Rabu, 03 Oktober 2018

-BEAUTIFUL MONSTER (3)-




Author          : N-Annisa [@nniissaa11]
Cast                :
·        Son Chaeyoung
·        Adachi Yuto
·        Kang Hyunggu (Kino)
·        Jung Wooseok
·        Lee Hangyul
·        and other
Genre            : School Life, Romance, Drama

***

            “Kami bahkan masih pelajar, tidak mungkin kami sanggup membeli mobilmu.”
            Yuto hanya mampu menghela napas sambil melirik ke luar jendela balkon depan kelas yang mengarah ke parkiran tempat mobil-mobil berjejer rapih. Karena keadaan yang mendesak, Yuto nekat menjual mobil dan menawarkan ke beberapa orang yang berada sekelas dengannya. Salah satunya adalah Kino.
            “Wooseok-ah!” Teriak Kino saat melihat sosok tinggi di ujung lorong.
            Wooseok menghentikan langkah dan mencari-cari sumber suara yang memanggilknya. Kino sampai melambaikan tangan agar Wooseok menyadari keberadaannya. Begitu sudah melihat sosok Kino, Wooseokpun melangkah mendekat. Wooseok sempat melirik ke tempat Yuto berada. Seseorang yang asing namun ia ingat sempat melihat Yuto pagi tadi.
            Kino menunjuk ke arah parkiran. “Lihat mobil itu. Yang berwarna hitam. Kau mau membelinya tidak?”
            Wooseok sempat mengikuti arah yang dimaksud Kino. Namun sesaat kemudian ia menoleh lagi ke tempat Kino berdiri. “Untuk apa? Aku jarang mengendarai mobil. Lagipula, sejak kapan kau menjual mobil? Sudahlah, aku lapar sekali.” Sambil memegangi perutnya, Wooseokpun balik badan dan pergi setelah sebelumnya berpamitan juga pada Yuto.
            Setelah Wooseok menjauh, Kino kembali menoleh ke tempat Yuto berada sekarang sambil mengangkat bahu seolah menegaskan pada Yuto jika usahanya belum berhasil. Yuto sendiri hanya tertunduk pasrah sambil berpikir keras apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan uang dalam waktu cepat. Terlebih untuk hari ini.
            “Atau kau beli saja ponselku.” Yuto cepat cepat mengeluarkan ponselnya pada saku celana. Salah satu model ponsel keluaran terbaru. “Kau boleh bayar berapapun sekarang dan lunasi sisanya nanti.”
            Kino hanya terperangah. Menatap Yuto dari ujung kaki hingga kepala. Belum lagi mobil yang ditawarkan Yuto juga termasuk mobil mahal. Dan terakhir ponsel. Kino sampai tidak sanggup mengeluarkan sepatah katapun untuk merespon apa yang Yuto bicarakan. Sementara tidak jauh dari sana, dibalik pilar itu sebenarnya Chaeyoung berada. Gadis itu sudah di sana sejak Wooseok pergi beberapa saat tadi. Dan bisa dipastikan Chaeyoung mendengar semua yang Kino dan Yuto bicarakan. Sampai akhirnya Chaeyoung memunculkan diri karena Yuto terlihat terpaksa menjual ponselnya.
            Kino sendiri akhirnya menghela napas. “Kenapa kau…” Ucapan Kino terputus karena kedua pemuda itu sama-sama menoleh karena menyadari jika ada seseorang yang datang dan menghampiri mereka.
            Chaeyoung sempat bertatapan mata dengan Kino selama beberapa detik, namun buru-buru ia alihkan pandangannya karena ia khawatir akan terjadi sesuatu jika ia terlihat berinteraksi dengan Kino di sekolah. “Bisa ikut aku?” Tanpa menunggu respon dari Yuto, Chaeyoung sudah balik badan dan berjalan mendahului.
            Sambil mengikuti Chaeyoung, Yuto sesekali menyapukan pandangan ke sekeliling sekolah yang mulai ramai karena ini sudah masuk jam istirahat makan siang. Tanpa ingin kehilangan jejak, Yuto selalu mengakhiri tatapannya pada sosok Chaeyoung yang berjalan beberapa meter di depannya. Namun saat ini tatapan Yuto justru jatuh pada tas bekal di tangan Chaeyoung. Semakin mengingatkan kalau perutnya belum terisi apapun sejak pagi.
            Mereka tiba di kantin sekolah yang mulai ramai, namun Chaeyoung masih terus melangkah. Yuto yang memang tidak tahu apa yang ingin ia lakukan saat istirahat siang ini tetap setia mengekori Chaeyoung. Sementara tidak jauh di belakang Yuto, tampak Kino menyusul. Tujuan Kino memang ke kantin juga, namun pemuda itu berbelok pada meja tempat Wooseok sudah duduk bersama Eunwoo, Yugyeom dan Junyoung.
            Ditempatnya berada, Wooseok sempat menangkap sosok Chaeyoung bersama Yuto yang berjalan sedikit di belakang. Kemudian Kino duduk dan mengambil tempat tepat di sebelah Wooseok. Wooseok mendekatkan wajahnya pada Kino dan membisikkan sesuatu, “siapa pemuda tadi?”
            “Anak baru dikelasku.” Kino menjawab santai sambil merebut gelas jus milik Wooseok dan meminumnya tanpa meminta ijin terlebih dulu. Teringat sesuatu, Kino mengedarkan pandangannya bahkan sampai memutar badan agar bisa melihat area belakang kursi yang ia duduki.
            “Kau mencari apa?” Wooseok bertanya lagi dengan suara pelan.
            Eunwoo, Junyoung dan Yugyeom yang sebelumnya terlibat dalam sebuah obrolan, kini kompak menoleh melihat Kino dan Wooseok yang sibuk dengan dunia mereka. Jelas saja ketiga pemuda dari kelas 3 itu penasaran dengan apa yang sebenarnya dibicarakan oleh Kino dan Wooseok.
            “Kalo tidak ada cewek gila itu, aku mau menyusul Chaeyoung. Dia sepertinya bawa makanan dari restoran.”
            Brak!
            Hangyul tiba-tiba muncul sambil meletakkan piring makanannya dengan sedikit kasar hingga membuat suara benturan yang sedikit keras. Membuat orang-orang yang berada dalam satu meja terkejut. Junyoung bahkan sampai tersedak. Beruntung Eunwoo yang duduk disebelahnya langsung menyodorkan air minum.
            “Ah, maaf sunbae jika mengejutkan.” Hangyul tidak langsung duduk, ia justru membungkuk dalam pada ke lima seniornya di sekolah itu. Sesaat Hangyul menatap satu persatu—kecuali Kino—pemuda tampan yang menghuni meja tersebut sebelum akhirnya duduk di seberang Kino. “Tapi ini sebenarnya bisa dikatakan tim Surga atau tim Neraka?”
            “Selamat bergabung di sini. Dan sebentar lagi kau akan tahu ini tim seperti apa.” Eunwoo tampak merespon ucapan Hangyul sambil mengangkat satu tangannya. “Aku Eunwoo.”
            “Ah, iya. Tapi jelas aku mengenal kalian semua. Namaku Lee Hangyul.”
            “Kenapa makanmu sedikit sekali?” Wooseok berkomentar karena melihat isi piring makan Hangyul.
            Hangyul hanya menghela napas sambil membandingkan piring makanan seniornya yang lain. Kecuali Kino yang memang belum memesan makanan. “Kino, Hyung.”
            “Hmm?”
            “Bagaimana kalau pulang nanti kita makan lagi di restoran Chaeyoung?”
            “Maksudmu tempat Chaeyoung bekerja?” Junyoung tampak bertanya.
            Hangyul menoleh dengan tatapan bingung. “Chaeyoung tidak be… akh!” Hangyul berteriak meringis karena merasakan kakinya di tendang seseorang. Saat menoleh, ia mendapati Kino seolah memberikan kode. “Kenapa kau, Hyung? Dengar ya.” Hangyul menunjukkan ekspresi wajahnya yang serius. Ia bahkan sudah mengamankan posisi kakinya sejauh mungkin dari jangkauan Kino. “Yang selama ini kalian dengar itu tidak benar. Chaeyoung bukan pelayan restoran. Tapi pemilik. Restoran itu milik orang tua Chaeyoung.”
            Yugyeom melepaskan garpu dan sendok dari kedua tangannya. Membiarkan dua alat makan itu membanting diri di atas piringnya yang hampir kosong. Yugyeom mendongak karena bisa dipastikan kini semua mata tertuju padanya. “Ayo cari cara untuk akhiri ini semua.”
            Tidak ada yang langsung menjawab. Eunwoo hanya menatap berkeliling, khawatir mereka sedang diawasi. Sementara Kino langsung memainkan jari di atas keyboard smart phone-nya. Hangyul yang sudah ingin membuka mulut langsung ia batalkan karena merasakan ponselnya bergetar. Ternyata ia diundang ke dalam sebuah grup chat bersamaan dengan sebuah pesan dari Kino untuk semua penghuni grup tersebut. Hangyul langsung mendongak bahkan sebelum ia sempat membuka isi pesan tersebut.
            “Aku tidak bisa berfikir jernih ketika perutku lapar.” Kino berdiri dan segera beranjak pergi seakan menghindari tatapan teman-temannya perihal pesan yang ia kirimkan pada mereka yang berad satu meja dengannya.

Kino : Ayo bertemu di restoran Chaeyoung sepulang sekolah. Cari jalan berbeda agar tidak dicurigai.

***

            Lantai dua kantin termasuk tempat yang sedikit lebih sepi. Hanya beberapa siswa laki-laki yang berminat menempati meja kursi di sana karena suasana kantin yang lebih out door, hanya dengan atap penutup dan pagar pembatas. Berbeda dengan lantai bawah yang full AC. Belum lagi mereka harus membawa makanan pesanan mereka sendiri jika ingin menempati area atas kantin.
            Chaeyoung sudah duduk di salah satu meja kosong. Menunggu Yuto sampai pemuda itu puas melihat-lihat sekelilingnya. Chaeyoung tau Yuto salah satu siswa baru di sekolahnya. Menyadari Chaeyoung sudah menunggunya, Yuto langsung menyusulnya dan duduk di depan Chaeyoung. Tepat ketika gadis itu menyodorkan bekal makan siangnya ke arah Yuto. Yuto hanya mendongak dengan tatapan bingung.
            “Gara-gara aku dompetmu hilang. Dan kalau kau sampai ingin menjual mobil, itu berarti kondisi keuanganmu benar-benar kacau.”
            “Tidak perlu merasa bersalah. Itu kecelakaan. Lagipula aku hanya perlu ke Bank untuk mengurus semuanya.” Perlahan Yuto mendorong kembali bekal makan siang ke arah Chaeyoung kembali.
            Melihat itu, Chaeyoung buru-buru mengulurkan tangannya. Menahan kotak bekalnya agar tetap lebih dekat dengan Yuto. “Aku khawatir kau tidak bisa makan siang. Itu bekalku dari rumah, ku harap kau menerimanya sebagai permohonan maaf dariku.”
            “Benar ini untukku?” Raut wajah Yuto berubah ceria. Seakan baru saja memenangkan undian. Yuto sudah mulai membuka penutup wadahnya, namun kemudian ia terdiam seketika. “Lalu kau?”
            “Ah, tidak usah dipikirkan.” Chaeyoung sudah berdiri dan siap melangkah. Namun ia teringat ternyata tangannya masih memegang botol air minum. “Ini juga untukmu saja.” Buru-buru Chaeyoung meletakkan botolnya di hadapan Yuto lalu melanjutkan langkahnya.
            Yuto hanya bisa memutar badan untuk melihat punggung Chaeyoung yang semakin menjauh. Ingin berteriak, namun tidak tau harus memanggil apa pada Chaeyoung karena Yuto tidak mengetahui nama gadis itu.  Seketika Yuto merutuki kebodohannya yang tidak menanyakan nama. Bahkan ia tidak sempat melihat name tag pada seragam sekolah Chaeyoung.
            Di saat yang bersamaan, Chaeyoung bertemu seseorang. Langkahnya dihalangi orang tersebut yang ternyata adalah Dokyeom. Chaeyoung yang sempat melihat name tag Dokyeom langsung mendongak dan mendapati pemuda dihadapannya juga tak kalah terkejut saat bertatap mata dengan Chaeyoung.
            “Kau yang…”
            Buru-buru Dokyeom membekap mulut Chaeyoung menggunakan tangan dan memberikan tatapan mengancam. Tidak peduli dengan tatapan orang-orang disekitar mereka. Salah satu diantara orang-orang yang melihat kejadian itu adalah Jihyo.
            “Anggap kejadian semalam bukan apa-apa. Dan jangan coba-coba membocorkan hal ini pada siapapun.” Masih dengan kilatan mata penuh ancaman. Sementara tangannya sudah terlepas dari mulut Chaeyoung.
Namun Chaeyoung juga tidak ingin kalah begitu saja, meski tatapannya hanya datar pada Dokyeom. “Kembalikan dompet temanku.”
            “Tidak bisa,” Dokyeom berucap cepat tanpa berfikir panjang. Ia lalu bergeser sedikit disamping Chaeyoung dan bersiap meninggalkan gadis itu. Belum sempat melangkah, Dokyeom meraskan Chaeyoung menahan tangannya. “Benda itu tidak ada padaku.” Dengan satu kali hentakan, Dokyeom menyingkirkan tangan Chaeyoung dari lengannya.

***

            Bel tanda pelajaran berakhir sudah berdentang. Seluruh siswa yang berada satu kelas dengan Chaeyoung sontak bergegas merapihkan perlengkapan sekolah mereka. Kecuali gadis itu yang justru langsung mengeluarkan ponselnya dan sebuah buku catatan dari dalam tas.
            Hangyul yang menyadari gerak-gerik Chaeyoung langsung menegur gadis itu. “Kau tidak pulang?”
            “Sebentar lagi. Aku harus mengurus gaji para karyawanku dulu.” Chayoung berujar tanpa melirik sedikitpun ke tempat Hangyul berada. “Kau duluan saja.”
            Hangyul berdiri, lengkap dengan ransel yang sudahh bertengger di punggungnya. Sesaat ia melirik ke tempat Hwiyoung dan Taeeun yang kebetulan duduk dibelakangnya. Dua pemuda itu masih merapihkan perlengkapan sekolah mereka namun belum juga selesai karena keduanya sibuk bercanda. Hangyul yang malas menegur mereka lebih memilih untuk terus berjalan meninggalkan kelas.
            Yuqi menjadi salah satu yang masih tersisa di kelas karena ia memang belum selesai membereskan perlengkapan sekolahnya. Sementara Yukyung yang masih duduk menunggu Yuqi, duduk menyamping di kursinya dengan arah pandangan lurus ke belakang. Ke tempat Chaeyoung yang masih sibuk dengan dunianya sendiri.
            Tanpa harus memastikan apa yang dilihat Yukyung, Yuqi sudah bisa menebaknya. “Mau pulang bersamaku atau Chaeyoung?”
            Saat Yukyung menoleh, Yuqi sudah dalam posisi berdiri. Lengkap dengan ransel dipunggunggungnya sambil menunggu Yukyung meneresponnya. Yukyung sendiri hanya menghela napas agak berat kemudian lebih memilih untuk berdiri sambil melirik ke tempat Chaeyoung berada dengan tatapan sedikit merasa bersalah sebelum akhirnya benar-benar menyusul Yuqi meninggalkan ruangan kelas.
            Beberapa saat setelah Chaeyoung menjadi orang terakhir yang berada di ruang kelasnya, ponsel gadis itu menerima sebuah panggilan dari nomor milik Dongju. Chaeyoung menyangkutkan handsfree ke telinganya dan meninggalkan sesaat pekerjaannya untuk menerima panggilan dari adiknya.
            “Ya, Dongju.” Chaeyoung terdengar menyapa lalu tidak lama gadis itu terdiam beberapa saat hanya untuk mendengarkan suara Dongju yang memberitahukan hal penting. “Benarkah?” Chaeyoung kembali bertanya untuk memastikan sesuatu. Seketika senyum tipisnya mengembang. Tanpa pikir panjang, Chaeyoung langsung memutuskan kontaknya dengan Dongju dan bergegas membereskan beberapa barangnya yang masih berceceran di meja. Setelah di rasa semua barangnya sudah masuk ke dalam tas, Chaeyoung menutup resleting ranselnya sambil berdiri dan segera melangkah pergi meninggalkan kursinya. Gadis itu bahkan tidak menyadari jika masih ada satu barangnya yang terjatuh dan tertinggal di bawah kursinya.
            Dengan langkah cepat, Chaeyoung menyeberangi lapangan sekolah menuju gerbang. Berkejaran dengan siswa yang lain. Di waktu yang bersamaan, dan berada tidak jauh dari gerbang sekolah, tampak mobil sport milik Yuto terparkir. Tepat disamping mobil tersebut terlihat Yuto menyerahkan sebuah kamera pada salah satu siswa di sana. Sementara pemuda itu menyerahkan uang tunai pada Yuto yang jumlahnya tidak sedikit.
            “Kalau ada yang ingin kau jual lagi, bilang saja padaku.”
            Yuto terkejut saat pemuda tadi menepuk pundaknya karena saat itu mata Yuto menangkap sosok Chaeyoung yang melintasi gerbang sekolah menuju halte bus. “Oke, thanks. Nanti ku kabari lagi.” Setelah berpamitan, Yuto bergegas masuk ke dalam mobil dan berniat mengejar Chaeyoung. Namun gadis itu sudah lebih dulu melesat masuk ke dalam bus yang tiba bersamaan.
            Yuto mengendarai mobilnya tepat di belakang bus. Benar-benar membuntuti bus yang ditumpangi Chaeyoung. Chaeyoung sendiri sudah turun dari bus dan sudah sedang berjalan keluar dari halte. Yuto tetap membuntuti pelan-pelan sebelum akhirnya berkendara dengan mensejajarkan langkahnya dengan Chaeyoung sambil membuka jendela mobil.
            “Kau mau ke mana? Biar ku antar.”
            Chaeyoung menoleh sambil sedikit menundukkan kepalanya untuk melihat seseorang yang berada di dalam mobil tersebut. “Ah, tidak perlu. Aku juga sudah sampai.” Chaeyoung menunjuk gedung restorannya yang berada di belakangnya. Tanpa menunggu respon dari Yuto, Chaeyoung sudah berdiri tegak kembali dan melangkah masuk ke dalam restorannya.
            Yuto masih berada di dalam mobil, sedikit menundukkan kepala untuk memastikan mereka memang benar sudah berada di depan restoran milik keluarga Chaeyoung. Teringat ia sudah berhasil menjual kameranya, Yuto langsung membelokkan mobilnya ke dalam area parkiran restoran. Bergerak secepat mungkin, Yuto sampai setengah berlari mengejar Chaeyoung yang sudah menghilang ke dalam restoran. Tidak lupa Yuto juga membawa kotak bekal milik Chaeyoung. Yuto memilih untuk menuju ke meja kasir yang dijaga oleh salah satu karyawan restoran.
            “Kau tahu seorang gadis yang memakai seragam sekolah yang sama denganku? Tadi dia masuk ke dalam sini tapi…” Yuto sengaja menggantung ucapannya karena ia tidak melihat sosok Chaeyoung di sana meski ia sudah mengedarkan pandangan berkeliling.
            “Ada apa mencari Noona-ku?”
            Yuto membalikkan badan dan mendapati sosok pemuda kembar berdiri tidak jauh dibelakangnya. Dongju dan Dongmyung tampak muncul bersamaan meski dari arah yang berbeda.
            Noona sedang ada tamu. Nanti saja kalau ingin bertemu.” Dongju bicara dengan nada cuek sambil berjalan dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Dongju berjalan mengitari meja tinggi lalu mengambil tempat tepat di belakang alat kasir.
            Sementara ditempatnya berdiri, Dongmyung memperhatikan sosok Yuto dari ujung kepala hingga kaki. Dibagian hidung Yuto sendiri masih tampak sebuah plester tertempel di sana.
            “Aku ingin mengembalikan ini.” Yuto mengangkat kotak bekal milik Chaeyoung yang masih berada ditangannya.
            “Berikan saja pada…”
            Yuto menarik kembali kotak bekal ditangannya sebelum Dongju lebih dulu merebutnya. “Aku ingin mengembalikan langsung pada Noona mu itu.”
            “Ah, Hyung. Kau yang malam itu, bukan?” Dongmyung baru teringat tentang Yuto yang malam itu dompetnya dicuri seseorang. Yuto hanya merespon dengan anggukan karena ia masih merasa kagum dengan dua anak kembar yang kini dihadapannya. “Ijinkan aku mentraktirmu malam ini, Hyung.
            “Ah, tidak perlu. Lagipula…”
            “Ini dia yang aku ceritakan tadi.” Suara keras Kino membuat Yuto tidak melanjutkan ucapannya. Kino datang bersama Wooseok, Yugyeom, Junyoung dan Eunwoo yang menyusul tidak jauh dibelakangnya. “Kau. Hmm, siapa namamu? Yuto? Kau tadi mau menjual ponsel? Apa masih berlaku? Temanku ada yang bersedia membantu.”
            Tidak jauh dibelakang Kino, tampak Eunwoo sempat melirik ke tempat Wooseok berada. Keduanya tidak sengaja saling melempar tatapan sambil mengangguk. Seolah membenarkan ucapan Kino.
            Yuto tertawa canggung mengingat tidak mungkin ia menyerahkan ponsel satu-satunya yang ia miliki. Terlebih tadi ia sudah mendapatkan sejumlah uang dari hasil menjual kamera. “Bagaimana kalau aku tawarkan barang lain. Mobil, jam tangan, atau mungkin televisi?”
            Wooseok melirik sebuah jam tangan yang melingkar di pergelangan Yuto. Hanya melihat sekilas saja sudah jelas pemuda itu tidak memakai barang sembarangan. Sementara di tempatnya berdiri sekarang, Dongmyung tampak melempar tatapan pada Dongju sambil mengisyaratkan sesuatu melalui ekspresi wajah. Dongju hanya memasang ekspresi kesal karena ia tidak mengerti maksud Dongmyung. Lebih tepatnya tidak ingin mengerti apalagi menyetujui maksud Dongmyung padanya.
            Hyung. Dongju akan membeli tivimu. Kebetulan tivi di rumah kami rusak karena Dongju bermain sepakbola di dalam rumah.” Dongmyung berusaha melawan serangan Dongju yang tentu saja ingin menghentikan Dongmyung. Beruntung mereka terhalang sebuah meja hingga tidak terjadi sesuatu yang lebih dari itu.
            “Kalian berikan alamat kalian. Nanti akan aku antar ke rumah kalian.”
            “Setuju.” Dongmyung mengulurkan salah satu tangannya yang terkepal sebagai tanda kesepakatan, tepat sesaat setelah Dongju sudah berhenti menyerangnya.
            Yuto membalas kepalan tangan Dongmyung dengan membenturkan kepalan tangannya, pelan. “Berikan aku kertas dan pulpen. Aku tunggu di sana.” Yuto menunjuk ke arah samping. Ia juga sempat berpamitan lewat gerakan mata pada Kino dan yang lain sebelum berjalan menuju salah satu meja kosong.
            Hyung, kalian ingin makan?” tegur Dongmyung pada Kino dan yang lainnya.
            Kino sedikit memajukan wajahnya hingga sejajar dengan telinga Dongmyung untuk membisikkan sesuatu. “Sebenarnya kami butuh ruang VIP, bisa?”
            Dongmyung tertawa mendengar ucapan Kino yang kini juga ikut terkekeh, membuat orang-orang disekitar mereka saling tatap dengan ekspresi wajah bingung. “Mau sambil main billiard?”
            Mendengar Dongmyung menyebut kata billiard, sontak Wooseok menyeruak hingga kini berdiri tepat di dekat Dongmyung. “Kalian menyediakan tempat seperti itu?”
            Dongmyung hanya merespon dengan anggukan.
            “Waah, itu terdengar keren.” Junyoung terdengar berkomentar. “Yugyeom bisa membayarkannya untuk kita.” Junyoung melakukan hi-five dengan Eunwoo ketika Yugyeom hanya bisa menunjukkan ekspresi bingung setelah berhasil dikerjai oleh Junyoung. Yugyeom memang salah satu pemuda yang cukup pendiam diantara mereka.
            “Tenang semua. Wooseok yang akan membayarkan karena…hmp!” Ucapan Kino terhenti karena Wooseok sudah lebih dulu membekap mulutnya. Membuat Kino justru semakin keras tertawa setelah berhasil melepaskan tangan Wooseok dari mulutnya.

***
            “Jadi, sebenarnya siapa Chaeyoung?”
            Yuqi dan Yukyung yang tampak baru keluar dari sebuah kedai minuman, terkejut dengan pemandangan di depan mereka. Sudah ada Mina dan Dayoung menunggu mereka, kecuali Jihyo yang berdiri sedikit dibelakang dan terlihat tidak ingin ikut campur dengan apa yang mereka bicarakan.
            Yuqi sempat melirik ke tempat Yukyung berada dan Yukyung hanya menunjukkan ekspresi bingung. “Apa maksud kalian?”
            “Aku menemukan ini.” Dayoung mengeluarkan sesuatu dari dalam jas sekolahnya. Sebuah buku tabungan salah saru Bank swasta di Korea. Dayoung sampai membuka halaman pertama yang berisi identitas pemilik buku tersebut. “Hebat sekali teman kalian memiliki uang sebanyak ini. Bukankah dia hanya pelayan…” Dayoung tidak melanjutkan kalimatnya karena Yuqi lebih dulu menyambar buku tabungan tersebut.
            Terlihat Yuqi dikuasai sedikit emosi sambil membuka lembar demi lembar hingga sampai di halaman terakhir yang tertera sebuah nominal angka yang tidak bisa dikatakan sedikit. Sampai di angka ratusan juta.
            “Tapi itu bisa saja pemberian pacarnya. Bukannya pacarnya itu tinggal di apartment yang sama denganmu kan, Eonnie? Berarti pacarnya adalah seseorang yang sangat kaya.”
            Mina melipat kedua tangannya di depan dada sambil mengangguk, membenarkan ucapan Dayoung. Jelas saja ia akan memihak pada Dayoung. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, Yuqi melempar buku ditangannya tepat ke badan Dayoung. Yukyung yang ikut terkejut ingin merebut kembali, namun kalah cepat dari Dayoung yang langsung menyelamatkan benda itu. Beruntung Yukyung tidak bisa memaksanya karena Yuqi menarik tangannya untuk membawa Yukyung pergi dari sana.
             “Sudahlah, hentikan semuanya.” Suara Jihyo menginterupsi kedua temannya yang seakan sedang melakukan selebrasi karena memenangkan sesuatu. Berbeda dengan Jihyo yang justru tidak ingin melakukan hal serupa. “Aku bahkan semakin tidak bisa dekat dengan Yugyeom.” Jihyo menegakkan badannya dan mulai melangkah ke arah yang berlawanan dengan Yuqi dan Yukyung.
            “Paling tidak sudah tidak ada yang bisa mendekati Yugyeom. Ya! Jihyo!” Mina berteriak agar Jihyo berhenti karena ia sendiri tidak berniat menyusul Jihyo. Mina bahkan menahan Dayoung untuk tidak mengejar Jihyo. “Biarkan saja.”

***

            Kino berjalan memimpin teman-temannya menuju area lantai 2 restoran. Dengan ruangan terbuka di sebelah kiri yang langsung berbatasan dengan pagar pembatas yang berada di dalam dan bisa melihat ruang makan lantai 1 dari sana. Di ujung ruangan juga terdapat sebuah pintu yang mengarah ke area balkon luar dengan jendela kaca besar yang membatasi, dan satu ruangan lagi dengan jendela yang tertutup tirai dari dalam. Sementara ruangan tersebut tersedia dua meja billiard.
            Wooseok berjalan mendahului Kino hanya untuk melemparkan ranselnya ke atas sofa panjang di dekat pagar pembatas tangga sebelum menuju dekat jendela untuk mengambil stick billiard. “Mau satu lawan satu atau main tim?”
            Yugyeom menyentuh pundak Eunwoo yang sedikit menghalanginya. “Kalian saja yang main. Nanti aku yang pesankan makanan.” Ketika Eunwoo menyingkir, Yugyeom menyeruak ke depan dan mengambil tempat untuk duduk di sofa sambil mengambil sebuah majalah olahraga yang tergeletak di atas meja panjang di depan sofa. Kino, Junyoung dan Eunwoo masing-masing ikut meletakkan ransel mereka ke atas sofa di dekat Yugyeom.
            Kino berjalan menuju meja billiard yang berbeda dengan tempat Wooseok berdiri saat itu. “Aku ingin menantang Junyoung Hyung. Kalau kau kalah, ceritakan sebuah rahasia padaku, oke?”
            Junyoung hanya mendengus kesal. Tentu ia akan menerima tantangan Kino yang terkenal jahil itu. “Dasar anak licik.” Ucapan Junyoung justru membuat Kino semakin terkekeh geli, terlebih pemuda itu menyusul Kino menuju meja billiard dan mengambil salah satu stick billiard.
            “Sepertinya seru juga jika aku mengetahui satu hal tentangmu.” Eunwoo yang masih berdiri di dekat sofa, menenggelamkan kedua tangannya ke saku celana. Sementara tatapannya tidak lepas dari tubuh tinggi Wooseok yang tampak sudah bersiap untuk menghancurkan sususan rapih bola-bola billiard yang berada di tengah meja.
            Junyoung sudah terlihat memulai pertandingannya dengan Kino saat tubuh tingginya sedikit membungkuk untuk menghantam bola menggunakan stick billiard di tangannya. Kino yang memahami arah bicara Eunwoo untuk Wooseok, kembali terkekeh. Wooseok dan Kino memang kerap kali berbagi cerita tentang hal apapun.
            “Padahal aku ingin aku yang membongkar hal itu.”
            Wooseok menoleh dengan menunjukkan death glare-nya untuk Kino. Membuat Kino semakin tidak kuasa menahan tawanya.

***
Takuya Onni-chan : aku sudah kirimkan melalui e-mail. Jangan lupa kau lihat.

            Yuto mengacak rambutnya, frustasi. “Aku hanya ingin mencari ibu dan Yasuo Onni-chan. Kenapa harus berurusan dengan wanita iblis itu juga?”
            Sepintas tampak seorang wanita paruh baya dengan seragam koki melintas dan berjalan cukup cepat lalu menghilang di balik pintu yang mengarah ke dapur. Yuto nyaris berdiri karena entah mengapa tiba-tiba ada hal yang membuatnya penasaran. Padahal Yuto bahkan tidak melihat wajah wanita itu. Namun sudah lebih dulu seorang pelayan datang membawakan pesanannya. Yuto langsung meneguk air mineralnya.
            Belum sempat Yuto kembali berdiri, kali ini ponselnya berdering dengan sebuah panggilan dari Takuya. “Yaa, Hyung.”
            “Hahahaha.” Terdengar suara tawa seseorang dari seberang sana.
            Yuto mengerutkan keningnya, lalu menatap layar ponsel. Ada yang aneh dengan kakak tertuanya. Yuto tidak menyadari jika ia memanggil Takuya dengan embel-embel ‘Hyung’, bukan ‘Onni-chan’ seperti yang selama ini ia ucapknya untuk Takuya. Menyadari itu, Yuto hanya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
            “Kau sudah benar-benar menjadi orang Korea sekarang.”
            “Aku hanya harus membiasakan panggilan itu. Maaf aku tidak sengaja.”
            Takuya tidak berhenti tertawa. “Tidak apa-apa. Hmm, apa sudah kau lihat e-mail­ ku?”
            Yuto sampai membatalkan niatnya untuk menyuap makanan karena pertanyaan Takuya. “Aku bahkan belum sampai rumah.”
            “Lalu kau di mana? Bukankah seharusnya kau sudah pulang sekolah.”
            “Iya aku sedang makan malam sebentar. Setelah itu aku pulang. Restorannya tepat di seberang apartmen.”
            “Rumah yang ditempati iblis betina itu seharusnya milik ibu. Bukan seharusnya, tapi memang milik ibu.”
            Yuto sontak tertegun. Mendadak nada bicara Takuya berubah serius. Yuto melepas sendok makan ditangannya. Mendadak nafsu makannya hilang. Yuto menghela napas sambil memijat pelan keningnya. “Lalu aku harus apa? Aku baru dua hari di sini. Dan bahkan jalanku untuk menemukan ibu masih sangat panjang.” Tanya Yuto dengan nada frustasi.
            “Aku tidak menyuruhmu melakukan apa-apa. Ibu juga tidak akan suka kalau kita merebut rumah itu lagi. Tapi, kau bolah lakukan apapun yang kau mau pada mereka.”
            Yuto mengepalkan tangannya yang berada di atas meja. Mencerna sekaligus cukup terpengaruh dengan nada bicara Takuya.
            “Kau pasti tidak akan membiarkan mereka hidup tenang sementara kau tidak tahu bagaimana nasib ibu dan kakakmu, Yasuo.”
            “Baiklah aku pulang sekarang.” Yuto berdiri sambil memutuskan sambungan secara sepihak. “Maaf, aku minta tolong makanan ini dibungkus,” ujarnya pada salah satu pelayan yang kebetulan melintas. Yuto kemudian berjalan menuju meja kasir untuk membayar semua pesanannya. “Aku titip ini untuk Noona-mu.” Yuto meletakkan kotak bekal yang siang tadi diberikan Chaeyoung padanya. “Sekalian aku ingin membayar pesananku.”
            Dongju yang menjaga meja kasir langsung memeriksa total tagihan milik Yuto. “Bukankah kau baru datang?” Tanya Dongju heran karena ia pikir Yuto menghabiskan seluruh makanannya dalam sekali suapan.
            Yuto mengangguk sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku celananya. “Aku ada sedikit urusan. Jadi terpaksa aku bawa pulang makanannya.”
            “Ini makananmu, Hyung.”
            Dongju dan Yuto menengok bersamaan ketika Dongmyung datang membawa bungkusan berisi makanan milik Yuto. Setelah Yuto menerima bungkusan tersebut, Dongmyung memberikan sesuatu lagi padanya. Sebuah kertas yang terlipat.
            “Ini alamat rumah kami.”
            Yuto dan Dongmyung saling tersenyum penuh rahasia. Dibalik itu semua, Dongju menjadi satu-satunya orang yang tidak senang melihat senyum keduanya. Bagaimana tidak, jika Yuto benar-benar datang membawa televisi miliknya, tentu Dongju harus mengeluarkan sejumlah uang seperti apa yang dikatakan Dongmyung kalau dirinya merusak televisi.
            Tidak lama setelah Yuto meninggalkan restoran, Dongmyung berniat kembali kea rah dapur, namun di sana ia bertemu dengan Chaeyoung bersama seorang pemuda, Kogyeol. Mereka baru saja memunculkan diri dari dalam sebuah ruangan, bersebelahan dengan pintu dapur.
            “Dongmyung!” Suara Chaeyoung menghentikan langkah Dongmyung tepat di depan mereka. “Besok Kogyeol Oppa akan mulai bekerja di sini, kamu tolong bantu dia ya.”
            “Siap, Noona.” Dongmyung melakukan pose hormat sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur.
            “Chaeyoung-ah, terima kasih banyak atas semuanya. Maaf aku terlibat mencelakaimu waktu itu.”
            Chaeyoung meninju pelan lengan Kogyeol. “Aku sudah melupakan kejadian itu. Jangan bahas lagi, oke.”
            Kogyeol tertawa canggung. “Kalau begitu aku pamit.”
            Chaeyoung mengangguk sebelum Kogyeol balik badan dan bersiap meninggalkan restoran. “Ah, Oppa. Di hari Sabtu aku akan datang siang. Kalau butuh sesuatu cari saja Dongmyung atau Dongju.”
            Kogyeol kembali mengangguk sebelum akhirnya benar-benar berjalan meninggalkan restoran. Chaeyoung sendiri memililih kembali ke ruangan yang bisa dikatakan seperti kantor. Sebuah ruangan dengan meja kursi selayaknya ruangan pimpinan di sebuah perusahaan, lengkap dengan lemari tanpa pintu yang berisi penuh dengan deretan dokumen. Sementara itu di sisi lain ruangan terdapat dua buah sofa panjang yang diletakkan membentuk sudut dengan meja berbentuk oval di tengah-tengahnya. Diatas sofa tampak penuh dengan bantalan sofa yang bertumpuk dengan ransel dan seragam sekolah milik Dongmyung dan Dongju.
            Chaeyoung menutup pintu dibelakangnya, sedikit melakukan peregangan sampai akhirnya ia menemukan sesuatu di kolong kursi. Chaeyoung mendekat dan berjongkok untuk mengambil benda tersebut yang ternyata adalah sebuah dompet laki-laki.
“Apa ini milik Kogyeol Oppa?”
Untuk memastikan siapa pemilik dompet tersebut, Chaeyoung memberanikan diri membukanya. Yang ia temukan justru sebuah foto. Laki-laki dan perempuan berseragam SMA. Yuto bersama seorang gadis bernama Sana. Chaeyoung bergegas melesat meninggalkan ruangan tersebut. Ia teringat bertemu Yuto tepat ketika ia baru saja sampai di restoran. Chaeyoung hanya bertemu dengan Dongmyung yang duduk di belakang meja kasir.
“Pemua yang dompetnya dicuri kemarin itu, apa dia datang ke sini?”
            “Dia hanya membeli makanan dan mengembalikan kotak bekalmu, Noona.” Dongmyung bicara tanpa mengalihkan tatapannya pada layar monitor. Tidak lama Dongju kembali dan memaksa Dongmyung berdiri dan pergi dari kursi yang biasa ia tempati. Dongmyung terpaksa berdiri dengan menujukkan ekspresi kesalnya.
            Chaeyoung memberikan dompet milik Yuto ditangannya kepada Dongmyung. “Tolong cari identitas pemilik dompet ini. Aku tidak berani membukanya.”
            Ditempatnya berada, Dongju hanya melirik sekilas interaksi antara Chaeyoung dengan Dongmyung tanpa ada minat sedikitpun untuk tahu lebih. Banyak hal yang lebih penting untuk ia kerjakan.
            “Hahahaha.”
            Chaeyoung mendongak dengan ekspresi bingung karena tibat-tiba mendengar suara orang tertawa. “Ada siapa di atas?” Gadis itu hanya melihat bagian punggung seseorang yang bersandar pada pagar pembatas.
            “Kino Hyung dan teman-temannya.” Dongju yang tampak menjawab sambil berdiri dan meninggalkan tempatnya lagi.
            “Apa Hangyul juga ada?” Chaeyoung bertanya.
            Dongmyung menggeleng. “Tidak ada.” Pemuda itu masih sibuk membongkar isi dompet milik Yuto. “Nama pemilik dompet ini Adachi Yuto. Dan semua identitasnya beralamat di Jepang. Tapi sudah tidak ada uang cash.” Dongmyung sudah membereskan kembali isi dompet Yuto ke tempatnya semula. “Noona kau dapat ini dari mana?”
            “Sepertinya itu ada pada Kogyeol Oppa.”
            Chaeyoung mengeluarkan ponselnya dari saku rok dan mengetikkan sebuah pesan untuk kontak milik Kogyeol.

***
            Yugyeom bersandar di pagar pembatas restoran dengan segelas jus jeruk di tangannya. Ia menatap ke bawah dan tepat ketika Chaeyoung melintas dengan langkah sedikit tergesa-gesa. Sambil menikmati minumannya, Yugyeom tidak mengalihkan tatapan pada Chaeyoung. Sementara itu sedikit kehebohan terjadi antara mereka-mereka yang bermain billiard.
            “Hahahaha.” Tawa Junyoung dan Eunwoo terdengar pecah membuat perhatian Yugyeom pada Chaeyoung sedikit teralih.
            Yugyeom menoleh tepat ketika Chaeyoung juga mendongak ke tempatnya berada. Yugyeom mendapati wajah-wajah suram antara Kino dan Wooseok yang kalah dari Junyoung serta Eunwoo.
            “Kalian sama saja bunuh diri kalau mengajak Eunwoo bertanding,” kata Yugyeom.
            Wooseok menendang kaki meja billiard sebagai ekspresi kekesalan. Namun tentu tidak benar-benar ingin ia rusakkan. Kino sendiri yang juga mengalami kekalahan dari Eunwoo tampak menelungkupkan wajahnya diatas meja billiard. Junyoung sampai menepuk-nepuk kepala Kino untuk menghibur pemuda itu.
            “Aah! Aku ingin ke toilet dulu.” Kino menegakkan tubuhnya kembali kemudian berjalan lunglai menuju tangga. “Jangan mulai tanpa aku.”
            Eunwoo mengambil tempat duduk di salah satu sofa dan mulai menyeruput jus jeruk miliknya. Junyoung bergabung kemudian menikmati makanan pesanan mereka yang belum lama diantar.
            “Wooseok, ayo makan duu.” Yugyeom terlihat menepuk pelan pundak Wooseok sambil mengajaknya bergabung.
            “Hangyul tidak ikut ke sini?” Tanya Eunwoo ketika Wooseok sudah duduk di sebelahnya.
            Tidak ada yang menjawab karena Junyoung sudah memenuhi mulutnya dengan makanan. Wooseok dan Yugyeom hanya mengangkat bahu mereka tanda tidak tahu. Sesaat mereka tenggelam dalam kesibukan masing-masing menikmati makanan mereka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki—lebih dari satu orang—menaiki tangga. Kino memunculkan diri bersama Hangyul menyusul di belakangnya.

***

            Yuto membanting pintu di belakangnya, berjalan tergesa-gesa. Ia bahkan sampai melempar ranselnya sembarangan ke atas sofa. Beruntung bukan makan malamnya yang terlempar. Yuto melesat ke kamar, dan hanya mengambil laptop yang kemudian ia bawa ke atas meja makan. Perutnya sudah sangat lapar. Sambil menunggu laptopnya menyala, Yuto menyiapkan makanan yang ia beli dari restoran Chaeyoung.
            Jari-jari tangan Yuto bergerak-gerak diatas keyboard laptopnya. Masuk ke layanan e-mail. Seperti apa yang Takuya katakan, pemuda itu mengirimi semuah file melalui e-mail. Yuto langsung men-download file tersebut dan membuka untuk melihat isinya. Sebuah data diri seorang wanita paruh baya bernama Lee Yura. Data berupa biodata, lengkap dengan nama suami, anak-anak sampai keluarga.
            “Keigo Nishimoto.” Yuto bergumam pelan.
            Jari pemuda itu tidak berhenti bergerak. Kali ini membawanya pada orang berikutnya. Seorang gadis berusia satu tahun diatasnya bernama Myoi Mina. Melihat ada informasi berupa akun social media milik Mina, Yuto mengeluarkan ponselnya dan mencari akun tersebut. Yuto mengangkat ponselnya bersejajar dengan layar monitor laptopnya. Melihat satu demi satu foto yang ia temukan. Mengabaikan hal itu sesaat, Yuto melanjutkan penjelajahannya. Dan terakhir ia menemukan foto seorang pria yang diketahui adalah suami dari Lee Yura. Keigo Nishimoto.
            “Ayah.” Yuto berujar pelan. “Akh!” Yuto membanting ponselnya ke lantai. “Susah payah aku menghindar, ternyata anak itu justru satu sekolah denganku.”
            Yuto berdiri. Tangannya terulur dan berniat untuk menutup layar laptopnya. Namun niatnya terhalang karena mendengar ponselnya berdering. Yuto menunduk dan mendapati benda itu berada di kolong meja dengan kondisi retak di beberapa sudut layarnya. Takuya kembali meneleponnya.
            “Kenapa dia jadi sering meneleponku?”
            Yuto berjongkok untuk memungut ponselnya.
            “Ya, Onni-chan.” Yuto bersuara dengan nada malas. Mood-nya mendadak buruk. “Aku baru saja selesai melihat e-mail darimu. Kau ingin aku melakukan apa? Aku tidak suka menggunakan kekerasan.”
            “Aku tidak menyuruhmu melakukan kekerasan. Kau pasti bisa berfikir, kan? Buat gadis itu menderita. Hanya kau yang bisa ku harapkan. Jika aku belum menikah, mungkin aku sendiri yang akan melakukannya.”
            “Tidak peduli. Kalau perlu akan pindah sekolah agar aku tidak bertemu dengannya dan fokus mencari ibu.”
            “Terserah!” Takuya berseru sakartis. “Jika kau tidak melakukan apapun, ku buat kau jadi gelandangan di Korea.”
            “Aku bahkan sudah jadi pengemis yang tinggal di apartment mewah! Hei! Takuya!” Yuto memaki ponselnya. Ia sadar beberapa detik lalu bahkan Takuya sudah memutuskan sambungan teleponnya. Sukses membuat Yuto mengumpat sampai tidak memanggil Takuya dengan sebutan ‘Onni-chan’.
            Yuto mengangkat tangannya yang memegang ponsel ke udara, bersiap melempar ponselnya untuk kedua kali. Namun mendadak ia batalkan karena matanya menangkap bungkusan makan malamnya yang masih tertunda sampai detik ini. Teringat Chaeyoung jika ia benar-benar melakukan hal itu, pindah ke sekolah lain. Yuto hanya masih ingin bertemu gadis itu. Gadis yang sudah menyisakan luka dihidungnya. Belum lagi kondisi ponselnya yang sudah retak semakin menamparnya jika kini ia sedang tidak punya apa-apa. Untuk makanpun ia harus menjual beberapa barang.
            “Akh, aku lapar.”
            Mengesampingnya urusan tentang Takuya, ayah dan orang lain disekelilingnya. Yuto mengambil makanan miliknya yang seharusnya sudah dicerna didalam lambungnya sejak tadi.

***


Jumat, 10 Agustus 2018

-BEAUTIFUL MONSTER (2)-




Author          : N-Annisa [@nniissaa11]
Cast                :
·        Son Chaeyoung
·        Adachi Yuto
·        Kang Hyunggu (Kino)
·        Jung Wooseok
·        Lee Hangyul
·        and other
Genre            : School Life, Romance, Drama

***

            Baru saja sampai di kamarnya, ponsel Yukyung tampak berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Yukyung langsung melepas ransel dan membanting tubuhnya ke atas kasur. Sebuah panggilan dari Wooseok.
            “Aku baru saja sampai, sunbae, eh maksudku oppa,” ujar Yukyung setelah menekan tombol answer pada layar ponselnya.
            Sementara di seberang sana, tampak Wooseok sedang berjalan kaki menuju gedung tinggi di depannya. “Aku tau, makanya aku telepon sekarang. Hahaha.” Tawa Wooseok membuat Yukyung sedikit merona.
            “Apa kau juga baru sampai rumah?” Yukyung balas bertanya sambil memeluk boneka beruang kesayangannya. Pemberian Wooseok.
            Wooseok menekan tombol pada tembok di dekat pintu lift lalu bersandar pada tembok sambil menunggu lift tiba. “Iya, aku sedang menunggu lift. Bagaimana harimu?”
            “Sedikit kesal karena tidak bisa berdekatan denganmu.” Yukyung tampak cemberut meski Wooseok tidak bisa mleihatnya.
            “Ahh iya, aku juga sedikit tersiksa karena hal itu. Tapi, apa aku akan kuat menjalani hubungan seperti ini. Aku tidak bisa mengunjungimu sesuka hati. Rasanya seperti berada di beda dunia denganmu.”
            “Hmm, oppa jangan seperti itu. Sejauh ini aku cukup menikmatinya. Oppa jangan khawatir, aku baik-baik saja di sini.” Yukyung memeluk semakin erat boneka beruang berwarna biru muda itu. Jelas ia seperti mengkhawatirkan sesuatu.
            Saat ini lift yang ditunggu Wooseok sudah tiba. Dan Wooseok segera masuk ke dalam lalu menekan tombol angka 4. “Ya, aku memang khawatir.” Wooseok menyandarkan tubuhnya pada dinding lift. “Oiya, apa terjadi sesuatu pada Chaeyoung hari ini?”
            Yukyung sontak menegakkan tubuhnya. Memikirkan apa yang baiknya ia katakan pada Wooseok. Ini pasti ada kaitannya dengan Yuqi. “Hmm, Chaeyoung baik-baik saja kok, oppa.”
            “Kalau begitu pasti ada sesuatu pada Yuqi?” tebak Wooseok.
            Yukyung nyaris tersedak ludahnya sendiri, namun ia langsung bisa mengendalikannya. Pertanyaan Wooseok begitu mengangetkan untuknya. “Oh itu. Yuqi tampak senang sekali karena bisa pergi kencan dengan Kino sunbae.” Yukyung berusaha membuat suaranya terdengar ceria.
            Kali ini Wooseok sudah keluar lift, dan langsung berjalan lurus. Rumahnya berada di barisan kanan. Setelah menekan password, Wooseok langsung masuk sambil melempar ranselnya ke atas sofa. Sementara dirinya berjalan terus menuju dapur, dan membuat kopi instant. “Ku harap kamu jujur ya, Yukyung.” Wooseok menjauhkan ponselnya, menekan mode speaker lalu meletakan ponselnya di atas meja makan.
            Di kamarnya berada, Yukyung meringis. “Gimana ini?” Yukyung bergumam pelan, bahkan nyaris tidak terdengar. “Oppa. Hmm. Itu.” Sambil menggigit telinga boneka beruangnya yang tidak bersalah.
            Wooseok melirik ke arah ponselnya sekilas, sambil melanjutkan membuat kopinya. Ia menunggu apa yang akan Yukyung katakan.
            Yukyung membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. “Oppa, apa kau tau sesuatu tentang Chaeyoung? Sesuatu yang tidak diketahui banyak orang? Mungkin tentang kekasih Chaeyoung? Apa dia pacaran dengan salah satu pemuda di Camp Muay Thai?”
            Wooseok membatalkan niat untuk menyeruput minumannya. Selama Yukyung melemparinya pertanyaan, Wooseok menatap layar ponselnya. “Apa hal itu yang membuat Yuqi terlihat aneh?” Bukannya menjawab, Wooseok justru balik melempari pertanyaan pada Yukyung.
            “Oppa, aku takut jika kesannya aku mengadukan hal ini padamu.”
            Wooseok buru-buru menyambar ponselnya, dan mengembalikan settingan seperti sebelumnya, lalu menempelkannya pada telinga. “Kau mengerti bagaimana rasanya harus menjauhi seseorang yang kau suka, kan?” Wooseok bicara sambil berjalan menuju balkon apartmentnya.

***

            Sebuah taksi berhenti di depan gerbang bangunan tinggi, sebuah apartmen mewah. Dari dalam taksi tersebut, muncul seorang pemuda tinggi dengan pakaian serba hitam dan sebuah ransel besar di punggungnya. Pemuda yang sama yang mengunjungi makam seseorang bernama Minatozaki Sana saat berada di Tokyo, Jepang. Sebelum memasuki area apartement, pemuda itu mengambil koper besarnya, lalu menariknya menuju gerbang yang sudah disambut oleh seorang security.
            Kombanwa.” Pemuda tadi menyapa dengan menggunakan bahasa Jepang membuat security yang menghampirinya memasang ekspresi bingung. “Ah maaf. Apa benar alamat ini di sini?” Pemuda itu langsung berbicara dengan bahasa Korea dengan aksen Jepangnya.
            Security tadi menerima selembar kertas yang diberikan oleh pemuda itu. “Oh, iya benar. Anda ingin menemui seseorang di sini?”
            “Ah, bukan.” Pemuda tinggi itu menggeleng tegas. “Perkenalkan, saya Adachi Yuto. Saya berasal dari Jepang, dan baru pindah ke sini.” Pemuda yang mengaku bernama Yuto itu bahkan sampai mengajak sang security  untuk berjabat tangan. Meski memiliki raut wajah yang dingin, pemuda itu cukup ramah kepada seseorang yang bahkan baru ia kenal.
            “Silahkan, semoga anda betah tinggal di sini.”
            Yuto mengangguk sekali lagi sebelum akhirnya melangkah masuk menelusuri jalan menuju gedung apartment yang akan ia huni selama berada di Korea. Yuto berbincang sedikit pada petugas di meja information. Sebelum ini juga Yuto sudah memiliki kunci rumahnya sendiri. Setelah itu Yuto lebih memilih untuk membawa sendiri kopernya menuju lantai 8 setelah menolak secara halus petugas yang berniat membantunya.
            Saat keluar dari lift, Yuto berpapasan dengan seorang laki-laki berusia 23 tahunan. Yuto lagi-lagi mengangguk sopan. Kali ini dibalas anggukan pula dengan pemuda yang ditemuinya itu. Pemuda tinggi dengan wajah tampan layaknya model.
            “Wah, apa dia artis?” Yuto menebak-nebak sendiri dengan menggunakan bahasa Jepang ketika pemuda tadi sudah masuk ke dalam lift. Kemudian Yuto melanjutkan berjalan lurus di koridor yang tampak sepi malam itu. Setelah menemukan apa yang ia cari, Yuto langsung menempelkan kartu pada pintu yang berguna sebagai kunci. Setelah pintu terbuka, Yuto melangkah masuk dan langsung menyalakan lampu hingga membuat ruangan yang tadi gelap menjadi terang dan memperlihatkan perabotan rumah yang tampak elegan dan mewah.
            Yuto masuk dengan tatapan kagum menatap tiap inchi bagian rumah yang bisa tertangkap dengan matanya. Terlihat di bagian kanan ada sebuah ruangan. Saat membuka pintunya, Yuto mendapati sebuah kamar tidur lengkap dengan perabotannya dan sebuah kamar mandi di ujung sana. Yuto yang masih menarik kopernya langsung membawa masuk dan membiarkannya di tengah ruangan.
Onii-chan bilang seragam sekolahku..” Yuto tidak menyelesaikan kalimatnya dan berjalan menuju lemari besar di kamarnya. Membuka lemari gantung yang masih cukup kosong dan hanya ada beberapa potong seragam sekolah. Yuto meraih salah satunya, mencoba mengepaskan ke tubuhnya sambil berkaca melalui cermin di balik pintu lemari. “Nice!” Setelahnya, ia kembali ke luar dan berjalan menuju balkon. Terlihat pemandangan malam kota yang indah meski gedung-gedung pencakar langit terlihat cukup jauh dari sana.
            “Takuya onii-chan ternyata memiliki ini semua di Korea.”
            Yuto bersandar di tepi balkon. Membiarkan dinginnya angin malam menerpa tubuhnya. Saat menengok ke samping, terlihat gerbang apartmen yang ia lewati tadi. Sementara itu di seberang sana terdapat banyak bangunan. Salah satu diantaranya tampak memiliki dua lantai dan cukup ramai dikunjungi orang-orang.
            “Bukankah itu restorant yang aku lihat di taksi tadi? Perutku mendadak lapar.”
            Tanpa pikir panjang lagi, Yuto langsung kembali ke dalam rumah sambil memeriksa saku celananya. Setelah yakin ponsel dan dompetnya masih aman, Yuto tidak buang waktu untuk melesat pergi ke luar apartmennya. Ketika melalui gerbang, Yuto kembali menyapa security tadi.
            “Apakah makanan di sana enak?” Yuto bertanya sambil menunjuk restoran di seberang jalan sana.
Security tadi mengangguk membenarkan. “Kau harus coba makanan di sana.”
            Tanpa buang waktu, Yuto berjalan menyeberang. Beruntung malam itu jalan raya tidak terlalu ramai kendaraan.

***
            Hangyul dan Kino menyeruput kuah jjampong langsung dari mangkuknya. Chaeyoung yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala.
            “Apa itu untuk meringankan pekerjaan kalian saat mencuci piring nanti?” goda Chaeyoung sambil meneruskan makannya.
            Hangyul menyandarkan punggungnya pada kursi. “Ah, aku rela mencuci piring di sini agar bisa menikmati masakan bibi Hana.”
            “Ini alasan kenapa aku… ah maksudnnya aku dan Hangyul ke sini. Kami kehilangan nafsu makan jika di sekolah.” Kino ikut angkat bicara.
            “Aku tidak bisa membayangkan kalian hidup seperti ini setiap hari. Selalu di awasi.” Hanya sesaat untuk bisa melupakan masalah itu. Hangyul kembali teringat namanya terpajang di madding sekolah.
            Kino terkekeh melihat ekspresi frustasi Hangyul. “Eunwoo sunbae sudah merasakan hal ini lebih lama.”
            Hangyul semakin terlihat frustasi.
            “Tapi aneh, kenapa nama Dokyeom sunbae bisa tergantikan? Padahal selama ini mereka mungkin bisa untuk menambah nama orang baru. Dan sampai sekarang aku tidak mengerti kenapa mereka melakukan ini.”
            Kino dan Hangyul memperhatikan Chaeyoung berbicara.
            “Yang ku dengar, ini berawal dari Eunwoo sunbae menolak cinta Mina sunbae. Dan jika namamu masuk daftar tersebut, bisa dipastikan memang ada yang menyukaimu.”
            “Tidak mungkin.” Hangyul langsung menolak pernyataan Kino.
            “Sudah jadi rahasia umum.”
            “Tapi siapa?”
            Chaeyoung mengangkat bahunya ketika Hangyul bertanya sambil menatapnya. “Entahlah. Mungkin saja yang sekelas denganmu.”
            “Waaah, berarti itu kau.”
            Kino semakin terkekeh melihat wajah kesal Chaeyoung menanggapi ucapan Hangyul yang penuh dengan percaya diri. Belum sempat Chaeyoung merespon ucapan Hangyul, tampak Dongmyung mendekati mereka. Lengkap dengan kotak makanan yang terbungkus rapih.
            “Noona, aku mau mengantarkan ini pada Hyung.”
            Chaeyoung langsung mendongak ke arah Dongmyung. “Ah, oppa sudah pulang. Baiklah, hati-hati di jalan.”
            Chaeyoung, Kino dan Hangyul kompak menatap Dongmyung yang melangkah menjauh.
            “Sebenarnya, aku penasaran tentang oppamu.”
            “Dia sangat tinggi dan tampan.” Hangyul berkata dengan penuh semangat. “Dia artis terkenal, dan dia sangat sibuk.”
            Kino melirik ke tempat Chaeyoung dengan ekspresi kagum. “Benarkah?”
            “Tapi ku harap sunbae bisa tutup mulut. Tidak seperti Hangyul.” Chaeyoung melempar tatapan sinis pada Hangyul. “Lagipula, tidak ada yang akan percaya jika oppaku adalah seorang idol.”
            Lagi, Kino terkekeh melihat kekesalah Chaeyoung pada Hangyul yang sama sekali tidak merasa bersalah.

***

            Begitu sampai restoran, Yuto langsung mencari meja kosong dan duduk di sana sambil melihat-lihat menu makanan. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Yuto menetapkan pilihan setelah pelayan datang. Yuto menatap berkeliling. Suasana restoran malam itu tidak terlalu ramai. Terlebih karena ini bukan akhir pekan. Di kejauhan, Yuto melihat 3 orang siswa, seorang siswa perempuan yang duduk membelakanginya, dan 2 orang siswa laki-laki di depan siswi perempuan itu.
            “Mirip dengan seragam sekolahku.”
            Yuto merasakan ponselnya bergetar, menandakan sebuah pesan masuk. Dari kakaknya di Jepang yang menanyakan kondisi terakhir Yuto setelah sampai Korea. Sambil membalas pesan kakaknya, seorang pelayan tampak membawakan pesanannya. Yuto hanya mendongak sebentar sambil mengucapkan terima kasih.
            Karena suasana restoran yang tidak terlalu ramai, pembicaraan 3 orang yang Yuto lihat sampai terdengar di tempatnya. Yuto sempat melirik sesaat. Tersenyum tipis melihat keseruan 3 orang itu yang sebenarnya adalah Kino, Hangyul dan Chaeyoung.
            “Hmm, wanginya saja sudah tercium enak.”
            Mengalihkan kembali fokus pada makanan di depannya, Yuto yang sudah merasa lapar langsung mencicipi pesanannya. Ponsel di sebelah piring Yuto masih tampak menyala. Ternyata sambil menikmati makanan, Yuto mencoba mencari tahu tentang sekolahnya nanti. Sebenarnya Takuya menyuruh Yuto untuk datang ke sekolah, lusa. Namun Yuto bertekad jika besok akan menjadi hari pertamanya bersekolah di Korea.
            “Ternyata benar makanan di sini enak. Seenak masakan ibu.” Sesaat Yuto tenggelam dalam kesedihannya. Tujuan ia datang ke Korea adalah memang untuk mencari ibunya yang orang Korea, dan satu orang kakak laki-lakinya lagi yang ikut bersama ibunya.
            Tidak sampai setengah jam, Yuto sudah menyelesaikan makan malamnya dan langsung membayar pesanannya di kasir. Kebetulan yang menunggu di sana adalah Dongju.
            “Dongmyung-ah.” Dongju memanggil Dongmyung yang lewat di depannya. Sambil melihat Dongju melakukan transaksi dengan Yuto, Dongmyung tampak berjalan mendekat.
            “Apa?”
            “Setelah kau mengantar makanan, aku minta tolong belikan cemilan di minimarket. Jangan lupa ramyun juga.” Dongju tampak sudah menyodorkan selembar uang.
            Yuto sendiri tampak masih di sana, merapihkan uangnya ke dalam dompet sambil melihat dua anak yang memiliki kemiripan ini.
            Noona akan marah kalau kau makan ramyun.” Dongmyun menyambar uang pemberian Dongju sambil bicara dengan nada memperingatkan.
            “Tidak apa, dia pasti akan memakan ramyunku juga.”
            “Baiklah.” Tanpa memprotes lagi, Dongmyung langsung balik badan dan berjalan ke luar, meninggalkan Dongjun bersama Yuto yang masih di sana.
            “Boleh aku tanya sesuatu?”
            Dongju mendongak karena merasa Yuto tampak berbicara padanya. “Iya?”
            “Di mana minimarket terdekat dari sini?” Tanya Yuto dalam bahasa Korea dengan aksen Jepangnya yang kental.
            “Oh. Di ujung jalan sana, dekat dengan halte bus. Hyung hanya cukup berjalan kaki.” Dongju tampak menjelaskan sambil memperagakan arah dengan menggunakan tangannya.
            Arigatau!”
            “Ah, iya.” Dongju terlihat bingung harus membalas ucapan Yuto seperti apa, karena ia sendiri tidak terlalu mengerti bahas Jepang.
            Setelah itu, tampak Yuto meninggalkan restoran. Menelusuri jalan seperti apa yang dikatakan Dongju tadi. Di ujung sana memang terlihat jalan yang jauh lebih ramai. Yuto ingat ia juga melalui jalan itu tadi saat berada di dalam taksi.

***

            “Jangan lupa kunci semua pintu.” Pemuda itu merangkul Dongmyung sambil mengantarnya ke luar pintu apartment. Itu pemuda yang sama yang ditemui Yuto saat baru saja tiba di apartmentnya. Bahkan apartment mereka berseberangan.
            “Tidak perlu khawatirkan hal itu, Hyung.”
            Pemuda bernama Dongwoon itu mengacak gemas rambut Dongmyung. “Sampaikan rinduku pada Chaeng dan Dongju.”
            “Baiknya Hyung saja yang pulang.” Dongmyung berkata dengan raut wajah cemberut. “Padahal tempat tinggal kita bersebelahan, Hyung.”
            “Kalau begitu kalian saja yang menginap di sini.”
            “Ah, pasti pagi-pagi buta Hyung sudah akan pergi lagi.”
            Dongwoon hanya tertawa melihat ekspresi kesal yang ditunjukkan Dongmyung. Dongwoon kembali mengacak rambut adiknya tersebut. Namun kali ini dengan ekspresi sedikit kecewa. Kesibukannya membuat tidak ada waktu luang lebih banyak untuk ia habiskan bersama ketiga adiknya.
            “Hahaha sudahlah, Hyung. Tidak perlu terlalu khawatir. Kami baik-baik saja.” Dongmyung menunjukkan senyumannya agar Dongwoon tidak mengkhawatirkannya. “Aku harus kembali ke restoran.” Dongmyung memeluk singkat tubuh tinggi Dongwoon sebelum akhirnya melesat pergi menuju lift.
            Dongwoon menatap bagian belakang tubuh Dongmyung yang semakin terlihat menjauh. Dongwoon hanya mengangkat salah satu tangannya saat Dongmyung menaiki lift dan melakukan hal yang sama.
            “Maafkan Hyung.” Dongwoon berujar lirih seiring pintu lift yang menutup dan menyembunyikan tubuh Dongmyung di dalamnya.
            Sementara di dalam lift, setelah pintu tertutup, Dongmyung langsung kehilangan senyumannya. Tangannya pun langsung jatuh menjuntai ke bawah. “Mungkin Hyung memang lebih nyaman untuk hidup seperti ini.”
            Dongmyung berjalan meninggalkan gerbang apartment tempat Dongwoon tinggal setelah sebelumnya sedikit menyapa security yang berjaga di sana. Dongmyung memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia berjalan ke arah yang berlawanan dengan restoran karena ia hendak menuju minimarket di dekat jalan raya. Sambil berjalan, Dongmyung merogoh saku celananya. “Waah, ponselku ternyata tertinggal.”
            Tanpa berniat kembali ke restoran, Dongmyung meneruskan langkah sampai akhirnya ia tiba di sebuah minimarket. Tampak seseorang sedang membayar tagihan belanjanya saat Dongmyung masuk. Orang itu—yang ternyata adalah Yuto—sempat menoleh sesaat, namun Dongmyung asik tenggelam dengan pikirannya sendiri sambil menyambar keranjang belanja, Dongmyung langsung menelusuri rak-rak tempat barang-barang terpajang.

***

            “Sampai bertemu besok.”
            Chaeyoung balas melambaikan tangan pada Kino dan Hangyul yang berjalan meninggalkan restoran miliknya. Setelah dua pemuda itu sudah mulai menghilang dikejauhan, Chaeyoung memutuskan untuk kembali masuk ke dalam restoran. Di sana ia menangkap sosok Dongju yang masih sibuk di balik meja kasir. Chaeyoung memutuskan untuk menghampiri adiknya itu.
            “Apa Dongmyung sudah kembali?”
            Dongju hanya mendongak sesaat lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya mencatat sesuatu. “Belum. Tadi aku minta tolong padanya untuk ke minimarket.”
            “Ah, harusnya aku juga menitip sesuatu.” Chaeyoung kemudian melirik jam di tangannya, sementara tangannya yang lain memegang ponsel dan mencari kontak telepon Dongmyung.
            Dongju menoleh ketika merasakan sesuatu berbunyi di dekatnya. Itu ponsel Dongmyung yang tertinggal. Menampilkan nama Chaeyoung di layarnya. “Noona, sepertinya Dongmyung meninggalkan ponselnya.”
            Chaeyoung menoleh tepat ketika Dongju menunjukkan layar ponsel milik Dongmyung yang masih tertera kontak milik Chaeyoung. Menyadari hal itu, Chaeyoung langsung mematikan sambungannya. “Baiklah. Aku menyusul ke sana saja kalau begitu.”
            Dongju mengangguk sekilas, lalu kembali menyelesaikan pekerjaannya. “Selamat malam,” sapa Dongju ramah begitu ada pelanggan yang datang.
            Chaeyoung sendiri langsung berjalan meninggalkan restorannya. Sambil merapatkan jaketnya, Chaeyoung terus berjalan. Hanya tinggal beberapa langkah lagi ia akan tiba di ujung jalan yang lebih ramai dengan kendaraan. Di kejauhan Chaeyoung mendengar suara keributan dan langkah kaki orang-orang yang berlari. Chaeyoung sempat menoleh ke belakang. Namun hanya sepi yang ia temui. Tapi derap langkah tersebut semakin terdengar jelas.
            Chaeyoung kembali berbalik dengan gerakan cepat. Secepat orang itu yang kini menabrak tubuh mungil Chaeyoung hingga gadis itu tidak sempat menghindar. Belum lagi pencahayaan di sana sedikit minim. Chaeyoung sempat menjerit karena badannya tertimpa badan seseorang yang bisa dipastikan itu adalah seorang pemuda.
            “Maaf.” Orang itu sempat berujar sedikit sebelum akhirnya bangkit dan kabur tanpa mempedulikan Chaeyoung.
            “Berhenti!” teriak Chaeyoung sambil secepat mungkin berdiri dan langsung mengejar gerombolan orang yang berjumlah sekitar 5 orang.
            Noona! Mereka mengambil dompetku!”
            Teriakan Dongmyung membuat Chaeyoung berlari semakin kencang. Sudah ada satu orang terdekat di depannya. Chaeyoung mengulurkan tangan, berusaha meraih pundak pemuda tinggi itu. Setelah berhasil, Chaeyoung berusaha menahannya. Namun pemuda itu berhasil menepis tangan Chaeyoung. Tidak ingin menyerah begitu saja, Chaeyoung mendorong tubuh tinggi pemuda itu sampai tersungkur namun berusaha untuk mengimbari badannya agar tidak benar-benar terjerembab ke aspal.
            “Kembalikan dompet adikku!”
            Buk!
            Chaeyoung melayangkan tinjunya tepat ke hidung pemuda itu sebelum pemuda itu berhasil melepaskan diri. Chaeyoung mencengkeram bagian kerah pemuda itu, sementara tangannya yang lain sudah terangkat dan mengepal erat. Pemuda itu adalah Yuto.
            “Berhenti kalian!” Dongmyung masih berteriak sambil terus berlari.
            Chaeyoung menoleh tanpa mengubah posisinya sedikitpun. Perlahan Yuto menyingkirkan tangan Chaeyoung sambil berdiri. Dirasa tawanannya hampir terlepas, Chaeyoung sontak menggerakkan tangannya, namun berhasil di tahan oleh Yuto.
            Dikejauhan tampak Dongmyung sudah berjalan kembali ke tempat Chaeyoung berada dengan napas tersengal-sengal. Dongmyung berhenti sambil membungkuk karena lelah. “Hyung dompetmu…” Dongmyung tidak melanjutkan ucapannya karena terlalu lelah berlari dan karena di hadapannya ia melihat tangan Yuto seperti menggandeng tangan Chaeyoung.
            “Sudahlah tidak apa-apa. Yang penting ponselku masih aman. Aku bisa menelepon orang Bank untuk memblokir kartuku.” Yuto menyentuh ujung hidungnya yang sedikit mengeluarkan darah.
            Mendengar semua obrolan Dongmyung dan Yuto, membuat Chaeyoung berhasil menyimpulkan sesuatu. “Jadi… kau…” Buru-buru Chaeyoung melempar pandangan ke arah lain karena menyadari Yuto pasti akan menoleh padanya. “Myung-ah, ajak dia ke resto. Aku akan mengobati lukanya.”
            Chaeyoung sudah bergerak lebih dulu meninggalkan dua pemuda itu sekaligus membuat genggaman Yuto padanya terlepas. Sambil mengibas-ngibaskan rok sekolahnya, Chaeyoung menemukan sesuatu menyangkut di sana. Sebuah nametag dengan nama Lee Dokyeom. Nametag dengan warna dasar putih itu menandakan jika pemiliknya adalah siswa kelas 3. Chaeyoung kemudian menyimpan benda itu ke dalam saku seragam sekolahnya. Gadis it uterus berjalan di depan, meninggalkan Dongmyung dan Yuto. Chaeyoung ke dalam restoran hanya untuk mengambil perlengkapan p3k. Saat kembali lagi ke luar, ia berpapasan dengan Dongmyung yang berjalan menuju restoran.
            Noona, kau urusi sendiri bisa, kan? Ada yang harus aku kerjakan.”
            Tanpa menunggu respon dari Chaeyoung, Dongmyung sudah lebih dulu melesat masuk ke dalam restoran. Sambil menggenggap barang-barang yang berada di dalam tangannya, Chaeyoung meyakinkan diri untuk menghampiri Yuto yang terlihat sedang menelepon seseorang. Tanpa ingin mengganggu, Chaeyoung menunggu Yuto sambil duduk di kursi yang terletak di bagian teras restoran.
            Chaeyoung melirik ketika menydari Yuto sudah mengakhiri obrolannya di telepon. “Duduklah. Aku akan mengobati lukamu.” Tangan Chaeyoung mulai mempersiapkan beberapa hal. Ia membasahi kapas dengan air bersih yang ia bawa menggunakan botol minum.
            Cheyoung menggeleng. Entah kenapa ia mendadak tidak bisa berkonsentrasi ketika melihat ada bercak darah pada pakaian Yuto. Buru-buru Chaeyoung menyodorkan beberapa lembar tissue pada Yuto. Dengan lembut Chaeyoung membimbing Yuto untuk menundukkan kepalanya dan membiarkan Yuto memegang sendiri tissuenya. Selagi itu, Chaeyoung membersihkan darah serta kotoran pada salah satu tangan Yuto. Ada luka kecil juga di sana. Chaeyoung meneteskan obat, lalu menutupnya dengan plester.
            “Pusing?” Chaeyoung menatap Yuto penuh kekhawatiran.
            Yuto menggeleng pelan. Yuto sendiri sejak tadi tidak melepaskan pandangannya pada Chaeyoung ketika gadis itu membersihkan lukanya.
            “Maaf ya. Bernafas dari mulut untuk sementara.”
            Belum sempat Yuto merespon, kini Chaeyoung sudah berdiri menggunakan lutut di hadapan Yuto. Mengganti lembaran-lembaran tissue yang sudah kotor dengan yang baru. Yuto hanya bisa meletakkan kedua tangannya ke atas paha saat menerima perlakukan Chaeyoung padanya. Kini kedua tangan Chaeyoung sudah berada di pipi Yuto sambil menekan-nekan pelan bagian hidung Yuto yang mengeluarkan darah.

***

            Pemuda itu membersihkan tangannya yang sedikit kotor dan ada sedikit luka gores di sana. Ia juga sambil menatap pantulan wajahnya pada cermin besar di hadapannya. Pemuda itu adalah Dokyeom. Masih menggunakan seragam sekolahnya, pemuda itu baru menyadari sesuatu. Tangan kanannya menyentuh bagian dada sebelah kiri. Nametag-nya hilang.
            Bruk!
            Ada sedikit keributan di luar sana. Dokyeom sempat menoleh ke arah pintu sambil mematikan keran air. Ia kemudian balik badan dan meninggalkan toilet tersebut. Di ruangan sebuah apartment kecil itu, Dokyeom mendapati seorang pemuda tinggi tampak berdiri sambil mengunci seseorang dalam cengkeramannya. Pemuda itu tidak termasuk dalam kejadian tadi saat mereka mencuri dompet Yuto.
            “Kau hanya terkena cinta buta. Makanya kau menjadi seperti ini.” Pemuda dalam kekuasaan Kogyeol itu terdengar berujar. “Akh!” jeritnya setelah Kogyeol semakin mengeratkan cengkeramannya. Empat orang lainnya hanya melihat tanpa ada yang bisa membantu.
            “Sudahlah, Gyeol.” Salah satu pemuda bertubuh tinggi tampak berdiri sambil menyodorkan sebuah dompet yang biasa digunakan laki-laki.
            Dengan tatapan tegas, Kogyeol menyambar dompet tersebut setelah melepaskan pemuda bernama Kuhn. Kogyeol langsung memeriksa isinya. Sontak ia melemparkan tatapan tajam pada Sungjoon, pemuda yang memberikan dompet tersebut.
            “Aku hanya mengambil uang cash. Kita juga butuh untuk bayar uang sewa tempat ini.”
            Tangan Kogyeol yang masih memegang dompet, tampak mengarah pada Dokyeom yang berdiri di depan pintu toilet. “Uang sewa katamu? Tempat ini bahkan sudah dilunasi Dokyeom sampai akhir tahun.” Kogyeol berujar dengan nada kecewa.
            Sungjoon menunjukkan ekspresi terkejut. Kemudian tatapannya jatuh pada pemuda di sudut ruangan yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya seorang diri. “Ya! Bitto!”
            “Iya iya, uang itu aku gunakan untuk kencan dan membelikan kalian makanan juga.” Tanpa mengalihkan tatapannya sedikitpun pada layar ponsel, pemuda yang tadi dipanggil Bitto itu terdengar membela diri.
            Kuhn bahkan sudah seperti ingin memakannya saat menatap Bitto.
            Kogyeol menghela napas, berat. Lalu tatapannya kembali jatuh pada Sungjoon. “Berapa uang yang kau ambil dari dompet ini?”
            Sungjoon hanya mengangkat bahu sambil melirik satu orang lagi diantara mereka yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. Namun kali ini pemuda tersebut tampak sibuk menghabiskan makanan yang ada di sebuah meja pendek.
            “Mungkin lebih dari lima ratus ribu.”
            “Aku pergi.” Kogyeol balik badan dan bersiap meninggalkan tempat itu.
            “Kapan kalian akan menikah?” Pertanyaan yang keluar dari mulut Dokyeom sontak langsung membuatnya menjadi pusat perhatian.
            Kogyeol membatalkan langkahnya tanpa sedikitpun berbalik. “Secepatnya. Aku ingin menjadi ayah yang baik untuk anakku.”
            “Apa? Kau…” Kuhn sudah berdiri dan siap mengejar Kogyeol yang sudah melanjutkan langkahnya.
Dokyeom lebih cepat untuk menghalangi pemuda itu. “Baiknya biarkan dia pergi.”
            Kuhn mengalah untuk tetap di sana. Ia lalu mendongak, menatap Dokyeom. “Kau tahu semuanya?”
            Dokyeom hanya menepuk pelan pundak Kuhn sambil berlalu. “Biarkan aku istirahat sekarang, besok aku harus sekolah.”

***

            Pintu lift itu terbuka dan memunculkan Yuto dari baliknya. Yuto berjalan sedikit sempoyongan. Kepalanya mulai sedikit sakit. Sementara tangannya tidak lepas dari tissue yang ia pegangi di bawah hidung. Darah yang tersisa hanya sedikit, namun itu bekas sebelumnya.
            “Begitu sampai rumah, jangan lupa kompres dengan air dingin.”
            Yuto membuka pintu apartmennya setelah memasukan password kunci. Melangkah lurus namun dengan tatapan yang tidak focus. Tujuannya sekarang adalah langsung menuju kamarnya, membaringkan tubuhnya di sana. Perlahan ingatannya melayang pada kejadian hampir setengah tahun lalu. Saat ia mengalami sedikit insiden ketika bermain sepakbola. Hidungnya berdarah, sama seperti yang terjadi hari ini. Ketika itu Yuto dibantu oleh seorang gadis yang selalu setia menemaninya.

Flashback on~
            “Yuto!” Gadis itu berteriak sambil berlari menghampiri tepi lapangan. Jelas kekhawatiran menghiasi wajahnya kala itu, melihat Yuto terluka. Gadis bernama Sana itu langsung berjongkok dihadapan Yuto. Mengambil berlembar-lembar tissue yang ia bawa untuk menghentikan darar Yuto.
            “Akh, pelan sedikit.” Yuto meringis sambil memegangi kedua pergelangan Sana.
            “Ahh, iya iya maaf.” Sana memijit-mijit pelan hidung Yuto. Namun Yuto justru semakin mengencangkan cengkeramannya. Membuat Sana tanpa sadar ikut menekan hidung Yuto makin kuat.
            “Lepas.” Kali ini Yuto menyingkirkan tangan Sana dari hidungnya. “Sudahlah, kau memang tidak bisa lembut padaku.”
            Sana hanya menatap Yuto dengan ekspresi kesal. Sama sekali tidak merasa bersalah, Yuto justru tertawa melihat wajah lucu Sana, membuat Yuto mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepala Sana sambil tersenyum.
            “Terima kasih sudah khawatir padaku.”
            Perlahan sosok gadis bernama Sana tersebut tergantikan dengan seorang gadis mungil bernama Chaeyoung yang sangat lembut mengobati lukanya. Yuto sama sekali tidak melepaskan pandangannya pada Chaeyoung yang fokus membersihkan hingga membersihkan luka. Padahal Yuto tahu jika Chaeyoung sendiri sebenernya mendapatkan sedikit luka ketika ditabrak oleh seorang pemuda tidak dikenal.
Flashback off~

            Yuto bangkit dengan gerakan sedikit kasar. Mukanya terasa panas, dan tenggorokannya terasa gatal. Terdengar pemuda itu berdeham beberapa kali sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Ruang makan yang menjadi satu dengan ruang utama membuat Yuto menoleh dan mendapati sepasang seragam sekolah tergeletak di atas sofa. Seragam yang sama dengan yang dikenakan Chaeyoung tadi. Tanpa sadar bibir Yuto tertarik ke samping membentuk seulas senyum sambil kemudian menghabiskan sisa air dalam gelasnya.
            “Aku ke sini untuk sekolah dan mencari ibu.” Yuto menegur dirinya sendiri ketika menyadari jika ia tengah tersenyum seorang diri. “Bukan untuk mencari pengganti Sana.” Yuto sontak meletakkan gelas kosongnya ke atas meja dengan gerakan sedikit kasar hingga menghasilkan suara dentuman keras. “Mungkin aku masih jet lag.”

***

            Dongmyung membagi-bagikan kotak makan yang sudah ia siapkan untuk Chaeyoung dan Dongju. Baik Chaeyoung dan Dongju sendiri langsung mengambil milik mereka lalu berdiri dari kursi makan. Pagi itu mereka sudah bersiap untuk berangkat sekolah. Setelah Chaeyoung mengunci pintu, mereka bertiga berjalan bersama. Rumah sederhana milik mereka terletak di dalam gang tepat bersebelahan dengan gerbang apartment tempat Yuto tinggal. Mereka kembali melewati jalan semalam. Membuat Chaeyoung teringat kembali ketika gadis itu ditabrak oleh seseorang yang tidak ia kenal dan menemukan sebuah nametag milik Dokyeom.
            Saat ketiga bersaudara itu berjalan bersama menikmati pagi, tepat sebuah sedan mewah yang dikendarai Yuto melintas. Yuto sendiri tidak terlalu menyadari keberadaan Chaeyoung dan dua adiknya karena kala itu ia sibuk membagi fokusnya antara mengemudi dan membaca peta pada ponselnya. Masih dengan sebuah plester menghiasi hidungnya, Yuto tampak siap dengan seragam sekolah barunya.
            “Hati-hati Noona.” Dongmyung melambaikan tangan dengan riang ketika bus yang akan Chaeyoung tumpangi sudah tiba. Berbeda dengan Dongju yang seakan tidak terlalu peduli dan sibuk dengan ponselnya. Toh nanti sore juga mereka akan bertemu lagi.
            Tidak terlalu lama untuk bus yang ditumpangi Chaeyoung sudah tiba di halte depan sekolahnya. Saat berjalan melintasi gerbang, ada seseorang yang tiba-tiba merangkulnya dari belakang.
            “Chae-ah,” ujar Yukyung dengan nada ceria.
            Chaeyoung sontak menoleh dan tersenyum mendapati salah satu temannya di sana. “Oh, Yuqi. Selamat pagi.” Dengan senyum yang tidak kalah cerianya, Chaeyoung menyapa satu orang lagi yang tadi berjalan tidak jauh dibelakang Yukyung. Namun yang Chaeyoung dapatkan adalah sebaliknya. Yuqi hanya menoleh dan tersenyum tipis lalu sedikit mempercepat langkahnya mendahului Yukyung dan Chaeyoung. Dua gadis itupun sontak saling melempar tatapan bingung.
            Tidak ingin terlalu ambil pusing, Yukyung mengajak Chaeyoung untuk melanjutkan langkah. Suasana sekolah tampak mulai ramai dengan para siswa yang mulai berdatangan.
            “Apa aku berbuat salah?”
            Yukyung tidak langsung menjawab pertanyaan Chaeyoung. Karena bisa dipastikan yang Chaeyoung maksud adalah tentang Yuqi. Yukyung hanya sempat menghela napas sesaat. Bukan hanya Chaeyoung yang menyadari perubahan sikap yang terjadi pada Yuqi. Tapi semalam Wooseokpun menanyakan hal serupa. Namun masalahnya, Yukyung sendiri juga tidak tahu apa yang dipikirkan Yuqi. Semalam ia tidak sempat menanyakan hal apapun pada Yuqi. Sampai mereka menaiki anak tanggapun, tidak ada satu katapun yang meluncur dari bibir Yukyung.
            “Kalau kau diam saja, aku anggap kau memang mengetahui sesuatu.”
            Saat menyadari pernyataan Chaeyoung, Yukyung mendapati Chaeyoung sudah berjalan sedikit didepannya. Yukyung segera mengejar. Saat tiba di koridor utama, Chaeyoung berbelok.
            “Chaeyoung!” Yukyung memekik ketika mendapati Chaeyoung menabrak seseorang di depannya. Kejadian yang terlalu cepat, mengingat tepat di balik tembok tersebut adalah pintu ruang guru. Dan Chaeyoung sendiri tidak memperkirakan jika ada seseorang yang memunculkan diri dari sana.
            Tabrakan tersebut tidak terlalu keras, namun memang membuat Chaeyoung sedikit kehilangan keseimbangan. Beruntung pemuda yang ditabrak Chaeyoung lebih sigap dan berhasil menahan pinggang Chaeyoung sebelum gadis itu sempat terjatuh ke lantai.
            Yukyung menyentuh kedua pundak Chaeyoung. “Kau baik-baik saja?”
            “Aku baik-baik saja.” Chaeyoung merespon kekhawatiran Yukyung, namun tatapannya tidak lepas dari pemuda dihadapannya. Yuto.
            “Kau baik-baik saja?” Barulah ketika Yuto mengulangi pertanyaan Yukyung, Chaeyoung langsung menegakkan badannya dan mendapati sudah banyak pasang mata yang melihat kejadian tersebut.
            Chaeyoung sempat mundur selahkah hingga kini posisinya sejajar dengan Yukyung. “Ah, maaf.” Chaeyoung membungkuk beberapa kali. “Aku tidak sengaja.”
            “Ah sudahlah, jangan begitu.” Yuto tertawa canggung. Lebih tepatnya bingung harus bereaksi seperti apa pada Chaeyoung. Beberapa saat Yuto tampak tidak melepaskan pandangannya pada wajah manis Chaeyoung. Lalu saat menoleh kesamping, ada beberapa orang yang masih tidak melepas pandangan padanya. Gadis itu adalah Mina bersama dua temannya, Jihyo dan Dayoung yang sama sekali tidak melepaskan tatapan mereka pada sosok Yuto.
            Yuto sedikit menunduk, menyamakan tinggi badannya dengan Chaeyoung dan Yukyung. “Aku anak baru di sini. Bisa bantu antarkan ke kelasku?”
            Yukyung langsung menunjukkan ekspresi kagum. “Waah, pantas saja aku baru melihatmu. Ayo kami antar.”
            Yuto kembali menegakkan badan ketika Yukyung menarik tangan Chaeyoung dan berjalan mendahului Yuto. Yuto sendiri hanya tersenyum tipis dan berniat membalikan badan. Namun tatapannya kembali jatuh pada 3 gadis tadi. Melihat itu, seketika senyum Yuto melenyap. Berusaha untuk tidak peduli, Yuto menyusul Yukyung dan Chaeyoung yang sudah melangkah menjauh.
            “Ayo ikuti!” seru Mina pada dua temannya untuk menyusul Yuto bersama dua gadis tadi.
            Tepat di saat yang bersamaan, tampak Kino baru saja menapaki anak tangga terakhir ketika Mina bersama dua temannya melintas. “Selamat pagi.” Kino menyapa dengan nada sangat ramah dan sukses membuat tiga gadis tadi menghentikan langkah dan menoleh. Tentu mereka tidak akan membuang kesempatan untuk bisa bertegur sapa dengan seorang Kino.
            “Waaah, kalian cantik-cantik sekali hari ini.”
            Sementara tidak jauh dari sana, tampak Wooseok sempat berpapasan dengan Yukyung dan Chaeyoung. Tentu mereka tidak saling tegur sapa karena sesuatu. Wooseok sampai menoleh ketika melihat sosok Yuto yang bisa dipastikan sedang mengekori Yukyung dan Chaeyoung. Wooseok sampai melihat dari ujung kaki hingga kepala bagian belakang Yuto.
            “Siapa itu? Kenapa mengikuti Yukyung dan Chaeyoung.” Sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya, Wooseok bergumam sendiri. Tidak ada seseorang yang bisa ia ajak bicara saat itu. Belum lagi langkah Yukyung dan Chaeyoung membawa Yuto ke wilayah ruang kelas untuk kelas 2.
            Wooseok meneruskan langkahnya yang sempat terganggu sesaat. Namun di depan sana justru ia menemukan Kino sedang merayu Mina dan dua temannya. Namun Jihyo tampak tidak terlalu menanggapi celotehan Kino.
            “Eh ini serius, aura kalian tampak beda pagi ini. Seperti ada bunga-bunga bermekaran.”
            Mendengar gombalan Kino tersebut, Wooseok memasang ekspresi wajah seperti seorang yang ingin muntah. Kino yang melihatnya hanya melempar tatapan membunuh. Wooseok sendiri memilih meneruskan langkah. Tidak mempedulikan Mina, Jihyo dan Dayoung yang begitu menyadari keberadaan Wooseok langsung menoleh dengan penuh minat.
            “Ah, sudahlah jangan pedulikan si tiang listrik itu.” Kino mencoba mencari perhatian lagi pada tiga siswi tersebut. Namun mendadak mood-nya berubah. “Mendadak perutku sakit. Aku pergi dulu ya.”
            “Yak! Kang Kino!” teriakan Mina tidak membuat Kino menghentikan langkah. Pemuda itu bahkan semakin menambah kecepatan larinya.

***