Kamis, 07 Juni 2018

LOVE REPLACE




Author         : @nniissaa11
Cast              : Yoo Heedo, Im Soo Eun (NC.a), Chahee , Jang Sebin
Genre           : romance
Lenght         : one shoot

***
            “Sejak kapan kamu menjadi budak cinta seperti ini. Lagi pula sejak awal aku sudah bilang kalau Chahee tidak sebaik yang kau pikirkan.” Rayoon hanya geleng-geleng menatap frustasi temannya yang terus saja menenggak alcohol. Entah sudah gelas keberapa.
            “Mereka berpelukan bahkan aku melihat mereka berciuman.”
            Rayoon menepuk-nepuk punggung Heedo yang merengek seperti anak kecil. “Hentikan!” Rayoon menahan tangan Heedo yang sudah ingin meraih gelasnya lagi. “Ini sudah hampir pagi. Ayo pulang.” Kini Rayoon menarik paksa tangan Heedo dan bersusah payah mengajak pemuda yang lebih tinggi darinya itu untuk meninggalkan bar.
            “Lagi pula, Chahee hanya mau karena hartamu saja. Akh, kenapa kau berat sekali.” Rayoon membopong Heedo sampai ke dalam mobil. Setelah masuk ke dalam mobil, Rayoon segera bergerak meninggalkan area parkir. Mereka akan menuju rumah Heedo. Sesekali Rayoon melirik, memastikan temannya masih dalam keadaan baik-baik saja. Hanya sedikit mulai hilang kesadaran.
            “Kau itu tampan dan kaya. Masih banyak gadis yang lebih baik dari Chahee yang mau denganmu,” lanjut Rayoon. Namun Heedo tidak merespon ucapannya. Lalu tidak lama kemudian, Rayoon mengendarai mobilnya masuk ke dalam area parkir sebuah rumah besar.
            Rayoon sudah turun dari mobil untuk membantu Heedo lagi. Namun Heedo bersikeras menolak. Sambil sempoyongan Heedo memasuki rumah. Membiarkan Rayoon pergi dari sana.
***
            Gadis berambut sebahu itu melangkah riang sambil membawa 2 buah bucket bunga mawar putih. Soo Eun menyeberang jalan sambil memeluk erat bunganya. Gadis itu berbelok ke jalan yang mengarah ke pemakaman. Namun tidak jauh di depan sana tampak ada sedikit keributan. Terlihat 3 preman seperti menggeledah seseorang. Tanpa sadar Soo Eun justru melangkah mendekat.
            “Hentikan!” jerit Soo Eun sebelum salah satu preman melayangkan pukulan terhadap pemuda tidak berdaya itu yang ternyata adalah Heedo.
            Malam tadi, setelah diantar pulang oleh Rayoon, ternyata Heedo justru kembali meninggalkan rumahnya. Berjalan tanpa arah. Hingga akhirnya dia tertidur di area pemakaman. Dan pagi ini kesialan kembali menghampiri Heedo. Ia diganggu preman yang ingin merampok dompet serta ponselnya.
            “Tampangnya saja yang tampan, tapi ternyata dia nggak punya apa-apa.” Salah satu preman berkata.
            “Waah, lihat. Kenapa ada gadis cantik di sini. Atau dia saja yang kita bawa pulang?” sahut preman yang lain dengan tatapan menggoda.
            Soo Eun menggenggam erat bunganya dan berusaha untuk tidak takut. “Untuk apa membawaku pergi? Tapi kalian tidak bisa mencicipi makanan enak.”
            Tiga preman tersebut saling tatap karena tidak mengerti maksud ucapan Soo Eun. “Apa maksudmu?”
            “Lepaskan pemuda itu, dan aku akan mentraktir kalian makanan enak di restoran.” Soo Eun mengeluarkan selembar kertas kecil dari dalam tas kecilnya. “Datang saja nanti malam ke restoran itu. Aku akan mentraktir kalian.”
            Tanpa harus berfikir dua kali, para preman itu menyetujui perjanjiannya dengan Soo Eun dan pergi dari sana. Meninggalan Soo Eun bersama Heedo yang tampak seperti setengah pingsan. Setelah preman itu sudah menjauh, Soo Eun berjongkok di samping Heedo memastikan keadaan pemuda itu.
            “Pemuda ini…”
***
Dibantu oleh supir taksi, Soo Eun membawa Heedo ke rumah kecilnya di pinggir kota. Heedo sebenarnya tidak pingsan, namun pemuda itu masih belum bisa diajak bicara. Soo Eun juga sampai membatalkan mengunjungi makam seseorang tadi.
Soo Eun menyalakan televisi dan meletakkan remotenya di atas meja. Lalu ia beranjak ke dapur, membiarkan Heedo seorang diri di ruang tamu. Karena sudah hampir siang pula, Soo Eun membuatkan makanan. Di sela-sela memasak, Soo Eun melihat Heedo masuk ke dalam toilet. Tidak lama kemudian, setelah selesai memasak, Soo Eun membawakan masakannya ke ruang tamu dan meletakkannya di atas meja.
Mencium bau aroma sedap dari masakan Soo Eun, Heedo melirik sekilas. Namun Soo Eun masih terus sibuk menyiapkan hal lainnya. Heedo sendiri tampak sedikit segar karena ia tadi membasuh wajahnya. Darah diwajahnya juga telah menghilang karena sudah ia bersihkan.
“Kau makan duluan saja. Aku ingin mengganti pakaian sebentar.” Setelah selesai menuangkan air ke dalam gelas Heedo, Soo Eunpun menuju kamarnya.
Heedo sempat mengikuti langkah Soo Eun dengan tatapan  sampai gadis itu menghilang di balik pintu. Merasakan perutnya sudah sangat lapar, Heedo tidak ingin berfikir dua kali untuk segera menyantap masakan Soo Eun. Lagi pula gadis itu juga sudah mempersilahkannya.
“Waaah, enak juga.”
Heedo terus makan dengan lahap. Sampai akhirnya Soo Eunpun kembali dan duduk di samping Heedo. Gadis itu sudah berganti pakaian.
“Kau akan pergi?”
“Iya aku harus bekerja.” Soo Eun kemudian mulai menyantap masakannya sendiri. “Ah, ternyata kurang garam sedikit.”
“Kalau begitu aku akan menunggu di sini.” Heedo berujar santai sambil meneruskan makannya.
“Tidak bisa. Kau juga sudah terlihat sehat. Lagipula tidak mungkin aku berkata pada ibumu kalau kau berada di rumahku.”
Heedo mentatap Soo Eun tidak percaya. “Dari mana kau mengenal ibuku?”
“Aku ini bekerja di restoran milik keluargamu.”
“Tapi aku tidak pernah melihatmu.”
Soo Eun menatap Heedo, jengkel. “Aku sudah berkerja di sana hampir 2 tahun.”
Heedo terus memikirkan tentang Soo Eun. Walau jarang berada di sana, tapi bagaimana mungkin ia tidak mengenal karyawan restorannya yang satu ini. “Siapa namamu?”
“Im Soo Eun.”
Kali ini Heedo menatap Soo Eun lekat-lekat hingga gadis itu merasa sedikit tidak nyaman. Sampai akhirnya Heedo teringat sosok gadis mungil bersamanya itu. “Kenapa kau memotong rambutmu? Kau lebih cantik dengan rambut panjang.”
Soo Eun sontak memegang ujung rambutnya yang sebahu. “Rambut baru sama artinya dengan memulai hidup baru.” Mendadak nafsu makannya menghilang karena harus kembali mengingat kejadian itu. “Kekasihku, Harin oppa meninggal karena sakit. Oppa pasti tidak ingin melihatku sedih. Maka dari itu aku memotong rambutku dengan harapan aku bisa memulai hidupku tanpa Harin oppa.”
Heedo ikut juga merasakan nafsu makannya mendadak hilang. Padahal nasi dimangkuknya tersisa sedikit lagi. “Berarti aku harus mulai melupakan Chahee juga?”
“Apa?”
“Ah, tidak. Kalau begitu aku akan menumpang dulu di sini sampai malam saat kau kembali. Setelah itu aku akan pergi.” Dengan santainya Heedo bersandar ke sandaran sofa sampai punggungnya sedikit merosot. Menandakan ia tidak ingin beranjak dari sana. “Lagipula kalau menolong orang jangan setengah-setengah. Belum lagi kepalaku juga masih pusing.”
“Baiklah.” Soo Eun terpaksa mengalah. Ia juga tidak ingin mencari masalah dengan anak dari boss-nya itu. “Kalau begitu aku pergi dulu.”
Beberapa menit setelah Soo Eun pergi, Heedo menyapu pandangannya ke sekitar. Ada 2 buah bucket bunga di salah satu sofa. Sementara di sudut ruangan ia menemukan telepon rumah. Segera saja ia menyambar gagang telepon dan menekan sederetan nomor yang tidak lama tersambung dengan seseorang.
“Halo Rayoon.”
***
Sementara di tempat berbeda, pagi itu Rayoon sudah tiba di depan rumah Heedo yang sepi. Rayoonpun dengan mudah melewati penjaga karena memang ia sudah sangat sering ke rumah besar itu. Rayoon menghentikan mobil di depan pintu rumah. Sama seperti saat terakhir ia meninggalkan Heedo semalam. Setelah turun, Rayoon menemukan ponsel dan dompet milik Heedo tergeletak di depan pintu.
“Apa anak itu sudah gila meninggalkan dompet dan ponsel di sini?” Rayoon bergumam sendiri sambil memungut kedua benda tersebut. Saat ingin melangkah masuk, Rayoon merasakan ponsel Heedo berbunyi. Ada sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal. Tanpa pikit panjang, Rayoon menjawab panggilan tersebut.
“Halo!”
            “Halo Rayoon.”
“Di mana kau! Kenapa kau meninggalkan ponselmu di..”
Heedo memotong ucapan Rayoon. “Temui karyawan restoranku yang bernama.. sebentar..” Heedo mencari-cari sesuatu di dalam laci sampai akhirnya ia menemukan sebuah buku yang terdapat nama Soo Eun. “Oh, Im Soo Eun. Tanyakan di mana alamat rumahnya. Aku berada di sana. Temui aku sekarang. Aku tidak tahu ini daerah mana.”
***
Soo Eun melakukan perjalanan dari rumah ke restoran selama setengah jam menggunakan bus. Begitu sampai, langkahnya dihalangi oleh seseorang yang tidak ia kenal.
“Maaf, permisi.” Soo Eun mengambil jalan lain, namun Rayoon tetap tidak membiarkannya pergi.
“Di mana rumahmu?”
“Apa?” Mata Soo Eun terbelalak karena ada orang asing yang menanyakan rumahnya.
“Temanku sedang di rumahmu kan? Beri tahu aku di mana alamatnya. Aku harus ke sana.”
Soo Eun menggeleng dan hendak menghindari Rayoon. Namun pemuda itu tidak menyerah. Ia mengeluarkan ponsel Heedo dan menunjukkan log panggilan terakhir. “Ini nomor rumahmu kan?”
“Tunggu sebentar, aku akan mengambil kertas dulu di dalam.”
Kali ini Rayoon melepaskan Soo Eun untuk pergi dan menunggunya di luar restoran. Kemudian tidak lama Soo Eun kembali sambil membawa secarik kertas. Dengan sedikit tidak sabar, Soo Eun memberikan kertas itu pada Rayoon.
“Jangan lupa bawa pergi temanmu itu.” Tanpa menunggu Rayoon merespon, Soo Eun melangkah masuk kembali ke dalam restoran.
Rayoon menatap kertas yang ditangannya dan Soo Eun bergantian. “Waah, gadis yang cantik.”
***
            Tidak terlalu sulit untuk Rayoon dapat menemukan rumah Soo Eun. Heeedo langsung membukakan pintu setelah mendengar teriakan Rayoon dari luar. Mereka kemudian duduk di sofa ruang tamu.
            “Kenapa kau bisa ada di sini? Dan kenapa kau meninggalkan ini semua.” Rayoon menyodorkan dompet dan ponsel milik Heedo.
            “Entahlah, aku hampir mati semalam.”
            “Kenapa kau tidak mati saja.”
            Heedo melempar bantal kecil sofa pada Rayoon dengan raut wajah kesal. “Kau mendoakanku mati?”
            “Tapi ini serius. Kau harus merelakan Chahee saja. Ku dengar kekasih barunya itu lebih kaya darimu. Dan dugaanku benar. Dia hanya mengincar hartamu. Sejak kecil hidup Chahee sangat sulit. Namun dia memanfaatkan kecantikannya untuk menggoda laki-laki bodoh sepertimu dan Sebin itu.”
            “Kau mengataiku bodoh?”
            “Ya memang benar. Kau dan si Sebin itu sama-sama bodoh. Lihat saja bagaimana Chahee meninggalkanmu kemarin itu? Hanya karena kau bilang ingin hidup dengan kerja kerasmu sendiri? Itu artinya sama saja kau meninggalkan harta orang tuamu, kan? Tapi dia memilih meninggalkanmu. Dan kini dia mengemis pada Sebin.”
            Tidak ada rasa marah sedikitpun dari Heedo saat Rayoon berkata Chahee mengemis pada Sebin. “Tapi, mereka sebenarnya berteman sejak lama.”
            “Ah, terserah kau saja.” Rayoon menenggelamkan punggungnya ke sandaran sofa. “Tapi, gadis bernama Im Soo Eun itu, imut juga.” Mata Rayoon menerawang, mengingat pertemuan pertamanya pada Soo Eun.
            Heedo melirik dengan tatapan kesal.
            “Ah, tapi aku lupa menanyakan nomor ponselnya tadi. Berikan aku nomor Soo Eun.” Rayoon mengulurkan tangan hendak menyambar ponsel Heedo, namun Heedo lebih cepat untuk menyambarnya lebih dahulu.
            “Tidak punya.”
            “Ah kau berbohong. Kalo tidak punya, bagaimana bisa kau berada di sini? Ini rumah Soo Eun kan?”
            “Lagi pula, kau tak cocok dengannya?”
            “Tidak cocok bagaimana? Tubuh Soo Eun yang mungil itu sangat serasi dengan diriku. Tidak sepertimu. Kau terlalu tinggi untuknya.”
            Baru saja Heedo hendak membuka mulut, suaranya tertahan karena mereka mendengar seseorang menekan bel. “Kau mengajak orang lain?”
            Rayoon dengan tegas menggeleng. Mereka berdua kemudian beranjak menuju pintu. Heedo yang berjalan lebih depan membukakan pintu. Ada seorang pemuda yang tidak asing bagi Heedo. Itu Sebin. Pemuda yang terakhir kali ia lihat bersama kekasihnya, Chahee.
            “Mau apa kau ke sini?” Tanya Heedo dengan nada tidak suka. “Chahee tidak di sini. Sana pergi!”
            Heedo sudah akan menutup pintu, namun Sebin menghalanginya. “Aku mencari Soo Eun. Bukan Chahee.”
            “Tidak ada yang namanya Soo Eun di sini.”
            Sebin melirik ke bawah. Terdapat sepasang sepatu sandal milik wanita. Heedo dan Rayoon juga mengikuti arah pandangan Sebin. “Soo Eun kan perempuan, kalu dia tidak ada, lalu ini milik siapa? Miliknya?”
            Rayoon sudah akan menyerang Sebin karena pemuda itu menunjuknya. Namun beruntung Heedo menghalanginya. “Itu punya kekasihku. Sudah ku bilang di sini tidak ada yang namanya Im Soo Eun.”
            “Kau bilang apa? Im Soo Eun? Bagaimana bisa kau tahu, aku tidak menyebut marga keluarga Soo Eun sejak tadi. Dan satu hal lagi. Sepertinya aku pernah mengenalmu.” Sebin tampak berfikir.
            “Kita tidak pernah saling kenal. Dan aku pastikan tidak akan pernah sampai kapanpun.”
            “Waah.. ucapanmu cukup tidak sopan untuk dua orang asing yang bahkan belum saling mengenal.”
            “Siapa juga yang ingin berkenalan denganmu?”
            Bruk!
Heedo menutup pintu dengan kasar. Membuat Sebin bahkan tidak sempat menghalanginya lagi. Dan dengan terpaksa, Sebin balik badan dan berjalan menjauh. Selama melangkah, ia memainkan ponselnya. Menghubungi seseorang.
“Aku sudah menemukan alamatnya, eomma. Tapi maaf aku belum berhasil bertemu Soo Eun. Lain waktu aku akan mencarinya lagi. Aku akan mencari adikku sampai ketemu.” Sebin berhenti sesaat. “Tapi aku yakin pernah melihat pemuda itu.” Namun ia tidak mengingat apapun.
Sementara di dalam rumah, Heedo dan Rayoon kembali duduk di sofa. “Untuk apa dia mencari Soo Eun?” Heedo tampak berujar dengan bingung.
“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita pergi dari sini.”
Rayoon menyambar kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. Namun Heedo justru berbaring di atas sofa panjang. Bukannya bersiap-siap untuk ikut Rayoon pergi.
“Aku tidak ingin pulang. Tidak ingin bertemu siapa-siapa. Kepalaku masih sakit. Dan lagi, aku harus menunggu Soo Eun. Memastikan Sebin tidak muncul lagi di sini.” Heedo meletakkan salah satu tangannya untuk menutupi mata. “Oiya satu lagi, jangan lupa tutup pintunya.”
***
            Sampai malam hari ketika Soo Eun pulang, Heedo masih di sana. Soo Eun yang curiga karena seperti ada seseorang di dalam rumahnya, bergegas masuk dan mendapati televisi masih menyala sedangkan Heedo tertidur pulas di sofa.
            “Bukankah sudah ku bilang kau harus...” ucapan Soo Eun terhenti setelah tangannya menyentuh lengan Heedo. Terasa sangat hangat. “Kau sakit?” Dengan dibalut rasa khawatir, Soo Eun menyentuh kening Heedo. Panas. Wajah pemuda itu juga tampak sedikit pucat. Soo Eun kemudian berdiri, mencari kotak P3K yang ada di rumahnya dan mengambil termoter untuk memeriksa suhu badan Heedo.
            “Kau sudah makan?” Soo Eun bertanya lagi dengan nada khawatir.
            Heedo hanya menggeleng lemah dengan mata masih terpejam rapat.
            Soo Eun kembali bangkit menuju dapur. Memeriksa kulkasnya. Ternyata sisa makanan tadi siang dimasukan Heedo ke dalam kulkas. Sementara wastafelnya terlihat kosong. Sudah tidak ada peralatan makan yang kotor di sana. Soo Eun menoleh ke arah ruang tamu sesaat. Soo Eun kemudian melanjutkan kegiatannya menghangatkan makanan untuk Heedo.
***
            Sepulang bekerja, Sebin kembali berkeliling dengan mobil sportnya. Namun entah kenapa ia kembali melaju ke arah perumahan Soo Eun. Pemuda itu tidak serta merta mempercayai semua perkataan Heedo begitu saja. Sebin memarkirkan mobilnya di salah satu mini market untuk sekedar istirahat sebentar dan menikmati semangkuk ramen. Tepat di depan mini market terdapat halte bus. Setelah salah satu bus sempat berhenti dan kemudian pergi lagi, ada salah seorang gadis berambut sebahu terlihat menyeberang ke arah mini market. Itu Soo Eun. Namun Soo Eun tidak benar-benar mengarah ke mini market, tapi sedikit berbelok.
            Tidak buang kesempatan, Sebin langsung berdiri dan mengejar Soo Eun. Selama ini keluarganya sudah mencari tahu tentang Soo Eun yang sudah terpisah dengannya belasan tahun. Namun kali ini, setelah kembali dari studinya di luar negeri, Sebin yang turun tangan untuk menemuinya langsung. Sebin tetap menjaga jarak agar Soo Eun tidak curiga. Ia tidak ingin menimpulkan keributan jika ia menghadang Soo Eun di jalanan seperti ini. Karena Soo Eun pasti menganggap Sebin orang asing.
            Soo Eun sudah tiba di depan rumahnya dan langsung masuk ke dalam dengan langkah sedikit terburu-buru. Sebin tidak buang waktu mengejar dengan setengah berlari. Senyumannya mengembang. Itu adalah rumah yang tadi siang ia datangi. Namun dering ponselnya menghentikan langkah Sebin. Sebuah panggilan masuk dari Jiwon.
            “Ya, Jiwon.”
            “Oppa, Chahee pingsan. Oppa segera menyusulku ke rumah sakit ya.”
            “Bagaimana bisa?”
            Sebin mengacak rambutnya, frustasi. Selangkah lagi ia akan berhasil bertemu dengan Soo Eun. Namun ada hal lain yang menghalanginya. Dengan berat hati, Sebin berbalik meninggalkan rumah Soo Eun. Sambil setengah berlari Sebin kembali ke mini market untuk mengambil mobilnya.
***
            “Hei, tuan muda. Ayo makan dulu.” Soo Eun baru saja selesai menyiapkan makan malamnya untuk Heedo.
Tidak lama Heedo membuka matanya yang terasa berat. Susah payah Heedo mengangkat badannya hingga duduk. Saat matanya sudah sepenuhnya terbuka, Heedo mendapati Soo Eun sudah menyodorkan semangkuk nasi di hadapannnya.
“Aku biasa di suapi ibuku jika sedang sakit seperti ini.” Heedo berkata lemah dengan nada manja.
“Yasudah, telepon saja ibumu, suruh bawa kau pergi dari sini.”
“Aku hanya bercanda.” Dengan senyum tipis yang sedikit lemah, Heedo menyambar mangkuk nasi pemberian Soo Eun.
“Kau harus makan ini ya.” Soo Eun mengambilkan beberapa lauk dan sayuran untuk Heedo. “Setelah ini aku akan memberikanmu obat. Dan kalau mau kau boleh tidur di kamarku, biar aku di sofa.”
“Aku saja yang di sofa. Terima kasih untuk semuanya ya. Aku sudah ingin pergi tadi sore, tapi badanku lemas.”
“Rasa terima kasihnya cukup dengan kau habiskan semua masakanku ya.” Soo Eun balas tersenyum, membuat Heedo yang melihatnya membeku sesaat sebelum akhirnya mereka sibuk menghabiskan makanan masing-masing sambil menonton acara musik di televisi.
***
            “Tumben sekali Heedo sakit. Sakit apa memangnya?” Rayoon terdengar mengeluh sambil menghentikan mobilnya di depan sebuah supermarket. “Aku bawakan apa ya?” sambil memasukkan kunci mobilnya ke saku celana, Rayoon akan melangkah masuk. Namun seseorang justru menabraknya. Seorang gadis cantik dengan raut wajah panic.
            “Oppa tolong aku, temanku tiba-tiba pingsan. Antar kami ke rumah sakit.” Gadis itu hampir menangis sambil mengguncang-guncang lengan Rayoon. “Oppa, ku mohon.”
            “Aku akan menolongmu. Di mana temanmu?” kata Rayoon tanpa pikir panjang. Namun dalam hati Rayoon berujar, ‘gadis ini cantik juga’.
            “Di sana.” Gadis bernama Jiwon itu menunjuk ke salah satu arah. Lalu tanpa sadar Jiwon menarik tangan Rayoon menuju kerumunan orang. Sambil dibantu beberapa orang, mereka membawa gadis yang pingsan itu menuju mobil Rayoon.
            Rayoon sendiri yang membukakan pintu bagian belakang. Dan betapa terkejutnya Rayoon ketika mengetahui gadis yang pingsan itu adalah Chahee. Mantan kekasih Heedo. “Kenapa harus…” Rayoon tidak bisa menyelesaikan ucapannya. Kini ia harus segera membawa Chahee ke rumah sakit. Setelah itu ia akan memberitahu pada Heedo.
            Saat dalam perjalanan, terdengar Jiwon sibuk menghubungi seseorang. Sementara Rayoon sibuk menyetir. Beruntung mereka menemukan rumah sakit terdekat dengan lokasi kejadian. Setelah Chahee di bawa ke UGD, Rayoon berkeliling mencari lahan untuk memarkirkan mobilnya. Kemudian ia menyusul Jiwon yang menunggu di UGD. Ketika sampai, kembali Rayoon dikejutkan dengan hadirnya Sebin di sana. Sebin bahkan memeluk Jiwon untuk menenangkan gadis itu.
            “Kenapa harus…” dengan perasaan campur aduk, Rayoon memilih untuk meninggalkan UGD dan kembali ke parkiran. Harusnya ia tidak menyusul ke sana. Selama perjalanan pulang, Rayoon berusaha menghubungi Heedo, namun tidak ada satupun panggilannya yang dijawab.

***
Esok paginya saat terbangun, lagi-lagi Heedo sudah disuguhkan beberapa macam makanan di meja. Soo Eun masih terlihat bolak-balik dapur menyiapkan sesuatu. Heedo sendiri langsung memeriksa ponselnya. Betapa terkejutnya ia saat menemukan banyak panggilan tidak terjawab dari Rayoon. Malam tadi Heedo tertidur sangat pulas karena terpengaruh obat demamnya. Ada satu pesan yang masuk ke dalam ponsel Heedo juga. Dengan cepat Heedo membuka pesan yang ternyata dari Rayoon.

Di mana kau? Masih di rumah Soo Eun? Semalam aku tidak sengaja membawa Chahee ke rumah sakit karena dia pingsan. Tapi aku tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang.
-Rayoon

            “Selamat pagi.” Soo Eun menyapa dengan senyum sangat manis. Ia meletakkan dua gelas di meja, lalu duduk di samping Heedo.
            Heedo sendiri sempat tidak biasa menguasai dirinya sesaat. Terlalu terpesona dengan wajah manis Soo Eun. Rasanya seperti, bangun pagi dan sudah disiapkan sarapan oleh istri. Heedo malu sendiri memikirkan hal itu. Tapi tiba-tiba saja ia teringat kembali dengan Sebin.
            “Kau kerja jam berapa hari ini?”
            Soo Eun menuangkan gelas minuman untuk Heedo sambil menggeleng. “Aku libur hari ini. Ada apa?”
            “Sebenarnya kemarin ada orang asing mencarimu. Tidak jelas tujuannya apa. Lebih baik hari ini kau ikut denganku saja.” Heedo bicara, namun sambil membalas pesan dari Rayoon.

Tolong cari tahu bagaimana kondisi Chahee. Tapi aku tidak bisa ke sana. Aku takut Sebin datang lagi. Jadi aku tidak bisa meninggalkan Soo Eun.
-Heedo

            “Orang asing? Mungkin temanku. Kau kan tidak mengenalnya. Sudahlah tidak apa-apa. Aku di sini saja.” Acara makan mereka dimulai ketika Soo Eun mengambilkan semangkuk nasi untuk Heedo.
***
            Selama beberapa hari, Heedo sering menemui Soo Eun di restoran atau terkadang ia ke rumah Soo Eun untuk sekedar mengajak gadis itu keluar. Termasuk hari ini, siang nanti Heedo akan menemui Soo Eun lagi seperti biasa. Sementara di tempat berbeda, Rayoon mengawasi Sebin dan Jiwon yang menjaga Chahee di rumah sakit. Tugas Rayoon tidak hanya mencari tahu tentang kondisi Chahee, namun ia juga mengawasi Sebin yang sering datang ke sana. Jadi bisa di pastikan Sebin tidak mendatangi rumah Soo Eun.
            Dan sore itu, Rayoon mengikuti Sebin yang pergi menggunakan mobilnya. Tepat dugaan Rayoon, pemuda itu pergi ke rumah Soo Eun. Namun Rayoon tidak terlalu khawatir mereka akan bertemu karena Heedo sudah memastikan jika Soo Eun sedang bekerja.
            Rayoon sedang mengawasi Sebin dari dalam mobil ketika Heedo menghubunginya. “Tunggu.” Rayoon menajamkan penglihatannya. Tampak Sebin juga sedang menerima sebuah panggilan sebelum pemuda itu sempat masuk ke dalam mobilnya. Ada rasa kekhawatiran dan kesedihan pada raut wajah Sebin. “Sepertinya aku tidak bisa ke apartmen mu. Perasaanku tidak enak melihat ekspresi wajah Sebin.”
            “Sejak kapan kau peduli dengan ekspresi wajah orang lain?” Omel Heedo dari dalam kamarnya. Ia sendiri belum lama tiba sepulangnya dari apartmen.
            “Nanti kuhubungi lagi, aku harus menyusul Sebin.”
            Tanpa menunggu persetujuan Heedo, Rayoon memutuskan komunikasi mereka dan segera menyalakan mesin mobil karena dilihatnya Sebin tampak terburu-buru. Jelas saja, Sebinpun melajutkan kendaraannya dengan kecepatan cukup tinggi.
            “Apa terjadi sesuatu pada Chahee?”
            Heedo memutar-mutarkan ponselnya menggunakan satu tangan sambil berfikir. Apa yang harus ia lakukan setelah ini. Dan satu-satunya orang yang ingin ia temui adalah Soo Eun. Buru-buru Heedo bangkit dan menyambar jaket serta kunci motornya. Heedo langsung melesat menuju restoran.
***
            Rayoon telah sampai di rumah sakit. Setelah memarkirkan mobilnya, ia bergegas menelusuri koridor rumah sakit yang ia ketahui mengarah ke tempat Chahee berada. Dari kejauhan sudah terlihat Jiwon bersama Sebin. Jiwon bahkan tengah menangis di dalam pelukan Sebin. Jiwon sendiri terdengar menyebut-nyebut nama Chahee. Perasaan Rayoon semakin tidak enak.
Teriakan Jiwon mengejutkan Rayoon yang sempat melamun sesaat. Terlihat beberapa perawat mendorong tempat tidur roda yang membawa seorang pasien. Namun pasien tersebut telah diselimuti kain putih hingga bagian kepala. Rayoon sontak mendekat, membantu Sebin menenangkan Jiwon yang tampak memberontak dan tidak henti menyebut nama Chahee. Sebin sendiri tampak sudah menangis.
“Ada apa dengan Chahee?”
“Chahee meninggal tadi pagi.”
“Kenapa?”
“Sebenarnya selama ini Chahee sakit.”
***
            Heedo sudah berdiri diambang pintu dapur restoran milik keluarganya sambil memainkan ponsel. “Yaah, ponselku mati.” Heedo mengeluh kemudian memasukan ponselnya ke dalam saku celana. Hampir seluruh karyawan yang lewat pasti menyapa Heedo. Namun pandangan Heedo justru tertuju pada sosok mungil yang sedang sibuk itu. Tidak lama Soo Eun terlihat berjalan dan menyadari adanya sosok Heedo di sana.
            “Hai.” Sapa Heedo saat Soo Eun sudah berdiri dihadapannya.
            “Kau di sini?” Soo Eun tersenyum malu merespon ucapan Heedo. Karena banyak mata kini mengawasi mereka secara diam-diam.
            “Bisa buatkan sesuatu? Aku lapar.” Heedo memasang ekspresi memohon seperti anak kecil.
            “Tapi jam kerjaku sudah selesai. Aku akan minta tolong pada yang lain.” Soo Eun sudah akan balik badan namun Heedo menarik tangan Soo Eun.
            “Kalau begitu, ayo kerumahmu. Tidak ada terikat jam kerja kan di sana?” Heedo tidak menyerah. “Aku ingin makan masakanmu lagi seperti kemarin saat aku menginap di sana.” Kali ini tidak ada tatapan secara diam-diam. Seluruh pandangan jelas-jelas tertuju pada Heedo dan Soo Eun.
            Soo Eun sendiri membulatkan matanya. Terkejut dengan ucapan Heedo yang seenaknya. Walau yang dikatakan Heedo memang benar. Tapi bagaimana jika terdengar sampai ke telinga orang tua Heedo. “Kau gila? Kenapa kau…” Soo Eun segera balik badan kembali ke dapur. “Tuan muda tidak pernah menginap di rumahku. Kalian jangan salah sangka.” Dengan tatapan jengkal untuk Heedo, Soo Eun mulai menyiapkan sesuatu untuk ia masak.
            Heedo sendiri meninggalkan dapur dengan tawa penuh kemenangan. Saat menuju meja, ia bertemu pandangan dengan seorang wanita paruh baya. Itu ibunya yang hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan putra satu-satunya.
            “Jadi, kapan kamu berangkat?” tegur nyonya Yoo sampai menghentikan langkah Heedo.
                                           Heedo langsung menghela napas, berat. “Iya ibu, tiga hari lagi. Aku sedang mempersiapkan segala kebutuhanku selama di sana.”
            Nyonya Yoo memperhatikan perubahan ekspresi putranya. “Kau memberatkan sesuatu? Siapa? Chahee?”
            “Bukan itu. Hubunganku dengan Chahee sudah berakhir. Lagipula ini semua keinginanku.”
            “Kau tidak bisa membohongi ibumu. Pasti terjadi sesuatu. Kalau kau masih mencintainya, kau kejar kembali gadis itu.”
            Heedo menatap ibunya penuh arti. Namun sedetik kemudian ia menggeleng. “Tidak bisa, bu. Chahee sudah bahagia dengan yang lain.” Heedo memegang kedua pundak ibunya dan menatap lembut. “Ibu tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja.”
            Nyonya Yoo tidak bisa tenang begitu saja. Nalurinya sebagai seorang ibu tidak bisa berbohong. Tidak lama tercium wangi aroma masakah yang sangat enak. Membuat nyonya Yoo tidak sempat berkata apa-apa lagi. Saat menoleh merekeka menemukan Soo Eun yang membawa baki berisi makanan.
            “Kenapa kau yang mengantar?” tegur nyonya Yoo karena sebenarnya mengantar makanan bukan tugas koki seperti Soo Eun.
            “Sebenarnya jam kerjaku sudah selesai.”
            “Aku yang memintanya.” Heedo bersuara membuat nyonya Yoo melotot tajam. “Masakan Soo Eun sangat enak. Ayo makan bersamaku, bu.”
            “Kau tidak bisa seenaknya memerintah..”
            “Maaf, bu.” Soo Eun menunduk sopan. “Aku senang melakukan ini. Terlebih ini permintaan tuan muda.”
            Mendengar ucapan Soo Eun, raut wajah Heedo kembali berubah ceria. Membuat ibunya kembali mencurigai sesuatu. “Apa jika aku memintanya setiap hari, kau akan melakukannya dengan senang hati untukku?” Heedo mengedipkan sebelah mata dan menatap Soo Eun dengan tatapan menggoda.
            “Apa?” Soo Eun justru membalas Heedo dengan tapapan bingung. “Setiap hari.”
            “Ahh, sudah tidak perlu dipikirkan, lebih baik kita makan bersama.” Heedo mempersilahkan kedua wanita itu untuk duduk.
            “Kalian saja ya, ibu masih ada urusan.” Nyonya Yoo sudah siap untuk berbalik.
            “Tapi nyonya…” Soo Eun sudah tidak sempat menghentikan langkah nyonya Yoo.
            “Ayo cepat, aku lapar.” Dengan tidak sabar Heedo merebut baki di tangan Soo Eun dan meletakkannya di meja lalu menarik pelan lengan Soo Eun untuk duduk disampingnya.
            Beberapa saat keduanya masih saling diam. Terutama Soo Eun yang duduk tegak sambil menautkan kedua tangannya. Dan dalam beberapa saat itu, Heedo memanfaatkannya untuk memandang wajah Soo Eun dari deket.
            “Tidak mengambilkan makanan untukku?”
            “Iya?” Soo Eun menoleh dengan tatapan polos.
            Heedo menahan senyuman untuk tidak menertawakan Soo Eun. Namun tangannya menyodorkan sebuah piring kosong.
***
            Malam itu Heedo mengantar Soo Eun pulang kerumah setelah ia mengajak gadis itu pergi sejak sore. Saat menghentikan motor di depan rumah Soo Eun, ada Rayoon yang duduk di depan pintu menunggu keduanya datang. Saat melihat motor milik Heedo, Rayoon langsung bangkit dan menghampiri Heedo bersama Soo Eun.
            “Kau sengaja mematikan ponsel agar kencan kalian tidak diganggu?”
            Tanpa merasa bersalah Heedo menjawab, “ponselku memang mati sejak siang.” Heedo menatap Rayoon. “Ada apa? Kenapa kau di sini?”
            Sementara Soo Eun menatap Rayoon dan Heedo bergantian dengan tatapan bingung. “Mau ke dalam?” tawarnya.
            Rayoon menggeleng tegas. “Terima kasih Soo Eun. Aku hanya ingin bertemu Heedo dan memberitahu kalau…” Rayoon mengehela napas sesaat. “Chahee ternyata selama ini sakit parah.”
            Heedo tampak tidak terlalu terkejut. Tapi ekspresinya tampak bingung. “Aku tidak pernah tahu tentang itu.”
            Rayoon mengangguk. “Aku mengerti. Chahee tidak ingin kau tahu tentang penyakitnya. Dan dia meninggalkanmu bukan karena dia selingkuh dengan Sebin. Tapi karena Chahee tidak ingin kau bersedih jika terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya.”
            Heedo menghela napas, berat. “Gadis bodoh. Aku juga sudah merasa ada yang janggal.” Heedo menyentuh pundak Rayoon yang kini mulai tertunduk. “Dia baik-baik saja, kan?”
            Sekuat tenaga Rayoon menahan tangisan sambil mengepalkan tangannya. “Beberapa hari lalu Chahee dilarikan ke rumah sakit.”
            “Lalu, bagaimana keadaannya?” Heedo mencengkeram pundak Rayoon karena Rayoon tidak juga mengeluarkan kata-kata. “Rayoon jawab! Bagaimana Chahee? Di rumah sakit mana dia di rawat?” Karena terbawa sedikit emosi, Heedo sampai mencengkeram kerah baju Rayoon.
            Sontak Soo Eun menahan tangan Heedo yang besar itu. “Heedo hentikan! Aku yakin gadis itu baik-baik saja.”
            “Tidak. Chahee tidak baik-baik saja. Nyawanya tidak tertolong.” Kata Rayoon akhirnya.
            Perlahan cengkeraman Heedo pada Rayoon melemah, bahkan kini sampai terlepas. Melihat Heedo yang nyaris hilang keseimbangan, Soo Eun berniat membantu. Beruntung Heedo sendiri masih sempat berpegangan dengan motornya.
***
              Malam itu juga Heedo menuju rumah duka diantar Rayoon. Heedo hanya terduduk menatap foto Chahee yang terpajang. Hanya penyesalan yang terjadi pada Heedo. Di saat-saat terakhir gadis itu, Heedo justru tengah menjauh. Menjauh karena keingin Chahee yang tidak ingin Heedo terbebani dengan dirinya. Namun itu justru membuat Heedo menjadi seseorang yang tidak berguna.
              Hari sudah lewat tengah malam saat Heedo masih berada di tempat dengan posisi yang sama. Heedo bahkan menolak ajakan Rayoon untuk pulang. Heedo hanya ingin menemani Chahee untuk terakhir kalinya. Heedo bahkan tidak sanggup untuk menangisi Chahee. Dan dengan terpaksa Rayoon meninggalkan Heedo di sana.
              Saat pagi, Rayoon sengaja menjemput Soo Eun untuk menemaninya ke pemakaman Chahee. Dan Soo Eunpun menyetujuinya.
              “Heedo di mana?” Tanya Soo Eun ketika mereka sedang dalam perjalanan. Sedikit banyak Rayoon juga sudah menceritakan apa yang terjadi antara Heedo dan mantan kekasihnya, Chahee.
              “Mungkin sekarang Heedo sudah di pemakaman. Aku tidak tahu pasti. Ponselnya juga mati sejak kemarin.” Rayoon menjawab sambil focus menyetir.
              Soo Eun hanya bisa menunggu dalam diam. Ia sendiri tidak bisa memastikannya karena tidak memiliki nomor ponsel Heedo. Begitu tiba, ternyata acara pemakaman belum lama selesai. Beberapa keluarga dan orang-orang terdekat Chahee tampak meninggalkan area pemakaman. Tersisa satu orang di sana. Itu Heedo. Rayoon langsung mengajak Soo Eun untuk mendekat. Heedo duduk sambil memandangi nisan Chahee dengan tatapan kosong. Penampilannya bahkan sedikit kacau dan masih mengenakan pakaian kemarin.
              “Heedo.” Rayoon menyentuh pelan pundak Heedo.
              Heedo pun menoleh dengan raut wajah tidak kalah kacaunya. Namun saat melihat keberadaan Soo Eun di sana, pemuda itu tersenyum tipis. Membuat Soo Eun langsung berjongkok dan memeluk Heedo. Pancaran kesedihan Heedo lebih jelas terlihat ketika pemuda itu tersenyum. Pelukan Soo Eun begitu kuat seakan ia ikut merasakan apa yang dirasakan Heedo. Karena memang jauh sebelum ini, Soo Eun juga pernah berada di posisi Heedo.
              Dikejauhan, Heedo melihat dua orang yang melangkah mendekat. Buru-buru ia menyeka air mata yang membuat pandangannya sedikit kabur. Semakin lama sosok itu semakin dekat. Itu Sebin bersama Jiwon. Tatapan Heedo perlahan berubah. Ia masih menganggap Sebin terlibat dalam kandasnya hubungan Heedo dan Chahee.
              Melihat ekspresi Heedo yang berubah, Rayoon mencoba mencari tahu apa penyebabnya. Ia ikut menoleh ke arah yang menjadi pusat perhatian Heedo. Dan dalam waktu yang hampir bersamaan, Heedo melepaskan pelukannya dan membimbing Soo Eun yang kini bingung untuk berlindung di balik punggungnya.
              “Untuk apa kalian ke sini?” suara Heedo terdengar sinis saat Sebin dan Jiwon sudah benar-benar berada di hadapannya.
              “Kami hanya…” Sebin menggantungkan kalimatnya karena menyadari gadis yang mengintip dari balik badan Heedo yang sanggup menyembunyikan tubuh mungil Soo Eun. “Soo Eun?”
              Heedo semakin bersikap waspada dan semakin ketat menjaga Soo Eun dari jangkauan Sebin. Sebin sendiri sudah mengangkat tangannya. Namun buru-buru Heedo menepis tangannya dengan sedikit kasar. “Jangan pernah menyentuh gadisku.”
              Sebin tersenyum penuh arti karena ia mengerti kondisi yang sebenarnya. Sementara salah satu tangannya kini menggenggam tangan Jiwon seakan ia juga ingin semua orang tahu bahwa Jiwon miliknya. “Tapi seharusnya aku yang berkata, ‘jangan menyentuh adikku sembarangan’.”
              Soo Eun menatap Sebin dengan ekspresi bingung dan tanpa berkedip sedikitpun. Namun hatinya sama sekali tidak bisa menolak pernyataan Sebin.
              “Maaf oppa baru mencarimu sekarang.”
              Tanpa sadar Soo Eun bergerak. Kali ini Sebinpun ikut mendekat seakan tidak ingin kehilangan moment berharganya untuk bertemu sang adik yang selama ini ia rindukan. Saat Sebin sudah berhasil meraih tangan Soo Eun, di sisi lain Heedo juga menahan salah satu tangan Soo Eun. Tatapan Heedo lurus menatap Sebin.
              “Tolong jangan rebut apapun yang kumiliki sekarang.” Nada suara Heedo terdengar sudah sangat frustasi.
              “Tapi ibuku sudah merindukan Soo Eun juga.”
              “Apa tidak cukup kau merebut Chahee…”
              Sebin memeluk Soo Eun sesaat sebelum akhirnya ia membawa adiknya itu meninggalkan Heedo bersama Rayoon. Heedo sudah akan melangkah, namun Rayoon menahannya.
              “Sebin tidak pernah merebut Chahee darimu.” Kata Rayoon yang membuat Heedo semakin tidak ada kekuatan untuk mengejar Sebin yang membawa Soo Eun. Padahal Soo Eun sendiri beberapa kali tampak menolah ke belakang. Ke arah Heedo berada.
              “Tapi…”
              “Untuk apa kau menahan Soo Eun jika akhirnya kau akan meninggalkannya juga?”
              Rayoon benar. Besok Heedo akan ke luar Negeri untuk melanjutkan studinya. Hal itu juga yang membuat Heedo tidak bisa menahan Soo Eun seperti keinginan hatinya.
              “Sebin benar kakak kandung Soo Eun. Dia sudah membuktikan semuanya. Chahee meninggalkanmu karena penyakitnya. Bukan karena ia berselingkuh dengan Sebin. Mereka hanya berpura-pura.”
              Mendengar semua penuturan Rayoon, Heedo merasakan kakinya lemas. Ia jatuh berlutut dengan tapapan kosong yang lurus ke depan. Tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang. Kenapa Chahee meninggalkannya dengan situasi seperti ini. Kenapa harus ada Sebin di tengah-tengah mereka. Dan kenapa dia jatuh cinta pada Soo Eun. Entah sejak kapan itu terjadi. Yang Heedo tahu, ia hanya ingin selalu berada di dekat Soo Eun meski nantinya mereka akan berjauhan hingga Heedo kembali setelah kuliahnya selesai.
***
              Siang itu juga Sebin membawa Soo Eun bertemu dengan ibu mereka di rumah yang ditempati Sebin. Keyakinan Soo Eun bertambah ketika melihat sang ibu yang memang mirip dengannya. Kalaupun ternyata Sebin berbohong, nampaknya Soo Eun tidak peduli. Sudah sangat lama ia merindukan sosok seorang ibu. Soo Eun memeluk ibunya sambil menangis meluapkan perasaannya. Sebin menatap keduanya dengan perasaan lega karena akhirnya ia bisa menemukan Soo Eun yang berpisah dengannya belasan tahun lalu karena orang tua mereka bercerai. Sebelumnya ayah Sebin meninggal, kemudian ibunya menikah lagi dengan seseorang dan mereka memiliki Soo Eun. Sampai akhirnya keluarga mereka harus kembali terpecah dan ayah Soo Eun membawa pergi anak perempuannya tersebut.
              Soo Eun menghabiskan sisa hari ini di rumah Sebin. Bercengkerama dengan ibunya sepuas mungkin dan mengalihkan pikirannya dari Heedo sementara. Tapi hanya sementara. Saat dipemakaman tadi sebenarnya Soo Eun ingin tetap bersama Heedo. Mendampingi pemuda itu yang dalam kondisi terpuruk. Namun keinginan bertemu ibu kandungnya jauh lebih besar. Soo Eun tidak tahu jika itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Heedo. Selama beberapa hari berikutnya ia tidak menemukan Heedo di restorant. Soo Eun tidak berani menanyakan keadaan Heedo pada ibunya. Karena Soo Eun sampai detik ini tidak memiliki nomor ponsel Heedo.
              Beberapa bulan berlalu. Dan selama itu harapan Soo Eun hanya pada ibunya Heedo. Ia akan merasa tenang jika ibunya Heedo terlihat tersenyum dan cerita. Itu berarti, di sana Heedo dalam keadaan baik-baik saja. Selain itu Sebin juga selalu mengantar dan menjemput Soo Eun jika ada kesempatan. Termasuk malam ini. Namun seperti biasa, Soo Eun sengaja memberitahu Sebin untuk menjemputnya sedikit lebih lama. Selama menunggu Sebin, ia berharap Heedo tiba-tiba pulang.
              Soo Eun berdiri saat melihat mobil Sebin berbelok ke parkiran. “Kenapa aku sebodoh ini?” Soo Eun merutuki dirinya.
***
              Sore itu, tepat ketika jam kerja Soo Eun selesai. Gadis itu baru saja mengganti pakaiannya dan bersiap untuk pulang. Soo Eun hanya berusaha tersenyum ramah ketika berpapasan dengan beberapa rekan kerjanya. Namun tidak menutupi bahwa seperti ada sesuatu yang hilang darinya.
              “Apakah aku harus berhenti dari sini?” Soo Eun menutup pintu dibelakangnya. Membayangkan kalau dirinya benar-benar akan meninggalkan tempat itu. Entah sejak kapan rasanya Heedo membawa pergi setengah hatinya.
              Tidak lama berselang, tampak sebuah mobil memasuki area parkiran. Soo Eun menunggu siapa orang yang mengendarai mobil itu karena jelas itu bukan mobil milik Sebin. Tapi itu Rayoon. Tanpa harus berfikir dua kali, Soo Eun berlari mendekati Rayoon dan sukses membuat pemuda itu terkejut.
              “Waaah kalian berdua ini benar-benar…”
              “Beritahu aku nomor ponsel Heedo. Dia mana dia selama ini? Apa dia baik-baik saja?”
              Rayoon menatap Soo Eun dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ini benar-benar pertanda.” Rayoon mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menyodorkannya pada Soo Eun. “Berikan saja nomor ponselmu padaku.”
              Tanpa pikir panjang, Soo Eun mengetikkan sederat angka pada ponsel Rayoon. Begitu dikembalikan, Rayoon langsung berbalik dan membuka pintu mobilnya.
              “Hei!” Soo Eun menahan pintu mobil Rayoon, membuat pemuda itu membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam mobil. “Kau mau ke mana? Katakana dulu Heedo di mana?”
              Rayoon tersenyum penuh misteri sambil menyingkirkan pelan tangan Soo Eun dari pintu mobilnya. “Kau akan tahu sebentar lagi, oke?”
              Soo Eun hanya menatap kehilangan pada mobil Rayoon yang semakin menjauh. Soo Eun lagi memeriksa ponselnya dan membuka kalender. Terhitung sudah hampir setengah tahun ia tidak melihat atau bahkan sekedar tahu tentang keadaan Heedo.
              “Apa aku melupakannya saja?”
              Baru saja akan memasukan kembali ponsel ke dalam tasnya, Soo Eun merasakan ponselnya bergetar. Ada sebuah chat masuk. Dengan setengah hati Soo Eun memeriksanya. Orang tersebut mengiriminya sebuah video. Soo Eun menunggu beberapa saat sampai videonya dapat ia lihat. Saat ini Soo Eun sedang menatap ke arah pintu masuk restoran, menunggu Sebin menjemputnya sampai tidak menyadari bahwa video di tangannya sudah terputar.
              “Soo Eun-ah. Apa kau akan langsung mematikan videoku?”
              Mendengar seseorang menyebut namanya, Soo Eun justru mengedarkan pandangan ke sekitar. Memastikan dari mana asal suara itu. Suara yang sudah lama ia rindukan. Itu suara Heedo. Namun Soo Eun tidak bisa menemukan sosok Heedo disekitarnya.
              “Ah, tapi ku harap kau tidak membenciku. Hahaha. Ahh, dingin.” Dalam video, Heedo sedikit meringis karena terpaan angin musim semi yang terasa dingin. “Aku hanya ingin bilang.”
              Akhirnya Soo Eun menyadari bahwa suara Heedo berasal dari ponsel dalam genggamannya. Soo Eun membekap mulutnya menggunakan satu tangan. Pemuda yang ia rindukan. Di mata Soo Eun, Heedo kini terlihat lebih tampan dan dewasa dengan rambut yang sedikit lebih pendek dari sebelumnya dan berwarna sedikit kecoklatan.
              “Sesungguhnya aku bukan ingin kabur karena kepergian Chahee. Tapi memang aku sudah mendaftarkan kuliahku di luar Negeri. Aku bingung harus memberitahukanmu dengan cara bagaimana karena sebelum ini kita belum terlalu dekat. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, selama setengah tahun ini aku merindukanmu. Sangat merindukanmu.”
              Soo Eun tidak terlalu mendnegar apa yang dikatakan Heedo. Fokusnya adalah pada sekeliling Heedo saat pemuda itu bergerak. Itu adalah taman yang tidak jauh dari restoran. Dan, dingin. Ya, Soo Eun juga merasakan udara sore itu sangat dingin. Soo Eun segera menyeret kakinya meninggalkan restoran. Ia merasa Heedo masih berada di sana. Di taman itu. Dan keyakinannya bertambah saat melihat Rayoon di kejauhan, berjalan mendekati Heedo dengan pakaian yang terakhir ia temui beberapa menit lalu. Soo Eun semakin mempercepat langkah kakinya.
              “Maaf aku baru menghubungimu sekarang. Karena Rayoon tidak bisa diandalkan untuk mencari tahu nomor ponselmu.” Satu jitakan mendarat mulus di kepala Heedo bagian belakang.
              “Ya! Aku mendengarnya!”
              Heedo tertawa keras sambil mengusap belakang kepalanya. “Hahaha. Tapi kau sahabat terbaikku.” Heedo merangkul pundak Rayoon. “Ah, kau bertemu dengan Soo Eun tadi? Bagaimana dia? Apa dia baik-baik saja?”
              Rayoon mengangguk. “Ya, gadis pujaanmu itu baik-baik saja dan terlihat semakin cantik.”
***
              Heedo dan Rayoon duduk di salah satu bangku taman. Sambil merapatkan jaketnya, Heedo memutar badannya ke samping dan kini berhadapan dengan Rayoon.
              “Aku hanya takut tidak bisa pergi lagi jika bertemu dengan Soo Eun.”
              Rayoon ikut memutar badannya menghadap Heedo. Dan dikejauhan, dari belakang Heedo, ia menangkap sosok wanita yang berjalan semakin mendekat ke arahnya. “Kalau kau mengatakan yang semuanya, ku yakin Soo Eun akan mengerti. Aku pergi dulu.” Rayoon segera bangkit.
              “Ya! Mau ke mana?”
              Rayoon tidak menghiraukan teriakan Heedo dan terus berjalan menjauh. Ditinggal seorang diri, Heedo juga memilih untuk pergi dari sana. Namun langkahnya terhenti ketika saat berbalik, Soo Eun sudah berada di hadapannya. Heedo berkedip beberapa kali untuk memastikan jika Soo Eun bukan delusinya karena terlalu merindukan gadis itu.
              Soo Eun menatap Heedo lekat-lekat. Merekam setiap sudut wajah pemuda di hadapannya. Belum merasa cukup, kini Soo Eun menghempaskan tubuhnya memeluk Heedo. Merasakan hangat tubuh pemuda itu.
              “Maaf aku pergi begitu saja.” Heedo kini sudah balas memeluk Soo Eun dengan tidak kalah erat. Mendekap tubuh mungil gadis itu seakan tidak ingin ia lepaskan.
              “Kalau kau pergi dengan memberikan alasan, aku akan menunggumu.”
              Heedo sedikit melonggarkan pelukannya. Menangkup wajah mungil Soo Eun menggunakan kedua tangannya. “Kau janji? Tolong tunggu aku sedikit lagi. Setelah aku kembali, aku janji kita akan bersama-sama. Aku mencintaimu, Soo Eun.”
              Soo Eun menggangguk dan tersenyum tipis. “Aku mengerti kemarin kau terpuruk atas kepergian Chahee.”
              “Entah bagaimana jadinya jika aku tidak bertemu denganmu. Kau juga pernah kehilangan orang yang kau saying. Terima kasih telah hadir di hidupku, Soo Eun.”
              “Tapi di sini dingin.”
              Heedo kembali memeluk Soo Eun. “Ayo kita ke resto.” Heedo melepaskan pelukan dan ganti menggenggam tangan lembut Soo Eun lalu mengajak gadis itu meninggalkan taman.
              “Kenapa ke restoran? Aku sudah selesai bekerja.”
              “Aku ingin bertemu ibu dan mengenalkanmu.”
              “Tapi kami sudah saling mengenal.”
              “Mengenalkanmu sebagai calon menantunya.”
              “Tapi di sana ada Sebin.”
              Heedo menghela napas sesaat. “Aku harus berbaikan dengan Sebin agar dia meresui kita.”
              Soo Eun justru menertawai ekspresi lucu Heedo saat merespon tentang kakaknya, Sebin.

---end---