“ILAN…?”
Devon ngeloyor masuk dan langsung
duduk di samping Ilan yang sibuk menyalin catetan Fisika milik teman sekelasnya
yang lain.
“Apa?” sahut Ilan tanpa menoleh
sedikitpun.
“Biasa.” Balas Devon santai.
Akhirnya Ilan melirik. “Buat siapa?”
“Kayla, anak IPA 3.”
“Bayarannya?”
“Beres. Udah gue siapin.”
Ilan mangut-manggut seolah mengerti.
“Kayak apa orangnya?”
Tanpa pikir panjang, Devon menarik
tangan Ilan keluar kelas. Mereka tiba di pinggir lapangan yang kala itu terlihat
cukup ramai. Devon menunjuk salah satu sudut lapangan yang diisi oleh
sekumpulan anak yang berdiri berbaris sambil membawa toya bambu.
“Ooohh…. Anak PASKIBRA?” Celetuk Ilan
sekenanya.
“Bukan! PASKIBRA yang di sana.” Devon
sambil memalingkan wajah Ilan ke sudut yang lain. Hampir sama seperti yang
tadi. Mereka baris dalam satu pleton, tiga diantaranya berdiri di sekitar tiang
bendera.
“Bisa kan?”
“Oke.. Pulang sekolah.” Jawab Ilan
enteng.
*****
Ilan berdiri di dekat pintu gerbang
bersama seorang temannya yang lain, Dendi. Motor Devon berhenti tepat di depan
mereka.
“Gimana, Lan? Udah?” Tanya Devon
setelah membuka kaca helmya.
“Nih.” Ilan menyodorkan kertas yang
terlipat kea rah Devon dengan mengapit kertas itu menggunakan dua jari. “Semoga
sesuai keinginan deh.”
Sesaat setelah Devon membuka kertas
itu, Devon kembali melipat dan memasukkannya ke dalam saku celana abu-abunya.
“Siipp.. Gue suka.” Pujinya sambil membuka ranselnya. Nih buat lo. Belom punya
kan?”
Ilan meraih sebuah buku dari tangan
Devon. Nampaknya sebuah komik. Wajah Ilan langsung terlihat sumringah. “Waahh…
Thanks ya? Tau aja gue lagi nyari ini.” Ujar Ilan sambil menepuk pelan pundak
Devon.
“Hehe…” Devon Cuma nyengir.
“Devon.”
Seseoran nampaknya menyebut nama
Devon. Sang pemilik nama menoleh. Tak terkecuali Ilan dan Dendi.
“Makasih ya catetannya?” kata cewek
itu sambil menyodorkan sebuah buku tulis kearah Devon.
“Udah?” Tanya Devon.
“Iya.” Balas cewek itu penuh senyum
sebelum berlalu.
“Dev. Siapa tuh?” sergah Dendi tiba-tiba.
“Kok gue gak pernah liat?”
“Jelas lo gak pernah liat. Dia anak
baru di kelas gue.”
“Hmm! Pantesan? Namanya siapa?” Dendi
penasaran.
Ilan yang berada di tengah-tengah
Devon dan Dendi hanya bisa memandang ke dua temannya secara bergantian.
*****
“Namanya Nissa.” Suara Devon masih
terngiang di telinga Ilan.
Ilan mulai kembali menorehkan sesuatu
di kertasnya. Gak beberapa lama, ia meremas kertas tadi dan melemparnya ke
tempat sampah di samping meja belajarnya.
Satu pesan masuk di ponselnya. Dari
Dendi.
‘besok
latihan jam 4 di tempat biasa. Lan, sepatu gue jangan lupa bawa’
Ilan meletakkan kembali ponselnya di
meja. Lalu menyandarkan badannya di kursi. Kemudian kembali meraih selembar
kertas dan pulpennya. Lumayan lama Ilan hanya menatap kertas putih di
hadapannya sebelum menuliskan ‘NISSA??’.
*****
“Sory gue telat.” Kata Ilan kepada
Dendi yang langsung menghampiri Ilan di pinggir lapangan futsal. “Nih sepatu
lo.” Kata Ilan lagi yang kali ini sambil melemparkan sepasang sepatu ke arah Dendi.
Kemudian Ilan berlari menyusul Dendi ke tengah lapangan.
“Jo..! oper ke gue.” Teriak Ilan yang
langsung nimbrung ke tengah-tengah pertandingan.
Sekilas, Ilan melihat seorang cewek di
deretan bangku penonton. Cuma ada dia di sana. Ilan mempertegas pandangannya.
Tak jelas terlihat wajahnya. Karna cewek itu menutupi wajahnya dengan sebuah
buku.
Pas banget Dendi berada di dekat Ilan.
“Den, siapa tuh cewek?”
“Itu kan cewek yang kemaren balikin
bukunya Devon. Inget gak?”
Ilan diam.
“Udah ayo main lagi.” Ujar Dendi yang
langsung kembali focus ke permainannya.
*****
Ternyata benar yang dikatakan Dendi.
Cewek itu Nissa. Kini Ilan dapat melihatnya dengan jelas. Beberapa kali Ilan
terlihat memberikan sedikit senyuman untuk Nissa. Sampai seseorang datang
menghampiri Nissa. Salah satu pemain yang tadi berada di lapangan yang sama
dengan Ilan, Devon, dan Dendi.
Devon mendapati Ilan masih menatap ke
arah Nissa dan seseorang di sebelahnya. “Ngeliatin Nissa apa Faris?” ledek
Devon.
Ilan tak menjawab. Ia lebih memilih
untuk beranjak dari sana sambil menenteng ranselnya.
Dendi yang juga berada di sana hanya
menggelengkan kepala perihal sikap yang di tunjukkan Ilan. “Kenapa tuh anak?” Tanya Dendi yang pasti di
tujukan ke Devon.
Devon sendiri hanya bisa mengangkat
bahunya.
*****
“Jeleknya Ilan tuh kalo jatuh cinta
gak bisa bikin puisi buat dikasih ke cewek itu.” Ujar Devon ketika mereka,
Ilan, Devon dan Dendi berada di kamar Ilan.
“Jadi lo beneran naksir sama tuh
cewek?” Tanya Dendi yang duduk di tepi jendela. Tepat ketika Ilan baru masuk
sambil membawakan tiga minuman kaleng.
Sesaat Ilan diam. “Gue gak tau.”
“Terus ini apa?” kata Dendi. Sontak
Ilan dan Devon memandang ke arahnya.
Dendi memamerkan secarik kertas dengan
tulisan ‘NISSA??’ yang cukup jelas terlihat dengan tulisan sedikit besar.
Ilan melebarkan matanya. “Dapet dari
mana lo?” sergah Ilan.
“Nemu di meja.”
“Masih mau mungkir?” Ledek Devon.
“Mungkir apa?” Balas Ilan.
“Ya udah kalo gak mau ngaku. Jangan
salain kalo gue juga naksir sama dia.” Pengakuan Dendi membuat Ilan semakin
diam.
*****
Pagi itu Nissa menemukan secarik
kertas dalam sebuah amplop biru muda di laci kolong mejanya. Penasaran, ia
membuka dan menatapi isinya sebentar. Lalu kembali menutup dan memasukkannya ke
dalam ransel.
Tapi begitu sampai dirumah, Nissa
langsung menuju kamar dan melayangkan surat yang di dapatnya ke dalam tempat
sampah.
*****
Ilan terlihat baru keluar dari toko
buku sambil menenteng sebuah tas plastic. Sedikit merasa ada yang aneh terhadap
barang bawaannya, Ilan membuka tas plastic itu. Ia sedikit terkejut melihat
isinya.
“Komik Naruto?” suara seseorang
dibelakangnya.
Ilan berbalik. Ternyata itu Nissa yang
juga baru keluar dari toko yang sama dengannya sambil menenteng komik Naruto.
Ia menatap apa yang ada di tangannya. Ternyata novel Harry Potter.
Posisi mereka yang tidak jauh membuat
Nissa juga dapat melihat yang di bawa Ilan.
“Kayaknya barang kita tertukar?” Ujar
Nissa pelan.
“Novel Harry Potter ini punya lo?”
Ilan balik bertanya.
Nissa mengangguk. “Eh, lo bukannya
temen Dendi?”
‘Dendi? Jadi mereka beneran udah
kenal?’ batin Ilan. “Kok tau?” Tanya Ilan pura-pura.
“Iya. Gue liat pas kalian main futsal
kemaren.”
Ilan tanpa ekspresi menanggapi jawaban
Nissa yang menurutnya terlalu mustahil Nissa mengetahuinya hanya dalam satu
kali pertemuan tanpa berkenalan.
“Ini buku lo kan?” Nissa membuyarkan
pikiran Ilan.
“Eh, iya.” Ilan kurang siap
menanggapinya. Lalu ia menyodorkan buku yang ada di tangannya.
Begitu pula dengan Nissa. Dengan
sebelumnya memasukkan kembali komik itu ke dalam tas plastic yang ada di
tangannya, lalu menyodorkan semuanya.
Ilan tampak heran.
“Sorry ya. Kayaknya buku gue masih ada
lagi di situ.” Nissa menunjuk kea rah tas plastic di tangan Ilan yang satunya
tanpa ingin menyinggungnya.
Tapi Ilan buru-buru memeriksa apa yang
diinginkan Nissa. Ternyata isinya sebuah novel remaja berjudul ‘Soccer Love’
dan sebuah buku biografi milik pesepakbola Indonesia, ‘Bambang Pamungkas’.
‘Sepakbola? Cewek ini…?’ Tanya Ilan dalam hatinya.
*****
Ilan bersandar tepat di depan
kelasnya. Dari kejauhan, tampak Dendi yang memang sejak tadi ditunggunya
bersama Nissa. Mereka berpisah ketika Nissa sampai di depan kelasnya. Tinggal
Dendi sendiri berjalan mendekati Ilan, yang memang tujuan utamanya.
“Pagi Ilan. Makin cakep aja pagi ini?”
Ledek Dendi diiringi senyuman jail dan kedipan sebelah matanya.
Tapi sama sekali nggak berpengaruh
semua pujian Dendi yang dilayangkan kepadanya. “Makin deket aja lo sama tuh
cewek?” Tanya Ilan yang terdengar kesannya menyindir.
“Oh.. Nissa?” Dendi memastikan.
“Ternyata lo membenarkan apa yang lo
bilang kemaren di rumah gue?” Suara Ilan terdengar semakin tak bersahabat.
“Udah lupa sama Nalula?” tambah Ilan.
“Hahaha..” malah tawa Dendi yang
terdengar. “Bukannya lo kemaren yang bikin gue ngambil kesempatan ini. Lo
bilang gak mau sama Nissa. Ya jangan salain gue? Lagi pula kans gue deket sama
Nissa lebih besar. Dari pada gue ngejar Nalula yang blom pasti bisa dapet apa
nggak.”
“Devon?”
“Kok kesannya lo gak suka gue
deket-deket Nissa?”
“Bukannya gue gak suka. Cuma
peringatin aja. Cintanya ditolak sama Kayla yang baru jadian sama Faris. Apa lo
gak mikir sama kayak gue? Apalagi mereka sekelas.”
“Lo inget kan Devon gak suka sama
cewek penggemar sepakbola? Dan lo harus tau satu hal, Nissa suka banget sama
sepakbola. Itu bertolak belakang dengan Devon.” Ujar Dendi sambil nyengir. “So,
gue gak ada saingan donk.”
‘Jadi bener yang gue pikirin tentang
Nissa?’. Tapi Ilan tampaknya tak kehabisan akal. “Gimana dengan Faris?”
“Oiya.”
Gantian Ilan yang tersenyum.
“Tapi nanti juga lo tau.” Dendi
membuat Ilan terlihat kalah. “Oiya. Bukunya Nissa kebawa sama gue nih. Gue
balikin dulu ya ke kelasnya.” Dendi berlalu begitu saja tanpa menunggu persetujuan
Ilan.
‘Buku?’ kekhawatiran Ilan terjadi.
Buku biografi ‘Bambang Pamungkas’ yang dilihatnya kemaren bersama Nissa, kini
berada di tangan Dendi.
*****
Udah seminggu lebih Nissa mengalami
kejadian yang sama. Tiap pagi ia menemukan amplop dengan warna dan bentuk yang
sama dengan sebelumnya di kolong laci mejanya. Dan semua amplop yang di
temukannya pasti akan bernasib sama seperti yang sudah-sudah. Disimpan di
tempat sampah yang ada di kamarnya.
Dan hampir selama itu pula sebenarnya
Nissa sering memperhatikan Ilan dan kawan-kawan
bermain bola di lapangan sekolah.
Meski selama itu pula, kecurigaan Ilan
perihal kedekatan Nissa dan Dendi semakin tidak bisa dipungkiri. Dan tampak
ironis bagi Ilan, mereka terlihat melintas di hadapannya yang kala itu juga bersama
Devon.
“Yang diomongin tuh anak kejadian
juga?” kata Devon yang sedikitpun tak melirik kea rah Ilan.
“Ya udahlah biarin aja.” Ilan
terdengar pasrah.
“Gak gitu juga, Lan?” Devon manatap
Ilan dengan sedikit terkejut atas pernyataan temannya.
Mata Ilan terlihat melebar. “Lo…?”
Seakan mengerti arah bicara Ilan,
Devon meyambarnya. “Setelah PDKT gue ke Kayla musnah, gue rasa gak ada
salahnya.” Ucap Devon terdengar santai.
Kini malah ILan yang terlihat panic.
“Apa lo belom tau kalo Nissa itu…?”
“Suka bola?” lagi-lagi Devon mengerti
maksud dari gelagat aneh Ilan.
Ilan diam. Rasanya ia adalah orang
terakhir di dunia ini yang mengenal Nissa. Terlebih dari kedua temannya.
Devon tersenyum geli. Ilan semakin gak
berkutik. “Setelah gue piker-pikir. Jahat banget gue ngebatasin ruang gerak
seseorang. Apalagi di bola. Kalo gue larang, ngapain juga gue main bola.”
*****
‘Apa berarti gue juga jahat? Gue suka
bikin puisi buat temen-temen gue. Tapi gue malah gak suka sama cewek yang segampang itu luluh
hanya karena kata-kata yang di ragukan kebenarannya.?’
Gejolak batin Ilan.
Hanya ada satu nama yang terlintas
dipikirannya. FARIS.
*****
“Mereka deket karena Dendi naksir
temennya Nissa, Nalula.”
Pikiran Ilan semakin gak karuan. Entah
yang dilakukannya ini benar atau salah. Meski kadang ia sendiri gak mengerti
dengan apa yang ia lakukan.
“Kalo gak percaya, lo liat aja tuh.”
Faris menunjuk ke arah koridor yang paling dekat dengan lapangan parkir
sekolah.
Ilan melihat kea rah yang ditunjuk
jari tangan Faris.
Terlihat Dendi bergandeng tangan
dengan seorang cewek yang bisa di pastikan itu bukan Nissa.
“Jadi Dendi gak bener-bener naksir
sama Nissa?” Ilan berharap Faris tak mendengar dan pertanyaannya tak di jawab.
Itu sebabnya ia hanya bersuara dengan sangat pelan. Tapi nampaknya Ilan salah.
“Sama sekali nggak. Mereka dekat
karena ada niat dari mereka masing-masing.” Penjelasan Faris belum bisa membuat
Ilan tenang.
“Lo sendiri?”
Faris tersenyum. “Hei, dapet pikiran
dari mana kalo gue juga naksir? Nissa tuh sepupu gue.”
*****
Pagi itu suasana sekolah masih sedikit
sepi. Nissa bisa melihat beberapa anak berseragam olahraga bermain futsal dari
balkon depan kelasnya yang berada di lantai atas.
Satu hal yang nampaknya membuat Nissa
betah berlama-lama di sana. Karena Ilan berada diantaranya.
Tapi sepertinya tidak hari ini. Sesaat
sebelum Ilan menyadari kehadirannya, Nissa memilih menghindari kejadian itu.
*****
Nissa kembali ke kelasnya yang masih
kosong. Hanya ada satu orang di sana. Merasa ada sesuatu yang aneh, Nissa
langsung menghampiri orang itu yang berada di dekat mejanya dan menyergap
tangannya.
Orang itu menoleh.
“Devon?” Nissa tampak terkejut. “Lo
ngapain?” Nissa langsung terpaku pada benda di tangan Devon. Surat yang dalam
satu minggu terakhir menghantuinya. “Jadi selama ini, itu perbuatan lo?”
*****
Ilan kembali ke kelas dengan masih
menggunakan seragam olahraga.
‘Devon benar, gue harus contoh dia.
Mungkin mulai sekarang gue harus coba dengan cara yang gue suka. Puisi. Tapi
untuk hal ini, bukan puisi sembarangan. Ini special.’
Ilan terus bergumam dalam hati.
*****
“Puisi, Nis?”
Ada orang lain diantara Nissa dan
Devon. Ternyata itu Faris.
“Bukannya selama ini lo gak suka sama
puisi? Makanya, puisi-puisi yang lo dapet selalu lo buang ke tempat sampah
kan?”
Pernyataan Faris membuat Devon sedikit
membuka mulut dan melebarkan mata seolah ia tak percaya dengan apa yang
didengarnya.
“Jadi lo ngasih puisi, Dev?” Dendi
muncul tiba-tiba dari arah pintu. Sedikit berada di belakang Faris.
“Nggak, Den…”
“Lo gimana sih?” Dendi menyambar
kata-kata Devon yang masih menggantung. “Masa lo malah saingan sama Ilan?”
“Gue ngelakuin ini juga buat Ilan,
Den.” Devon membela diri.
Belum sempat Dendi membuka mulut, Ilan
muncul dari belakangnya.
“Kalian pada di sini? Tumben. Ada
acara apa?” Ilan berkata tanpa ada rasa curuga sedikitpun.
“Lan…” Dendi tidak melanjutkan
kata-katanya setelah melihat sesuatu yang dibawa Ilan. “Gue saranin jangan
deh,Lan.”
Dendi tampak aneh dengan begitu saja
merebut amplop yang sama seperti Devon dari tangan Ilan. Lalu merobeknya
menjadi due bagian.
“Eh, apa-apaan lo?” entah marah atau
tidak, jelas Ilan kaget perihal sikap Dendi.
“Udah deh, dengerin aja. Dari pada lo
nyesel.” Entah hal apa yang membuat Dendi sekuat tenaga meyakinkan Ilan.
“Tapi kayaknya lo yang bakal nyesel,
Den.” Ilan pun akan merasa lebih menyesal jika tak memberitahukan kepada Dendi.
“Karna itu puisi yang lo minta buat Nalula.” Ilan cukup terdengar hati-hati
mengatakannya.
Dendi cukup kaget dengan hanya
menatapi sobekan kertas di tangannya. “Yakin?”
“Lo pikir…?”
“Gue Cuma mikir, kalo ternyata lo
beneran suka sama Nissa, jangan pake puisi buat ngedeketinnya.”
Senyum Ilan perlahan memudar. “Maksud
lo?”
“Kalo emang lo suka sama Nissa,
mending lo bilang aja. Gue sama Devon gak pernah punya perasaan apa-apa ke
Nissa. Karena gue udah punya Nalula, dan Devon sama Kayla. Niat kita Cuma buat
bantuin lo. “
“Dev, jadi lo…?” jelas, Ilan mengarah
ke Devon. “Bukannya lo bilang Faris…?”
“Iya Lan. Sory, gue jadi sama Kayla
berkat lo. Kalo Faris… Kan yang punya nama Kayla di sekolah ini gak Cuma satu.”
Lalu Devon beralih kea rah Nissa berada. “Dan lo juga, Nis. Maafin gue. Gue gak
tau lo gak suka puisi. Tapi satu hal yang lo harus tau. Ilan suka sama lo.”
“Maaf lo bilang! Gak segampang itu,
Dev.” Nissa terlihat cukup kesal. Tanpa sedikitpun menatap kea rah Devon.
“Kita tau lo kecewa. Dan sebagai
gantinya, kita bakal nurutin apa aja yang lo mau.” Kata Dendi yang
kedengarannya seperti rayuan.
“Yakin?”
“Apapun, Nis.” Devon menimpali.
“Oke.”
Devon dan Dendi tersenyum lega. Termasuk juga Ilan dan Faris.
Devon dan Dendi tersenyum lega. Termasuk juga Ilan dan Faris.
“Besok ada big match Persija lawan
Arema di senayan. Gue minta kalian beliin tiketnya.” Kata Nissa enteng.
Devon dan Dendi terlihat saling
berpandangan. Berharap satu dari mereka menemukan soluisinya.
Faris hampir tertawa dibuatnya.
Sementara Ilan terlihat berjalan
mendekati Nissa. Memeriksa sesuatu di dalam saku celana olahraganya. “Ini yang
lo mau, Nis?”
Mereka dibuat terperangah oleh sesuatu
yang di pegang Ilan. Tiket pertandingan sepakbola yang dimaksud Nissa.
Hehe. Sebenarnya niat Nissa hanya
ingin mengerjai Devon dan Dendi. Tapi kalo gini kejadiannya, apa boleh buat.
Nissa meraih ujung tiket yang dipegang
Ilan. “Ketauan deh obat ampuh buat ngeluluhin gue.” Ujarnya malu-malu sehingga
menyulutkan tawa di antara teman-temannya.
>>>>>>>>>>>>the
end <<<<<<<<<<<<<
='mso� j)- o �OO =N “Ngapain lo ngikutin gue?” Ceplos
Nalula.
“Enak aja gue ngikutin lo?” Lingga
membela diri. “Gue tuh emang mau kesini. Rumah temen gue, Firant.”
“Ini tuh juga rumah tante gue.” Nalula
juga gak mau kalah.
Sampai
akhirnya seseorang tampak membuka pintu pagar. Seorang cowok seumuran mereka
muncul dari baliknya. “Ya ampun ternyata kalian.” Ujar Firant ketika tau yang
berada dihadapannya adalah Nalula dan Lingga. “Gue pikir siapa ribut-ribut di
depan rumah gue?”
“Tante
Karin ada, Fir?” Tanya Nalula yang ingin cepat-cepat lepas dari sosok Lingga.
“Ada
di dalem. Biasa deh, lagi masak. Masuk aja gih.”
Tanpa
menunggu apa-apa dan selagi yang punya rumah udah ngizinin, Nalula masuk ke
dalam meninggalkan Lingga bersama Firant.
Nalula
langsung menuju dapur tempat tantenya berada. Seperti yang di katakan Firant,
kalau tantenya lagi masak. “Sore tante.” Nalula memulai.
Seorang
wanita berjilbab, cantik, menoleh ke arahnya. “Hai… Nal.” Nalula mendekat dan
langsung mencium tangan serta memeluknya.
“Apa
kabar tante?” Nalula kembali berbasa-basi.
“Alhamdulillah.
Pas banget kamu kemari. Tante baru aja selesai masak, Nalula ikutan makan ya?”
Nalula
nyengir. “Kalau soal makan mah Nalula gak nolak tante. Hehe..”
“Kamu bisa aja, Nal.” Tante Karin pun
sampai tertawa dibuatnya. “Yaudah yuk kita makan.” Tante Karin membawa Nalula
ke ruang makan.
Baru
aja Nalula duduk di salah satu kursinya, Lingga dan Firant muncul. Langsung
saja mereka ikut bergabung di meja makan. Tak lupa seperti halnya Nalula,
Lingga mencium punggung tangan tante Karin.
“Kok
kamu udah lama di Jakarta tapi baru ke rumah tante sekarang sih?” Tanya tante
Karin di sela-sela makan mereka.
“Iya
tante. Maaf ya. Nalula masih ngurusin buat sekolah soalnya.”
“Gapapa
kok, Nal. Tante juga ngerti.”
“Ada
berita apa nih, Nal?” Firant iseng ikutan bertanya.
Nalula
yang akan menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulut, mengurungkan niat setelah
mendengar pertanyaan Firant. Ia teringat kejadian tentang ibunya Diaz. “Tante
kenal sama ibu Vindhya?” ujar Nalula
yakin.
“Itu
nama ibunya Diaz kan ya, bun?” Firant balik bertanya kepada ibunya.
Lingga
sebenarnya langsung mengerti dengan arah bicara Nalula. Hanya saja ia lebih
mempersiapkan diri karena secara gak langsung, Nalula juga memberitahukannya.
Tapi kayaknya, kali ini terasa lebih berat karena diam-diam Lingga telah
mengetahui hal ini.
“Memangnya
ada apa dengan ibu Vindhya?”
“Tante
pasti tau jawabannya.”
Sesaat
tante Karin terlihat ragu. “Iya.” Kata tante Karin akhirnya. “Jadi kamu udah
tau semua? Kalau Vindhya itu ibu kandung kamu?”
Nalula
hanya mengangguk.
“Diaz
kan seumur sama gue. Kalo nyokapnya itu ibu kandung lo, berarti lo sama Diaz…?”
Firant ikut penasaran.
“Iya,
Nal. Kalian kembar.” Ucap tante Karin kemudian.
@@@
“Hatinya
gak lebih sakit dari senyumnya.” Kata Lingga kepada Danu.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar