilan atau yang lainnya. Dan Ilan pun semakin tak bisa membalas
kata-kata Nalula.
@@@
Riva
dan reva duduk diam di tengah kerumunan punggawa sepakbola SMA Rosengard.
Suasana terasa tegang layaknya di pengadilan.
“Kenapa
kalian gak konfirmasi ke kita dari awal?” Tanya Reva menyangkut kasus antara
Ilan dan Nalula di balkon atas tadi. “Jadinya kan gue gak salah sangka ke
Ilan.”
“Oke.
Gue minta maaf.” Ujar Lingga. “Gue juga salah gak bilang rencana ini ke kalian.
Yang lain juga mungkin gak kepikiran karena ini semua mendadak dan gak
direncanain dengan matang.”
“Ya
udah, terus gimana? Apa yang bisa gue dan Reva bantu?” kata Riva menengahi.
“Untuk
sementara, kita tunggu hasil dari Ilan dulu.” Kata Danu. “Kalau gagal, gue sama
Lingga bakal ngelakuin hal serupa kayak Ilan, ngomong langsung. Tapi kalo
ternyata hasilnya nihil, kita bicarain strategi akhir.” Tambahnya.
“Emang
gak ada orang lain yang bisa, apa?” Celetuk Tegar. “Kenapa harus si Nalula
itu?” Ujarnya tak sabar.
“Nanti
juga lo bakal tau alasannya.” Lingga dengan sabar menjawab cibiran Tegar yang
terlihat meremehkan Nalula, tepat sebelum ia menjawab telepon dari Ilan.
Sesaat
suasana berubah sepi. Semua yang berada di ruang secretariat kala itu dibuat
penasaran sama obrolan antara Lingga dan Ilan.
“Yakin?
… Emang lo ngomong apa aja? … Kok bisa gitu? … Terus tuh anak jawab apa? …”
Untuk sementara hanya pertanyaan-pertanyaan dari Lingga yang mereka dengar. “Ya
udah, lo jangan ke secret dulu. Langsung aja ke kelas, biar gak dicurigain
Nalula.” Lanjut Lingga.
“Gimana,
Ga?” Tanya beberapa dari mereka hampir bersamaan.
Lingga
terlihat menghela napas, lalu menggeleng. “Ilan gagal.” Ujarnya.
“Rencana
kalian setelah ini, apa?” Tanya Reva yang mulai berani angkat bicara.
“Biar
Danu dulu yang ngomong ke Nalula.” Jawab Lingga sebelum akhirnya memusatkan
perhatian ke tempat Danu berada. “Kata Ilan, lo suruh manfaatin buku file
Nalula yang masih di lo.”
Danu
mengangguk pelan tanda ia mengerti yang dibicarakan Lingga. “Gue tau harus
ngapain.” Ucapnya penuh dengan keyakinan.
@@@
Bel
penanda berakhirnya proses belajar mengajar di SMA Rosengard telah berkumandang
seantero sekolah. Segerombolan anak mulai terlihat meninggalkan kelas mereka
masing-masing. Kecuali Danu yang masih duduk anteng di kursinya. Begitu pula
dengan Nalula yang masih sibuk merapihkan perlengkapan sekolahnya.
“Kok
belum balik, Dan?” Tanya Nalula yang baru menyadari keberadaan Danu begitu
menyelesaikan aktivitasnya. “Nungguin siapa?”
Dengan
ekspresi yang datar, Danu berkata. “Gue nunggu lo?”
“Nunggu gue?” Nalula memperjelas perkataan Danu.
“Nunggu gue?” Nalula memperjelas perkataan Danu.
“Ada
yang mau gue omongin, Nal.” Ujarnya sebelum membuka tas dan mengambil sesuatu
di dalamnya. Sebuah buku file.
“Itu
kan…?” Nalula hendak merebut benda itu. Tapi sayang, Danu langsung
memasukkannya kembali ke dalam tas sebelum dapat di rebut Nalula. “Kok bisa ada
di lo?”
“Kan
waktu itu lo yang ninggalin di balkon sana. Karena gue tau itu punya lo, ya gue bawa pulang aja. Dari pada ilang.”
Jelas Danu.
“Tapi
kenapa gak boleh gue ambil?”
“Gue
pasti bakal balikin kok, Nal. Tapi gak sekarang ya. Kecuali…” Danu sengaja
menggantungkan kata-katanya.
“Kecuali
apa?” Tanya Nalula cepat-cepat.
“Tapi
maaf ya sebelumnya. Gue terpaksa manfaatin file ini untuk…” Danu kembali
menggantungkan kata-katanya.
Nalula
berdiri. Danu sampai kaget dibuatnya. Nampaknya ia telah menyadari maksud dan
arah tujuan pembicaraan Danu. “Kalo itu maksud lo? Sorry, gue gak bisa.”
Danu
ikutan berdiri.
“Lo
boleh manfaatin buku file itu. Bahkan isinya sekalipun. Asal lo gak minta gue
buat buat jadi asistenya Kharis.” Kata Nalula sebelum akhirnya meninggalkan
Danu tanpa menunggu respon apa-apa dari Danu.
Danu
sendiri tak bisa menahan Nalula. Ia hanya bisa menghela napas dan kembali
menyandarkan badannya ke kursi.
@@@
Sebelum
mulai latihan, seperti biasa anak-anak SMA Rosengard mengadakan rapat kecil di
ruang secretariat. Hampir semua yang terlibat di kepengurusan, termasuk Kharis,
Reva dan Riva. Kharis juga Cuma ngomong sebentar mengenai materi latihan hari
ini. Abis itu satu persatu dari mereka mulai meninggalkan ruangan.
Lingga
sendiri awalnya udah bangkit.tapi begitu melihat Ilan masih sibuk memakai
sepatu, Lingga malah menghampirinya.
“Lo
udah ngomong ke Nalula?” Tanya Ilan begitu Lingga duduk di sampingnya.
“Belum
nih. Tapi gue udah punya rencana sih.”
“Danu
gimana?”
“Tanya
aja sama anaknya.”
Ilan
mendongak, dilihatnya Danu yang baru aja datang.
“Ngancem
tuh anak pake buku file itu juga ternyata gak mempan.” Ujar Danu yang seolah
tau denagn arah obrolan Ilan dan Lingga.
“Masa
sih gak bisa juga? Gue jadi makin bingung sama tuh anak.” Keluh Ilan yang baru
menyelesaikan ikatan terakhir sepatunya.
“Lo
aja yang udah lama kenal sama Nalula masih bingung, gimana gue sama Lingga?”
Balas Danu.
“Pegangan
bareng-bareng.” Celetuk Ilan.
“Gih
dah. Lo aja.” Komentar Danu.
“Emang
Nalula ngomong apa aja sih?” Gantian Lingga yang penasaran.
“Nyuruh
gue manfaatin buku file itu.”
“Apa
dia juga rekomendasiin Diaz buat jadi asistennya Kharis?” tebak Ilan.
“Diaz?”
Ujar Lingga dan Danu bersamaan.
“Iya.”
Ilan memperjelas. “Tapi gue pikir, apa yang diomongin Nalula ada benernya juga.
Dengan masih terlibatnya Diaz di klub, bikin dia tambah semangat juga buat
sembuh.”
“Bukannya
Diaz lagi dilarang nyokapnya buat main bola ya?” Danu pasang tampang bingung.
“Emang.”
Jawab Ilan.
“Lagian,
siapa juga yang nyuruh Diaz main bola?” Lingga menimpali.
“Terus,
maksudnya ngapain ngajak Diaz? Kasian juga kali kalo tuh anak Cuma disuruh
nonton doank. Mending kalo terlibat juga. Lebih bagus lagi kalo jadi asistennya
Kharis.” Jadi dari tadi Danu gak nyimak omongan Ilan, ampe bikin kedua temannya
geregetan aja.
“Maksud
gue dari tadi juga itu, DANU FIRMANSYAH.” Ilan tampak nya mulai tak sabar.
“Gitu
ya?” ujar Danu sambil mengacak-ngacak rambutnya.
“Dan,
itu gaya gue!” celetuk Lingga karena kebiasaanya ditiru.
@@@
“Gimana,
Nal anak-anak Rosengard?” Tanya Farlan di tengah makan malam mereka yang juga
bersama Gita.
“Anak-anak yang mana?” Nalula yang memang
sedang di rumah Farlan, malah balik bertanya.
“Siapa
lagi kalo bukan anak-anak sepakbolanya? Kamu pasti terlibat lagi kan?” kata
Farlan dengan santainya.
Sementara
Nalula terasa tercekat dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.
“Posisi
kamu sebagai apa sekarang? Jadi asisten pelatih lagi kayak waktu di Bandung
atau yang lain? Tapi denger-denger, yang ngelatih sekarang Kharis ya? Keren
juga tuh anak.”
Yang
pertama aja belom sempet di jawab sama Nalula, udah nambah lagi aja yang
lainnya. Bikin Nalula ingi teriak. ‘Dosa apa gue hari ini? Semua orang ngebahas
masalah ASISTEN PELATIH.’ Keluhnya dalam hati.
Kondisi
berbalik untuk Lingga yang ternyata juga berada di sana. Ia berdiri di ambang
pintu yang mengarah ke ruang makan dengan sedikit terkekeh menyaksikan semuanya. Lingga mencoba menahan
tawanya sebelum menghampiri meja makan. Nalula yang lebih dulu menyadari
kehadiran Lingga, langsung menatapnya tajam. Lingga sendiri sadar sesadar
sadarnya dengan apa yang dilakukan Nalula. tapi gak begitu berpengaruh
dengannya yang langsung menghampiri Farlan dan Gita untuk menyalami mereka.
“Ayo,
Ga. Makan dulu.” Ajak Gita.
Lingga
yang juga masih mengenakan kostum bola, meletakkan ranselnya di kursi sebelah
Gita. “Bentar lagi deh kak, masih gerah soalnya.”
“Mulai
pertandingan kapan, Nal?” lagi-lagi pertanyaan Farlan perihal sepakbola tertuju
pada Nalula.
“Em…”
Lingga berniat menjawab pertanyaan Farlan sebelum Nalula menyambarnya.
“Empat
belas Agustus besok.” Ujar Nalula. Bersamaan dengan lirikan Lingga. Ekpresi
Nalula menggambarkan sesuatu. Mungkin kalau bisa diungkapkan dengan kata-kata,
Nalula akan bilang, ‘jangan pikir gue gak tau?’.
“Dua
minggu lagi donk. Persiapannya bagaimana?” lanjut Farlan lagi.
“Udah
tujuh puluh persen. Materi pemain juga udah lengkap. Ya kan, Nal?” Lingga
seolah memancing Nalula berkomentar.
‘Kalo
gak dijawab, Kak Farlan pasti bakal nanya yang aneh-aneh lagi’. Pikir Nalula
dalam hati. Nalula pun teringat dengan kertas-kertas catatan Kharis yang sempat
berserakan di meja ruang tivi. “Komunikasi masih ancur gitu, udah dibilang siap
tujuh puluh persen!”
“Gimana
sih? Kok kalian gak kompak?” komentar Gita.
Lingga
lagi-lagi ngelirik ke Nalula yang dengan sangat santai duduk diseberangnya sambil
sambil menikmati makan malamnya. ‘Gak bisa diajak kerja sama banget sih?’
gerutu Lingga dalam hatinya. Tapi Lingga gak boleh kalah. “Pendapat orang kan
beda-beda kak. Tapi tenang aja kak, Nalula tuh banyak ngebantu.” Masih tetap
melirik Nalula, Lingga menunggu Nalula bereaksi. Tapi ternyata tak seperti yang
diharapkan. Nalula cuek, karena ia menyadari kalau apa yang dilakukan Lingga
padanya adalah salah satu strategi untuk benar-benar menyeretnya ke klub.
“Pokoknya
pas pertandingan nanti, kakak jangan ampe pada nggak nonton ya?” Pinta Lingga
dengan sedikit memaksa.
“Insya
Allah. Tapi tetep kakak usahain lah buat kalian berdua.” Kata-kata Gita membuat
Lingga sumringah.
“Kamu
pasti ikut kesana juga kan, Nal?” sekali lagi. Farlan melontarkan pertanyaan yang
sangat tak diharapkan Nalula.
“Pasti
lah kak. Posisi Nalula tuh gak ada yang bisa gantiin.” Dan lagi-lagi Lingga
mengeluarkan kata-kata yang bisa menjebak Nalula.
Nalula
ngelirik Lingga yang masih duduk di seberangnya. Berharap Lingga ngerti
posisinya. Tapi bukan itu yang ia dapat. Justru Lingga terlihat menang sambil
mengedipkan sebelah matanya ke Nalula tanpa sepengetahuan Farlan dan Gita.
Nalula
berdiri.
“Mau
kemana, Nal?” Tanya Gita cepat-cepat sebelum Nalula terlanjur meninggalkan meja
makan.
“Kebelakang
bentar kak.” Nalula beralasan, karena langkahnya mengarah ke ruang keluarga.
“Lingga
juga mau mandi dulu ya kak.” Lingga juga cepat-cepat melangkah ke arah yang
tadi dilalui Nalula.
Dan
tepat, Nalula berdiri di sana menunggunya. Tapi Lingga udah gak mau ngebahas
apa-apa lagi ke Nalula. Ketika Nalula berdiri tepat di tengah-tengah, Lingga
langsung berinisiatif untuk berjalan ke sebelah kanan Nalula. Tak semudah itu
melewati Nalula yang juga ikut bergerak untuk menghalangi Lingga.
Lantas,
Lingga sendiri tak mudah putus asa. Masih ada jalan lain yang bisa ia lewati,
kini berada disebelah kiri Nalula. Dan kembali terjadi, Nalula lagi-lagi
menghalangi langkah Lingga.
Sekali
lagi. Lingga mencoba jalan di sebelah kanan Nalula. Gak ada hasil lain. Semua
sama aja. Nalula nggak ngebiarin Lingga dengan mudah melewatinya. Sementara
matanya, tersorot tajam ke mata Lingga.
“Nal,
gue mau lewat.” Ucap Lingga hati-hati. Karena ia tau sudah tak ada cara lain
selain bicara baik-baik dengan Nalula.
Nalula
hanya tersenyum menanggapinya.
“Nal.”
“Apa
lo gak pernah berfikir seandainya gue orang jahat?”
“Apa?”
Mata
Nalula terlihat mengancam. “Gue punya banyak temen dari klub lain.” Ekspresi
Nalula sama sekali diluar perkiraannya. “Dengan lo ngelibatin gue di klub, itu
sama aja lo udah ngebuka akses jalan gue buat ngancurin Rosengard.”
Lingga
diam. Apa yang dikatakan Nalula sama sekali tak bisa diterkanya. Ia tak bisa
bicara sepatah kata pun.
Satu
langkah, Nalula mendekati Lingga lalu mengalihkan wajahnya kesamping wajah
Lingga. Dengan sedikit berbisik dan sedikit misterius, Nalula berkata. “Gue
bisa kapan aja ngancurin lo atau pun Rosengard kalau lo masih ngusik hidup
gue.” Begitu selesai, Nalula kembali mundur selangkah, lalu berbalik meski tak
langsung meninggalkan Lingga. Ia menunggu.
Lingga
tersenyum meski tatapannya tak focus ke satu titik. Nalula masih menunggu. Satu
detik. Dua detik. Tiga detik. Lingga tetap tak merespon seperti yang
diharapkannya.
@@@
Apa
yang didapati Lingga begitu cerita tentang perlakuan Nalula terhadapnya? Sama
sekali tak seperti yang diharapkan. Lingga dihujani tawaan oleh teman-temannya.
Danu, Bintang, Garra, Irham, Hexa dan Tegar.
“Coba
deh lo semua bayangin. Gue sendirian acting di depan kakak-kakak gue, bikin
seolah-olah Nalula bagian dari kita. Itu semua gak gampang.” Lingga membela
diri.
Garra
yang duduk di samping Lingga, menepuk-nepuk pundak temennya. “Kita semua tau lo
paling gak suka acting. Tapi kita ngehargain kok apa yang udah lo lakuin.”
Hanya itu yang bisa dilakukan Garra untuk menghibur Lingga.
Tiba-tiba
pintu ruang secretariat itu terbuka menjeblak. Kedatangan Ilan mengejutkan
semua yang berada di dalamnya. Serta merta Ilan menggeser paksa posisi duduk
Garra di samping Lingga untuk bisa ia tempati. “Gimana, Ga? Hasil pembicaraan
lo ke Nalula?” Rasa penasaran Ilan terlihat maksa.
Lingga
tampak tak bersemangat menanggapinya. “Ya gitu deh.” Jawaban Lingga udah jelas
mewakili semuanya.
“Emang
Nalula ngomong apa aja?” Tapi Ilan masih semangat dengan rasa penasaran yang
dimilikinya.
Kali
ini Lingga pasang tampang serius. “Apa lo semua pernah kepikiran kalo Nalula
itu orang jahat yang ingin ngancurin Rosengard. Temen-temennya yang dari klub
lain kan banyak banget tuh.” Tutur Lingga yang sengaja dibuat sedramatisir
mungkin.
“Kalo
emang Nalula begitu, apa kabarnya sama gue?” Semua menoleh ke Ilan. “Gue kan
sekomplotan sama Nalula.” tapi Ilan dengan santai meladeni tatapan orang-orang
yang kini menatap curiga padanya. Terkecuali Danu.
Tampaknya
Tegar yang paling terpengaruh. “Lo serius, Lan? Punya rencana ngancurin kita?”
tampangnya terlihat cukup panic.
Ilan
tertawa dibuatnya. “Atas dasar apa gue sama Nalula punya pikiran picik kayak
gitu?”
“Mungkin
aja Nalula pernah sakit hati cintanya ditolak sama salah satu dari anak-anak
Rosengard yang ada.” Tegar masih tetap pada pendiriannya. Terpengaruh.
“Gue
rasa pemikiran lo salah, Gar.” Kata Garra menengahi. “Nalula bukan tipe cewek
kayak gitu. Gue liat dia punya karisma tersendiri. Jadi pasti banyak cowok yang
naksir sama dia.”
“Apa
lo termasuk yang naksir Nalula?” Ujar Lingga yang langsung mengawasi sosok
Garra.
“Gak
munafik lah gue.” Garra kelihatannya membenarkan. “Nalula cakep. Sayang buat
dilewatin.” Ekspresi Garra berubah karena hampir semua yang ada di sana
mengawasinya. Ia buru-buru meralat ucapannya. “Tapi gue gak segila itu. Gue
masih inget lah sama cewek gue.”
Suasana
kembali kondusif. Mereka mempersiapkan diri untuk latihan sore ini. Tersisa
hanya Lingga dan Ilan yang masih duduk di sana.
“Tapi,
Ga.” Masih ada hal yang dipikirkan Ilan nampaknya. “Kalo emang bener Nalula
bilang gitu, gue harus bertindak.” Ilan langsung berdiri.
“Lo
mau ngapain, Lan?” Lingga menghentikan Ilan yang hampir mencapai pintu. “Lo gak
punya pikiran gila buat ngelabrak Nalula kan?”
“Tenang
aja, gue tau apa yang harus gue lakuin.” Ilan meyakinkan Lingga.
Tepat
bersamaan ketika tangan Ilan hampir mencapai gagang pintu, seseorang terlebih
dulu membukanya perlahan dari luar. Ilan menunggu sampai seseorang muncul dari
baliknya.
“Hai.”
Kata orang itu.
Ilan
memiringkan kepalanya untuk bisa melihat orang itu dengan jelas. “Diaz? Kok lo
ada di sini?”
“Bukannya
kalian yang minta gue kesini?” Diaz malah balik bertanya.
“Siapa?”
Lingga
berdiri lalu menghampiri ke tempat Ilan dan Diaz berada. “Lagian, bukannya kita
gak suka lo di sini, tapi kita masih gak enak aja sama nyokap lo…”
“Nyokap
udah ngizinin kok buat gue jadi asistennya Kharis.” Diaz buru-buru menyambar
perkataan Lingga.
Ilan
dan Lingga saling melempar pandang. Mereka mungkin masih bingung, bagaimana
Diaz tau perihal asisten Kharis. Sedangkan tak satupun dari mereka yang memberi
tahu hal ini ke Diaz.
“Ngizinin
gimana maksudnya?” Ilan hanya ingin memastikan.
Diaz
sambil berjalan masuk. Diikuti yang lain. Langkahnya pun sudah terlihat normal.
“Semalem ada cewek yang kerumah nemuin nyokap.” Diaz memulai. “Gue sendiri gak
tau apa yang mereka bicarain. Tapi intinya, nyokap tiba-tiba nyuruh gue buat
kesini. Buat jadi asistennya Kharis seperti apa yang kalian minta.”
“Kita
emang punya rencana kayak gitu. Tapi salah satu dari kita belum ada yang
bergerak.” Jelas Lingga.
“Apa
mungkin antara Reva dan Riva?” tebak Danu yang muncul dari arah dalam. Membuat
Lingga melempar pandangan ke Ilan.
Seolah
tau dengan apa yang dipikirkan temannya, Ilan menggeleng. “Gue sama sekali
belum cerita apa-apa ke mereka.”
Diaz
yang tampak bingung, memperhatikan satu persatu wajah sahabatnya. “Kok jadi
nuduh Reva sama Riva sih?” pernyataan Diaz mengundang beribu pertanyaan di
antara teman-temannya. “Yang nemuin nyokap bukan salah satu dari mereka.”
“Terus?”
“Apa
Nalula?” Lingga menerka-nerka.
“Ya
gak mungkin lah, Ga.” Danu kurang yakin dengan tebakan Lingga.
“Tapi
emang bener kok, itu Nalula.”
“Hah?”
Ilan terlihat paling terkejut dengan pengakuan Diaz. Ia langsung terlihat
panic. “Gak bisa dibiarin. Gue harus bertindak.” Ilan meninggalkan ruangan
serta meninggalkan teman-temannya dengan rasa penasaran.
@@@
Pagi
hari Nalula yang siap berangkat sekolah dengan mengendarai motornya, dikejutkan
dengan kemunculan seseorang yang tiba-tiba duduk di jok belakang motornya.
Sontak ia menoleh. Betapa kagetnya Nalula begitu tau orang itu adalah Zagar.
Nalula langsung turun dari motornya dan berdiri di samping Zagar yang juga ikut
turun dari atas motor.
“Zagar!
Kok lo ada di sini?” Nalula mengawasi kehadiran temannya, mulai dari ujung
rambut hingga kaki. “Turnamen kan udah deket, apa lo…”
“Gak
usah banyak Tanya.” Zagar menyambar kata-kata Nalula dengan tatapan penuh
kecewa. “Ambilin helm buat gue.”
Tanpa
komentar apa-apa degan sikap Zagar yang sangat aneh, Nalula menuruti. Zagar
yang mengendarai motor Nalula, membawanya ke sekolah. Selama perjalanan, mereka
saling diam. Ia menurunkan Nalula di sana. “Motor gue bawa.” Katanya sambil
meraih helm yang disodorkan Nalula. “Pulang sekolah, lo gue jemput lagi.” Tanpa
menunggu respon Nalula, Zagar pergi meninggalkan Nalula di depan pintu gerbang.
Tak
sengaja, Nalula melihat Ilan keluar dari kelasnya. Ia pun sadar kalau Ilan pun
pasti melihatnya, namun Ilan mungkin sengaja memilih jalan yang berlawanan
dengan posisi Nalula berdiri sekarang. Ia sempat meneriakkan nama Ilan, namun
Ilan semakin jauh melangkah. Nalula sangat kepikiran dengan sikap Zagar yang
tiba-tiba aneh. Dan apa yang terjadi pada Ilan pun semakin meyakinkannya bahwa
Ilan yang telah membeberkan sesuatu pada Zagar. Dan pasti semua ada hubungannya
dengan ‘rencana’ anak-anak Dipokar. Tapi yang belum ia temukan jawabannya
adalah, kenapa Zagar rela menuruti mereka dan bersikap gak adil kepadanya.
Saat
pulang sekolah adalah waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nalula. Begitu
keluar gerbang, Zagar telah menunggunya di seberang jalan.
Begitu
Nalula dihadapannya, Zagar tanpa basa-basi menyodorkan sebuah helm pada Nalula.
“Lo
mau bawa gue kemana?” Tanya Nalula begitu ia telah duduk di jok belakang
motornya. Tapi Zagar tak menjawab.
Kini
Zagar memarkirkan motor di pelataran parkir sebuah pusat perbelanjaan. Sampai
detik ini yang masih terjadi antara mereka berdua adalah saling diam. Zagar tak
berujar, dan Nalula pun tak akan mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya saja
Nalula masih setia mengikuti kemana arah langkah Zagar. Lama-kelamaan Nalula
malah kesal dengan sikap Zagar yang seolah melangkah tanpa arah. Ia memilih
berhenti.
Seolah
bisa merasakannya, Zagar pun ikut berhenti. Ia berbalik dan menghampiri Nalula.
Tanpa sabar, Zagar langsung menarik tangan Nalula hingga sampai di sebuah café
yang saat itu suasananya cukup sepi. Mereka memilih tempat sedikit lebih dalam.
Memungkinkan semua yang akan mereka bicarakan tidak terlalu banyak mendapat
respon dari pengunjung café yang lain.
“Lo
belom jawab pertanyaan gue.” Nalula memulai sesaat setelah Zagar memesan
minuman pada pelayan yang ada.
“Yang
mana?” balas Zagar cuek.
“Kenapa
lo tiba-tiba muncul di sini?”
“Itu
gak penting.”
“Tapi
kan turnamen…” Nalula menggantungkan kata-katanya setelah Zagar menyelak.
“Peduli
apa lo sama turnamen?” Suara Zagar masih terdengar kesal. Entah apa yang
membuatnya kecewa dengan Nalula.
Mata
Nalula melebar. Jelas, ia tak mengerti dengan apa yang dikatakan Zagar.
“Maksudnya?”
“Gue
tau semua yang udah terjadi.” Kata Zagar. “Kenapa lo tolak semua tawaran
anak-anak yang minta lo jadi asistennya Kharis?”
Ternyata benar. Semua berita pasti dari Ilan. Nalula berfikir seperti itu. Ia berusaha tak kontak langsung dengan mata Zagar.
Ternyata benar. Semua berita pasti dari Ilan. Nalula berfikir seperti itu. Ia berusaha tak kontak langsung dengan mata Zagar.
“Lo
pikir lo hebat?”
Nalula
terkejut dengan tuduhan Zagar.
“Lo
pikir, masalah udah selesai? Setelah lo berhasil bawa Diaz ke klub jadi
asistennya Kharis.” Lanjut Zagar. “Nggak, Nal.” Zagar memberi jeda pada kata-katanya.
“Apa gak terlintas di benak lo? Brian masih menyimpan dendam ke lo. Ia bisa
kapan aja muncul dan ngancurin semuanya. Lo sadar kan di sana ada sodara lo?
Diaz dan Kharis. Apa lo rela mereka yang nanggung semua yang seharusnya terjadi
pada lo?” ujarnya. “Rela lo, Nal?” kali ini Zagar terdengar lebih tegas.
Nalula
tak berkutik dan tertekan dengan emosi Zagar.
“Yang
gue pikirin tuh Cuma lo, Nal.” Suara Zagar terdengar lebih sabar. “Gue gak mau
Brian bersikap seenaknya ke lo.”
“Gue
gak peduli sama Brian!” Nalula menantang.
“Baguslah
kalo gitu.” Pelayan datang membawa pesanan mereka. Zagar menahan ucapannya
hingga pelayan itu pergi. “Tapi lo masih peduli sama gue kan?” Zagar seolah
memohon.
“Plis
jangan bersikap kayak gitu.”
“Terus
apa yang lo mau?” Zagar kembai menantang. Nalula tak bisa menjawab. “Gue
bersumpah, Nal. Lo gak akan liat gue selama turnamen, kalo lo juga gak berada
di sana.”
Mata
Nalula melebar. Ancaman yang berhasil diluncurkan Zagar. “Lo gak bisa bersikap
kayak gitu.”
“Kenapa
gak bisa?” Zagar menuntut penjelasan. “Gue tau itu bukan alasan utama lo nolak
tawaran mereka.”
Nalula
meyandarkan badannya ke kursi. Dan bukan Nalula namanya kalo langsung terlihat
kalah. “Apa yang lo tau tentang alasan terbesar gue?”
“Kharis.”
Tebak Zagar.
Nalula
langsung bersikap waspada.
“Gue
rasa lo jatuh cinta sama Kharis. Gak peduli kayak apa perasaan lo ke Dewa.”
Nalula
tersenyum. “Kalo ternyata itu benar?”
“Hah?”
Zagar tak mempersiapkan jawaban apapun. “Patah hati deh gue.”
Alis
Nalula seperti terangkat.
“Tapi
gue gak peduli apapun alasan lo. Karena yang gue mau, lo jangan ngibarin
bendera putih ke hadapan Brian.”
Mendengar
Zagar menyebutkan bendera putih, Nalula seolah mengkhayal sesuatu. Zagar
mencurigai sikap Nalula. “Tau gak sih, gue jadi inget film ‘Merah Putih II’.
Adegan di atas gedung ‘Lawang sewu’. Pas Dony Alamsyah (pemeran Thomas)
ngerobek warna biru pada bendera Belanda.”
“Untung
aja yang warna merah gak ikutan dirobek, jadi gak tersisa bendera putih. Itu
kan maksud lo?”
Nalula
hanya tersenyum menanggapi tebakan Zagar.
“Intinya,
inget sama semua ancaman gue.” Zagar membuat senyum Nalula kembali memudar.
“Gue serius, Nal.” Nalula sangat tak antusias menanggapinya. “Gue gak mau
perjuangan gue, lo dan Ilan sia-sia.”
“Tapi
kenapa lo tiba-tiba muncul di sini? Gue yakin semata-mata bukan hanya karena
cerita dari Ilan tentang gue.” Nalula mengalihkan pembicaraan.
“Gue
bakal cerita, asal lo mau janji.”
“Janji
buat nerima tawaran Ilan dan kawan-kawan?” Nalula mengulangi. “Itu maksud lo?”
Zagar malah mengangguk walau tak terlihat serius. Nalula menghela napas.
“Gimana ceritanya, Gar? Gue harus mohon-mohon gitu? ‘Ilan, gue mau kok jadi
asistennya Kharis, kemaren gue Cuma bercanda. Pliss, masukin gue lagi di
kepengurusan klub’.” Nalula mencontohkan dengan berpura-pura seolah ia akan
berbicara seperti itu ke Ilan. “Gitu?”
Zagar
malah tertawa. “Iya, Nal. Lo bilang kayak gitu aja.”
Nalula
menjadi jengkel dibuatnya. “Gak lucu ZAGAR PAMUNGKAS.”
Zagar
langsung diem. Tak ada tawa yang tersisa. “Yang bilang itu lucu siapa, NALULA
AIRLANGGA?” balas Zagar. Kecuali lo janji. Atau ancaman gue berlaku.”
“Apa
untungnya ancaman lo buat gue?”
“Pasti
ada untungnya lah. Seenggaknya gue gak bakal bersikap gila dengan nekat
ngebantu Brian ngebalesin dendamnya ke lo.”
“Lo
gak bakal berani ngelakuin itu.”
Zagar
menghabiskan sisa minumannya. “Kata siapa?” lalu merebut gelas yang masih
terisi penuh di depan Nalula.
“Eh,
itu kan punya gue?”
“Kata
siapa?”
Nalula
hanya menghela napas dan pasrah menyaksikan minumannya mengalir ke dalam mulut Zagar.
Rasanya percuma menghalangi niat Zagar.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar