Senin, 20 Februari 2012

rosengard fc (part 7)


7. CARI PELATIH BARU

Nalula menemui Ilan yang menunggu di taman belakang sekolah. “Kata Danu lo nyari gue? Ada apa?”
        “Lo kemana aja sih, Nal?”
        “Maksudnya?”
        “Dari kemaren gue telpon, sms, gak ada satu pun yang direspon. Zagar nanyain lo mulu tuh.”
        “Iya. Gue udah hubungin Zagar kok.”
        “Terus?”
        Bel berbunyi membuyarkan aktivitas para siswa untuk berkumpul di lapangan. “Udah bel, Lan. Ayo upacara.” Tanpa menunggu respon dari Ilan, lebih dulu Nalula menuju lapangan.

@@@

        Klub sepakbola SMA Rosengard sore ini kembali memulai latihan. Tempatnya seperti biasa, lapangan sepakbola sekolah. Mereka memulai latihan dengan berlari mengelilingi lapangan. Danu, Ilan, Lingga serta beberapa teman bandnya juga terlihat di sana. Satu lagi, tak ketinggalan Diaz pun terlihat di antara mereka. Hanya saja Diaz tidak berada di tengah lapangan, melainkan duduk di tepinya memperhatikan teman-temannya latihan. Nalula yang berada di balkon atas gedung sekolah cukup terkejut dengan kehadiran Diaz di sana.
        “Diaz? Udah keluar dari rumah sakit tuh anak?” ujarnya seorang diri.
Selang beberapa saat, suasana latihan berubah. Mereka berkelompok untuk latihan mengoper bola.
“Katanya pelatih sama asistennya, si Kharis, di reshuffle? Apa sekarang udah ada penggantinya? Tapi gue gak liat siapa-siapa?”
Apa yang dipikirkan Nalula memang tak salah. Karena yang berada di lapangan saat ini semuanya adalah siswa SMA Rosengard yang tergabung di klub sepakbola. Tak lama, ponsel Nalula berdering. Sebuah panggilan dari Zagar.
“Lagi dimana lo, Nal?” suara Zagar terdengar begitu Nalula menjawab teleponnya.
“Di sekolah.”
“Ngapain? Takut sekolah lo dibawa kabur semut ya?” ledek Zagar diiringin tawanya.
Nalula ikutan tertawa pelan. “Bisa aja lo.”
“Eiya, Nal. Lagi ada anak-anak yang latihan bola ya?” tebak Zagar.
“Gitu deh.” Nalula mengiyakan. “Kok lo tau sih?” curiganya.
Zagar melihat Bagas berjalan ke arahnya. “Abang gue kan dulu anak klub sekolah lo juga.”
“Hehehe… Iya sorry gue lupa.”
“Rosengard udah dapet pelatih baru ya?” Tanya Zagar lagi.
“Aduh… Kurang tau juga tuh gue. Tapi kalo yang gue liat sih, gak ada siapa-siapa. Kecuali anak-anak klub bolanya.” Ujarnya sambil terus memperhatikan Ilan dkk latihan.
“Kok bisa sih? Turnamen kan udah deket. Tapi ampe sekarang belom ada pelatih. Mending lo aja Nal yang ngajuin diri jadi pelatih.” Kata Zagar sekenanya.
“Wuih… Gila lo?” Nalula yang sadar ucapannya cukup keras, langsung mendekap mulut dan memandang sekelilingnya. Mungkin takut ada seseorang yang menyadari keberadaannya. “Gak segampang itu juga kali.” Ucapnya lagi, kali ini dengan suara yang sedikit pelan.
“Hahaha…” Zagar tertawa mendengar kepanikan Nalula. “Yaudah-yaudah. Lanjutin deh kerjaan lo. Selamat bertugas dan…”
“Iya tapi…” Nalula menyadari telepon Zagar tiba-tiba terputus. “Yee… Dasar nih anak! Kebiasaan banget dari dulu suka tiba-tiba matiin telepon.” Nalula mengomel sendiri.

@@@

Di waktu yang bersamaan pula, Bagas dan Zagar lagi latihan sepakbola di sekolah barunya. Kali ini mereka lagi istirahat di pinggir lapangan.
“Ugh…! Lama-lama gue buang juga nih hape.”
“Napa sih lo ngomel-ngomel sendiri?” Komentar Bagas menanggapi sikap aneh adiknya.
“Gimana nggak? Coba deh lu bayangin.”
Tampang Bagas semakin heran. “Gimana ceritanya gue ngebayangin hal yang gak gue tau juntrungannya?” Sambar Bagas.
“Nih hape…” Zagar menunjuk-nunjuk ponselnya. “…setiap kali gue nelpon Nalula, pasti mati ditengah jalan.”
“Lo kira angkot mati tengah jalan?” Celetuk Bagas.      
“Kok lo tega sih sama ade sendiri?”
“Lha? Lo maunya gimana? Lagian, kemaren pas gue pinjem hape lo buat nelpon, gak ada masalah kan? Lumayan lama juga kan tuh?”
Zagar menjadi diam setelah mendengar perkataan Bagas barusan. “Iya juga sih?” Katanya membenarkan. “Tapi kok bisa gitu ya?” Tanya Zagar lagi.
Gantian Bagas yang diem. Bukan karena gak bisa menjawab pertanyaan Zagar, tapi lebih karena nih anak bingung mau ngejawab apa. “Kebanyakan dosa kali tuh sama abang lo?” ujar Bagas akhirnya sambil beranjak dari sana sebelum Zagar nanya yang aneh-aneh lagi.
Sementara Zagar sendiri lagi sibuk pasang tampang bingung. Sibuk juga mencerna ucapan Bagas tadi. “Lho? Abang gue kan si Bagas.” Zagar akhirnya menyadari. “Berarti gue banyak dosa sama lo donk?” kata Zagar lagi yang kali ini sadar Bagas sudah tidak disampingnya. “Enak aja! Wooii… Gas.” Zagar mengejar Bagas yang sudah cukup jauh meninggalkannya. “Jangan kabur lo. Ada juga lo yang banyak dosa sama gue.”
Gak ada yang mau ngalah…

@@@

Dari arah tangga Nalula mendengar suara langkah kaki seseorang. Semakin lama suara itu semakin terdengar jelas mendekat ke arahnya. Nalula semakin panic. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk berjalan menuju tangga yang memang satu-satunya di gedung tersebut. Nalula siap berbelok di samping tembok sebuah kelas.
“Nal?” sosok Danu mengagetkannya hingga membuat Nalula menjatuhkan buku filenya.
‘Ah, parah! Danu!’ gumam Nalula dalam hati.
“Dari mana, Nal?”
“Itu…” Nalula menunjuk ke belakang tanpa menoleh. “Dari kelas, tadi ada yang ketinggalan. Lo sendiri mau kemana, Dan?” Nalula sedikit berusaha mengalihkan pembicaraan Danu.
“Kok sama sih? Gue juga ada yang ketinggalan di kelas.”
Kini Nalula tercengang mendapati tulisan yang menunjukkan ruang kelasnya—2 ipa 2—di arah belakang Danu.
“Tapi, Nal. Bukannya kelas kita…”
“Sorry ya. Gue buru-buru.” Sergah Nalula sebelum Danu menunjuk ke arah kelas mereka yang sebenarnya. “Kharis udah nunggu di depan.” Nalula kembali beralasan. Ia segera meninggalkan Danu sebelum Danu berkata apa-apa lagi.
Danu tak bisa menghalangi Nalula. Ia hanya bisa mengikuti gerak langkah Nalula sampai menghilang di bawah tangga. Dan sampai Danu benar-benar tak melihat sosok Nalula dari atas balkon.

@@@

Nalula masih panic dengan kejadian barusan. Sambil setangah berlari, sesekali Nalula menoleh kebelakang. Mungkin takut Danu mengejar. Sementara di luar gerbang, ada Firant yang menunggu dan siap dengan motornya.
“Udah selesai, Nal?” Tanya Firant begitu tau Nalula udah duduk di jok belakang motornya.
        “Iya, udah. Ayo cepet balik.” Pinta Nalula. Tapi matanya masih sesekali menoleh kebelakang meski Firant udah menjalankan motornya.
        Saking paniknya, Nalula tak menyadari kehadiran Ilan, Riva dan Reva yang berada tidak terlalu jauh dari Firant memarkirkan motornya.
        “Itu bukannya Nalula?” ujar Riva yang duduk di atas motornya.
        “Kok sama Firant? Mereka saling kenal?” Reva yang duduk di jok belakang motor Riva, ikut angkat bicara.
        “Firant siapa? Lo kenal juga, Rev?” Tanya Reva lagi.
        “Temen SMP gue dulu.” Jawab Reva. “Tapi kok bisa sama Nalula sih?”
        Ilan yang sejak tadi memandang jalan yang dilalui Nalula dan Firant, menoleh setelah mendengar pertanyaan dari dua cewek kembar di sampingnya.
        “Gue juga gak tau.” Keluh Ilan perihal Nalula. “Terkadang tuh anak bisa jadi sedikit misterius.”
        “Kok bisa sih?” Riva penasaran. “Bukannya kalian temenan udah lama?”
        “Walaupun gue kenal Nalula udah hampir tiga tahun, tapi gue belum bisa mengenal Nalula sepenuhnya.”
        “Ya udah deh.” Riva mengakhiri pembicaraan mengenai Nalula. “Lo latihan lagi sana. Bentar lagi turnamen.”
        “Iya, hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut.” Ilan memperingati.
        “Sekalian, Lan. Salam buat Lingga.” Ujar Reva yang langsung membuat Riva menoleh dan menghadiahinya pelototan. “Nggak jadi deh, Lan.” Reva buru-buru meralat ucapannya
        Begitu Reva dan Riva pergi, Ilan kembali ke dalam sekolah. Sambil sedikit tersenyum mengingat kejadian barusan bersama Riva dan Reva. Ilan melalui depan gedung tempat kelas Nalula berada. Di sana ia bertemu Danu.
        “Lan.” Danu memanggilnya. “Dari mana?”
        “Dari luar. Tadi ada Riva sama Reva.” Jawabnya sambil terus melangkah yang kemudian disusul oleh Danu.
        “Berarti tadi lo ketemu Kharis donk? Kok dia gak mampir sih?” Tanya Danu lagi.
        “Hah…?” Ilan menghentikan langkahnya. Begitu pula dengan Danu yang juga mengikutinya. “Kharis mau kesini?” Ilan penasaran.
        “Bukannya tadi sama Nalula?” Danu malah balik nanya.
        Ilan malah bingung dibuatnya. “Gimana sih?”
        “Iya. Tadi tuh Nal…”
        Ilan buru-buru menyambar perkataan Ilan. “Lo sempet ketemu Nalula?” sergahnya begitu tau Danu membawa buku file milik Nalula.
        “Iya tadi di atas. Dan dia bilang Kharis…”
        Lagi-lagi Ilan menyambar ucapan Danu. “Yakin Nalula nyebutin nama Kharis? Bukan Firant?”
        Awalnya Danu tenang nanggepin pertanyaan Ilan. Tapi lama-lama bingung juga sama apa yang diucapin Ilan. “Firant anak SMA Mandala itu? Emang Nalula kenal juga sama dia?”
        Kembali, Ilan harus mendapat pertanyaan yang kalo boleh jujur, sama sekali gak mau ia jawab. Makanya ia hanya mengangkat bahunya untuk menanggapi pertanyaan Danu.
        “Terus?”
        “Gue gak tau apa yang terjadi sama Nalula dan Firant. Tapi yang pasti, tadi diluar gue liat Nalula sama Firant. Bukan sama Kharis seperti apa yang lo denger.”
        Danu diam. Ia berusaha mempercayai apa yang dikatakan Ilan. Karena gak ada alasan untuk Ilan membohonginya. Meski akhirnya Danu mengangguk.

@@@

        Danu membuka lebar pintu pagar rumahnya. Di saat yang bersamaan pula, sebuah mobil—yang dikenalinya milik Kharis—berhenti tepat di depannya. Kharis yang langsung turun terlihat canggung mendapati Danu berdiri dihadapannya.
        “Gue mau minta maaf ka.” Ujar Danu terlebih dahulu. Membuat suasana di antara merreka sedikit mencair. “Atas kejadian beberapa hari lalu. Gue tau itu gak adil. Dan gue ngerasa bersalah banget karena gue nyangka lo ngehianatin kakak gue sama cewek yang ternyata itu adik lo?”
        Semua penjelasan Danu membuat Kharis bisa sedikit bernapas lega. “Iya, Dan. Sama-sama. Kalo ternyata itu masalahnya, gue juga minta maaf.”
        Danu mendekat, dan Kharis pun merangkulnya. “Oiya, kakak nyari mba Vindhya ya?” kata Danu tiba-tiba dengan tatapan menggoda Kharis.
        Kharis hanya tersenyum tipis meresponnya. Ia sama sekali tak terlihat keberatan dengan ledekan Danu. Kharis membuktikan dengan masih bisa terlihat santai dan cool.
        “Gue sengaja kesini buat ketemu lo kok.”
        “Untung deh kalo gitu. Mba Vindhya juga gak ada dirumah.”
        “Gue tau kok. Kan emang sengaja gue dateng pas Vindhya lagi gak ada.”
        Danu langsung melepas rangkulannya. “Ada apaan nih?” Kata Danu dengan tampang yang sok curiga.
        “Lagian ganti nomor gak ngasih tau gue?” Balas Kharis. “Makanya gue langsung kesini.”
        Danu nyengir. Kharis juga tau kok kalau Danu hanya bercanda padanya.
        “Gue mau bahas tentang Rosengard. Kira-kira kapan lo punya waktu?”
        “Sekarang juga gapapa. Gue gak buru-buru kok.”
        “Keadaan Diaz gimana?” Kharis tanpa membuang kesempatan.
        “Diaz udah keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu. Kemaren juga dia ke sekolah ngeliat kita latihan.” Danu sedikit menceritakan mengenai Diaz.
        “Udah ada pelatih baru?” Tanya Kharis. Kali ini memang apa yang ingin ia bicarakan.
        Danu menggeleng penuh kecewa. “Gak tau lah. Pihak sekolah kayaknya udah gak mau peduli sama masa depan kita di klub.” Keluh Danu.
        “Udah ketebak kalo endingnya bakal kayak gini.”
        “Emang sih, pas kita latihan, Diaz yang ngarahin sama ngawasin kita.” Lanjut Danu. “Tapi Diaz juga gak bisa berbuat banyak. Dia belum sembuh total.”
        “Berarti kalian harus cari sendiri siapa yang pantas jadi pelatih kalian.”
        “Emang itu kok yang lagi kita pikirin.” Mata Danu terlihat mengawasi. “Kalo gak berbuat nekat, yang ada kita malah gak bisa ikut turnamen, lagi.”
        “Gue seneng dengernya kalo kalian punya rencana kayak gitu.” Kharis tersenyum menanggapi semangat Danu. “Udah ada calonnya?”

        “Sebenernya sih belom. Tapi gue bakal rekomendasiin satu nama yang gue anggep layak buat ngearsiteki Dipokar.”
        “Siapa?” Kharis penasaran.
        “Ada deh. Mau tau aja.” Jawab Danu dengan isengnya.

@@@

        Sepulang sekolah, Ilan menyempatkan diri mampir ke kelas Nalula. Di sana sudah hampir sepi. Hanya tersisa Lingga, Nalula, Danu dan Riva. Ilan bertemu Danu yang akan keluar di depan pintu. Ilan mendekati Nalula yang masih berdiri tidak jauh dari mejanya.
        “Sumpah, Nal. Terlalu banyak misteri pada diri lo.”
        Nalula yang langsung dihujani kata-kata seperti itu oleh Ilan, bergantian menoleh ke Lingga dan Riva yang masih berada di sana. Lingga dan Riva pun saling pandang. Riva mengangkat bahu, menunjukkan bahwa ia tak tau apa-apa dengan apa yang sedang dikatakan Ilan. Ia pun mengisyaratkan Lingga untuk membiarkan Ilan dan Nalula menyelesaikan masalah mereka.
        “Kayaknya ini masalah pribadi kalian. Lebih baik gue sama Riva nunggu di luar.” Kata Lingga yang siap melangkah.
        “Gue rasa kalian gak masalah di sini.”
        Lingga dan Riva berhenti ditempatnya.
        “Apalagi yang lo mau tau dari gue, Lan?” Nalula menantang.
        “Semua, Nal. Gue juga pengen lo jujur. Kemarin lo kemana aja? Zagar berkali-kali ngehubungin gue nyariin lo. Sumpah gue panic lo gak bales atau jawab telepon gue. Seharian gue nyari dan nunggu kabar dari lo. Dan lo tau apa yang gue dapet? Nihil. Lo masih anggep gue temen lo gak sih, Nal?”
        Riva cukup terkejut mendengarnya. Terutama ketika mendengar Ilan segitu paniknya tak mendapat kabar dari Nalula. Lingga yang menyadari hal itu, hanya berusaha menenangkan Riva meski ia tetap ditempatnya sekarang. Nalula pun tak menyangka dengan pertayaan yang didapatnya. Cukup lama Nalula memikirkan jawabannya.
        “Hampir semua temen kelas lo gue hubungin.” Ilan masih melanjutkan. “Terkecuali Lingga pastinya. Karena gue rasa gak mungkin lo sama Lingga. Apalagi kalo inget kejadian kemaren. Itu mustahil.”
        “Gue rasa gak ada yang mustahil.” Sambar Lingga membuat Ilan sontak menengok ke arahnya.
        “Iya. Gue percaya kalo emang gak ada yang mustahil. Kalian sempet ketemu di lapangan kompleks rumahnya Nalula kan? Tapi gue bener-bener pengen tau semua dari mulut Nalula sendiri.” Setelah puas, Ilan kembali menoleh ke Nalula. “Satu lagi, Nal. Gue juga tau lo ngebohong ke Danu soal Kharis. Lo gak dijemput sama Kharis kan? Tapi Firant, anak SMA Mandala.” Ilan gak tau harus bersiakp seperti apa lagi ke Nalula. “Siapa lagi Firant dihidup lo, Nal?”
        “Lan…” Riva berusaha menghentikan Ilan.
        “Kalo emang lo gak ngehubungin Lingga, kenapa lo gak ngehubungin Kharis?” Kata Nalula akhirnya. “Lo tau betapa sayangnya gue sama nyokapnya Kharis? Dan lo juga tau betapa terpukulnya gue begitu tau kalo gue masih punya nyokap kandung? Kalo lo berfikir gue udah gak nganggep lo temen, apa bedanya lo sama gue? Lo pasti gak mungkin lupa sama sifat gue yang suka tiba-tiba pergi menyendiri, kan? Apa pernah gue kabur selama berhari-hari tanpa ada yang tau?”
        “Tapi lo kemana, Nal?” Ilan belum habis hanya sampai disitu. “Jakarta sama Bandung beda. Di sana lo bisa pergi kemana aja yang lo mau. Tapi di sini. Lo gak punya keluarga selain…”
        “Apa lo juga lupa, Lan?” Nalula menyambar ucapan Ilan sebelum dapat diselesaikannya. “Gue masih punya tante yang tinggal di Jakarta. Dan Firant. Dia sepupu gue.”
        Ilan tercengang. Astaga. Sejujurnya Ilan yang kalap melupakan semua hal tentang Nalula. Ia benar-benar dikuasai emosinya. “Tapi, Nal…”
        “Cukup, Lan.” Lingga tak membiarkan Ilan memulai lagi. Tanpa pamit, Lingga menggamit tangan Nalula dan membawanya pergi dari sana.
        Ilan menyusul mereka. Tapi ketika sampai di depan pintu, Reva muncul dan menghalangi tubuhnya.
        “Cukup, Lan. Lo udah berlebihan nuding Nalula kayak gitu.” Ternyata Reva mendengar semua pembicaraan antara Ilan dan Nalula.
        “Reva bener.” Riva yang berdiri dibelakang Ilan menyetujui kata-kata Reva. “Lo terlalu emosi menanggapi sikap Nalula.”
        “Oke. Gue tau gue salah.” Akhirnya Ilan mengakui. “Kalo tentang Nalula, gue sadar gue udah ngelupain apa yang menjadi kebiasaannya. Tapi Lingga? Gue gak cukup habis pikir sama sikapnya ke Nalula kemaren. Apa lagi dia juga baru putus sama Lo kan, Rev?”
        “Menurut lo, apa yang bikin gue mau jadi pacarnya Lingga dulu?” Balas Reva. “Semata-mata bukan karena gue pengen miliki Lingga seutuhnya. Tapi karena gue pengen ngerasain perasaan tulus yang dimiliki Lingga. Dan Lo pikir apa alasan gue mutusin Lingga?” Lanjut Reva lagi. “Karena gue udah gak sayang sama Lingga? Salah. Tapi karena gue terlalu sayang ke Lingga.”
        “Maksud lo?”
        “Gue minta, jangan salahin atas semua sikap Lingga ke Nalula. Jujur gue ngerasa Lingga jatuh cinta ke Nalula.”
        “Jatuh cinta? Secepat itu? Gila apa?” Riva tak habisa pikir dengan perkataan kembarannya.
        “Riv, bukan secepat itu. Tapi gue ngerasa ada masa lalu antara mereka.”
        “Cukup!” Ilan melerai. “Gue gak mau denger apa-apa lagi.” Katanya sambil pergi meninggalkan Reva dan Riva.
        Reva hanya memandang kasihan setiap langkah Ilan. Ia pun tak ingin menyalahkan Ilan tentang sikapnya.

@@@

“Kita harus ngedapetin pelatih baru.” Ujar Ilan disela-sela rapat dadakan yang dilakukan anak-anak klub sepak bola Rosengard yang juga masih berada di tengah lapangan.
        “Gue setuju usul Ilan.” Ujar Lingga. “Tapi masalahnya, pihak sekolah udah gak mau tau tentang maslah kita.”
        Mereka yang baru saja selesai latihan, gak ada yang sanggup ngerespon omongan Ilan atau pun Lingga. Masing-masing sibuk mengurusi diri sendiri yang hampir dehidrasi seusai latihan.
Sampai akhirnya, Danu menyeruak bangkit di antara mereka. “Sebelumnya gue minta maaf sama kalian.” Danu memulai pembicaraan. “Gue gak ada maksud buat ngeduluin. Tapi kemaren gue sempet ketemu dan sedikit ngobrol dengan Kharis. Ternyata dia masih peduli dengan kita. Dan dia pun nyuruh kita ngambil tindakan yang sebenernya cukup nekat. Yaitu kita harus cari sendiri siapa yang layak kita jadikan pelatih untuk turnamen besok.”
“Bener, Dan. Kita emang harus nekat.” Kata Ilan menyetujui.
“Berarti kita harus bener-bener berani ngelepas diri dari pihak sekolah.” Lanjut Danu lagi.
Hampir seluruh punggawa Rosengard saling pandangan. Kurang lebih, mereka ikut mikir lah sama apa yang sedang dibahas Danu, Ilan dan Lingga.
“Udahlah. Minta aja Kharis buat jadi pelatih kita.” Celetuk Garra. Udah pasrah banget deh tuh orang tampangnya.
“Gue juga awalnya mikir gitu. Tapi terserah gimana yang lainnya juga.”
“Tapi kan Kharis baru aja dikeluarin dari kepengurusan.” Kali ini salah satu punggawa Rosengard yang lain, yaitu Bintang.
Lingga berdiri untuk meluruskan perkataan Bintang ataupun Danu. “Yang diomongin Bintang emang gak salah. Tapi maksud Danu, kita mau cari di mana lagi? Semua juga udah pasti tau gimana kapasitas Kharis sebagai asisten pelatih tahun kemaren. Kharis juga udah tau karakter permainan kita masing-masing. Jadi kita gak perlu memulai semua dari awal.
“Sekarang tinggal gimana kita aja untuk berani ambil resiko bikin kepengurusan baru tanpa ada campur tangan pihak sekolah.” Ilan menambahkan.
“Tetep aja, Lan. Kita juga harus nyari beberapa orang lagi untuk ngisi kekosongan posisi kepengurusan.” Pertimbangan lagi dari anggota yang lain, Hexa. “Kharis gak bisa kerja sendirian, di abutuh orang buat jadi asistennya. Belum lagi, menejer, tim medis dan masih banyak lagi hal lain yang gak bisa sepelein juga keberadaannya.”
“Gue juga mikirin semuanya. Tapi gue gak bisa mutusin itu semua sendiri. Karena gue mau kita semua terlibat di sini.” Danu berkata lagi.
“Gak bisa gitu juga lah, Dan. Kita gak mungkin ngejalanin dua karakter sekaligus.” Masih banyak kendala dari sana-sini. Dan kali ini datang dari Irham.
“Gue gak akan ngelakuin itu. Kalian tenang aja.” Danu belum kehabisan jawaban. “Dan gue bakal ngebahas ini lagi sama kalian besok sepulang sekolah di rumah Kharis. Soalnya gak memungkinkan untuk hari ini. Gue liat kalian pasti capek banget. Lagian, sekarang juga udah sore.”
“Gimana ceritanya gak keliatan capek, Dan? Napas udah pada setengah gitu.” Pangakuan jujur yang dilontarkan Tegar tadi menambah kehangatan yang terjalin dari derai tawa mereka.
Sepakbola SMA Rosengard mungkin tak sesempurna klub sepakbola yang lain. Gak ada pelatih yang bisa membimbing dan memberi masukan kepada mereka. Tapi mereka punya rasa persaudaraan yang tinggi. Dan itu kunci dari kekompakkan mereka. Terlihat sore ini hampir seluruh punggawanya hadir. Mulai dari wajah-wajah baru, sampai teman seperjuangan Lingga dan Garra.
“Besok gue tunggu langsung di rumah Kharis ya.” Ujar Lingga sebelum mereka mengakhiri jam latihan.
Satu per satu diantara mereka pun mulai meninggalkan lapangan. Hingga hanya menyisakan Ilan, Danu dan Lingga.
“Kayaknya gue tau deh siapa yang pantes buat dijadiin menejer sama tim medis.” Sebut Lingga kala mereka duduk di tepi lapangan sambil membereskan ransel mereka.
Sesaat Ilan juga Danu menghentikan aktivitasnya. Seolah mengerti dari cara pandang Danu dan Ilan, Lingga menunjukkan sesuatu dari arah belakang kedua sahabatnya itu dengan menunjuk menggunakan dagunya. Dengan kompak Ilan dan Danu menoleh kebelakang. Tampak dua orang cewek berjalan ke arah mereka. Yang satu rambut lurusnya yang panjang dibiarkan terurai. Dan yang satu lagi, mengikat satu rambutnya kebelakang. Siapa lagi kalau bukan si kembar Riva dan Reva.
Baik Lingga, Ilan sampai Danu salin pandang satu sama lain. Senyum-senyum sambil manggut-manggut gak jelas. Udah pasti sikap aneh mereka telah memancing rasa penasaran Reva dan Riva.
“Napa lo semua?” Tanya Riva tegas.
Mereka yang ditanya bukannya ngejawab malah berdiri dan seolah mengepung dua anak kembar ini ditengahnya. Dan tetap dengan senyuman yang membuat takut Riva dan Reva.
“Lan.” Riva seoalah meminta penjelasan yang ditujukan langsung kepada Ilan.
“Sorry ya, Riv. Ini keputusan bersama.” Danu yang ngejawab. Masih diiringi dengan senyuman yang membuat Riva dan Reva saling pandang.

@@@

        “Apa?!” Pekik Riva dan Reva kompak ketika mereka berada di tengah-tengah punggawa sepakbola SMA Rosengard yang semuanya cowok.
        Seperti janji mereka kemarin. Sepulang sekolah berkumpul di rumah Khais untuk membahas perihal kepengurusan Rosengard.
        “Lo semua yang bener aja ngejadiin gue menejer sepakbola! Gue gak tau apa-apa. Kalo basket, baru gue ngerti.” Sergah Riva begitu tau tujuan dirinya di ajak kesana. “Kalo Reva mending. Dia dulu pernah ikutan PMR.”
        “Tapi itu ka dulu waktu gue masih SMP.” Reva menepis omongan Riva.
        “Lo gak perlu belajar apa-apa tentang sepakbola. Sama aja kayak di basket. Lo Cuma perlu ngatur jadwal sama porsi latihan aja dan ngurusin peralatan yang kita butihin pas tanding.” Lingga yang duduk ngedeprok di lantai mulai anagkat bicara. “Dan kalo Reva Cuma nanagin P3K nya aja kok.” Lanjutnya.
        Kharis keluar menyeruak dari arah dalam. “Emang gak ada omongan sebelumnya dari anak-anak?” Jelas pertanyaannya untuk Reva dan Riva.
        “Sama sekali nggak!” Riva ketus menjawab.
“Danu sendiri mana?” Kharis celingukan nyariin sosok Danu.
        “Danu lagi ikut kejurda silat.” Ujar Ilan. “Sore ini dia turun di partai semi final. Makanya gak bisa ikut kesini dulu.”
        Kharis mengangguk mengerti. Ia tampak tak keberatan dengan keterangan dari Ilan.
        “Tapi kakak siap kan buat ngelatih kita lagi?” Tanya Bintang memastikan keadaan.
        Kharis tampak berfikir. Ia masih butuh pertimbangan. Anak-anak terlihat tegang dibuatnya. Sampai akhirnya… “Gue siap asal kalian juga siap untuk ikut turnamen.”
        Semua bersorak menyambut kabar baik dari Kharis. Kecuali Riva.
        “Kalian berdua juga siap kan?” kali ini Lingga ingin memastikan kesiapan Reva dan Riva.
        Dengan penuh semangat, Reva mengangguk. “Gue siap kok.”
        Riva menyenggol tangan Reva yang duduk disebelahnya. “Tapi gue nggak.”
        Kecewa lagi.
        “Ayolah, Riv.” Reva mencoba merayu.
        Mata Riva tertuju pada Ilan yang duduk diseberangnya. Tapi begitu tau Ilan menyadarinya, Riva langsung beralih.
        “Demi Ilan deh.” Celetuk seseorang. Tapi entahlah itu siapa.
        “Oke.” Kata Riva akhirnya. Membuat suasana kembali riuh. “Tapi gue ngelakuin ini demi sekolah kita.” Lanjutnya.
        “Yang penting lo nya mau. Terserahlah lo ngelakuinnya demi siapa? Demi Ilan boleh. Demi Reva boleh. Demikian boleh. Demi gue juga boleh.” Celetuk tegar sekenanya. Ampe bikin anak-anak rusuh mau ngacak-ngacak rambutnya.
        Hampir sama sih. Lingga juga ikutan ngaca-ngacak rambutnya. Cuma aja nggak ampe bikin yang lain rusuh.
        “Waaahhh…! Mulai nih penyakit.” Hexa yang paling awal menyadari sikap aneh Lingga.
        “Penyakit apa?” Kharis penasaran. Tapi tampangnya juga bingung.
        “Biasanya Lingga kalo udah mulai ngacak-ngacak rambutnya, pasti ada sesuatu yang dia lupa.” Garra yang menjawab rasa penasaran Kharis.
        “Lo lupa apaan, Ga?” Gantian Irham yang bertanya.
        “Di mana-mana kalo orang lupa itu artinya gak inget.” Bintang mengomentari.
        “Ya tapi apa? Ada hubungannya dengan sepakbola kita?” Kharis mencoba ngebantu Lingga untuk mengingat sesuatu. Kesannya seolah Lingga terkena amnesia.
        “Nah, itu dia kak. Gue lupa apaan?”
        “Yee… tetep aja kan ujung-ujungnya lupa?” balas Tegar.
        “Tapi kan masih ada yang gue inget.” Lingga masih aja gak mau terlihat kalah.
        “Ya udahlah gak usah dibahas dulu.” Kharis melerai kemungkinan terburuk yang akan terjadi setelah ini.
        “Kita masih punya satu kendala lagi.” Ujar Ilan. Dan semua kembali diam. “Kita belum nemuin orang yang bisa jadi asisten pelatih.”
        Semua tampak berfikir. Tak terkecuali Riva dan Reva yang namanya kini tercantum pada daftar kepengurusan klub sepakbola SMA Rosengard.
        “Kalo boleh usul. Gue mau ngajuin satu nama.” Sejenak focus beralih ke Ilan.
        “Siapa?” Seru beberapa orang hampir bersamaan.
        “Nalula.”
        “Iya.. iya.. gue setuju.” Sorak Reva yang heboh sendirian.
        “Gitu donk, Riv. Dukung pacar sekali-kali.” Ujar Tegar yang sepertinya salah orang.
        “Gue Riva.” Ujar Riva yang sejak tadi duduk di samping Reva.
        Tegar nyengir. “Abis lo berdua mirip sih.”

@@@

        Sore harinya, nampak Kharis tengah menonton tayangan pertandingan sepakbola Indonesia. Bersamaan dengan munculnya Nalula yang langsung ambil posisi duduk di samping Kharis. Ia masih mengenakan seragam silat. Kharis yang menoleh hampir terkejut dengan sedikit luka memar yang menghiasi wajah Nalula.
        “Heh! Cantik-cantik kok mukanya babak belur gitu sih?” Ledeknya.
        Nalula hanya ngelirik. “Udah deh, jangan rese.” Keluhnya.
        Kharis hanya tersenyum menanggapinya.
        “Mau gue masakin apa?” Tanya Nalula mengalihkan pembicaraan sebelumnya.
        “Hmm.” Kharis tampak berfikir. “Gak usah deh. Kita makan diluar aja yuk.”
        Nalula langsung berdiri. “Nggak.” Tolaknya. “Males gue. Ntar ketauan cewek lo, lagi.” Nalula sedikit menyindir sambil berjalan meninggalkan Kharis.
        “Tapi kan lo adik gue.”
        Nalula yang telah berada di depan pintu kamar menghentikan langkahnya. “Tapi kan cewek lo gak mau tau!” tanpa ingin menunggu komentar dari Kharis, Nalula langsung masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu.
        “Ya udah. Kita pesen makanan dari luar aja.” Teriak Kharis.
        “TERSERAH.” Balas Nalula juga dengan teriakkan dari arah dalam kamarnya.
        Tak lama, Nalula keluar dari kamarnya. Kharis pun tengah sia di meja makan. Selama makan, mereka cukup lama saling diam. Sampai akhirnya, Kharis memulai pembicaraan.
        “Gimana Siliwangi?”
        “Apa nya yang gimana?” Nalula balik bertanya seraya menenggak minumannya. “Gue kan udah gak sekolah di sana.”
        “Tapi katanya dulu lo jadi asisten pelatih di sana ya?”
        “Kata siapa?”
        Mata Kharis mengawasi. Ia pun tersenyum. “Kata gue barusan.” Sesaat mereka saling diam. “Gue baru aja diangkat jadi pelatih sepakbola di Rosengard nih.”
        “Terus?”
        “Lo jadi asisten gue ya?” pintanya terus terang.
        Nalula berdiri seraya membawa piring kotornya ke tempat pencucian piring. “Cepet selesain makan lo. Biar piringnya bisa sekalian gue cuci.” Nalula seperti menghindari permintaan Kharis.        Tak begitu lama, Kharis pun membawa piring kotornya ke Nalula. ia sengaja berdiri berdekatan dengan Nalula. “Jawaban lo?” Tanya Kharis memastikan sambil setengah berbisik di telinga Nalula.
        “Nggak.”
        Kharis kembali tersenyum. “Gak nolak maksudnya?” Ledeknya sambil berjalan dan tak ingin Nalula meresponnya.
       
@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar