Senin, 20 Februari 2012

rosengard fc (part 5)


5.DIA PESAING GUE
                                             
Malam ini resepsi pernikahan Farlan, kakaknya Kharis dan juga Nalula. Acara yang diadakan di sebuah aula besar itu berlangsung cukup meriah. Kala itu Lingga tampil menghibur bersama band barunya. Tapi kali ini mereka terlihat lebih baik dari pada ketika baru terbentuk beberapa hari lalu.
        Kharis membiarkan Nalula berjalan dibelakangnya. “Kak, tungguin donk.” Teriak Nalula yang terlihat ribet sendiri dengan rok batik yang dikenakannya bersama kebaya hitam berlengan pendek. Rambutnya yang panjang tergerai berkibar mengiringi langkahnya.
        Kharis berhenti lalu berbalik. “Lagian, lo tuh ribet tau gak sih?!” Nada bicaranya terdengar sewot.
        Nalula hanya tercengang mendengarnya. Lalu dengan cueknya, Kharis kembali berbalik dan kembali meninggalkan Nalula yang masih berusaha mengejarnya dengan sedikit mengangkat roknya.
        Dengan penuh perjuangan, akhirnya Nalula sampai juga di hadapan Farlan dan istri yang mengenakan pakaian adat Sunda modern. Tapi sosok Kharis malah tak di temukannya.
        “Nal, kak Farlan di sini.” Tegur kakaknya yang merasa tak di perhatikan Nalula.
        Nalula masih celingukan nyari Kharis. “Tadi Kharis kesini gak kak?” Tanya Nalula dengan polosnya.
        Sadar pertanyaannya tak direspon, Nalula menoleh. Ia mendapati sepasang pengantin baru ini hanya tersenyum kepadanya. Nalula jadi ngerasa sedikit tak enak.
        Nalula merentangkan tangannya. “Kak Gita.” Lalu memeluk kakak iparnya. “Jagain kakak aku ya. Kalo dia nakal, bilang ke Nalula.” Ucapnya dengan nada sedikit manja. “Tapi kalo kak Farlan susah dibangunin, pencet aja idungnya.” Sambung Nalula.
        “Eh… Ngadu apaan tuh?” Farlan menarik rambut Nalula yang tergerai.
        Nalula cuma nyengir. Lalu gantian memeluk kakaknya.
        Lingga datang dan langsung menghampiri Gita. “Halo cantik.” Ucapnya pada Gita.
        “Halo juga tampan.” Gita membalas ucapan Lingga.
        Lingga tersenyum. Agak kegeeran juga sih digituin. Keliatan dari tampangnya. Lingga menunjukkan sesuatu dari balik punggungnya. Setangkai bunga mawar putih. “Bunga cantik untuk kak Gita yang cantik.” Lingga menyodorkan bunga yang berada di genggamannya.
        Nalula memperhatikan apa yang dilakukan Lingga. Tapi lebih tepatnya memperhatikan bunga mawar yang kini telah berada di tangan Gita. Tanpa sadar Nalula mencengkeram lengan Farlan. Terlebih saat Gita menerima bunga pemberian Lingga.
        Gita yang menyadari keanehan sikap Nalula hanya tersenyum. “Nal. Ini tuh ade sepupu kak Gita.” Ucapnya menjelaskan. “Kita emang deket banget. Soalnya kita sama-sama anak tunggal.” Lalu gantian menengok ke Lingga. “Nalula itu adenya Farlan.” Ujarnya lagi.
        Lingga mengulurkan tangannya ke Nalula. “Lingga.” Ucapnya penuh senyum.
        “Nalula.” Balasnya sambil meraih tangan Lingga.
        Dari tengah kerumunan tamu undangan, Kharis dapat dengan jelas memperhatikan semua kejadian antara Lingga dan Nalula. Ketika Nalula turun bersama Lingga pun, Kharis masih di sana. Matanya tak lepas dari sosok Nalula. Terlihat, Nalula dan Lingga udah mulai akrab. Keberadaan Kharis rasanya sudah tak diperhatikan Nalula. Sampai seorang cewek seumuran mereka mendekati Lingga, Kharis berbalik dan meninggalkan kerumunan.
        “Hai Lingga.” Ucap cewek itu sambil menyunggingkan senyumannya, tanpa mempedulikan keberadaan Nalula yang berdiri tepat di samping Lingga.
        “Oh hai…” Lingga tampak tak siap dengan keberadaan cewek itu yang cukup tiba-tiba. “Mytha.” Lingga terlihat cukup berfikir ketika menyebutkan nama cewek itu. “Malam ini kamu cantik.” Lingga dapat menguasai kegugupannya.
        Cewek itu hanya tersenyum tersipu.
        Nalula sebenernya nahan ketawa ngeliat ekspresi Lingga. Dan rasanya kata-kata pujian yang dilontarkan Lingga terdengar menjijikkan di telinga Nalula. Ia mengalihkan agar Lingga tak begitu memperhatikannya dengan sibuk sama makanan-makanan yang ada.
        Ternyata Kharis melangkah dengan cukup lambat. Karena Nalula kini mendapati sosoknya baru akan mendekati pintu keluar. Nalula sangat ingin langsung mengejar Kharis. Tapi ia sadar kini dirinya tengah bersama Lingga. Rasanya tak sopan meninggalkan Lingga begitu saja tanpa ada basa-basi sebelumnya. Begitu berbalik, Nalula dikejutkan oleh sesosok cewek yang kini bersama Lingga. Itu bukan cewek yang tadi. Artinya, Lingga bersama cewek yang berbeda.
        “Lingga.” Panggilnya.
        “Kenapa, Nal?” Lingga hanya menoleh sesaat.
        “Gue tinggal dulu ya.” Nalula berkata hati-hati.
        Belum sempat Lingga menjawab, seorang cewek—seperti yang tadi, seumuran, dan cantik—hadir di antara Lingga dan cewek yang sebelumnya.
        “Hai Lingga.” Sapanya.
        “Ya udah, Nal.” Lingga menyempatkan sejenak untuk merespon Nalula. Lalu kembali focus sama dua cewek yang kini bersamanya. Ketika Nalula pergi pun mungkin Lingga tak menyadarinya.

@@@

        Dengan penuh perjuangan, Nalula akhirnya nyampe ketempat parkiran mobil. Ia langsung menghampiri mobil yang kaca pintu samping kursi pengmudinya terbuka. Ia menemukan sosok Kharis di sana yang melipat tangannya di depan dada dan memejamkan mata. Nalula membuka pintu mobil yang tak dikunci oleh Kharis. Kharis pun terbangun dan merubah posisi duduknya menghadap Nalula.
        “Udah ngobrolnya?” Tanya Kharis dengan nada bicara yang kurang bersahabat.
        “Udah kok.” Nalula meresponnya dengan santai. “Ternyata Lingga asik juga di ajak ngobrol.” Ujarnya memuji Lingga.
        “Gue cuma mau peringatin lo aja.” Kharis berbicara sambil memandang berkeliling. “Hati-hati sama Lingga.”
        Nalula tersenyum. Seolah apa yang dikatakan Kharis bukan sesuatu yang bisa mengagetkannya. “Yaa… Gue tau kok. Lagian udah ketebak juga lagi.”
        “Lo belom tau aja.”
        “Yaelah… Berapa sih mantannya?” Nalula melipat tangannya. “Sepuluh? Lima belas? Berapa lama pacaran tersingkatnya?” Rentetan pertanyaan yang dilontarkannya seolah menyudutkan Kharis.
        Kharis hanya tercengang.
        Ada seseorang berjalan kearah mereka. “Gue tau kok.” Ucapnya. Kharis dan Nalula menoleh bersamaan. Orang itu semakin dekat. Ternyata itu Ilan.
        “Emangnya lo mau nyaingin Lingga sama siapa, Nal?” Tanya Ilan ketika ia telah berada di samping Nalula.
        “Kayak gak tau aja? Siapa lagi kalo bukan seorang Zagar Pamungkas.”
        “Lo berdua udah saling kenal?” Tanya Kharis yang sedikit curiga.
        “Iya. Kita temenan udah dari SMP.” Ilan yang menjawab. “Eiya, Nal. Masih penasaran gak sama pertanyaan lo tadi?”
        “Nggak juga sih, Lan. Tadi juga nanya gitu gak sengaja. Gak ampe bikin penasaran.”
        “Tapi kalo menurut lo, siapa yang lebih playboy?” Ilan yang penasaran sepertinya.
        “Zagar anak SMA Mandala yang adenya Bagas itu kan?” Kharis ikutan.
        Ilan mengangguk. Nalula hanya diam.
        “Tapi masa sih? Kalo adenya Bagas itu playboy?” Kharis kurang yakin. “Perasaan yang gue liat, tuh anak gak macem-macem deh.” Tebaknya.
        “Mending kita buktiin.” Tantang Ilan. “Lingga ampe detik ini udah sekitar enam belas kali punya pacar. Tersingkat satu minggu. Terlamanya udah hampir enam bulan.” Tutur Ilan.
        “Berarti masih lebih setia dari pada Zagar. Delapan belas kali pacaran. Tersingkat dua hari, dan yang terlama hanya 42 hari.” Ucap Nalula penuh semangat.
        Kharis tersenyum maksa. “Udah kayak mau ada pertandingan tinju aja.”

@@@

        Jam tangan sport Kharis udah nunjukin pukul 11 malam. Tapi Kharis mengendarai mobilnya tidak langsung menuju rumah. Nalula menyadarinya begitu Kharis membawa mobilnya berbelok di persimpangan jalan.
        “Bukannya kita harusnya lurus, ya?” komentar Nalula.
        Tapi Kharis tak merespon pertanyaan Nalula. Ia tetap berkonsentrasi menyetir. Setelah beberapa lama berkendara, Kharis tampak memasuki pelataran parkir sebuah rumah sakit.
        “Kok kita kesini? Siapa yang sakit?”
        Kharis masih tetap bungkam. Begitu keluar dari mobil, Nalula tak mengikutinya. Sampai Kharis membukakan pintu untuknya.
        “Nal ikut turun?” lagi-lagi Nalula bertanya.
        Kharis hanya mengangguk pelan. Meski masih sangat membingungkan, Nalula pun mengikuti Kharis tanpa bertanya ini itu lagi. Karena percuma. Nalula gak akan mendapatkan jawabannya.
        Mereka berjalan beriringan menelusuri koridor yang udah sepi. Hanya ada beberapa perawat yang terlihat. Nalula mengikuti Kharis masuk ke dalam lift. Kharis menekan angka 4. Suasana terasa semakin tegang bagi Nalula. Kharis sama sekali tak mau bersuara. Di tambah lagi, hanya ada mereka berdua di sana. Akhirnya lift terbuka. Sedikit melegakan untuk Nalula. Tapi itu hanya berlangsung sesaat. Nalula harus kembali mengejar Kharis yang berjalan lebih dulu.
        Di ujung koridor, Kharis berbelok. Dan nyaris saja Nalula kehilangan sosok Kharis. Tapi untungnya Kharis berhenti di meja informasi.  Sedikit berbicara dengan penjaga di sana. Sialnya, baru saja Nalula berhenti untuk sekedar mengatur napas, Kharis udah kembali melangkahkan kakinya.
        Kali ini Kharis benar-benar berhenti. Tepat di depan sebuah kamar dengan nomor 423. Kharis membuka pintu, lalu masuk ke dalamnya. Nalula yang panik, langsung mempercepat langkahnya. Begitu sampai, Nalula membuka pintu dan sedikit mengintip situasi di dalamnya. Sepi. Hanya ada Kharis dan seorang pasien yang terbaring di atas tempat tidur.
        Nalula memberanikan diri untuk melangkah masuk. Berdiri di samping Kharis yang udah duduk di samping pasien itu yang sebenarnya adalah Diaz.
        “Persaingan nggak hanya ada di kompetisi atau pun sebuah pertandingan.” Kharis berucap tanpa menoleh ke Nalula. “Tapi dalam urusan cinta pun, itu semua bisa terjadi.”
        Cukup aneh di telinga Nalula mendengar Kharis tiba-tiba membicarakan tentang cinta.
        “Memang hampir sama.” Nalula meresponnya. “Hanya aja bedanya, kalau turnamen memenangkannya dengan cara saling mengalahkan.”
        Kharis mendengarkan tiap kata yang terlontar dari bibir Nalula.
        “Tapi cinta, memilih siapa yang pantas menjadi juaranya. Gak peduli berapa lawan yang harus di singkirkan.”
        Kharis tersenyum kagum melihat Nalula. ia tak menyangka Nalula meresponnya dengan begitu dalam.
        Nalula memperhatikan sosok Diaz yang terpejam. Yang dipikirkan Nalula saat itu adalah ‘cowok ini cakep’. Meski sayang, Diaz sedang sakit. “Eiya… Siapa tuh kak?”
        “Gue punya cewek. Namanya Vindhya.”
        Nalula bingung mendengarkan jawaban Kharis bukan seperti yang diharapkannya.
        “Diaz itu saingan gue.”
        Kali ini Nalula mengangguk.
        “Emang lo ngerti? Gue kan baru cerita segitu doank.” Kharis meremehkan. “Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan.”
        “Itu kan hanya pemikiran awal gue aja yang nebak kalo nih cowok suka sama cewek lo.” Nalula membela diri. “Ampe sekarang.”
        “Kenapa lo gak mikir kalo Diaz sama gue pernah saingan buat ngedapetin Vindhya?” Kharis menantang Nalula untuk kembali berargumen.
        “Sempet mikir kayak gitu juga.” Nalula membenarkan pertanyaan Kharis. “Tapi tadi kan lo bilangnya kalo nih cowok saingan lo. Itu bisa kapan aja. Kecuali kalo lo bilang ‘dulu dia saingan sama gue’, beda lagi ceritanya.”
        Nalula memang tak bisa di remehkan begitu saja. “Pinter juga lo.” Akhirnya Kharis mengakuinya.
        Perlahan terlihat Diaz mulai membuka matanya. Meski tak keras, tapi suara Kharis dan Nalula cukup untuk membangunkan Diaz. Sesuatu pada diri Diaz menarik perhatian Nalula, yaitu matanya. Diaz memandang Nalula dan Kharis bergantian.
        “Maaf ya, Di.” Kata Kharis. “Kita udah ganggu lo istirahat.”
        Belum sempat Diaz membalas ucapan Kharis, Nalula meninggalkan mereka berdua di dalam kamar. Nalula tidak kemana-mana. Ia menyandarkan badannya di tembok samping pintu kamar Diaz. Gak berapa lama, Kharis menyusulnya.
        “Nal, lo kenapa?” Kharis terdengar panik.
        “Matanya Diaz.” Hanya itu jawabannya.
        Kepanikkan Kharis bertambah ketika air mata Nalula mulai mengambang tertahan. “Kenapa sama matanya Diaz?”
        Nalula tak sanggup menahan air matanya lebih lama lagi. Yang bisa di lakukan Kharis adalah hanya mendekap Nalula di dadanya.
        “Mata Diaz mirip papa.” Suara Nalula terdengar jelas di telinga Kharis meski berbisik.

@@@

Nalula yang baru saja sampai di kelasnya, dikejutkan oleh sebuah tas ransel yang tergeletak di samping tempat duduknya. Karena selama beberapa hari ia baru masuk di kelas ini, ia masih duduk sendiri. Atau kadang sesekali Lingga yang iseng duduk di sebelahnya. Tapi yang pasti tas itu bukan milik Lingga. Karena ia mengenali tas yang berada di belakang mejanya itu milik Lingga.
        Dari jam pertama di mulai, sampai sekarang yang sudah memasuki waktu istirahat, baik Lingga atau pun si pemilik tas itu tidak muncul di kelas. Dan akhirnya Ilan tiba-tiba datang dan langsung duduk di samping Nalula. Novel yang sejak tadi di bacanya, dibiarkan begitu saja.
        “Elo…?” ujar Nalula.
        “Iya…” Ilan menjawab santai. “Kenapa? Lo gak tiba-tiba amnesia kan?” Tanya Ilan sekenanya. “Terus lupa sama gue?”
        “Jadi elo yang duduk di sini?” Nalula balik bertanya.
        “Bukan. Ini sih tas nya Danu. Lagian, kelas gue tuh di bawah. Dua IPS satu.”
        “Gue pikir.” Ujar Nalula pelan. Nyaris tak terdengar malah. Lalu melanjutkan membaca novelnya.
        Nalula dan Ilan saling diam. Cukup kurang nyaman suasananya. Makanya, tanpa pikir panjang, Ilan menyambar paksa novel yang di pegang Nalula.
        “Apa-apaan sih lo, Lan?” Nalula sewot.
        “Ayo ikut gue.” Ucap Ilan. Tanpa menunggu persetujuan, ia menarik paksa tangan Nalula. Beberapa anak di sana menatap curiga atas kelakuan Ilan. Tapi baik Ilan atau pun Nalula, tak ada yang begitu mempedulikan. Ternyata Ilan membawa Nalula ke lapangan basket sekolah. Begitu sampe tempat tujuan, Ilan melepas tangan Nalula.
        “Kenapa sih lo? Maen tarik tangan orang sembarangan. Udah kayak nyeret kambing.” Oceh Nalula yang rada sedikit kesal dengan perilaku Ilan.
        “Nal…” Ilan teriak. “Tangkep…”
        “Hah…!” Nalula agak kaget. Sebuah bola basket melayang ke arahnya. Dan… hop… Beruntung Nalula bisa menangkap bola tepat di pelukkannya. “Hati-hati donk, Lan.” Tegur Nalula. “Udah nyeret orang seenaknya. Sekarang, ngelempar bola tanpa ada rasa berdosa. Untung gue mantan kipper.” Ujar Nalula yang masih terdengar kesal tapi sedikit narsis.
        “Iya deh maaf.” Ilan mengakui kesalahannya sambil mendekati Nalula. meraih bola di tangan Nalula, lalu memantul-mentulkannya ke bawah. “Gue kan Cuma minta ajarin main basket.” Kata Ilan sambil melempar bola ke ring. Namun sayang, tembakannya meleset dari sasaran.
        Nalula tercengang mendengar pengakuan Ilan. “Lo gak lagi keabisan obat kan, Lan?” Nalula bertanya sekenanya.
        Ilan menoleh. “Gue serius, Nal.” Lalu beralih ke tepi lapangan untuk memungut bola.
“Gue juga serius, Lan. Lo salah orang kalo minta ajarin basket sama gue.”
“Lo kan deket sama Zagar.” Ilan mengoper bola ke Nalula yang langsung dapat di tangkapnya. “Masa sih, Zagar sama sekali gak ngajarin lo main basket?”
“Iya gue tau.” Nalula mengembalikan bola ke Ilan. “Tapi, sejak kapan Zagar bisa main basket?”      
Ilan diam. “Emang ya?” katanya polos. “Tapi bukannya lo pernah latihan bareng?”
“Kalo di basket ada posisi kipper, berarti lo bener.” Balas Nalula yang langsung pergi meninggalkan Ilan.
Ilan langsung mengejar Nalula sampai kantin. Nalula duduk di salah satu meja kosong. Ilan pun mengikuti dengan duduk di seberang Nalula.
“Gue kan Cuma mau belajar aja, Nal.” Ilan mengakui. “Apa itu salah?”
“Gue gak nyalahin, Lan. Tapi apa alasan lo untuk itu? Lo udah bosen main bola?”
“Bukan, Nal.”
Nalula menunggu karena Ilan langsung diam.
“Tapi…” Ilan berhenti lalu melanjutkan. “…karena cewek gue main basket.”
“Hah…!” Mata Nalula terlihat melebar. “Lo ada-ada aja sih. Pake acara mau main basket segala Cuma gara-gara cewek lo anak basket.” Nalula terdengar sedikit tertawa.
“Yaa… Abis…” Ilan memilih-milih kata untuk mengakui. “Coba lo pikir deh. Tim basket Rosengard tuh paling banyak dihuni sama cowok. Udah gitu, Riva kalo abis latihan basket yang diomongin pasti basket.” Ilan membela diri.
“Ya iyalah, Lan. Gak mungkin juga kan kalo lo baru abis nonton Harry Potter tapi nyeritain ke gue nya tentang gimana seorang Isabella Swan jatuh cinta sama Eddward Cullen yang ternyata seorang Vampire.” Nalula gak mau kalah.
“Tapi gak Cuma latihannya aja, Nal.” Ilan bukan hanya sampai di situ. “Pelaku utamanya juga di bahas.”   
Nalula menghela napas. Belum sempat ia membalas kata-kata Ilan lagi, seorang cewek datang dan langsung ambil posisi duduk di samping Ilan.
“Gue denger lagi ngomongin film ‘twilight’ sama ‘harry potter’ ya?” kata cewek itu. “Ikutan donk.”
“Nggak ko, Rev. Tadi tuh Cuma perumpamaan aja.” Jawab Ilan. “Tumben nyamperin gue? Riva mana?” Tanya Ilan setelah beberapa saat.
“Emang lo gak ketipu?” tuh cewek balik bertanya.
Ilan ngelirik, lalu menggeleng. “Termasuk…” Ilan menarik ikat rambut Reva hingga rambutnya tergerai.
Nalula sendiri hanya senyum-senyum sendiri menanggapi tingkah Ilan.
“Lo juga gak mungkin tukeran gelang sama Riva kan?” Lanjut Ilan lagi perihal gelang bertuliskan nama ‘REVA’ di tangan kirinya.
Reva Cuma nyengir karena tau rencananya tak berhasil. “Iya gue ngaku. Gue bukan Riva. Tapi Reva. R-E-V-A. Jelas?” sampai-sampai Reva menjabarkan tiap abjad pada namanya.
Ilan ketawa geli mendengar pengakuan Reva.
“Gue Cuma gak mau aja lo nyakitin perasaan ade gue.” Reva terdengar serius.
Ilan langsung tersadar dengan perkataan Reva, karena masih ada Nalula di depannya. “Iya, gue ngerti maksud lo. Lagian dia tuh temen gue waktu masih di Bandung. Riva juga kenal kok. Mereka kan sekelas.” Jelas Ilan. “Namanya Nalula.” Lanjutnya memperkenalkan Nalula pada Reva.
Nalula dan Reva saling melempar pandang dan saling membalas senyum.
“Dan kalo yang ini…” Ilan menyentuh pundak Reva. “…calon kakak ipar gue.” Kata Ilan sambil nyengir. “Lo jangan sampe ketuker ya sama Riva.” Ilan memperingatkan.
“Seru juga ya punya pacar kembar.” Komentar Nalula. tidak jelas itu menyindir atau mendukung. “Tapi, dulu pernah ketuker gak tuh?” Pertanyaan iseng terlontar dari mulut Nalula.
“Pastinya, Nal.” Reva yang ngejawab. “Apa lagi dulu waktu masih pedekate.” Diiringi dengan tawanya. “Untung aja pas nembak gak ampe salah orang.”
“Tapi kalo ampe kejadian, gue gak kebayang deh mukanya Ilan kayak apa?” Nalula masih melanjutkan.
“Terus aja lo berdua.” Ilan mulai kesal dengan perlakuan Reva dan Nalula.
Bukannya mereda, tawa Reva semakin menjadi.
“Ngetawain apa sih? Seru banget kayaknya?”
Ilan, Nalula dan Reva mendongak kea rah sumber suara. Dan kali ini tawa Reva benar-benar berhenti mendengar suara Lingga yang tiba-tiba muncul dan langsung duduk di kursi samping Nalula.
“Gak ada.” jawab Reva enteng.
Lingga mengangguk pelan. “Eiya, Riv. Kok gak sama Reva? Kemana tuh anak?” Tanya Lingga.
Reva, Ilan dan begitu juga Nalula dibuat tercengang dengan pertanyaan Lingga. Gimana nggak, Lingga menyangka kalau Reva itu Riva.
Dengan sedikit mengejutkan, Reva berdiri. “Sorry, gak bisa lama-lama. Gue ada urusan.” Tanpa menunggu persetujuan siapapun, Reva meninggalkan mejanya tepat ketika Riva datang.
Merasa ada sesuatu yang janggal, Riva tak langsung mengejar Reva. Ia masih di sana menunggu seseorang mejelaskan sesuatu padanya.
“Ga.” Panggil Ilan. “Lo beneran belom bisa ngebedain mereka?” Ilan memastikan.
Lingga diam. Kali ini Riva tak lagi menunggu. Ia terlihat gemas menanggapi sikap Lingga dan langsung pergi dari sana. Begitu pula dengan Ilan yang langsung menyusul Riva.
Tinggal Nalula dan Lingga di sana.
“Jadi bener?”
Lingga menoleh. “Lo boleh percaya sama apa yang lo liat. Tapi, tapi gue bukan cowok bego yang gak bisa ngebedain hal kecil kayak gitu.” Lingga membela diri dengan meremehkan apa yang dipikirkan Nalula.
Nalula tersenyum meski tak tertuju pada Lingga. Menyebabkan sedikit gejolak pada diri Lingga yang ia sendiri tak mengerti artinya.
“Gue juga bukan cewek bego seperti apa yang lo liat.” Nalula membalas semua perkataan Lingga. “Gue udah nyadar sebelumnya kalo lo sempet berenti beberapa saat untuk memastikan yang ada di samping Ilan itu Riva atau Reva.”
Lingga masih menatap Nalula. Dan kali ini Nalula baru membalas tatapannya. “Gue yakin lo punya alasan untuk hal itu. Tapi gak penting juga untuk gue tau.” Selesai bicara, Nalula meninggalkan Lingga sendiri di sana. Sepanjang langkah Nalula, Lingga masih memperhatikannya. Tapi Nalula tetap berjalan dengan pasti hingga sosoknya tak terlihat oleh mata Lingga.

@@@

Lingga dan Reva berada di taman belakang sekolah. Mereka duduk di salah satu bangku yang ada di sana. Obrolan mereka terlihat cukup serius. Mungkin masih menyangkut hal yang tadi ketika di kantin.
Nalula sendiri berjalan kea rah yang sama. Meski sambil melangkah, ia terfokus dengan novel yang ada di tangannya.
Tempat Reva dan Lingga berada adalah salah satu tempat favoritnya juga untuk membaca novel. Beruntung Nalula langsung menyadari keberadaan mereka di sana lalu memutuskan untuk tidak melanjutkan langkahnya, dan berbalik untuk menjauhi tempat itu. Tapi mungkin ia tak tau kalau Lingga juga menyadari keberadaannya.
Nalula sudah tak terlihat, dan masalah antara dirinya dan Reva pun telah selesai. Lingga memutuskan untuk terlebih dahulu meninggalkan tempat itu.
Lingga langsung kembali ke kelas. Suasana sekolah mulai terlihat sepi. Dari luar jendela kelas, Lingga melihat Nalula berjalan keluar sambil menenteng tas nya. Di depan pintu, tubuh Lingga menghalangi Nalula. Mereka berhadapan dan saling membalas tatapan. Sorot mata Lingga terlihat tegas, tapi tak mengartikan apa-apa.
Di kejauhan, dari balik tubuh Lingga, Nalula melihat sosok Reva muncul dari arah tangga. Reva pun sempat memandang ke arahnya meski hanya sesaat. Dan langsung mengingatkannya tentang kejadian di taman belakang sekolah tadi.
Ia kembali menatap mata Lingga yang belum berubah sorotannya. “Sumpah demi apapun, gue gak tau apa-apa tentang kejadian di taman tadi.” Nalula membela diri dengan nada bicara yang datar namun menantang.
Lingga tak merespon.
Ilan muncul dan langsung berdiri di antara keduanya. “Kenapa lo berdua?”
Tak satupun antara Lingga dan Nalula yang merespon pertanyaan Ilan. Bahkan dengan lirikan sekalipun, tidak.
“Lingga.” Suara seseorang memanggil Lingga dari arah belakang Nalula.
Semua menoleh, termasuk Nalula. Cewek itu melangkah semakin dekat. Membuat Lingga beranjak ke dalam kelas dengan kembali tak melepas tatapannya ke Nalula. Riva muncul dari dalam seiring dengan langkah Lingga. Cewek tadi kini berada di antara mereka. Tak lama, Lingga kembali muncul sambil membawa tas nya. Sebelum benar-benar meninggalkan kelas bersama cewek tadi, Lingga masih menyempatkan diri melirik Nalula.
“Nal, ada apaan sih sebenernya?” Ilan tak bisa menyembunyikan lagi rasa penasarannya.
“Lingga sama Reva putus.” Riva yang menjawab.
“Terus kenapa sikapnya kayak gitu ke lo, Nal?”
Nalula mengangkat bahu. “Gue gak ngerti. Sedetik baik, sedetik kemudian dingin.” Lalu ia juga menceritakan tentang kejadian di taman belakang sekolah antara Lingga dan Reva. Hingga kemunculan cewek lain yang pergi bersama Lingga.
“Tapi cewek itu siapa, Riv?” Tanya Ilan lagi.
“Itu Tere, mantannya Danu.”
“Mantannya Lingga juga?” Nalula ikutan bertanya perihal cewek yang bersama Lingga tadi.
Ilan yang menggeleng. “Lingga gak pernah berhubungan lagi sama mantan-mantannya.” Dan Riva hanya membenarkan.
“Dan gue gak tau kenapa gue bisa sama orang seperti Lingga selam setengah tahun.”
Suara Reva yang muncul tiba-tiba mengejutkan Ilan, Riva dan Nalula. Anehnya setelah kejadian tadi, Reva justru terlihat sedikit lebih baik dari sebelumnya.

@@@

u> �*. � �OO =N in Reva buat Firant, gitu?” ujarnya, sambil tetap melakukan aktivitas yang kayaknya penting banget buat dilakuin.
Danu hanya mengangkat bahu menanggapinya. “Kakak sempet kesel sama kita?” Danu langsung beralih ke Kharis.
Kharis hanya tertawa menanggapi pertanyaan Danu. “Lo tau kan? Kalo sejak kelas dua SMA gue tinggal tanpa orang tua di Jakarta.” Kharis kembali berbalik ke hadapan dua orang anak didiknya. “Gue gak mau lagi kehilangan orang yang deket sama gue. Setelah nenek, serta orang tua gue meninggal.” Danu dan Lingga mendengarkan tanpa bisa berfikir apa-apa. “Cuma ini yang bisa gue lakuin untuk usaha kalian.” Lanjut Kharis yang sedikit memberi jeda pada kata-katanya. “Dan untuk… Diaz.”
Suasana kembali hening sejenak. Gak ada yang bicara, atapun saling tatap satu sama lain.      
Kharispun kembali menghela napas sebelum melanjutkan kata-katanya. “Ada berita untuk kalian.”
Kali ini Lingga dan Danu langsung merespon ucapan Kharis dengan menatapnya. Sambil menegakkan badan, mereka siap mendengarkan apa yang akan di katakan Kharis.  
“Jadi kalian gak kaget kalo denger ini dari orang lain.” Lagi. Kharis mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Mungkin hanya itu yang bisa menenangkannya saat ini. Karena kamar Danu yang terletak cukup tinggi, memungkinkan Kharis leluasa memandang langit yang luas dari balik jendela. “Mulai latihan besok, gue udah bukan asisten pelatih Rosengard lagi. Termasuk pelatih kepala. Karena akan ada yang gantiin gue dan pak Guntur.”
Lingga hanya diam mendengarkan. Tatapan matanya kosong. Lalu tersenyum. Pahit. “Apa mereka pikir, gampang buat balikin citra  sepakbola SMA Rosengard.” Lalu seenaknya berbaring di tempat tidur Danu. Posisi kakinya tetap menggantung ke lantai. “Turnamen gak lama lagi bakal di gelar. Kepengurusan di reshuffle. Target juara. GILA.” Lingga menggeleng.
Suasana sama sekali tak mengenakkan. Danu, Lingga, Kharis, diam.
Cukup lama mereka dalam keheningan. Sampai akhirnya, pintu kembali terbuka. Vindhya yang muncul dari baliknya. Terlihat dari senyumnya, Vindhya pasti membawa kabar baik.
“Kondisi Diaz semakin membaik.”
Lingga langsung bangkit meresponnya. Terlihat Kharis tersenyum samar. Tapi tidak untuk Danu. Ia tetap diam meski kelegaan tersirat dari raut wajahnya.
“Danu pulang sama Lingga.” Hanya itu kata-kata yang diucapkan Danu.
Tanpa buang waktu. Vindhya langsung mengizinkan, lalu keluar diikuti Kharis di belakangnya.
Danu menengok ke Lingga begitu Kharis menutup pintu dari luar.
“Hatinya gak lebih sakit dari senyumnya.” Kata Lingga kepada Danu.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar