7. CARI PELATIH BARU
Nalula
menemui Ilan yang menunggu di taman belakang sekolah. “Kata Danu lo nyari gue?
Ada apa?”
“Lo kemana aja sih, Nal?”
“Maksudnya?”
“Dari kemaren gue telpon, sms, gak ada
satu pun yang direspon. Zagar nanyain lo mulu tuh.”
“Iya. Gue udah hubungin Zagar kok.”
“Terus?”
Bel berbunyi membuyarkan aktivitas para
siswa untuk berkumpul di lapangan. “Udah bel, Lan. Ayo upacara.” Tanpa menunggu
respon dari Ilan, lebih dulu Nalula menuju lapangan.
@@@
Klub sepakbola SMA Rosengard sore ini
kembali memulai latihan. Tempatnya seperti biasa, lapangan sepakbola sekolah.
Mereka memulai latihan dengan berlari mengelilingi lapangan. Danu, Ilan, Lingga
serta beberapa teman bandnya juga terlihat di sana. Satu lagi, tak ketinggalan
Diaz pun terlihat di antara mereka. Hanya saja Diaz tidak berada di tengah
lapangan, melainkan duduk di tepinya memperhatikan teman-temannya latihan.
Nalula yang berada di balkon atas gedung sekolah cukup terkejut dengan
kehadiran Diaz di sana.
“Diaz? Udah keluar dari rumah sakit tuh
anak?” ujarnya seorang diri.
Selang
beberapa saat, suasana latihan berubah. Mereka berkelompok untuk latihan
mengoper bola.
“Katanya
pelatih sama asistennya, si Kharis, di reshuffle? Apa sekarang udah ada
penggantinya? Tapi gue gak liat siapa-siapa?”
Apa
yang dipikirkan Nalula memang tak salah. Karena yang berada di lapangan saat
ini semuanya adalah siswa SMA Rosengard yang tergabung di klub sepakbola. Tak
lama, ponsel Nalula berdering. Sebuah panggilan dari Zagar.
“Lagi
dimana lo, Nal?” suara Zagar terdengar begitu Nalula menjawab teleponnya.
“Di
sekolah.”
“Ngapain?
Takut sekolah lo dibawa kabur semut ya?” ledek Zagar diiringin tawanya.
Nalula
ikutan tertawa pelan. “Bisa aja lo.”
“Eiya,
Nal. Lagi ada anak-anak yang latihan bola ya?” tebak Zagar.
“Gitu
deh.” Nalula mengiyakan. “Kok lo tau sih?” curiganya.
Zagar
melihat Bagas berjalan ke arahnya. “Abang gue kan dulu anak klub sekolah lo
juga.”
“Hehehe…
Iya sorry gue lupa.”
“Rosengard
udah dapet pelatih baru ya?” Tanya Zagar lagi.
“Aduh…
Kurang tau juga tuh gue. Tapi kalo yang gue liat sih, gak ada siapa-siapa.
Kecuali anak-anak klub bolanya.” Ujarnya sambil terus memperhatikan Ilan dkk
latihan.
“Kok
bisa sih? Turnamen kan udah deket. Tapi ampe sekarang belom ada pelatih.
Mending lo aja Nal yang ngajuin diri jadi pelatih.” Kata Zagar sekenanya.
“Wuih…
Gila lo?” Nalula yang sadar ucapannya cukup keras, langsung mendekap mulut dan
memandang sekelilingnya. Mungkin takut ada seseorang yang menyadari
keberadaannya. “Gak segampang itu juga kali.” Ucapnya lagi, kali ini dengan
suara yang sedikit pelan.
“Hahaha…”
Zagar tertawa mendengar kepanikan Nalula. “Yaudah-yaudah. Lanjutin deh kerjaan
lo. Selamat bertugas dan…”
“Iya
tapi…” Nalula menyadari telepon Zagar tiba-tiba terputus. “Yee… Dasar nih anak!
Kebiasaan banget dari dulu suka tiba-tiba matiin telepon.” Nalula mengomel
sendiri.
@@@
Di
waktu yang bersamaan pula, Bagas dan Zagar lagi latihan sepakbola di sekolah
barunya. Kali ini mereka lagi istirahat di pinggir lapangan.
“Ugh…!
Lama-lama gue buang juga nih hape.”
“Napa
sih lo ngomel-ngomel sendiri?” Komentar Bagas menanggapi sikap aneh adiknya.
“Gimana
nggak? Coba deh lu bayangin.”
Tampang
Bagas semakin heran. “Gimana ceritanya gue ngebayangin hal yang gak gue tau
juntrungannya?” Sambar Bagas.
“Nih
hape…” Zagar menunjuk-nunjuk ponselnya. “…setiap kali gue nelpon Nalula, pasti
mati ditengah jalan.”
“Lo
kira angkot
mati tengah jalan?” Celetuk Bagas.
“Kok
lo tega sih sama ade sendiri?”
“Lha?
Lo maunya gimana? Lagian, kemaren pas gue pinjem hape lo buat nelpon, gak ada
masalah kan? Lumayan lama juga kan tuh?”
Zagar
menjadi diam setelah mendengar perkataan Bagas barusan. “Iya juga sih?” Katanya
membenarkan. “Tapi kok bisa gitu ya?” Tanya Zagar lagi.
Gantian
Bagas yang diem. Bukan karena gak bisa menjawab pertanyaan Zagar, tapi lebih
karena nih anak bingung mau ngejawab apa. “Kebanyakan dosa kali tuh sama abang
lo?” ujar Bagas akhirnya sambil beranjak dari sana sebelum Zagar nanya yang aneh-aneh
lagi.
Sementara
Zagar sendiri lagi sibuk pasang tampang bingung. Sibuk juga mencerna ucapan
Bagas tadi. “Lho? Abang gue kan si Bagas.” Zagar akhirnya menyadari. “Berarti
gue banyak dosa sama lo donk?” kata Zagar lagi yang kali ini sadar Bagas sudah
tidak disampingnya. “Enak aja! Wooii… Gas.” Zagar mengejar Bagas yang sudah
cukup jauh meninggalkannya. “Jangan kabur lo. Ada juga lo yang banyak dosa sama
gue.”
Gak
ada yang mau ngalah…
@@@
Dari
arah tangga Nalula mendengar suara langkah kaki seseorang. Semakin lama suara
itu semakin terdengar jelas mendekat ke arahnya. Nalula semakin panic. Sampai
akhirnya ia memutuskan untuk berjalan menuju tangga yang memang satu-satunya di
gedung tersebut. Nalula siap berbelok di samping tembok sebuah kelas.
“Nal?”
sosok Danu mengagetkannya hingga membuat Nalula menjatuhkan buku filenya.
‘Ah,
parah! Danu!’ gumam Nalula dalam hati.
“Dari
mana, Nal?”
“Itu…”
Nalula menunjuk ke belakang tanpa menoleh. “Dari kelas, tadi ada yang
ketinggalan. Lo sendiri mau kemana, Dan?” Nalula sedikit berusaha mengalihkan
pembicaraan Danu.
“Kok
sama sih? Gue juga ada yang ketinggalan di kelas.”
Kini
Nalula tercengang mendapati tulisan yang menunjukkan ruang kelasnya—2 ipa 2—di
arah belakang Danu.
“Tapi,
Nal. Bukannya kelas kita…”
“Sorry
ya. Gue buru-buru.” Sergah Nalula sebelum Danu menunjuk ke arah kelas mereka
yang sebenarnya. “Kharis udah nunggu di depan.” Nalula kembali beralasan. Ia
segera meninggalkan Danu sebelum Danu berkata apa-apa lagi.
Danu
tak bisa menghalangi Nalula. Ia hanya bisa mengikuti gerak langkah Nalula
sampai menghilang di bawah tangga. Dan sampai Danu benar-benar tak melihat
sosok Nalula dari atas balkon.
@@@
Nalula
masih panic dengan kejadian barusan. Sambil setangah berlari, sesekali Nalula
menoleh kebelakang. Mungkin takut Danu mengejar. Sementara di luar gerbang, ada
Firant yang menunggu dan siap dengan motornya.
“Udah
selesai, Nal?” Tanya Firant begitu tau Nalula udah duduk di jok belakang
motornya.
“Iya, udah. Ayo cepet balik.” Pinta
Nalula. Tapi matanya masih sesekali menoleh kebelakang meski Firant udah
menjalankan motornya.
Saking paniknya, Nalula tak menyadari
kehadiran Ilan, Riva dan Reva yang berada tidak terlalu jauh dari Firant
memarkirkan motornya.
“Itu bukannya Nalula?” ujar Riva yang
duduk di atas motornya.
“Kok sama Firant? Mereka saling kenal?”
Reva yang duduk di jok belakang motor Riva, ikut angkat bicara.
“Firant siapa? Lo kenal juga, Rev?”
Tanya Reva lagi.
“Temen SMP gue dulu.” Jawab Reva. “Tapi
kok bisa sama Nalula sih?”
Ilan yang sejak tadi memandang jalan
yang dilalui Nalula dan Firant, menoleh setelah mendengar pertanyaan dari dua
cewek kembar di sampingnya.
“Gue juga gak tau.” Keluh Ilan perihal
Nalula. “Terkadang tuh anak bisa jadi sedikit misterius.”
“Kok bisa sih?” Riva penasaran.
“Bukannya kalian temenan udah lama?”
“Walaupun gue kenal Nalula udah hampir
tiga tahun, tapi gue belum bisa mengenal Nalula sepenuhnya.”
“Ya udah deh.” Riva mengakhiri
pembicaraan mengenai Nalula. “Lo latihan lagi sana. Bentar lagi turnamen.”
“Iya,
hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut.” Ilan memperingati.
“Sekalian, Lan. Salam buat Lingga.” Ujar
Reva yang langsung membuat Riva menoleh dan menghadiahinya pelototan. “Nggak
jadi deh, Lan.” Reva buru-buru meralat ucapannya
Begitu Reva dan Riva pergi, Ilan kembali
ke dalam sekolah. Sambil sedikit tersenyum mengingat kejadian barusan bersama
Riva dan Reva. Ilan melalui depan gedung tempat kelas Nalula berada. Di sana ia
bertemu Danu.
“Lan.” Danu memanggilnya. “Dari mana?”
“Dari luar. Tadi ada Riva sama Reva.”
Jawabnya sambil terus melangkah yang kemudian disusul oleh Danu.
“Berarti tadi lo ketemu Kharis donk? Kok
dia gak mampir sih?” Tanya Danu lagi.
“Hah…?” Ilan menghentikan langkahnya.
Begitu pula dengan Danu yang juga mengikutinya. “Kharis mau kesini?” Ilan
penasaran.
“Bukannya tadi sama Nalula?” Danu malah
balik nanya.
Ilan malah bingung dibuatnya. “Gimana
sih?”
“Iya. Tadi tuh Nal…”
Ilan buru-buru menyambar perkataan Ilan.
“Lo sempet ketemu Nalula?” sergahnya begitu tau Danu membawa buku file milik
Nalula.
“Iya tadi di atas. Dan dia bilang
Kharis…”
Lagi-lagi Ilan menyambar ucapan Danu.
“Yakin Nalula nyebutin nama Kharis? Bukan Firant?”
Awalnya Danu tenang nanggepin pertanyaan
Ilan. Tapi lama-lama bingung juga sama apa yang diucapin Ilan. “Firant anak SMA
Mandala itu? Emang Nalula kenal juga sama dia?”
Kembali, Ilan harus mendapat pertanyaan
yang kalo boleh jujur, sama sekali gak mau ia jawab. Makanya ia hanya
mengangkat bahunya untuk menanggapi pertanyaan Danu.
“Terus?”
“Gue gak tau apa yang terjadi sama
Nalula dan Firant. Tapi yang pasti, tadi diluar gue liat Nalula sama Firant.
Bukan sama Kharis seperti apa yang lo denger.”
Danu diam. Ia berusaha mempercayai apa
yang dikatakan Ilan. Karena gak ada alasan untuk Ilan membohonginya. Meski
akhirnya Danu mengangguk.
@@@
Danu membuka lebar pintu pagar rumahnya.
Di saat yang bersamaan pula, sebuah mobil—yang dikenalinya milik
Kharis—berhenti tepat di depannya. Kharis yang langsung turun terlihat canggung
mendapati Danu berdiri dihadapannya.
“Gue mau minta maaf ka.” Ujar Danu
terlebih dahulu. Membuat suasana di antara merreka sedikit mencair. “Atas
kejadian beberapa hari lalu. Gue tau itu gak adil. Dan gue ngerasa bersalah
banget karena gue nyangka lo ngehianatin kakak gue sama cewek yang ternyata itu
adik lo?”
Semua penjelasan Danu membuat Kharis
bisa sedikit bernapas lega. “Iya, Dan. Sama-sama. Kalo ternyata itu masalahnya,
gue juga minta maaf.”
Danu mendekat, dan Kharis pun
merangkulnya. “Oiya, kakak nyari mba Vindhya ya?” kata Danu tiba-tiba dengan
tatapan menggoda Kharis.
Kharis hanya tersenyum tipis
meresponnya. Ia sama sekali tak terlihat keberatan dengan ledekan Danu. Kharis
membuktikan dengan masih bisa terlihat santai dan cool.
“Gue sengaja kesini buat ketemu lo kok.”
“Untung deh kalo gitu. Mba Vindhya juga
gak ada dirumah.”
“Gue tau kok. Kan emang sengaja gue
dateng pas Vindhya lagi gak ada.”
Danu langsung melepas rangkulannya. “Ada
apaan nih?” Kata Danu dengan tampang yang sok curiga.
“Lagian ganti nomor gak ngasih tau gue?”
Balas Kharis. “Makanya gue langsung kesini.”
Danu nyengir. Kharis juga tau kok kalau
Danu hanya bercanda padanya.
“Gue mau bahas tentang Rosengard.
Kira-kira kapan lo punya waktu?”
“Sekarang juga gapapa. Gue gak buru-buru
kok.”
“Keadaan Diaz gimana?” Kharis tanpa
membuang kesempatan.
“Diaz udah keluar dari rumah sakit
beberapa hari yang lalu. Kemaren juga dia ke sekolah ngeliat kita latihan.”
Danu sedikit menceritakan mengenai Diaz.
“Udah ada pelatih baru?” Tanya Kharis.
Kali ini memang apa yang ingin ia bicarakan.
Danu menggeleng penuh kecewa. “Gak tau
lah. Pihak sekolah kayaknya udah gak mau peduli sama masa depan kita di klub.”
Keluh Danu.
“Udah ketebak kalo endingnya bakal kayak
gini.”
“Emang sih, pas kita latihan, Diaz yang
ngarahin sama ngawasin kita.” Lanjut Danu. “Tapi Diaz juga gak bisa berbuat
banyak. Dia belum sembuh total.”
“Berarti kalian harus cari sendiri siapa
yang pantas jadi pelatih kalian.”
“Emang itu kok yang lagi kita pikirin.”
Mata Danu terlihat mengawasi. “Kalo gak berbuat nekat, yang ada kita malah gak
bisa ikut turnamen, lagi.”
“Gue seneng dengernya kalo kalian punya
rencana kayak gitu.” Kharis tersenyum menanggapi semangat Danu. “Udah ada
calonnya?”
“Sebenernya sih belom. Tapi gue bakal rekomendasiin satu nama yang gue anggep layak buat ngearsiteki Dipokar.”
“Siapa?” Kharis penasaran.
“Ada deh. Mau tau aja.” Jawab Danu
dengan isengnya.
@@@
Sepulang sekolah, Ilan menyempatkan diri
mampir ke kelas Nalula. Di sana sudah hampir sepi. Hanya tersisa Lingga,
Nalula, Danu dan Riva. Ilan bertemu Danu yang akan keluar di depan pintu. Ilan
mendekati Nalula yang masih berdiri tidak jauh dari mejanya.
“Sumpah, Nal. Terlalu banyak misteri
pada diri lo.”
Nalula yang langsung dihujani kata-kata
seperti itu oleh Ilan, bergantian menoleh ke Lingga dan Riva yang masih berada
di sana. Lingga dan Riva pun saling pandang. Riva mengangkat bahu, menunjukkan
bahwa ia tak tau apa-apa dengan apa yang sedang dikatakan Ilan. Ia pun
mengisyaratkan Lingga untuk membiarkan Ilan dan Nalula menyelesaikan masalah
mereka.
“Kayaknya ini masalah pribadi kalian.
Lebih baik gue sama Riva nunggu di luar.” Kata Lingga yang siap melangkah.
“Gue rasa kalian gak masalah di sini.”
Lingga dan Riva berhenti ditempatnya.
“Apalagi yang lo mau tau dari gue, Lan?”
Nalula menantang.
“Semua, Nal. Gue juga pengen lo jujur.
Kemarin lo kemana aja? Zagar berkali-kali ngehubungin gue nyariin lo. Sumpah
gue panic lo gak bales atau jawab telepon gue. Seharian gue nyari dan nunggu
kabar dari lo. Dan lo tau apa yang gue dapet? Nihil. Lo masih anggep gue temen
lo gak sih, Nal?”
Riva cukup terkejut mendengarnya.
Terutama ketika mendengar Ilan segitu paniknya tak mendapat kabar dari Nalula.
Lingga yang menyadari hal itu, hanya berusaha menenangkan Riva meski ia tetap
ditempatnya sekarang. Nalula pun tak menyangka dengan pertayaan yang
didapatnya. Cukup lama Nalula memikirkan jawabannya.
“Hampir semua temen kelas lo gue
hubungin.” Ilan masih melanjutkan. “Terkecuali Lingga pastinya. Karena gue rasa
gak mungkin lo sama Lingga. Apalagi kalo inget kejadian kemaren. Itu mustahil.”
“Gue rasa gak ada yang mustahil.” Sambar
Lingga membuat Ilan sontak menengok ke arahnya.
“Iya. Gue percaya kalo emang gak ada
yang mustahil. Kalian sempet ketemu di lapangan kompleks rumahnya Nalula kan?
Tapi gue bener-bener pengen tau semua dari mulut Nalula sendiri.” Setelah puas,
Ilan kembali menoleh ke Nalula. “Satu lagi, Nal. Gue juga tau lo ngebohong ke
Danu soal Kharis. Lo gak dijemput sama Kharis kan? Tapi Firant, anak SMA
Mandala.” Ilan gak tau harus bersiakp seperti apa lagi ke Nalula. “Siapa lagi
Firant dihidup lo, Nal?”
“Lan…” Riva berusaha menghentikan Ilan.
“Kalo emang lo gak ngehubungin Lingga,
kenapa lo gak ngehubungin Kharis?” Kata Nalula akhirnya. “Lo tau betapa
sayangnya gue sama nyokapnya Kharis? Dan lo juga tau betapa terpukulnya gue
begitu tau kalo gue masih punya nyokap kandung? Kalo lo berfikir gue udah gak
nganggep lo temen, apa bedanya lo sama gue? Lo pasti gak mungkin lupa sama
sifat gue yang suka tiba-tiba pergi menyendiri, kan? Apa pernah gue kabur
selama berhari-hari tanpa ada yang tau?”
“Tapi lo kemana, Nal?” Ilan belum habis
hanya sampai disitu. “Jakarta sama Bandung beda. Di sana lo bisa pergi kemana
aja yang lo mau. Tapi di sini. Lo gak punya keluarga selain…”
“Apa lo juga lupa, Lan?” Nalula
menyambar ucapan Ilan sebelum dapat diselesaikannya. “Gue masih punya tante
yang tinggal di Jakarta. Dan Firant. Dia sepupu gue.”
Ilan tercengang. Astaga. Sejujurnya Ilan
yang kalap melupakan semua hal tentang Nalula. Ia benar-benar dikuasai
emosinya. “Tapi, Nal…”
“Cukup, Lan.” Lingga tak membiarkan Ilan
memulai lagi. Tanpa pamit, Lingga menggamit tangan Nalula dan membawanya pergi
dari sana.
Ilan menyusul mereka. Tapi ketika sampai
di depan pintu, Reva muncul dan menghalangi tubuhnya.
“Cukup, Lan. Lo udah berlebihan nuding
Nalula kayak gitu.” Ternyata Reva mendengar semua pembicaraan antara Ilan dan
Nalula.
“Reva bener.” Riva yang berdiri
dibelakang Ilan menyetujui kata-kata Reva. “Lo terlalu emosi menanggapi sikap
Nalula.”
“Oke. Gue tau gue salah.” Akhirnya Ilan
mengakui. “Kalo tentang Nalula, gue sadar gue udah ngelupain apa yang menjadi
kebiasaannya. Tapi Lingga? Gue gak cukup habis pikir sama sikapnya ke Nalula
kemaren. Apa lagi dia juga baru putus sama Lo kan, Rev?”
“Menurut lo, apa yang bikin gue mau jadi
pacarnya Lingga dulu?” Balas Reva. “Semata-mata bukan karena gue pengen miliki
Lingga seutuhnya. Tapi karena gue pengen ngerasain perasaan tulus yang dimiliki
Lingga. Dan Lo pikir apa alasan gue mutusin Lingga?” Lanjut Reva lagi. “Karena
gue udah gak sayang sama Lingga? Salah. Tapi karena gue terlalu sayang ke
Lingga.”
“Maksud lo?”
“Gue minta, jangan salahin atas semua
sikap Lingga ke Nalula. Jujur gue ngerasa Lingga jatuh cinta ke Nalula.”
“Jatuh cinta? Secepat itu? Gila apa?”
Riva tak habisa pikir dengan perkataan kembarannya.
“Riv, bukan secepat itu. Tapi gue
ngerasa ada masa lalu antara mereka.”
“Cukup!” Ilan melerai. “Gue gak mau
denger apa-apa lagi.” Katanya sambil pergi meninggalkan Reva dan Riva.
Reva hanya memandang kasihan setiap
langkah Ilan. Ia pun tak ingin menyalahkan Ilan tentang sikapnya.
@@@
“Kita
harus ngedapetin pelatih baru.” Ujar Ilan disela-sela rapat dadakan yang
dilakukan anak-anak klub sepak bola Rosengard yang juga masih berada di tengah
lapangan.
“Gue setuju usul Ilan.” Ujar Lingga.
“Tapi masalahnya, pihak sekolah udah gak mau tau tentang maslah kita.”
Mereka yang baru saja selesai latihan,
gak ada yang sanggup ngerespon omongan Ilan atau pun Lingga. Masing-masing
sibuk mengurusi diri sendiri yang hampir dehidrasi seusai latihan.
Sampai
akhirnya, Danu menyeruak bangkit di antara mereka. “Sebelumnya gue minta maaf
sama kalian.” Danu memulai pembicaraan. “Gue gak ada maksud buat ngeduluin.
Tapi kemaren gue sempet ketemu dan sedikit ngobrol dengan Kharis. Ternyata dia
masih peduli dengan kita. Dan dia pun nyuruh kita ngambil tindakan yang
sebenernya cukup nekat. Yaitu kita harus cari sendiri siapa yang layak kita
jadikan pelatih untuk turnamen besok.”
“Bener,
Dan. Kita emang harus nekat.” Kata Ilan menyetujui.
“Berarti
kita harus bener-bener berani ngelepas diri dari pihak sekolah.” Lanjut Danu
lagi.
Hampir
seluruh punggawa Rosengard saling pandangan. Kurang lebih, mereka ikut mikir
lah sama apa yang sedang dibahas Danu, Ilan dan Lingga.
“Udahlah.
Minta aja Kharis buat jadi pelatih kita.” Celetuk Garra. Udah pasrah banget deh
tuh orang tampangnya.
“Gue
juga awalnya mikir gitu. Tapi terserah gimana yang lainnya juga.”
“Tapi
kan Kharis baru aja dikeluarin dari kepengurusan.” Kali ini salah satu punggawa
Rosengard yang lain, yaitu Bintang.
Lingga
berdiri untuk meluruskan perkataan Bintang ataupun Danu. “Yang diomongin
Bintang emang gak salah. Tapi maksud Danu, kita mau cari di mana lagi? Semua
juga udah pasti tau gimana kapasitas Kharis sebagai asisten pelatih tahun
kemaren. Kharis juga udah tau karakter permainan kita masing-masing. Jadi kita
gak perlu memulai semua dari awal.
“Sekarang
tinggal gimana kita aja untuk berani ambil resiko bikin kepengurusan baru tanpa
ada campur tangan pihak sekolah.” Ilan menambahkan.
“Tetep
aja, Lan. Kita juga harus nyari beberapa orang lagi untuk ngisi kekosongan
posisi kepengurusan.” Pertimbangan lagi dari anggota yang lain, Hexa. “Kharis
gak bisa kerja sendirian, di abutuh orang buat jadi asistennya. Belum lagi,
menejer, tim medis dan masih banyak lagi hal lain yang gak bisa sepelein juga
keberadaannya.”
“Gue
juga mikirin semuanya. Tapi gue gak bisa mutusin itu semua sendiri. Karena gue
mau kita semua terlibat di sini.” Danu berkata lagi.
“Gak
bisa gitu juga lah, Dan. Kita gak mungkin ngejalanin dua karakter sekaligus.”
Masih banyak kendala dari sana-sini. Dan kali ini datang dari Irham.
“Gue
gak akan ngelakuin itu. Kalian tenang aja.” Danu belum kehabisan jawaban. “Dan
gue bakal ngebahas ini lagi sama kalian besok sepulang sekolah di rumah Kharis.
Soalnya gak memungkinkan untuk hari ini. Gue liat kalian pasti capek banget.
Lagian, sekarang juga udah sore.”
“Gimana
ceritanya gak keliatan capek, Dan? Napas udah pada setengah gitu.” Pangakuan
jujur yang dilontarkan Tegar tadi
menambah kehangatan yang terjalin dari derai tawa mereka.
Sepakbola
SMA Rosengard mungkin tak sesempurna klub sepakbola yang lain. Gak ada pelatih
yang bisa membimbing dan memberi masukan kepada mereka. Tapi mereka punya rasa
persaudaraan yang tinggi. Dan itu kunci dari kekompakkan mereka. Terlihat sore
ini hampir seluruh punggawanya hadir. Mulai dari wajah-wajah baru, sampai teman
seperjuangan Lingga dan Garra.
“Besok
gue tunggu langsung di rumah Kharis ya.” Ujar Lingga sebelum mereka mengakhiri
jam latihan.
Satu per
satu diantara mereka pun mulai meninggalkan lapangan. Hingga hanya menyisakan
Ilan, Danu dan Lingga.
“Kayaknya
gue tau deh siapa yang pantes buat dijadiin menejer sama tim medis.” Sebut
Lingga kala mereka duduk di tepi lapangan sambil membereskan ransel mereka.
Sesaat
Ilan juga Danu menghentikan aktivitasnya. Seolah mengerti dari cara pandang
Danu dan Ilan, Lingga menunjukkan sesuatu dari arah belakang kedua sahabatnya
itu dengan menunjuk menggunakan dagunya. Dengan kompak Ilan dan Danu menoleh
kebelakang. Tampak dua orang cewek berjalan ke arah mereka. Yang satu rambut
lurusnya yang panjang dibiarkan terurai. Dan yang satu lagi, mengikat satu
rambutnya kebelakang. Siapa lagi kalau bukan si kembar Riva dan Reva.
Baik
Lingga, Ilan sampai Danu salin pandang satu sama lain. Senyum-senyum sambil
manggut-manggut gak jelas. Udah pasti sikap aneh mereka telah memancing rasa
penasaran Reva dan Riva.
“Napa
lo semua?” Tanya Riva tegas.
Mereka
yang ditanya bukannya ngejawab malah berdiri dan seolah mengepung dua anak
kembar ini ditengahnya. Dan tetap dengan senyuman yang membuat takut Riva dan
Reva.
“Lan.”
Riva seoalah meminta penjelasan yang ditujukan langsung kepada Ilan.
“Sorry
ya, Riv. Ini keputusan bersama.” Danu yang ngejawab. Masih diiringi dengan
senyuman yang membuat Riva dan Reva saling pandang.
@@@
“Apa?!” Pekik Riva dan Reva kompak
ketika mereka berada di tengah-tengah punggawa sepakbola SMA Rosengard yang
semuanya cowok.
Seperti janji mereka kemarin. Sepulang
sekolah berkumpul di rumah Khais untuk membahas perihal kepengurusan Rosengard.
“Lo semua yang bener aja ngejadiin gue
menejer sepakbola! Gue gak tau apa-apa. Kalo basket, baru gue ngerti.” Sergah
Riva begitu tau tujuan dirinya di ajak kesana. “Kalo Reva mending. Dia dulu
pernah ikutan PMR.”
“Tapi itu ka dulu waktu gue masih SMP.”
Reva menepis omongan Riva.
“Lo gak perlu belajar apa-apa tentang
sepakbola. Sama aja kayak di basket. Lo Cuma perlu ngatur jadwal sama porsi
latihan aja dan ngurusin peralatan yang kita butihin pas tanding.” Lingga yang
duduk ngedeprok di lantai mulai anagkat bicara. “Dan kalo Reva Cuma nanagin P3K
nya aja kok.” Lanjutnya.
Kharis keluar menyeruak dari arah dalam.
“Emang gak ada omongan sebelumnya dari anak-anak?” Jelas pertanyaannya untuk
Reva dan Riva.
“Sama sekali nggak!” Riva ketus
menjawab.
“Danu
sendiri mana?” Kharis celingukan nyariin sosok Danu.
“Danu lagi ikut kejurda silat.” Ujar
Ilan. “Sore ini dia turun di partai semi final. Makanya gak bisa ikut kesini
dulu.”
Kharis mengangguk mengerti. Ia tampak
tak keberatan dengan keterangan dari Ilan.
“Tapi kakak siap kan buat ngelatih kita
lagi?” Tanya Bintang memastikan keadaan.
Kharis tampak berfikir. Ia masih butuh
pertimbangan. Anak-anak terlihat tegang dibuatnya. Sampai akhirnya… “Gue siap
asal kalian juga siap untuk ikut turnamen.”
Semua bersorak menyambut kabar baik dari
Kharis. Kecuali Riva.
“Kalian berdua juga siap kan?” kali ini
Lingga ingin memastikan kesiapan Reva dan Riva.
Dengan penuh semangat, Reva mengangguk.
“Gue siap kok.”
Riva menyenggol tangan Reva yang duduk
disebelahnya. “Tapi gue nggak.”
Kecewa lagi.
“Ayolah, Riv.” Reva mencoba merayu.
Mata Riva tertuju pada Ilan yang duduk
diseberangnya. Tapi begitu tau Ilan menyadarinya, Riva langsung beralih.
“Demi Ilan deh.” Celetuk seseorang. Tapi
entahlah itu siapa.
“Oke.” Kata Riva akhirnya. Membuat
suasana kembali riuh. “Tapi gue ngelakuin ini demi sekolah kita.” Lanjutnya.
“Yang penting lo nya mau. Terserahlah lo
ngelakuinnya demi siapa? Demi Ilan boleh. Demi Reva boleh. Demikian boleh. Demi
gue juga boleh.” Celetuk tegar sekenanya. Ampe bikin anak-anak rusuh mau
ngacak-ngacak rambutnya.
Hampir sama sih. Lingga juga ikutan
ngaca-ngacak rambutnya. Cuma aja nggak ampe bikin yang lain rusuh.
“Waaahhh…! Mulai nih penyakit.” Hexa
yang paling awal menyadari sikap aneh Lingga.
“Penyakit apa?” Kharis penasaran. Tapi
tampangnya juga bingung.
“Biasanya Lingga kalo udah mulai
ngacak-ngacak rambutnya, pasti ada sesuatu yang dia lupa.” Garra yang menjawab
rasa penasaran Kharis.
“Lo lupa apaan, Ga?” Gantian Irham yang
bertanya.
“Di mana-mana kalo orang lupa itu
artinya gak inget.” Bintang mengomentari.
“Ya tapi apa? Ada hubungannya dengan
sepakbola kita?” Kharis mencoba ngebantu Lingga untuk mengingat sesuatu.
Kesannya seolah Lingga terkena amnesia.
“Nah, itu dia kak. Gue lupa apaan?”
“Yee… tetep aja kan ujung-ujungnya
lupa?” balas Tegar.
“Tapi kan masih ada yang gue inget.”
Lingga masih aja gak mau terlihat kalah.
“Ya udahlah gak usah dibahas dulu.”
Kharis melerai kemungkinan terburuk yang akan terjadi setelah ini.
“Kita masih punya satu kendala lagi.”
Ujar Ilan. Dan semua kembali diam. “Kita belum nemuin orang yang bisa jadi
asisten pelatih.”
Semua tampak berfikir. Tak terkecuali
Riva dan Reva yang namanya kini tercantum pada daftar kepengurusan klub
sepakbola SMA Rosengard.
“Kalo boleh usul. Gue mau ngajuin satu
nama.” Sejenak focus beralih ke Ilan.
“Siapa?” Seru beberapa orang hampir
bersamaan.
“Nalula.”
“Iya.. iya.. gue setuju.” Sorak Reva
yang heboh sendirian.
“Gitu donk, Riv. Dukung pacar
sekali-kali.” Ujar Tegar yang sepertinya salah orang.
“Gue Riva.” Ujar Riva yang sejak tadi duduk
di samping Reva.
Tegar nyengir. “Abis lo berdua mirip
sih.”
@@@
Sore harinya, nampak Kharis tengah
menonton tayangan pertandingan sepakbola Indonesia. Bersamaan dengan munculnya
Nalula yang langsung ambil posisi duduk di samping Kharis. Ia masih mengenakan
seragam silat. Kharis yang menoleh hampir terkejut dengan sedikit luka memar
yang menghiasi wajah Nalula.
“Heh! Cantik-cantik kok mukanya babak
belur gitu sih?” Ledeknya.
Nalula hanya ngelirik. “Udah deh, jangan
rese.” Keluhnya.
Kharis hanya tersenyum menanggapinya.
“Mau gue masakin apa?” Tanya Nalula
mengalihkan pembicaraan sebelumnya.
“Hmm.” Kharis tampak berfikir. “Gak usah
deh. Kita makan diluar aja yuk.”
Nalula langsung berdiri. “Nggak.”
Tolaknya. “Males gue. Ntar ketauan cewek lo, lagi.” Nalula sedikit menyindir
sambil berjalan meninggalkan Kharis.
“Tapi kan lo adik gue.”
Nalula yang telah berada di depan pintu
kamar menghentikan langkahnya. “Tapi kan cewek lo gak mau tau!” tanpa ingin
menunggu komentar dari Kharis, Nalula langsung masuk ke dalam kamarnya dan
menutup pintu.
“Ya udah. Kita pesen makanan dari luar
aja.” Teriak Kharis.
“TERSERAH.” Balas Nalula juga dengan
teriakkan dari arah dalam kamarnya.
Tak lama, Nalula keluar dari kamarnya.
Kharis pun tengah sia di meja makan. Selama makan, mereka cukup lama saling
diam. Sampai akhirnya, Kharis memulai pembicaraan.
“Gimana Siliwangi?”
“Apa nya yang gimana?” Nalula balik
bertanya seraya menenggak minumannya. “Gue kan udah gak sekolah di sana.”
“Tapi katanya dulu lo jadi asisten
pelatih di sana ya?”
“Kata siapa?”
Mata Kharis mengawasi. Ia pun tersenyum.
“Kata gue barusan.” Sesaat mereka saling diam. “Gue baru aja diangkat jadi
pelatih sepakbola di Rosengard nih.”
“Terus?”
“Lo jadi asisten gue ya?” pintanya terus
terang.
Nalula berdiri seraya membawa piring
kotornya ke tempat pencucian piring. “Cepet selesain makan lo. Biar piringnya
bisa sekalian gue cuci.” Nalula seperti menghindari permintaan Kharis. Tak begitu lama, Kharis pun membawa
piring kotornya ke Nalula. ia sengaja berdiri berdekatan dengan Nalula.
“Jawaban lo?” Tanya Kharis memastikan sambil setengah berbisik di telinga
Nalula.
“Nggak.”
Kharis kembali tersenyum. “Gak nolak
maksudnya?” Ledeknya sambil berjalan dan tak ingin Nalula meresponnya.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar