Senin, 20 Februari 2012

rosengard fc (part 6)


6. SEMENDUNG LANGIT ROSENGARD

Nalula janjian dengan Ilan di sebuah lapangan futsal. Begitu Ilan nyampe, Nalula lagi nonton anak-anak yang lagi tanding dari pinggir lapangan.
        “Serius amat? Emang ada yang kenal?” Tanya Ilan sedikit curiga yang langsung duduk di samping Nalula.
        Nalula menggeleng.
        Tampang Ilan makin heran.
        Gak ada yang ngebahas lagi. Mereka akhirnya beralih ke sebuah lapangan futsal yang kosong. Pakaian Nalula udah ngedukung banget buat main fusal. Mulai dari kaos, celana, hingga sepatu. Begitu pula dengan Ilan yang juga telah siap di depannya.
        “Gapapa kan kalo kita Cuma berdua?” Nalula bertanya sambil mengikat rambutnya.
        “Gapapa juga kan kalo gue ngajak temen?” balas Ilan yang juga telah siap di tangah lapangan.
        Nalula diam. Bingung tepatnya. Lalu sebuah bola melesat ke arahnya, dan begitu saja berlalu tanpa permisi di samping Nalula. Begitu menoleh, Nalula tercengang melihat bola itu telah bersarang di dalam gawang yang tak berpenghuni, jauh di belakang Nalula berdiri sekarang. Dan dari kejauhan, seseorang berjalan ke arah mereka.
        “Danu?” Ujar Nalula tanpa bersuara.
        Sosok Danu pun semakin dekat dan semakin jelas di pandangan Nalula. Tapi ia tak ingin berkomentar banyak. Mungkin dipikirannya, lebih banyak orang, lebih seru.
        Mereka memulai permainan. Secara yang ada hanya tiga orang, Nalula, Danu dan Ilan bergantian sebagai kiper ataupun sebagai penendang. Terkadang, Danu dan Ilan pun iseng saling mengoper bola. Alhasil, Nalula yang menjadi korban mengejar bola. Tapi begitu Nalula sedikit lengah, otomatis Ilan dan Danu ikutan lengah. Dan disitulah Nalula mencuri kesempatan. Bola yang di tendang Ilan bisa direbut oleh Nalula. Itu juga pake tangan, terus di bawa kabur ke dekat gawang. Abis itu, bola ditendangnya hingga masuk gawang. Ilan dan Danu tak berkutik melihat tingkah Nalula.
        “Nal, sejak kapan maen bola kayak gitu caranya?” Teriak Ilan dari arah tengah lapangan.
        Nalula memungut bola itu lagi. “Sejak gue main bola sama kalian berdua.” Balas Nalula sambil melempar bola itu ke Ilan. Tapi gak kena. Soalnya Ilan mengelak.
        Danu hanya tertawa menanggapinya.
        Mereka bertiga udah pada keringetan. Capek juga abis lari-larian. Apalagi Nalula. Akhirnya mereka menyingkir dari tepi lapangan. Beberapa saat mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing.
        “Masih pengen beralih ke basket, Lan?” Nalula menyindir Ilan yang tengah menenggak air mineralnya.
        Yang ditanya Cuma noleh sedikit ke Nalula, lalu kembali menenggak air minumnya. Seolah Nalula mengerti maksud Ilan. Ia tak berkomentar apa-apa hanya juga menenggak air dari botolnya.
        Terdengar suara ponsel berdering. Punya Danu. Dan tertera nama ‘Vindhya’ di layarnya. “Hallo… Iya… Nggak ngapa-ngapain kok… Cuma ngeliatin anak-anak main futsal.” Kata Danu. Keringat kembali mengalir deras di kening Danu. Sikapnya juga berubah menjadi sedikit salah tingkah.
        “Abis ngebohong sama siapa lo, Dan?” todong Nalula ketika Danu mengakhiri pembicaraannya melalui telepon.
        Danu menyeka keringatnya dengan handuk kecil. Bibirnya tampak menggoreskan sebuah senyum tipis. “Bukan siapa-siapa kok, Nal. Lagian, gak penting juga.” Ujarnya enteng.
        Ilan menoleh ke Nalula, dan Nalula membalasnya tanpa arti. Sesaat mereka saling diam sambil membereskan barang mereka masing-masing.
        Danu yang selesai terlebih dahulu, langsung berdiri. “Langsung pulang yuk?” ajaknya.
        Satu per satu dari Nalula dan Ilan bangkit. Itu artinya mereka menyetujui usul Danu. Bagitu berbalik, tak satupun dari mereka yang tak terkejut. Kini sosok Vindhya berada di hadapan mereka.
        “Jadi selama ini lo anggep gue gak penting?” tampaknya Vindhya mendengar semua yang Danu katakan.
        Danu gak bisa berkata apa-apa. Jelas saja ia heran kakaknya tiba-tiba muncul di sana. Danu sangat ingin menjelaskan, tapi terhalang raut kekecewaan dari wajah Vindhya.
        “Kamu anggep apa semua pembelaan mba buat kamu, Dan? Mba emang gak bisa buat kamu balik lagi ke sepak bola. Tapi seenggaknya mba masih bisa bikin kamu bertahan di silat. Apa itu belum cukup, Dan?”
        “Tapi mba, Danu…” Danu tak bisa meneruskan ucapannya seiring tetesan air mata yang kian mengalir di pipi Vindhya. Ia hanya semakin tertunduk.
        Nalula mencengkeram lengan jaket Ilan. Dan Ilan hanya mengisaratkan untuk menyingkir dari tengah-tengah antara Danu dan kakaknya. Nalula memungut botol air mineralnya yang masih tergeletak di dekat kakinya.
        “Udah cukup tadi mba liat Kharis sama ‘cewek lain’.” Vindhya sedikit memberi tekanan ketika menyebutkan kata ‘cewek lain’ tepat ketika Nalula mulai berjongkok. Dan sebenarnya ketika menyebutka itu, matanya tajam tertuju ke Nalula.
        Ketika memungut botol minumnya, Nalula menyadari seolah perkataan Vindhya itu tertuju padanya. Tapi ketika ia menoleh, Vindhya sudah beralih menuju pintu keluar yang kemudian di susul oleh Danu. Di waktu yang bersamaan, Nalula melihat seseorang berdiri di dekat pintu memndang ke arahnya dengan tatapan yang tak bisa di artikan. Nalula berdiri, dan tampaknya Ilanpun menyadari kehadiran Lingga di sana. Ketika Vindhya dan Danu telah melewati dirinya, Lingga pun beranjak dari sana meninggalkan seribu tanda tanya untuk Nalula dan juga Ilan.

@@@

        Cuaca di SMA Rosengard pagi itu cukup gelap. Rintikan hujan mulai mejatuhi atap gedung sekolah. Dan tak kalah mendungnya dengan tampang Danu yang kini sudah berada di kelas meski sekolah masih sepi dan hanya dirinya yang berada di sana. Beberapa saat kemudian segelintir orang bermunculan. Meski yang datang bukan penghuni kelas Danu, melainkan rekan se timnya di sepakbola—Ilan, Garra, Hexa, Tegar, dan Bintang—yang langsung mengitari meja Danu.
        “Kirain lo di mana, Dan?” Ujar Ilan seraya duduk di sampingnya.
        Danu tak berkomentar apa-apa. Ia hanya diam.
        “Lo kenapa sih, Dan?” kali ini Bintang yang bersuara.
        “Anak-anak yang lain udah pada nunggu tuh di secretariat.” Garra yang melanjutkan.
        Danu tetap diam.
        “Kok pada ngumpul di sini sih?” suara seseorang dari arah pintu. Hampir semua menoleh, kecuali Danu tentunya. “Ayo donk, guys. Gak enak sama anak-anak. Rapat udah mau mulai nih.” Lanjutnya lagi yang ternyata itu Irham.
        “Kalian duluan aja deh, ntar gue nyusul.” Kata Danu akhirnya. Membuat seluruh mata kembali beralih padanya.
        Ilan mengangguk dan di setujui dengan yang lain. Melihat Garra dan yang berdiri, Irham berbalik. Ada Nalula di belakangnya. Dan Irham hanya menyunggingkan sedikit senyuman untuk Nalula. Nalula pun masuk seiring keluarnya Ilan dkk dari dalam kelas.
        Nalula duduk diam di samping Danu. Cukup lama. Sampai akhirnya Danu memulai pembicaraan. “Lo gak mau nanya sesuatu, Nal?”
        Nalula menoleh. Bingung tepatnya. “Nggak sih. Cuma…” Nalula tak langsung berujar. “…Hmm… Gimana keadaan lo?”
        Nampaknya bukan pertayaan seperti itu yang di harapkan Danu. “Ya… Lebih baik. Sesuai saran lo, gue harus sering-sering renang.” Tapi Danu juga tak tampak ragu. “Ada hasilnya.”
        “Syukurlah. Gue seneng dengernya.” Hanya itu yang dikatakan Nalula. Karena memang tak ada yang ingin di bahasnya.
        “Lo suka sepak bola, Nal?” Tanya Danu lagi. Tapi kali ini terlihat cukup ragu.
        “Suka.”
        Danu memutar otak lagi untuk kembali memulai pembicaraan. “Hanya sebatas suka? Atau juga cinta?”
        Yang ingin Nalula katakana sebenarnya adalah cinta. Walau pun Nalula seorang cewek, tapi sepak bola juga menjadi bagian hidupnya. “Mungkin lebih fair kalo lo yang nilai.”
        Danu menunjukkan ekspresi wajah bingung.
        “Sebenernya gue ngerasa lo ada masalah. Walau pun gue gak tau itu apa.” Nalula cukup santai menjelaskannya. “Tapi yang gue tau dari beberapa temen gue, permasalahan utama seorang pesepakbola muda adalah keluarga. Gak sedikit dari mereka yang gak mendapat restu untuk memilih sepakbola sebagai jalan hidup.”
        Jelas semua yang dikatakan Nalula tepat sasaran.
        “Tapi maaf Dan sebelumnya. Gue hanya menilai dari apa yang gue liat aja. Terutama ke lo tentang kejadian kemaren di lapangan futsal.”
        “Lo bener kok, Nal.”
        Kali ini Nalula yang gantian dibuat bingung.
        “Sebenernya dari awal gue dilarang buat main sepakbola.” Danu memulai. “Tapi gue tetep bisa bertahan dengan memenuhi berbagai macam syarat. Nurutin semua kemauan nyokap. Harus ikut les ini lah, les itu lah. Hampir semua tempat kursus udah gue rasain.” Sesaat Danu diam. Mungkin baru kali ini ia merasa begitu lepas bercerita. Mungkin juga ia merasa nyaman dengan sosok Nalula yang sangat terbuka dan ramah. Apalagi mereka juga belum lama saling kenal.
        “Tapi lo gak disuruh buat ikut les ballet juga kan, Dan?” celetuk Nalula untuk mancairkan suasana.
        Danu hanya tertawa menanggapinya. Meski tawanya masih terdengar penuh beban. Tapi setidaknya usaha Nalula berhasil untuk membuat Danu semakin Nyaman untuk bercerita.
        “Tapi kenapa nyokap lo ngelarang buat main bola?” Tanya Nalula lagi.
        Danu kembali dibingungkan dengan pertanyaan Nalula. karena ia pun baru mulai bercerita.
        “Eh, maaf Dan.” Nalula langsung ngerasa bersalah dan berusaha memperbaikinya. “Bukannya gue sok tau. Tapi…”
        “Lagi-lagi lo bener, Nal.” Danu terlihat tak masalah dengan apa yang ditanyakan Nalula. “Kebanyakan orang tua menilai sepakbola tidak memiliki masa depan. Termasuk nyokap gue. Apalagi setelah gue dan Diaz kacelakaan. Nyokap ngerasa masa depan gue udah cukup hancur. Dia Cuma ingin gue bisa nerusin perusahaannya.”
        “Tapi lo masih bisa tetep terus di silat?” Nalula harus berhati-hati dengan pertanyaannya.
        “Silat tuh beda, Nal. Bisa menjadi basic untuk melindungi diri. Gue hidup kan gak sendiri, Nal. Tapi gue besar tanpa figure seorang ayah.”
        Nalula cukup terkejut dengan pengakuan Danu yang sama sekali tak bisa diprediksinya.
        “Bokap gue meninggal pas gue umur lima tahun. Dan sekarang gue Cuma tinggal sama nyokap dan kakak perempuan gue.”
        “Gue ngerti, Dan. Kakak perempuan dan laki-laki itu beda.”
        “Iya, Nal. Masa depan gue gak Cuma buat diri gue sendiri. Tapi buat kakak gue juga. Dan prioritas hidup gue buat mereka.”
        “Gue tau lo sayang sama kakak lo. Tapi ngeliat kejadian kemaren, gue penasaran. Apa yang bakal lo lakuin?”
        Pertanyaan yang tak bisa di jawab Danu.
        “Lo juga masih SMA. Jalan lo masih cukup panjang.” Lanjut Nalula. “Apa yang bakal lo perbuat buat Rosengard? Sebentar lagi turnamen.”
        Yang tak habis pikir oleh Danu, Nalula membahas tentang turnamen. Hanya orang-orang yang terlibat yang tau tentang turnamen. Tapi Nalula tau? Nampaknya jawaban yang paling bisa diterima logika adalah, Nalula adik seorang Kharis. Mantan asisten pelatih tim Rosengard.
        “Gue sadar tentang itu, Nal.” Danu memberi jeda sesaat. “Tapi menurut lo, apa yang harus gue lakuin?”
        Nalula mengangkat bahu. Bukan karena tak ingin membantu. Hanya saja Nalula tak ingin terlalu ikut campur dengan masalah Danu.
        “Pikirkan aja apa yang akan terjadi dalam waktu dekat. Itu yang lebih dulu minta untuk lo selesaikan. Masalah masa depan, itu akan berjalan sebagai mana mestinya. Lo bisa pikirin perlahan. Tapi untuk hari esok, lo harus berfikir cepat.”
        Danu bisa langsung tanggap dengan semua kata-kata Nalula. “Gue tau, gue gak sia-sia buat bicara sama lo.” Danu berdiri. “Walau gue belum mendapat jawaban, tapi akan gue pikirkan sesegera mungkin.”
        Nalula tersenyum lega ia bisa cukup membantu Danu.
        “Makasih ya, Nal.” Hanya itu yang dikatakan Danu sebelum meninggalkan Nalula seorang diri di kelas.
        Nalula pun hanya mengangguk menanggapinya.

@@@

        Mendung masih menggelayuti langit Rosengard. Hujan pun turun dengan derasnya. Menghalangi perjalanan sekolah para muridnya. Hingga suasana sekolah masih terasa cukup sepi. Danu melangkah sendirian di koridor depan lapangan basket sekolahnya. Walau bebannya telah sedikit terangkat, tapi Danu tak bisa menyembunyikan kekacauan pada dirinya. Kini ia telah sampai di depan sebuah ruangan yang pintunya tertutup. Di bagian atas pintu tertulis ‘Rosengard FC’. Dari dalam ruangan , terdengar gemuruh langkah kaki. Danu berbalik seolah ingin menghindar. Pintupun mulai terbuka. Lingga dan Ilan yang paling pertama muncul. Danu semakin jauh melangkah menjauhi ruangan itu.
        “Danu!” Lingga dan Ilan memanggil bersamaan. Tanpa pikir panjang, mereka pun mengejar Danu.
        Hujan yang semula turun deras, kini berangsur mereda. Ilan dan Lingga masih mengejar Danu hingga lapangan parkir. Tepat ketika mobil Kharis memasuki gerbang. Danu menunggu hingga Kharis keluar dari dalam mobilnya. Ilan dan Lingga pun kini berada di sana bersama Danu.
        “Ada yang mau gue omongin, Dan.” Kata Kharis begitu ia berhenti di depan Danu.
        “Sama, ada yang mau gue omongin juga.”
        Kini mereka berdiri berhadapan.
        “Tapi gak pake kata-kata.” Lanjut Danu lagi.
        “Hah!”
        Tatapan mata Danu menembus masuk ke dalam mata Kharis. Dan… BUKK…!!! Satu pukulan yang di daratkan Danu cukup membuat Kharis terjungkal dan memaksa setetes darah segar mengalir dari tepi bibir Kharis.
        Ilan dan Lingga sontak langsung menahan tubuh Danu yang terlihat kalap.
        “Itu hadiah dari kakak gue.” Ujar Danu.
        “Apa-apaan sih lo, Dan?” kata Lingga sambil menahan tubuh Danu yang kian berontak.
        “Lepasin gue, Lan, Ga.”
        “Kharis.” Nalula datang dan langsung menuju Kharis untuk membantunya berdiri.
        “Nal, bawa Kharis pergi dari sini.” Perintah Ilan dan langsung dituruti oleh Nalula yang membimbing Kharis ke mobilnya.

@@@

        Lingga dan Ilan membawa Danu ke dalam secretariat yang kini telah kosong. Lingga menutup pintu di belakangnya. Sedangkan Ilan membawa Danu duduk di tengah ruangan. Lingga mendekati Danu dan mendaratkan satu tamparan ke pipi kirinya. Ilan tak ikut campur dengan duduk sedikit menjauhi tempat Danu dan Lingga berada.
        Danu tak membalas atau pun marah dengan tamparan Lingga. “Vindhya liat Kharis jalan sama cewek lain.” Ujarnya.
        Lingga tersenyum. Meski tak terlihat ramah.
        “Vindhya kenal sama tuh cewek?” suara Ilan yang terdengar di antara mereka.
        Danu diam. Tampaknya ia tak bisa menjawab pertanyaan Ilan.
        “Gue rasa nggak.” Lingga yang menyambar.
        “Lo udah bersikap gak adil ke Kharis.” Lanjut Ilan.
        “Lo tau sendiri kan Kharis itu seperti apa?” Lingga menambahkan. “Selama mereka pacaran, gak sekalipun Kharis pernah jalan sama cewek lain.”
        “Tapi buktinya…”
        “Karna lo pasti gak tau kalo Kharis punya adik perempuan.” Ilan yang terlihat tak sabar. “Mereka sekarang tinggal bareng di rumahnya Kharis.” Kata Ilan lagi. “Dan yang diliat kakak lo itu adalah Nalula. Adiknya Kharis.”
        Danu semakin tersudutkan oleh kedua temannya. Tapi yang dikatakan Lingga atau pun Ilan itu tak salah.

@@@

Setelah kejadian tadi, Nalula ikut pergi bersama Kharis. Kharispun membawa sebuah berita yang cukup mencengangkan untuk Nalula. Dikabarkan bahwa ada seseorang yang tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai ibu kandung dari Nalula. Melalui Kharis, wanita itu ingin bertemu dengan Nalula. Kharispun mengajak Nalula ke rumah sakit tempat Diaz dirawat.
        Selama di sana pun, Nalula sama sekali tak melepas genggamannya ke lengan jaket Kharis. Nalula menjalani beberapa tes untuk membuktikan bahwa dirinya memang anak dari ibu itu yang ternyata juga ibu dari Diaz. Sambil menunggu hasil, Kharis membawa Nalula makan di suatu tempat. Ketika hari hampir siang, mereka kembali ke rumah sakit. Menunggu di kamar Diaz. Nalula sendiri sampai sekarang belum bertemu dengan wanita itu.
        Tak beberapa lama, seorang wanita cantik muncul. Ia langsung menyapa Diaz dan mengecup kening putranya. Beliau tampak sangat ramah dan bersahabat. Dapat terlihat ketika ia menyalami Kharis. Sampai akhirnya pada Nalula…
        “Apa kabar sayang?” katanya.
        Nalula tak bisa berbuat banyak. Ia hanya tersenyum menanggapinya.
        Seperti halnya Nalula waktu itu yang menyadari ketika ia melihat Diaz, ia beranggapan matanya mirip dengan sang ayah. Begitu pula dengan Diaz yang beranggapan kalau senyum yang dimiliki Nalula tampak seramah yang dimiliki ibunya.
        Suasanya menjadi canggung satu sama lain dalam beberapa saat. Sampai akhirnya pintu kamar Diaz terbuka. Seorang dokter masuk bersama seorang perawat. Ia membawakan surat hasil tes DNA yang dilakukan Nalula. Dan hasilnya benar positive. Menggembirakan memang, terutama untuk wanita itu. Tapi nampaknya tidak untuk Nalula. Memang telah lama Nalula tak pernah bertemu dengan ibu kandungnya. Tapi, kehadiran sang ibu tiri yang memperlakukannya selayak anak kandung, telah mengisi kekurangan dalam hidup Nalula. Ia sama sekali tak merasa kekurangan kasih sayang seorang ibu.
        Wanita itu memeluk Nalula beberapa saat. “Diaz, liat deh. Ini adik kamu. Cantik kan?” ujarnya pada Diaz.
        Diaz hanya tersenyum menyambut kabar baik yang di dapat ibunya. “Iya, ma. Cantik kayak mama.”
        Kharis tak bergerak di samping Nalula. Entah apa yang dipikirkannya.
        “Mulai sekarang kita bisa sama-sama lagi.” Kata wanita itu lagi penuh harap.
        Nalula melepas dekapan ibunya dengan perlahan. “Maaf tante, Nalula gak bisa lama-lama di sini.” Ucapnya, kemudian mengambil jaket dan tasnya di atas meja. Lalu ia mendekati Kharis dan membisikkan sesuatu. “Diaz cepet sembuh ya?” hanya itu yang dikatakan sebelum meninggalkan kamar Diaz.
        Waktu memang telah menunjukkan jam pulang sekolah. Tak lama Nalula pergi, Ilan dan Lingga datang. Kharis membisikkan sesuatu pada Ilan. Mungkin itu amanat yang tadi dikatakan Nalula. Sambil menunggu suasana lebih santai, Ilan beralasan untuk bisa segera keluar dari ruangan itu. Untuk Diaz dan ibunya, sama sekali tak menganggap aneh apa yang dikatakan Ilan. Tapi tidak dengan Lingga. Tanpa sepengetahuan Ilan, ia pun berpamitan dengan niat untuk mengikuti kemanapun Ilan pergi.

@@@

        Ternyata Ilan menuju lapangan basket indoor. Lingga pun masih setia mengawasi. Tapi ia hanya sampai tepi lapangan saja dan membiarkan Ilan mendekati Nalula yang masih berseragam sekolah berbaring di tengah lapangan dengan berbantalkan bola basket.
        “Gue udah ketemu sama nyokap kandung gue.”
        Cukup mengejutkan bagi Ilan, kenapa Nalula menghujaninya dengan berita seperti itu   
“Kenapa dia gak nyari gue dari dulu? Apa karena dia punya anak laki-laki? Yang gak lain adalah sodara kembar gue.” Nalula menoleh sesaat.
Ilan semakin dekat dengan Nalula. Begitu sadar ternyata Nalula berbicara dengan seseorang melalui ponsel, Ilan duduk di samping Nalula yang masih berbaring.
“Seenaknya pula minta gue balik setelah bokap gue gak ada… eh, maksudnya belom di ketemuin. Tapi gue gak akan mau ngelakuin itu. Gue masih punya keluarga. Ka Farlan dan Kharis.”
Suasana lapangan yang sepi memungkinkan semua yang dikatakan Nalula terdengar sampai telinga Lingga. Nalula pun masih berkutat dengan pembicaraannya di telepon. Meski ia sadar sesadar-sadarnya akan keberadaan Ilan.
“Dan lo tau siapa anak laki-laki itu?”
Ini yang paling di tunggu-tunggu setelah sekian lama percakapan yang dilakukan Nalula. Baik Ilan ataupun Lingga yang cukup jauh keberadaannya, mempersiapkan diri untuk mendengar pengakuan Nalula yang satu ini.
“Tapi pasti lo kenal sama Diaz Airlangga?”
Ilan yang masih si samping Nalula semakin tercengang mendengar nama Diaz di sebut-sebut Nalula. “Jangan bilang kalo nyokapnya Diaz itu nyokap kandung lo?”
Nalula melirik ke Ilan. “Gue gak ngomong gitu kok, Lan.” Ucapnya enteng. Sementara ponselnya masih ia tempelkan di telinga. “Tapi apa yang lo ucapin itu bener.” Lanjutnya.
Keliatan banget dari tampangnya, kalo Ilan masih gak percaya sama apa yang didengarnya barusan. Ia tak menyangka seseorang yang ia kenali sebagai ibunya Nalula ternyata hanya seorang ibu tiri.
“Diaz…?” kata Lingga seorang diri.
Nalula mengakhiri pembicaraannya. Lalu bangkit setelah memasukkan ponselnya ke saku jaketnya. “Lo denger semua yang gue omongin ke Zagar barusan kan?” Tanya Nalula sambil memantul-mantulkan bola yang tadi ia gunakan sebagai bantal tanpa melirik Ilan sedikitpun.
Ilan ikut berdiri. “Kalo nyokapnya Diaz minta lo tinggal sama dia, gimana sama Kharis?”
Nalula melempar bola ke ring. Dan… ups! Bola meleset dari sasaran. “Pertanyaan bagus. Kharis emang sempet nyuruh gue tinggal sama nyokapnya Diaz. Dari awal juga dia nampung gue karena terpaksa.”
“Dan… Lo…?”
Nalula menghela napas. “Gue lebih baik tinggal sama Kharis meski kerap kali Kharis bikin gue tekanan batin.”
Ilan melipat tangnnya di depan dada. Maksudnya, ia masih kurang memahami apa yang dikatakan Nalula. Nalula hanya tersenyum menanggapinya, lalu memungut kembali bola yang tadi di lemparnya.
“Semata-mata karena kasih sayang yang diberikan nyokapnya Kharis ke gue. Gue Cuma pengen bales kebaikan beliau dengan bersama Kharis. Minimal gue bisa masakin makanan buat dia.” Nalula kembali menoleh ke Ilan. Ia pun kembali tersenyun melihat ekspresi kebingungan dari sahabatnya. “Ya ampun, Lan. Biasa aja donk? Kan gue yang punya masalah.”
“Tadi lo kenapa cabut sekolah?” Tanya Ilan ketika Nalula memantul-mantulkan bolanya lagi.
“Mencari kebenaran.”
“Kebenaran apa coba?” Ilan memang belum bisa menangkap semua pengakuan Nalula.
Untuk kesekian kalinya sikap Ilan membuat Nalula tersenyum. “Kebenaran tentang nyokap kandung gue lah, Lan.”
Nalula kembali siap menembakkan bola itu lagi ke dalam ring. Tapi Nalula kalah cepat sama gerakan tangan Ilan yang dapat merebut bola darinya. “Lo yang ngelarang gue main basket. Tapi kenapa malah lo ngelakuin juga?”

@@@

8 pesan dan 13 panggilan tak terjawab. Kembali satu panggilan masuk dan tertera nama ‘ILAN’ di layarnya. Tapi Nalula tetap membiarkannya. Jelas saja Nalula tak mengetahuinya, ponselnya tak mengeluarkan suara. Sementara sang pemilik lagi serius nontonin yang lagi main bola di lapangan kompleks rumahnya.
        “Hati-hati kalo bengong di tempat umum. Ada barang yang ilang kan bahaya.”
        Nalula menoleh ke sumber suara. Ternyata itu Lingga yang kini telah duduk di sampingnya.
        “Lo nggak tiba-tiba amnesia mendadak kan?” ledek Lingga.
        “Nggak. Gue Cuma heran aja kenapa lo tiba-tiba ada di sini.” Balas Nalula sedikit terdengar ketus. Terlebih di karenakan sikap Lingga yang tiba-tiba aneh belakangan ini.
        “Simpel aja. Ini kan tempat umum.”
        Nalula gak mau mempermasalahkan hal itu lagi. Ia berdiri untuk beranjak dari tempat itu. Lingga pun mengikuti Nalula sampai motornya.
        “Nal.” Panggil Lingga ketika Nalula menaiki motornya.
        “Apa lagi sih?” Nalula masih belum bisa ramah terhadap Lingga.
        “Hape lo nih.” Lingga mengulurkan tangannya yang menggenggam ponsel Nalula. “Ketinggalan tadi.”
        Tanpa pikir panjang, Nalula meraihnya dan langsung memasukkan ke saku jeansnya. Tanpa basa-basi terlebih dahulu, Nalula memacu motornya meninggalkan Lingga.
       
@@@

        Nalula memarkirkan motornya di depan pagar sebuah rumah. Dan semakin menjengkelkannya Nalula pas tau kalo Lingga kini juga berada di belakangnya.
        “Ngapain lo ngikutin gue?” Ceplos Nalula.
        “Enak aja gue ngikutin lo?” Lingga membela diri. “Gue tuh emang mau kesini. Rumah temen gue, Firant.”
        “Ini tuh juga rumah tante gue.” Nalula juga gak mau kalah.
Sampai akhirnya seseorang tampak membuka pintu pagar. Seorang cowok seumuran mereka muncul dari baliknya. “Ya ampun ternyata kalian.” Ujar Firant ketika tau yang berada dihadapannya adalah Nalula dan Lingga. “Gue pikir siapa ribut-ribut di depan rumah gue?”
“Tante Karin ada, Fir?” Tanya Nalula yang ingin cepat-cepat lepas dari sosok Lingga.
“Ada di dalem. Biasa deh, lagi masak. Masuk aja gih.”
Tanpa menunggu apa-apa dan selagi yang punya rumah udah ngizinin, Nalula masuk ke dalam meninggalkan Lingga bersama Firant.
Nalula langsung menuju dapur tempat tantenya berada. Seperti yang di katakan Firant, kalau tantenya lagi masak. “Sore tante.” Nalula memulai.
Seorang wanita berjilbab, cantik, menoleh ke arahnya. “Hai… Nal.” Nalula mendekat dan langsung mencium tangan serta memeluknya.
“Apa kabar tante?” Nalula kembali berbasa-basi.
“Alhamdulillah. Pas banget kamu kemari. Tante baru aja selesai masak, Nalula ikutan makan ya?”
Nalula nyengir. “Kalau soal makan mah Nalula gak nolak tante. Hehe..”
        “Kamu bisa aja, Nal.” Tante Karin pun sampai tertawa dibuatnya. “Yaudah yuk kita makan.” Tante Karin membawa Nalula ke ruang makan.
Baru aja Nalula duduk di salah satu kursinya, Lingga dan Firant muncul. Langsung saja mereka ikut bergabung di meja makan. Tak lupa seperti halnya Nalula, Lingga mencium punggung tangan tante Karin.
“Kok kamu udah lama di Jakarta tapi baru ke rumah tante sekarang sih?” Tanya tante Karin di sela-sela makan mereka.
“Iya tante. Maaf ya. Nalula masih ngurusin buat sekolah soalnya.”
“Gapapa kok, Nal. Tante juga ngerti.”
“Ada berita apa nih, Nal?” Firant iseng ikutan bertanya.
Nalula yang akan menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulut, mengurungkan niat setelah mendengar pertanyaan Firant. Ia teringat kejadian tentang ibunya Diaz. “Tante kenal sama  ibu Vindhya?” ujar Nalula yakin.
“Itu nama ibunya Diaz kan ya, bun?” Firant balik bertanya kepada ibunya.
Lingga sebenarnya langsung mengerti dengan arah bicara Nalula. Hanya saja ia lebih mempersiapkan diri karena secara gak langsung, Nalula juga memberitahukannya. Tapi kayaknya, kali ini terasa lebih berat karena diam-diam Lingga telah mengetahui hal ini.
“Memangnya ada apa dengan ibu Vindhya?”
“Tante pasti tau jawabannya.”
Sesaat tante Karin terlihat ragu. “Iya.” Kata tante Karin akhirnya. “Jadi kamu udah tau semua? Kalau Vindhya itu ibu kandung kamu?”
Nalula hanya mengangguk.
“Diaz kan seumur sama gue. Kalo nyokapnya itu ibu kandung lo, berarti lo sama Diaz…?” Firant ikut penasaran.
“Iya, Nal. Kalian kembar.” Ucap tante Karin kemudian.

@@@

ef �-p p =N �2M luar.
“Hatinya gak lebih sakit dari senyumnya.” Kata Lingga kepada Danu.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar