1.UDAH SETAHUN AJA
1
TAHUN KEMUDIAN…
Sudah
selama itu pula Nalula berpacaran dengan Zagar. Pacaran jarak jauh memang.
Karena Zagar memilih untuk tetap tinggal di Palembang. Meski demikian, tiap dua
minggu sampai sebulan sekali, Zagar nekat bolak balik Jakarta-Palembang hanya
untuk menemui Nalula. Namanya juga Zagar Pamungkas. Gak heran kalo dia begitu.
Tapi bukan berarti Zagar meninggalkan sepakbola. Meski status mereka rival,
punggawa Rosengard sama sekali tak merasa keberatan jika
Zagar ikut berlatih bersama.
Dan
dalam rentang waktu yang sama pula, Lingga berada di negeri orang. Nalula yang
benar-benar hilang kontak dengan orang yang satu ini. Sempet nyesel juga gak
bisa deket sebelum Lingga ke Inggris.
Sempat
terbesit untuk bertanya perihal Lingga ke anak-anak bola di Rosengard. Tapi percuma. Gak ada
satu pun dari mereka yang tau. Bukan karena tidak tau. Justru lebih tepatnya,
gak ada yang mau ngasih tau. Anak-anak Rosengard jahat. Pikir Nalula.
Termasuk
Diaz yang berada di daftar orang yang tak ingin memberitahunya. Minta dihajar
tuh si Diaz! Tiap kali ditanya, Diaz selalu menggunakan alibi yang sama. Karena
Nalula sekarang pacaran sama Zagar. So, Lingga udah gak begitu penting di hidup
Nalula. Kata siapa? Nalula gak bisa terima semua alasan Diaz. Bener-bener minta
dihajar rupanya!
@@@
“Mama…”
Sapa Nalula pagi itu sambil mengecum pipi mamanya. Nalula duduk dikursi yang
selalu ditempatinya tiap makan. Kursi diseberangnya masih kosong. “Pasti telat
bangun deh tuh orang?” tebaknya perihal kebiasaan buruk Diaz.
Sang
mama hanya tersenyum menanggapinya.
“Ma…!”
Terdengar suara teriakan Diaz. “Jam yang kemaren mama beliin kok gak ada sih?”
Tanya Diaz setengah berlari saking terburu-burunya. Dasinya masih berkibar
kemana-mana. Bahkan sepatu ketsnya masih ditenteng.
“Emang
kemaren terakhir kamu taro mana?” tanya mamanya sambil membantu mengikatkan
dasi di kerah kemeja Diaz.
“Nal,
itu pasti jam gue kan?” Tuduh Diaz sambil menunjuk jam yang melilit tangan
Nalula.
Nalula
menurunkan novel yang tengah dibacanya. “Enak aja! Jangan asal tuduh donk!
Emang lo pikir yang punya jam kayak gini Cuma lo seorang?” Nalula tak mau kalah
membela diri.
“Trus
siapa lagi?” Diaz balik nanya. “Lagian kan lo biasanya pake jam yang dikasih
Zagar.” Kata Diaz lagi sambil mengikat tali sepatunya.
“Gue
kan pake jam itu Cuma kalo lagi sama Zagar aja.” Nalula menunjuk ke atas kulkas
yang tak jauh dari meja makan. “Tuh. Siapa yang naro di atas kulkas?”
Diaz
dan mamanya menoleh ke arah yang ditunjuk Nalula. Sang mama langsung menatap
tajam ke arah Diaz. Dan si anak malah cengengesan sambil ngeloyor untuk
mengambil jam itu.
“Makanya
Diaz, jangan asal uduh orang.” Mamanya memperingatkan.
“Bukannya
asal tuduh, ma.” Kata Diaz setelah kembali ke meja makan. “Aku Cuma salah
tebak.” Diaz membela diri. “Lagian, mama juga, beliin kita barang yang model
sama warnanya samaan.” Kali ini Diaz malah menyalahkan mamanya.
“Iya,
ma. Lain kali warnanya kek yang beda. Atau bentuknya yang beda.” Nalula malah
mendukung Diaz. “Jadi kan mama gak perlu pusing kalo aku sama Diaz berantem.”
Diaz
pura-pura tak mengetahui kalau mamanya lagi ngeliatin dia. Dan Nalula juga
kembali pura-pura sibuk dengan novelnya ketika sang mama beralih kepadanya.
Begitu ibu mereka beranjak dari sana, Diaz dan Nalula saling pandang sambil
menarik napas bersamaan. Sedetik kemudian, mereka tertawa bersama menanggapi
kenakalan mereka.
“Ehm…”
Seketika,
suara sang mama langsung menghentikan tawa si kembar. Nalula buru-buru
memasukan bukunya ke ransel lalu berdiri dan mendekati ibunya. Diikuti Diaz.
“Nal
berangkat ya, ma.” Nalula berpamitan sambil mencium punggung tangan lalu pipi
mamanya.
Diaz
pun melakukan hal yang sama. Yang membuat mamanya hanya bisa geleng-geleng
kepala.
@@@
Ini
hari pertama SMA Rosengard masuk sekolah. Karena masih masa orientasi, belajar
efektif pun belum bisa berjalan lancar. Bahkan sebelum jam istirahatpun, kantin
sudah dipenuhi siswa dan siswi. Tapi Nalula lebih milih untuk menyendiri di
ruang secretariat sepakbola SMA Rosengard. Di sana ia hanya memandangi album
kenangan selama mereka mengikuti turnamen.
Pintu
pun menjeblak terbuka, dan seseorang melangkah ke dalam. Namun Nalula tak
mempedulikannya. Sampai akhirnya orang itu duduk di depan Nalula dan meletakkan
kedua tangannya di atas album, seolah bisa menutupi semua bagian gambarnya.
Nalula
mendongak. “Danu?”
Danu
tersenyum. “Kenapa sih? Udah kangen buat turnamen lagi ya?” Ledek Danu. “Tenang
aja. Bentar lagi juga mulai kok.”
Nalula
tak menjawab. Perlahan ia menyingkirkan tangan Danu yang menghalangi foto-foto
di album itu. “Beneran kalian gak ada yang tau kabar tentang Lingga?” Nalula
bertanya, namun pandangannya sama sekali tak beralih ke Danu.
“Sebenernya…”
Nalula menyelak perkataan Danu. “Atau kalian sengaja gak mau kasih tau gue?” Nalula mendesak. Ia menutup album foto itu, lalu menatap tajam tepat di mata Danu.
Nalula menyelak perkataan Danu. “Atau kalian sengaja gak mau kasih tau gue?” Nalula mendesak. Ia menutup album foto itu, lalu menatap tajam tepat di mata Danu.
Danu diam,
namun masih bisa bersikap santai.
“Berarti
selama ini lo terpaksa jadian sama Zagar?” Ada seseorang lagi di antara mereka.
Karena Danu bukan tipe orang yang berani ikut campur masalah orang lain.
Apalagi yang menyangkut urusan pribadi.
Danu
dan Nalula sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Orang itu tepat berdiri di
ambang pintu. Siapa lagi yang berani ngusik kisah cinta Nalula kalo bukan Ilan?
“Lan,
apa salah kalo gue nanya kabar Lingga?” Tanya Nalula dengan posisi tersudutkan.
“Biar gimana pun juga, Lingga telah menjadi bagian dari hidup gue. Bagian dari
Rosengard juga.”
Ilan
menghela napas. Ia kini sudah berada di antara Nalula dan Danu. “Sory, Nal.
Kita Cuma jaga perasaan lo sama Zagar.”
Nalula
berdiri. Rasanya pengen banget buat ngehajar Ilan. Untung aja Nalula gak lupa
kalo Ilan adalah temannya. “Lo pikir Zagar gak nanya-nanya tentang Lingga?”
“Iya
gue tau. Zagar juga sempet nanya ke gue.” Ilan membela diri. Tapi Nalula
terlanjur tak peduli dan meninggalkannya dengan Danu. “Tapi satu yang perlu lo
tau.” Teriak Ilan.
Nalula
berhenti tepat diambang pintu.
“Segera,
lo bakal ketemu sama dia.” Lanjut Ilan membuat Nalula kembali melangkah.
“Serius,
Lingga mau pulang?”
Ilan
menoleh dan dikejutkan karena Danu tengah menatap penuh harap padanya.
@@@
Sepulang
sekolah, seperti kebiasaannya setahun terakhir, Nalula selalu menunggu Diaz di
depan pintu gerbang. Namun seseorang yang menghentikan motornya tepat di
samping Nalula bukan Diaz. Melainkan itu Ilan yang menyodorkan helm pada
Nalula. Nalula meraihnya penuh tanda tanya.
Ilan
membuka kaca helmnya. “Diaz udah pulang tepat pas bel bunyi. Dia buru-buru,
makanya dia nyuruh gue buat nganterin lo pulang dan naro helm lo di motor gue.”
Nalula
mengangguk dan tanpa bertanya apapun lagi, langsung naik ke boncengan motor
Ilan. Begitu motor melintasi depan halte, Nalula melihat Riva yang ia yakin
pasti melihatnya pula, namun langsung saja menoleh ke arah lain. Nalula yang
berniat untuk menyapapun hanya bisa menelan ludah. Pasti ada sesuatu. Pikirnya.
Ilan
tak langsung membawa Nalula pulang, karena ia memarkirkan motornya di depan
toko donat langganannya.
“Lo
pasti gak bilang ke Riva kalo lo nganterin gue pulang?” Nalula menghujani Ilan
dengan pertanyaan seperti itu setelah turun dari motor.
Ilan
menatap Nalula heran. “Maksudnya?” Ia malah balik bertanya.
Nalula
memutar bola matanya. Ekspresi dari kekesalannya terhadap Ilan yang menurutnya
terlalu cuek menanggapi hal yang bisa dibilang hanya masalah kecil tapi
sebenernya gak bisa disepelekan juga. “Lo tau gak sih pas kita lewat depan
halte, di sana ada Riva?”
“Emang?”
Nalula
tak bisa menahan emosi lagi. Satu jitakan mendarat tepat dikepala Ilan yang
langsung meringis.
“Lo
gak pernah ngerasain yang namanya cemburu apa?” Nalula membuat Ilan berfikir.
Tapi Nalula gak bisa nunggu lebih lama lagi. “Lo tau kan Riva cemburu banget kalo
lo lagi sama gue? Dan begonya, kenapa juga gue mau lo ajak pulang bareng?”
Nalula menyalahkan dirinya sendiri.
“Gue
lebih dulu kenal sama lo.” Ujar Ilan enteng dan segera masuk ke dalam toko
sebelum Nalula kembali menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan ajaibnya.
Nalula
lebih memilih menunggu di luar.
Tak
berapa lama, Ilan kembali sambil menenteng dua tas kardus dan langsung
menyerahkannya pada Nalula. Setelah itu, Ilan membawa Nalula pulang.
Begitu
sampai, ternyata motor Diaz sudah terparkir di sana. Nalula menyodorkan kembali
barang belanjaan Ilan.
“Kok dibalikin?”
“Terus?
Gue lagi gak kepengen donat.”
“Yaudah.
Bawa masuk dulu. Zagar mau kesini kan?”
Astaga.
Nalula menepuk jidatnya. Ini hari Jum’at. Dan Zagar memang sudah mengabarinya
akan ke Jakarta. Tapi kenapa dirinya justru melupakan hal itu? Nalula menghela
napas dan langsung mengajak Ilan untuk masuk. Ia meletakkan tas berisi
donat-donat tadi di atas meja makan. Dari arah dapur Diaz muncul sambil membawa
dua buah gelas berisi minuman dingin.
Baik
Nalula ataupun Ilan meyakini minuman yang dibawakan Diaz bukan untuk salah satu
dari mereka. Nalula tersenyum mengerti dan langsung berlari dari sana menuju
kamar Diaz. Ia membuka pintu dan langsung terfokus ke tempat tidur Diaz yang
selimutnya seolah menyembunyikan sesuatu.
Nalula
menyeruak masuk dengan semangat ’45. Ia mendekap benda dibalik bedcover itu.
“Heh! Bangun lo! Mau ngerjain gue ya dateng cepet?” Kata Nalula sambil
menariknya. Tak disangka, Nalula justru tak bisa menahan keseimbangan badannya
dan membuat dirinya dan benda yang dipeluknya berguling ke lantai beserta
bedcover yang kini melilit mereka.
Nalula
meraih ujung bedcover dan menariknya. Memastikan apa yang berada di dalamnya.
Dan betapa terkejutnya Nalula bahwa itu bukanlah seperti yang ia bayangkan. “LINGGA…!!”
“Nal…!”
Nalula
dan Lingga yang masih berada dalam posisi sama, bersamaan menoleh ke arah
sumber suara.
“Zagar…!”
Teriak Nalula. Bersama Lingga, mereka berusaha membebaskan diri.
Zagar
yang semula telah berada di ambang pintu langsung memaksa keluar meski harus
menabrak tubuh Ilan dan Diaz yang berada dibelakang dan menghalangi langkahnya.
Ilan
dan Diaz siap mengejar Zagar.
“Lan.”
Teriakkan Nalula mengurungkan niat Ilan, diikuti Diaz. “Bantuin gue.” Kata
Nalula lagi dengan susah payah sambil berusaha melepaskan diri, namun hasilnya
nihil. Baik Nalula ataupun Lingga, sama sekali tak bisa berbuat banyak.
Mau
tak mau, Ilan dan Diaz berbalik. Tak lama, Nalula yang terlebih dulu terbebas
dan sesegera mungkin berlari keluar. Di luar pagar, sosok Zagar terlihat sudah
cukup jauh meninggalkan rumah. Nalula kembali ke dalam rumah untuk mengambil
sesuatu. Namun tampaknya ia beruntung, kala melihat kunci motor Ilan masih
menyangkut di sana. Tanpa pikir panjang, Nalula langsung membawa kaburnya
bersamaan dengan Diaz, Ilan dan Lingga yang muncul dari balik pintu dan
bersamaan langsung mengejar Nalula.
Nalula
menghentikan motornya tepat di persimpangan jalan. Ia menoleh ke kanan dan kiri
mencari-cari sesuatu. Tak jauh dari sana, ada sebuah bangunan yang terlihat
sebagai kantor secretariat. Dibagian terasnya terdapat kursi-kursi panjang. Dan
seseorang yang dikenal Nalula berada di sana. Zagar. Tanpa buang waktu, Nalula
segara menghampiri.
Nalula
duduk di samping Zagar yang terdiam dan hanya memandang lurus ke depan.
Sekilas, Nalula melirik Zagar dari arah samping. Matanya terfokus pada bulu
mata Zagar yang baru ia sadari begitu lentik untuk ukuran seorang cowok.
Mungkin karena selama ini Zagar mengenakan kacamata. Tapi tidak untuk hari ini.
Zagar
menghela napas. Sama sekali tak merespon tatapan Nalula meski ia telah
menyadarinya. “Udah setahun aja.” Zagar kembali diam. “Lingga udah balik. Dan
gue muncul di saat yang gak tepat.” Kemudian berdiri.
Nalula
tak ikut berdiri, namun ia berhasil menggenggam tangan Zagar sebelum sempat
melangkah.
“First love bisa ngalahin semua rasa.”
Kata Zagar lagi yang sebenernya belum bisa diterka maksud dan tujuannya. “Tapi
nggak untuk persahabatan.” Lanjutnya sambil menoleh ke Nalula yang masih duduk
dan sedikit tertunduk.
“Gue
sayang lo.” Ucap Nalula pelan.
@@@
Ilan,
Diaz dan Lingga duduk dalam diam mengitari meja makan. Tak ada satupun yang
bersuara. Bahkan, jeritan dering handphone pun tak bisa memecah keheningan. Es
batu dalam gelas minuman yang tadi di buat Diaz pun kini sudah melebur jadi
satu dan larut dalam air.
Tak
lama, Nalula dan Zagar muncul. Mereka bergabung di meja makan. Tetap tak
merubah suasana. Masih hening yang menguasai.
Lingga
melirik Nalula yang duduk di antara Ilan dan Zagar. Rasanya sudah lama sekali
ia tak menatap cewek itu. “Nal, apa kabar?”
Mendengar
itu, Nalula rasanya sangat ingin membentak Lingga yang kini seenaknya
menanyakan kabar. Selama ini dia kemana? Yang berusaha menghindar tuh siapa?
Tapi ditekannya kuat-kuat perasaan itu. Nalula memperhatikan jam di tangan kiri
Lingga. Ia hampir sedikit melupakan bentuknya. Karena cukup lama ia tak melihat
benda itu. Tapi Nalula yakin, jam itu adalah pemberiannya untuk Lingga sebelum
cowok itu berangkat ke luar negeri.
“Kok
gak jawab?” Tanya Lingga lagi yang merasa pertanyaannya tak direspon.
Nalula
berdiri. “Gue ganti baju dulu.”
Tak
lama ketika Nalula pergi, Ilan mengeluarkan ponselnya. Raut wajahnya seketika
berubah. “Wah… Kasus nih, gue cabut dulu ya.”
@@@
Turnamen
akan kembali bergulir kurang dari satu bulan lagi. Untuk pematangan, pagi ini
punggawa SMA Rosengard menggelar sesi latihan. Dan bukan pemandangan asing lagi
ketika Zagar terlihat di antara mereka.
Sesuai
kesepakatan bersama, seluruh pemain menyetujui kalau posisi Riva dan Reva
dipertahankan. Alhasil, cewek itu kini duduk di kursi yang memang biasa mereka
tempati tiap latihan. Tapi ada yang janggal dengan sikap mereka. Bersama
Nalula, dua cewek kembar ini duduk manis dalam diam. Terutama Riva. Bukan hanya
diam. Justru lebih terlihat sedikit menjaga jarak.
“Lo
berdua kenapa sih?” Tanya Reva kepada dua cewek yang duduk di kanan dan
kirinya.
“Gak
ada apa-apa.” Riva yang menjawab dengan ekspresi dingin. Seolah ia begitu
konsentrasi terhadap jalannya pertandingan.
“Nal.”
Reva yang tak mendapat jawaban dari Riva, kini beralih ke Nalula dengan tatapan
menuntut penjelasan.
Seolah
tak terjadi apa-apa, Nalula hanya tersenyum di depan Reva. Meski sebenarnya
Nalula memang telah menyadari ada sesuatu antara dirinya dengan Riva.
“Kita
harus focus, Rev. Sebentar lagi kan turnamen.”
Tak
ada alasan lain lagi yang bisa menggambarkan suasana saat ini. Bukan hanya
pemain, tetapi para official pun
dituntut untuk focus dalam mengemban tugas.
Nalula
bersyukur Reva tak mendesaknya. Ketika menoleh ke lapangan, ia melihat Zagar
berjalan menepi. Dan saat itu pula, Nalula bangkit sambil membawakan sebotol
air mineral untuk Zagar.
“Makasih.”
Zagar menerima pemberian Nalula dengan penuh senyum.
“Sama-sama.”
Balas Nalula, tapi pandangannya mengedar hampir keseluruh penjuru lapangan.
Nalula menghela napas sesaat. “Untuk sementara, usahain buat gak deket sama
Lingga, ya.”
“Lho?
Kenapa?” Zagar melirik Nalula dengan tatapan curiga.
“Dia
pasti akan...”
“Gak
akan…” Zagar menyambar perkataan Nalula, seolah ia mengetahui apa yang akan
dikatakan ceweknya itu. Nalula menatapnya penuh harap. “Gue gak akan ngebiarin
Lingga ngomong yang aneh-aneh. Dan kalaupun itu terjadi, gue gak akan peduli.
Jadi lo tenang aja. Oke?” lanjutnya.
Zagar
memaksa tangan Nalula untuk menerima botol minumannya. “Itu kekhawatiran lo
aja.” Ucap Zagar sambil mengacak rambut Nalula sebelum ia kembali ke tengah
lapangan.
@@@
Seperti
biasa, hari Minggu adalah hari yang menjadi kepulangan Zagar kembali ke
Palembang. Di temani Nalula, mereka berdua menuju bandara dengan menumpang bus.
Selama
di sana, Nalula sama sekali tak melepas genggaman tangannya ke Zagar. Tiba
saatnya Zagar pergi. Cowok itu berdiri. Tapi Nalula tidak. Cewek itu semakit
mengetatkan pegangan tangannya yang membuat Zagar semakin enggan untuk pergi.
Zagar
kembali duduk. Dengan cukup keras, ia menghela napas. “Lo masih mau ketemu gue
di turnamen, kan?”
Nalula
tak menjawab pertanyaan Zagar. Ia justru langsung melepaskan tangannya begitu
saja membuat Zagar hanya mampu menggelengkan kepala karena tak tau harus
bersikap seperti apa terhadap cewek di sebelahnya ini.
Zagar
berlutut di hadapan Nalula sambi menggenggam kedua tangan cewek itu. “Walau
kita gak bisa ketemu lagi sebelum turnamen, lo jangan khawatir. Gak akan ada
yang bisa ngubah perasaan gue terhadap lo. Meski itu Lingga sekalipun.”
Tiap
kali ia mengantar Zagar ke Bandara, Nalula memang kerap kali tak berkomentar
apa-apa. Jadi, sebisa mungkin Zagarlah yang selalu berceloteh.
Zagar
menarik tangan Nalula hingga cewek itu berdiri bersamanya. “Pokoknya turnamen
tahun ini gue janji gak akan ada lagi yang namanya taruhan sama Lingga. Enak
aja dia mau ngerebut lo lagi dari gue.”
Perkataan
Zagar seperti itu lah yang hampir selalu membuat Nalula tertawa.
@@@
Nalula
melangkah masuk ke dalam bus yang akan membawanya pulang. Ia memilih bangku
yang masih kosong. Selang beberapa saat setelah ia duduk, muncul seorang pemuda
mengenakan sweater hitam yang kupluknya menutupi kepala serta kecamata berlensa
hitam. Tak diduga, cowok itu memilih tempat duduk di samping Nalula.
Awalnya
Nalula tak keberatan ketika cowok itu duduk, tapi setelah cowok disampingnya
membuka kupluk dan kacamata…
“Lingga?
Ngapain lo di sini?” protes Nalula dengan ketusnya.
“Ikh…
suka-suka gue lah.” Lingga tak mau ambil pusing.
Tampang
Nalula berubah 180 derajat. Ia bête sejadi-jadinya. Bus pun sudah mulai
bergerak dan meninggalkan bandara.
Lingga menarik lengan kiri
jaketnya hingga memperlihatkan benda yang sejak tadi tersembunyi dibaliknya.
Sebuah jam tangan. Benda itu tak lain adalah pemberian Nalula setahun lalu.
Lingga seolah ingin menunjukkan bahwa ia masih menjaga benda itu dengan baik
sampai sekarang.
“Masih ada waktu.” Lingga
menghela napas. Ia mencondongkan badan agar bisa leluasa melihat langit melalui
jendela membuat cewek di sampingnya ini merapatkan badannya ke sandaran kursi. Kala
itu sebuah pesawat pun melintas. “Zagar udah bener-bener berangkat, kan?” Ujar
Lingga sambil kembali ke posisi semula. Kemudian melirik Nalula. “Gue mau
ngajak lo ke suatu tempat.”
Nalula balas melirik
tajam. “Kalo gue nggak mau?”
“Harus.”
“Pemaksaan!” Nalula
menoleh ke arah lain. Ia enggan berlama-lama menatap wajah orang disampingnya
kini.
“Bukan pemaksaan. Tapi…”
Lingga merogoh saku belakang celana jeansnya. “Lo pasti gak akan bisa nolak.
Karena gue udah beli tiketnya dengan susah payah. Jadi, lo gak boleh nolak.”
Lingga sukses berat
membuat Nalula jengkel.
@@@
Diaz mengintip keluar
jendela karena ada sebuah motor yang berhenti tepat di depan pagar rumahnya.
Cowok itu memutuskan untuk keluar dan menemui sang tamu. Belum sampai pagar, ia
mendapati Nalula yang membuka pintu pagar. Ketika berpapasan dengan Diaz pun,
Nalula sama sekali tak menyapa bahkan menoleh. Ternyata Nalula pulang dengan
Lingga yang masih menunggu di atas motornya.
“Ade gue kenapa? Kok bisa
pulang sama lo? Kalian dari mana? Kenapa jam segini baru pulang?” Diaz menuntut
penjelasan karena sore itu sudah hampir menjelang maghrib.
“Kan gue udah bilang mau
ngikutin Nalula ke bandara. Pulangnya gue Cuma ngajak nonton timnas doank kok
di Senayan. Belum juga selesai pertandingannya, ade lo udah keburu minta
pulang. Oiya, siapa yang menang? Berapa-berapa skornya?” ujar Lingga hampir
tanpa jeda.
“Indonesia kalah 1-0.”
Lingga berdecak kecewa.
“Sayang banget, padahal kita nguasain permainan dari babak awal. Lo liat kan
sundulannya Bambang Pa…” kata-kata Lingga menggantung karena Diaz menyuruhnya
berhenti.
“Heran deh sama lo. Kuat
banget ngomong sih?” keluhnya. “Lagian, ini udah maghrib. Gak denger azan udah
berkumandang, apa? Ayo masuk dulu.”
Lingga hanya nyengir
menanggapi celotehan Diaz. “Kagak deh, salam aja buat nyokap lo. Gue mau balik
dulu.” Ujar Lingga kemudian memakai helm dan meninggalkan rumah Diaz.
@@@
Malam
itu, Diaz tengah bersantai di ruang keluarga. Tak lama, Nalula yang telah
berganti pakaian pun duduk di sampingnya.
“Di.”
“Apa?”
Diaz hanya menyahut, tapi tidak menoleh sedikitpun ke Nalula.
Cewek
itu bersandar manja di pundak kembarannya. “Gue salah gak sih jadian sama
Zagar?”
Diaz
balas merangkul Nalula. “Apa selama ini lo terpaksa nerima Zagar?” Diaz balik
bertanya.
Nalula
menggeleng. “Kenapa Lingga jadi nggak beda jauh sama Zagar sih?” keluhnya.
“Apapun yang dia lakuin, gue gak bisa nolak.”
Diaz
tersenyum. “Kalo gue pikir-pikir, mereka emang punya banyak persamaan. Dan yang
paling jelas terlihat adalah, mereka sama-sama punya perasaan ke lo.”
Nalula
melepaskan diri dari pundak Diaz. “Lo kenapa malah bikin gue makin dilemma
sih?” Omelnya. “Gue gak bakal bisa ketemu Zagar sampai turnamen. Dan itu pasti
bakal dimanfaatin Lingga. Lo tau sendiri tuh orang selalu bisa bikin gue gak
nolak.”
“Apa
yang lo takutin?” Tanya Diaz lembut sambil menarik Nalula untuk kembali
bersandarr dipundaknya.
“Gue
takut terjebak dengan Lingga tanpa kehadiran Zagar. Karena gue gak mau nyakitin
siapapun. Terutama Zagar.”
Saking
seriusnya dengan masalah yang dihadapi Nalula, dua anak kembar ini sampai tidak
menyadari kehadiran ibu mereka yang menatap aneh melihat keakraban
anak-anaknya.
“Tumben
akur?”
Diaz
dan Nalula terlonjak sambil membalikkan badan.
“Yaelah
si mama. Anaknya berantem, dimarahin. Giliran lagi akur, malah komentar. Maunya
apa sih?” kata Diaz membela dan di dukung oleh Nalula.
Ibu
mereka jadi salah tingkah dan sedikit merasa bersalah. “Yaudah deh, lanjutin
aja. Mama gak mau ganggu.” Kata sang mama yang sedetik kemudian sudah tak
berada di sana.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar