Satu…
SMA
DEPORTIVA…
Salah
satu dari sekian banyak sekolah elite di Jakarta. SMA Deportiva memiliki
keunikan tersendiri di bandingkan dengan sekolah lainnya. Mereka memiliki siswa
kembar. Dan tak tanggung-tanggung, kembar tiga. Ketiganya siswa laki-laki.
Namun tak perlu khawatir akan tertukar dari ketiganya. Karena masing-masing
memiliki sifat, karakter, skill dan penampilan yang berbeda. Satu hal yang
paling terpenting, tiga anak kembar ini adalah siswa paling popular.
Salah
satu diantaranya bernama Ricky. Lengkapnya Ricky Airlangga. Selain punya
tampang cakep, Ricky juga terkenal ramah kepada siapa saja. Tapi terutama
cewek-cewek yang menurutnya cakep. Terang saja, Ricky mendapat julukan playboy.
Meski demikian, siswa yang masuk di kelas 3 ipa 1 ini sama sekali tak berkurang
kepopularannya. Karena Ricky selalu menduduki peringkat 3 besar dikelasnya. Satu
lagi, Ricky menjadi vocalis band sekolah yang juga terkenal tak hanya
dilingkungan SMA Deportiva. Tapi juga terkenal hingga sekolah-sekolah yang
berada satu wilayah dengan sekolahnya. Cara ampuh untuk mengenali sosok yang
satu ini dari dua kembarannya yang lain adalah barang-barang yang digunakan
Ricky didominasi dengan warna hitam. Kemeja seragamnya juga dengan rapih masuk
ke dalam celana. Dan dasinya terikat benar meski ia longgarkan hingga terletak
dibawah kancing kedua.
@@@
Tak
beberapa lama bel istirahat pertama berdentang, Ricky terlihat mendatangi ruang
secretariat ekskul jurnalistik. Tapi, ada yang aneh dengan penampilannya. Kali
ini seragamnya terlihat lebih rapih, dasinya pun terikat benar dan jam di
tangannya, berwarna putih, serta kacamata berbingkai hitam yang menghiasi
wajahnya.
Ia
membuka pintu setelah ada izin dari dalam. “Nissa ada?” tanyanya kepada dua
orang cewek yang sedang menulis-nulis sesuatu di meja yang terletak ditengah
ruangan.
Salah
satunya menoleh. Namanya Gita. Ia tak menjawab. Lalu menoleh ke arah lain. Kali
ini menuju seorang cewek di sudut ruangan yang tengah sibuk di depan computer.
“Nis, dicariin.” Ujarnya dengan suara sedikit keras.
Cewek
itu memutar kursi hingga terlihat cowok yang kini bersandar di ambang pintu.
“Vicky!” serunya dengan nada sedikit histeris. “Ngapain lo nyariin gue?”
Tanyanya ketus.
Jelas
saja ada yang aneh. Cowok itu bukan Ricky, melainkan Vicky. Vicky Airlangga.
Berbeda dengan Ricky yang terkenal playboy. Vicky terkenal juga karena
keramahannya kepada semua orang. Benar-benar kepada semua orang. Cowok yang
berada di kelas 3 ipa 3 ini adalah ketua OSIS. Pembawaannya kalem namun ia juga
bisa untuk tegas. Buktinya ia menjadi danton utama, baik di ekskul pramuka
ataupun paskibra. Dan pastinya, selalu menempati peringkat pertama dikelas.
Vicky
melangkah dan menarik kursi lalu duduk di samping Nissa yang masih cukup bête
dengan kehadirannya. Meski begitu, Vicky tetap bisa santai menanggapinya.
Sesaat
Nissa kembali sibuk ke layar komputernya.
“Nis,
kok jutek sih sama gue?” Tanya Vicky lembut. “Pasti lo diisengin deh sama
Ricky?” tebaknya. “Tapi gue kan bukan Ricky, Nis.”
Nissa
menoleh dan mengerutkan kening. “Bukan Ricky!” Sergahnya tegas. “Tapi Nicky!”
Gantian
kening Vicky yang berkerut. “Kok Nicky? Kalian kan udah lama deket?” Vicky
menunggu Nissa merespon. Tapi itu hanya harapan kosong. “Atau jangan-jangan,
kalian udah jadian ya? Tapi sekarang
lagi berantem?”
Tebakan Vicky membuat mata
Nissa melebar lalu buang muka ke arah berlainan dengan posisi Vicky berada.
“Penting banget gue jadian sama Nicky!” Imbuhnya semakin terdengar kesal.
Vicky hanya bisa menghela
napas. Nissa pun sedikit merasa bersalah. Begitu kembali menoleh, ia melihat
Vicky melepas kacamatanya.
“Heh! Siapa suruh lepas
kacamata!”
Vicky tersentak. “Emang
kenapa?”
“Ugh…” Nissa geregetan.
“Lo tau kan gue kesel sama kembaran lo yang satu itu? Dan sekarang, lo malah
lepas kacamata. Itu artinya, tampang lo gak akan jauh beda sama si atlit
sinting itu!” Omel Nissa tanpa jeda. Lalu melipat tangannya di depan dada dan
kembali buang muka.
Vicky pun buru-buru
kembali mengenakan kacamatanya. “Iya deh maaf.” Ujar Vicky yang juga merasa
bersalah. “Trus, gue harus gimana biar lo maafin gue?”
“Traktir makan.” Kata
Nissa singkat sambil berjalan keluar ruangan.
@@@
Sesampainya dikantin,
mereka berjalan ke arah yang berlawanan. Vicky menuju konter makanan, sedangkan
Nissa mencari meja kosong. Baru saja duduk, sudah ada seseorang yang ikut duduk
di sampingnya.
Nissa menoleh untuk
memastikan siapa orang yang berada di sampingnya. Ternyata Ricky yang tersenyum
kepadanya. “Ngapain lo di sini?”
Ricky tetap tersenyum.
“Galak amat sih?” komentarnya.
“Bodo!” Nissa buang muka.
“Abis diapain sih sama
Nicky?” Tanya Ricky berusaha mengorek informasi.
“Bukan urusan lo.” Ujar
Nissa masih tetap terdengar ketus. Nampaknya untuk orang yang ada di sampingnya
kini, Nissa sama sekali tak bisa bermanis ria.
Ricky menghela napas.
Tepat ketika Vicky datang sambil membawa satu porsi siomay dan sebuah minuman
kaleng. Ia menyodorkan keduanya ke depan Nissa sebelum akhirnya duduk di
seberang Nissa.
“Lo ngapain, Vic?” Tanya
Ricky heran mendapati Vicky bersama Nissa. “Ketauan Nicky, abis lo dihajar.” Ricky
terdengar menakut-nakuti.
“Gue ada perlu sama
Nissa.” Kata Vicky santai, sama sekali tak mempedulikan perkataan Ricky
sedikitpun.
“Gue juga ada perlu.”
“Kenapa?” Tanya Nissa
masih ketus tanpa menoleh.
“Winny ngadain birthday
party, temanya couple. Lo pergi sama gue ya?” Pinta Ricky sedikit ada unsur
pemaksaannya.
“Nggak.” Nissa menolak
mentah-mentah.
“Kenapa?”
“Bukan urusan lo!”
“Jelas urusan gue juga
lah.” Ujar Ricky masih terlihat santai. “Gue tau cinta lo ditolak sama Nicky.
Makanya sekarang lo jutek parah ke gue.”
Nissa melotot ke arah
Ricky. “Kapan sih gue pernah ramah ke lo?”
“Ya terserah deh. Gue Cuma
mau berbaik hati aja nih ke lo.” Ricky masih sangat sabar menanggapi sikap
Nissa yang sangat tidak ramah terhadapnya. “Intinya, lo mau jadi partner gue
gak di ulang tahunnya Winny?” Tanya Ricky sekali lagi dengan nada lembut.
“Maaf ya, karena saya
telah menolak ajakan anda tuan Ricky Airlangga.” Kata Nissa akhirnya dengan
nada yang dipaksakan terdengar lembut.
“Nah, gitu donk. Kan enak
dengernya.” Ujar Ricky sambil nyeloyor pergi tanpa pamit.
“Ugh…!” Nissa kembali
kesal. Korbannya adalah potongan siomay yang tertancap garpu Nissa. “Dua
kembaran lo tuh gak ada yang bener ya!” sambil memasukan paksa potongan siomay
tadi ke dalam mulutnya.
Vicky hanya tersenyum dan
mengangkat bahu.
Seketika Nissa baru
menyadari bahwa Vicky sama sekali tak memesan makanan dan minuman untuknya. “Lo
gak makan, Vick?” Nissa merasa tak enak hati.
“Puasa.” Jawab Vicky
singkat.
“Ha…?” Nissa semakin tak
enak hati. “Kok lo gak bilang? Kan gue gak enak makan sendirian. Apalagi di
depan orang puasa.”
Vicky tersenyum. Tapi
Nissa langsung mengerti. Vicky bukan sekedar tersenyum. Lebih tepatnya
tersenyum menahan tawa.
“Waahh… lo ngerjain gue
ya!” Hardik Nissa. “Ini kan hari Rabu!”
Seketika tawa Vicky pun
meledak.
“Eh, tapi beneran deh, gue
gak enak nih makan sendirian.”
Tawa Vicky akhirnya mereda
seiring perubahan raut di wajah Nissa.
“Aduh. Gue lagi gak pengen
makan nih. Udah lah slow aja.”
“Gue suapin mau gak?”
Tanya Nissa. Hanya iseng sebenernya. Tapi sambil menyodorkan garpunya.
“Tapi satu aja ya?” Vicky
mengajukan penawaran.
Nissa mengangkat bahu.
Mungkin maksudnya, terserah. Vicky akhirnya membimbing tangan Nissa untuk memasukan
makanan ke dalam mulutnya.
Tak lama, seorang cowok
menghampiri mereka. Sesaat setelah Vicky melepas kacamatanya.
“Nic, tadi gue ketemu pak
Guntur. Latihan besok free. Beliau ada acara.” Kata cowok bernama Johan itu.
“So, gimana kalo kita sparing? Iseng-iseng aja.”
“Sparing apa? Lawan?”
Tanya Vicky menanggapi, meski ia tau kalau Johan salah orang.
“Kalo mau basket, kita
lawan SMA Priority aja. Tapi kalo mau tanding bola, ya lawan SMA Rosengard.” Jawab Johan memberi
saran.
“Yaudah, dibahas nanti
deh. Gue lagi ada perlu penting nih sama Nissa.” Kata Vicky yang secara gak langsung
meminta Johan untuk pergi dengan perkataan halus sambil menunjuk Nissa dengan
dagunya.
“Okeh.” Johan langsung
mengerti dan meninggalkan tempat itu.
“Pasti dia ngira lo itu
Nicky?” Nissa menebak setelah Johan pergi.
Vicky mengangkat bahu.
“Siapa lagi? Gak mungkin juga dia nganggep gue Ricky.”
Nissa kembali melahap
makanannya. Kali ini sudah lebih santai. “Oiya, kembali ke masalah awal, ada
apa lo nyariin gue?”
Sejenak, Vicky terlihat
sedikit melupakan maksud utamanya menemui Nissa. Karena sejak tadi, ada saja
yang mengganggu. “Sabtu ini, madding ganti tema kan?”
“Iya. Kenapa? Lo mau bahas
seven boyz of the week?” Tebak Nissa tanpa ini itu. “Sorry deh. Gue gak bisa
bantu. Masalahnya, itu udah jadi kebutuhan public, terutama siswi cewek. Lo tau
ndiri, gue pernah gak ngadain sekali. Alhasil, demo gede-gedean depan
secretariat.”
“Gue gak minta buat
diilangin kok.”
“Terus?” Tanya Nissa penuh
minat. “Lo mau tanya siapa aja yang minggu ini masuk? Tenang aja, lo tetep
diperingkat pertama kok.”
Sebenernya bukan itu
maksud Vicky. “Tolong ganti nama gue jadi Nicky.” Pinta Vicky tanpa basa basi.
“Aduh… Udah deh. Gak ada
harapan buat Nicky. Fansnya turun drastis sejak dia pacaran sama anak SMA
Priority itu.” Keluh Nissa. Benar-benar tak meluruskan permintaan Vicky.
“Kalo imbalannya gue yang
jadi partner lo di ultahnya Winny, gimana?” Vicky berusaha merayu Nissa
sebisanya. “Gue tau lo pasti pengen kesana juga kan? Buktiin ke Nicky kalo lo
gak segampang itu dihancurin.”
“Percuma, gue gak minat.”
Ujarnya malas sambil berdiri. “Betewe, makasih traktirannya ya. Sering-sering
aja.” Kata Nissa lagi sebelum akhirnya meninggalkan Vicky.
Satu kesempatan musnah.
@@@
Pulang sekolah…
Ricky
bersandar di pintu mobilnya yang berwarna hitam. Dikanan dan kirinya juga
terparkir mobil berwarna putih dan merah. Yang putih, udah pasti milik Vicky.
Karena begitu sampai, Vicky langsung melempar ranselnya ke dalam mobil. Dan
mobil yang merah, berarti punya Nicky? Bukan. Itu punya Nissa. Sebelum pergi,
ia sempat membuka kaca mobilnya dihadapan Vicky dan Ricky.
“Vick,
ini buku lo.” Ujarnya sambil menyodorkan sebuah buku setebal novel ‘breaking
dawn’. “Makasih ya.”
Namun Ricky lah yang
merebut buku itu diiringi tatapan jahilnya. “Tawaran gue yang tadi masih
berlaku lho, Nis.”
“Ya ampun, aku
tersanjung.” Kata Nissa pura-pura manis. “Sekali nggak, tetep nggak!” Nissa
langsung menutup jendela mobil dan pergi dari sana.
“Seneng banget sih
ngeledekin anak orang!” Vicky membela Nissa sambil merebut buku itu dari tangan
Ricky.
Ricky hanya tertawa tak
peduli. Lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya. Dengan cukup
iseng, Ricky menyodorkan rokok itu ke Vicky. Jelas saja Vicky menolak
mentah-mentah, karena ia tak merokok.
Tiba-tiba beberapa orang
siswa terlihat berlari berhamburan. Ada beberapa orang juga dibelakang mereka
yang terlihat sebagai pengejar.
“Woy! Jangan lari lo!”
Teriak salah satu dari mereka. Begitu melewati Vicky dan Ricky, ia merebut buku
yang gipegang Vicky.
Wajahnya mirip dengan
Ricky dan Vicky. Jelas saja, itu Nicky. Nicky Airlangga. Preman sekolah.
Terkenalnya sih gitu. Gak segan-segan menghajar siswa, terutama yang pamer
harta di depan matanya. Seragamnya sama sekali gak rapih. Kemejanya berkibar
karena tak dimasukan ke dalam celana. Cara pakai dasinya tak beda jauh dengan
Ricky. Lengan seragamnya digulung beserta lengan kausnya.
Warna favorit Nicky,
merah. Terlihat dari jam, ikat pinggang hingga sepatu nya pun berwarna merah.
Siswa yang berada di kelas 3 ipa 2 ini pun tak perlu dikhawatirkan untuk
prestasinya di kelas seperti 2 kembarannya. Nicky juga mahir dalam olahraga
basket, voli, renang, sepakbola dan beberapa cabang olahraga lainnya. Bahkan ia
menjadi kapten di klub sepakbola sekolahnya. Nicky pun juga dikenal dekat
dengan Nissa.
“Menurut lo, Nissa kenapa
kesel banget sama Nicky?” tanya Vicky pada Ricky yang tengah menikmati
rokoknya.
Ricky mengembuskan asap
rokoknya ke udara. “Gue kan udah bilang, cintanya Nissa ditolak sama Nicky.”
Ujarnya santai.
“Bukannya selama ini
mereka pacaran ya?”
Ricky tertawa
sejadi-jadinya. “Lo kemana aja sih, Vick? Nicky tuh lagi pedekate sama alumni anak
SMA Priority. Beda setahun di atas kita sih.” Keluh Ricky.
Suasana ricuh di depan
gerbang nampaknya mulai reda. Nicky pun perlahan muncul dari kejauhan, ia berjalan
sambil menenggelamkan salah satu tangannya ke dalam saku celana. Nicky
tersenyum kepada kedua kembarannya dengan penuh kemenangan.
“Hai para kembaranku.
Makin cakep aja kalian.” Ledek Nicky sambil berhenti sesaat, kemudian kembali
berjalan.
“Heh!” Vicky menarik kerah
seragam Nicky. “Mana buku gue?” Pintanya.
“Hah? Buku? Buku apaan?”
Nicky balik bertanya.
“Eh, jangan belagak
amnesia mendadak gitu deh!” Vicky mulai kesal. “Tuh buku penting banget.”
“Oohh… iya iya iya…” Kata
Nicky akhirnya. “Tadi gue pake buat nimpuk.” Lanjut Nicky tanpa rasa bersalah.
“Terus, sekarang mana
bukunya?” Pinta Vicky lagi, kali ni lebih tegas.
“Kecebur got.” Jawab Nicky
enteng.
“Apa?” Vicky berteriak
cukup histeris. “Gue gak mau tau, sekarang juga lo ganti buku itu.”
“Iya gue bakal ganti. Tapi
jangan hari ini juga donk. Ntar sore gue mau ketemu Venda.” Nicky memohon.
“Gue gak mau tau.”
“Udah lah, lo tenang aja.”
Kata Ricky yang berusaha menjadi penengah. “Urusan Venda biar gue yang gantiin
lo.”
Nicky melirik kesal ke
Ricky yang tak membantu apa-apa.
“Sekarang gini aja, lo
pilih pergi buat cari buku itu, atau gue gak mau bantuin lo ngerjain tugas
Biologi punya lo.” Vicky yang sudah cukup kesal terdengar mengancam.
Nicky melirik jamnya. 15.12.
‘Sial!’ umpatnya dalam hati.
“Gue tunggu sampe jam 5.”
Ujar Vicky santai sambil berjalan menuju pintu mobil. Diikuti Ricky setelah
membuang puntung rokoknya.
Nicky tak punya banyak
waktu untuk berfikir. Ia segera menempatkan diri diantara mobil kedua
saudaranya itu dan meminta Vicky dan Ricky untuk membuka kaca mobil masing-masing.
“Oke. Gue setuju.” Kata
Nicky akhirnya—meski terpaksa—sambil memandang ke Vicky. “Tulisin judul buku
sama nama pengarangnya.” Perintah Nicky, kemudian beralih ke Ricky. “Gue
berniat nembak dia hari ini. So, gue harap lo gak bikin kacau semuanya.” Nicky
memperingatkan.
“Serahin ke gue.” Ricky
tersenyum puas, lalu menyodorkan ponselnya. Sesaat Nicky menatap penuh tanda
tanya. “Lo mau semuanya lancar, kan?”
Nicky pun akhirnya
mengerti. Dengan enggan ia mengeluarkan ponselnya untuk ditukar dengan milik Ricky.
Kemudian kembali menoleh ke tempat Vicky berada. Ia pun meraih kertas yang
disodorkan Vicky.
“Inget! Jam 5 sore.” Vicky
kembali mengingatkan, lalu pergi meninggalkan Nicky. Tapi Ricky justru
menghampiri Nicky sambil menyodorkan kunci mobilnya. Nicky yang mengerti dengan
maksud Ricky, dengan enggan mengeluarkan kunci motornya untuk ditukarkan dengan
kunci milik Ricky. Setelah mendapatkan yang ia inginkan, Ricky pun berjalan
menuju lapangan parkir motor.
“Aarrgghh…!!!” Nicky kesal
sendiri.
Beberapa orang yang
melintas, sontak memandang Nicky dengan tatapan ingin tahu.
“Apa liat-liat!” teriak
Nicky galak sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil Ricky.
@@@
SMA PRIORITY…
Seorang
cewek bersandar di sebuah tiang dan menghadap ke depan pintu kelas 3ips2.
Penampilannya cuek dan terkesan sedikit tomboy. Ia menggulung kedua lengan
seragamnya sambil mengunyah permen karet. Namanya Najwa Ferdinan. Kelas 2ipa2.
Najwa terkenal karena aktiv hampir di seluruh ekskul yang dimiliki SMA
Priority. Dan yang terpenting, Najwa adalah putri dari ketua yayasan
sekolahnya. Sebenarnya Najwa memiliki dua orang kakak yang baru saja lulus dari
sana, laki-laki dan perempuan, keduanya kembar. Sedikit banyaknya, ketiga
saudara ini memiliki pengaruh besar. Karena memiliki kekuasaan. Tapi mereka tak
pernah memanfaatkan hal itu untuk menindas siswa lain.
Selang beberapa saat, pintu
terbuka dan beberapa siswanya mulai berhamburan keluar. Terlihat dua orang cowok
yang berjalan beriringan. Salah satu dari mereka menyadari kehadiran Najwa, dan
langsung memberitahukan kepada seseorang disebelahnya.
Cowok itu segera
menghampiri Najwa. Sementara temannya melangkah ke arah yang berlawanan.
“Seneng banget rasanya pulang
sekolah ditungguin pacar tercinta.” Ujar cowok itu begitu berada dihadapan
Najwa.
Najwa meniup permen
karetnya membentuk balon. Ekspresi datar ditunjukkannya untuk cowok itu. “Ka Rio.
Kita selesaikan di lapangan yuk.” Ajak Najwa sambil melangkah pergi tanpa
meminta persetujuan orang di hadapannya.
Mereka menuju lapangan
basket yang lumayan sepi. Najwa berhenti tepat ditengah-tengah. Kemudian ia
berbalik mengahadap Rio yang kini berdiri tak jauh darinya.
“Ada apa sih, Na?”
“Kita putus.” Ujar Najwa
tegas.
“Hah…!” Mata Rio
terbelalak. “Kenapa?”
Najwa terlihat tak begitu
mempedulikan perkataan Rio. “Udah saatnya ka Rio tau. Aku tuh gak pernah punya
perasaan ke kakak.”
“Terus? Kenapa dulu kamu nembak kakak?” Tanya Rio.
“Terus? Kenapa dulu kamu nembak kakak?” Tanya Rio.
“Aku taruhan sama Nita dan
Manda buat pacaran sama kakak.” Najwa menjawab dengan entengnya.
“Ya tapi kenapa kamu tega
ngelakuin itu? Aku kan gak pernah jahat sama kamu?” Kata Rio lagi mencoba
lunak.
“Iya, aku tau. Kak Rio tuh
gak jahat. Udah cakep, pinter, baik lagi.” Najwa menghela napas. “Tapi deadline
nya emang Cuma sampe tiga bulan aja, kak.”
“Masa kamu gak mau kasih
kesempatan sih ke aku?” Rio pasang tampang memelas. “Selama pacaran sama kamu,
kamu gak pernah denger aku selingkuh atau deket sama cewek lain kan? Aku tuh
beneran mau berubah buat kamu.”
Najwa memutar matanya.
“Soalnya aku yang selingkuh.” Kata Najwa seenaknya sambil meninggalkan Rio.
Namun Rio cukup sigap untuk menahan tangan Najwa.
Sontak Najwa terkejut
sambil kembali berbalik dan mendaratkan pukulan di wajah Rio.
“Udah deh kak.” Ujar Najwa
kepada Rio yang terpelanting ke tanah. “Gue males sama lo. Gue macarin lo Cuma
buat ngebales sakit hati temen-temen gue yang pernah diselingkuhin sama lo.”
Najwa sudah tidak mengunakan panggilan aku-kamu ketika berbicara dengan Rio.
Rio bangkit dan langsung
mencengkeram kedua tangan Najwa. Ia menatap tajam ke mata Najwa. “Sumpah. Gue
kecewa sama lo.” Rio berkata pelan tepat di depan wajah Najwa.
Najwa memang berusaha
melepaskan kedua tangannya. Namun tatapannya sama sekali tak terlihat lemah.
“Lo boleh pukul gue untuk ngobatin kekecewaan lo.” Suara Najwa terdengar
menantang.
Rio tersenyum meremehkan
ucapan Najwa. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Najwa. Perlahan Najwa pun
berusaha menjauhkan tubuhnya. Namun Rio lebih dulu bersikap nekat dengan
mendekap paksa tubuh Najwa.
“Gue nyuruh lo pukul gue
balik. Bukannya malah lo pake cara kampungan kayak gini.” Najwa masih berusaha
untuk berontak namun suaranya tetap terdengar santai.
Rio sendiri belum merasa
kalah. Ia kembali mendekatkan wajahnya sambil sekuat tenaga mempertahankan
tubuh Najwa untuk tetap dalam dekapannya.
Hanya ada satu cara untuk
melepaskan diri. Sekuat tenaga, Najwa menendang kaki Rio tepat di tulang
keringnya. Berhasil. Rio melepaskan Najwa sambil mengerang kesakitan. Belum
puas, Najwa kembali mendaratkan tinjuan hingga Rio terjungkal kebelakang.
Najwa melangkah mendekati Rio
yang terkapar. “Sorry kalo gue maen kasar. Tapi gue bener-bener udah gak mau
punya urusan lagi sama lo.” Najwa tidak begitu saja meninggalkan Rio, ia justru
mengulurkan tangannya. Ragu-ragu, Rio pun meraih tangan Najwa.
Di dalam mobil, Rio
memeriksa lengannya yang sedikit tergores aspal lapangan ketika terjerembap.
Tak lama, Najwa muncul membawakannya kotak p3k.
“Lo bisa sendiri kan?”
Tanya Najwa memastikan. “Soalnya gue gak bisa lama-lama. Ka Vendi udah nunggu
di luar.”
Rio pun mengangguk lemah
tanpa menoleh sedikitpun ke Najwa. Hanya tangannya saja yang menerima barang
bawaan Najwa.
@@@
TOKO BUKU…
Nicky
sudah berada di sana, masih menggunakan seragam sekolahnya. Ia menghampiri
salah seorang petugas di sana, dan menanyakan buku yang ia cari sambil
menyodorkan kertas yang diberikan Vicky.
“Bukunya
lagi kosong mas.” Kata petugas itu.
“Yaudah,
makasih mba.” Ujar Nicky lemas. Dengan lunglai ia melangkah meninggalkan toko
itu.
Entah
ini sudah toko keberapa yang di hampirinya. Dengan semangat yang sudah tak
seberapa, ia memaksa diri untuk masuk dan kembali bertanya kepada petugas
disana.
“Ada,
si sebelah sana.”
Akhirnya.
Batin Nicky. Ia berjalan ke arah yang ditunjukkan petugas tadi. Begitu buku itu
sudah didepan mata, Nicky tak buang-buang waktu dan langsung menyambarnya.
Namun ada sedikit pengganggu. Begitulah yang dirasakan Nicky. Bersamaan, tangan
seseorang juga meraih buku itu berbarengan dengannya. Nicky menoleh, seorang
cewek, itu Najwa. Tapi jelas saja Nicky tak mengenalnya. Begitu pula dengan
Najwa. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung buku dan saling menarik ke
arah mereka.
“Ini
buku gue.” Kata Najwa.
“Gue
yang liat buku ini duluan. Jadi ini milik gue.” Balas Nicky tak mau kalah.
“Udah deh. Gue buru-buru.
Lo minta cariin yang laen aja sama petugasnya.” Najwa juga tak mau kalah.
“Emang
lo doank yang…” Perkataan Nicky terhenti begitu merasakan ponselnya bergetar.
Konsentrasi
Nicky yang terpecah langsung dimanfaatkan oleh Najwa untuk merebut buku itu.
Namun ia tak segera membawa lari buku itu, karena ponselnya juga berdering.
“Oke.”
Nicky mengakhiri pembicaraannya. Ia siap kembali buka mulut untuk
mempermasalahkan buku tadi lagi, namun ia segera mengurungkan niat karena
dilihatnya Najwa yang masih di sana terdiam. Rasanya ada berita yang kurang
mengenakkan.
Najwa
menunduk. Bibirnya bergetar. Ia tak sanggup bicara. Nicky pun tak tega untuk
merebut apalagi mengambil paksa buku yang kini di dekap erat oleh Najwa. Nicky
menunggu sampai cewek itu mengakhiri pembicaraannya melalui telepon. Namun tak
disangka, Najwa justru menyerahkan buku yang telah sekuat tenaga
dipertahankannya.
“Gue
udah gak butuhin itu lagi.” Ujar Najwa kemuadian pergi meninggalkan Nicky yang
masih terpaku pada langkahnya.
@@@
Najwa
memasukkan mobilnya ke halaman rumah. Segera ia berlari masuk. Begitu membuka
pintu…
“Ka
Vendi…” Ucap Najwa begitu mendapati kakaknya di depan pintu dengan membawa
ransel besar di punggungnya serta sebuah koper yang cukup besar juga.
“Jaga
diri.” Hanya itu yang diucapkan Vendi sambil mengusap kepala Najwa, kemudian
mencium kening adiknya lalu pergi dari sana.
“Ka
Vendi…” Najwa berusaha menyusul kakaknya namun tangannya ada yang menahan.
Najwa berbalik. “Zaq, lepasin gue.” Pintanya pada sang adik.
“Lo
gak tau apa yang terjadi.” Kata Zaquan, sama sekali tak meluluskan permintaan
Najwa. “Dan sekarang, giliran lo.” Ujarnya sambil menarik tangan Njawa.
Mata
Najwa terbelalak. Ia sama sekali tak mengerti dengan perkataan Zaquan. Najwa di
seret hingga ruang tengah. Di sana sudah berada kedua orang tuanya. Najwa dan
Zaquan duduk di hadapan mereka.
“Ma,
kenapa ka Vendi diusir?” Tanya Najwa berusaha tanpa mengurangi rasa hormatnya.
“Itu
bukan urusan kamu.” Ujar mamanya tegas. “Dan jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Ada
saksi mata yang liat lo ngehajar Rio di lapangan basket.” Kata Zaquan
menambahkan.
Najwa
melirik Zaquan yang duduk di sampingnya.
“Terus?
Najwa di skors?” Tanya Najwa menantang. Tak ada yang bisa ia fikirkan dengan
jernih. Perginya sang kakak cukup membuatnya hancur.
“Nggak.”
Papanya yang menjawab.
Najwa
berdecak dan menyandarkan badannya. ‘Kenapa nggak skors aja sih? Jadi kan gue
punya alasan buat gak ketemu playboy cap dodol itu.’ Batin Najwa. Kecewa
nampaknya.
“Tapi
kamu dikeluarkan dari Priority.” Lanjut papanya. “Kamu harus terlepas dari bayang-bayang
Vendi.”
Najwa
terbelalak. Ia bangkit setelah sebelumnya bersandar. Entah harus senang atau
sebaliknya. “Serius?” Tanya Najwa dengan ekspresi yang sulit dikatakan.
“Sekarang,
bereskan semua yang bersangkutan dengan Priority.” Perintah mamanya. “Lusa,
kamu sudah bisa sekolah di Deportiva.”
“Kenapa…”
“Kamu
gak punya hak untuk memilih sekolah.” Sergah mamanya sebelum Najwa dapat
menyelesaikan kata-katanya, lalu beranjak dari sana. Kemudian diikuti sang
papa.
“Lo
tau apa yang terjadi sama ka Venda?” Tanya Zaquan yang masih di sana. Tepat
ketika Najwa kembali menyandarkan badannya ke sofa. Tapi sepertinya lebih tepat
Zaquan seolah mengajak Najwa bermain tebak-tebakan.
Najwa
tak menjawab. Tanpa ingin mendengar apapun lagi, Najwa beranjak dari sana.
@@@
Nicky
memarkirkan mobil yang biasa dikendarai Ricky di garasi rumahnya. Ia langsung
bergegas menuju kamar Ricky, tak ada siapapun di sana. Kemudian menuju kamar
Vicky, di sana sang pemilik kamar tengah berada di depan meja belajar berkutat
dengan beberapa buku pelajaran dan laptop.
“Mana
bukunya?” Pinta Vicky begitu menyadari Nicky berada diambang pintu kamarnya.
Nicky
menyodorkan tas plastic berisi buku pesanan Vicky. “Kok Ricky belom pulang?”
Nicky bertanya dengan cukup cemas.
Vicky
melirik jam tangannya. Hampir setengah Sembilan malam. Lalu menggedikkan bahu.
“Mungkin bentar lagi.”
Nicky
terlihat panic sambil mengacak-ngacak rambutnya. “Dia kan bawa motor, walau
macet, seenggaknya bisa nyalip kanan kiri.” Lanjut Nicky. “Gue juga gak mungkin
nelpon Venda pake nomornya Ricky.”
Vicky
mengehela napas. Ia mengerti apa yang dirasakan kembarannya itu. Vicky meraih
ponselnya di atas meja belajar, lalu menekan sederetan angka.
Nicky
yang baru saja membaringkan tubuhnya di kasur, langsung dikejutkan dengan suara
ponselnya yang tiba-tiba berdering. Di layar tertera nama ‘VICKY’. Nicky tak
menjawabnya, melainkan menatap ke arah Vicky yang menempelkan ponselnya ke
telinga dengan posisi membelakanginya. “Woy!” Nicky berteriak sambil melempar
bantal tepat mendarat di belakang kepala Vicky.
Vicky
yang kaget, langsung berbalik dan mendapati Nicky menunjuk-nunjuk layar ponsel.
Di sana masih tertera nama ‘VICKY’. Vicky sendiri akhirnya langsung ingat kalau
Nicky dan Ricky tukeran handphone sepulang sekolah tadi. “Sory gue lupa.” Ucap
Vicky sambil nyengir.
Nicky
kembali membaringkan badannya.
@@@
Minggu
pagi. Najwa harus bisa sedikit menepis permasalahannya yang akhir-akhir ini
terjadi. Dengan mengenakan kaus bola timnas Indonesia, celana tiga perempat dan
sepatu olahraga, Najwa langsung meluncur bersama mobilnya menuju taman yang
ramai dikunjungi orang banyak untuk olahraga. Setelah setengah jam berkeliling,
lumayan capek juga. Akhirnya Najwa menyerah lalu berkeliling mencari minuman
dan duduk di sebuah kursi panjang.
Biasanya
tiap minggu pagi, tak jauh dari taman ada lapangan yang kini beralih fungsi
menjadi transaksi jual beli meski levelnya hanya pedagang kaki lima. Meski
berasal dari keluarga berada, Najwa sama sekali tak malu untuk berburu
barang-barang yang dijual disana. Termasuk hari ini. Walau awalnya hanya iseng
berkeliling dan tak berniat membeli sesuatu, nampaknya Najwa tak bisa menahan
diri begitu melihat jam tangan sport terutama yang berwarna merah. Ada sekitar
empat sampai lima model, dan Nalula memilih dua diantaranya.
Najwa
siap kembali ke mobilnya. Tanpa sadar, kedua tangannya kini telah penuh dengan
barang-barang yang baru saja dibelinya. Najwa terkekeh sendiri melihat
kelakuannya. Di tengah-tengah perjalanan, tubuh Najwa menabrak seseorang hingga
membuatnya terdorong dan jatuh ke belakang.
“Maaf,
gue gak sengaja.” Kata orang di hadapan Najwa sambil mengulurkan tangannya.
Najwa
mendongak sesaat, lalu meraih tangan itu. Seseorang yang menabraknya adalah
Vicky yang juga baru selesai olahraga.
“Gapapa
kok.” Ujar Najwa sambil memungut barang-barang belanjaannya dibantu juga oleh
Vicky. “Saya juga tadi gak focus jalannya, jadi gak nyadar kalo ternyata ada
orang.”
“Boleh
tanya sesuatu?” Vicky meminta izin.
“Tanya
apa?”
Vicky
merogoh saku celananya. Ia mengambil secarik kertas dari dalamnya. “Tau alamat
ini?” Vicky menunjukkan tulisan yang tertera pada kertas itu.
Najwa
membaca sambil berfikir. “Gak begitu jauh dari sini kok.” Najwa melihat ke arah
jalan sambil menunjuknya. “Kamu keluar aja, terus belok kiri. Gak jauh dari
situ perumahannya. Kalo dari sini adanya di sebelah kanan.” Jelasnya.
Vicky
hanya mengangguk tanda ia mengerti. Najwa membaca sekali lagi alamat itu
sebelum akhirnya mengembalikan ke Vicky.
‘Jalan
garuda 8 nomor 23? Kayaknya pernah denger. Rumah siapa ya?’ Najwa bertanya
dalam hati. Tak lama, ia seperti teringat sesuatu. ‘Astaga! Bego banget sih!
Itu kan rumah gue!’ sungutnya kemudian menatap Vicky yang masih berada di sana.
‘Jangan-jangan ini cowok nyari ka Venda?’
“Makasih
ya.” Ujar Vicky.
“Sama-sama.”
Najwa tak ingin berlama-lama berada di sana. Ia langsung ngeloyor pergi
meninggalkan Vicky. Berjalan ke arah berlawanan dengan jalan yang tadi ia
tunjukkan ke Vicky.
Meski
Vicky berusaha menahannya, Najwa tampak tak peduli. Ia terus berjalan sedikit
cepat hingga tanpa sadar telah melewati mobilnya yang terparkir. Tapi akhirnya
Najwa menyerah dan berhenti. Bukan karena Vicky yang terus mengejar, tapi
lantaran ia baru menyadari kebodohannya meninggalkan mobilnya yang hanya
berjarak beberapa meter darinya.
“Kamu
anak SMA Priority ya?”
‘Tuh
kan bener feeling gue. Nih cowok pasti kenal ka Venda. Banyak yang bilang gue
sama ka Venda mirip banget. Cuma bedanya gue rada tomboy.’ Batin Najwa.
“Sory
kalo ternyata gue salah.” Vicky langsung meralat ucapannya. “Gue Cuma merasa
kayak pernah ketemu lo. Tapi gak tau kapan dan dimana.” Jelasnya, kali ini
sambil melepas kacamatanya.
Mata
Najwa terlihat melebar. “Lo yang kemaren di toko buku kan? Sempet rebutan buku
sama gue juga.” Najwa menjelaskan kronologi kemungkinan mereka pernah bertemu.
Meski yang sebenarnya ia temui di toko buku itu bukan Vicky, tapi Nicky.
“Kemaren?
Toko buku?” Vicky yang bingung hanya mengulangi pertanyaan yang dilontarkan
Najwa. “Gue gak kemana-mana. Gak ngerasa ke toko buku juga.”
“Owh.
Yaudahlah.” Najwa pasrah lalu berbalik untuk kembali pergi.
‘Jangan-jangan
yang dia maksud ketemu di toko buku, itu Nicky?’ tanya Vicky dalam hati. “Eh,
tunggu!” Vicky kembali memanggil Najwa. “Lo mau kemana?”
Najwa
berbalik namun tak menghentikan langkahnya. Ia berjalan mundur. “Pulang.” Jawabnya,
kemudian berbalik lagi.
“Ya
pulangnya kemana?” Vicky kini telah berada di samping Najwa. “Gue anter deh,
anggep aja tanda terima kasih gue karena lo udah ngasih tau gue alamat yang
tadi. Sama…” Ucapan Vicky menggantung.
Najwa
berhenti dan menoleh. “Sama apa?” Ia meminta Vicky melanjutkan kata-katanya.
“Sama…
Tadi lo gak marah-marah waktu gue tabrak.”
Cape
deh. Kirain apa? Batin Najwa. Ia kembali berjalan. Vicky pun mengikuti.
“Makasih atas tawarannya. Tapi rumah gue udah deket kok. Tuh gerbangnya.” Najwa
menunjuk gerbang sebuah kompleks perumahan di ujung jalan sana. Meski
sebenernya gak bisa dibilang deket juga, apalagi sama posisi Najwa berada
sekarang.
Vicky
memakai kembali kacamatanya. Memastikan kebenaran perkataan Najwa. “Apanya
deket?”
“Udahlah.
Nyantai aja. Banyak ojek kok. Lagian, gue juga mau mampir kerumah temen dulu.”
“Oke…”
kali ini Vicky tak bisa memaksa. “Sekali lagi makasih ya.” Ujar Vicky lagi,
sebelum akhirnya berbalik dan pergi.
Setelah
berjalan beberapa langkah, Najwa berhenti dan berbalik untuk memastikan
keberadaan Vicky. Dari kejauhan ia melihat Vicky masuk ke dalam mobil dan
pergi. Dan Najwa pun langsung bernapas lega. Dirasa sudah aman, Najwa berlari
ke mobilnya.
@@@
Vicky
menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Ia menatap gerbang perumahan
diseberangnya. Itu adalah perumahan yang memang sedang ia cari. Kompleks
perumahan elit. Dari dalam kaca spion, Vicky melihat sebuah mobil berwarna
merah. Itu salah satu mobil yang tadi terparkir di sekitar taman. Vicky sangat
mengingatnya kerena terdapat aksesoris bernuansa sepakbola di bagian dasbornya.
Dan yang paling mencolok adalah warnanya. Mobil itu menjadi satu-satunya yang
berwarna merah saat di parkiran tadi.
Kini
mobil itu sejajar dengan mobilnya. Vicky langsung menjamkan pandangan untuk
melihat siapa pengendaranya. Ternyata seorang cewek. Mengenakan kaus berwarna
merah juga. Sama seperti… “Cewek yang tadi.” Gumam Vicky pelan. Pandangannya
tak lepas dari mobil Najwa yang kini berbelok dan memasuki gerbang perumahan
itu.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar