Senin, 20 Februari 2012

rosengard fc (part 11)


11. BUKAN LIGA PROFESIONAL

Hampir seluruh penghuni rumah berkumpul di ruang tengah. Sebagian duduk di sofa atau kursi dan sisanya rela ngejogrok di lantai. Serta rela berkumpul meski keadaan mereka setengah mengantuk. Bahkan tak sedikit pula yang kembali tertidur. Meski waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Di saat yang bersamaan, Kharis tiba dengan di temani Farlan dan Gita. Tanpa berbasa-basi sebelumnya, Kharis langsung bergabung dan hal pertama yang ia inginkan adalah surat panggilan yang memang telah diberitahu sebelumnya oleh Diaz.
        “Mana suratnya?” Pinta Kharis kepada siapa saja yang berada di sana.
        Ilan berdiri dari posisi yang cukup jauh dari tempat Kharis berada. Kala itu, surat berada di tangannya. Secara estafet, Ilan mengoper surat itu hingga sampai di tangan Kharis. Dengan cukup tidak sabar, Kharis menelurusi tiap kata yang tertera.
        Hanya dalam beberapa menit, Kharis telah menyelesaikan bacaannya. Ia menoleh ke Diaz yang kini berada di sampingnya. “Kapan dan siapa yang nerima surat ini pertama kali?”
        “Semalem.” Jawab Diaz. “Nalula yang nerima.”
        “Mana Nalula?” tanya Kharis lagi.
        Seseorang menunjukkan keberadaan Nalula yang masih di meja makan. Sesegera mungkin Kharis menemui Nalula yang kini tertidur di sandaran kursi makan. Lingga dan Danu pun juga terlihat melakukan hal yang sama.
        Lagi-lagi Kharis menengok ke Diaz seolah meminta penjelasan akan apa yang dilihatnya.
        Diaz mengangkat bahu. “Tapi kayaknya Nalula gak tidur semaleman mikirin surat itu.”
        Dan kini Lingga telah siap di kursi kemudi. Di temani Kharis yang duduk di sampingnya. Diaz, Reva dan Riva pun telah siap di kursi belakang. Terakhir Nalula yang terlihat menyeruak dari kerumunan para punggawa Rosengard yang terlihat cukup memadati halaman rumah. Belum sempat membuka pintu mobil, Nalula menoleh karena seseorang memanggilnya. Ternyata itu Dewa yang melangkah ke arahnya. Tanpa berkata apa-apa, Dewa menyodorkan sebuah jaket yang tanpa sengaja Nalula meninggalkannya di meja makan. Lingga sendiri yang dapat melihat kejadian itu dengan jelas melalui kaca spion, langsung menekan klakson mobil dan membuyarkan Dewa dan Nalula.
       
@@@

        “Pa, pokoknya aku mau Rosengard gagal tahun ini. Terserah gimana caranya. Jangan sampe mereka bisa ngalahin kita. Kalau perlu diskualifikasikan mereka.”
        Lingga cukup mendengar suara seseorang yang bicara melalui ponsel dari ujung koridor lantai empat sebuah gedung sekolah. Suasana yang sepi memudahkan Lingga untuk merekam suara orang itu. Lingga melangkah ke dalam ruang kelas terdekat dari tempat ia berdiri tadi. Sampai pemuda tersebut melewati ruang kelas itu. Setelah dirasa cukup aman, Lingga keluar dari ruangan itu.

@@@

        Kharis, Nalula, Diaz, Riva dan Reva di hadapkan oleh orang-orang yang lebih dewasa dari mereka. Beberapa berumur kira-kira akhir 20-an sampai lebih dari 30 tahun. Sisanya bisa dibilang seusia dengan ayah mereka. Dan jumlah mereka di perkirakan sekitar belasan orang.
        Nalula dan yang lain duduk di kursi yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Sedangkan orang-orang yang semuanya laki-laki, duduk hampir mengelilingi mereka.
        Pria berkacamata yang duduk paling tengah mempersiapkan diri untuk bicara. Pria itu tampak seperti ketua diantara mereka. “Kalian tau kenapa kalian dipanggil?” Tanya Prama.
        Nalula melirik ke Diaz dan Kharis yang berada disampingnya secara bergantian.
        Kharis yang menjawab. “Kita dituduh melakuakn pelanggaran.” Suaranya terdengar tenang, namun menantang.
        Pria lain yang berkemeja putih ikut angkat bicara. “Kalian bilang ‘dituduh’?” Zein mengulangi kata-kata Kharis. “Itu bukan tuduhan. Faktanya, kalian melakukan pelanggaran.” Nada bicaranya cukup tinggi.
        “Maaf pak.” Sambar Diaz. “Tolong katakan apa kesalahan kami?”
        “Pertama.” Kata pria berkacamata itu lagi sambil melihat catatan diselembar kertas. “Kalian tidak memiliki sertifikat atau surat izin kepelatihan.” Prama membalikkan kertas untuk melihat catatannya yang lain. “Kedua.” Lanjutnya. “Kalian telah melakukan kecurangan sehingga kelian bisa lolos sampai saat ini”
        “Kami berjuang keras sampai lolos ke semifinal.” Riva tak mau hanya diam.
        “Bukan itu maksudnya.” Kata Dharma yang mengenakan kemeja biru. “Tapi apa yang menyebabkan kalian masih bisa tetap bertahan di posisi kalian saat ini.”
        “Tak ada pemberitahuan apapun sebelum kompetisi dimulai.” Jawab Kharis yang semakin panas.
        “Sebelum kompetisi?” Prama kembali berkata. “Peraturan ini sudah ada sejak lama.”
        Nalula sedikit tersentak. Menatap pria berkacamata itu. Kalau memang sejak lama, Nalula ikut andil dalam kompetisi yang sama tahun lalu bersama SMA Siliwangi. Tak ada sertifikat apapun yang ia miliki saat itu jika memang peraturan telah ada. Tapi kasus itu baru mencuat akhir-akhir ini.
        Nalula siap menyerang orang-orang dihadapannya dengan membahas keberadaannya di kompetisi tahun lalu. Tepat sebelum pintu menjeblak terbuka. Seorang pria dewasa berkemeja lengkap dengan jas memunculkan diri dibalik pintu. “Hei, kenapa tak ada memberitahuku kalau ada rapat?” ujar pria itu sambil menutup pintu dibelakangnya. Wajahnya terlihat ramah, namun tetap tegas. Namanya Bram.
        Hampir seluruh pria yang berada di sana terkejut akan kedatangan laki-laki itu. Termasuk sang pria berkacamata. Tapi, tak satupun dari mereka yang menjawab pertanyaan Bram. Sampai akhirnya Bram pun menyadari kehadiran Kharis dan kawan-kawan yang duduk berjejer di tengah ruangan.
        Nalula merasa seolang mengenal pria itu. “Om Bram?” ucapnya pelan namun cukup terdengar dan terutama oleh orang yang baru saja disebut namanya oleh Nalula.
        “Bagaimana kau mengenalku?” Bram terlihat keherannan. “Dan, siapa kalian?” Bram memperhatikan mereka satu persatu, mulai dari Kharis hingga Reva. “Apa yang kalian lakukan di sini?”
        Nalula sesaat melirik ke sebagian orang yang di hadapannya yang kini mulai terlihat panic. “Karan Airlangga.” Kata Nalula yang berusaha memberitahukan sesuatu kepada Bram. Dan Bram pun cukup terkejut.
        Nalula berdiri. Tangannya menunjuk ke Kharis yang mengikutinya berdiri. “Dan ini Kharis.”
        “Astaga! Kalian?” Bram semakin tak percaya. “Maafkan karena om tak mengenali kalian.”
        “Gapapa kok om. Kami ngerti itu.” Kharis yang menjawab.
        “Tapi kenapa kalian…” Bram menggantungkan ucapannya.
        Pria-pria itu seolah meghindari kontak langsung dengan Bram. Mereka pura-pura sibuk dengan aktifitas masing-masing. Bram kembali menatap Nalula penuh tanda tanya.
        Tapi Nalula justru memperhatikan Prama, si pria berkacamata. “Kalau memang telah sejak lama, tolong tunjukkan kepada kami berkas tentang SMA Siliwangi yang menjuarai kompetisi tahun lalu.” Pinta Nalula.
        Sejenak suasana hening. Tak ada yang merespon. Dan Nalula pun cukup sabar untuk menunggu. “Kami tak bisa menunjukkannya.” Kata Prama akhirnya.
        “Kalau begitu kami ‘dijebak’.” Dengan cepat Nalula menyambar perkataan Prama. Suaranya terdengar sangat berani.
        “Dijebak?” Bram mengulangi perkataan Nalula.
        Semua orang yang berada di sana cukup terkejut. Termasuk Diaz, Reva dan Riva. Terkecuali Kharis yang kini telah kembali duduk. Nalula pun telah duduk kembali. Secara bergantian Diaz dan Kharis menceritakan detail kejadian hingga mereka sampai ke sana. Termasuk tentang tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada Kharis dan yang lainnya.
        Raut wajah Bram terlihat berubah setelah Kharis menyelesaikan kalimatnya. Dengan berusaha sesabar mungkin, Bram kembali bertanya, “apa pembelaan kalian?”.
        “Nalula manager SMA Siliwangi tahun lalu di turnamen yang sama. Tapi nyatanya, peraturan itu fiktif. Nalula masih berada di sini dengan tugas dan posisi yang sama.”
        Bram cukup menerima pembelaan dari Kharis. “Kalian tunggu di luar.” Kata Bram yang langsung dipatuhi Nalula dan yang lain.

@@@

        Di ujung koridor, Lingga menunggu. Ia pun bisa melihat Diaz, Kharis, Nalula, Riva dan Reva keluar dari sebuah ruangan secara bergiliran. Lingga berjalan menghampiri. Begitu pula dengan Kharis dan yang lainnya. Mereka hanya tinggal beberapa meter saja. Di samping Lingga terdapat ruang kelas yang pintunya terbuka. Seorang anak laki-laki seumuran mereka namun memiliki tubuh cukup atletis untuk ukuran anak SMA, muncul dan menabrak tubuh Lingga hingga terhuyung ke depan.
        “Lingga!” Teriak Kharis dan yang lain bersamaan sambil berlari menghampiri Lingga.
        Tak ada yang tau kalau ponsel Lingga yang terlempar, jatuh tak jauh dari kaki anak itu. Brian, pemuda yang pembicaraannya berhasil direkam oleh Lingga menggunakan ponsel. Jelas bahwa ia megetahui semua perbuatan Lingga, tak segan-segan menginjak ponsel Lingga hingga menyebabkan beberapa bagiannya terlepas.
         Diaz dan Kharis membantu Lingga untuk berdiri. Nampaknya wajah Lingga membentur lantai. Karena darah segar mengalir di tepi bibir bawahnya. Dengan posisi yang masih membelakangi nak itu, Lingga bercerita tentang apa yang ia dengar tadi. “Kita dijebak.” Kata Lingga.
        Nalula sendiri nampaknya mengenali anak itu. “Brian.” Ucapnya pelan.
        Anak itu masih di sana. Menunggu Nalula yang berjalan ke arahnya. Brian menyandarkan diri di tembok. Tetap menghadap Nalula yang kini berdiri di depannya.
        Brian tersenyum. “halo sayang, apa kabar?” terdengar manis dan sangat ramah, tapi untuk Nalula itu menjijikkan. Raut wajah Brian pun berubah. “Lo sakit, Nal?” tanya Brian. Tangannya hampir menyentuh pipi Nalula.
        Dengan lembut, Nalula menyingkirkan tangan Brian sebelum benar-benar menyentuhnya. “Gak usah sok peduli!” ucapnya ketus.
        Untuk kesekian kalinya, Brian menyuguhkan senyuman mautnya. “Oke, gue tau lo cewek kuat. Dan seharusnya gue gak perlu bersikap berlebihan.”
        Nalula diam.
        Brian menghela napas menunggu respon Nalula. Tapi tak ada yang ia dapat. “Ayolah sayang.” Brian merentangkan tangannya. “Apa lo gak kangen sama gue?”
        Alih-alih berharap Nalula balas memeluknya, Nalula malah melipat tangannya di depan dada. “Gue tau apa yang lo lakuin!” ujar Nalula sinis. Ia tak terpengeruh atas sikap Brian.
        Lagi-lagi Brian mengawali responnya dengan senyuman. Tapi kali ini terlihat seolah mengejek. “Tapi jangan bilang-bilang ya?”
        Nalula tak peduli, tapi ia menunggu. Perlahan Brian mendekatkan wajahnya ke telinga Nalula. “Gue berhasil ngencurin Rosengard.” Suara Brian terdengar berbisik. Sekilas ia menangkap sosok Lingga dan yang lainnya berdiri jauh di belakang Nalula. “Persis seperti apa yang kita rencanakan.” Lanjutnya seolah penuh kemenangan.
        Nalula sedikit mendorong Brian untuk menjauhinya. “Lakuin aja sesuka hati lo.”
        “Ya ampun, gue baru sadar. Lo sekarang ngebela Rosengard.” Brian diam sesaat. “Tapi lo tenang aja. Karna gue akan tetep sayang sama lo.”
        Selama Brian berujar, Nalula sama sekali tak mempedulikannya. Sesosok anak laki-laki jauh dibelakang Brian menarik perhatiannya. Anak itu seumuran dengannya. Tinggi, berkacamata, memakai jaket yang sama seperti yang dikenakan Brian sekarang, kupluk jaketnya menutupi kepala dan sebuah slayer putih melilit lengan kirinya.
        “Giamana kalau kita jalan?” ternyata Brian belum selesai. “Bisa nonton, atau makan? Atau mungkin sekedar jalan sambil ngobrol? Banyak yang penegn gue certain ke lo, Nal.”
        Anak laki-laki yang dilihat Nalula berjalan ke arah belakang gedung sekolah. Nalula menggeleng. “Jangan mimpi terlalu tinggi.” Hanya itu yang dikatakan Nalula sebelum akhirnya mengejar anak tadi.
        “Nal, lo mau kemana?” teriak Brian untuk mengehentikan Nalula, tapi tak ia pedulikan.
        Lingga, Kharis, Diaz, Reva dan Riva ikut berlari menyusul langkah Nalula menuju pintu belakang sekolah yang sedikit terbuka. Dengan bagian bawah diikat rantai secara melintang sehingga memungkinkan hanya pejalan kaki yang bisa melewatinya. Sementara Nalula, masih megejar anak itu yang kini menghilang dibalik pagar.
        “VINDRA…!” Nalula meneriaki nama anak itu.
        Tampaknya anak itu tak menyadari teriakan Nalula dan masih melangkah menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari sana. Tepat sebelum anak itu menyalakan mesin motornya, Nalula menangkap tangan anak itu yang siap memutar kunci kontak. Ia pun langsung menoleh dan menarik buka kupluk jaketnya.
        “Lho?” Vindra cukup terlihat kaget. “Nalula? Lo ngapain ada di sini?”
        “Lo sendiri ngapai bisa ada di sini juga?” kata Nalula sambil melepaskan genggamannya.
        “Gue…” Vindra belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika sebuah motor berhenti tepat di samping Nalual berdiri.
        Pengendara pun mematikan mesin motor lalu membuka helmnya.
        Nalula terkejut. “IXEL?” ia mengenali orang itu.
        “Nalula?” Ixel juga tak kalah terkejut menanggapi kehadiran Nalula seperti halnya Vindra. “Lo ngapain di sini?”
        “Ternyata bener!” Nalula bergantian menatap Vindra dan Ixel. “Kalian pasti berada di bawah komando Brian buat ngebantu ngancurin Rosengard!” Hardik Nalula. “Bukan gini caranya!”
        Sementara Ixel dan Vindra pasang tampang terkejut sekaligus bingung dan tak percanya dengan apa yang dituduhkan Nalula kepada mereka.
        “Kalian pengecut kalo ngelakuinnya pake cara kampungan kayak gitu!” lanjut Nalula.
        Dikejauhan, Diaz terlihat mendahului Lingga dan yang lainnya. Tangannya pun mengepal dengan penuh emosi untuk memberikan hadiah bogeman untuk Vindra atau pun Ixel. “Jadi, mereka anak buah cowok tolol tadi?” Teriak Diaz. Langkahnya pun semakin dekat. Membuat Ixel dan Vindra turun dari motor mereka masing-masing.
        Nalula mendekat untuk menghalangi langkah Diaz. Dua anak kembar ini berdiri berhadapan. Satu sama lain saling menatap tajam.
        “Nal, tolong jangan halangin gue!” Diaz seolah memohon dengan suara dan nada bicara yang sengaja dipelankannya dan cukup lambat, meski terdengar cukup mengancam.
        “Gue gak akan ngalangin lo!” Balas Nalula cepat-cepat. Kemudian berbalik kembali kehadapan Vindra dan Ixel. “Tapi tunggu sampai mereka ngakuin semuanya.”
        Vindra cukup terkejut. “Ngakuin semua?” ia kembali menanyakan perkataan Nalula.
        “Kita gak akan ngakuin apapun yang nggak kita lakuin.” Ucap Ixel penuh keyakinan.
        Nalula tak semudah itu untuk percaya. Semasa ia di Siliwangi, Vindra dan Ixel cukup dekat dengan Brian. Karena alasan itulah, Nalula butuk bukti untuk mempercayai mereka.
        “Kita emang tau kalau Brian punya niat untuk ngancurin Rosengard.” Vindra berusaha setenang mungkin meyakinkan Nalula. “Tapi sumpah demi apapun, kita sama sekali gak tau apa yang Brian rencanakan.” Lanjutnya sambil menunjukkan jari tengah dan jari telunjuknya secara bersamaan.
        Beberapa saat semua diam. Nalula pun tanpa ekspresi mendengarkan pengakuan Vindra.
        “Boleh gue tau, Nal. Apa yang udah Brian lakuin untuk Rosengard?” Ixel dengan sangat hati-hati menanyakan hal itu ke Nalula.
        “Mereka mau semua official yang terlibat memiliki sertifikat kepelatihan.” Jawab Nalula tanpa beban.
        “Sertifikat seperti apa?” Ixel minta penjelasan.
        “Seperti lisensi.” Ucap Reva pelan. Semua mata tertuju padanya yang berdiri sedikit dibelakang Diaz.
        “Seperti bukti telah mendapatkan pendidikan kepelatihan, gitu?” Sambar Vindra untuk memastikan.
        “Tepat.” Sahut Nalula. “Kurang lebih seperti itu.”
        “Gila!” Ixel terdengar tak sabar. “Mereka pikir ini LIGA INDONESIA?” menatap Nalula, Vindra, Diaz dan yang lainnya secara bergantian. “Ini Cuma liga ‘tarkam’! gak penting banget sih pake ada aturan kayak gitu!” Ixel sewot sendiri.
        Tapi, semua yang diucapkan Ixel memang benar. Nalula, Diaz atau Kharis sekalipun pasti akan berfikir sama. Ini bukan Liga Indonesia yang di naungi PSSI dan terdaftar di FIFA. Tapi ini hanya turnamen antar SMA se-Jawa dan Sumatera yang berskala kecil, meski rutin di gelar tiap tahunnya.
        Riva berbisik ke Lingga. “Ga, liga ‘tarkam’ apaan sih?”
        Lingga melirik. “Antar kampung.” Ia juga menjawabnya dengan bisikan.
        “Hah? Emangnya kita tinggal di kampung, apa?” Riva kembali bertanya dengan polosnya.
        “Sssttt…” Lingga mendesis “Ntar gue jelasin.”
        “Kalo emang bener gitu, gak adil kalo Cuma Rosengard aja yang di sidang.” Ucap Ixel.
        “Iya, Nal.” Vindra menyetujui. “Siliwangi juga.”
        “Maksudnya Siliwangi?” itu suara Lingga yang sejak tadi diam, terlihat cukup penasaran juga.
        Ixel menatap Nalula. “Lo kenal Vero, kan?”
        Nalula hanya mengangguk.
        “Dia juga jadi menejer sepakbola di Siliwangi kayak lo dulu.” Kata Ixel melanjutkan.
        “Xel. Nalula tuh dulu asisten pelatih! Bukan menejer!” komentar Vindra.
        “Iya sorry, gue lupa.” Ixel meralat ucapannya yang tadi. “Lagian, gue rasa posisi Nalula emang gak bisa digantiin, apalagi kalo Cuma sama cewek kayak Vero.”
        Diaz melihat perubahan ekspresi pada wajah Nalula, dan ia pun hanya tersenyum menanggapinya. Beberapa saat mereka semua saling diam. Saling menunggu satu sama lain.
        “Apa kita perlu tanyain ke klub-klub lain juga?” kata Nalula akhirnya, memecah keheningan.
        “Gue rasa gak ada salahnya, Nal.” Diaz langsung merespon penuh antusias. “Kebetulan gue juga punya temen dari klub lain.”
        “Gue juga setuju, Nal.” Vindra ikutan. “Lagian, gue udah gerah liat tingkahnya si Brian.”
        Nalula mencari sosok Kharis yang berdiri cukup jauh darinya. “Gimana, kak?” ia minta persetujuan.
        Kharis melipat tangan di depan dadanya. “Sebenernya gak masalah.” Kharis memberi jeda pada ucapannya. “Tapi kita gak tau kapan rapat di dalam selesai. Dan kalaupun bisa, kamu Cuma punya waktu hari ini.”
        “Gak bisa lebih lama?” Diaz nimbrung antara Kharis dan Nalula. “Peserta ada 16 sekolah. Gak mungkin semua selesai dalam waktu singkat.”
        “Kita juga gak akan ngunjungin mereka satu-persatu, Di.” Nalula sedikit kurang menyetujui ucapan Diaz.
        “Iya, Di.” Kharis menyutujui perkataan Nalula. “Hari ini partai terakhir babak penyisihan grup. Lusa udah masuk semi final. Peserta yang gak lolos udah pasti bakal secepatnya pulang.” Lanjutnya.
        “Memangnya, klub mana aja kak yang masih di sini?” tanya Reva.
        “Pastinya semua yang menghuni grup C sama D.” jelas Kharis. “Sisanya mungkin udah ada yang pulang. Kecuali kita dan Siliwangi.” Tambahnya sambil sedikit menunjuk ke arah Vindra dan Ixel menggunakan dagu ketika menyebutkan nama SMA Siliwangi.
        Terlintas satu nama di benak Nalula. ZAGAR. Ia melirik jam di tangannya. Pukul satu siang. “Kak.” Nalula menoleh lagi ke Kharis. “Nall tau apartemen tempat SMA Jakabaring tinggal. Jadi, gue mau kesana.”
        Mendengar ‘SMA Jakabaring’ di sebut, Lingga pun langsung teringat seseorang. BAGAS. “Nal, gue boleh ikut ke sana gak?” Lingga mengajukan diri. “Gue juga tau kok di mana SMA Mandala tinggal.”
        “Sekolahnya Firant?” Nalula memastikan.
        “Iya.” Lingga langsung membenarkan.
        “Tunggu dulu deh.” Kharis menempatkan diri menjadi pusat perhatian antara mereka. “Kalian tau jadwal pertandingan hari ini?” tampaknya pernyataan Kharis di fokuskan kepada Vindra dan Ixel.
        “Nggak juga.” Ixel yang menjawab. “Tapi yang gue tau SMA Mandala lawan SMA Singaperbangsa tanding sore. Malamnya SMA Brawijaya lawan SMA Krida. Mereka tanding di stadion B.”
        “Itu untuk grup D?” Diaz hanya ingin memastikan. Dan Ixel hanya menjawab dengan anggukan. “Kalo grup C nya?”
        “SMA Jakabaring hari ini tanding malam lawan SMA Segiri.” Nalula menambahkan. “Itu berarti SMA Patriot sama SMA Kanjuruhan tanding sore di stadion A.” lanjutnya.
        “Oke, gini aja.” Kharis kembali mengambil alih. “Fokusin untuk yang tanding malam dulu. “Jadi kalo waktunya gak cukup, kalian bisa ke stadion nemuin klub yang tanding sore.”
        Tampaknya Kharis harus menjelaskannya sekali lagi. Karena tak ada satu pun dari mereka terlihat mengerti dengan penjelasan Kharis.
        “Oke, Nal. Siapa aja yang pergi?” KHaris terlebih dahulu beralih ke Nalula sebelum kembali menjelaskan maksud rencananya. “Soalnya sebagian dari kita tetep harus nunggu hasil rapat.”
        “Kalo gue boleh saran, biar gue aja yang pergi ditemenin Vindra sama Ixel. Jadi, pake motor mereka aja.”
        “Nal, gue?” Lingga mengingatkan Nalula. karena tadi namanya tak disebutkan.
        “Iya, sama Lingga juga.” Nalula pun langsung meralat ucapannya.
        “Ya udah.” Kharis merasa tak keberatan. “Jadi maksud gue, kalian pergi ke tempat klub yang tanding malam terlebih dahulu. Setelah itu kalian ke stadion. Biar gak terlalu buang-buang waktu.”
        “Gue boleh saran kan?” Ixel basa-basi. Setelah Kharis mengizinkannya bicara, Ixel tak menyia-nyiakan kesempatan. “Pertandingan mulai kira-kira jam setengah empat. Dan kurang lebih pemain datang sekitar setengah atau jam tiga. Gue mau kita ke sana sekitar jam segitu. Nemuin mereka sebelum tanding kayaknya ebih enak. Sisanya kalo ada yang belum selesai, bisa dilanjutin  setelah dari stadion.” Jelas Ixel cukup panjang lebar.”
        “Gue setuju.” Kata Kharis tanpa pikir panjang. “Gue juga punya pikiran serupa.”
        “Ya udah, kita berangkat sekarang.” Nalula langsung menggerakan. Ia menumpangi motor Vindra, sedangan Lingga ikut bersama Ixel.
        Kharis berdiri di antara motor yang dikendarai dua punggawa SMA Siliwangi itu. “Kalo sempet, kalian ke tempat SMA Jatidiri juga.” Kharis mengingatkan. SMA Jatidiri yang sebenarnya sudah tidak lolos, masih berada di Bandung dan dikabarkan baru akan kembali ke Semarang besok pagi. “Nanti gue smsin alamatnya.” Kata Kharis lagi sebelum Nalula dan yang lain meninggalkan tempat itu.
        Semua mengangguk setuju. Ketika motor mereka berbelok, kembali mengitari gerbang depan sekolah itu. Di seberang jalan, terparkir sebuah mobil. Ternyata Brian yang berada di dalamnya. Ia pun melihat dengan jelas motor Ixel dan Vindra melintas. “Mau kemana mereka?” ia hanya bisa bertanya untuk dirinya sendiri.
        Brian tak bisa menyusul atau pun mengejar mereka. Terlanjur ayahnya—pria berkaca mata yang menyidang Kharis dan kawan-kawan—masuk dan menyuruhnya untuk segera meninggalkan tempat itu.

@@@

n NT �'a y �,S _N saja meminta Danu untuk mengembalikan amplop itu.
        Seperti halnya sore tadi. Tak mudah untuk Nalula melepaskan diri dari seorang Lingga. Nalula pun semakin tak berdaya melihat Danu menyelesaikan tiap kata pada surat itu. Setelah Danu menceritakan isi surat itu ke Lingga, suasana langsung berubah semakin sepi.
        “Ini serius, Nal?” Danu minta penjelasan.
        Nalula menghela napas. Sesaat masih hanya suara tivi yang terdengar. “Gak tau lah, Dan.” Nalula terdengar pasrah.
        “Jadi, ini yang dari tadi lo pikirin?” Lingga berbicara tepat di telinga Nalula. suaranya terdengar sangat jelas. Nalula menoleh dan wajah Lingga pun hanya beberapa senti di depannya. Dan tanpa sadar, tangan Lingga pun sebenarnya masih melingkari tubuh Nalula.
        “Apa-apaan nih?!” Diaz datang membuyarkan segalanya. “Lingga!” ia terlihat geram. “Lepasin ade gue!”
        Sontak Lingga melepaskan dekapannya. Danu berdiri dan berusaha menceritakan tentang surat itu. Tapi Diaz tak menghiraukannya. “Apa yang kalian lakuin?” tany Diaz kepada siapa saja yang berada di sana. “Ngapain lo meluk Nalulua? Apa selama ini kalian pacaran?!” tuduh Diaz yang jelas-jelas untuk Lingga yang kini sudah berpindah tempat duduk di samping Nalula.
        “Lo salah paham, Di.” Lingga berusaha menjelaskan.
        “Heh!” Nalula berdiri tepat sebelum Diaz mengomentari perkataan Lingga. “Jangan asal tuduh!” Nalula merebut paksa amplop di tangan Danu. Ia dengan seenaknya melempar amlpop itu ke atas meja, tepat ke arah Diaz yang berdiri di seberangnya. “Lo baca itu!”
        Danu, Lingga dan Nalula duduk diam menunggu respon Diaz dengan penuh tak minat. Diaz tampak menggeleng. “Ini pasti bercanda kan, Na?”
        “Gue harap juga gitu.” Jawab Nalula tak bersemangat.
        “Itu alasan kita ada di sini.” Danu menambahkan.
        “Tapi gue rasa, itu bukan alasan Lingga untuk bisa meluk Nalula.” Diaz menatap tajam ke Lingga yang juga balas menatapnya. Jika Nalula tak menahan tangan Lingga, mungkin sekarang Lingga telah berdiri di hadapan Diaz dan menghajarnya.
        “Lo emang kakak gue, tapi apa urusan lo ikut campur masalah pribadi gue.” Kata Nalula pelan tapi cukup menantang. “Mau gue pelukan sama Lingga, ciuman sama Danu, pacaran sama Tegar atau Dewa. Lo gak berhak ngelarang.”
        Diaz tercengang mendengar perkataan Nalula yang seolah tak menganggapnya sebagai kakak. Sementara Danu ataupun Lingga, tak ada satu pun yang berani merespon atau pun berkomentar terhadap pernyataan Nalula yang cukup mengejutkan.
        Tapi Lingga nampaknya sudah tak tahan akan sikap Diaz. “Sekarang apa mau lo?” tanya Lingga sambil melipat tangannya di depan dada.
        “Kita harus turutin panggilan dari panitia.” Nalula yang menjawab.
        “Tapi gue mau kita tunggu sampai Kharis datang.” Diaz menambahkan. “Pagi ini dia berangkat ke Bandung.”
        Tanpa sepengetahuan Diaz, Danu atau Lingga, Nalula terlihat sedikit sumringah mendengar Diaz menyebutkan nama Kharis. Dan memaparkan bahwa Kharis akan segera berada di Bandung.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar