Senin, 20 Februari 2012

rosengard fc (part 12)


12. ROSENGARD LAYAK LOLOS

Kharis, Diaz, Reva dan Riva kembali dan menunggu di depan pintu ruang rapat. Sosok Brian juga sudah tak tampak di sana. Selang beberapa saat, Bram muncul dari balik pintu. Kharis dan kawan-kawan yang semula duduk, tiba-tiba bangkit pada waktu yang hampir bersamaan.
        “Gimana, Om?” Todong Kharis.
        “Kalian emang gak salah.” Kata Bram akhirnya. “Tapi kami tetap harus menyelidiki dari peserta yang lain untuk memastikan kebenarannya. Jika terbukti bahwa tidak hanya kalian, Rosengard akan bebas dari ancaman.” Lanjutnya.
        “Syukurlah.” Gumam Riva dan Reva bersamaan.
        “Kami akan kabari kalian secepatnya, mungkin lewat Lingga.” Kata Bram lagi. Kali ini ia terlihat seperti mencari. “Lingga mana? Sepertinya tadi saya lihat dia di sekitar sini.”
        Reva memandang Bram lekat-lekat. “Om, ayahnya Lingga?” Tanya Reva ragu-ragu.
        Bram menoleh. “Iya.” Jawabnya. “Kamu Reva, kan? Pacarnya Lingga?” Mungkin itu maksudnya, ia terlihat seolah mengenal Reva.
        Reva hanya tersenyum menjawab tebakan Bram. Karena apa yang dimaksudkan oleh Bram, itu hanya masa lalu antara Reva dan Lingga.
        Selang beberapa saat, baik Diaz, Reva ataupun Riva menceritakan kembali apa yang telah terjadi kepada mereka. Mulai dari pengakuan Lingga atas apa yang di dengarnya dari Brian, sampai rencana mereka untuk mengunjungi klub-klub lain setelah bertemu dengan dua punggawa SMA Siliwangi, Ixel dan Vindra.
        Tapi Kharis tidak. Ia sibuk berfikir seorang diri. Ia merasa telah mengenal sosok Lingga bukan karena pertemuan mereka di Rosengard. Tetapi sejak ia masih kecil. ‘Kalau Bram adalah ayahnya Lingga, berarti Lingga adalah Dewa(seorang anak laki-laki yang selama ini ia kenal). Atau mungkin Lingga memiliki saudara laki-laki bernama Dewa?’
        Tapi ia kembali teringat tentang kejadian sebelum mereka berangkat kesini. Ketika Dewa menyodorkan sebuah jaket untuk Nalula. Ia berada beberapa meter dari sana. Ia juga masih ingat ketika Lingga tiba-tiba membunyikan klakson mobil dengan cukup mencurigakan. Dan ia juga melihat raut wajah Lingga dari dalam kaca spion. Hanya satu hal yang terfikirkan olehnya kala itu, Lingga cemburu.
        Keluarga Kharis memang telah mengenal sosok Bram. Tapi kejadian itu sudah cukup lama. Ketika ia masih kecil. Dan setau Kharis, Lingga adalah anak tunggal. Jika benar seperti itu, berarti Lingga dan Dewa adalah orang yang berbeda. Kharis masih menerka-nerka.

@@@

        Lingga, Nalula, Ixel dan Vindra telah berada di apartemen tempat SMA Jakabaring tinggal. Bagas dan Zagar yang menemui mereka, mengajak Lingga dan yang lainnya mengobrol di gazebo taman apartemen mereka.
        Nalula duduk diapit oleh Lingga dan Zagar. Meski hanya duduk berseberangan, nampaknya cukup untuk Bagas bisa menatap Nalula dengan cukup leluasa. Walau Zagar telah memberikannya tatapan mengancam, tapi tak berpengaruh untuk Bagas.
        “Tentang yang gue certain semalem, Gar.” Nalula memulai. Ia tertuju ke Zagar.
        Zagar balas menatap Nalula dengan cukup terkejut. “Jadi, itu beneran kejadian?” Tanya Zagar.
        Nalula mengangguk. Lingga pun memulai cerita, terutama ketika apa yang dilakukan Brian.
        “Brian?” kata Bagas mengagetkan. Ia menatap Ixel dan Vindra bergantian yang duduk di kedua sisinya.
        “Satu yang harus kalian tau.” Kata Ixel yang diutamakan kepada Bagas dan Zagar, tepat ketika Bagas menatap Vindra. “Gue dan Vindra udah gak berpihak ke Brian. Meski kita masih satu klub dengnnya.”
        “Nal.” Tampaknya Zagar butuh penjelasan. Terutama ke Nalula. Dan Nalula pun membenarkan apa yang dikatakan Ixel.
        Merekapun kembali menceritakan apa yang menyebabkan mereka sampai di sana.
        “Gila!” komentar Bagas ketika Lingga mengakhiri cerita. “Ini Cuma turnamen antar SMA.”
        “Semua juga berfikir sama, Gas.” Kata Vindra.
        “Pokoknya, apapun yang terjadi sama Rosengard, kita belain kalian.” Ujar Zagar menanggapi cerita Lingga. “Kalian emang gak sendiri. Di sini juga siswa yang jadi menejer.” Tambahnya.
        “Setelah ini kalian kemana?” tanya Bagas.
        Vindra melirik jam tangannya. “Kita mau ke tempat klub yang hari ini tanding malam.” Katanya.
        “Kalo gitu, buat SMA Brawijaya serahin aja ke gue dan Zagar.” Bagas menyarankan. “Mereka juga ada di apartemen ini.” Lanjutnya.
        Tanpa ingin buang waktu, Lingga dan kawan-kawan segera pamit untuk melanjutkan misi mereka. Selama perjalanan menuju tempat parkir, Zagar tak menyia-nyiakan waktu untuk bisa bicara lebih leluasa dengan Nalula. Mereka sengaja berjalan sedikit lebih lambat dan lebih di belakang dari pada yang lainnya.
        “Gue seneng akhirnya lo mau balik lagi jadi asisten pelatih.” Ungkap Zagar. “Meski kita gak satu klub.”
        Nalula yang sebenarnya sudah tak bisa berkomentar hanya tersenyum menanggapi pengakuan Zagar. Nalula pun kembali membahas perihal Bram. Zagar sendiri sebenarnya juga telah mengenal sosok Bram. Ia pun tau kalo Bram memiliki seorang anak laki-laki bernama Dewa.
        “Gue baru sadar.” Ucapan Nalula membuat Zagar penasaran. “Lingga punya banyak kemiripan dengan om Bram.” Lanjut Nalula penuh curiga.
        “Siapa nama lengkap Dewa?” pertanyaan Zagar membuat Nalula langsung menghentikan langkahnya.
        Nalula mengangkat bahu. “Entahlah. Dia selalu menulis namanya L. Dewa. Dan dia selalu bilang, kalau dia lebih senang dipanggil Dewa.”

@@@

        Mereka memutuskan untuk berpencar. Lingga bersama Vindra ke stadion B. Sementara Nalula dan Ixel ke stadion A.
        Sesampainya di sana, mereka pun tak ingin membuang-buang waktu. Vindra dan Lingga yang berada di stadion B sepakat untuk Lingga mengunjungi SMA Mandala. Dan Vindra pun tak keberatan untuk menemui siapa saja di SMA Singaperbangsa.
        Lingga yang kala itu memilih menemui SMA Mandala, sangat tidak mengalami kendala berarti. Kendati ia mengenal salah satu punggawanya, Firant, Linggapun langsung bisa menemuinya. Lingga sesegera mungkin bercerita semuanya pada Firant.
        “Ah, gila aja kalo kalian sampe di diskualifikasi!” komentar Firant. “Semua sekolah ngelakuin hal yang sama kok. Termasuk SMA gue.” Kata Firant.
        Lingga terdiam.
        “Kalo lo gak percaya, gue bisa buktiin.”
        Bukannya gak percaya, tapi Lingga hanya masih kepikiran masalah yang menimpa sekolahnya. Belum sempat Lingga menjelaskan, Firant malah mempertemukannya kepada asisten pelatih SMA Mandala.
        “Ini asisten pelatih klub gue.” Kata Firant sambil memperkenalkan seseorang yang kini berdiri di sampingnya.
        Orang itu mengulurkan tangannya. “Rehan.” Katanya.
        Lingga balas jabatan tangan Rehan. “Lingga.”
        “Dari sekolah mana?” tanya Rehan.
        “Ini temen gue yang dari SMA Rosengard, Kak.” Firant yang menjawab.
        “Iya. Berarti, kamu anak didiknya Kharis ya?”
        Lingga hanya mengangguk.
        “Oiya, Ga.” Kata Firant kepada Lingga. “Kak Rehan itu seangkatan sama kakaknya Nalula. Kayak kita gini.”
        Lingga kembali mengangguk.
        “Saya tau kok apa yang sedang terjadi sama Rosengard sekarang.” Kata Rehan diluar dugaan. “Jadi kalian gak usah khawatir. Rosengard gak sendiri.”
        “Tapi posisi kita emang lagi nggak menguntungkan.” Kata Lingga akhirnya.
        “Saya ngerti.” Rehan berusaha menenangkan Lingga. “Tapi prestasi kalian gak bisa di sepelekan dengan hanya selembar lisensi.” Lanjut Rehan. Sementara Lingga malah kembali terdiam. “Kalo emang ancaman mereka berlaku, itu artinya semua klub harus di diskualifikasi.”
        “Tapi kakak tau dari mana?” tanya Firant yang merasa penasaran.
        “Barusan Pak Bram telpon. Ia pun menanyakan perihal undangan sidang dan lisensi.” Jawab Rehan. “Awalnya saya juga gak ngerti. Tapi setelah ketemu Lingga, akhirnya saya tau apa yang sedang terjadi.” Lanjutnya. “Ada unsur dendam pribadi.”
        Perkataan Rehan yang terakhir membuat Lingga dan Firant menoleh bersamaan ke Rehan.
        Seolah mengerti, Rehan tersenyum. “Maaf ya… saya gak sengaja denger obrolan kalian.” Rehan mengakuinya. Lalu ia memberi semangat dengan menepuk lengan Lingga. “Rosengard gak akan hancur hanya dengan dendam pribadi seorang.”
        Linggapun tak menyangka dapatkan dukungan dari semua rival-rivalnya. Ia bisa kembali ke Dipokar dengan membawa senyum.
        “Ketemu di final ya, Ga.” Teriakan Firant mengiringi langkah Lingga meninggalkan stadion.

@@@

        Sebelum turun ke pertandingan malam ini, seluruh punggawa SMA Jakabaring diberi kesempatan untuk beristirahat. Termasuk Bagas dan Zagar yang memilih berdiam diri di dalam kamar yang mereka tempati berdua. Beberapa saat mereka masih saling diam di ranjang masing-masing.
        “Lo kenal Lingga udah lama?” tanya Zagar tiba-tiba.
        “Lumayan.” Jawab Bagas yang sedari tadi sedang membaca majalah.
        “Berarti lo tau masa lalu Lingga?”
        Bagas menghentikan aktifitasnya. Ia melirik penuh curiga kepada adiknya. “Lima tahun lalu, Lingga dan keluarga pernah tinggal di Bandung.”
        Jawaban Bagas membuat Zagar bangkit dari tidurnya dan menunggu penuh minat apa yang akan dikatakan Bagas berikutnya.
        Bagas sendiri yang awalnya bersandar, kini menegakkan posisi duduknya. “Semasa kecil, Lingga lebih suka di panggil dengan nama Dewa.” Sambil bercerita, Bagas membolak-balikkan majalah tanpa tujuan. “Dia juga mengenal seorang cewek yang ia panggil Lula.”
        “Apa maksudnya, Nalula?” tebak Zagar.
        Bagas mengangguk mantap. “Setelah balik ke Jakarta, tuh anak milih di panggil Lingga.” Bagas memberi jeda pada ucapannya. “Katanya sih, biar Nalula gak tau kalo dia di Jakarta sering gonta-ganti cewek.” Bagas malah geli sendiri menceritakan perihal masa lalu temannya itu.
        “Hubungannya sama Nalula?” Zagar masih penasaran.
        “Pertanyaan bagus.” Bagas kembali serius. “Nalula itu, cinta pertama dan pacar pertamanya Lingga.” Lanjut Bagas. “Itu sebabnya Lingga gak pernah serius pacaran sama mantan-mantannya.”
        “Apa Lingga udah tau?” Tanya Zagar untuk yang kesekian kalinya.
        “Iya.” Bagas mengangguk. “Lingga udah tau segalanya. Udah sejak lama. Semasa Nalula masih di Bandung.”
        “Terus, yang tadi lo ngeliatin Nalula, maksudknya apa?”
        Bagas malah ketawa menanggapinya.
        “Kok malah ketawa?” Sikap Bagas cukup membuat Zagar sedikit sewot.
        “Sumpah demi apapun, gue Cuma ngeledekin Lingga. Gak ada maksud lain.”

@@@

        Sementara di tempat lain, Ixel pun cukup mulus menjalankan rencana mereka. Ia bertemu langsung dengan pelatih kepala, asisten pelatih dan kepten SMA Patriot bernama Steven yang ternyata adalah sepupunya.
        Hal serupa dirasakan Vindra yang bertugas mengunjungi klub sepakbola SMA Singaperbangsa. Meski tak ada satu pun yang dikenalnya, Vindra tetap memberanikan diri. Dan hasilnya pun memuaskan. Meski awalnya kedatangan Vindra cukup dicurigai.
        Tapi nampaknya tidak untuk Nalula. Meski telah berada di depan locker room SMA Kanjuruhan. Ia melihat beberapa official klub dan para punggawanya yang secara teratur memasuki ruangan itu.
Seseorang yang berdiri paling akhir menarik perhatian Nalula. Ia mengenali orang itu bernama Tyo. Nalula pun teringat ketika klub lamanya, SMA Siliwangi menjalani partai semi final pada turnamen tahun lalu bertemu dengan SMA Kanjuruhan. Tyo turun di sepuluh menit terakhir pertandingan babak ke-2 ketika klub nya tertinggal 3 gol tanpa balas. Meski tetap kalah, tanpa di duga Tyo justru bisa mencetak satu gol dan memberikan satu peluang pada rekan se-timnya sehingga skor akhir menjadi 2-3. Kala itu Nalula hanya berfikir sangat disayangkan pemain berbakat seperti Tyo hanya di turunkan pada menit-menit akhir.
Akhirnya Nalula pun memutuskan untuk menemui Tyo. Dan tanpa diduga, justru Tyo yang terlebih dahulu menghampiri Nalula. Semakin mengejutkan bagi Nalula akan apa yang dikenakan Tyo. Ia memakai kaos berkerah dan mengalungi ID-card dengan nama serta foto dirinya dan tertera tulisan asisten pelatih, bukan sebagai pemain.
“Asisten pelatih SMA Siliwangi?” tebaknya kepada Nalula. “Kenapa ada di sini?” Tanya Tyo ramah.
“Gue emang mau ketemu siapa aja perwakilan dari SMA Kanjuruhan.” Kata Nalula tanpa basa-basi. “Tapi gue ke sini atas nama Rosengard.”
“Wow… Kayaknya ada sesuatu yang serius?” kata Tyo menerka-nerka. “Mending ngobrolnya sambil duduk.” Ajaknya ke sebuah kursi panjang di depan locker room.
Begitu duduk, Nalula langsung menceritakannya. Meski serius, tapi respon Tyo membuat Nalula nyaman.
“Tapi udah dari tahun lalu kan, lo jadi asisten pelatih di Siliwangi?” tanya Tyo di sela-sela obrolan mereka.
Nalula cukup tercengang dengan apa yang ditanyain Tyo. Sebegitu menonjolkannya kah posisi Nalula kala itu?
Tyo mencurigai perubahan sikap Nalula. “Kenapa? Kaget ya karena gue tau lo?” ia tersenyum karena Nalula tak merespon. “Jangan kaget. Lo tuh ibarat primadona di turnamen tahun lalu. Semua pemain pasti bicarain lo.” Lanjutnya.
“Termasuk lo?” Ledek Nalula.
“Hehe.” Tyo malah tertawa. “Bosen juga kali selama turnamen ketemunya cowok mulu.”
Nalula tersenyum. Lalu terfikirkan sesuatu. Ia menegaskan pandangannya pada ID-card yang di kenakan Tyo. “Kenapa lo jadi asisten pelatih?” todong Nalula.
Tyo yang tak siap, merasa tercekat atas pertanyaan Nalula. Cukup lama ia terdiam. Tyo sedikit salah tingkah. Setelah perasaannya cukup tenang, ia menoleh ke Nalula. “Apa lo pernah liat gue jadi pemain?” Tyo malah balik bertanya. Apa yang ditanyakan Nalula memang serius, tapi pertanyaannya lebih serius.
“Semi final turnamen tahun lalu.” Jawab Nalula. “Meski Cuma 10 menit, tapi permainan lo gak bisa gue lupain. Pemain berbakat dari SMA Kanjuruhan bernomor punggung 14, TYO.” Nalula cukup menunjukkan kekagumannya.
Tyo malah membalasnya dengan senyuman sinis. “Jangan lanjutin.” Pintanya.
“Kenapa?”
Lagi-lagi Tyo tak langsung menjawab pertanyaan Nalula. “Pernah denger berita tahun lalu, kalau ada seorang pemain yang dilarikan ke rumah sakit usai partai semi final?”
Belum sempat Nalula menjawab, seseorang muncul dari dalam locker room dan meminta Tyo untuk masuk. Setelah mengangguk, Tyo pun akhirnya berdiri. Diikuti oleh Nalula. “Gue boleh tau nama lo?”
“Nalula.” yang menyebutkan nama itu bukan Nalula, tapi Lingga yang tiba-tiba saja berada di sana.
“Oke. Nalula. Sampai ketemu lain waktu.” Kata Tyo yang langsung meninggalkan Nalula.
“Gimana, Nal?” tanya Lingga yang kedatangannya diikuti Ixel dan Vindra.
“Tahun lalu, usai semi final Siliwangi lawan Kanjuruhan, siapa pemain yang dilarikan ke rumah sakit?” Nalula tak menjawab, malah mempertanyakan hal yang lain lagi.
“Maksudnya Elang Bramantyo?” tebak Vindra.
“Iya.” Jawab Ixel. “Katanya Tyo sakit sampe-sampe dia divonis gak boleh main sepakbola.”
“Sakit?” Nalula terkejut. “Sakit apa?”
“Kabarnya jantung.” Jawab Ixel “Sayang banget pemain sebagus Tyo diberi cobaan seberat itu.”
“Gak Cuma itu, kepemimpinannya untuk mengatur strategi juga gak perlu diraguin lagi.” Sambung Lingga. “Makanya Tyo diangkat jadi asisten pelatih.”
“Emang kenapa, Nal?” Vindra curiga.
“Apa lo naksir Tyo?” tanya Lingga seolah menyindir. Raut wajahnya berubah seketika.
“Sakit jantung ya?” Nalula tak begitu mempedulikan perkataan Lingga. “Gue pikir cerita kayak gini Cuma ada di kartun kapten tsubasa. Ternyata juga ada di kehidupan gue.”

@@@

Turnamen yang akan memasuki babak semi final kini hanya menyisakan 4 klub, yaitu Rosengard, Siliwangi, Jakabaring, dan Mandala. Bram sendiri telah bergerak lebih cepat, yaitu dengan merombak 50% panitia dan membentuk panitia baru yang terdiri dari beberapa pelatih hingga asisten pelatih klub yang tidak lolos babak semifinal. Sementara itu, sisa pertandingan akan digelar di Surabaya. Karena menurutnya, Bandung tidak cukup nyaman karena salah satu wakilnya, Siliwangi, lolos ke semi final. Ditambah dengan insiden yang dialami Rosengard beberapa waktu lalu.
Seluruh klub akan diboyong ke Surabaya hari ini juga. Sekaligus pengumuman nasib Rosengard selanjutnya. Semua klub—baik yang lolos ataupun tidak—berkumpul di stadion B yang selama ini digunakan untuk pertandingan. Peserta ditempatkan di tribun penonton. Termasuk diantaranya Brian dan Siliwangi.
Dengan menggunakan microphone, Bram berbicara. “Semua tau apa yang terjadi pada Rosengard. Semua diluar kendali saya. Tanpa buang waktu, apa yang telah dialami dan semua prestasi anak-anak muda di Rosengard yang membanggakan buat saya.” Ia memberi sedikit jeda dalam ucapannya. “Rosengard layak ikut kita ke Surabaya.”
Seluruh punggawa Rosengard saling pandang. Mungkin mereka tak ingin terlalu berharap banyak, hingga apa yang dikatakan Bram masih kurang jelas untuk mereka.
Dirasa tak ada respon dari Dipokar, Bram kembali angkat bicara. “Rosengard tetap saya nyatakan lolos ke SEMI FINAL di Surabaya.” Bram memberi tekanan ketiks menyebut kata ‘semi final’.
Dan kali ini membuat seluruh punggawa Rosengard bersorak. Begitu juga dengan klub lain yang ikut bahagia mendengar kabar baik untuk Rosengard. Termasuk pemain dan official klub Siliwangi, kecuali Brian dan seorang cewek disampingnya yang tetap diam ditengah riuhnya stadion. Posisi Rosengard dan Siliwangi yang bersebelahan membuat mata Nalula dan Brian bertautan. Terlihat dari matanya, Brian mengatakan masih belum kalah. Meski Nalula sendiri tak menyiratkan kemenangan di matanya. Karena menurut Nalula kemenangan Rosengard yang sebenarnya belum ada di depan mata.

@@@

Sebelum berangkat dijadikan salam perpisahan bagi klub yang tetap lolos dengan klub yang akan pulang ke kota masing-masing. Semua membaur di parkiran. Bram menyediakan bus untuk membawa mereka ke bandara menuju Surabaya. Nalula kembali bertemu Tyo.
Tyo mengulurkan tangannya. “Selamat ya. Rosengard emang layak ke Surabaya.”
Nalula pun meraihnya. “Semua juga berkat doa kalian yang udah dukung Rosengard.”
Tyo tersenyum. “Sampai ketemu di turmanen berikutnya ya, Nalula.” kata Tyo.
“Turnamen berikutnya?” Nalula mengulangi perkataan Tyo. “Jangan fikir gue gak tau ya?”
Tampaknya Tyo tak mengerti.
Nalula meninju pelan lengan Tyo. “Gue tau lo ikut ke Surabaya. Jadi panitia baru.”
Tyo akhirnya tertawa karena sadar ia lupa menyembunyikan ID-card baru nya dari Nalula. “Oke. Kita ketemu di Surabaya.” Kata Tyo akhirnya. “Semangat ya buat Rosengard.” Lanjutnya sebelum meninggalkan Nalula.
Begitu Nalula berbalik, ia melihat Zagar melangkah ke arahnya. Kegembiraan Nalula bertambah karena Zagar juga akan ke Surabaya seperti halnya Rosengard.
Dirasa sudah cukup bersenang-senang, Zagar pun mulai bersikap serius. “Pasti ada yang mau lo omongin?” tebak Nalula.
“Nal, Lingga itu Dewa.” Kata Zagar tanpa mengulur-ngulur waktu. “L. Dewa.” Jelasnya.
Terlihat dari mata, Nalula cukup terkejut mendengar perkataan Zagar.
Nalula sangat ingin mempercayainya, namun sepertinya, itu masih menjadi mimpi untuknya. “Gak mungkin.”
“Nal, apa mata gue terlihat bohong.” Zagar memaksa Nalula untuk menatapnya.
Nalula sadar sesadar sadarnya bahwa Zagar tak mungkin membohonginya.
“Bagas udah cerita semuanya tentang Lingga. Dan yang harus lo tau, Lingga udah tau lo sejak kalian ketemu di weddingnya ka Farlan.” Lanjut Zagar. “Dewa manggil lo Lula, kan?”
Mata Nalula kian melebar ketika Zagar menyebutkan ‘Lula’. Karena itu memang panggilan masa kecilnya dari Dewa.
“Satu lagi, walau lo liat Lingga pacaran atau deket sama cewek lain, percaya Nal, perasaannya ke lo gak berubah.” Tambah Zagar lagi. Nalula diam. Kali ini ia tak lagi menatap mata Zagar.
“Kalo ternyata Dewa bukan Lingga?” kata Nalula akhirnya setelah sekian lama diam.
“Gue gak peduli.” Kata Zagar yang terdengar pasrah. “Dan lo juga tau kan, gimana perasaan gue ke lo? Tapi untuk Lingga, gue akan berusaha ngelepas lo.”
Di kejauhan, Nalula melihat sosok Bram yang sedang berbincang dengan beberapa orang. Nalula pun memberanikan diri menghampiri untuk menanyakan perihal kebenaran Lingga.
“Om, maaf kalau Nalula ganggu.” Kata Nalula tanpa basa basi.
“Oh, iya. Ada apa?” kata Bram yang memang terlihat tak keberatan. Beberapa orang disekelilingnya pun tak mempermasalahkan kedatangan Nalula. “Ada masalah lagi sama Rosengard?”
“Nggak om. Sama sekali gak ada hubungannya dengan Rosengard.” Nalula langsung menyanggah pernyataan Bram. “Nal Cuma mau tanya kabar Dewa.”
“Lho?” Bram terlihat heran. “Dewa kan Lingga Dewantara. Masa kamu gak tau?” Bram pun menjawab dengan langsung menuju sasaran. “Ya sudah, om tinggal dulu ya.” Bram berpamitan ketika Nalula masih terpaku atas jawaban yang diterimanya.
Zagar menunjukan diri di depan Nalula. “Sekarang udah kebukti, kan?”
Nalula menoleh ke arah berlawanan dari tempat Zagar berdiri. Di sana ia dengan jelas melihat keberadaan teman-temannya di Rosengard. Terutama Diaz, Ilan, Lingga dan Danu yang mungkin juga menyadari keberadaannya bersama Zagar.
“Diaz saudara kembar lo.” Kata Zagar tepat dibelakang Nalula. “Ilan sahabat lo yang juga sama-sama pindah dari Siliwangi. Danu teman sebangku lo. Dan Lingga…” Zagar menghela napas di sela-sela perkataannya. Napasnya terdengar cukup berat. “…dia masa lalu lo.”
Perlahan hembusan napas Zagar terasa semakin memudar di telinga Nalula. Begitu menoleh, ternyata Zagar telah berbalik dan berjalan meninggalkannya. “Apa gue bisa lepas dari sosok seorang Zagar?”

@@@

Kini mereka sampai di Surabaya. Seluruh peserta di tempatkan pada apartemen yang sama. Masing-masing klub pun diberi fasilitas yang sama, yaitu lapangan yang bisa mereka gunakan untuk menggelar latihan. Tanpa buang waktu, Kharis langsung memerintahkan Lingga dan kawan-kawan untuk langsung menjalani sesi latihan sore ini juga.
Seperti biasa, Nalula mengamati dari pinggir lapangan. Ia sedikit memberi ruang kosong antara dirinya dengan Kharis. Riva dan Reva dengan senang hati menemani Kharis yang sedang memberikan pengarahan. Terkadang mereka antusias menanyakan hal-hal kecil tentang sepakbola.
Nalula berdiri cukup berjauhan dari posisi Kharis berada. Ia menggenggam secarik kertas yang berisi nama-nama pemain yang menurut Nalula kurang meyakinkan untuk turun di semi final esok harinya. Didaftar tertera nama Irham dan Ferry yang sedikit mengalami cedera di latihan hari ini. Sementara Bintang, kabarnya diistirahatkan di klinik karena sejak pagi karena kondisinya kurang fit. Kharis sendiri sengaja mengurangi porsi latihan untuk Garra guna mengurangi bertambah parahnya cedera yang sebelumnya dialami Garra. Dan Farel terkena akumulasi kartu yang membuatnya tak bisa turun di semi final.
Nalula yang menggenggam botol minum cukup terlihat tak focus memperhatikan latihan teman-temannya. Hingga ia dikejutkan oleh Ilan yang tiba-tiba muncul dan merebut botol itu dari tangannya.
“Lo kenapa, Nal?” Tanya Ilan yang mencurigai sikap Nalula.
“Lo gak takut Riva cemburu liat kita berduaan?” Nalula seolah menyembunyikan sesuatu. Hingga apa yang ditanyakan nampaknya bukan hal yang perlu diutamakan.
“Sumpah deh. Gak penting apa yang lo tanyain.” Ilan malah terlihat kecewa dengan repon yang ditunjukan Nalula. “Tadi pagi gue liat lo sama Zagar. Ada yang janggal sama sikap kalian. Dan gue kecewa gak ada satu pun dari kalian yang ceritain hal itu.”
Terlihat oleh Ilan, Nalula meremas kertas yang ada di tangannya. Tanpa minta persetujuan, Ilan merebut kertas itu dan melihat isinya. “Ini apa, Nal?”
Nalula tak menoleh, ia menghela napas. “Daftar pemain yang diragukan turun di semifinal besok.”
“Semua?” tanya Ilan lagi.
Sebelum menjawab, Nalula menyodorkan sebotol air mineral untuk Danu yang berjalan ke arahnya. Danu menyambar botol itu tanpa ada kontak mata atau apapun ke Nalula. “Menurut lo?” Nalula malah balik bertanya, lalu menyingkir dari tepi lapangan menuju kursi panjang dibelakangnya.
“Tapi kuota pemain yang kita punya masih cukup kan, Nal?” Danu ikut nimbrung diantara Ilan dan Nalula.
Nalula mendongak. “Kalo Cuma didaftarkan sebagai pemain cadangan, menurut gue masih bisa nutup.” Lalu menoleh ke Ilan. “Tapi kalau masuk jadi pemain pengganti? Apa kalian tega maksain pemain yang lagi cedera?” pertanyaan Nalula membuat Ilan dan Danu saling tukar pandangan. “Semisal kita gagal di semifinal, apa kalian gak mau ngerebut posisi yang lebih baik dari peringkat empat?” tak ada respon dari Danu ataupun Ilan. “Pemain yang siap tempur Cuma ada 13.” Nalula menambahkan.
“Tiga belas, Nal?” Ujar Danu dan Ilan kompak.
“Iya.” Nalula memperjelas. “Udah termasuk pemain yang sering jadi cadangan.” Lanjutnya.
Sesaat mereka diam. Satu persatu pemain mulai kembali ke tepi lapangan untuk sekedar beristirahat sebentar.
Danu merebut kertas yang tadi di tangan Ilan. “Semua cedera?” tanya Danu.
Nalula mengangguk. “Tambah Dewa.” Nalula menunjuk ke arah Dewa yang berjalan dengan sedikit pincang ke luar lapangan. “Kecuali Bintang.”
“Kenapa bisa sebanyak itu, sih?” gantian Ilan yang bertanya. “Dewa juga ikutan, lagi.” Keluhnya.
“Kalian kurang pemanasan.” Jawab Nalula. “Kharis juga orangnya kurang tegaan. Terlalu manjain kalian.” 
“Lo bilang Kharis gak tegaan?” Ilan nampaknya kurang menyetujui perkataan Nalula. “Lo gak ngerasain jadi kita sih?”
“Gimana gue, Lan? Yang udah 2 tahun di bawah komando Kharis.” Danu seolah menunjukan penderitaannya selama Kharis melatihnya.
“Faktor lain, permainan kalian menjurus kasar. Jadi kalian agak rentan cedera.” Nalula tetap gak mau kalah.
Danu siap merespon kembali perkataan Nalula, tapi langsung membatalkan niat ketika Diaz yang kini berlari mengelilingi lapangan, melintas di depan mereka.
“Apa Diaz gak bisa diturunkan?” tanya Ilan ketika mereka masih cukup terpaku akan apa yang dilakukan Diaz.
“Kayaknya belom bisa, Lan.” Danu yang menjawab.
“Emang kecelakaan itu parah banget ya? Sampe-sampe cedera Diaz lama pulihnya?” Ilan nampaknya masih penasaran.
“Bukan masalah cedera.” Danu memberi jeda pada kata-katanya sambil menenggak air minum dari botol ditangannya. “Diaz tuh nurut banget sama nyokapnya.”
Nalula dan Ilan memandang Danu penuh minat akan apa yang segera Danu akan katakan. “Nurut gimana?” Ilan mengulangi perkataan Danu.
“Sejak turnamen masih di Bandung, Diaz hampir tiap malem nelpon nyokapnya untuk minta izin biar dia bisa main di pertandingan.” Danu memulai. “Bukan sekedar sebagai asisten atau pelatih. Tapi hasilnya nihil. Jadilah Diaz selalu kayak gitu setiap kita habis latihan.”
Diaz memang kerap kali melakukan hal yang sama seperti apa yang dilihat Nalula sekarang. Tapi nampaknya Nalula baru menyadarinya hari ini. Setelah sekian lama Nalula menemani Diaz. “Sebesar itu kah kecintaan Diaz terhadap sepakbola?” Nalula mendongak menatap Ilan dan Danu yang berdiri berdampingan di hadapannya.
“Apa yang udah dilakukan Diaz masih kurang membuktikan, Nal?” Danu malah balik bertanya.
Nampaknya Nalula tak ingin menjawab pertanyaan Danu. Ia berdiri. “Latihan selesai.” Katanya sambil meninggalkan lapangan.

@@@

Saat makan malam, seluruh peserta di tempatkan pada satu ruangan. Nalula sendiri cukup leluasa mencari Zagar. Ia langsung menarik Zagar ketika sahabatnya itu tengah mengantri makanan.
“Mau kemana sih, Nal?” keluh Zagar begitu Nalula menarik tangannya.
“Udah, ikut aja dulu.” Kata Nalula sambil merebut piring ditangan Zagar. “Ada yang harus gue lakuin.”
“Iya, tapi abis makan bisa kali, Nal.”
“Kita makan diluar.” Nalula yang berpapasan dengan Ixel, langsung menyodorkan piring Zagar ke Ixel. “Ixel mau makan ya? Nih piringnya.” Ixel terlihat bingung. Sementara Zagar seolah tak rela Nalula memberikan piringnya ke orang lain. “Udah, gapapa ambil aja.” Nalula terlihat memaksa hingga Ixel pun dibuat menerima piringnya itu. Begitu piring telah berpindah tangan, Nalula kembali menarik tangan Zagar untuk segera meninggalkan tempat itu.
Mau gak mau, Ixel menerima piring pemberian Nalula. Begitu berbalik, ia bertemu Lingga. “Liat Nalula gak?” tanya Lingga.
“Barusan…” Ixel kembali berbalik ke tempat ia bertemu Nalula. Tapi apa yang di cari ternyata tak ada. “Tadi ada di sini.”
Ternyata Nalula dan Zagar sudah sampai di luar pintu. Mereka bertemu dengan Bagas yang bersama dua temannya yang lain di Jakabaring.
 “Gue mau keluar bentar ya.” Kata Zagar sebelum Bagas sempat bertanya tentang apa yang akan dilakukan Zagar.
Bagas sendiri sama sekali tak ada masalah atau pun alasan untuk tidak mengizinkan adiknya pergi. Ketika didalam pun Bagas langsung bertemu dengan sahabat-sahabat lamanya. Diaz, Lingga dan Danu serta Kharis.

@@@

        Seusai makan malam, Kharis, Lingga, Danu dan Diaz berkumpul di koridor depan kamar-kamar punggawa Rosengard. Satu persatu, pemain lainnya bermunculan. Mulai dari Irham, Tegar, Hexa, Dendi hingga Reva dan Riva.
        “Kalian liat Nalula?” tanya Lingga yang terlihat tak sabar.
        Tak satupun dari mereka yang tau. “Mungkin udah di kamar.” Kata Reva.
        “Kita udak ketok beberapa kali, tapi gak ada yang jawab.” Ujar Danu yang disetujui oleh Kharis dan Diaz.
        “Bisa tolong kalian buka pintu kamar?” pinta Kharis untuk Reva dan Riva yang juga sekamar dengan Nalula. “Di, coba lo telpon terus ke hapenya Nalula.” perintah Kharis kepada Diaz.
        Riva pun tanpa rasa curiga langsung menuju ke pintu tepat dibelakang Diaz. Diikuti Reva, mereka mendahului masuk. Kemudian Lingga menyusul tanpa rasa canggung. Ia memeriksa tiap sudut ruangan hingga kamar mandi. Nalula tak ada di tempat. Mereka langsung kembali berkumpul di luar ruangan. Beberapa pemain lainpun mulai kembali bermunculan. Sebut saja Anjar, Farel, Ferry dan Khai. Mereka yang baru datang pun ditanyakan hal sama. Tapi jawaban mereka juga sama. Tak ada yang mengetahui keberadaan Nalula.
        “Ya udah, kak. Lo sama Diaz kan ada panggilan dari panitia, jadi biar gue sama Danu yang nyari Nalula di luar apartemen.” Pinta Lingga kepada Kharis.
        Sementara Diaz masih sibuk menelpon ponsel Nalula. “Tetep gak diangkat.” Ujarnya.
        “Oke.” Kharis langsung menyetujui. “Ajak Hexa sama Tegar juga.” Tambahnya.
        Lingga dan Danu mengangguk dan langsung berbicara sebentar ke Hexa juga Tegar. Lalu mereka segera beranjak dari sana.
        “Yang lain gue minta, tolong cari Nalula di sekitar apartemen.” Kata Kharis. “Dan secepatnya tolong kabarin gue atau Diaz.” Lanjutnya. “Satu jam lagi kita ketemu di sini.”
Semua pun langsung menuruti perkataan Kharis. Terlihat beberapa dari mereka mengambil jalan berbeda ketika di pertigaan koridor.
Kharispun langsung beralih ke Reva dan Riva. “Kalian tetap di sini. Tunggu Nalula datang.”
Reva dan Riva mengangguk kompak.
“Tolong telponin Davi juga, kasih tau kalo Nalula gak ada di apartemen.” Diaz menambahkan sebelum pergi bersama Kharis.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar