Rabu, 01 Februari 2012

Rosengard FC (part 2)


2. CEWEK BERSERAGAM PRAMUKA
                                      
Seperti yang dibilang Bagas kemaren, mereka janjian untuk ketemuan di dermaga pantai pagi itu. Tapi yang baru terlihat hanyalah Bagas yang berdiri di tepi pagar dermaga dan memandang hampa lautan yang terekam dalam pandangannya. Tak berapa lama kemudian, derap langkah seseorang di belakangnya membuat Bagas menoleh.
        “Sendiri?” Tanya Bagas ketika Lingga berdiri di hadapannya. “Danu sama Diaz?”
        “Gue fikir udah sama lo?” Jawab Lingga. “Lo sendiri udah lama?”
        “Nggak juga sih.”
        Sesaat mereka saling diam. Bingung mau ngomong apa, males ngomong, atau tiba-tiba sariawan? Gak ada yang tau. Tapi akhirnya Bagas menyadari ,sesuatu yang di pegang Lingga sejak tadi. Kotak persegi yang dibungkus kertas kado bermotif bola sepak.
        “Eh, bawa apaan lo? Buat gue ya?”  Tanya Bagas dengan penuh percaya diri.
        “Yeee…! Pede dahsyat lo!” ditanya baik-baik, Lingga malah sewot. “Males banget gue ngasih lo kado.”
        “Gitu banget sih lo! Temen mau pindah, kasih sesuatu kek, buat kenang-kenangan gue di sana.” Bagas agak kecewa rupanya.
        Lingga memperhatikan ekspresi kekecewaan sahabatnya itu. Bukannya menghibur, nih anak malah ngetawain Bagas.
        Bagas ngelirik. “Yee… Ketawa lagi!”
        “Lagian, lo tuh lucu banget tau gak?”
        “Nggak!”
        “Yaudah.. yaudah.. gue minta maaf.” Biarpun udah minta maaf, tapi Lingga tak bisa menghentikan tawanya.
        Bagas mengalihkan pandangannya kembali ke lautan. Ia membiarkan Lingga mengabiskan tawanya. Sesaat suara tawa Lingga terdengar mereda. Bagas tertarik kembali melihat situasi. “Udah?” Tatapan Bagas belum terlihat ramah.
        “Gue gak segitunya juga kali.” Lingga emang udah gak sengakak tadi. Cuma, masih senyum-senyum  ngeselin. Soalnya nih anak rada nahan tawa juga. “Biarpun gue cuek, tapi gue tetep punya sesuatu lah buat lo.”
        Seperti yang sejak tadi di harapkan Bagas. Lingga menyerahkan bingkisan tadi. “Buat gue?” Bagas terlihat sumringah. Kayaknya tuh anak ngarep banget dapet kado.
        “Pegangin.”
        Senyum Bagas memudar. “Kirain!” Dengan berat hati, Bagas menerima bingkisan itu.
        Lingga melepas jaketnya, lalu menyerahkannya ke Bagas. “Ini juga.” Lingga menjelaskan sebelum Bagas punya pikiran lain. Sekali lagi, Lingga melepas kaos bola kebanggan SMA Rosengard bernomor punggung 8 yang penuh dengan tanda tangan  teman-temannya di klub, termasuk Diaz dan Danu. Hanya kaos putih polos yang tersisa di badannya.
        “Ngapain sih lo? Ribet amat?” Komentar Bagas yang belum menyadari bahwa kaos bola itu miliknya.
        Lingga tak menjawabnya. Ia menarik kembali jaket di tangan Bagas dan menukarnya dengan kaos bola itu. Setelah dipakainya kembali jaket itu, ia meraih lagi kado dari tangan Bagas. “Gue gak jahat kan?” Tanya Lingga akhirnya.
        Bagas mengamati tiap sudut kaos bola di tangannya. “Maksud lo?” Ia baru menyadari kalo tertera namanya di bagian punggung, BAGAS. “Apanya gak jahat? Ini kan baju gue! Kenapa malah lo suruh anak-anak buat tanda tangan?”
        Lingga agak tercengang. “Jadi lo gak suka sama apa yang gue, Danu dan Diaz kasih?”
        Gantian. Kali ini Bagas yang tertawa.
        “Balas dendam?” Celetuk Lingga.
        Bagas masih tertawa. Sementara Lingga ngalihin pandangannya ke tengah lautan. Lalu Bagas merangkul Lingga. “Thanks banget ya? Gua gak mungkinlah sejahat itu. Walau ada bau-bau aneh di bajunya.” Terlihat seluruh wajahnya tersenyum.
        Lingga ngelirik tajam. “Bau apa maksud lo?” Tanya Lingga yang sedikit sewot.
        “Yaaa… lo pikir aja. Bajunya kan tadi abis lo pake, jadi…” Bagas nyengir.
        Lingga menjauhkan badannya dari rangkulan Bagas. “Enak aja!” Masih agak sedikit sewot sih, tapi akhirnya mereka tertawa geli. Malah cenderung gak jelas.
        “Eh, tapi kok baju gue bisa ada di elu sih?” Tanya Bagas disela-sela tawanya.
        Tawa Lingga sedikit mereda. Ia tampak berfikir. Tampangnya sok serius.
        “Alah…! Tampang lo ngeselin. Ngaku aja kalo lo nyolong bajunya di jemuran rumah gue?!”
        “Kurang ajar!”
        “Aduh…!” Satu jitakan mendarat di kepala Bagas.
        Gak ada jitakan pembalasan. Yang ada malah tuh anak dua ketawa lagi yang makin gak jelas juntrungannya. Sampai akhirnya, terdengar dering ponsel di antara mereka. Lingga meraba-raba tiap saku di celana jeans-nya.
        “Nih…” Bagas menunjukan hapenya ke depan wajah Lingga. “Hape gue yang bunyi.” Tertera nama Danu di layarnya.
        Lingga sedikit salting sambil mengacak-ngacak rambutnya. Ia kembali focus ke tengah lautan. Sementara Bagas, sibuk dengan pembicaraannya di telepon. Lingga membiarkan rambutnya berkibar di terpa angin. Di saat yang bersamaan, Bagas meletakan tangan kirinya di pundak Lingga. Sontak Lingga menoleh dengan cepat. Ada sedikit reaksi terkejut dari raut wajah Lingga. Nampaknya ada sesuatu yang ingin dibicarakan Bagas. Tapi yang didapati Lingga adalah tatapan kosong dari mata Bagas.
        “Danu dan Diaz…” Bagas menggantung ucapannya dan tertunduk. “Mereka gak bisa dateng” Lanjutnya.
        “Itu doank?” Ucapan Lingga memaksa Bagas untuk balik menatapnya.
        Sesaat Bagas membalas tatapan Lingga. Setelah itu kembali memalingkan wajahnya.
        “Gas…!”
        Bukannya nengok, Bagas malah semakin diam.
        “Lo gak bisa nyembunyiin sesuatu, bahkan sekecil apapun dari gue.” Lingga tetap tak melepas tatapannya terhadap Bagas. “Dan lo tau itu.”
        “Gue gak tau harus ngapain.” Bagas masih pada posisinya.
        “Mereka kenapa?”  
        “Yang nelpon gue tadi bukan Danu.”
        “Gue tau. Itu Vindhya, kakanya Danu.” Ucap Lingga dingin.
        Sesaat Bagas menoleh, ia menemukan sepasang tatapan mata yang tajam dan siap merangsek masuk ke dalam matanya. Kemudian kembali ke posisi awalnya. “Dalam perjalanan kesini, mereka kecelakaan. Diaz koma, dan kondisi Danu lemah.”
        Bola mata Lingga terlihat melebar. Selebihnya ia masih bisa mengendalikan emosi. Bagas sendiri hanya bisa meremas kaos bola ditangannya.
        “Lo mau ikut gue ketemu mereka sesaat, atau nggak sama sekali?” Ancam Lingga.
Kali ini ucapan Lingga membuat Bagas benar-benar menatapnya. Sama kayak Lingga, matanya terlihat sedikit terbelalak. Bagas melirik jam sport di tangan kirinya. “SIAL..!”

@@@

        Di rumah sakit, Lingga dan Bagas hanya di perbolehkan untuk melihat Diaz dari balik kaca ruang ICU. Kebayanglah ruang ICU kayak apa? Penuh dengan alat-alat kedokteran. Lingga dan Bagas gak bisa berbuat apa-apa. Menerka suatu kemungkinan yang akan terjadi sama Diaz pun mereka gak sanggup.
        Bagas berbalik. Melangkah menjauhi Lingga yang masih terpaku. Bagas duduk dan menyandarkan badannya di kursi.
        “Berapa lama lagi lo masih punya waktu untuk disini?” Tanya Lingga yang tanpa sedikitpun menoleh ke arah Bagas.
        Bagas menarik lengan jaketnya. Jam sporty nya udah nunjukin pukul sebelas siang. “Penerbangan paling akhir jam tiga sore. Mungkin jam dua gue udah harus sampai rumah.
        Lingga masih belum bergerak. “Kita gak tau bakal terjadi apa nantinya sama Diaz.”
        Bagas tertunduk, matanya merah.
        Ngerasa ada sesuatu yang aneh, Lingga berbalik.  Tampangnya terlihat panic. “Gas, lo gak perlu percaya sama kata-kata gue yang terakhir tadi.” Lingga sedikit merasa bersalah.
        Tanpa sedikitpun menoleh ke arah Lingga, Bagas beranjak.
        “Bagas.” Lingga berusaha mengejarnya. “Bagas dengerin gue dulu.” Lingga sedikit berteriak. Hingga orang-orang disekelilingnya menatap ke arah mereka. Tapi Lingga tak mempedulikannya, ia tetap berusaha mensejajarkan langkahnya. “Diaz butuh spirit dari orang-orang disekelilingnya. Orang tuanya, keluarganya, kita sebagai sahabatnya, dan mungkin…” sesaat, Lingga tampak ragu untuk mengucapkannya. “Vindhya kakaknya Danu.”
        Akhirnya Bagas berhenti. “Lo yakin?” Tanya Bagas penuh harapan.
        Lingga berdiri di depan Bagas. “Gue tau, diantara kalian Cuma satu yang percaya banget sama omongan gue. Yaitu lo.” Lingga terdengar sedikit menghela napas. “Tapi lo harus lebih percaya lagi sama takdir Allah. Kita gak tau apa yang akan terjadi terjadi satu detik ke depan. Anggaplah ini ikhtiar kita.”
        Bagas nyengir. “Gue tau.” Terus ngelanjutin langkahnya.
        Lingga membiarkan Bagas berlalu di depannya. Tampangnya agak bingung. Bagaspun semakin jauh ngelangkah. Sadar di tinggal jauh, “wooii… Gas! Tunggu!” Lingga mengejarnya. Bukannya dari tadi.
        Tapi tiba-tiba Bagas kembali berhenti. Mungkin yang ada dipikiran Lingga saat itu, Bagas membatalkan niat bertemu Danu karena jadwal keberangkatannya yang semakin mepet.
        “Kenapa, Gas?” Tanya Lingga. “Lo gak tiba-tiba harus pergi sekarang kan?”
        Bagas diam.
        “Apa lo gak mau ketemu sahabat lo sebelum lo pindah?” Tanya Lingga lagi yang semakin tak sabar.
        Bagas menghela napas. Seolah ingin mengatakan sesuatu yang sangat berat untuk dikatakannya.
        “Danu ada di kamar nomor berapa?”
        Astaga. Ternyata itu. Lingga hampir pingsan dibuatnya.

@@@

“Ya udah, Danu tunggu ya mba.” Danu mematikan ponselnya. Kabar terbaru dan juga kabar baik. Kondisi Danu udah stabil, meski sebuah perban masih melekat di keningnya dan belum di perbolehkan pulang dari rumah sakit.
Lingga duduk di ujung tempat tidur Danu. “Gimana, Dan?” Tanya Lingga penasaran bercampur semangat.
        “Kakak lo mau kan bantuin kita?” Bagas yang duduk di kursi samping tempat tidur Danu sama penasarannya kayak Lingga.
        Danu tersenyum.
        “Jadi dia setuju?”
        Danu mengangguk.
        Mereka bersorak kegirangan. Tapi langsung sadar kalau mereka saat ini di rumah sakit.
        “Tapi, emang gapapa sama cowoknya itu? Kan dia juga tau kalo Diaz naksir ceweknya.” Lingga sedikit kurang optimis.
        “Tenang aja. Vindhya sama Kharis udah game over.” Celetuk Danu sekenanya.
        “Lo kira lagi pada maen play station pake istilah game over?” Komentar Bagas.
        “Yaelah pake di bahas.” Danu membela diri. “Emang cuma PS aja yang boleh pake istilah itu?”
        Ponsel Bagas berdering. “Bentar ya.” Bagas menyingkir dari sana.
        Danu dan Lingga mengangguk bersamaan.
        “Kira- kira kapan kakak lo mau dateng jenguk Diaz?” Tanya Lingga yang kini beralih duduk di kursi yang tadi di tempati Bagas.
        “Kalo bisa sih secepatnya. Emang Diaz sendiri gimana sekarang? Gue belom sempet liat keadaan dia sejak masuk UGD tadi. Katanya Diaz abis di operasi ya? Terus sekarang gimana?” Danu ngeborong semua pertanyaan.
        Lingga sedikit memikirkan jawabannya.
        “Lo gak dapet pikiran macem-macem kan?” Sergah Danu.
        “Ya nggak lah.” Lingga langsung menyangkal. “Alhamdulillah keadaan Diaz udah baikan. Tapi, ya itu. Diaz belum bisa pindah ke ruang perawatan.” Lingga menghela napas. “Keluarganya belum ada yang kesini?”
        Belum sempat Danu menjawab, pintu terbuka. Bagas muncul dari baliknya. Tampangnya keliatan bete.
        “Kenapa, Gas?”
        “Lo di sini ampe kapan, Ga?” Bagas nanya balik ke Lingga.
        “Mudah-mudahan Vindhya balik cepet. Soalnya kan gue harus ke stadion sore ini.”
        “Emang lo udah harus berangkat?” Pertanyaan yang sebenarnya enggan untuk di keluarkan Danu.
        Bagas duduk di tepi tempat tidur.
        “Nyokap lo ngomong apaan?” Lingga nambahin pertanyaan lagi untuk Bagas.
        “Gara-gara Zagar pergi nemuin temen lamanya. Nyokap nyuruh gue nyusulin tuh anak. Mungkin abis itu gue langsung berangkat.” Bagas berucap pelan. Seolah kata-kata itu sama sekali tak ingin diucapkannya.
        Lingga bangkit dan mendekati Bagas. “Gas.” Ia meletakkan tangan kirinya di pundak Bagas. “Sebenernya gue udah nyiapin kado kayak tadi buat lo.”
        “Terus mau di apain lagi?”
        Lingga mengacak-ngacak rambutnya.
        “Paling ketinggalan.” Sambar Danu. “Kebiasaan buruk dari dulu tuh.” Timpalnya lagi.
        “Nah, itu dia begonya gue.” Lingga mengaku dan pasrah.
        Udah gak kaget dengernya. Pikir Danu dan Bagas sambil tertawa renyah.
        “Sini gue tambahin.” Bagas ikutan ngacak-ngacak rambut Lingga.
        “Weits…” Lingga menghindar. “Udah donk. Ntar kalo ganteng gue ilang kan bahaya.”
        “Alah…!” Danu mendaratkan bantal tepat mengenai wajah Lingga. “Lebay lo!”
        “Ntar gue gak bisa ngecengin suster-suster cakep disini. Tapi gapapa  deh. Biarpun rambut berantakan, yang penting tetep ganteng.” Wuiihh… Diakui deh kalo mereka ganteng kayak … yaa … bayangin aja orang-orang ganteng di dunia ini.
        “Suster mana? Suster ngesot?” Bagas belum puas nyudutin Lingga. “Dasar lo playboy cap rumput.”
        “Kok rumput sih? Emang gak ada yang lebih bagus apa dari rumput?” Komentar Lingga yang tak terima dengan julukan yang diberikan Bagas kepadanya.
        “Yaelah.. Namanya juga pemain bola. Seringnya kan ada di atas rumput. Dan lo playboy. Jadilah lo playboy cap rumput.” Bagas membela diri.
        Lingga di buat mikir oleh Bagas. Dan sumpah. Kalo boleh jujur, tampang Lingga yang ngeselin bikin orang ngajak ribut.
        “Masih belom mau ngaku?” Timpal Bagas lagi.
        “Iya juga sih..”
        Akhirnya… Nyadar juga tuh anak.. harus lah.
        Sebelum Bagas benar-benar pergi, mereka saling memberikan peluk. Sadar matanya berkaca-kaca, Bagas langsung menghindar.
        “Cepet sembuh ya, Dan.”
        Hanya itu yang diucapkan Bagas. Lingga dan Danu menunggu sampai sosok Bagas menghilang dari balik pintu.

@@@

Nggak butuh waktu lama bagi Bagas untuk bisa sampai di kota tua menggunakan motor sportnya. Ia mencoba menelpon Zagar. Tapi sayang, ponselnya mati karena kehabisan batre. Bagas mengedarkan pandangannya, mencoba mencari sosok adiknya. Akhirmya Bagas menghentikan tatapannya. Bukan karena ia telah menemukan seseorang yang tengah di carinya sejak tadi. Tapi malah tertuju ke seorang cewek yang mengenakan seragam sekolah, spesifiknya seragam pramuka lengkap dengan emblem kepramukaannya.
Bagas melangkah ke arah cewek itu yang asik mengabadikan pemandangan yang ada di sekitar lapangan, tepat di depan museum Fatahillah. Ternyata kameranya menangkap sosok Bagas. Sadar keberadaan Bagas semakin dekat, ia menurunkan kamera digitalnya.
        “Sorry, gue Cuma mau nanya jam.” Kata Bagas yang kayaknya hanya sekedar basa-basi. Cewek itu melirik jam tangan sportnya di tangan kiri. “Dua belas kurang lima belas menit.” Ucapnya ramah.
        Bagas hanya membalas dengan senyuman.
        “Ada lagi?” agaknya cewek itu memberanikan diri.
        “Kalo boleh?”
        Cewek itu balas tersenyum menanggapi pertanyaan iseng dari Bagas.
        “Lo pasti anak pramuka?” Bagas mulai sok akrab.
        “Salah! Gue anak ortu gue.” Nih cewek juga udah mulai enjoy sambil sesekali mengabadikan suasana di sekitarnya.
        “Oke. Maksudnya, lo udah nyampe tingkat apa? Terus kenapa disini…” Bagas menunjuk lengan kanan seragam cewek itu. “…tulisannya KOTA BANDUNG dan lambang pramuka Jawa Barat?”
        “Gue baru pindah dari Bandung.”
        “Oh… warga baru.” Bagas manggut-manggut gak jelas. Kayaknya udah lupa sama tujuan awal dia ada di sana.
Kalo ampe Lingga tau Bagas ketemu apa lagi sampe kenalan sama cewek cakep. Waaahhh… Gak tau deh tuh apa jadinya. Bisa ngamuk-ngamuk kali tuh si Lingga. Secara kan tuh anak dijulukin playboy berat.
“Gue penasaran kenapa lo pake tali kur yang warnanya kuning? Emang apa bedanya sama yang warna ijo atau merah?”
        Kali ini cewek itu benar benar mamatikan kameranya. “Sebenarnya…” Cewek itu menggantungkan kalimatnya. Ia penasaran sama lambang tunas kelapa yang tertera pada bagian dada jaket yang dikenakan Bagas. “Gue rasa lo udah tau jawabannya.”
        Bagas bingung dibuatnya. “Maksudnya?”
        Cewek itu malah tersenyum. “Yang harusnya nanya tuh gue.”
“Nanya apaan?”
“Anggota ambalan mana?”
Bagas semakin bunging. Tapi akhirnya ia sadar apa yang bikin tuh cewek nanya kayak gitu.
“Masih bingung?”
Bukannya jawab, Bagas malah mengulurkan tangannya. “Sesama anggota pramuka.”
Gantian cewek itu yang bingung.
“Gua Bagas.” Ketebak deh kalo sebenernya dari awal Bagas pengen kenalan sama tuh cewek, meski niatnya beneran Cuma pengen nanya jam.
Akhirnya cewek itu meraih tangan Bagas. “Nalula.”
Ponsel Nalula berdering. “Halo… Udah di mana…? Sama… gue juga udah nyampe… Ya udah… Tunggu aja biar gue yang nyusul.” Nalula mengakhiri pembicaraannya.
Bagas sendiri masih di sana.
“Gas, maaf ya. Gak bisa ngobrol lagi. Temen gue udah nunggu.”
“Ya udah gapapa.” Bagas sama sekali gak keberatan.
“Atau lo mau ikut aja? Soalnya gue ketemuannya di museum wayang kok.”
“Nggak.. nggak.. Gue juga kesini mau jemput adik gue.” Kata Bagas. Kirain lupa sama tujuan awal dia kesini.
“Oke.” Tanpa basa basi lagi, Nalula langsung meninggalkan Bagas.

@@@

Begitu nyampe, Nalula langsung focus ke sosok seorang cowok seumurannya. Gayanya gak beda jauh sama Bagas, Cuma bedanya nih anak pake kacamata. Asik sendirian melihat-lihat koleksi wayang yang ada di sana.
“Zagar…!” panggil Nalula.       
Cowok itu menoleh. “Cepet juga nyampenya?”
“Gue tadi udah di depan. Gak jauh kok dari sini.” Terasa agak kaku obrolan keduanya.
Akhirnya mereka lebih milih ngobrol sambil makan gado-gado. Termasuk makanan favorit mereka juga tuh.
“Udah lama juga gue gak makan ini.” Kata Zagar yang udah mulai terlihat santai.
Nalula meresponnya hanya dengan senyuman, sambil nerusin makannya. Kelaperan kayaknya.
“Obrolannya garing banget gak sih?”
Nalula menghentikan aktivitasnya. “Mungkin karna udah lama gak ketemu.”
Zagar sedikit mengangguk.
“Lo kenapa sih, Gar?” Nalula agak heran dengan Zagar yang tiba-tiba diem.
“Baru aja ketemu sama lo, abis ini kita langsung pisah lagi.”
Nalula mencoba mencerna kata-kata Zagar.
“Lagian kok tumben sih lo liburan ke Jakarta?” Tanya Zagar. “Emang udah bosen di Bandung?” ledeknya.
Nalula diam. Zagar belum tau tentang kedatangannya di Jakarta.
“Orang tua lo ikut ke Jakarta juga apa masih di Bandung?” Tanya Zagar lagi.
“Gue pindah ke Jakarta.” Ucap Nalula pelan.
Zagar tersenyum. “Berarti…”
“Tanpa orang tua gue.” Nalula memotong ucapan Zagar.
Senyum Zagar memudar. “Terus…”
Lagi-lagi Nalula memotong omongan Zagar. “Kecelakaan pesawat tiga bulan lalu udah merenggut nyawa bokap kandung dan nyokap tiri gue.” Ucapnya tanpa memandang Zagar.
Zagar sendiri terlihat tercengang mendengar cerita Nalula yang sama sekali tak bisa di duganya. Dan selama itu pula, Nalula menyembunyikan dukanya. Bahkan dari seorang Zagar yang dianggap sahabat olehnya.
“Jahat banget lo baru cerita sama gue sekarang?” tanpa perlu dikatakan, Zagar terlihat kecewa.
“Karena gue ngerasa orang tua gue masih hidup.” Nalula tak menyia-nyiakan kesempatan untuk membela diri. “Jenazah mereka sampai sekarang belum di temukan. Berita yang gue dapat pun masih rancu. Jadi jangan salahin gue yang ngeyakinin mereka masih hidup.”
Zagar berusaha menerima semua yang dikatakan Nalula. Ia pun tak bisa menyalahkannya. “Jadi lo sekarang tinggal sama Farlan?” Tebaknya.
Nalula menggeleng. Lalu melirik ke arah Zagar. Terlihat dari ekspresinya, Zagar masih butuh penjelasan.
“Gini.” Nalula menyingkirkan piringnya yang sudah kosong. “Lo inget kan sama kaka tiri gue satu lagi yang tinggal di Jakarta sama neneknya?”
“Kharis?” tebak Zagar.
“Iya. Neneknya juga kan udah gak ada. Mulai hari ini gue tinggal sama dia. Soalnya dia sekarang juga sendiri. Anggaplah gue nemenin dia. Karna gak mungkin ganggu kehidupan ka Farlan.” Ungkap Nalula.
Zagar membenarkan posisi kacamatanya. “Kenapa?” rasa penasarannya belum pudar.
“Besok dia nikah.”
Zagar terlihat terperangah masih dengan rasa penasarannya. “Bukannya lo sama Kharis suka rada gak akur? Tapi kenapa lo malah milih jauh dari Farlan? Emang calon kakak iparmu itu kurang bersahabat?” Kayaknya masih banyak banget pertanyaan yang berkecamuk di benak Zagar.
“Nggak… nggak… nggak…” Nalula segera menepis pandangan jelek Zagar. “Ceweknya ka Farlan tuh baik, baik banget. Awalnya juga ka Farlan nyuruh gue tinggal sama dia. Dan kenapa gue lebih milih untuk tinggal sama Kharis? Karna gue gak mau nyusahin ka Farlan lagi. Akhirnya sih ka Farlan setuju, asalkan gue mau tinggal sama Kharis.” Jelas Nalula.
“Tapi Kharis mau?”
“Untungnya.” Jawab Nalula singkat.
Dan untungnya juga, Zagar udah gak nanya-nanya lagi karena saking penasarannya. Malah udah bisa senyum.
Lalu Nalula merasakan ponselnya bergetar. Sebuah panggilan. Nomor tanpa nama.
“Kok gak di angkat?” Tanya Zagar.
Nalula menunjukkan layar hapenya. “Gue males ngeladenin nomor-nomor asing.”
“Ya udah sini gue yang jawab.” Zagar meraih ponsel Nalula. “Halo… Ada… Maaf ini dari siapa? Hah…! Kharis?” Cepat-cepat Zagar menyuruh Nalula mengambil alih pembicaraan.
“Nal, lo di mana?” Tanya Kharis yang kini berada di rumahnya.
“Museum Fatahilah.” Jawabnya enteng.
“Lo kenapa gak bilang dulu sih? Hari pertama udah bikin susah!” Omel Kharis sambil melempar ranselnya ke sofa. Jelas banget nih anak baru pulang kuliah. “Gue di telpon sama Farlan buat cepet-cepet pulang, katanya lo mau dateng hari ini. Pas gue nyampe, lo gak ada! Cuma barang-barang lo doank.”
“Iya…” Nalula baru ingin menjelaskan.
“Lo juga kesana ngapain?” Kharis menyambar omongan Nalula yang kini cuma bias dokem pasrah dengerin Kharis ngoceh. “Tadi tu siapa yang angkat telponnya? Suara cowok! Apa itu cowok lo? Jangan karna lo sekarang tinggal sama gue, terus lo bebas pergi, pacaran!”
Ya udahlah pasrah aja. Nalula hanya bias menghela napas.
Kharis menyandarkan badannya di sofa. Rada kecapean juga kayaknya abis ngomel. Kharis menghela napas juga. “Udah cepetan pulang. Keburu sore.” Ucapnya kini sedikit ramah.
Nalula mematikan ponsel tanpa berkata apapun sebelumnya.
“Nal…” Kali ini giliran ponsel Zagar yang bordering. “Gue masih di sini… Udah selesai kok… Ya udah… Lo di mana?... Tunggu aja di situ… Biar gue yang nyusul… iya-iya… Tapi lo jangan kemana-mana.”
“Lo jadi ke Palembang?” Tanya Nalula tiba-tiba sesaat setelah Zagar mengakhiri teleponnya.
“Iya sore ini gue berangkat. Makanya gue ngajak lo buat ketemuan. Tapi maaf ya, lo jadi di marahin sama Kharis.” Ngerasa bersalah juga nih anak.
“Yaelah, gapapa lagi.”
“Oiya.” Zagar teringat sesuatu. Ransel yang di bawanya. “Ransel dan isinya buat lo.”
Nalula meraih dan siap membukanya.
“Di buka di rumah aja.” Pinta Zagar.
Nalula menurutinya.
“Nanti pulang naik apa?”
“Bawa motor.” Ujar Nalula sekenanya.
“Hah!?” Zagar sedikit terperangah. “Tapi ya udahlah. Lo emang nekat. Mau diapain lagi? Terus lo mau pulang kapan?”
“Kalo bisa sih sekarang. Kharis udah nyuruh gue cepet-cepet pulang.”
“Oke. Tapi foto-foto dulu.” Pinta Zagar yang langsung mengeluarkan ponselnya. Lalu menarik Nalula untuk berdiri dan menjadi model pribadinya.
“Udah napa? Banyak banget.” Komentar Nalula yang tak hentinya dimintai untuk bergaya. “Gantian.” Nalula mengeluarkan kamera digitalnya. Dan meminta Zagar sebagai modelnya. Atau terkadang mereka berfoto berdua.
Puas bernarsis ria., Zagar menemani Nalula ke tempat parkir. Sambil melihat kamera yang dipakai mereka untuk berfoto.
“Nal, gue baru nyadar tau.” Kata Zagar yang masih tetep focus ke foto-foto mereka tadi.
“Apaan?” Nalula penasaran.
“Pantesan aja lo berani bawa motor. Soalnya lo pake seragam pramuka. Masih cinta?” ledeknya.
“Sedikit ngerasa lebih aman aja.” Jawab Nalula sambil memakai jaket merah bergambar lambang burung garuda di dada kiri serta bendera merah putih di bagian kanannya. Dan tak tertinggal pula bagian punggungnya bertuliskan INDONESIA. Model jaket timnas gitu deh.
Kameranya masih di pegang Zagar yang masih asik juga ngeliat foto-foto yang lain. Termasuk gambar yang diabadikan Nalula sebelum bertemu dengannya. Serta salah seorang yang juga di kenalnya.
“Bagas?”
Ternyata tanpa sengaja, sosok Bagas terekam dalam kamera itu.
“Lo mau bawa pulang kamera gue?”
“Hah? Nggak lah Nal.” Sedikit terkejut. Tapi Zagar tak membahas perihal Bagas. Dan langsung menyodorkan kamera itu ke Nalula.
“Kirain?”
Sesaat mereka saling diam.
“Sebenernya gue juga punya sesuatu buat lo. Tapi gue lupa bawa. Jadi nanti gue kirimin aja ya. Sekalian sama foto-foto yang tadi.” Kata Nalula sesaat sebelum mengenakan helmnya.
Zagar Cuma mengangguk tanpa ekspresi.
“Ya udah. Nanti jangan lupa kirimin alamat rumah lo yang di sana ya.” Pesen Nalula sebelum memacu motornya.
“Lo gak mau ketemu kakak gue dulu?”
“Salam kenal dulu aja deh.”
“Ya udah hati-hati. Salam buat Kharis.”
Begitu motor Nalula berlalu, Bagas menghentikan motornya tepat di depan Zagar.
“Cewek lo?” Tanya Bagas sekenanya. Soalnya mata Zagar masih mengarah ke jalan yang tadi di lalui Nalula.
“Hah…! Bukan.”
“Ya udah. Lo yang bawa nih motornya.”
Dan ternyata, orang yang sejak tadi di cari Bagas adalah Zagar, adiknya.

@@@

Begitu nyampe, Nalula langsung nemuin Kharis di ruang tivi. Sebenernya Kharis tau Nalula ada di sana. Cuma nih anak masih agak cuek, pura-pura serius nonton bola.
“Maaf.” Ujar Nalula pelan sambil melepas helmnya.
“Emangnya gak ada hari lain apa buat ketemuan sama cowok lo itu?” Suara Kharis masih terdengar sedikit ketus.
“Sorry. Zagar temen gue waktu di Bandung. Sore ini dia terbang ke Palembang. Jadi kesempatan gue ketemu Cuma hari ini.” Nalula berusaha membela diri.
Kharis menghela napas. “Ya udahlah.” Lalu ia berdiri. “Itu kamar lo.” Sambil menunjuk ke salah satu pintu. “Barang-barang lo juga udah ada di sana. Gue minta lo langsung ganti baju. Dan sebagai hukumannya, lo masak, gue laper. Gak usah banyak-banyak. Karena Cuma buat kita berdua.” Kharis ngelirik ke Nalula sekali, terus duduk dan kembali focus ke layar televisi.
Nalua malah tersenyum. “Yakin, hukuman buat gue Cuma masak doank?” Nalula terdengar menantang. Membuat Kharis menatapnya tajam.
“Maksud lo?”
“Maksudnya, ya, buat gue masak tuh bukan suatu hukuman. Tapi lebih kayak hadiah.”
Kharis semakin tajam memperhatikan Nalula.
“Jadi lo mau gue masakin apa?”
Kharis tampak berfikir. “Apa aja. Yang penting masakan Indonesia.” Ucap Kharis masih dengan nada sedikit ketus.
“Oke.” Nalula tersenyum puas.
“Tapi sorry…” Kharis menghentikan langkah Nalula yang siap membuka pintu kamarnya.
Nalula menoleh. “Untuk apa?”
“Rumahnya gak sebesar yang di Bandung. Jadi gue harap lo bisa betah.” Kharis nampaknya belum bisa ramah.
Senyum Nalula memudar. “Seenggaknya gue masih lebih bersyukur, dari pada harus tinggal di Bandung tapi sendirian.” Tanpa butuh Kharis merespon, Nalula cepat-cepat masuk kamarnya.
Lama gak tinggal satu atap, membuat Kharis sedikit terperangah dengan kata-kata yang diucapkan Nalula.

@@@

Nalula menelusuri tepi tempat tidurnya dengan jari. Spreinya bermotif bola sepak dengan warna dasar putih. “Pasti Kharis gak punya stok sprei motif lain.” Pikir Nalula yang kini duduk di tepi ranjangnya.
Ia kembali teringat ransel pemberian Zagar yang ia letakkan di tempat tidur. Memang tidak terlalu besar ukurannya. Namun tidak terbilang kecil juga untuk bisa disebut bingkisan.
Dibuka resletingnya perlahan. Satu persatu isinya ia keluarkan. Pertama, seragam salah satu klub sepakbola Indonesia asal Malang, Jawa Timur. Arema Indonesia. Nalula tersenyum. Dibentangkannya kaus bola itu. Tidak tertera nomor punggung pemain manapun. Zagar yang tau Nalula menyukai klub itu, tak membuang kesempatan untuk membelikannya ketika liburan ke kota apel itu. Masih ada lagi. Lima batang coklat. Semua kesukaan Nalula.
Belum selesai. Masih ada satu. Sebuah binder berukuran sedang. Bagian cover yang bisa diganti, dipasangkan gambar stadion Gelora Bung Karno bagian dalam yang di penuhi supporter berseragam merah. Binder itu isinya terdiri dari beberapa kliping tentang teknik permainan atau pun teknik latihan yang Nalula kumpulkan dari tabloid olahraga.
Nalula sebelumnya bersekolah di SMA Siliwangi, Bandung. Klub yang menjadi lawan Rosengard di partai final. Ia juga menyibukkan diri di klub. Beberapa catatannya tentang klub—data fakta pemain, pertandingan, klub-klub yang menjadi lawan—pada binder itu, membuktikannya. Binder itu sempat di bawa paksa oleh Zagar setelah turnamen lalu. Dan baru hari ini di kembalikan padanya.
Nalula berdiri, berniat untuk meletakkannya di meja yang akan dijadikan meja belajarnya. Beberapa lembar foto yang terselip di dalam binder itu berhamburan jatuh ke lantai. Nalula memungutnya. Itu foto Zagar bersama beberapa pemain Arema Indonesia (2011) ketika ia ke Malang. Sebut saja Noh Alamsyah, M. Ridhuan, Achmad Bustomi, Zulkifli Syukur… dan…
“Zagar curang.”

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar