Senin, 20 Februari 2012

rosengard fc (part 9)


9. ROAD TO TOURNAMENT

Ada pemandangan sedikit berbeda di depan gerbang SMA Rosengard. Total ada tiga mobil pribadi yang terparkir di tepi jalan. Terliat pula Danu, Ilan dan Lingga merapihkan ransel-ransel ke bagasi di mobil masing-masing. Nampaknya turnamen siap berlangsung. Para punggawa sepakbola SMA Rosengard tampak disekitar mobil. Termasuk pula Diaz, Reva dan Riva.      
        Ilan duduk di kursi pengemudi. Memeriksa sana-sini. Entahlah apa pun itu. Intinya, pas Ilan membuka pintu, nyaris terjadi kecelakaan kecil. Sebuah motor berhenti medadak sesaat sebelum Ilan yang juga terkejut menutup pintu.      
        “Astaghfirullah.” Ilan langsung keluar dari mobil. “Hati-hati donk kalo bawa motor.” Tegurnya.
        “Sorry deh, Lan.” Sang pengendara membuka kaca helmnya.
        Ilan rada terkejut. “Nalula?”
        “Iya.” Ujar Nalula sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya. “Gue Cuma mau ngasih titipan dari Kharis.” Selembar kertas putih yang terlipat rapih, lalu menyerahkannya ke Ilan.
        “Apaan nih?”
        “Mana gue tau? Surat cinta kali?” Ledek Nalula.
        “Kurang ajar lo!” balas Ilan.
        Nalula terkekeh. “Katanya di situ ada alamat rumah yang bakal kalian tempatin. Kalo udah sampe, jangan lupa kabarin dia.” Kata Nalula sambil merogoh saku jeansnya. “Kalo udah nyampe, jangan lupa kabarin dia.”
        Ilan memandang heran kertas putih yang ada di tangannya. “Terus, Kharisnya mana?” Tanya Ilan. “Emang dia gak ikut ke Bandung, apa?”
        “Tenang aja. Ntar dia nyusul kok.” Celoteh Nalula sambil menyodorkan sesuatu ke Ilan. Nampaknya sebuah kunci. “Ya udah ya. Gue cabut dulu.” Ujar Nalula sok asik sambil menutup kaca helmnya.
        “Eh, ntar dulu.” Kata Ilan yang cepat-cepat menghalangi langkah Nalula. “Lo mau kemana? Emang gak sekolah apa?”
        “Gue mau jemput soulmate gue dulu. Dan tenang aja, abis itu gue bakal nyusul kalian kok.”
        “Nyusul ke Bandung?” Tanya Ilan memastikan.
        “Iya. Udah awas. Ntar gue telat, lagi.” Nalula memaksa Ilan menyingkir, dan… berlalu begitu saja meninggalkan Ilan yang hanya bisa geleng-geleng kepala menanggapinya.

@@@

“Kenapa kamu gak jujur raja sih, Nal? Kharis udah cerita semuanya ke kakak.”
Nalula hanya bisa mendengarkan suara Farlan dari seberang ponselnya. ‘Gimana mau jujur?’ Nalula hanya bisa berujar dalam hati.
“Sekarang kalo udah kejadian begini, apa yang bakal kamu lakuin?”
“Kejadian apa?” Nalula memastikan.
“Kamu ngomong langsung aja nih ke Kharisnya.” Kata Farlan cepat-cepat, lalu menyodorkan ponselnya ke Kharis yang kini berbaring di rumah sakit.
“Nal.” Ucap Kharis dengan suara cukup pelan.
“Eh, kenapa lo, Kak?” Nalula panic bercampur penasaran.
“Lo masih di Bandung kan?”
“Iya. Tapi tenang aja, gue juga udah mau balik kok.”
“Gue minta lo jangan balik dulu ya.” Kata Kharis penuh harapan.
“Kenapa?”
“Tadi pagi gue dirawat, Nal. Gue juga belom tau sampe kapan. Jadi gue minta, lo tetep di sana ya, bantuin Diaz.”
Nalula yang sedang sendiri di sekitar gelanggang olahraga, dibuat tak berdaya. Tapi nggak pas ia melihat Danu, Lingga, Ilan, Diaz, Reva dan Riva dari kejauhan yang berjalan ke arahnya. Meski sebenernya ia tau, mereka kesana bukan untuk Nalula.
“Nal.” Kata Kharis yang merasa cukup lama Nalula terdiam. “Lo kenapa?”
“Iya iya… Gapapa kok.”Sahut Nalula yang nampaknya tak focus. “Lingga sama yang lain ngapain di stadion?” ia bertanya sendiri dengan suara pelan.
“Mungkin Cuma mau ngeliat suasana stadion aja kali.” Kharis ternyata mendengar apa yang dikatakan Nalula.
“Eh, kok malah lo yang jawab?” Nalula langsung menyadari respon dari Lingga. “Gue kan Cuma nanya sendiri.”
Kharis menanggapinya perkataan Nalula dengan senyuman yang jelas-jelas gak bisa dilihat, bahkan diketahui oleh Nalula.
“Tapi lo jangan lama-lama ya di rawatnya.” Pinta Nalula.
“Iya. Makanya, gue mohon sama lo, gantiin posisi Diaz. Biar posisi gue Diaz yang ngisi.”
‘Ternyata memang takdir gue di sepakbola gak bisa terelakkan lagi’. Keluh Nalula dalam hatinya.
“Nal.”
“Kenapa lo ngelakuin ini sih? Apa gue pernah ngelakuin kesalahan sama kalian? Terutama sama lo?”
“Gue sayang lo, Nal.” Kharis cepat-cepat memutuskan sambungan teleponnya sebelum Nalula mendengar ataupun merespon ucapannya. Farlan yang masih berada di sana, cukup kaget mendengar kata-kata dari Kharis yang tertuju pada Nalula.
“Lo ngomong apa tadi, Ris?” Tanya Farlan ingin memastikan dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Pliss, kak. Jangan salahin gue tentang itu.” Hanya itu pinta Kharis sambil perlahan memejamkan matanya.

@@@

Malam itu sama sekali gak ada yang tau kalo Nalula nekat balik ke Jakarta. Di temani Zagar, ia membereskan beberapa pakaian ke dalam koper.
“Nal.” Kata Zagar.
Nalula masih sibuk merapihkan pakaiannya. “Plis, Gar. Jangan tanya apa-apa lagi. Gue gak bisa mikir apapun.”
Zagar tidak membantu. Pikirannya yang kacau hanya membuatnya duduk di tepi tempat tidur mengawasi gerak-gerik Nalula. “Masalah tempo hari. Gue bener-bener gak serius.” Ucapnya pelan dan hati-hati.
Nalula berhenti. “Gak serius?” Tegasnya sambil menatap Zagar. Ia tak ingin melakukan apa-apa lagi. Nalula duduk di samping Zagar. “Gar!”
Zagar hanya menggeleng pelan. “Gue gak bisa berfikir jernih.”
“Tapi yang lo omongin gak salah.”
“Brian gak segila itu.”
Nalula menghela napas. Ia kembali berdiri, kali ini tepat di depan Zagar dan menatapnya. “Bilang sama gue, Gar.” Nalula membuat Zagar balik menatapnya. “Keputusan gue salah.”
Tak ada harapan. Zagar tertunduk. Ia tak menjawab. Nalula meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja belajar. Ia mencari nama ‘Kharis’ di kontaknya. “Gue akan tanggung jawab sama apa yang bakal lo lakuin.” Kata Zagar sesaat sebelum Nalula menempelkan ponselnya ke telinga.
“Kak. Gue bakal jadi orang pertama yang marah kalo lo gak secepatnya sembuh dan balik ke Bandung.” Hanya itu yang dikatakannya kepada seseorang di telepon. Ia melempar ponsel ke tempat tidur lalu menutup resleting kopernya. Nalula meraih jaket di sandaran kursi dekat meja belajar, kemudian menurunkan kopernya ke lantai.
“Maafin gue, Nal.” Kata Zagar yang masih pada tempatnya.
“Ini takdir gue, Gar.” Nalula melirik jam tangannya yang telah menunjukkan pukul tujuh malam. “Dan lo yang udah nyadarin gue akan segalanya.” Ia menunggu Zagar untuk bangkit. “Kita gak punya banyak waktu.”
Zagar mengangguk dan ia mengingatkan Nalula yang melupakan sesuatu, ponselnya. “Gue selalu ada buat lo, Nal.” Ucapnya sambil menyodorkan ponsel itu.
Nalula menyambarnya. “Harus lah!” katanya sambil melangkah keluar kamar.

@@@

Latihan pertama mereka di Bandung, di laksanakan di sebuah lapangan basket kompleks perumahan yang mereka tempati kala itu. Diawali dengan pemanasan yang dikomandoi oleh Lingga. Sementara Diaz, Reva dan Riva mengawasi dari pinggir lapangan.
Konsep latihan yang di usung Diaz memang tidak seratus persen menjamin perkembangan kawan-kawannya di turnamen kali ini. Diaz harus berkali-kali menggilir pemain untuk latih tanding. Karena ukuran lapangan basket yang hanya memungkinkan untuk bermain futsal. Jadilah mereka membagi dua kelompok yang hanya bisa dimainkan oleh sepuluh orang. Dan ironisnya lagi, mereka menumpuk ransel untuk menyanggah toya yang dijadikan gawang darurat.
Apapun kondisinya, tak membuat Lingga dan kawan-kawan kehilangan semangat. Termasuk Diaz yang harus menggantikan posisi Kharis meski untuk sementara waktu. Ditemani Riva yang sedikit membantu Diaz dengan mencatat seluruh perkembangan punggawa Rosengard sesuai arahan Diaz. Tanpa meremehkan posisi Reva juga yang dengan ikhlas melayani permintaan teman-temannya akan air mineral ataupun handuk.      
Diaz menghentikan latihan sementara waktu dan mengajak Danu beserta yang lainnya untuk beristirahat seiring dengan kehadiran Nalula di sana yang langsung mengarah ke Diaz, Reva dan Riva di tepi lapangan.
“Maaf telat.” Kata Nalula yang langsung duduk bergabung bersama Diaz, Reva dan Riva dengan membentuk sebuah lingkaran kecil.
“Gapapa.” Diaz gak keberatan. “Gimana hasilnya?” tanya nya yang sudah penasaran dengan berita yang dibawa Nalula.
“Sama kayak kemaren, ada 16 sekolah yang tanding. Kita masuk grup A bareng SMA Teladan, SMA Gelora dan SMA Jatidiri. Juara grup langsung masuk semifinal.” Jelas Nalula yang ditanggapi serius oleh Diaz. Ia pun menunjukkan selembar kertas ke Diaz. “Ini catatannya. Pertandingan pertama kita, besok. Dan dapat giliran pertama di sore hari.” Tambahnya lagi.
“Siap.” Kata Diaz yang langsung berdiri menuju tengah lapangan tempat rekan-rekannya berada.

@@@

Pertandingan perdana yang akan dilakoni SMA Rosengard melawan SMA Gelora akan berlangsung sebentar lagi. Semua sibuk dengan aktivitas masing-masing tanpa ada yang bersuara satu pun. Begitu Diaz dan Nalula muncul, semua berkumpul di satu titik dalam ruang ganti pemain.
“Kalian siap?” tanya Diaz untuk teman-temannya.
“Siap!” balas semuanya kompak.
“Bagus. Pesen gue Cuma satu. SMA Gelora emang gak masuk daftar tim unggulan. Tapi jangan sekali-sekali ngeremehin keberadaan mereka. Kalian harus tetep focus.” Lanjutnya.
“Sebelum keluar dari ruangan ini, ada baiknya kita berdoa dulu sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Mulai.” Perintah Nalula yang membuat seluruh pemain menundukkan kepala dan hening sejenak.

@@@

Berkali-kali Kharis menatap jam di ponselnya yang kini udah menunjukkan pukul lima sore. Dan akhirnya menimbulkan kecurigaan di mata Farlan.
Farlan melipat Koran ditangannya. “Kamu mikirin apa sih, Ris?” tanya Farlan.
“Nggak kak, itu…” Sesaat Kharis memikirkan alasan yang cukup masuk akal untuk menutupi keresahan hatinya. “… di sini ada channel tivi local di Bandung gak sih?” Kharis sambil sibuk menggonta-ganti channel televise.
“Kirain kenapa? Yaudah kamu coba cari aja dulu.”
“Iya kak. Ini juga lagi di cari.”
“Ya udah. Kakak keluar dulu ya sebentar.” Pamit Farlan dan kemudian keluar meninggalkan Kharis.
Kharis Cuma bisa mengangguk dan melirik  untuk memastikan keberadaan Farlan. Dirasa sudah aman, Kharis menghela napas lalu menyandarkan badannya ke bantal. Ponselnya bordering. Beberapa saat kemudian Kharis sibuk dengan obrolannya melalui ponsel. Sampe lupa sama acara tivi yang sebenarnya menayangkan pertandingan antara SMA Rosengard melawan SMA Gelora di menit 53 dengan skor 1-0 keunggulan sementara untuk SMA Rosengard.
Entahlah itu semua berlangsung berapa lama. Intinya ketika Farlan kembali, ia menemukan Kharis yang tertidur dengan posisi ponsel masih menempel di salah satu telinganya. Dan televisi masih dalam keadaan menyala dengan pertandingan yang sama meski posisi berubah 3-1 dengan keunggulan tetap untuk SMA Rosengard.
Injury time. Farlan tertarik untuk menyaksikannya, meski hanya tersisa dua menit sebelum berakhirnya pertandingan.
“Goooolll…!!!” teriakan Farlan cukup untuk membangunkan Kharis dari tidurnya. “Akh payah kamu. Masa ketiduran sih? Pertandingannya seru tuh.”
Kecewa memang, tapi Khris gak mau ketinggalan lagi ketika momen gol yang ditorehkan Lingga di tayangkan lagi.
Berawal dari bola muntah dari tangan kipper SMA Gelora dan jatuh di kaki Garra. Begitu melihat peluang bagus, Garra mengoper bola ke Lingga yang langsung meneruskannya menjadi gol dari luar kotak penalty.
Semua bersorak menyambut gol pelengkap kemenangan SMA Rosengard sore itu. Sementara waktu SMA Rosengard berada di urutan pertama klasemen grup A.

@@@

Kemenangan itu memang indah. Tapi Nalula tak ingin membiarkan Lingga dan kawan-kawan larut dalam suasana. Bersama Diaz, Nalula telah menyiapkan materi latihan untuk sore ini.
“Cepat lari!” perintah Nalula untuk dituruti Danu dan kawan-kawan.
Sekitar satu jam kemudian, Diaz mengakhiri latihan. Dan seperti biasa, briefing seusai latihan.
“Lawan kita berikutnya adalah SMA Teladan, yang secara materi sedikit  diatas SMA Gelora. Itu PR untuk kita.” Ucap Diaz, lalu melirik Nalula yang ada di sampingnya yang kini sibuk nulis-nulis sesuatu di buku file yang akhir-akhir ini berada di tangan Danu, Lingga, Ilan bahkan Diaz. “Mungkin ada yang mau lo tambahin, Nal?” katanya.
Nalula langsung menghentikan aktivitasnya. “Hmm… Apa ya?” ujarnya sambil menutup buku file itu. Nalula tampak sedikit berfikir. “Gak banyak sih. Cuma gue punya sedikit catetan buat Lingga, kondisi fisik lo rada turun.” Lingga yang jadi target, hanya bisa mendengarkan apa yang dikatakan Nalula. “Begitu juga dengan tegar. Lo keliatan gak focus pas disuruh ngawasin Ilan. Sering ketinggalan langkah. Dan Bintang. Konsenterasi lo buyar, apalagi abis Dewa ngebobol gawang lo. Tapi secara keseluruhan, kalian gak terlalu buruk. Meski belum seperti yang kita harapkan.”
Nalula menunggu respon dari Lingga dan yang lainnya. Ternyata ekspresi mereka sama. Diam. Maklumlah, mereka baru selesai latihan.
“Jadi gue harap kalian gak tidur diatas jam 10 malam.” Lanjut Nalula.
“Kenapa?” terdengar suara Irham yang dari kejauhan mengomentari kata-kata Nalula.
“Kenapa?” Nalula mengulangi pertanyaan Irham. “Pastinya buat kebaikan kalian semua lah. Dan kalo sampe ada yang ketauan sama gue, Diaz, Reva atau Riva…”
“Bakal dihukum gitu, Nal?” Tegar menyambar omongan Nalula yang jelas-jelas belum selesai.
Sesaat, suasana berubah tegang.
“Nggak kok, tenang aja.” Kata Nalula akhirnya.
Sesaat kemudian, ketegangan itu sudah bisa teredakan. Danu dkk akhirnya bisa bernapas lega.
“Tapi anggaplah itu bukan hari keberuntungan kalian.” Nalula menambahkan.
“Apa?” tanya mereka hampir bersamaan.
Nalula hanya bisa menahan tawa melihat tampang anak-anak menanggapi ucapannya. Membuat Nalula sekilas menangkap sosok Kharis dibayangannya. ‘Ternyata, gampang banget ya buat ngotak-atik psikologis anak buah lo. Gue sampe ngerasa jadi orang jahat kalo ngingetnya.’ Ujar Nalula dalam hatinya.
Nalula menoleh dan mendapati Diaz melihat ke arahnya. Nalula hanya membalasnya dengan senyum. ‘Diaz. Lo pengobat rindu gue ke papa. Melihat mata lo, bikin gue ngerasa nyaman.’ Ujar Nalula dalam hati. Meski ia sangat ingin Diaz untuk mengetahuinya.
Diaz berdiri. Terlihat ia berbalik dan menyingkir. ‘Lama gue berharap punya seorang adik. Mengkhayal kalo adik gue seorang cewek yang mandiri, cantik, pintar, dan yang terpenting, menyukai sepakbola seperti halnya gue. Dan gue bersyukur karena itu semua nyata. Lo ada di samping gue sebelum kita pernah bertemu. Meski hanya sebagai khayalan gue.’ Batin Diaz.

@@@

Di laga kedua, SMA Rosengard harus menghadapi SMA Teladan. Permainan keras bahkan menjurus kasar pun tak bisa dihindari para pemain kedua tim. Alhasil, tiga kartu kuning dihadiahi wasit untuk Lingga, Tegar dan Dewa, serta lima kartu kuning dan satu kartu merah untuk pemain dari SMA Teladan. Meski demikian, hasil manispun dapat diraih SMA Rosengard dengan kemenangan 3-1.
Tak hanya sampai disitu, masalah lainpun datang. Beberapa pemain di dekap cedera. Nalula mendaftar semua nama untuk dilaporkannya ke Diaz.
 “Kita harus bergerak cepat. Bakal ada perubahan drastis di pertandingan berikutnya.” Kata Nalula yang langsung memamerkan catatannya sambil mengajak Diaz menuju ruang tengah. “Kita gak bisa nurunin Dewa, cedera punggungnya kambuh. Permainannya juga lagi gak stabil. Kalo dipaksain, yang ada kita bisa kehilangan Dewa di semi final. Apalagi dia udah ngantongin satu kartu kuning. Lo tau sendiri Dewa kayak gimana?”
“Separah itu?” Diaz tampak keheranan. “Tapi semi final juga belom tentu punya kita. Tadi SMA Jatidiri menang lawan SMA Gelora.”
“Lo jangan pesimis gitu donk? Kita tuh Cuma butuh hasil imbang aja di pertandingan terakhir. Karena kita masih unggul selisih point sama SMA Jatidiri.”
“Kalo Jatidiri menang?”
“Dengan selisih minimal tiga gol.”
“Tapi besok Lingga juga gak bisa turun.”
“Lingga?” Nalula tampak berfikir tentang kondisi Lingga. “Ya ampun. Dia harus akumulasi kartu?”
“Iya. Kemungkinan kita harus tarik Hexa sedikit di depan menggantikan posisi Lingga.” Usul Diaz.
“Diaz! Apa lo lupa tadi Hexa harus di tandu keluar lapangan?” Pertanyaan Nalula menjebak. “Terus, pelipis kanan Garra robek, itu bisa ngurangin konsentrasinya. Dan gue gak mau ambil resiko untuk itu.” Lanjutnya. “Kita bener-bener kehilangan semua pemain tengah di tim inti.” Keluh Nalula.
“Hah! Semua? Tapi…”
“Iya, gue tau apa yang lo pikirin. Tapi mau gimana lagi? Kita harus maksimalin pemain yang ada.”
Semua diluar perkiraan Diaz. Dan sekarang, ia mesih diam. Nalula juga diam.
“Diaz!” suara Reva yang terdengar nyaring dari arah dalam, membuyarkan semuanya. Ia datang dengan cukup tergesa-gesa. “Tegar demam.” Ujarnya begitu sampai di depan Diaz dan Nalula. “Badannya panas banget” lanjutnya, membuat Diaz dan Nalula berdiri dan bergegas ke kamar Tegar di lantai atas.
Kamar Tegar tampak penuh sesak. Terlihat hampir seluruh pemain memadati ruangan itu. Nalula, Diaz dan Reva harus bersusah payah menyeruak masuk. Di tengah ruangan, tampak Tegar terbaring di tempat tidur dengan mata terpejam. Bintang yang duduk di tepi tempat tidur, mendekapkan selimut ke tubuh Tegar.
“Kejadiannya udah dari tadi?” Tanya Nalula kepada siapa saja yang bisa menjawab pertanyaannya sambil menempelkan tangan ke kening Tegar.
“Dari tadi sore tuh anak emang udah ngerasa gak enak badan.” Tutur Bintang yang juga salah satu teman sekamar tegar.
“Kenapa didiemin aja? Badannya panas banget!”
“Dipikirnya setelah itirahat bakal baikan. Ya kita juga gak kepikiran kalo endingnya bikin nih anak malah menggigil kayak gitu.” Tambah teman sekamar Tegar yang lain, Anjar.
Nalula berdiri menghadap Lingga cs. “Kalo gitu, gue minta kalian balik ke kamar masing-masing. Kecuali Davi dan Farel.” Kata Nalula sambil menatap Davi juga Farel yang berdiri bersebelahan. “Gue minta tolong sama kalian buat bantu gue bawa Tegar ke rumah sakit.”
Satu per satu orang yang berada di sana meninggalkan kamar Tegar termasuk Farel dan Davi yang menuruti permintaan Nalula.
“Lo tunggu di sini.” Perintah Nalula ke Tegar yang jelas-jelas masih terbaring di tempat tidur. Nalula pun hendak mengikuti teman-temannya yang lain untuk beranjak dari kamar itu. Tapi langkahnya langsung terhenti setelah merasakan salah satu tangannya tertahan. Begitu menoleh, ia mendapati Tegar yang ternyata menggenggam tangannya.
Perlahan mata Tegar terlihat terbuka. “Gue gapapa kok, Nal. Lo gak usah repot-repot bawa gue ke rumah sakit.”
“Oh gitu?” Nalula terlihat menantang. “Kalo lo ngerasa baik, buktiin.”
Tegar melepas genggamannya. Ia sadar ia tak cukup kuat untuk menjawab tantangan Nalula.
“Gar, gue tau itu bukan kemauan lo untuk sakit.” Nalula berusaha terdengar tenang. “Jadi lo tenang aja. Karena gue gak akan ngetawain lo atau pun menganggap lo lemah.”
“Gue Cuma butuh istirahat.” Tegar tetap berusaha sekuat Tenaga untuk tetap bertahan.
“Nal.” Panggil Bintang dari arah pintu. “Davi sama Farel udah nunggu di bawah.” Ujarnya.
“Iya, bentar.” Ucap Nalula singkat. Kemudian kembali beralih ke Tegar. “Sekarang terserah lo. Mau nurutin gue ke rumah sakit, atau mau gue kirim pulang ke Jakarta?” ancaman Nalula membuat Tegar diam.

@@@

Tegar udah dipindahin ke ruang perawatan. Begitu Nalula kembali, ia menemukan Farel dan Davi yang tertidur di sofa. Nalula berjalan mendekati mereka. “Davi.” Panggilnya sambil menepuk pelan pundak Davi.
Sesaat Davi mengerjap-ngerjap sesaat sebelum benar-benar membuka matanya. “Kenapa, Nal?”
“Kalian pulang aja, biar gue yang nungguin Tegar di sini.”
“Tapi…”
Pintu kamar terbuka sesaat sebelum Davi menyelesaikan ucapannya. Seorang perawat membawa masuk seorang pasien menggunakan kursi roda. Diikuti seorang ibu bersama seorang anak perempuannya yang kira-kira seumuran dengan Nalula.
Nalula seperti mengerti maksud kekhawatiran Davi. “Gue gak bener-bener berdua sama Tegar kan?”
“Iya. Tapi pasien di sebelah Tegar itu kan cowok juga. Masih muda lagi. Kalo ibu itu sama anaknya lagi keluar, lo cewek sendiri donk?”
Nalula sempat merasa terharu mendengar Davi bicara seperti itu. Padahal kan mereka belum lama kenal. “Berlebihan deh lo. Ini kan rumah sakit. Pasti pelayanannya 24 jam. Lagian, gue tuh dulu pernah jadi danton, jadi suara gue bisa kedengeran sampe luar.” Nalula tak mau kalah.
Davi tersenyum. “Iya, gue percaya.” Sebenarnya sih nahan ketawa. “Udah kebukti juga kok. Pantesan aja suara lo bisa kedengeran seantero rumah.” Ledeknya.
“Kurang ajar lo!” balas Nalula.
Davi tertawa pelan. “Iya maaf. Gue Cuma bercanda. Ya udah deh, gue balik ya.” Pamitnya. “Tapi kalo ada apa-apa, lo langsung telpon orang rumah ya.” Tambahnya.
Nalula hanya mengangguk mendengar Davi tampak begitu perhatian.
Begitu Farel dan Davi keluar, Nalula mendekati Tegar untuk untuk meletakkan tas plastic berisi air mineral dan roti di atas meja yang terletak di samping tempat tidur Tegar. Diliriknya Tegar yang kini telah terbangun.
“Lo udah bangun, Gar?”
Tegar menghena napas. “Kenapa lo baik banget sih ke gue? Kita kan baru kenal.”
“Terus?”
“Yaa… Harusnya lo gak perlu ngebawa gue ke rumah sakit. Biarin aja gue istirahat di rumah.”
Nalula menantang tatapan mata Tegar.
“Jadi lo gak perlu capek-capek nungguin gue di sini.” Lanjut Tegar. “Anak-anak yang lain juga butuhin keberadaan lo.”
Sesaat Nalula diam. “Fine! Gue bakal nyuruh Diaz untuk packing pakaian lo. Dan besok lo bakal langsung gue kirim pulang ke Jakarta.” Balas Nalula dengan entengnya.
“Apa?” mata Tegar terlihat melebar. “Kok jadi ngancem gitu?”
“Owh… ngerasa terancam?” Nalula memastikan.
“Hmm…”
“Ya udah.” Sambar Nalula. “Kalo gitu lo harus sembuh biar bisa kumpul lagi sama yang lain buat ngelanjutin turnamen.”
“Itu ancaman atau harapan?” Tegar mengajukan pertanyaan menjebak.
Nalula hanya tersenyum. Lalu menuju sofa dan menyandarkan badannya di sana. “Dua-duanya. Ancaman dari gue dan harapan dari anak-anak.”
Tegar beralih dari tatapannya ke Nalula. Sesaat matanya kembali terpejam.
“Hidup itu pilihan. Sekarang terserah lo.”
Sontak, Tegar langsung kembali menoleh ke arah Nalula. Tapi cepat-cepat Nalula manghindari tatapan Tegar dengan berbaring di sofa dan menutupi wajahnya dengan jaket.
Tegar belum melepas tatapannya ke Nalula. ‘Jadi itu yang bikin Ilan, Danu dan Lingga bersikeras ngebawa lo terlibat di klub?’ ujarnya dalam hati.

@@@


lan.� v*u a @V �2M seperti itu. Ia berusaha tak kontak langsung dengan mata Zagar.
“Lo pikir lo hebat?”
Nalula terkejut dengan tuduhan Zagar.
“Lo pikir, masalah udah selesai? Setelah lo berhasil bawa Diaz ke klub jadi asistennya Kharis.” Lanjut Zagar. “Nggak, Nal.” Zagar memberi jeda pada kata-katanya. “Apa gak terlintas di benak lo? Brian masih menyimpan dendam ke lo. Ia bisa kapan aja muncul dan ngancurin semuanya. Lo sadar kan di sana ada sodara lo? Diaz dan Kharis. Apa lo rela mereka yang nanggung semua yang seharusnya terjadi pada lo?” ujarnya. “Rela lo, Nal?” kali ini Zagar terdengar lebih tegas.
Nalula tak berkutik dan tertekan dengan emosi Zagar.
“Yang gue pikirin tuh Cuma lo, Nal.” Suara Zagar terdengar lebih sabar. “Gue gak mau Brian bersikap seenaknya ke lo.”
“Gue gak peduli sama Brian!” Nalula menantang.
“Baguslah kalo gitu.” Pelayan datang membawa pesanan mereka. Zagar menahan ucapannya hingga pelayan itu pergi. “Tapi lo masih peduli sama gue kan?” Zagar seolah memohon.
“Plis jangan bersikap kayak gitu.”
“Terus apa yang lo mau?” Zagar kembai menantang. Nalula tak bisa menjawab. “Gue bersumpah, Nal. Lo gak akan liat gue selama turnamen, kalo lo juga gak berada di sana.”
Mata Nalula melebar. Ancaman yang berhasil diluncurkan Zagar. “Lo gak bisa bersikap kayak gitu.”
“Kenapa gak bisa?” Zagar menuntut penjelasan. “Gue tau itu bukan alasan utama lo nolak tawaran mereka.”
Nalula meyandarkan badannya ke kursi. Dan bukan Nalula namanya kalo langsung terlihat kalah. “Apa yang lo tau tentang alasan terbesar gue?”
“Kharis.” Tebak Zagar.
Nalula langsung bersikap waspada.
“Gue rasa lo jatuh cinta sama Kharis. Gak peduli kayak apa perasaan lo ke Dewa.”
Nalula tersenyum. “Kalo ternyata itu benar?”
“Hah?” Zagar tak mempersiapkan jawaban apapun. “Patah hati deh gue.”
Alis Nalula seperti terangkat.
“Tapi gue gak peduli apapun alasan lo. Karena yang gue mau, lo jangan ngibarin bendera putih ke hadapan Brian.”
Mendengar Zagar menyebutkan bendera putih, Nalula seolah mengkhayal sesuatu. Zagar mencurigai sikap Nalula. “Tau gak sih, gue jadi inget film ‘Merah Putih II’. Adegan di atas gedung ‘Lawang sewu’. Pas Dony Alamsyah (pemeran Thomas) ngerobek warna biru pada bendera Belanda.”

“Untung aja yang warna merah gak ikutan dirobek, jadi gak tersisa bendera putih. Itu kan maksud lo?”
Nalula hanya tersenyum menanggapi tebakan Zagar.
“Intinya, inget sama semua ancaman gue.” Zagar membuat senyum Nalula kembali memudar. “Gue serius, Nal.” Nalula sangat tak antusias menanggapinya. “Gue gak mau perjuangan gue, lo dan Ilan sia-sia.”
“Tapi kenapa lo tiba-tiba muncul di sini? Gue yakin semata-mata bukan hanya karena cerita dari Ilan tentang gue.” Nalula mengalihkan pembicaraan.
“Gue bakal cerita, asal lo mau janji.”
“Janji buat nerima tawaran Ilan dan kawan-kawan?” Nalula mengulangi. “Itu maksud lo?” Zagar malah mengangguk walau tak terlihat serius. Nalula menghela napas. “Gimana ceritanya, Gar? Gue harus mohon-mohon gitu? ‘Ilan, gue mau kok jadi asistennya Kharis, kemaren gue Cuma bercanda. Pliss, masukin gue lagi di kepengurusan klub’.” Nalula mencontohkan dengan berpura-pura seolah ia akan berbicara seperti itu ke Ilan. “Gitu?”
Zagar malah tertawa. “Iya, Nal. Lo bilang kayak gitu aja.”
Nalula menjadi jengkel dibuatnya. “Gak lucu ZAGAR PAMUNGKAS.”
Zagar langsung diem. Tak ada tawa yang tersisa. “Yang bilang itu lucu siapa, NALULA AIRLANGGA?” balas Zagar. Kecuali lo janji. Atau ancaman gue berlaku.”
“Apa untungnya ancaman lo buat gue?”
“Pasti ada untungnya lah. Seenggaknya gue gak bakal bersikap gila dengan nekat ngebantu Brian ngebalesin dendamnya ke lo.”
“Lo gak bakal berani ngelakuin itu.”
Zagar menghabiskan sisa minumannya. “Kata siapa?” lalu merebut gelas yang masih terisi penuh di depan Nalula.
“Eh, itu kan punya gue?”
“Kata siapa?”
Nalula hanya menghela napas dan pasrah menyaksikan minumannya mengalir ke dalam mulut Zagar. Rasanya percuma menghalangi niat Zagar.

@@@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar