Selasa, 05 Februari 2019

-BEAUTIFUL MONSTER (4)-




Author          : N-Annisa [@nniissaa11]
Cast                :
·        Son Chaeyoung
·        Adachi Yuto
·        Kang Hyunggu (Kino)
·        Jung Wooseok
·        Lee Hangyul
·        and other
Genre            : School Life, Romance, Drama

***

            Semuanya mengunyah makanan dalam diam. Menunggu Wooseok menjalankan hukuman akibat kekalahannya dari Junyoung. Merasa mereka senasib, Junyoung ingin lebih dekat dengan Wooseok juga yang lain. Dimulai dari ia ingin tahu sesuatu tentang Wooseok yang belum diketahui orang banyak. Dan usahanya berhasil karena telah mengalahkan Wooseok dalam permainan billiard.
            Wooseok menghela napas sebelum meletakkan kembali gelasnya yang sudah kosong ke atas meja. “Aku memang memiliki hubungan dengan Yukyung.”
            “Yukyung… hmpp!”
            Dengan gerakan cepat, Kino membekap mulut Hangyul yang kebetulan duduk disebelahanya. Membuat mereka menjadi rusuh sesaat. Masing-masing merespon dengan cara berbeda. Eunwoo tampak kagum karena jika hal ini diketahui orang yang berpihak pada Mina, sudah bisa dipastikan posisi Yukyung dalam bahaya. Yugyeom menyandarkan punggungnya pada sofa tanpa minat merespon lebih. Kino dan Hangyul masih terlibat dengan keributan mereka. Sekuat tenaga, Hangyul melepaskan tangan Kino dari mulutnya.
            Hyung! Maksudmu Yukyung teman sekelasku?” Hangyul terlanjur penasaran begitu dirasa Kino mulai melonggar.
            Kino masih tidak ingin berhenti. Kini ia merangkul leher Hangyul dengan satu tangan. “Kecilkan suaramu, nak!”
            Junyoung berdiri agar tangannya sampai untuk menarik tangan Kino. Merasa sedikit kasihan dengan Hangyul.“Sudah..sudah. Kino, hentikan!”
            “Kino-ya. Kau juga punya hutang padaku.”
            “Sejak hari itu, sejujurnya baru kali ini kita benar-benar terlihat dekat. Bukan hanya sebagai ‘pria yang tidak boleh didekati’.” Eunwoo bicara sambil membentuk tanda kutip menggunakan jarinya ketika berkata ‘pria yang tidak boleh didekati’.
            Kino menggangguk penuh semangat. Jelas ia juga menyetujui apa yang dikatakan Eunwoo. Tanpa sadar bola matanya melirik ke tempat Yugyeom yang masih diam. Tidak bisa dipungkiri kalau dirinya begitu penasaran tentang Yugyeom yang memang memiliki kepribadian yang sedikit tertutup dibandingkan dengan yang lain. Wooseok yang menangkap gelagat Kino, reflex menengok ke tempat Yugyeom duduk. Tepat sedetik kemudian Yugyeom berdiri dan sukses membuat Wooseok terkejut dan seperti terhempas ke sandaran sofa. Semua mata kini benar-benar mengurung sosok Yugyeom.
            “Kalau penasaran, kalahkan aku di meja billiard dahulu.” Yugeyom sudah melangkah menuju meja, membuat Wooseok dan Junyoung beringsut untuk memberikan jalan. Pemuda itu seakan mengetahui kalau dirinya menjadi pusat perhatian. Yugyeom mengumpulkan bola-bola ke atas meja, membuat yang lain tidak ada yang mengeluarkan suara. Kecuali Hangyul yang sempat menyuap pasta ke dalam mulutnya. Tentu saja ia tidak tahu apa yang terjadi sebelum ini. Yugyeom menoleh karena merasa tidak ada yang meresponnya. “Kau, anak kelas satu. Siapa namamu?”
            Kino dengan sengaja menyenggol kaki Hangyul dengan sedikit keras hingga membuat pemuda itu tersedak. Eunwoo yang duduk di sebelah kiri Hangyul memukul belakang kepala Kino yang berada di bagian kanan Hangyul. Selayaknya seorang kakak menegur adiknya yang jahil. Hangyul masih terbatuk sampai Junyoung menyodorkan segelas air untuknya.
            “Aku kenapa, Hyung?” Hangyul balik bertanya namun masih sesekali menenggak minumannya.
            “Kau bisa main billiard, kan?” Yugyeom bicara tanpa menoleh. Ia sibuk membersihkan stick billiard yang ditangannya. Sudah sangat siap untuk satu ronde ke depan, sambil menunggu lawannya siap. “Ayo kalahkan aku.”
            Hangyul menelan ludahnya. Aura yang dikeluarkan Yugyeom benar-benar penuh ketegangan. Hangyul sempat menoleh ke samping. Lebih tepatnya ke arah Kino berada seakan meminta saran. Kino hanya mengangguk pelan. Meyakinkan bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Eunwoo sendiri juga tengah menepuk-nepuk punggung Hangyul untuk memberikan dukungan.

***

            Satu tembakan terakhir. Jika Hangyul berhasil memasukkan bola hitam ke dalam lubang, bisa dipastikan dirinyalah yang menang. Meski sebenarnya pertandingan tadi cukup sengit. Keduanya sama kuat. Karena bola berwarna milik Yugyeom juga sudah habis. Yugyeom melakukan kesalahan pada tembakan terakhirnya yang meleset hingga akhirnya memberikan kesempatan pada Hangyul.
            Wooseok, Kino, Eunwoo dan Junyoung ikut merasakan ketegangan yang ada. Tatapan keempatnya tidak pernah berpaling antara Yugyeom dan Hangyul.
            Ctak!
            “Kyaaa! Hangyul!”
            Kino dan Wooseok berhamburan berlari ke arah Hangyul. Memeluk bahkan mengacak rambut pemuda itu karena bolanya berhasil bergulir dan jatuh ke dalam lubang. Yugyeom tampak begitu sportif dengan ikut bertepuk tangan untuk kemenangan Hangyul. Eunwoo dan Junyoung memilih menghampiri Yugyeom dan menepuk-nepuk pundak pemuda itu. Selang beberapa saat, suasana kembali lebih tenang, dan mereka semua kembali ke sofa untuk menikmati sisa makanan.
            “Jadi…” Eunwoo meletakkan sendoknya ke atas piring yang sudah kosong. “Kino, kau tidak lupa kalau kau juga kalah dariku, kan?”
            Kino berhenti mengunyah beberapa saat. Lalu menghela napas sambil mengaduk minumannya. “Apa yang ingin kau tahu, Hyung?”
            “Telpon gadis itu.”
            Kino melebarkan matanya ke arah Wooseok. “Kau memihak padaku atau pada senior?”
            Wooseok hanya tersenyum penuh kemenangan. “Kau juga tidak memihakku tadi.”
            Dengan ekspresi kesal, Kino memainkan jarinya diatas layar ponsel, mencoba menghubungi seseorang. Sampai akhirnya layar ponsel Kino memunculkan penghitungan waktu sejak panggilannya tersambung. Kino sontak menegakkan posisi duduknya.
            “Hallo, Oppa.
            Hangyul membekap mulutnya menahan tawa karena ia sepertinya mengenali suara gadis itu. “Yuqi?” Hangyul berujar tanpa suara pada Wooseok yang berkedip sekilas, membenarnya rasa penasaran Hangyul. Eunwoo yang duduk disebelah Hangyul menyenggolnya karena tidak kalah penasaran. Hangyul mengangguk sambil membisikkan sesuatu.
                “Yuqi-ah. Kau sudah pulang?”
            Kino melotot ke tempat Wooseok berada karena dirinya ditimpuki potongan kentang goreng. Memohon agar Wooseok tidak mengganggunya.
            “Iya, Oppa. Aku baru saja sampai.”
            “Padahal aku ingin mengajakmu bertemu.”
            Wooseok tidak berhentinya mengganggu. Kali ini ia menutup telinganya sambil menunjukkan ekspresi seolah apa yang dikatakan Kino akan terdengar menjijikan. Membuat Junyoung menertawainya.
            “Bertemu? Memangnya kau di mana?”
            “Aku di restoran milik Chaeyoung sekarang.”
            Kino menunggu karena Yuqi tidak langsung menjawab. “Halo, Yuqi. Bagimana? Atau mau kujemput?”
            “Kalau bertemu di tempat lain, aku akan datang. Tapi kalau di sana… lebih baik lain kali saja kita bertemu.”
            Kino menjauhkan layar ponselnya yang kini hanya menampilkan wallpaper. Nada bicara Yuqi membuat Kino meyakini ada yang aneh. Ia kemudian mendongak pada Wooseok yang memang belum melepaskan tatapannya dari Kino sejak beberapa saat lalu. Wooseok hanya mengangguk seakan mengerti kegelisahan Kino tentang Yuqi.
            Junyoung menepuk tangannya satu kali untuk mengalihkan perhatian teman-temannya karena suasana mendadak menegang. “Ah, baiklah. Mungkin Kino masih harus berjuang. Jadi, bagaimana kalau kita beralih ke Yugyeom. Rahasia apa yang mungkin bisa kau bagi dengan kami?”
            Yugyeom sedikit merubah posisi duduknya sambil menautkan kedua tangannya. “Selama ini aku diam, karena memang tidak ada yang bisa aku lakukan. Selepas lulus, aku akan pindah dan kuliah di London. Meninggalkan semua yang ada di sini. Termasuk pula Chaeyoung.”
            “Waah, berarti ada alasan untuk aku liburan ke London.”
            Kino melirik iri ke arah Eunwoo. “Ah, Hyung. Andai aku juga bisa semudah itu ke London.”
            Eunwoo mengukir senyum sambil mengulurkan tangan di belakang punggung Hangyul dan menepuk pundak Kino. “Kau tenang saja, Hangyul bisa menjadi sponsormu.”
            Hangyul membatalkan diri untuk kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. “Aku bahkan belum pernah liburan ke luar negeri. Ayah angkatku sampai marah dan berniat mengirimku ke antartika. Padahal aku hanya tidak ingin menghabiskan uang mereka. Impianku untuk bisa bersekolah sudah terwujud, bahkan mungkin nanti aku akan dikuliahkan juga.”
            “Kau beruntung Hangyul-ah. Aku tahu bagaimana ayah angkatmu, dan kalau hanya ke London tidak akan membuatnya bangkrut, kau tahu?”
            “Bukankah liburan kelulusan hanya beberapa bulan lagi? Kalau begitu kau bisa bekerja part time dulu selama itu.”
            Kino meringis menanggapi ucapan Wooseok tadi. Hanya ia dan Wooseok yang mengerti pembicaraan tersebut. “Dan kalau pergi dengan kalian, mungkin aku akan mendapatkan ijin.”
            “Apa hanya aku yang tidak mengerti?” Eunwoo menatap berkeliling.
            Junyoung menunjukkan ekspresi bingung. “Aku juga tidak mengerti.”

***

            “Dongju-ya!” teriak Chaeyoung dari arah dapur sebelum duduk di samping Dongmyung yang sedang menikmati sarapannya. “Apa Dongju belum bangun?”
            Dongmyung hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu. Chaeyoung sendiri tampak sibuk memasukan botol minum ke dalam ranselnya. Gadis itu akan pergi ke tempat latihan Muay Thai. Di saat yang bersamaan, sepasang langkah kaki terdengar dari arah tangga. Dongju memunculkan diri dengan piyama yang tampak kusut dan rambut yang berantakan. Melihat kedatangan saudara kembarnya, Dongmyung menarik piring mendekat padanya.
            “Kau akan ke restoran jam berapa?”
            Dongju mengambil tempat duduk di depan Dongmyung yang kini memukuli tangan Dongju agar menjauh dari piringnya.
            Noona, aku sudah kelas 3 dan harus belajar agar bisa lulus ujian.”
            Dongmyung benar-benar menjauhkan piringnya yang berisi roti dengan selai cokelat dari jangkauan Dongju. “Sejak kapan kau peduli dengan belajar? Kau bahkan harus mengganti televisi yang rusak karenamu.”
            Dongju mengacak rambutnya, kesal. “Ah, baiklah-baiklah. Aku akan pergi 1 jam lagi.”
            Caheyoung berdiri dari kursinya, memutar meja menuju tempat Dongju berada. Mengecup singkat puncak kepala Dongju. “Aku pergi dulu.”
            “Akh!Noona!” Dongju memekik keras. Tidak suka dengan perlakuan Chaeyoung padanya.
            Tidak mempedulikan teriakan Dongju, Chaeyoung terus berjalan, menutup pintu di belakangnya lalu keluar pagar meninggalkan rumah dengan berjalan kaki menuju halte bus. Setelah Chaeyoung berjalan beberapa meter melewati gerbang apartmen tempat Yuto tinggal, tampak pemuda itu memunculkan diri dari arah gerbang sambil membawa sebuah dus cukup besar berisi sebuah televisi. Yuto melangkah ke arah yang berlawanan dengan Chaeyoung setelah menanyakan sebuah alamat kepada security yang berjaga di gerbang apartmentnya.

***

            Kino mengepalkan erat tangannya. Ia memaksa Wooseok untuk bertemu Yukyung pagi itu di sebuah tempat sebelum Wooseok pergi latihan Muay Thai. Wooseok menepuk-nepuk puncak kepala Yukyung yang bertubuh mungil itu. Sangat kontras terlihat saat berdiri bersebelahan dengan Wooseok.
            “Apa Yuqi tidak tahu kalau Chaeyoung pemilik restoran? Jadi wajar saja jika ia memiliki uang yang tidak sedikit.”
            Kino melempar tatapannya ke arah lain. Jelas cerita Yukyung tentang pertemuannya dengan Mina, Jihyo dan Dayoung membuatnya emosi. Gadis itu lagi-lagi mencari masalah meski tidak tertuju langsung padanya.
            Yukyung menggeleng. “Aku tidak yakin. Seharusnya Yuqi tahu. Atau memang Yuqi yang selama ini tidak terlalu peduli pada Chaeyoung.”
            “Tentang Oppa-nya Chaeyoung, kau tahu, kan?”
            Yukyung menoleh cepat sambil mengangguk dan mendapati Wooseok sedang menunduk menatapnya. “Son Dongwoon yang artis itu?”
            “Tentang Dongwoon Hyung saja dia tidak tahu?”
            Kali ini Yukyung menoleh ke arah lain. Ke arah Kino yang baru saja bicara. Masih terlihat kemarahan di matanya. “Chaeyoung sepertinya pernah ketahuan menerima telepon dari seseorang yang Chaeyoung panggil dengan sebutan ‘Oppa’. Yuqi menyimpulkan kalau Chaeyoung menyembunyikan sesuatu tentang hal itu.”
            Kino geleng-geleng, heran dengan cerita Yukyung tentang Yuqi. “Sebenarnya apa yang terjadi dengan Yuqi?”
            Wooseok membenarkan posisi ranselnya. “Nanti ku tanyakan pada Chaeyoung tentang buku tabungan itu. Aku harus pergi latihan.” Wooseok memeluk singkat tubuh mungil Yukyung. “Kau hati-hati di jalan ya?”
            Yukyung mengangguk tanpa bicara apa-apa.
            “Nanti aku akan menemaninya sampai halte.” Kino melambaikan tangan sebelum Wooseok berbalik dan meninggalkan mereka.

***

            Kedua anak kembar tersebut—Dongju dan Dongmyung—saling melempar tatapan ketika mendengar suara ketukan dipintu rumahnya. Dongmyung sudah memberikan isyarat agar Dongju yang membukakan pintu.
            “Aku ingin mandi!” Seru Dongju yang bahkan sedetik kemudian sudah melesat pergi menaiki anak tangga menuju lantai atas.
            Tanpa berkata apa-apa lagi, Dongmyung-pun bangkit dan melangkah pergi dari meja makan untuk membukakan pintu. Di sana Dongmyung mendapati Yuto berdiri dengan sebuah kardus besar di sebelah kakinya. Mengerti dengan maksud kedatangan Yuto, Dongmyung tersenyum cerah dan membukakan pintu lebih lebar untuk Yuto.
            Dongmyung berjongkok untuk membawakan kardus berisi televisi yang dibawa Yuto. “Biar ku bantu, Hyung.”
            Yuto berdiri di depan televisi milik keluarga Chaeyoung yang tampak retak di salah satu sudut bagian layarnya. “Ini sudah tidak bisa diselamatkan,” kata Yuto bahkan sampai menggelengkan kepala.
            Dongmyung melipat tangannya di depan dada. “Benar sekali, Hyung. Itu dia pelakunya di sana.”
            Perlahan Yuto menoleh. Dari arah tangga, Dongju memunculkan diri dengan ekspresi bingung karena melihat kehadiran Yuto di sana. Saat sudah sampai di anak tangga terakhir, Dongju menghentikan langkah. Matanya menangkap sebuah kardus bergambar televisi. Bisa dipastikan itu memang televise yang dijanjikan Yuto padanya dan Dongmyung.
            “Kau berikan saja nomor rekeningmu. Nanti ku kirimkan uangnya.” Dongju yang sudah rapih dan berganti pakaian, berjalan melintasi Yuto dan Dongmyung sambil menenteng sepatu sport-nya.
            “Dompetku hilang. Ku harap kauu memberikan uang cash saja padaku.”
            Dongju yang sudah duduk di salah satu kursi makan, kemudian tidak melakukan apa-apa selama beberapa saat. “Kau…” Dongju tidak melanjutkan ucapannya karena setelah itu ia menoleh ke tempat Dongmyung berdiri. “Bukankah dia pria yang dompetnya ada pada Noona?”
            Dongmyung membulatkan matanya dan baru teringat sesuatu sambil menoleh cepat ke tempat Yuto berdiri. “Kau. Adachi Yuto?”
            “Oh iya, kita belum berkenalan.” Tidak diduga Yuto justru mengulurkan salah satu tangannya. “Benar namaku Adachi Yuto.”
            “Aku Dongmyung,” ujarnya setelah membalas uluran tangan Yuto.
            “Tapi bagaimana kau tau namaku? Dan, kalian membicarakan dompet. Dompet apa maksud kalian?” Yuto tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
            “Hmm, Hyung. Sepertinya lebih baik Noona ku saja yang menjelaskannya besok di sekolah.” Mengingat kejadian malam itu bukan hal mudah untuk diceritakan, Dongmyung memilih mulai menyibukkan diri dengan beberapa kabel televisi dan berniat menggantinya dengan yang lebih baru.
            Yuto mengangguk-angguk, mengerti. Mereka hanya menoleh ketika menyadari Dongju meninggalkan rumah dengan mengendarai sepedanya. “Ayo kita lanjut.” Yuto menepuk pelan pundak Dongmyung, mengajak pemuda itu meneruskan pekerjaan mereka. Setelah memastikan semua kabel terpasang ditempat yang benar, Yuto menyalakan televisi menggunakan remote.
            Sekitar setengah jam berlalu, Dongmyung dan Yuto sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Di meja pendek di depan sofa tempat Yuto duduk, tampak Dongmyung seperti sedang mengerjakan tugas-tugasnya sambil duduk di atas karpet. Yuto menggonta-ganti channel televisi setelah sebelumnya ia sempat membantu Dongmyung yang kesulitan dengan tugas sekolahnya, namun dengan gerakan mata yang tidak berhenti melirik ke sekelilingnya.
            Noona-mu tidak di rumah?”
            “Iya. Noona sedang berlatih Muay Thai.” Tanpa mengalihkan pandangan dari buku-buku pelajarannya, Dongmyung menjawab.
            Di tempatnya duduk, Yuto melebarkan mata. “Noona-mu berlatih beladiri Muay Thai?”
            Dongmyung akhirnya mengangkat wajah dan hanya mengangguk sekali kemudian kembali meneruskan kesibukannya. Membiarkan Yuto seorang diri dengan keterpanahannya.
            Tanpa diminta, tangan Yuto terangkat dan menyentuh hidungnya yang pernah terluka karena Chaeyoung. “Pantas saja hidungku sampai berdarah.”
            Diam-diam Dongmyung tersenyum. Tentu saja karena ia tahu jelas kejadian malam itu ketika dompet Yuto dicuri. “Hyung, bisa bantu aku lagi?”
            Yuto memajukan posisi duduknya ketika Dongmyung sudah menggeser buku pelajarannya. “Apa yang ingin kau tanyakan?”
            Pintu rumah itu terbuka dengan memunculkan Dongju dibaliknya. Pemuda kembaran Dongmyung itu berjalan ke hadapan Yuto sambil merogoh saku celananya. Mengeluarkan lembaran-lembaran uang yang bisa dikatakan tidak sedikit dan memberikannya pada Yuto.
            Mengerti dengan maksud Dongju memberikannya uang, Yuto menerima uang itu tanpa ingin menyakiti hati Dongju jika ia menolaknya. Dirasa terlalu banyak, Yutopun menghitung kembali uang pemberian Dongju. “Kau memberikan uang terlalu banyak padaku.”
            Dongju sejak tadi menunggu dengan tatapan polosnya. “Karena tidak ada kesepakatan sebelumnya, jadi aku melihat harga televisimu seperti yang ada pada internet.”
            “Iya tapi ini terlalu banyak. Aku juga tidak menjual televisi baru.” Dengan gerakan cepat, Yuto seperti membagi dua lembaran uang ditangannya tanpa menghitungnya terlebih dulu lalu menyerahkannya lagi pada Dongju.
            Dongmyung meletakkan pulpennya lalu mengangkat kedua tangan untuk meregangkan badan. Dongmyung berbalik karena Dongju belum menerima uang pemberian Yuto. “Ambil saja, Hyung. Dongju tidak akan jatuh miskin hanya karena kehilangan uang sebesar itu.”
            Yuto mengerutkan dahi, tidak mengerti, tanpa menarik kembali tangannya yang masih terulur.
            Dongju mengangkat tangan ke dekat bibir sambil memajukan sedikit badannya ke arah Yuto, lalu berbisik. “Bukannya sombong, Hyung. Kami sudah memiliki penghasilan sendiri. Itu bahkan hanya setengah dari uang gajiku selama 1 bulan.” Dongju berucap dengan nada misterius.
            Dongmyung yang mengerti meskipun tidak mendengar suara Dongju, tertawa. Ia bahkan juga menertawai ekspresi wajah Yuto yang terlihat cukup syok. “Bagaimana kalau anggap saja itu gajimu sebagai guru privat ku tadi?”

***

            “Kau sudah mau pulang?”
            Chaeyoung mengangguk cepat. Menunggu respon Wooseok lagi kemudian. Wooseok dan Chaeyoung masih duduk di bangku panjang yang berada tidak jauh dari salah satu ring permainan di mana Hangyul masih terlihat berlatih tanding dengan salah seorang anggota klub Muay Thai tersebut.
            “Buku tabunganmu hilang, kan?”
            Kali ini Chaeyoung menoleh cepat. “Bagaimana kau…”
            Wooseok mengangkat bahu. “Entah siapa, tapi kata Yukyung, buku itu ada pada Mina.”
            Chaeyoung menatap ke arah lain. Sempat melihat ke arah Hangyul yang baru saja menyelesaikan permainannya. Tidak terlalu terlihat terkejut. “Mereka cepat sekali bergerak. Aku bahkan tidak tau buku tabunganku jatuh di mana.”
            Wooseok meletakkan tangannya dipuncak kepala Chaeyoung hingga mereka saling bertatapan sesaat. Bahkan tidak ada yang peduli ketika Hangyul sudah berdiri dihadapan mereka.
“Jangan khawatirkan hal ini. Aku, Kino dan Yukyung ada dipihakmu.”
            Chaeyoung mengerjap, tak percaya. “Yukyung?”
            Wooseok mengangguk tegas. “Yukyung mengkhawatirkanmu. Dia berdiri di samping Yuqi bukan berarti tidak peduli padamu.”
            Chaeyoung menunjukkan senyuman cerahnya seiring Wooseok menarik kembali tangannya. “Aku percaya Yukyung.”
            “Ayo kuantar pulang.”
            Chaeyoung dan Wooseok menoleh sambil mendongak ke arah Hangyul yang memang sejak tadi berdiri di sana.
            “Cari mati?” Chaeyoung terkekeh sambil berdiri. “Nanti sekalian ku belikan hand warp  untuk kalian juga.”
            “Waah waah. Aku baru sadar adik kecilku ini pemilik sebuah restoran, sampai-sampai mau membelikanku hard warp. Terima kasih ya.”
Gadis itu terkekeh mendengar candaan Wooseok. Bergantian Chaeyoung menatap Wooseok dan Hangyul kemudian balik badan dan pergi. Tidak lama setelahnya, Hangyul menduduki kursi kosong yang tadi ditempati Chaeyoung.

***

            Princess Muay Thai kita sepertinya baru kelihatan?”
            Chaeyoung tersenyum pada seorang pemuda yang menyapanya tepat ketika ia baru masuk ke dalam sebuah toko perlengkapan olahraga. Chaeyoung berjalan mendekat dan berdiri di depan pemuda itu. Hanya sebuah etalase setinggi dada yang membatasi mereka.
            “Karena aku hanya datang ketika hand wrap ku rusak.”
            Pemuda bernama Taewoong itu terkekeh diikuti Chaeyoung kemudian. “Kau mau yang warna apa?”
            “Warna hitam saja, Oppa. Aku ingin 3 pasang untuk Wooseok dan Hangyul juga.”
            “Kau memang anak baik.” Taewoong mengguk lalu melesat cepat meninggalkan Chaeyoung. Tepat ketika pintu toko terbuka dan memunculkan seorang pemuda tinggi. Namun saat itu Chaeyoung sedang bergeser untuk melihat-melihat deretan pakaian olahraga. Begitu menyadari Taewoong kembali ke tempat tadi, Chaeyoungpun berbalik.
            “Ada yang bisa kami bantu?” Taewoong menyapa pemuda tinggi yang baru datang tadi.
            Tanpa sadar, Chaeyoung berdiri disamping pemuda tinggi itu saat melihat barang yang akan dibelinya.
            “Ah, iya mungkin aku ingin melihat-lihat terlebih dulu,” ujar pemuda itu tanpa melakukan kontak mata dengan Taewoong.
            Taewoong mengangguk, menghargai keinginan pemuda itu. Disaat yang bersamaan, Chaeyoung mendongak dan melihat pantulan wajah pemuda itu dari cermin di belakang Taewoong yang terhalang deretan raket tanpa senar. Merasa mengenalnya, Chaeyoung menoleh. Tepat ketika pemuda itu hendak berbalik hingga membuat tatapan mereka bertemu. Pemuda itu adalah Yuto.
            “Kau?” Chaeyoung mengacungkan jari telunjuknya. “Sunbae, dompetmu ada padaku. Besok akan ku berikan di sekolah.”
            Yuto tidak langsung menjawab karena ia ingin mencerna ucapan Chaeyoung untuk beberapa saat. “Dompet? Bagaimana bisa …”
            “Itu…” Chaeyoung tidak bisa memberi penjelasan ketika Yuto tidak melanjutkan kata-katanya. “Ah, bagaimana aku menjelaskannya ya?” Jari teunjuk yang teracung tadi ia tarik kembali untuk menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
            Yuto mengangguk mengerti jika mungkin ada hal yang sedikit sulit dijelaskan. “Tidak perlu dipaksakan. Aku akan menunggumu untuk bicara.” Yuto berbalik meninggalkan Chaeyoung setelah gadis itu mengangguk. Berjalan menuju rak tempat deretan sepatu olahraga berjejer.
            Setelah memutuskan membeli sepasang sepatu olahraga, Yuto membawa benda itu kembali ke kasir. Tempat ia bertemu dengan Chaeyoung tadi. Namun gadis itu sudah pergi meninggalkan toko beberapa saat lalu. Yuto sempat melirik ke arah pintu saat bayangan Chaeyoung masih melintas dan terlihat melalui kaca toko ketika Taewoong berdiri setelah mengambil sesuatu yang terjatuh di lantai.
            “Apa ukurannya sudah pas?”
            “Iya sudah pas.” Yuto menoleh kembali ke tempat semula, ke arah Taewoong berada sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Namun Yuto sempat mematung ketika melihat jelas wajah Taewoong yang kini sibuk memasukan sepatu milik Yuto ke dalam kardus dan tas plastik.
            Taewoong tidak terlalu memperhatikan perubahan sikap Yuto karena ia sendiri sedang sibuk mencocokan harga barang dengan yang tertera pada layar monitor kasir tokonya. Ada satu kotak barang lagi di sebelah barang milik Yuto. “Oh, ini juga?” Taewoong membuka kardus tersebut untuk memeriksa isinya. Sebuah helm untuk pengendara sepeda.
            Yuto tersadar begitu saja dari lamunannya. “Oh, maaf itu bukan punyaku.” Pemuda itu meletakkan beberapa lembar uang tanpa mengalihkan pandangannya dari Taewoong.
            Memastikan lagi helm sepeda yang didominasi warna putih, Taewoongpun akhirnya menyadari sesuatu. “Astaga ini milik Chaeyoung tertinggal.”
            “Chaeyoung?” Yuto balik bertanya karena seingatnya hanya dirinya dan Chaeyoung pengunjung yang datang sebelum dua pemuda yang baru saja tiba beberapa saat lalu.
            “Gadis yang bicara denganmu tadi. Apa kalian saling kenal? Ada satu barangnya yang tertinggal. Dia bilang ini untuk hadiah ulang tahun adiknya.”
            “Adiknya yang kembar itu?”
            Taewoong menerima uang milik Yuto sambil mengangguk.
            “Sebenernya kami memang baru kenal dan aku juga kenal dengan adiknya yang kembar itu. Tapi tidak apa-apa biar ku bawa saja. Aku berencana mengunjungi restorannya sore ini.” Yuto mengulurkan tangan untuk mengambil barang miliknya dan milik Chaeyoung juga.
            “Waah, kau sering ke sana?”
            Yuto mengangguk tanpa berkata apa-apa.
            “Apa menurutmu makanannya enak?”
            Lagi-lagi pertanyaan Taewoong membuat Yuto mengangguk.
            “Makanan di sana membuatku teringat ibuku.”
            Taewoong tersenyum cerah mendengar pernyataan Yuto. “Kau, tahu? Ibuku adalah kepala koki di restoran itu.”
            Yuto hanya mengerjap seperti tidak percaya. “Ah, iya, Hyung. Ibumu sangat hebat. Aku selalu pergi ke sana setiap hari semenjak aku pindah ke sini.”
            “Kau baru pindah ke sini?”
            Yuto mengangguk cepat. “Aku baru pindah dari Jepang.”
            “Jepang? Ah, pantas saja nada bicaramu sedikit berbeda.” Taewoong berujar pelan. Ada sedikit keterkejutan di dalam dirinya hingga membuat pemuda itu tidak melepaskan tatapan pada sosok tinggi di depannya.
            “Kalau begitu aku permisi, Hyung. Barang milik Chaeyoung biar ku bawa juga.”
            Setelah membawa serta semua barang miliknya dan Chaeyoung, Yuto beranjak pergi meninggalkan Taewoong dengan pikirannya sendiri yang mengingat sesuatu. Taewoong bahkan tidak melepaskan tatapannya pada Yuto yang kini sudah menghilang di balik pintu toko. Tidak hanya itu, Yuto sendiri nampaknya merasakan hal yang sama. Setelah tiba di dalam mobilnya, Yuto tidak langsung pergi, namun ia memilih untuk mengeluarkan ponselnya untuk mengontak seseorang yang berada di Jepang. Takuya.
            Onni-chan. Kau sudah mendapatkan kabar tentang Yasuo?”
            “Tidak.”
            Yuto menghela napas, sedikit kasar. Tidak mendapatkan hasil apapun dari Takuya. Itu berarti ia harus berjuang sendiri mencari ibu dan satu lagi kakak laki-lakinya.

***

            Bunyi suara benturan diatas meja itu mengejutkan seseorang. Hangyul meletakkan tasnya diatas meja dengan kasar sambal menatap tajam gadis itu yang teratngkap sedang menyentuh tas ransel milik Chaeyoung.
            “A..aku hanya mengembalikan buku tabungan milik Chaeyoung.”
            Hangyul menyambar kasar benda ditangan Dayoung itu. Memeriksa detailnya. Memang benar buku tabungan sebuah Bank swasta itu milik Chaeyoung. Hangyul sempat melirik bagian resleting Chaeyoung yang terbuka.
            “Sana pergi!”
            Dayoung tertunduk takut dengan tatapan galak yang ditunjukkan Hangyul. Tanpa merasa curiga sedikitpun, Hangyul memilih duduk di kursinya setelah menyelipkan benda ditangannya ke dalam tas Chaeyoung yang masih dengan kondisi bagian resletingnya terbuka.
            Namun ketika bel berbunyi, Chaeyoung sedang berjalan menuju kelasnya saat bertemu dengan Yuto yang tampak baru sampai karena masih memanggul ransel di punggungnya.
            “Bel sudah berbunyi, nanti temui aku saat istirahat ya.”
            Yuto menyentuh pelan pundak Chaeyoung sambil bicara dan kemudian berlalu begitu saja tanpa menunggu tanggapan dari Chaeyoung. Dua hari lalu mereka bertemu di toko perlengkapan olahraga. Lalu kemarin keduanya tidak bertemu karena Yuto sibuk berkeliling kota. Setidaknya yang ia lakukan tidak hanya duduk diam dan menunggu kabar dari Takuya.
            Belum sampai jam istirahat, Yuto yang sedang mengikuti pelajaran mendadak dipanggil oleh salah seorang guru, perempuan. Sontak pemuda tinggi itu menjadi pusat perhatian.
            “Saya mendengar laporan kalau kau kehilangan dompet?”
            Yuto tidak langsung menjawab. Namun ia tidak bisa menutupi ekspresi keterkejutannya.. Memang tidak heran karena ia sempat menawarkan beberapa barang untuk dijual ke teman-teman kelasnya dengan alas an dompetnya hilang. Namun bagaimana bisa berita tersebut justru tersebar di sekolah bahkan sampai terdengar pada guru mereka.
            Obrolan tersebut terdengar sampai pada telinga Dokyeom yang kebetulan sedang melintas. Ia sempat berhenti sesaat, menunggu Yuto merespon pertanyaan ibu guru Kang. Belum sempat ada yang merespon, diujung koridor tendengar sedikit keramaian. Kelas paling ujung, kelas Chaeyoung. Tampak seluruh siswanya meninggalkan ruangan, namun tanpa membawa tas atau satupun barang mereka. Dari pintu depan, mata Yuto menangkap sosok Dayoung yang ekspresinya langsung berubah ketika mata mereka bertemu. Chaeyoung sendiri terlihat meninggalkan kelas melalui pintu belakang.
            Dokyeom langsung melesat pergi ke dalam kelasnya hingga sosoknya tertangkap oleh sosok Yuto. Namun Yuto sama sekali tidak menaruh curiga sedikitpun pada Dokyeom. Malam itu Yuto bahkan tidak melihat wajah Dokyeom sedikitpun saat dompetnya dicuri.
            “Ibu menemukan dompet milik Yuto di tas ini.”
            Semua orang menoleh ke arah sumber suara. Seorang guru menenteng sebuah tas dan dompet dikedua tangannya. Yuto langsung mengawasi ekspresi Chaeyoung yang terlihat panic sebelum akhirnya Dayoung terdengar memekik.
            “Astaga, bukannya itu tas milik Chaeyoung?”
            Bukannya melihat ke arah Dayoung, Yuto justru menoleh ke tempat Mina berdiri bersama Jihyo yang berada di koridor belakangnya saat ini. Kelas Eunwoo bersama Jihyo dan Mina juga tampak dibubarkan sementara.
            Tanpa bisa melakukan protes sedikitpun, Chaeyoung tampak pasrah dibawa oleh guru yang mendapati dompet Yuto dalam tasnya. Hangyul tampak balik badan, tidak kuat melihat Chaeyoung dibawa pergi tanpa ia bisa membantu sedikitpun.
            “Yuto! Kamu juga ikut.” Ibu guru Kang sudah balik badan, berhadap Yuto menyusulnya.
            Yuto masih berdiri di sana. Menunggu Chaeyoung mendekat. Belum sempat gadis itu melintas, Yuto menahan tangan Chaeyoung yang lain dan menahannya dengan berani di depan guru yang ingin membawa Chaeyoung ke ruang guru.
            “Siapa yang melapor jika aku kehilangan dompet?”
            Mina dan Dayoung menjadi yang paling rapat menutup mulutnya. Bahkan seakan mengalihkan tatapan dari pandangan orang-orang.
            Terlihat kilatan marah di mata Yuto ketika kembali tidak melepaskan tatapannya pada sosok Mina.
            “Yuto! Lepas tangan Chaeyoung! Kita selesaikan di ruang guru.”
            Ibu guru Kang berusaha melepaskan tangan Yuto yang memegang lengan Chaeyoung, dan berniat membawa serta Yuto pergi dari sana. Sesaat, Yuto mengalah, membiarkan guru Kang membawanya pergi setelah guru Kim juga kembali menarik tangan Chaeyoung. Namun hanya beberapa langkah, Yuto berhenti. Hanya beberapa meter di depan Mina berdiri.
            “Apa aku menyuruhmu melaporkan hal ini ke guru?”
            Semua yang menyaksikan kejadian itu sontak terkejut dengan reaksi Yuto. Mereka saling berbisik satu sama lain hingga membuat keributan. Kino sendiri semakin menatap tidak suka pada gadis di hadapan Yuto. Mina tetap mempertahankan ekspresi tidak mau kalah meski Yuto menyadari ada ketakutan di sana.
            “Yuto! Apa maksud kamu?”
            Yuto menoleh pada ibu guru Kang di sebelahnya. Sebenarnya, tepat sebelum ia bertemu Chaeyoung pagi tadi, ia menemukan Mina memunculkan diri dari dalam ruang guru dengan sikap mencurigakan yang kemudian Dayoung yang juga menunggu di sana, langsung melesat pergi setelah Mina membisikkan sesuatu padanya.
            “Kalau aku merasa kehilangan dompet, harusnya aku yang melaporkan hal itu.”
            “Tapi bukan berarti kamu bisa menuduh…”
            “Kalau begitu bisa beritahu aku siapa yang melaporkan?” Yuto menyela ucapan guru Kang. Namun tidak ada jawaban sedikitpun dari guru itu.
            Wooseok sendiri juga berada di antara kerumunan. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat bagian punggung Kino yang tampak menegang. Bahkan kedua tangan pemuda itu terkepal. Ibu guru Kang adalah ibu kandung Kino.
            Yuto melangkah meninggalkan ibu guru Kang yang tanpa sadar melepaskan tangannya. Kini pemuda itu berdiri dihadapan ibu guru Kim sambal membungkukkan tubuh tingginya sebagai bentuk hormat.
            “Maaf jika aku langcang.” Dengan penuh rasa hormat, Yuto meminta guru Kim untuk memberikan tas milik Chaeyoung padanya. “Aku tidak kehilangan dompet. Benda itu terjatuh saat aku mengunjungi restoran Chaeyoung.” Sekali lagi, dengan tatapan penuh hormat, Yuto mengangguk agar guru Kim menyerahkan dompet dan tas yang ia sita. “Terima kasih.” Yuto kembali membungkuk ketika guru Kim menyerah dengan memberikan benda itu pada Yuto.
            Beberapa murid akhirnya kembali ke ruangan kelas masing-masing tanda ada perintah terlebih dulu sebelumnya.
            Sunbae.” Chaeyoung tampak memprotes karena Yuto justru memasukkan kembali dompetnya ke dalam tas Chaeyoung.
            “Sesuai kesepakatan, kembalikan dompetku nanti ketika makan siang.” Yuto membalikkan tubuh Chaeyoung sambil memegang kedua pundak gadis itu dan mendorongnya pelan.
            “Tapi, sunbae.”
            “Sudah sana…”
            Setelah memastikan Chaeyoung sudah kembali ke dalam kelasnya, kini Yuto juga berbalik dan menyusul Kino yang tampak lebih dulu masuk ke dalam kelasnya.
            Sementara di tempatnya berada, Hangyul sedikit menggeser tubuhnya untuk memberikan jalan pada Chaeyoung untuk duduk di kursinya berada di dekat jendela. Namun tatapan pemuda itu sama sekali tidak pernah terlepas dari sosok Dayoung.
            “Dayoung pasti melihat dompet Yuto berada di dalam tasmu.”
            “Jangan menuduh sembarangan.
             “Aku bahkan memergoki Dayoung membuka tasmu.” Hangyul menoleh, ada kilatan marah dimatanya. “Dan ini…”
            Chaeyoung melebarkan matanya ketika Hangyul meletakkan buku tabungan miliknya di atas meja.

***